• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penentuan probabilitas kejadian gempabumi merusak dengan metode likelihood maksimum di bagian barat pulau Jawa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penentuan probabilitas kejadian gempabumi merusak dengan metode likelihood maksimum di bagian barat pulau Jawa"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

(Jual Beli Harta Pusako Tinggi di Kecamatan Banuhampu

Kabupaten Agam Sumatera Barat)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah ( S. Sy)

Oleh:

MUHAMMAD HAFIZZ NIM: 109044100047

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(2)
(3)
(4)

Dengan ini saya menyatakan:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang

berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, April 2013

(5)

i

Muhammad Hafiz

Pergeseran Hukum Waris Adat Minangkabau ( Jual Beli Harta Pusako Tinggi di Kecamatan Banuhampu Kabupaten Agam Sumatera Barat)

Kearifan Manusia yang bertitel sebagai khalifah di bumi, sudah dibekali dengan berbagai cara terbaik dalam menjaga kelestarian keturunannya. Manusia sebagai makhluk sosial dalam kesehariannya tentu banyak keperluan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, salah satu dari cara terbaik yang untuk melestarikan keturunan dan menjaga eksistensi keturunannya adalah dengan bermodal harta. Karena dalam posisi ini harta menjadi bagian vital dari kelangsungan kehidupan itu sendiri.

Tata cara pembagian harta warisan dalam Islam telah diatur dengan sebaik-baiknya. Al-Qur’an menjelaskan dan merinci detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorangpun, pembagian masing-masing ahli waris telah ada ketentuannya dalm al-Qur’an.

Sementara masyarakat yang memilki sistem matrilineal seperti Minangkabau mempunyai memiliki kewarisan tersendiri, ketentuan adat Minangkabau mengenal dua macam harta yang diwariskan yaitu harta pusako tinggi dan harta pusako

rendah, dan sistem pewarisan harta tersebut juga berbeda yakni harta pusako tinggi

adalah harta yang diturunkan dari mamak ke kemenakan sedangkan harta pusako

rendah dibagi menurut pewarisan hukum Islam (Faraidh).

Harta pusako tinggi ini pada dasarnya menurut adat di Minangkabau adalah harta

yang hanya boleh digadaikan dan tidak boleh untuk diperjual-belikan. Namun seiring dengan beriringnya zaman dan kondisi sosial masyarakat Minangkabau khususnya masyarakat Kecamatan Banuhampu Kab. Agam Sumatera Barat, harta tersebut telah ada dan banyak yang diperjual-belikan.

Penelitian ini untuk mengetahui dan mengungkap faktor apa saja yang melatar belakangi masyarakat Minangkabau khususnya masyarakat Kecamatan Banuhampu Kab. Agam Sumatera Barat memperjual-belikan harta pusako tinggi tersebut. Selain itu juga untuk mengetahui eksistensi harta pusako tinggi di masyarakat tersebut serta mengetahui pemanfaatan perbandingan harta pusako menurut hukum Islam dan hukum adat Minangkabau.

Dengan menganalisis aspek agama, adat, sosial dan budaya masyarakat Minangkabau, harta pusako tinggi adalah harta bersama yang bisa diperjual-belikan ketika adanya kesepakatan bersama dari kaum di keturunan/suku tersebut. Keturunan yang punah, generasi yang terputus dan krisis yang berkepanjangan dari kaum yang

sasuku dan saparuik juga adalah faktor yang membuat harta tersebut layak dan boleh

(6)

ii

Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis panjatkan kepada junjungan

kita yakni Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang

senantiasa berkorban menyebarkan dakwah Islam kepada seluruh umat sampai hari

kiamat.

Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar strata 1

( S.1) di Universitas Islam Negeri ( UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Membahas dan

menyusun skripsi ini bukan hal yang mudah, dibutuhkan semangat,

kesungguh-sungguhan dan kerja keras .

Di samping itu, penulis juga banyak mendapatkan motivasi, petunjuk dan

bimbingan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung

sehingga penyelesaian skripsi ini dapat berjalan dengan baik dan lancar. Oleh karena

itu, penulis senantiasa mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM, selaku Dekan Fakultas Syariah

dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA selaku Ketua Program Studi Hukum

Keluarga dan Ibu Hj. Rosdiana, MA selaku Sekretaris Program Studi Hukum

(7)

iii

senantiasa meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan bimbingan serta

koreksi yang sangat berarti dalam kelancaran penulisan skripsi ini.

4. Ibu Sri Hidayati M.Ag selaku dosen pembimbing akademik yang senantiasa

megarahkan penulis di bangku perkuliahan dan juga dalam penyelesaian skripsi

ini.

5. Bapak Sekretaris Camat, Inyiak Wali Nagari Taluak IV Suku, para Alim Ulama

Cadiak Pandai dan Pemuka adat di Kecamatan Banuhampu khususnya Taluak IV

suku yang senantiasa memberikan ilmu dan informasi yang berhubungan dengan

skripsi ini sehingga penelitian yang penulis lakukan berjalan dengan lancar.

6. Para dosen yang telah memberikan ilmunya kepada penulis, semoga ilmu yang

diberikan bermanfaat serta menjadi berkah bagi penulis, serta para pimpinan dan

staf perpustakaan baik perpustakaan utama maupun perpustakaan Fakultas Syariah

dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas

untuk mengadakan studi perpustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.

7. Penulis haturkan terima kasih yang sebanyak – banyak nya untuk kedua orang tua

penulis, kepada ayahanda Surefdi Rivai dan ibunda Fauziah Bahar tercinta yang

telah mendidik penulis dengan penuh perhatian dan kasih sayang yang tak

terhingga dan do’a beliau dan untuk kakak Miftahul Jannah yang telah

(8)

iv dapat menyelesaikan studi ini dengan lancar.9

9. Sahabat-sahabat tercinta, Muhammad Hanafi, Muhammad Nur Hady, Rahmat

Fajri, Fazri, Ishaq, Rahma Fitra, Rahmi Fadhila, Mentary Putry Rendy, dan teman

teman Ikatan Keluarga Mahasiswa Minangkabau dan teman-teman KKN Tuah

Sakato serta teman-teman seperjuangan Peradilan Agama A dan B angkatan 2009

terkhusus buat Mufti, Yusuf, Ahdi yang telah meluangkan waktunya tempat

penulis bertanya dan berbagi informasi selama perkuliahan.

Demikianlah ucapan terima kasih yang penulis haturkan atas semua bantuan

baik itu moril maupun materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan

skripsi ini. Mudah- mudahan Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah

diberikan. Amin.

Jakarta, 12 April 2013

(9)

v

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Metode Penelitian... 10

E. Studi Review ... 11

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II : KEWARISAN HARTA PUSAKO A. Harta Pusako Menurut Hukum Islam ... 14

B. Harta Pusako Menurut Hukum Adat Minangkabau ... 25

BAB III : KONDISI OBJEKTIF KECAMATAN BANUHAMPU A. Tinjauan Umum dan Sejarah Singkat ... 52

B. Geografis dan Demografis ... 54

C. Agama ... 55

D. Pendidikam ... 58

(10)

vi

BAB IV : PERAN HARTA PUSAKO TINGGI

A. Peran Pusako Tinggi ... 62

B. Faktor-faktor dan Penyebab Bergesernya Hukum Waris Adat

Minangkabau ... 64

C. Analisa Penulis ... 68

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 74

(11)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kearifan manusia yang bertitel sebagai khalifah di bumi, sudah dibekali

dengan berbagai cara terbaik dalam menjaga kelestarian keturunannya. Manusia

sebagai makhluk sosial dalam kesehariannya tentu banyak keperluan untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya, salah satu dari cara – cara terbaik yang untuk

melestarikan keturunan dan menjaga eksistensi keturunannya adalah dengan

bermodal harta. Karena dalam posisi ini harta menjadi bagian vital dari

kelangsungan kehidupan itu sendiri.

Peradaban manusia sejak dahulu kala di dalam kitab-kitab sejarah sudah

menjelaskan bagaimana cara untuk mempertahankan kelangsungan keturunannya

dengan mempersiapkan lahan pertanian atau harta benda yang bisa diwariskan

bagi keturunan anak cucunya kelak agar bisa menikmati kehidupan yang lebih

baik. Pembagiannya lebih menurut kepada ketua suku, kepala keluarga atau

keputusan bersama diantara keluarga atau suku tersebut. Kebiasaan ini lambat

laun menjadi ajaran-ajaran adat pada suku-suku tertentu.

Dari segi pembagiannya, cara pembagian adat lebih dititik beratkan

(12)

kepada hak otoritas kepala suku apakah itu laki-laki ataupun perempuan, klan

matriarki atau patriarki.1

Dalam masyarakat patriarki, sislsilah keturunan ditentukan melalui jalur

ayah dan peran lebih besar diberikan kepada laki-laki, baik dalam urusan rumah

tangga maupun dalam urusan masyarakat luas. Sebaliknya perempuan

mendapatkan peran yang tidak menonjol di dalam masyarakat. Di dalam

masyarakat ini, jenis kelamin laki-laki memperoleh keuntungan secara budaya,

sedangkan perempuan mengalami beberapa pembatasan dan tekanan.

Islam lahir tidak terlepas dari budaya-budaya sosial yang lebih dulu ada,

seperti misalnya masalah kewarisan. Di zaman Arab dulu karena perempuan tidak

diperhitungkan sehingga berefek pada ketidak layakan perempuan dalam

posisi-posisi penting termasuk dalam hal harta dan kewarisan.

Sejarah menginformasikan bahwa sebelum turunnya al-Qur’an terdapat

sekian banyak peradaban seperti Yunani, Romawi, India dan Cina. Dunia juga

mengenal agama-agama seperti Yahudi dan Nasrani, Budha, Zoroaster di Persia

dan sebagainya.2

1

Patriarki (Inggeris, Patriarchy) sudah menjadi istilah umum di dalam berbagai tulisan umum di dalam berbagai tulisan ilmiah di Indonesia. Patriarki diartikan sebagai sistim masyarakat yang menelusuri garis keturunan melalui pihak bapak (suami). Sebaliknya matriarki, kelompok masyarakat yang menelusuri garis keturunan melalui pihak ibu (istri). Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an, (Jakarta : Paramadina, 2001), cet II, h. 128.

2

(13)

Dalam rumusan Islam terkesan lebih sistematis, demokratis dan lebih adil

dalam pembagian harta dan kewarisan. Terlepas apakah tokoh sekarang ini mulai

banyak mempertanyakan keadilan sistim waris Islam tersebut karena menilai

bagian perempuan dirasa lebih sedikit dari bagian lai-laki. Namun, sistem waris

Islam ini pada masanya merupakan sebuah terobosan besar dalam sistem

pembagian harta dan warisan. Bahkan, lebih jauh agama pertama yang

mengusung hak-hak perempuan di saat peradaban-peradaban dan agama lain tidak

memandang atau tidak menghargai perempuan sebagai manusia yang seutuhnya.3 Tata cara pembagian harta warisan dalam Islam telah diatur dengan

sebaik-baiknya. Al-Qur’an menjelaskan dan merinci detail hukum-hukum yang

berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorangpun. Pembagian

masing-masing ahli waris baik itu laki-laki maupun perempuan telah ada

ketentuannya dalam al-Qur’an. Firman Allah SWT : “ surat an-nisa ayat 11”.

ke-7 Masehi seringkali menjadikan wanita sebagai sesajen bagi para dewa. Hak hidup istri berakhir saat suaminya meninggal: istri harus dibakar hidup-hidup saat mayat suaminya dibakar. Ajaran Budha, memastikan perempuan selalu tunduk pada laki-lakibahkan seorang ibu mesti tunduk kepada anak laki-lakinya. Jika istri mandul maka ia akan diceraikan begitu saja, sebab perempuan diperlukan hanya untuk melahirkan saja. Perempuan digambarkan sebagai makhlut jahat, kotor dan dipergunakan sebagai alat saja. Dalam peradaban Cina, terdapat petuah-petuah yang tidak memanusiakan perempuan. Ajaran Yahudi menuduh perempuan sebagai sumber laknat dan fitnah karena Hawa menjadi penyebab Adam terusir dari surge. Dan anak perempuan boleh dijual jika si ayah tidak memiliki anak laki-laki. Tradisi nasrani tidak jauh berbeda, dalam konsili yang diadakan pada abad ke-5 Masehi dinyatakan, bahwa perempuan tidak memiliki ruh yang suci. Selanjutnya, pada abad ke-6 Masehi Konsili menyimpulkan bahwa perempuan adalah manusia yang semata-mata diciptakan untuk melayani laki-laki. Lihat Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an. (Bandung: Mizan, 1966), cet ke-II, h. 296-297., dan Jeanne Becher, Perempuan, Agama, dan Seksualitas Studi tentang Pengaruh Berbagai Ajaran Agama Terhadap Perempuan, (Jakarta: P.T. BPK Gunung Mulia, 2004), cet. Ke-2, h. 214.

3

(14)

Sementara masyarakat yang memakai sistem matrilineal seperti

Minangkabau; warisan diturunkan kepada kemenakannya, petitih adat

Minangkabau mengatakan “dari niniak mamak, dari mamak ke kamanakan” (dari

nenek ke mamak, dari mamak ke kemenakan). Pengertian nenek (moyang), sudah

tentu berdasarkan sistim matrilinial, yaitu dari mamak, dari mamak ke kemenakan

ialah turunnya hak waris dari sako dan pusako (saka dan pusako).4

Berdasarkan sistem kekerabatan Minangkabau yang matrilinieal tersebut,

seorang lelaki Minangkabau dalam fungsinya sebagai mamak (saudara laki-laki

ibu) mempunyai tanggung jawab untuk memelihara anak-anak dari saudara

perempuannya. Bahkan dapat dikatakan hubungan seorang mamak dengan para

kemenakan (anak dari saudara perempuannya) secara adat jauh lebih kuat dari

hubungan seorang ayah dengan anak-anaknya. Hal ini dapat dilihat dari aturan

adat yang menetapkan para kemenakanlah yang nantinya mewariskan harta

warisan dan kedudukan adat sako dan pusako seorang mamak.5

Adat Minangkabau mempunyai bentuk kewarisan tersendiri, ketentuan

adat Minangkabau mengenal dua macam harta yang akan diwariskan, yaitu:

Harta Pusako Tinggi dan Harta Pusako Rendah. Harta pusako tinggi diwariskan

secara turun temurun kepada suatu kaum, sedangkan harta pusako rendah adalah

hasil pencaharian seseorang dan diwariskan menurut hukum Islam (Faraidh).

4

A.A. Navis, Alam Takambang Jadi Guru: Adat Kebudayaan Minangkabau, (Jakarta: Grafiti Pres, 1984), h. 160-161.

5

(15)

Beberapa azas pokok kewarisan Minangkabau itu akan dituangkan dalam

penjelasan sebagai berikut:6 1. Azas/Prinsip Unilateral

Unilateral yang dimaksud di sini adalah hak kewarisan hanya berlaku

dalam satu garis kekerabatan, dan satu garis kekerabatan di sini ialah garis

kekerabatan melalui ibu. Harta pusako yang diterima dari nenek moyang

hanya diturunkan kepada pihak perempuan, tidak ada yang melalui garis

laki-laki baik ketas maupun kebawah. Dengan demikian, maka yang dianggap

keluarga adalah kelompok tertentu yang disebabkan oleh kelahiran

perempuan. Susunan keluarga menurut pemahaman ini adalah, ibu nenek ; ke

atas lagi yaitu ibunya nenek. Ke samping ialah laki-laki dan perempuan yang

dilahirkan oleh ibu, dan laki-laki dan perempuan yang dilahirkan oleh ibunya

ibu. Ke bawah adalah anak, baik laki-laki atau perempuan dan seterusnya.

2. Azas Kolektif

Azas ini mengandung maksud bahwa yang berhak atas harta pusako

bukanlah orang perorang, melainkan suatu kelompok secara bersama-sama.

Merujuk kepada azas ini, maka harta tidak dibagi perorangn, hanya diberikan

kepada kelompoknya dalam bentuk utuh (tidak terbagi).

3. Azas Keutamaan

Maknanya, dalam penerimaan harta pusako atau menerima peranan

untuk mengurus harta pusako, ada tingkatan-tingkatan hak yang menyebabkan

6

(16)

suatu pihak lebih berhak dibandingkan dengan yang lain, dan selama yang

lebih berhak itu maka yang lain akan belum menerimanya.

Dalam ketentuanya pewarisan Harta pusako tinggi di Minangkabau jika

ibu meninggal, maka yang mendapatkan warisan adalah anak perempuannya saja.

Sedangkan jika yang meninggal itu adalah sang bapak, maka yang menjadi ahli

waris bukanlah anak kandungnya, melainkan anak-anak saudara wanita si bapak

tersebut atau para kemenakannya ynag perempuan.

Jadi dalam sistem pewarisan menurut adat Minangkabau harta pusako

tinggi anak lelaki tidak mendapatkan bagian harta warisan. Pada masyarakat

Minangkabau, dengan mengingat bahwa sistem pewarisannya adalah kolektif,

maka harta warisan itu adalah harta milik dari satu keluarga atau kelompok.

Barang-barang yang demikian hanya dapat dipakai saja (ganggam bauntuak)7

oleh segenap warga keluarga yang bersangkutan, dan tidak dapat dimiliki oleh

warga keluarga itu secara individual. Jadi, para anggota keluarga itu hanya

mempunyai hak pakai saja.8

Harta pusako tinggi ini tidak boleh diperjual - belikan dan hanya boleh

digadaikan. Menggadaikan harta pusako tinggi hanya dapat dilakukan setelah ada

permusyawarahan diantara petinggi kaum, diutamakan digadaikan kepada suku

yang sama tetapi dapat juga digadaikan kepada suku yang lain.

7

Ganggam Bauntuak (genggam Beruntuk), merupakan istilah yang dipakai orang Minangkabau dalam perihal kewarisan yang artinya, harta itu dimilik secara bersama-sama dan tidak boleh dibagi untuk pribadi kaum.

8

(17)

Tergadainya harta pusako tinggi ini karena 4 hal yaitu : “Gadih gadang

indak balaki, Mayik tabujua diateh rumah, Rumah gadang katirisan,

Mambangkik batang tarandam”. ( Perawan tua yang tidak bersuami, mayat

terbujur di atas rumah, rumah besar bocor, membongkar kayu terendam).

Kemudian yang menjadi pertanyaan, dewasa ini seiring berjalannya waktu

kedudukan harta pusako tinggi tidak hanya digadaikan namun sudah ada yang

diperjual belikan. Kenapa harta pusako tinggi ini diperjual belikan?, apakah orang

Minangkabau sudah tidak lagi menjunjung adat istiadat budaya Minangkabau

yang mana harta pusako tinggi itu tidak boleh diperjualbelikan? Apakah yang

melatarbelakangi sebagian masayarakat Minangkabau memperjual belikan harta

pusako tinggi? Apakah ada titik temu atas permasalahan jual beli harta pusako

tinggi? Atau mungkin masyarakat Minangkabau sudah melupakan adat istiadat

Minangkabau yang mana harta pusako tinggi hanya boleh digadaikan dan tidak

boleh untuk diperjualbelikan?

Dari berbagai penjelasan dan pertanyaan di atas penulis tertarik untuk

mengangkat tema besar tersebut kedalam sebuah skripsi dengan judul:

”Pergeseran Hukum Waris Adat Minangkabau (Jual Beli Harta Pusako

(18)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Untuk menhindari melebarnya pembahasan, penulis merasa perlu

untuk memberikan batasan dan perumusan masalah terhadap objek yang

dikaji. Lingkup masalah penelitian ini terbatas pada masalah jual beli harta

pusako tinggi yang telah dipaparkan pada latar belakang di atas dan hanya

terfokus pada masyarakat Minangkabau yang berdomisili di Kecamatan

Banuhampu, dengan sampel penelitian di Nagari Taluak IV Suku Agam

Sumatera Barat.

Adapun yang menjadi fokus penelitian di sini adalah apakah

masyarakat Minangkabau tersebut masih tetap menggunakan kewarisan adat

Minangkabau dalam menyelesaikan masalah kewarisannya?, dan untuk

kewarisan adat Minangkabau ini, penulis membatasinya pada permasalahan

pewarisan harta pusako tinggi.

2. Perumusan Masalah

Pada dasarnya menurut teori dalam hukum Islam Tata cara pembagian

harta warisan dalam Islam telah diatur dengan sebaik-baiknya. Al-Qur’an

menjelaskan dan merinci detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak

kewarisan tanpa mengabaikan hak seorangpun. Pembagian masing-masing

ahli waris baik itu laki-laki maupun perempuan telah ada ketentuannya dalam

al-Qur’an. Firman Allah SWT : “ surat an-nisa ayat 11”. Sedangkan dalam

(19)

menjadi harta pusako rendah dan harta pusako tinggi yang mana harta pusako

rendah dibagi menurut kewarisan yang ditentukan dalam al-Qur’an sedangkan

harta pusako tinggi mempunyai aturan tersendiri yaitu hanya diwariskan

kepada pihak perempuan dan tidak boleh di perjual belikan. Akan tetapi

dalam prakteknya khususnya dalam hal harta pusako tinggi ini dalam

perkembangannya telah banyak yang diperjual belikan

Rumusan tersebut dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan sebagai

berikut :

a. Bagaimana pemanfaatan Harta Pusako di masayarakat Minangkabau

menurut hukum Islam dan hukum adat Minangkabau?

b. Bagaimana eksistensi hukum kewarisan harta pusako tinggi adat

minangkabau di masyarakat Minangkabau Nagari Taluak IV suku

Kecamatan Banuhampu Sumatera Barat?

c. Faktor apa saja yang mempengaruhi pergeseran hukum kewarisan adat

Minangkabau di Nagari Taluak IV suku Kecamatan Banuhampu Sumatera

Barat?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian, adalah :

1. Mengetahui pemanfaatan perbandingan harta pusako menurut hukum Islam

dan hukum adat Minangkabau

(20)

3. Mengungkap hal-hal apa saja yang melatar belakangi pergeseran hukum adat

di Minangkabau khususnya dalam kewarisan harta pusako tinggi.

Manfaat Penelitian, adalah :

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kejelasan bagaimana hukum

waris dalam ketentuan hukum Islam dan hukum adat di Minangkabau.

2. Untuk memberikan kontribusi positif dari akademisi dalam rangka

memberikan solusi terhadap pergeseran hukum waris adat Minangkabau

khususnya kewarisan harta pusako tinggi.

3. Sebagai bentuk khazanah kelimuan dan kewarisan bagi siapa saja

yangmembaca hasil penelitian ini.

D. Metode Penelitian

1. Jenis dan Metode Penelitian

Jenis penelitian yang akan penulis lakukan adalah penelitian kualitatif, yakni

dengan menggunakan instrument penelitian lapangan. Sedangkan metode

yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yakni berusaha

menyajikan fakta-fakta yang objektif sesuai dengan kondisi dan situasi yang

sebenarnya terjadi pada saat penelitian dilakukan.

Di samping itu peneliti juga menggunakan instrument penelitian kepustakaan,

yaitu penelitian dengan jalan menelaah buku-buku ilmiah, meneliti buku-buku

para ulama dan faktor penunjang yang melandasi dasar-dasar teoritis.

(21)

Dalam penelitian ini penulis mengambil lokasi di Nagari Taluak IV Suku

Kecamatan Banuhampu Kabupaten Agam Sumatera Barat.

3. Sumber Data

a. Data Primer

Merupakan data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat.

Data ini meliputi interview dengan pemuka adat, tokoh agama dan

beberapa tokoh masyarakat yang dianggap mengetahui tentang pergeseran

hukum waris adat Minangkabau.

b. Data Sekunder

Merupakan data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi

kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah

yang diajukan yang memberikan penjelasan tentang bahan dan data

primer. Dokumen-dokumen ini adalah al-Qur’an, Hadist, buku-buku

ilmiah, buku-buku yang berhubungan dengan adat Minangkabau,

literatur-literatur fikih serta sumber lainnya yang mendukung dalam penulisan ini

E. Review Kajian Terdahulu

Dari beberapa literatur skripsi yang berada di perpustakaan fakultas

syariah dan hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta penulis mengambilnya untuk

(22)

Nama

Penulis/Judul/Tahun

Hengki

Afrizal/Eksistensi

Penerapan Hukum

Waris Adat

Minangkabau Pada

Masyarakat Minang

Kecamatan Cileungsi

Kabupaten Bogor/2009

Mardiono/Pembagian

Harta Waris (Studi

Komparatif Penafsiran

Surat Al-Nisa’ ayat 11

-12 dengan Adat di

Minangkabau/2010

Substansi

Peninjauan terhadap

Eksistensi Hukum Waris

Adat Minangkabau pada

Masyarakat Minang

Kecamatan Cileungsi

Kabupaten Bogor

Perbandingan Antara

Hukum Waris Adat

Minangkabau dengan

Penafsiran Surat

Al-Nisa’ ayat 11-12

Keterangan

Pembahasan Tentang

Pemahaman Masyarakat

Minang di Rantau

terhadap Hukum Waris

Adat Minangkabau

Pembahasan Hukum

Waris adat dan

Pembahasan Hukum

Waris Menurut

Penafsiran Surat

Al-Nisa’ ayat 11-12

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam

(23)

suatu dari masalah yang akan diteliti. Adapun system penulisan skrispi ini sebagai

berikut :

Bab pertama : Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,

pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, metode penelitian dan tekhnik penulisan,

review kajian terdahulu dan sistematika penulisan.

Bab kedua : Tinjauan Umum Tentang Kewarisan harta pusako yang

meliputi; Kewarisan menurut hukum Islam, kewarisan

menurut adat Minangkabau, dan Pemanfaatan harta pusako

Bab ketiga : Kondisi Objektif Kecamatan Banuhampu yang meliputi;

Tinjauan Umum dan Sejarah Singkat, Geografis dan

Demografis, Agama, Pendidikan, Sosial Budaya dan Adat

Istiadat dan Nagari Taluak IV Suku Kecamatan Banuhampu

sebagai sampel penelitian.

Bab keempat : Posisi Harta Pusako Tinggi di Masyarakat Nagari Taluak IV

Suku Kecamatan Banuhampu Kabupaten Agam Sumatera

Barat, Peranan Harta Pusako tinggi, Faktor-faktor dan

Penyebab Bergesernya Harta Pusako Tinggi, dan Analisa

Penulis terhadap Pergeseran kewarisan Harta Pusako Tinggi.

Bab Lima : Bab Penutup, dalam bab ini penulis berupaya menyimpulkan

dari analisa dan pembahasan di bab-bab sebelumnya, terakhir

(24)
(25)

14

KEWARISAN HARTA PUSAKO TINGGI

A. Kewarisan Menurut Hukum Islam 1. Pengertian

Dalam hukum islam, kewarisan dikenal dengan istilah ilmu faraidh

atau dengan ilmu mirast. Dalam bahasa arab, kata faraidh menunjukkan jamak

dari bentuk bentuk tunggal faridah yang berarti satu ketentuan atau

bagian-bagian tertentu. Sedangkan kata al-miraasts dalam bahasa arab merupakan

bentuk masdar dari kata waratsa-yaritsu-irtsan-wamiiraatsan. Secara

epistimologi miraasts berarti berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada

orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain (sesuatu ini bersifat umum),

bisa bersifat harta atau ilmu keluluhan.1

Sedangkan secara terminology memiliki beberapa defenisi pula, di

antaranya :

a. Hak-hak kewarisan yang jumlahnya telah ditentukan secara pasti dalam

al-Qur’an dan sunnah nabi.

b. Pengetahuan tentang pembagian warisan dan tata cara menghitung yang

terkait dengan pembagian harta waris dan pengetahuan tentang bagian

yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak waris.2

1

M. Ali. Ash Shabuniy, Hukum Waris Islam, ( Surabaya: Al-Ikhlas, t.th), h. 1

2

(26)

c. Pemindahan harta peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia

kepada yang masih hidup baik mengenai harta yang ditinggalkannya,

orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan tersebut,

bagian-bagian masing-masing ahli waris, maupun cara penyelesaian harta

peninggalan tersebut.

Kewarisan merupakan bentuk dasar dari kata waris yang mendapatkan

imbuhan ke- dan akhiran –an. Menurut Prof. Dr. Amir Syarifuddin di dalam

bukunya hukum kewarisan islam, hukum kewarisan islam adalah seperangkat

peraturan tertulis berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Nabi tentang hal ihwal

peralihan harta atau berujud harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup

yang diakui dan diyakini berlaku dengan mengikat untuk semua yang beragama

islam.

2. Dasar Hukum

Al-Qur’an menjelaskan ketentuan-ketentuan faraidh ini jelas sekali, Allah

berfirman dalam Surat An-Nisa ayat 7 yang berbunyi :























































Artinya : Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah

ditetapkan. (An-Nisa: 7)3

3

(27)

Sedangkan sumber hukum kewarisan islam dari Al-Hadist yang

diriwayatkan Ibnu Abbas r.a :

4

Artinya: Dari Ibnu Abbas berkata: bersabda Raulullah Saw, bagilah

harta warisan diantara ahli waris sesuai dengan ketentuan kitabullah. ( HR.

Muslim).

Ijma dan ijtihas para sahabat imam-imam mazhab dan mujtahid-mujtahid

kenamaan mempunyai peranan yang tidak kecil sumbangannya terhadap

pemecahan-pemecahan masalah waris yang belum dijelaskan oleh nash-nash yang

sharih, misalnya:

a. Status saudara-saudara yang mewarisi sama-sama dengan kakek. Dalam

al-Qur’an hal ini tidak dijelaskan yang dijelaskan adalah status saudara-saudara

bersama-sama dengan ayah atau bersama-sama dengan laki-laki yang dalam

keadaan ini mereka tidak mendapat apa-apa lantaran hijab kecuali dalan

kalalah mereka mendapatkan. Menurut kebanyakan pendapat sahabat dan

imam-imam mazhab yang mengutip pendapat Zaid bin Tsabit,

saudara-saudara tersebut mendapat pusako secara muqasamah dengan kakek.

b. Status cucu yang ayahnya lebih dulu mati daripada kakek yang bakal diwarisi

yang mewarisi bersama-sama dengan saudara-saudara ayah. Menurut

4

(28)

ketentuan mereka tidak mendapat apa-apa lantaran terhijab oleh saudara

ayahnya, tetapi menurut kitab undang-undang Wasiat Mesir yang

mengistinbatkan dari ijtihad para ulama mutaqaddimin, mereka diberi bagian

berdasarkan atas wasiat wajibah.5

3. Rukun dan Syarat Kewarisan Islam a. Rukun Kewarisan

Dalam masalah pembagian harta waris ini terdapat rukun-rukun yang

harus dipenuhi yaitu:

a. Muwaris (orang yang member warisan), yaitu orang yang meninggal

dunia baik meninggal dunia secara hakiki atau karena keputusan hakim

dinyatakan mati berdasarakan beberapa sebab. Harta peninggalan yang

ditinggalkan berhak dipusakai oleh orang lain.

b. Waris, (penerima waris), yaitu orang yang mempunyai hubungan dengan

orang yang telah meninggal dengan suatu sebab dia mendapatkan harta

pusaka, baik hubungan itu karena hubungan kekeluargaan atau

perkawinan.

c. Maurus, (benda yang diwariskan), yaitu harta peninggalan si mayit yang

akan dipusakai setelah dikurangi biaya perawatan, hutang piutang, zakat

dan setelah digunakan untuk wasiat.6

5

Abid Bisri Mostafa, Terjemah Sahih Muslim, Jilid III, (Semarang: Asy Sifa, 1993), h. 146

6

(29)

b. Syarat Kewarisan7

Selain harus memnuhi rukun waris yang telah disebutkan, kewarisan

itu juga memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu:

1) Matinya Pewaris

Seseorang diketahui sebagai pewaris apabila ia telah mati. Kematiannya

dapat diketahui secara pasti melalui informasi yang didukung oleh fakta

atau mungkin melalui proses hukum, apabila alternatif ini tidak dapat

dipenuhi maka calon pewaris masih dinyatakan hidupnya.

2) Hidupnya Ahli Waris Disaat Kematian Pewaris

Para ahli waris yang benar-benar hidup disaat kematian pewaris berhak

mewarisi harta peninggalannya. Kedua syarat pusaka mempusakai

sebagaimana diterangkan di atas menimbulkan problem-problem antara

lain pusaka mafqud, pusaka anak dalam kandungan, pusaka orang yang

mati berbarengan. Problem ini harus dipecahkan karena adanya keraguan

tentang atau matinya mereka disaat kematian orang yang mewariskan.

3) Tidak Ada Penghalang-Penghalang Kewarisan

Walaupun kedua syarat di atas telah ada pada pewaris dan ahli waris,

namun salah satu dari mereka tidak dapat mewariskan harta

peninggalannya kepada yang lain atau mewarisi harta peninggal dari yang

lain selama masih terdapat dari salah satu empat penghalang kewarisan

yaitu perbudakan, pembunuhan, perbedaan agama dan perbedaan Negara.

7

(30)

Adapun yang dimaksud penghalang mewarisi adalah tindakan atau hal-hal

yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mempusakai beserta

adanya sebab-sebab dan syarat-syarat mempusakai.

Hal-hal yang menyebabkan terhalangnya waris antara lain adalah sebab

membunuh pewaris, sebab berlainan agama, sebab perbudakan.8

4. Sebab-sebab Kewarisan Dalam Islam

Hal-hal yang menyebabkan terjadinya saling waris mewarisi adalah

sebagai berikut:

a. Sebab perkawinan

Hubungan perkawinan adalah suami istri yang saling mewarisi karena mereka

melakukan akad perkawinan yang sah. Perkawinan baru dikatakan sah apabila

nikah yang telah dilakukan sesuai dengan rukun dan syarat perkawinan serta

bebas dari halangan perkawinan.

Dengan demikian suami istri dapat menjadi ahli waris dari istrinya maupun

sebaliknya. Walaupun suami istri tersebut belum melakukan hubungan suami

istri (wataha), asal nikah mereka sah mereka dapat mewarisi. Dalilnya adalah

surah An-Nisa ayat 12. Pewarisan karena hubungan akan tetap berlaku

sepanjang suami istri yang wafat masih dalam batas-batas kewajaran, yakni ia

masih dalam talak raj’I dan ahli waris antara keduanya masih ada.9

8

Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Grafindo Persada, 1995). h. 66

9

(31)

b. Sebab keturunan dan nasab

Adanya kata nasab ini ditimbulkan karena adanya perkawinan atau

merupakan kelanjutan dari adanya hubungan perkawinan. Perlu ditegaskan di

sini bahwa yang dimaksud nasab di sini adalah nasab haqiqi, yakni kerabat

yang sebenarnya. Sebab Sayid Sabiq menyebut sebab wala dengan sebab

nasab secara hukmi.

Sah hubungan nasab, bukan saja karena telah terjadi akad perkawinan, akan

tetapi harus pula terjadi akan hubungan biologis antara suami istri. Meskipun

begitu bisa juga tanpa terjadinya hubungan biologis dari suami istri tersebut.

Hubungan nasab atau kekerabatan, yang lebih berhak menerima warisan

adalah kerabat yang lebih dekat dengan pewaris tanpa ada yang menghijab,

hubungan kekerabatan dengan ini selain dapat disebabkan oleh unsure

kelahiran juga melalui alat bukti pengakuan.10 c. Sebab memerdekakan budak (wala)

Adapun yang dimaksud mewarisi dengan sebab hubungan wala’ adalah seseorang menjadi ahli waris karena ia telah memerdekakan budak.

Kewarisan dengan sebab wala’ syaratnya masih hidupnya bekas tuan, telah wafatnya budak yang telah dimerdekakan dan ada harta yang ditinggalkan

oleh budak itu. Jadi bekas tuan adalah ahli waris dari bekas budaknya dan

dapat berkedudukan ssebagai asabah apabila ia telah memiliki keturunan.11

10

Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Grafindo Persada, 1995). h. 68

11

(32)

5. Pembagian Warisan Menurut Al-Qur’an (Al- Furudl Muqaddarah)

Al-Furudl Muqaddarah adalah bagian-bagian tertentu yang telah

ditetapkan syara’ bagi ahli waris dalam pembagian harta warisan. Berdasarkan

beberapa dalil baik dalam al-Qur’an maupun Hadis Nabi Muhammad Saw

dapatlah diketahui bahwa al-furudl muqaddarah itu ada 6 macam yaitu:

2/3;1/2;1/4;1/8;1/3;dan1/6.12

Menurut al-Qur’an surah An-Nisa ayat 11, 12 dan 176 adalah waris yang

mendapat saham tertentu berjumlah (9) Sembilan orang, dengan perincian sebagai

berikut:

a. Surah An-Nisa ayat 11, adalah ahli waris itu adalah anak perempuan, ayah,

dan ibu.

b. Pada surah An-Nisa ayat 12, ahli waris itu adalah suami, istri, saudara

laki-laki seibu dan saudara perempuan seibu.

c. Pada surah An-Nisa ayat 176, ahli waris itu adalah saudara perempuan

sekandung dan seayah.

Adapun bagian Ashabul Furudh yang berjumlah Sembilan orang yang

telah ditentukan dalam al-Qur’an adalah sebagai berikut:

a. Bagian anak perempuan

Dalam Surah An-Nisa ayat 11 dinyatakan:

 …





















 ….. 12
(33)

Artinya: …..dan jika anak itu semuanyaperempuan lebih dari dua,

maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; Jika anak

perempuan itu satu orang saja, maka ia memperoleh separo harta….(QS.

An-Nisa: 11).13

Menurut Mufassirin, ayat ini menghendaki bahwa seorang anak

perempuan bagiannya setengah. Akan tetapi berbeda pendapat tentang kata

َقْوَف

ِنْيَتَنْثا apakah dua orang atau tiga orang ketas yangberhak mendapat bagian

dua pertiga (2/3), Al-Maraghi meninformasikan bahwa jumhur ulama

menafsirkan kata ِنْيَتَنْثاَقْوَفdengan dua anak perempuan.14 b. Bagian ayah dan ibu

Surah An-Nisa ayat 11 menyatakan:

 …































 …

Artinya:…Dan untuk dua orang ibu bapak bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan; jika yang meninggal itu mempunyai anak. Jika yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja) maka ibu mendapat sepertiga (1/3), jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara maka ibunya mendapat seperenam…

Dari ayat tersebut dapat diketahui, ayah dan ibu masing-masing

mendapat seperenam apabila ada anak, akan tetapi apabila tidak anak dan ahli

warisnya ibu bapaknya saja maka ibu mendapat sepertiga dan sisanya untuk

ayah.

13

Dahlan Shaleh, M.D. Dahlan, Ayat-ayat Hukum Tafsir dan Uraian Perintah-perintah Dalam al-Qur’an, (Bandung: CV Diponegoro, 1990), cet II, h. 129

14

(34)

c. Bagian saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu

Dalam surah An- Nisa ayat 12 yang berbunyi:







































 …

Artinya:..Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta, tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam sepertiga itu…

Ayat di atas dapat dipahami, bahwa saudara laki-laki dan saudara

perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam apabila ia sendiri.

Akan tetapi apabila dua orang atau lebih saudara laki-laki seibu, ia mendapat

sepertiga. Apabila seorang saudara laki-laki seibu bersama-sama seorang

saudara perempuan seibu mereka membagi 2:1 dari bagian 1/3.15

Menurut al-Maragy, saham yang sama antara saudara laki-laki dan

saudara perempuan seibu karena keduanya menggantikan kedudukan ibu

konsekuensinya ia mendapat saham sesuai dengan saham ibu.16 d. Bagian saudara perempuan sekandung

Bagian saudara perempuan sekandung dapat dipahami dari surah

An-Nisa ayat 176 yang berbunyi:

15

Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Beirut: Darul Fiqr, 1973), h. 109.

16

(35)

...













































..

Artinya:…Jika seseorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai

saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkan, dan saudaranya yang laki-laki mempusakoi (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu sendiri) dari saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bahagian dari

saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang perempuan… (QS. An-Nisa:

176).

Penjelasan ayat ini adalah apabila seorang saudara perempuan maka

baginya 1/2 , akan tetapi apabila bersam-sama dengan saudara laki-laki maka

bagiannya adalah 2:1.

e. Bagian saudara perempuan ayah

Dasar hukum saudara perempuan kandung seayah menjadi ahli waris

adalah sama dengan saudara perempuan sekandung yaitu surah An-Nisa ayat

176. Dengan demikian bagiannya juga sama kecuali menurut Rasyid Ridha

apabila saudara perempuan sekandung, maka saudara perempuan seayah

mendapat 1/6 sebagai pelengkap.

f. Bagian suami istri

Hal ini ditegaskan dalam surah An-Nisa ayat 12. Dalam surat tersebut

(36)

suami mendapat bagian ¼ jika tidak ada anak isteri mendapat bagian 1/4, dan

jika ada maka istru mendapat 1/8.

Dalam pembahasan Furudul Muqaddarah disebutkan juga ahli waris

yang berhak mendapatkan warisan apabila tidak terhijab, baik laki-laki

maupun perempuan yang berjumlah tujuh belas (17) orang. Sepuluh (10) di

antaranya adalah laki-laki dan tujuh (7) orang perempuan.

Ahli waris laki-laki terdiri dari anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak

laki-laki terus kebawah, ayah, kakek terus ketas, saudara laki-laki, anak

saudara laki-laki, paman, anak paman, suami, orang yang memerdekakan

budak. Sedang ahli waris perempuan ialah; anak perempuan, cucu perempuan

dari anak laki-laki, ibu, nenek, saudara perempuan, istri, orang perempuan

yang memerdekakan budak.

Jika ketujuh belas ahli waris itu ada, dalam hal pembagian harta

warisan, maka yang berhak menerima warisan hanya lima orang yakni; ayah,

ibu, anak laki-laki, anak perempuan, suami/istri. Hal ini disebabkan karena

kelima ahli waris tersebut yang paling dekat dengan pewaris dan ahli waris

tersebut tidak bisa terhijab dengan hijab hirman.

B. Harta PusakoMenurut Hukum Adat Minangkabau 1. Masyarakat dan Problematika Adat Minangkabau

Secara struktural orang minang selalu menjadikan adat minangkabau

(37)

kebiasaan setempat yang mengatur interaksi masyarakat dalam suatu

komunitas. Adat yang merupakan kompleksitas, norma-norma, kepercayaan

dan etika mempunyai arti ganda. Satu sisi adat berarti kumpulan kebiasaan

setempat, disisi lain adat juga dianggap sebagai keseluruhan sistem struktural

masyarakat. Dalam konteks ini, adat adalah seluruh sistem nilai, dasar dari

keseluruhan penilaian etis dan hukum, dan juga dipahami sebagai sumber dan

harapan sosial yang mewujudkan pola perilaku ideal.

a. Letak Geografis dan Demografis Tradisional Masyarakat Adat di Minangkabau

Sebelum dinamakan propinsi Sumatera Barat, kawasan ini jauh

sebelumnya sudah dihuni oleh orang Minangkabau. Wilayah

Minangkabau lama lebih luas dari wilayah propinsi Sumatera Barat

sekarang. Waktu itu meliputi wilayahnya: Provinsi Sumatera Barat,

Provinsi Riau, dan sebagian Provinsi Jambi.17 Dalam tulisan ini masalah yang menyinggung Provinsi Riau dan Jambi tidak akan dibicarakan.

Batas alam atau luas wilayah Minangkabau dapat ditemukan dalam

literaratur tradisionilnya seperti tambo atau kaba.18 Wilayah dan

bagian-bagian Minangkabau meliputi dari Riak Nan Badabua, Sehiliran Pasia

17

Taufik Bey Sutan Permato, Rao-Rao Katitiran Diujung Tunjuk Adat dan Kebudayaan, (t.t: t.p,t.th), h. 15

18

(38)

Nan Panjang: dari Bayang ka Sikiliang Aia Bangih, Gunuang Malintang

Hilia: Pasaman, Rao, dan Lubuak Sikapiang, kemudian Batu Basurek,

Sialang Balantak Basi, Gunuang Patah Sambilan, sampai ke Durian

ditakuak Rajo. Mengkonkritkan batas-batas wilayah Minangkabau yang

disebut di atas, Ahmad Dt. Batuah dan A. Dt. Madjoindo dalam Tambo

Minangkabau dan adatnya, memaparkan batas wilayah Minangkabau dari

utara sampai Sekilang Aia Bangih yaitu perbatasan Sumatera Barat. Timur

sampai Taratak Aia Hitam (Indragiri), sialang Balantak Basi (batas dengan

Riau). Tenggara sampai sipisok-pisok Pisau hanyuik, durian ditakuak

Rajo, tanjung simaledu, ketiganya adalah bagian barat Propinsi Jambi dan

lauik Nan Sadidiah yaitu Samudera Hindia.19

Sementara itu Minangkabau asli dipaparkan oleh de Jong yaitu

yang disebut darek, terdiri dari tiga luhak.20. Luhak Tanah Datar sekarang

Kabupaten Tanah Datar, Luhak Agam – Kabupaten Agam, Luhak Lima

Puluah Koto – Kabupaten Lima Puluh Kota. Sedangkan daerah

Rantau21merupakan perluasan perluasan berbentuk koloni dari setiap

luhak. Wilayah rantau Luhak Tanah Datar meliputi Kubang Tigobaleh,

Pasisia Barat, Pasisia Selatan dari Padang sampai Indra Pura dan Muara

19

Taufik Bey Sutan Parmato, Rao-Rao Ranah Katitiran Diujung Tunjuk, Adat dan Kebudayaan, (t.t: t.p, t.th), h. 15

20

Luhak adalah nama kawasan pemerintahan di Minangkabau zaman dahulu yang kini setara dengan kabupaten dibawah keresidenan, tetapi di atas nagari.

21

(39)

Labuah. Rantau Luhak Agam, dari Pesisir Barat, sejak dari Pariaman

sampai Aia Bangih, Lubuk Sikapiang dan Pasaman. Rantau Luhak Limo

Puluah Koto meliputi Bangkinang, Lambah Kampar Kiri, Kampar Kanan

dan Rokan.22

Dalam tambo Minangkabau daerah Luhak Nan Tigo inilah yang

disebut dengan alam Minangkabau. Menurut tambo dan dipercayai orang

Minangkabau sampai sekarang, pada Luhak Nan Tigo inilah dahulu nenek

moyang orang Minangkabau mula-mula mendirikan Koto, Dusun dan

Nagari23 sampai menjadi Luhak Nan Tigo.

Daerah Sumatera Barat yang berada antara Luhak Nan Tigo

dengan daerah Rantau, seperti daerah Sawahlunto Sijunjuang di sebelah

Timur, daerah Solok – Muara Labuah di sebelah Tenggara, daerah

Sicincin – Lubuk Alung di sebelah Barat dinamakan daerah peralihan dari

daerah Minangkabau asli dengan daerah rantau. Penduduk di daerah itu

masih dapat mengkaji kembali asal-usulnya ke daerah Luhak Nan Tigo,

yang nantinya bisa menjadi kebanggaan bagi mereka, lebih-lebih yang

22

Mochtar Naim, Pola Migrasi Suku Minangkabau, ( Yogyakarta: Gdjah Mada University Press, 1979), h. 14-15.

23

(40)

teryata asal usul mereka berasal dari golongan yang terpandang didaerah

asalnya itu.24

b. Sistem Kekerabatan Matrilineal

Sistem hubungan atau sistem kekerabatan matrilineal yaitu

kekerabatan yang bertumpu pada garis keturunan ibu, dewasa ini satu-satunya

hanya terdapat di kalangan etnis Minangkabau, sedangkan pada etnis-etnis

atau suku-suku bangsa lain selain Minangkabau di Indonesia menggunakan

sistem kekerabatan Patrilineal. Seperti Aceh, Batak, Sunda, Jawa, Bugis dan

sebagainya. Artinya asal-usul anak dikaji dari keturunan berdasarkan ayah.25 Dasar untuk menetapkan kapan sistem matrilineal itu mulai dijalankan

di Minangkabau tidak dapat ditentukan sejarahnya yang tepat, sebab tidak

ditemukannya bagaimana pembukuan atau konsep awal dari sistem awal

tersebut, yang menyebabkan sulitnya membandingkan perubahan apa yang

telah terjadi sepanjang sistem tersebut dilaksanakan.

Merujuk pada tambo alam Minangkabau, sistem matrilineal telah

bermula semenjak Datuk Katumanggungan pendiri sistem kelarasan Koto

Piliang dan Datuk Perpatih nan Sabatang pendiri keselarasan Bodi Caniago.

Kedua orang ini mempunyai ibu yang sama, yaitu Puti Indo Jalito, tetapi

berlainan ayah. Kedua orang bijaksana ini memerintah kekerajaan

24

Amir MS, Adat Minangkabau, Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, ( Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001 ), h. 132

25

(41)

Minangkabau dengan dua sistem yang disebut “laras’’. Di dalam berbagai

tatanan dan hukum kedua kelarasan tersebut tersebut mempunyai perbedaan,

tetapi basis tetap sama: tanah sabingkah lah bauntuak, rumpuik sahalai lah

babagi, malu nan alun kababagi. Atau dikatakan juga: malu urang koto

piliang, malu urang bodi caniago.26

Sistem ini dipertahankan masyarakat Minangkabau sampai sekarang,

bahkan selalu disempurnakan sejalan dengan usaha menyempurnakan sistem

adatnya. Terutama dalam mekanisme penerapannya di dalam kehidupan

sehari-hari. Oleh karena itu peranan seorang penghulu atau ninik mamak,

dalam kaitan bermamak sangatlah penting.

Bahkan peranan penghulu dan ninik mamak itu boleh dikatakan faktor

penentu dan juga sebagai indikator, apakah mekanisme sistem matrilineal itu

berjalan dengan semestinya atau tidak. Jadi keberadaan sistem ini tidak hanya

terletak pada kedudukan dan peranan kaum perempuan saja, tetapi punya

hubungan yang sangat kuat dengan institusi ninik mamaknya di dalam sebuah

kaum, suku atau klan.

c. Sistem Kemasyarakatan Kaum dan Pesukuan

Suku adalah unit utama dari struktural social masyarakat

Minangkabau, betapa pentingnya arti sebuah suku bagi kehidupan masyarakat

Minangkabau sehingga ia di tempatkan menjadi suatu identitas yang mutlak,

26

(42)

penentu bagi eksistensi apakah seseorang dianggap orang Minang atau tidak.

Artinya seseorang tidak dapat dipandang sebagai orang Minang, jika dia tidak

mempunyai suku.

Suku bagi orang Minang lebih bersifat eksogamis ( perkawinan di luar

suku), kecuali bila tidak dapat ditelusuri lagi hubungan keluarga antara dua

buah suku yang senama, tetapi terdapat di kampung yang berlainan. Lantaran

orang dari suku yang sama biasanya menempati lokasi yang sama, maka suku

bisa berarti geneologis dan territorial. Berbeda dengan kampung, tanpa

dikaitkan ke salah satu suku tertentu, maka kampung hanyalah bersifat

territorial semata. Masing-masing suku biasanya terdiri dari beberapa paruik

yang dikepalai oleh seorang kapalo paruik atau tungganai, sedangkan paruik

dibagi lagi kedalam jurai, dan jurai kedalam samande.27

2. Pergumulan Adat dan Agama di Minangkabau

Sejarah telah mencatat bahwa dalam kurun waktu yang cukup panjang,

Minangkabau telah tersusun rapi di bawah kekuasaan penghulu dengan

pemerintahan adatnya. Masyarakat Minangkabau sudah ada sejak 5.000 tahun

yang lalu ( lebih kurang 3000 tahun sebelum masehi). Sejak itu pula masyarakat

Minangkabau telah beradat. Akan tetapi sangat sulit untuk mengungkap kepastian

munculnya Minangkabau ini. Hal ini disebabkan suramnya sejarah Minangkabau

dan tidak ada satu tulisan pun yang mengindikasikan kemunculan Minangkabau.

27

(43)

Akan tetapi bisa sedikit diketahui dari cerita-cerita tambo, kaba dan berbagai

sumber lainnya. Namun demikian melihat dari cerita-cerita tambo dan temuan

beberapa peneliti bisa disimpulkan Minangkabau telah ada sebelum masehi.28 Seperti biasa diketahui oleh banyak orang bahkan orang non Minang

bahwa suku Minangkabau sangat identik dengan Islam. Mengingat begitu kuat

dan mengakarnya Islam dalam kehidupan masyarakat Minang, seluruh sistem

masyarakat adalah implementasi dari ajaran-ajaran Islam. Hal ini tertuang dalam

falsafah orang Minang “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”.

Untuk sampai pada Islam dijadikan ideology, Minangkabau melewati

proses yang cukup lama dan mengorbankan banyak fikiran, tenaga dan nyawa,

salah satunya terjadinya perang paderi antara tahun 1821 – 1837.29

a. Kondisi Minangkabau Sebelum Masuk Islam

Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa sebelum Islam bahkan

sebelum masuknya Budha dan Hindu ke Minangkabau, sesungguhnya

Minangkabau telah mempunyai peradaban. Peradaban yang membentuk

karakter manusianya. Pada masa-masa awal, masyarakat Minangkabau

menjadikan alam sebagai sumber inspirasi dan dasar dari falsafahnya. Sebagai

bukti dari peradaban yang pernah ada di ranah Minang, dapat dilihat dari

berkembangnya pertanian dan pertukangan sebagai sumber kehidupan.

28

Amir MS, Tonggak Tuo Budaya Minang, h.206

29

(44)

Koentjaningrat mengatakan: sebagian besar orang Minangkabau hidup

dari tanah. Di daerah yang subur dan cukup air, kebanyakan orang

mengusahakan sawah, sedangkan pada daerah subur yang tinggi, banyak

orang menanam sayur-sayur untuk perdagangan, seperti kubis, tomat dan

sebagainya.30

Hal ini ditandai dengan telah adanya irigasi untuk pengairan, juga

orang Minang telah bisa membuat keris seperti suku-suku lain di Indonesia,

sebagaimana adat sendiri berkata:

Lah batanam nan bapucuak Sudah ditanam yang berpucuk

Lah mamaliaro nan banyao Sudah memelihara yang bernyawa

Basawah gadang satampang baniah Punya sawah yang luas seikat bibit padi

Dengan fatwa adat di atas bahwa sebelum Islam masuk ke

Minangkabau, ranah Minang telah berkembang.31

b. Kedatangan Islam Sebagai Penyempurna Adat di Minangkabau

Kedatangan Islam ke tanah Minangkabau telah membawa perubahan

yang signifikan dalam struktural adat masyarakat Minangkabau, ajaran Islam

akhirnya ditempatkan sebagai sumber kebenaran tertinggi. Pepatah ideologis

Minangkabau pada mulanya berbunyi “adat basandi alur jo patuik” (adat bersendikan alur dan patut), setelah kedatang Islam, pepatah tersebut berubah

menjadi “Adat basandi alur, syara’ basandi dalil” (adat bersendikan alur,

30

Koentjaningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, ( Jakarta: Jembatan, 1999), h. 253

31

(45)

syariat bersendikan dalil Al-Qur’an). Pepatah tersebut menunjukkan bahwa

keduanya setara dan independen. Kemudian pepatah tersebut dimodifikasi

menjadi “Adat basandi syara’, syara’ basandi adat” ( adat bersendikan syariat, syariat bersendikan adat). Modifikasi ini mengekspresikan kesetaraan

keduanya tetapi juga saling ketergantungan attau sama lainnya. Pepatah ini

sekali lagi mengalami perubahan menjadi “Adat basandi syara’, syara’

basandi kitabullah, syara’ mangato, adat mamakai” ( adat Minangkabau

bersendikan syariat, syariat bersendikan kitab suci Al-Qur’an, syariat

menetapkan, adat memakai). Pepatah ini sangat jelas sekali menunjukkan

bahwa posisi syariat lebih tinggi dari adat. Pepatah yang terakhir ini yang

secara umum digunakan oleh masyarakat Minangkabau kontemporer.32

Bagi adat Minangkabausebelum datangnya Islam hanya mampu

menjangkau hal-hal yang nyata saja. Kendatipun di atas dikatakan bahwa adat

Minagkabau tidak mengenal ajaran kosmologis – okultisme secara ekspliosit, namun secara implicit orang Minang sesuai dengan ajaran adatnya pasti akan

berhubungan dengan masalah yang ghaib. Adat Minangkabau mengatakan:

Panakiak pisau sirauik Panakik pisau siraut

Ambiak galah batang lintabuang Ambil galah batang lintabung

Salodang ambiak ka niru Selodang jadikan nampan

Nan satitiak jadikan lauik Yang setitik jadikan laut

Nan sakapa jadikan gunuang Yang segenggam jadikan gunung

Alam takambang jadi guru Alam terkembang jadi guru

32

(46)

Pepatah ini mengajarkan bahwa salah satu sendi atau pondasi dari adat

Minangkabau adalah prrinsip “alua jo patuik”. Prinsip alur dan patut ini dijadikan oleh orang Minang sebagai panutan dalam kehidupan sehari-hari.

Selanjutnya adat mengajarkan:

Manarah manuruik alua Meratakan menurut alur

Nan baukua na dikarek Yang diukur yang dipotong

Nan babarih nan bapaek Yang digaris yang dipahat

Baru pada abad XVI33 setelah Islam masuk ke Minangkabau dan kerajaan diperintah oleh sultan Alif raja Minangkabau pertama yang

menganut Islam pada tahun 1580. Adat Minangkabau semakin menemukan

identitasnya. Hal ini ditandai dengan berubahnya struktur kerajaan yang

semakin nyata fungsinya, sebelumnya kerajaan hanyalah sebagai simbol –

simbol, yang memegang kekuasaan adalah penghulu masing-masing suku,

dari studi Imran Manan tentang birokrasi pemerintahan Minangkabau

menyimpulkan bahwa semenjak abad XVI awal Islam berpengaruh di

Minangkabau dan pemerintahan kerajaan selalu dipimpin oleh “ Rajo Nan Tigo Selo”, yaitu:

1) Yang di pertuan Rajo Alam berkedudukan di pusat pemerintahan

Pagaruyuang, Raja Alam adalah representasi kekuasaan tertinggi yang

menyatukan adat dan agama.

2) Raja Adat di Buo adalah otoritas tertinggi dibidang adat.

33

(47)

3) Raja Ibadat berpusat si Sumpur Kudus, pemegang puncak tertinggi di

bidang agama.

Strukur kepemimpinan ini memperlihatkan bahwa masuknya Islam

member warna bagi sistem Pemerintahan dengan masuknya Raja Ibadat ke

dalam struktural kekuasaan, dari struktural ini pulalah kemudian barangkali

muncul istilah kepemimpinan tali tigo sapilin, tungku tigo sajarang, yaitu

penghulu, alim ulama dan cadiak pandai, yang menggambarkan bahwa di

Minangkabau aturan yang berlaku adalah aturan adat, agama dan

pemerintahan. Ini terbukti dari bertambahnya syarat fisik pendirian nagari

seperti yang tertuang dalam tambo Minangkabau yang dikutip oleh A. A

Navis:

Babalai bamusajik Punya balai dan mesjid

Basuku banagari Punya suku dan nagari

Bajorong bakampuang Punya jorong dan kampuang

Balabuah batapian Punya jalan dan tepian

Bahuma baladang Punya rumah dan bendang

Bahalaman bapamenan Punya halaman dan lapangan

Bapandam bapusaro Punya pendam dan pusara

Babalai bamusajik masksudnya mempunyai balai adat dan balairung34

sebagai tempat mengatur pemerintahan nagari, dan mesjid tempat beribadah.

Semenjak berkembangnya Islam terjadilah proses asimilasi sedemikian rupa

sehingga pada akhirnya terjadi hubungan timbal balik yang harmonis diantara

34

(48)

keduanya. Pada tahap ini, hubungan antara adat dan agama diibaratkan seperti

aur dan tebing, saling dukung dan menguatkan. Jadi dengan uraian tambo ini

dapat dipahami bahwa setelah Islam ke Minangkabau, Islam langsung

dijadikan sebagai ideologi dan pegangan hidup bagi masyarakat

Minangkabau.

Pada tahap berikutnya, yaitu setelah perang paderi, hubungan antara

adat Minangkabau dan agama islam dipertegas dengan ungkapan yang sampai

saat ini menjadi pegangan bagi masyarakat Minangkabau: Adat basandi

syara’, syara’ basandi kitabullah, syara’ mangato, adat mamakai. Perang

paderi merupakan aia gadang yang merubah tapian tampek mandi masyarakat

Minangkabau dengan menempatkan syariat Islam sebagai sumber ajaran

membimbing dan mengatur semua segi kehidupan.35.

Sampai saat ini secara formal prinsip adat basandi syara’, syara’

basandi kitabullah masih menjadi pegangan dan acauan badi masyarkat

Minangkabau. Dalam konsep ini, diyakini dan diterima oleh masyarakat

Minang bahwa adat dalam semua pengertian, harus bersumber dan tunduk

kepada syariat

Gambar

Tabel I
tabel di bawah ini7:
Tabel 2
Tabel 3
+3

Referensi

Dokumen terkait