• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : KONDISI OBJEKTIF KECAMATAN BANUHAMPU

E. Sosial Budaya dan Adat Istiadat

Semenjak agama Islam diterima di Minangkabau khususnya di Kecamatan Banuhampu, banyak hal-hal yang berdasarkan ajaran Islam dilaksanakan. Surau yang semula tempat berkumpul dan bermalam anak-anak muda suku, berubah menjadi tempat pengajian. Gelanggan atau adu ayam diubah menjadi gelanggang tempat belajar keterampilan olahraga pencak-silat. Dalam pergaulan hidup sehari-hari, aktivitas kehidupan bermasyarakat dipraktekkan sesuai dengan tata nilai dan norma yang berlaku, baik norma adat maupun norma agama. Walaupun diketahui yang mayoritas beragama Islam. Namun, kedua norma tersebut tetap dijalani secara bersamaan.

2. Adat Istiadat

Di samping menganut agama Islam, masyarakat Kecamatan Banuhampu juga terikat oleh aturan-aturan adat yang mereka warisi dari nenek moyang dahulu. Adat atau hukum adat itu merupakan suatu hukum atau norma tang tidak terkofivikasi (tidak tertulis), disampaikan secara lisan, turun temurun dan tetap diakui serta ditaati oleh masyarakat.

Dalam hal penyelesaian persoalan dan perkara yang terjadi tersebut, prinsip musyawarah untuk mufakat tetap didepankan, mereka tidak dibenarkan seenaknya saja mengambil tindakan atau keputusan suatu permasalahan antara satu suku dengan suku lainnya, tanpa mengedepankan

azas musyawarah. Sehingga, dalam masyarakat adat Banuhampu jarang diketemukan terjadinya perkelahian atau perang antar suku.13

F. Nagari Taluak IV Suku Kecamatan Banuhampu Sebagai Sampel Penelitian

Seiring dengan lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah sebagai pengganti UU No. 5 tahun 1974 dan UU No. 5 tahun 1979 serta diiringi lahirnya Peraturan daerah Provinsi Sumatera Barat No. 9 tahun 2000 tentang Pemerintahan Nagari dan seiring dengan itu pemerintahan desapun digantikan dengan Pemerintahan Nagari.

Nagari Taluak IV suku ini bersebelahan dengan Kota Bukittinggi di sebelah utara, dengan Ladang Laweh di sebelah selatan, dengan Kubang Putiah di sebelah timur dan Guguak disebelah barat.

Nagari Taluak IV suku terbagi kepada 3 (tiga) jorong yaitu jorong Taluak dengan luas 139 Ha, Jorong Jambu Aia dengan luas 223 Ha, dan Jorong Kapeh Panji dengan luas 136 Ha, jadi total keseluruhan dari Nagari Taluak IV Suku adalah 498 Ha. Jumlah penduduk di Nagari ini adalah 5467 Jiwa, laki-laki 2731 Jiwa dan Perempuan 2736 Jiwa. Jika dilihat dari mata pencaharian penduduk Nagari Taluak IV suku banyak yang bekerja di bidang pertanian dan juga perdagangan.14

13

Iprizal S.SOS (Sekretasis Camat Banuhampu, Wawancara, Kecamatan Banuhampu).

14

62

POSISI HARTA PUSAKO TINGGI

A. Peran Harta Pusako Tinggi

Harta pusako tinggi mempunyai peranan yang sangat penting bagi masyarakat Minangkabau karena harta tersebut harta yang diturunkan secara turun temurun dari suatu kaum berdasarkan sistem garis keturunan ibu.

Babirik birik tabang ka sasak Babirik- birik terbang ke sasak

Dari sasak turun ka halaman Dari sasak turun ke halaman

Dari niniek turun ka mamak Dari buyut turun ke mamak

Dari mamak turun ka kamanakan Dari mamak turun ke kemenakan

Harta pusako tinggi ini adalah warisan dari nenek moyang kaum pemegang harta tersebut yang mana pada dasarnya harta tersebut tidak untuk diperjual-belikan dan hanya boleh digadaikan dengan 4 (empat) syarat yang telah dipaparkan.

Harta pusako itu adalah pemersatu dalam jurai, kaum, suku dan bagi masyarakat Minang pada umumnya, sekaligus untuk mengetahui nan sa asa

sakaturunan1 menurut jalur adat. Harta tersebut juga harta cadangan bagi suatu

kaum, jika ada salah seorang anak kemenakan yang hidupnya agak susah maka uruslah harta tersebut.

H. Abdul Malik Karim Abdullah yang melihat harta pusako tinggi ini itu sama keadaanya dengan wakaf atau harta musabalah yang pernah diperlakukan Umar bin Khattab atas harta yang didpatkannya di khaybar yang telah dibekukan

1

tasarrufnya dan hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Penyamaan harta pusako tinggi ini dengan harta wakaf tersebut walau masih ada perbedaannya, adalah untuk menyatakan bahwa harta tersebut tidak dapat diwariskan. Karena tidak dapat diwariskan maka terhindarlah harta tersebut dari kelompok harta yang harus diwariskan menurut hukum faraidh; artinya tidak salah kalau padanya tidak berlaku hukum faraidh. Pendapat beliau ini diikuti oleh ulama lain diantaranya Syekh Sulaiman ar Rasuli.2

Mengenai tentang sistem pewarisan adat atas harta pusako tinggi ini harta tersebut dikuasai oleh perempuan tertua di rumah itu dan hasilnya dipergunakan untuk manfaat seisi rumah. Pengawasan penggunaan harta itu berada ditangan mamak rumah, bila mamak rumah sudah tiada maka beralih kepada kemenakan yang laki-laki. Bila perempuan tertua dirumah itu sudah tiada, maka peranan penguasaan dan pengurusan beralih kepada perempuan yang lebih muda. Dalam hal ini tidak ada peralihan harta.

Penerusan peranan dalam sistem kewarisan adat adalah ibarat silih bergantinya kepengurusan suatu badan yayasan yang mengelola suatu bentuk harta. Kematian pengurus itu tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap status harta, karena yang mati hanya sekedar pengurus. Berbeda dengan pewarisan dalam hukum Islam yang berarti peralihan dari yang sudah tiada ke yang masih hidup.

2

Ciri khas dari dari harta pusako tinggi ini adalah harta tersebut bukan milik perorangan dan bukan milik siapa-siapa secara pasti, yang memiliki harta itu ialah nenek moyang yang mula-mula memperoleh harta itu secara memancang

melatah. Harta itu ditujukan untuk dana bersama bagi anak cucunya dalam bentuk

yang tidak terbagi-bagi. Setiap anggota dalam kaum dapat memanfaatkannya tetapi tidak dapat memilikinya.3

Harta pusako tinggi ini harta yang hanya boleh digadaikan dengan 4 (empat syarat) yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya. Namun karena

Zaman lah baraliah, Tahun lah bakisah, Gadang lah balega maka harta tersebut

sudah ada yang dperjual-belikan karena beberapa faktor.

B. Faktor-faktor dan Penyebab Begesernya Hukum Waris Adat Minangkabau

Dari beberapa faktor dan penyebab bergesernya Hukum Waris Adat Minangkabau khusunya jual - beli harta pusako tinggi ini terdapat beberapa faktor dan penyebab kenapa harta pusako tinggi ini diperjual-belikan diantaranya : 1. Keturunan yang punah ( Terputusnya generasi)

a. Keturunan perempuan satu-satunya yang terakhir di kaum yang sasuku saparuik dan sapayuang

Harta pusako tinggi adalah suatu hal yang harus diwariskan dari generasi ke generasi selanjutnya dari niniak ka mamak dari mamak ka kamanakan.

3

Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Pewarisan Islam Dalam Adat Minangkabau, H. 269-270

Mengenai harta pusako tinggi kuasa dimiliki oleh pihak laki-laki sedangkan kuasa di pihak perempuan. Harta ini harus terus berlanjut dari generasi terdahulu ke generasi selanjutnya atau generasi di bawahnya. Namun ketika generasi tersebut tersebut terputus di pihak perempuan terakhir dan tak ada lagi generasi perempuan lainnya yang akan menguasi harta pusako tinggi maka harta tersebut boleh diperjualbelikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku yaitu adanya musyawarah mufakat dan kesepakatan dari semua orang yang berada di kaum tersebut, kaum yang

sasuku saparuik dan sapayuang. Maksudnya kaum yang satu keturunan

nenek moyang keatasnya.

b. Terputusnya generasi di pihak laki-laki terakhir di kaum yang sasuku saparuik sapayuang.

Sama seperti keterangan di atas, hal ini juga pernah terjadi di kenagarian Taluak IV Suku yang mana keturunan tersebut terputus di pihak yang laki-laki dan tak ada lagi keturunan perempuan yang mewarisi harta pusako tinggi tersebut. Pihak laki-laki hanya memiliki kuasa terhadap harta tersebut namun yang mempunyai hak adalah pihak perempuan. Jadi harta tersebut boleh diperjual - belikan sesuai ketentuan di atas.

2. Harta pusako tinggi ini jikalau ada wasiat dari pewaris untuk menghibahkannya ke Nagari atau dihibahkan ke sesuatu yang mendatangkan manfaat terhadap si pewaris dan para sesepuh nenek moyang mereka terdahulu maka ini boleh dilakukan ketika sudah ada kesepakatan dari

musyawarah mufakat yang terjadi antara orang-orang yang berada di kaum yang sasuku dan saparuik tersebut. Ketika harta tersebut telah berganti kedudukan menjadi milik si penerima hibah maka si penerima hibah boleh memperjual-belikan harta tersebut. Atau dengan kata lain, ketika status harta pusako tinggi ini telah berganti dan telah dialihkan kepada pihak ketiga maka pihak ketiga boleh untuk memperjual-belikannya karena harta tersebut telah menjadi hak milik dari pihak ketiga tersebut.

3. Dalam suatu kasus yang pernah terjadi di Nagari Taluak IV Suku ini, pernah suatu kali dalam suatu keturunan kaum yang sasuku saparuik ini yang mana generasi perempuan atau pihak perempuan yang akan menerima harta pusako tinggi ini tidak ada lagi dengan kata lain terputus di generasi yang laki-laki. Dalam hal ini, harta pusako tinggi ini bisa jatuh ke tangan anak dari kaum laki-laki yang telah berbeda sukunya terhadap kaum yang aslinya. Lalu ketika si anak dari anak laki-laki ini hendak memperjual-belikan harta pusako tinggi ini boleh saja ketika ada kesepakatan dari musyawarah mufakat yang telah terjadi, walaupun ia berbeda suku dengan suku bapaknya, karena sistem kekerabatan di Minangkabau adalah menurut garis keturunan ibu bukan bapak (Matrilineal).

4. Harta pusako tinggi juga boleh diperjual-belikan ketika di kaum tersebut memang terjadi krisis yang memaksa harta tersebut untuk diperjual-belikan. Maksudnya, didalam tubuh kaum yang sasuku dan saparuik tersebut tidak ada

lagi atau tidak ada lagi harta yang bisa menjamin kelangsungan hidup kaum tersebut, maka harta tersebut boleh untuk diperjual belikan.

5. Kesepakatan dari hasil musyawarah mufakat yang sasuku saparuik

Harta pusako tinggi boleh diperjual belikan ketika adanya kesepakatan dari hasil musyawarah mufakat yang sasuku saparuik. Karena pada dasarnya adat itu adalah kesepakatan. Jadi ketika ada kesepakatan dari seluruh kaum yang ada di suku tersebut maka harta tersebut boleh untuk duperjual-belikan.

Adat adalah hasil dari kesepakatan, yang bersendikan kepada syara’.4

Sejalan dengan itu, Inyiak Syekh Imam Muzakkir menyebutkan bahwa harta pusako tinggi pada awalnya tidak boleh untuk diperjual-belikan karena harta pusako tinggi ini adalah harta yang tidak dikenal awal kepemilikannya yang diwariskan menurut jalur keturunan ibu. Harta tersebut tidak boleh untuk diperjual-belikan sebab jika dikembalikan kepada hukum Islam “Milkut Tam”

(Kejelasan/Asal usul Harta) tersebut tidak jelas. Namun jika ada alasan lain yang menyebabkan harta pusako tinggi ini bisa dan harus diperjual-belikan maka boleh untuk diperjual-belikan “Ar-ridha Sayyidul Hukmi”. Mengenai apa saja faktor yang boleh untuk diperjual-belikannya harta pusako tinggi tersebut, Inyiak Syekh Imam Muzakkir sependapat dengan pendapat dengan faktor dan alasan yang dikemukakan oleh Inyiak H. Rusdi Burhan St. Bandaro Sati.5

4

Wawancara pribadi dengan Inyiak H. Rusdi Burhan St. Bandaro Sati

5

Kemudian H. Tasrif St. Zainuddin B.A Selaku Saksi penghibahan dan jual

beli harta pusako tinggi di Nagari Taluak IV Suku menyebutkan : “Generasi yang

terputus adalah salah satu diantara banyak alasan untuk bisa diperjual-belikannya harta pusako tinggi tersebut, baik terputusnya generasi dipihak perempuan maupun dipihak laki-laki. Dan jikalau kita menemukan kasus seperti hal tersebut maka pihak penerima warisan harta pusako tinggi tersebut berhak untuk memperjual belikan harta tersebut atau mungkin juga harta tersebut juga berhak untuk dihibahkan ke mesjid, nagari ataupun yang mendatangkan manfaat terhadap si pewaris. Itu kembali kepada si pewaris ingin memperjual-belikan harta tersebut atau menghibahkannya, tapi apapun yang akan dilakukan si pewaris itu adalah hak dia sebagai pewaris. Namun ada juga pewaris yang mana harta tersebut sebahagian diperjual - belikan dan sebahagian lagi dihibahkan.”

C. Analisa Penulis

Falsafah hidup orang Minangkabau yaitu adat basandi syara’, syara’

basandi kitabullah. Melihat persoalan harta pusako tinggi di dalam adat

Minangkabau sebenarnya mengenai status harta tersebut telah terjadi perbedaan pendapat sejak dari Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawy, malah beliau mengarang sebuah kitab berjudul “Ad Doi’ al Masmu’ fil Raddi’ala Tawarisi al’ikwati wa Awadi al Akawati ma’a Wujud al usuli wa al furu’i” yang artinya dakwah yang didengar tentang penolakan atas pewarisan pewarisan saudara dan

anak saudara di samping ada orang tua dan anak. Kitab itu ditulis di Mekkah pada akhir abad ke XIX.6

Namun pendapat beliau berbeda dengan pendapat H. Abdul Malik Karim Abdullah ( HAMKA) yang mana melihat harta pusako dalam bentuk yang sudah terpisah dari harta pencaharian. Beliau berpendapat bahwa harta pusako itu sama kedudukannnya dengan harta wakaf atau harta musabalah yang pernah diperlakukan Umar Bin Khattab atas harta yang didapatnya di Khaybar yang telah dibekukan tassarufnya dan hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Penyamaan harta pusako dengan harta wakaf tersebut walaupun masih ada perbedaannya adalah untuk menyatakan bahwa harta tersebut tidak dapat diwariskan seperti pewarisan yang berlaku hukum Faraidh atasnya.

Ahli waris dalam pewarisan menurut adat Minangkabau ini, yaitu turun dari mamak ke kemenakan atau dari ibu turun ke anak perempuan tertua, tanpa melupakan pewarisan ini bersifat kolektif dan satu hal lagi yang diwariskan bukanlah harta itu sendiri namun hanya pengawasan dan pengelolaannya saja.

Dalam kajian usul fiqh pun terdapat kajian tentang hukum adat yang terpadu dalam materi al u’rf. Dalam bukunya “ilmu ushul fiqh”, Abdul Wahab Khalaf menjelaskan pengertian al- ‘urf adalah apa yang saling diketahui dan saling dijalankan orang berupa perkataan, perbuatan ataupun meninggalkan kebiasaan dan dinamakan adat.7

6

Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Pewarisan Islam Dalam Adat Minangkabau, H. 275

7

Al- „urf dapat dibedakan ke dalam dua bentuk yaitu al- ‘urf sahih yang berarti adat kebiasaan di masyarakat yang tidak bertentangan dengan syariat islam dan membawa mashlahat bagi umat, dan al- ‘urf fasid yaitu kebiasaan di masyarakat yang bertentangan dengan syariat islam yamng menimbulkan mafsadat ( kerusakan) bagi umat.8

Dapat dipetik kesimpulan dari defenisi defenisi di atas bahwa persyaratan hukum adat boleh atau bisa dijalankan bila memenuhi syarat komulatif yaitu: 1. Tidak bertentangan dengan syariat

2. Membawa mashlahat

3. Tidak menimbulkan mafsadat (kerusakan)

4. Tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib dan sebaliknya.

Dikatakan kewarisan adat Minangkabau tidak menyalahi syariat islam, karena apa yang ditentukan dalam hal waris adat Minangkabau tidak menyalahi syariat Islam, karena apa yang ditentukan dalam hal waris adat Minangkabau bukanlah sesuatu yang menyalahi syariat, menghalalkan yang haram ataupun mengharmkan yang halal.

Ketika dikaji tujuan nenek moyang masyarakat Minangkabau dalam hal mempusakoi warisan kepada cucunya yaitu untuk kelangsungan dan memelihara kehidupan mereka di kemudian hari. Jadi ketentuan kewarisan itu mendatangkan mashlahat bagi umat.

8

Mengenai persoalan Jual-beli harta pusako tinggi di dalam adat Minangkabau yang pada awal mulanya hanya boleh digadaikan, namun melihat pendapat para pakar di atas tentang latar belakang diperbolehkannya memperjual-belikan harta pusako tinggi tersebut maka penulis menyimpulkan dan menarik beberapa faktor diperbolehkannya jual-beli harta pusako tinggi yaitu :

1. Keturunan yang punah (generasi yang terputus)

Ketika keturunan yang punah baik berkahir di pihak laki-laki maupun perempuan maka harta tersebut berhak dan boleh untuk diperjual-belikan. 2. Pergantian status harta

Ketika harta tersebut telah berganti status dari harta pusako tinggi menjadi harta hibah, maka pihak ke tiga yang menerima harta tersebut boleh dan berhka untuk memperjual belikannya.

3. Kaum yang sangat kekurangan dan tidak mampu

Harta pusako tinggi boleh diperjual-belikan dengan faktor bahwa di kaum tersebut terjadi krisis yang berkepanjangan yang mana kaum itu sangat kekurangan dan tidak mampu. Dan salah satu manfaat yang diterima ketika harta tersebut diperjual belikan yaitu untuk melanjutkan kelangsungan keturunan dan sebagianya.

4. Kesepakatan dari hasil musyawarah mufakat

Ketika adanya kesepakatan dari hasil musyawarah mufakat di kaum yang sasuku saparuik untuk memperjual-belikan harta tersebut, maka harta tersebut boleh dan layak untuk diperjual-belikan. Karena suara teringgi adalah ketika sudah ada kesepakatan dari seluruh anggota kaum.

72

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, maka penulis memberikan kesimpulan yang berhubungan dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian skripsi ini. adapaun kesimpulan yang dipaparkan adalah:

1. Harta pusako tinggi adalah harta bersama yang mana ketika hendak diperjual-belikan pun harus ada kesepakatan bersama dari kaum yang sasuku saparuik. Harta tersebut bisa dan boleh boleh diperjual-belikan ketika adanya kesepakatan dari hasil musyawarah muafakat yang sasuku dan saparuik. Karena adat itu adalah hasil kesepakatan.

2. Keturunan yang punah, generasi yang terputus, dan krisis yang berkepanjangan dari kaum yang tidak mampu itu juga adalah beberapa faktor yang membuat harta pusako tinggi itu layak dan boleh untuk diperjual belikan.

3. Tidak ada sanksi adat ketika melakukan jual-beli harta pusako tinggi ketika adanya kesepakatan dari kaum yang sasuku saparuik.

4. Pandangan hukum islam pun membolehkan hal tersebut jika jual-beli tersebut sesuai dengan ketentuan rukun dan syarat jual beli yang telah diatur dalam hukum islam.

B. Saran

Berdasarkan pembahasan skripsi ini secara keseluruhan, ada beberapa saran yang ingin penulis sampaikan sebagai penutup dalam karya ilmiah ini, yaitu:

Kepada seluruh mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, diharapkan memperkaya wawasan dan pengetahuannya terutama dalam sisi hukum kewarisan dan khususnya kewarisan adat Minangkabau, sehingga nantinya kepada mahasiswa yang ingin melanjutkan penelitian mengenai pergeseran pergeseran hukum waris adat Mianangkabau tidak hanya sekedar mengetahui namun benar-benar memahami isi dan adat secara keseluruhan. Baik dilihat dari perspektif hukum islam maupun adat di Minangkabau.

Bagi para peneliti yang berminat mengkaji masalah keminangkabauan, penulis menyarankan dalam mengkaji hal-hal yang berhubungan dengan Minangkabau hendaklah melihat Minangkabau sebagai sesuatu yang integral dan menyeluruh kemudian melihat kepada kondisi objektifnya supaya dalam mengkaji hal-hal yang berhubungan dengan Minangkabau khususnya harta waris agar tidak terjadi kekeliruan. Dan agar tidak terjadi apa yang disebut adat “ cupak didapek dek rang manggaleh, jalan dialiah dek urang lalu”, maksudnya

masyarakat Minangkabau dapat menerima pengaruh budaya dari luar, akan tetapi pengaruh dari luar itu jangan sampai merusak sendi-sendi adat yang telah dianut dan jangan sampai menghancurkan budaya yang diterima secara turun temurun dari nenek moyang.

74 Al-Qur’anul Karim.

Abdullah, Taufik. Sejarah dan Masyarakat, Lintasan Historis Islam di Indonesia,

Jakarta: Yayasan Obor, 1987.

Ahmad Dt. Batuah. Tambo Minangkabau dan Adatnya, Jakarta: Balai Pustaka, 1956 . Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail Abu Abdullah. al-Jami’ Shahih al-Bukhari Kairo,

Dar wa Mathba’ al-Sya’biy, juz IV.

Ali, Chidir. SH Hukum Adat Minangkabau Dalam Yurisprudensi Indonesia. Jakarta : Pradya Paramita. 1984.

Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir Al Maraghi. Beirut: Darul Fiqr. 1973.

Al-Thabari, Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al -Qur’an, Ttp: Syarikah Iqamah al-Din, tth, Jilid III.

Al-Zarqani, Muhammad Abd al-Azhim, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Quran, Kairo: Isa al-Baby al-Halaby, tth.

As- Shidiqy, Muhammad Habsy. Fiqh Mawaris. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 1997. Ash Shaubuny, Muhammad Ali. Hukum Waris Islam. Surabaya: Al-Ikhlas. t.th.

Asnan, Gusti. Kamus Sejarah Minangkabau. Padang: Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau. 2003.

Asril Dt. Panduko Sindo. Jalan Kok Dialiah Anak Cucu, Cupak Kok Dituka Kamanakan, Makalah, 2004.

Azra, Azyumardi. Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan

Modernisasi. Jakarta: Logos Wacana Ilmu Press. 2003.

B J. O, Schriek, Pergolakan Agama di Sumatera Barat, Jakarta : Bhratara, 1973. Hadikusuma, Hilman. Hukum Waris Adat, Bandung, Penerbit Alumni, 1983, cet ke dua. Hadzairin, Hendak Kemana Kamu Hukum Islam. Jakarta: Tintamas. 1976

Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh. Kairo: Dar Al- Kautyatitah. 1959.

Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Jembatan. 1999. Komite Fakultas Syariah Universitas Al- Azhar. Hukum Waris Terlengkap. Jakarta: CV

Kuwait Media Gressindo. t. th.

Latief, H. Chaidir N. Dt Bandaro dkk. Minangkabau yang Gelisah: Mencari Strategi Sosialisasi Pewarisan Nilai- Nilai Adat dan Budaya Minangkabau untuk Generasi Muda. Bandung: CV. Lubuk Agung. 2004.

M.S Amir. Adat Minangkabau Pola Dan Tujuan Hidup Orang Minang. Jakarta : PT. Mutiara Sumber Widya. 2001.

Mubarak, Jaih. Kaidah Ushul Fiqh: Sejarah dan Kaidah Asas. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002.

Naim, Mochtar, Merantau : Pola Migrasi Suku Minangkabau, Padang : PT. Bina Ilmu, 1980.

Navis, A.A, Adat Berkembang Jadi Guru : Adat dan Kebudayaan Minangkabau, Padang : Grafindo. 1978.

Parman, Ali. Kewarisan Dalam Al- Qur’an. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1995.

Perangin, Effendi, Hukum Waris, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005.

Dokumen terkait