• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan

V. PENUTUP

Bab ini berisi mengenai kesimpulan terhadap jawaban permasalahan dari hasil penelitian dan saran-saran dari penelitian terhadap permasalahan yang telah dibahas.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Pertangggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana. Moeljatno menyatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan tindak pidana. Tapi meskipun melakukan tindak pidana, tidak selalu dia dapat dipidana. Orang yang tidak dapat dipersalahkan melanggar sesuatu tindak pidana tidak mungkin dikenakan pidana, meskipun orang tersebut dikenal buruk perangainya, kikir, tidak suka menolong orang lain, sangat ceroboh, selama dia tidak melanggar larangan pidana.

Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasarkan pada kesalahan pembuat dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur suatu tindak pidana. Kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur dalam tindak pidana. Dalam hal dipidana atau tidaknya si pembuat bukanlah bergantung pada apakah ada perbuatan atau tidak, melainkan pada apakah si terdakwa tercela atau tidak karena tidak melakukan tindak pidana. Seseorang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu dia dapat dipidana. Orang yang melakukan tindak pidana akan dipidana, apabila dia mempunyai kesalahan.

Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang, ia akan dimintai pertanggungjawaban apabila perbuatan

tersebut melanggar hukum. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya orang yang mampu bertanggung jawab yang dapat diminta pertanggungjawaban. Menurut Roeslan Saleh (1982:86) seseorang dikatakan mampu bertanggung jawab dapat dilihat dari beberapa hal yaitu:

1. Keadaan Jiwanya

a. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara; b. Tidak cacat dalam pertumbuhan (Idiot, gila, dan sebagainya);

c. Tidak terganggu karena terkejut (Hipnotis, amarah yang meluap dan sebagainya). 2. Kemampuan Jiwanya

a. Dapat menginsyafi hakekat dari perbuatannya;

b. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah dilaksanakan atau tidak; c. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.

Menentukan pertanggungjawaban pidana kepada seseorang harus ada dua hal menurut Tri Andrisman (2006 : 107 ) yaitu :

1. Dapat dipidananya perbuatan (strafbaarheid van het feit)

2. Dapat dipidananya orang atau perbuatannya (strafbaarheid van der person)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan batasan, KUHP hanya merumuskan secara negatif yaitu mempersyaratkan kapan seseorang dianggap tidak mampu mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukan. Menurut ketentuan Pasal 44 ayat (1) seseorang tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya atas suatu perbuatan karena dua alasan yaitu :

1. Jiwanya cacat dalam pertumbuhan; 2. Jiwanya terganggu karena penyakit.

Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur kesalahan, oleh karena itu untuk membuktikan unsur kesalahan tersebut, maka unsur pertanggungjawaban harus dibuktikan,

namun demikian untuk membuktikan adanya unsur kemampuan bertanggung jawab itu sangat sulit dan membutuhkan waktu dan biaya, maka dalam praktek dipakai faksi yaitu bahwa setiap orang dianggap mampu bertanggung jawab kecuali ada tanda-tanda yang menunjukan lain. Untuk dapat dipidanakan pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang.

Berdasarkan uraian diatas, menurut Tri Andrisman (2006 : 106): Kesalahan mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

a. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat dalam arti keadaan jiwa si pembuat harus normal;

b. Adanya hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang merupakan kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa). Ini disebut bentuk-bentuk kesalahan. c. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak adanya alasan pemaaf

Akan tetapi kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan bukan unsur kelalaian. Maka dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian pertanggungjawaban pidana yaitu kemampuan seseorang untuk menerima resiko dari perbuatan yang diperbuatnya sesuai dengan undang-undang.

B. Pengertian Tindak PidanaIllegal Logging

Illegal logging dalam peraturan Perundang-undangan yang ada tidak secara eksplisit didefinisikan dengan tegas. Namun, terminologi illegal logging dapat dilihat dari pengertian secara harfiah, illegal artinya tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum, dan log adalah kayu gelondongan,loggingartinya menebang kayu dan membawa ke tempat gergajian.

Illegal Logging adalah rangkaian kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu ke tempat pengolahan hingga kegiatan eksport kayu yang tidak mempunyai izin dari pihak yang berwenang

sehingga tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, oleh karena itu dipandang sebagai suatu perbuatan yang merusakan hutan (IGM Nurjana, Teguh Prasetyo dan Sukardi (2005 : 15)).

Illegal logging mengandung makna kegiatan di bidang kehutanan atau yang merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup penebangan, pengangkutan, pengolahan hingga kegiatan jual beli (termasuk ekspor-impor) kayu yang tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, atau perbutan yang dapat menimbulkan kerusakan hutan. Essensi yang paling penting dalam praktek penebangan liar (illegal logging) adalah perusakan hutan yang akan berdampak pada kerugian baik dari aspek ekonomi, ekologi, maupun sosial budaya dan lingkungan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari fungsi hutan yang pada hakekatnya adalah sebuah ekosistem yang didalamnya mengandung tiga fungsi produksi (ekonomi), fungsi lingkungan (ekologi) serta fungsi sosial.

Berdasarkan pada aspek sosial, penebangan liar (illegal logging) menimbulkan berbagai konflik hak atas hutan, konflik kewenangan mengelola hutan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta masyarakat adat setempat. Aspek budaya seperti ketergantungan masyarakat terhadap hutan juga ikut terpengaruh yang pada akhirnya akan merubah perspektif dan prilaku masyarakat adat setempat terhadap hutan.

Dampak kerusakan ekologi (lingkungan) akibat penebangan liar (illegal logging) bagi lingkungan dan hutan adalah bencana alam, kerusakan flora dan fauna serta punahnya spesies langka. Prinsip pelestarian hutan sebagaimana diindikasikan oleh tiga fungsi pokok tersebut, merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, pemanfaatan dan pelestarian sumber daya hutan perlu dilakukan melalui suatu sistem

pengolahan yang dapat menjaga serta meningkatkan fungsi dan peranannya bagi kepentingan generasi masa kini maupun generasi dimasa yang mendatang.

Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi aktifitas illegal logging antara lain dengan mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secaraillegaldi kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Indonesia dan mengularkan Surat Edaran Nomor 01 Tahun 2008 tentang Petunjuk Penanganan Perkara Tindak Pidana Kehutanan.

Upaya tersebut merupakan payung hukum dalam pemberantasan penebangan liar (illegal logging) yang diharapkan kelangsungan hutan di Indonesia dapat terselamatkan.

Tindak pidana illegal logging adalah masalah yang kompleks bagi pembangunan kehutanan namun menyadari arti pentingnya hutan bagi kelangsungan hidup umat manusia pada umumnya dan bangsa Indonesia pada khususnya, maka sudah seharusnya kita harus melakukan pelestarian hutan serta melindungi keberadaannya demi kelangsungan hidup manusia itu sendiri sehingga dapat mencegah aksi para pelakuillegal logging yang hanya mencari keuntungan pribadi semata.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 mengartikan illegal logging adalah setiap perbuatan manusia atau badan hukum yang melanggar ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dengan kata lain, berdasarkan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Setiap perbuatan manusia atau badan hukum yang melanggar ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nommor 41 Tahun 1999 merupakan tindak pidana dibidang kehutanan atau dikenal dengan istilahillegal logging.

Kasus illegal logging yang menjadi dasar dalam tindak pidananya berpedoman pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan didalamnya sudah jelas dianggap suatu perbuatan yang melanggar hukum dan mendapatkan hukuman pidana seperti yang terdapat dalam Pasal 50 ayat (1) dan (2) dan Pasal 78 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999.

Isi Pasal 50 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 sebagai berikut:

(1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan;

(2) Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatn jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.

Pengertian setiap orang ditafsirkan sebagai individu juga badan hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pengertian dengan sengaja dan tanpa hak dapat ditafsirkan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan Undang-Undang dan tindakan melakukan yang diancam dengan hukuman. Didalam pasal ini tidak perlu dibuktikan akibat dari perusakan hutan, yang terpenting bahwa secara formal illegal loggingtelah mengandung muatan-muatan yang dilarang oleh Undang-Undang.

Unsur-unsur yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 yang dapat dijadikan dasar hukum untuk penegakan hukum pidana terdapat kejahatan penebangan liar (illegal logging) yaitu :

1. Merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan. Kegiatan yang keluar dari ketentuan perizinan sehingga merusak hutan;

2. Melanggar batas-batas tepi sungai, jurang, dan pantai yang ditentukan Undang-Undang; 3. Menebang pohon tanpa izin;

4. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui patut diduga sebagai hasil hutanillegal;

5. Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan tanpa Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH);

6. Membawa alat-alat berat dan alat-alat lain pengelolaan hasil hutan tanpa izin.

Rumusan unsur-unsur pidana diatas sangat efektif untuk diterapkan kepada pelaku terutama masyarakat yang melakukan pencurian kayu tanpa izin atau masyarakat yang diupah oleh pemodal untuk melakukan penebangan kayu secara illegal dan kepada pelaku pengusaha yang melakukan pelanggaran konsesi penebangan kayu ataupun yang tanpa izin melakukan operasi penebangan kayu. Akan tetapi perkembangan kasus penebangan liar (illegal logging) saat ini justru diindikasikan banyak melibatkan oknum pejabat pemerintah termasuk oknum pejabat pemerintah daerah oknum PNS, oknum TNI, oknum pejabat penyelenggara Negara lainnya yang justru menjadi bagian dari pelaku intelektual dalam penebangan liar (illegal logging) namun belum dapat terjangkau oleh ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

D. Dasar Pertimbangan Hakim

Seseorang tidak dapat dibebani pertanggungjawaban pidana (Criminal Liability) dengan dijatuhi sanksi pidana karena telah melakukan sautu tindak pidana apabila tindak pidana, telah melakukan perbuatan tersebut dengan tidak disengaja atau bukan karena kelalaiannya. (Sutan Remy Sjahdeni,2007:33).

Pemidanaan adalah suatu proses. Sebelum proses itu berjalan, peranan hakim penting sekali. Hakim mengkonkretkan sanksi pidana yang terdapat dalam suatu peraturan dengan menjatuhkan pidana bagi terdakwa dalam kasus tertentu. Dalam Pasal 55 ayat (1) Konsep RUU KUHP 2005 disebutkan pedoman pemidanaan yang wajib dipertimbangkan hakim, antara lain:

1. Kesalahan pembuat tindak pidana;

2. Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana; 3. Cara melakukan tindak pidana;

4. Sikap batin pembuat tindak pidana;

5. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana; 6. Sikap dan tindakan pembuat setelah melakukan tindak pidana; 7. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana; 8. Tindak pidana dilakukan dengan berencana;

9. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; 10. Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau;

11. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

Pedoman pemidanaan ini akan sangat membantu hakim dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan, sehingga hal ini akan memudahkan hakim dalam menerapkan takaran pemidanaan. Selain itu, hakim dalam menjatuhkan pidana sangatlah banyak hal-hal yang mempengaruhi, yaitu yang bisa dipakai sebagai bahan pertimbangan untuk menjatuhkan putusan pemidanaan baik yang terdapat di dalam maupun di luar undang-undang.

Hakim mempunyai substansi untuk menjatuhkan pidana, akan tetapi dalam menjatuhkan pidana tersebut hakim di batasi oleh aturan-aturan pemidanaan, masalah pemberian pidana ini bukanlah masalah yang mudah seperti perkiraan orang, karena hakim mempunyai kebebasan untuk menetapkan jenis pidana, cara pelaksanaan pidana dan tinggi rendahnya pidana.

KUHP tidak memuat pedoman pemberian pidana yang umum, ialah suatu pedoman yang dibuat oleh pembentuk undang-undang yang memuat asas-asas yang perlu diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana, yang ada hanyalah aturan pemberian pidana.

1

III. METODE PENELITIAN

Metode penelitian dilakukan dalam usaha untuk memperoleh data yang akurat serta dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan kepada metode sistematika, dan pemikiran tertentu dengan jalan menganalisisnya (Soerjono Soekanto, 1986 : 43). Selain itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul.

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan dalam pembahasan penulisan penelitian ini adalah pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatann yuridis normatif adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro, yuridis empiris artinya adalah mengidentifikasikan dan mengkonsepsikan hukum sebagai institusi sosial yang riil dan fungsional dalam sistem kehidupan yang mempola. Pendekatan ini dilakukan untuk mengetahui kesesuaian pertanggungjawaban pelaku tindak pidana illegal logging yang terdapat dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK.

2

Jenis data dapat dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka (Seorjono Soekanto, 1986 : 11).

Data yang diperguanakan dalam penelitian ini bersumber pada dua jenis data, yaitu :

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari observasi di lapangan. Dalam rangka penelitian lapangan terutama yang menyangkut pokok bahasan skripsi ini. Dalam hal ini data diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap hakim yang terkait dengan pertanggungjawaban pidana pelaku illegal logging Taman Raya Wan Abdul Rachman di Pesawaran (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK).

2. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan cara membaca, mengutip, dan menelaah peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen, kamus, artikel dan literatur hukum lainnya yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas, yang terdiri dari :

a. Bahan Hukum Primer

Merupakan bahan hukum yanga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dalam hal ini bahan hukum primer terdiri dari :

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

3

3. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman.

b. Bahan Hukum Sekunder

Merupakan bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu dalam menganalisa serta memahami bahan hukum primer, seperti literatur dan norma-norma hukum yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini. Bahan hukum sekunder penelitian ini meliputi :

1. Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

2. Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK.

c. Bahan Hukum Tersier

Merupakan bahan-bahan yang berguna untuk memberikan informasi, petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, media massa, artikel, makalah, nasakah, paper, jurnal, internet yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas atau diteliti dalam skripsi ini.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi merupakan jumlah keseluruhan dari unit anilisis data, yang ciri-cirinya akan diduga (Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, 2006: 152)

Penulisan skripsi ini yang dijadikan populasi penelitian adalah Jaksa dari Kejaksaan Negeri Tanjung Karang, Hakim dari Pengadilan Negeri Tanjung

4

Karang, dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung. Untuk menentukan sample dan populasi, digunakan metode pengambilan sampel terhadap pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana illegal logging Taman Raya Wan Abdul Rachman di Pesawaran yang berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana yaitu purposive sampling yaitu bahwa dalam menetukan sampel disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai dan kedudukan masing-masing sampel yang dianggap telah mewakili populasi terhadap masalaah yang hendak diteliti atau dibahas. Dalam hal ini penulis memilih petugas yang benar-benar memiliki kualifikasi dalam pelaksnaan tugasnya sehingga yang akan dijadikan sampel dapat menjamin penelitian.

Responden yang dianggap dapat mewakili populasi dan mencapai tujuan penulisn skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Jaksa dari Kejaksaan Negeri Tanjung Karang : 1 orang 2. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 orang 3. Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1 orang +

3 orang D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan Data

a. Studi Kepustakaan (Library Research)

Studi kepustakaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan penulis dengan maksud untuk memperoleh data sekunder dengan cara mengumpulkan data dengan membaca, memahami, dan mengutip, merangkum, dan membuat catatan-catatan dari berbagai literatur, peraturan

5

perundang-undangan, buku-buku, media massa dan bahan tertulis lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan.

b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi lapangan merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk memperoleh data primer dengan metode wawancara (interview) secara langsung dengan narasumber/responden sebagai usaha mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan secara lisan, maupun dengan menggunakan daftar pertanyaan secara tertulis.

2. Metode Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, baik studi kepustakaan maupun studi lapangan, maka data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Seleksi Data

Yaitu memeriksa dan memilih data sesuai dengan objek yang akan dibahas, juga dengan mempelajari dan menelaah data yang diperoleh dari hasil penelitian.

b. Klasifikasi Data

Yaitu mengklasifikasikan/mengelompokan data yang diperoleh menurut jenisnya untuk memudahkan dalam menganalisis data.

c. Sistematisasi Data

Yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada setiap pokok secara sistematis sehingga memudahkan interprestasi data dan tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.

6

E. Analisis Data

Tahap selanjutnya setelah pengolahan data selesai dilakukan adalah analisis data. Analisis data bertujuan untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan dipahami. Analisis data yang diperoleh dilakukan melalui analisis kualitatif. Analisis kualitatif yaitu dengan cara menguraikan data yang diperoleh dan menghubungkan satu dengan yang lain agar membentuk suatu kalimat yang tersusun secara sistematis. Sedangkan dalam menarik kesimpulan dan hasil analisis tersebut penulis menggunakan metode induktif, yaitu suatu cara berfikir yang dilaksanakan pada fakta-fakta yang bersifat khusus yang kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum. Berdasarkan kesimpulan, maka disusun saran.

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana telah diuraikan dalam bab IV, maka dapat diambil kesimpulan bahwa:

a. Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana illegal logging Taman Raya Wan Abdul Rachman di Pesawaran dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK dengan terdakwa Suryani alias Nani Bin Santari, Supriyadi Bin Satarip dan Karim Bin Jarian, dijatuhi pidana penjara masing-masing selama 1 (satu) tahun 2 (dua) bulan denda sebesar Rp 1.500.000 (satu juta lima ratus rupiah) dengan alat bukti (tiga) buah golok dan 1 (satu) buah kampak, perbuatan para terdakwa telah memenuhi Pasal 50 ayat (3) huruf b,c,k jo Pasal 78 ayat (2),(5),(7),(10),(15) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Para terdakwa telah memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana menurut hukum pidana yaitu para terdakwa mempunyai kemampuan untuk bertanggungjawab, para terdakwa mempunyai unsur kesengajaan dalam melakukan tindak pidana illegal logging dan perbuatan para terdakwa merupakan perbuatannya tidak menghapus pidana.

Dalam putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK pelaku tindak pidanaillegal logging dijatuhi dengan hukuman maksimal 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Ternyata dalam putusan hakim tidak

✂ ✄

memuat alasan mengapa para terdakwa dihukum dengan hukuman 1 (satu) tahun 2 (bulan) dan denda Rp 1.500.000 (satu juta lima ratus rupiah) dan putusan yang dijatuhkan hakim sangat jauh dari sanksi pasal yang dijatuhkan, dalam teori pertanggungjawaban pidana bertentangan dengan rasa keadilan.

2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap perkara illegal logging sebagaimana yang dimaksud dalam putusan hakim dalam perkara nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK bersifat yuridis adalah alat bukti yaitu adanya keterangan saksi M. Yusuf dan Yurdis yang melihat secara langsung para terdakwa sedang merambah pohon di kawasan Taman Raya Wan Abdul Rachman, adanya keterangan ahli Suharjo selaku staf Teknis Korwil Kedondong, dan adanya keterangan terdakwa yaitu Suryani alias Nani Bin Santari, Supriyadi Bin Satarip dan Karim Bin Jarian

Pertimbangan hakim yang bersifat non yuridis adalah:

a. Hal yang memberatkan yaitu perbuatan para terdakwa merugikan keuangan negara, ekonomi maupun sosial dalam bidang kehutanan serta bertentangan dengan program pemerintah yang sedang giat-giatnya melakukan kegiatan penanaman sejuta pohon sebagai upaya melakukan penghijauan kembali.

b. Hal yang meringankan yaitu para terdakwa mengakui terus terang perbuatannya, terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya serta terdakwa berlaku sopan dalam persidangan.

☎6

Hakim dalam menjatuhkan putusan pada perkara nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK tidak memenuhi suatu unsur keadilan substansif kerena hakim dalam memutus perkara tidak menggali dan menemukan nilai-nilai kebenaran dalam masyarakat seperti tidak diungkapkan peran para terdakwa dalam perkara nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK. Terdakwa I, Suryani alias Nani Bin Santari sebagai pelaku utama (dader), terdakwa II, Supriyadi Bin Satarip dan terdakwa III, Karim Bin Jarian sebagai pelaku yang membantu melakukan (medeplichtige), namun pada putusan pengadilan di Pengadilan Negeri Tanjung Karang, majelis hakim memberikan putusan yang sama.

Dokumen terkait