PERILAKU MENCERAI-BERAI AGAMA DALAM TAFSIR AN-NUUR
Tafsir Surat al An’âm ayat 159 dan al Rûm 30 sampai 32
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)
Oleh :
Budi Utomo NIM: 208034000003
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
▸ Baca selengkapnya: tidak mudah terpengaruh bilangan 14 ayat 25 sampai 30
(2)1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat 8 Juni 2010
ABSTRAK
Masalah disintegrasi bukan hanya terjadi pada masalah kenegaraan
tetapi juga merambah wilayah beragama dan berkeyakinan. Disintegrasi dalam satu kawasan negara biasanya membicarakan masalah state atau
pembagian wilayah yang diklaim oleh pihak separatis sebagai hak mereka yang diambil oleh pemerintahan yang sah. Jadi yang dibicarakan adalah peta wilayah.
Disintegrasi di dalam agama dan keyakinan adalah terjadi karena adanya orientasi baru baik dalam masalah ibadah ritual, pemahaman dan kelembagaan secara parsial atau keseluruhan. Pada awalnya yang dibicarakan adalah peta pemikiran tetapi pada akhirnya bisa sampai pada pembicaraan peta wilayah, pemberontakan kepada otoritas kekuasaan yang sah. Yang seluruhnya keluar dari pakem yang ada dalam tuntunan Allah dan Rasul-Nya sebagai pemilik otoritas Islam. Kemudian Islam yang sudah tidak original itu masih memakai nama gen awalnya sehingga timbulah banyak varian yang saling berbenturan karena persaingan seolah mengharuskan adanya satu juara saja, yang paling benar, yang paling original. Persaingan yang tak pernah usai, tidak hanya menyebabkan perang dingin tetapi juga kerap memicu bentrokan fisik bahkan pertumpahan darah dan perang senjata dalam waktu yang panjang dan melelahkan. Bahkan memicu dendam sejarah yang terus diwariskan.
ii Alhamdu li Allâh rabb al ‘alamîn.
Allahumma shalli ‘alâ Muhammad wa ‘alâ âli Muhammad.
Terima kasih yang tulus kepada Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Prof. Dr. Zaenun Kamal F., MA., Dekan Fakultas Ushuluddin, Dr. Bustamin Msi., Ketua Jurusan Tafsir Hadis, Dr. Edwin Syarif MA., Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis. Tak lupa pula kepada pembimbing skripsi bapak Drs. A. Rifqi Muchtar, MA., atas kesabaran, bimbingan dan arahannya dalam proses penyelesaian skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh dosen pembimbing mata kuliah di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, semoga Allah memberikan keberkahan atas ilmu yang diajarkan. Tak lupa pula kepada segenap karyawan Perpustakaan Utama, Perpustakaan FU UIN dan Perpustakaan Umum IMan Jama.
Permohonan maaf dan terima kasih yang tiada terhingga kepada Orang Tua tercinta Ibu Hajjah Janatun dan Bapak Haji Tambak bin Ranyan yang sekian lama menunggu dengan sabar dan ikhlas atas keterlambatan penyelesaian tugas ini karena kesalahan dan keterbatasan penulis. Juga atas dukungan moril, materil dan do’a yang tiada putus-putusnya. Semoga rida dunia sampai akhirat. Allah berikan keberkahan pada umur dan ‘amal shalih keduanya.
iii
Terima kasih selanjutnya untuk isteri tercinta Fitria Kadam dan Pasukan Kecilku; Zhafira La Zanba, Zakia Nurul ‘Aini dan Zou Zein yang selalu membawa keceriaan dan menjadi semangat hidup. Semoga Romo (penulis) bisa memberikan sejarah yang baik untuk kebahagiaan dan kebanggaan keluarga “ La Zanba” kecil kita. Juga kepada Keluarga besar lain di Kampung Gedong; Bapak Rudi Trikurniawan sekeluarga dan Ibu Tuti beserta suami dan anak-anak. Keluarga besar cucu Mbah Tesbeh alias Mbah Salbani.
Penulis dedikasikan tulisan ini untuk keluarga besar “698 ghairu” semoga menjadi inspirasi bagi kemajuan kita bersama. “ Kita boleh terlambat dalam hal-hal yang bisa kita kejar, tetapi kita tak bisa menunda keputusan atas perkara yang harus kita kerjakan, jangan bunuh idealisme...”
Selesainya tulisan ini adalah keberkahan luar biasa bagi penulis dan keluarga besar dan ini adalah hadiah luar biasa dan hiburan yang sangat menggembirakan sekaligus mengharukan.
Hanya Allah yang bisa membalas seluruh kebaikan atas inspirasi dan motivasi dari Ibu-Bapak, para guru, orang tua, dosen pembimbing dan seluruh keluarga besar. Jazâkumullâhu khairan katsîran.
Wassalâmu ‘alaikum wa rahmah Allah wa barakâtuh.
Kelapa Dua Wetan, 03 Juni 2010
iv
DAFTAR ISI ... iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……… 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……… 6
C. Tujuan Penelitian………. 8
D. Metodologi Penelitian………. 8
E. Sistematika Penulisan………. 10
BAB II BIOGRAFI PROF. DR. TEUNGKU MUHAMMAD HASBI ASH SHIDDIEQY DAN TAFSIR AN NUUR A. Riwayat Hidup………. 12
B. Pemikiran dan Karya……… 15
C. Sejarah Penulisan Tafsir An-Nuur……….. 17
D. Karakteristik Tafsir An-Nuur……….. 19
BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG AGAMA DAN PERILAKU MENCERAI-BERAI A. Pengertian Agama ... 21
B. Fungsi Agama ... 24
v
BAB IV ANALISIS TENTANG MASALAH PERILAKU MENCERAI-BERAI AGAMA DAN BAHAYANYA DALAM TAFSIR AN NUUR KAJIAN SURAH AL AN’ÂM AYAT 159 DAN AL RÛM 30 SAMPAI 32
A. Sûrah al-An’âm/6: 159 Sûrah al-Rûm/30: 30-32 ... 31
B. Pengertian Memecah Belah Agama ... 33
C. Perpecahan dalam Islam... 35
D. Penyebab Perpecahan... 41
E. Bahaya Perpecahan dalam Agama... 45
F. Klaim Syirik atas Perilaku Memecah Belah Agama ... 47
G. Solusi untuk Menghindari Perpecahan ... 50
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 57
B. Saran-saran ... 57
DAFTAR PUSTAKA ... 59
1
Latar Belakang Masalah
Akhir-akhir ini media sering membicarakan penyerangan yang dilakukan
oleh sekelompok umat Islam atas kelompok umat Islam lainnya. Mulai dari
serangan argumentasi dalam berbagai tulisan, intimidasi sampai kekerasan fisik
yang terkadang menimbulkan bentrokan fisik massa yang berseteru. Bisa saja
perseteruan itu dipicu oleh adanya perbedaan konsep esensial dalam agama, yaitu
masalah teologi1. Mungkin juga disebabkan pilihan politik dengan latar belakang pemahaman politik yang didasarkan pada partai berasas Islam yang berbeda2. Ataupun organisasi non politik yang menggunakan atribut Islam3.
Ini menunjukkan adanya disintegrasi umat Islam. Perbedaan dalam satu
kesatuan agama. Satu sembahan dan sumber pengambilan hukum namun berbeda
pandangan dalam banyak hal.
Sangat berbeda dengan para shahabah Rasulullah saw. yang pada awalnya
mereka berasal dari berbagai latar belakang keyakinan, strata sosial dan suku
bangsa bahkan fanatisme yang sering memicu peperangan. Maka Islam merangkul
mereka dalam sebuah semangat persaudaraan Islam sehingga bisa meretas
batas-batas pembeda dan mampu bersatu dalam keberagaman. Sebut saja term ‘Arab
1ANTARA Diserang,” artikel diakses pada senin, 23 Pebruari 2009 dari
.
http://www.ANTARA.com
2 Rival Fahmi, -Okezone, “Pulang-Kampanye-Massa-PKS-PPP-Bentrok,” artikel diakses
pada Minggu, 3 Maret 2009 dari http://news.okezone.com
3 detikSurabaya, >> News Jatim, 11/04/2008, “ Rebutan Lahan, anggota FPI Nyaris
.
http://m.detik.com
Bentrok dengan Warga,” artikel diakses Jum’at, 12 Juni 2009 dari
2
dan ‘Ajam, orang merdeka dan budak, muhâjirîn dan anshâr, bangsawan dan
rakyat biasa, itu semua adalah setting latar belakang sosio cultural ketika itu.
Sebuah contoh adalah kehidupan umat Islam di masa dahulu, mereka
hidup berdampingan dengan orang-orang non muslim, bahkan al-Qur’an dengan
tegas menyatakan dalam Sûrah al Kâfirûn /109:6
ﹺﻦﻳﺩ ﻲﻟﻭ ﻢﹸﻜﻨﻳﺩ ﻢﹸﻜﹶﻟ
“Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”
Tetapi sesuai dengan latar belakang turunnya ayat tersebut, pemisahan antara
muslim dengan non muslim tersebut adalah dalam masalah akidah dan ibadah
saja. Ketika orang-orang musyrik mencoba mengajak Nabi saw. untuk melakukan
kompromi dalam bidang agama. Tentu saja hal tersebut tidak dapat dijalankan.
Karena kompromi atau toleransi kerjasama dengan orang non muslim
diperbolehkan ketika urusannya bukan permasalahan aqidah dan atau ibadah.4 Memang membicarakan masa itu merupakan sebuah hayalan tentang
kondisi ideal umat Islam. Hayalan itu dipertegas lagi dengan adanya hadis yang
menyebutkan bahwa sebaik-baik generasi adalah generasi beliau bersama para
shahabah kemudian tâbi’ în kemudian tâbi’ al tâbi’în5. Namun tetap saja ada
rambu-rambu bagi umat yang menginginkan berada dalam kelompok Nabi dan
shahabah. Nabi pulalah yang memberi informasi akan terpecahnya umat Islam ke
dalam tujuh puluh tiga golongan yang semuanya masuk neraka kecuali satu ahlu
4 Ali Mustafa Yaqub,
Kerukunan Umat dalm Perspektif al-Qur’an & Hadis (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1999), h. 68-69.
5 Abd Allah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al Bukhari,
al Jami’ al Shahih al Bukhari
al sunnah wa al jamâ’ah. Menurut Nabi mereka adalah orang-orang yang
mengikutinya dan para sahabatnya.
ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹶﻝﻮﺳﺭ ﱠﻥﹺﺇ ﹶﻻﹶﺃ ﹶﻝﺎﹶﻘﹶﻓ ﺎﻨﻴﻓ ﻡﺎﹶﻗ ﻪﻧﹶﺃ ﹶﻥﺎﻴﹾﻔﺳ ﻰﹺﺑﹶﺃ ﹺﻦﺑ ﹶﺔﻳﹺﻭﺎﻌﻣ ﻦﻋ
ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ
ﻢﻠﺳﻭ
ﹶﻝﺎﹶﻘﹶﻓ ﺎﻨﻴﻓ ﻡﺎﹶﻗ
»
ﹶﻻﹶﺃ
ﲔﻌﺒﺳﻭ ﹺﻦﻴﺘﻨﺛ ﻰﹶﻠﻋ ﺍﻮﹸﻗﺮﺘﹾﻓﺍ ﹺﺏﺎﺘﻜﹾﻟﺍ ﹺﻞﻫﹶﺃ ﻦﻣ ﻢﹸﻜﹶﻠﺒﹶﻗ ﻦﻣ ﱠﻥﹺﺇ
ﻰﻓ ﹲﺓﺪﺣﺍﻭﻭ ﹺﺭﺎﻨﻟﺍ ﻰﻓ ﹶﻥﻮﻌﺒﺳﻭ ﻥﺎﺘﻨﺛ ﲔﻌﺒﺳﻭ ﺙﹶﻼﹶﺛ ﻰﹶﻠﻋ ﻕﹺﺮﺘﹾﻔﺘﺳ ﹶﺔﱠﻠﻤﹾﻟﺍ ﻩﺬﻫ ﱠﻥﹺﺇﻭ ﹰﺔﱠﻠﻣ
ﺔﻨﺠﹾﻟﺍ
«
.
ﹸﺔﻋﺎﻤﺠﹾﻟﺍ ﻰﻫﻭ
6“Dari mu’awiyah bin Abi Sufyan, bahwasanya terdapat seseorang di antara kami yang berdiri, kemudian dia berkata, “ketahuilah, bahwasanya Rasulullah saw. Telah bersabda, ‘ketahuilah bahwasanya orang-orang sebelum kalian dari kalangan ahli kitab telah bercerai-berai menjadi 72 millah, dan
sesungguhnya, millah ini (agama Islam) akan tercerai-berai menjadi 73 golongan.
72 golongan berada di neraka, dan satu golongan lagi berada di surga.’ Segolongan itu adalah al jamâ’ah.”
Dalam riwayat lain, terdapat perbedaan redaksi dengan maksud yang
sama, yakni penjelasan tentang satu kelompok yang selamat dengan redaksi
sebagai berikut:
ﻦﻣﻭ ﺍﻮﹸﻟﺎﹶﻗ ﹰﺓﺪﺣﺍﻭ ﹰﺔﱠﻠﻣ ﱠﻻﹺﺇ ﹺﺭﺎﻨﻟﺍ ﻰﻓ ﻢﻬﱡﻠﹸﻛ ﹰﺔﱠﻠﻣ ﲔﻌﺒﺳﻭ ﺙﹶﻼﹶﺛ ﻰﹶﻠﻋ ﻰﺘﻣﹸﺃ ﻕﹺﺮﺘﹾﻔﺗﻭ
ﹶﻝﻮﺳﺭ ﺎﻳ ﻰﻫ
ﻰﹺﺑﺎﺤﺻﹶﺃﻭ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﺎﻧﹶﺃ ﺎﻣ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻪﱠﻠﻟﺍ
7 “Ummatku akan tercerai-berai menjadi 73 millah, semuanya masukneraka, kecuali satu millah. Para sahabat bertanya, siapa (yang berada dalam)
6 Abu Dawud Sulaiman bin al Asy’ats al Sijistani al Azdî,
Sunan Abi Dawud, vol.4
(Cairo: Darul Hadis, 1999), h.324.
7 Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Surat al Turmuzî,
Sunan al Turmuzi, vol. 5 (Beirut:
4
millah itu ya Rasulallah? Beliau bersabda, “yaitu orang-orang yang mengikuti apa
yang ada padaku dan para sahabatku.”
Keterangan inilah yang kemudian menjadi senjata bagi setiap kelompok
yang mengaku sebagai salah satu golongan yang selamat untuk mempertahankan
diri sekaligus menyerang balik. Dan dari sini juga istilah salaf diperdebatkan8.
Sebuah ironi yang terjadi adalah ketika larangan untuk
berkelompok-kelompok dan bergolong-golong itu secara tegas tertera dalam al-Qur’an, bahkan
kelompok dan golongan itu semakin hari semakin terlihat lebih banyak.
Dalam al-Qur’an Sûrah Ali 'Imran /3:103 disebutkan:
ﺍﻭﺮﹸﻛﹾﺫﺍﻭ ﺍﻮﹸﻗﺮﹶﻔﺗ ﺎﹶﻟﻭ ﺎﻌﻴﻤﺟ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹺﻞﺒﺤﹺﺑ ﺍﻮﻤﺼﺘﻋﺍﻭ
ﻢﹸﻜﻴﹶﻠﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ
ًﺀﺍﺪﻋﹶﺃ ﻢﺘﻨﹸﻛ ﹾﺫﹺﺇ ﹶﺔﻤﻌﹺﻧ
ﹶﻠﻋ ﻢﺘﻨﹸﻛﻭ ﺎﻧﺍﻮﺧﹺﺇ ﻪﺘﻤﻌﹺﻨﹺﺑ ﻢﺘﺤﺒﺻﹶﺄﹶﻓ ﻢﹸﻜﹺﺑﻮﹸﻠﹸﻗ ﻦﻴﺑ ﻒﱠﻟﹶﺄﹶﻓ
ﺎﻬﻨﻣ ﻢﹸﻛﹶﺬﹶﻘﻧﹶﺄﹶﻓ ﹺﺭﺎﻨﻟﺍ ﻦﻣ ﺓﺮﹾﻔﺣ ﺎﹶﻔﺷ ﻰ
ﹶﻥﻭﺪﺘﻬﺗ ﻢﹸﻜﱠﻠﻌﹶﻟ ﻪﺗﺎﻳَﺁ ﻢﹸﻜﹶﻟ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻦﻴﺒﻳ ﻚﻟﹶﺬﹶﻛ
“
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”9. QS. Ali 'Imran /3:103Dalam ayat lain Allah swt. Berfirman:
ﺍﻮﹸﻓﺭﺎﻌﺘﻟ ﹶﻞﺋﺎﺒﹶﻗﻭ ﺎﺑﻮﻌﺷ ﻢﹸﻛﺎﻨﹾﻠﻌﺟﻭ ﻰﹶﺜﻧﹸﺃﻭ ﹴﺮﹶﻛﹶﺫ ﻦﻣ ﻢﹸﻛﺎﻨﹾﻘﹶﻠﺧ ﺎﻧﹺﺇ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﺎﻬﻳﹶﺃ ﺎﻳ
ﱠﻥﹺﺇ
ﲑﹺﺒﺧ ﻢﻴﻠﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﱠﻥﹺﺇ ﻢﹸﻛﺎﹶﻘﺗﹶﺃ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﺪﻨﻋ ﻢﹸﻜﻣﺮﹾﻛﹶﺃ
8 Muhammad al Ghazali,
Islam yang Diterlantarkan, Penerjemah Muhammad Jamaluddin
(Bandung : Karisma, 1994), h. 13-22.
9 Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir al Qur’an,
Al Qur’an dan Terjemahnya
“Hai manusia, sesungguhnya Kami meciptakan kamu dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang wanita (Hawa) dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al-Hujurat/49:13)10
Ketika kota Mekkah dibebaskan dari kaum musyrikin (fathu Makkah)
pada bulan Ramadlan 8 H, Bilal seorang Sahabat nabi yang berkulit hitam naik ke
atas ka’bah untuk mengumandangkan adzan. Melihat kejadian ini, ada seoang
berkomentar, “mengapa budak hitam seperti itu yang mengumandangkan adzan?”.
Dari peristiwa tersebut, Allah kemudian menurunkan ayat 13 surah al Hujurat ini.
Dalam ayat ini sekurang-kurangnya terdapat dua buah teori. Pertama, teori
persamaan hak bagi manusia (Nazhariyyah al Musâwah). Persamaan ini berlaku
untuk seluruh manusia tanpa melihat etnis, warna kulit, kedudukan, keturunan,
dan lain sebagainya11. Ketika ayat ini diturunkan kepada Nabi saw Beliau hidup dalam suatu masyarakat yang sendi-sendi kehidupannya adalah berpijak di atas
prinsip-prinsip perbedaan. Perbedaan dalam keyakinan, harta, pangkat, keturunan,
dan warna kulit. Masyarakat pada masa itu membanggakan keturunan dan
kabilah-kabilah (suku-suku) mereka.
Kedua, teori pengakuan atas eksistensi bangsa-bangsa (syu’ûb, bentuk
tunggalnya: sya’b) dan suku-suku bangsa (qabâil, bentuk tunggalnya: qabilah).
Eksistensi bangsa-bangsa dan suku bangsa ini diakui dan dikehendaki oleh Allah.
Keberadaannya bukan untuk berbangga-banggaan apalagi melecehkan pihak lain.
10 Ali Mustafa Yaqub,
Kerukunan Umat dalm Perspektif al-Qur’an & Hadis (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1999) h. 29.
11 Abd al-Qadir Audah,
al-Tasyri’ al Jina’i al Islami, vol.1 (Bairut : Dar al-Katib al
6
Melainkan untuk saling mengenali satu sama lain, termasuk mengenali
kekurangan dan kelebihan pihak lain.12
Setiap kelompok selalu saja merasa bahwa ajaran mereka yang paling
benar dan biasanya adanya perseteruan ini terjadi karena masing-masing ingin
menjaga kemurnian agama agar tidak bercampur dengan ajaran yang bukan
berasal dari al-Qur’an dan Hadis Nabi13.
Orang-orang yang mengatas namakan memberantas bid’ah dan kekolotan
kadang tanpa sadar sedang berjuang dalam masalah khilafiyah. Kelompok yang
mempertahankan sebuah masalah khilafiyah dan yang berupaya memberantas
perkara itu juga sama-sama dalam rangka memurnikan ajaran Islam14.
Teori yang akan penulis bahas dalam tulisan ini adalah bahwa umat Islam
akan terpecah kedalam tujuh puluh tiga golongan yang semuanya masuk neraka
kecuali satu ahlu al sunnah wa al jama’ah. Masalah ini sangat penting untuk
dibahas karena banyaknya kesalahpahaman umat dalam memaknai ahlu al sunnah
wa al jama’ah sehingga menimbulkan perpecahan dan pertikaian.
1. Pembatasan Masalah
Dalam al-Qur’an setidaknya ada dua tempat yang secara jelas
menyebutkan idiom farraqû dînahum15 yang secara terjemah harfiah bahasa
12 Yaqub,
Kerukunan Umat,h. 31.
13 Zamihan Mat Zin al Ghari,
Salafiyah Wahabiyah Suatu Penilain (Selangor: Tera Jaya
Enterprise, 2001), h. 148-149.
14 Tim Penulis,
Biografi K.H. Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis Pesantren Modern
(Ponorogo: Gontor Press), h. 460.
15 Faidu Allah al Hasanî al Maqdisî,
Fathu al Rahmân li Talibi al Qur-ân (Indonesia:
Indonesia berarti “mencerai-berai16 agama mereka” yaitu pada Sûrah al An’âm/6: 159 dan Sûrah al Rûm/30: 32. 17 Dua ayat inilah yang akan dibahas selain karena di dalamnya secara apa adanya menyebut kata yang secara
terjemah harfiah bahasa Indonesia akar katanya berarti memecah belah
agama dan secara munasabah memiliki kesamaan topik, yaitu larangan untuk
memecah belah agama tetapi juga memiliki beberapa poin yang menarik
untuk dibahas dan dibicarakan dalam sub-sub judul. Mengingat terlalu
luasnya pembahasan dan persoalan-persoalan yang berkenaan dengan
perpecahan dalam Islam termasuk sudut pandang pembahasannya maka
penelitian ini dibatasi sebatas lingkup penafsiran Hasbi ash Shiddieqy dalam
Tafsir an-Nuur.
Pemilihan Tafsir an-Nuur sebagai rujukan awal tulisan ini dengan
alasan karena ini adalah tafsir berbahasa Indonesia yang ditulis lengkap.
Cakupan wilayah pembahasan ini menggunakan dua skala yaitu lokal
ke-Indonesiaan dan internasional. Dalam penelitian ini pembicaraan akan
menggunakan skala nasional meski terkadang membawa wacana pemikiran
internasional karena pada hakekatnya keduanya memiliki hubungan sangat
erat.
16 Ahmad Warson Munawir,
Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997),
h. 1050.
17 Muhammad Fuad ‘Abd al Baqi,
al Mu’jam al Mufahras li Alfâz al Qur ân al Karîm
8
2. Perumusan Masalah
Agar pembahasan ini lebih terarah maka penulis merumuskan
permasalahan dalam bingkai pertanyaan “ Bagaimana Penafsiran Hasbi ash
Shiddieqy mengenai farraqû dînahum yang tertera dalam Sûrah al
An’âm/6: 159 dan Sûrah al Rûm/30: 32.
B. Tujuan Penelitian
Selain untuk memenuhi persyaratan akademis dalam rangka memperoleh
gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.) pada Program Studi Tafsir-Hadis Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
skripsi ini bertujuan untuk:
1. Mendalami makna mencerai-berai agama yang terdapat dalam Sûrah al
An’âm/6: 159 dan Sûrah al Rûm/30: 32.
2. Mengetahui secara umum pokok-pokok pemikiran Hasbi ash Shiddieqy yang
terkait dengan makna farraqû dînahum.
3. Menelaah dan menelusuri penafsiran Hasbi ash Shiddieqy serta pendapatnya
diantara beberapa pendapat lain.
D. Metodologi Penelitian
1. Metode Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini, penulis sepenuhnya menggunakan metode
kepustakaan (library reseach) dari berbagai buku yang berkaitan dengan
Adapun sumber primer dalam penulisan skripsi ini penulis merujuk kepada
Tafsir al Qur’anul Majid an Nuur karya Prof. DR. Teungku Muhammad
Hasbi ash Shiddieqy. Sedangkan sumber sekunder penulis merujuk kepada
tafsir berbahasa Indonesia lainnya yaitu Tafsir al Azhar, sebuah tafsir
berbahasa Arab yaitu Tafsîr ibn al Katsîr dan buku-buku lain yang berkaitan
dengan skripsi ini.
2. Metode Pembahasan
Adapun metode yang digunakan dalam membahas penelitian ini
adalah dengan menggunakan metode deskriptif-analitis. Yaitu dengan
menerangkan tinjauan teoritis seputar definisi agama, fungsi agama, perilaku
memecah belah agama dan hubungan antara agama dan perilaku memecah
belah. Masalah-masalah tersebut kemudian dianalisa dengan menggunakan
sudut pandang penafsiran Prof. DR. Teungku Muhammad Hasbi ash
Shiddieqy dalam Tafsir an Nuur pada Sûrah al An’âm/6: 159 dan Sûrah al
Rûm/30: 32. Hasil analisa itulah yang akhirnya dirangkum dalam kesimpulan
10
3. Tehnik Penulisan
Adapun dalam penulisan skripsi ini penulis berpedoman pada buku: “
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)”, yang
diterbitkan oleh CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2007.
Pengecualian terdapat pada penulisan Tafsir an Nuur kependekan
dari Tafsir al Qur’anul Majid an Nuur menggunakan cara penulisan judul
pada buku aslinya yaitu buku cetakan Pustaka Rizki Putra Semarang tahun
1995 dan tahun 2000. Ungkapan shallallahu ‘alaihi wasallam disingkat
menjadi saw., berdasarkan penulisan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
edisi ketiga, Departemen Pendidikan Nasional, yang diterbitkan oleh Balai
Pustaka.
E. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini penulis membagi tulisan menjadi lima bab dan
masing-masing terdiri dari sub-sub bab:
Bab I merupakan pendahuluan yang menjadi acuan dan landasan
pembasan skripsi ini. Memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan
Bab II berisi biografi Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy dan keterangan tentang Tafsir an Nuur berupa riwayat hidup,
pemikiran dan karya, sejarah penulisan dan karakteristik Tafsir an-Nuur.
Bab III berisi pengertian mengenai agama, fungsi agama dan kaitan antara
Bab IV analisis tentang masalah perilaku mencerai-berai agama dan
bahayanya dari Tafsir an Nuur , kajian Surah al An’âm/6: 159 dan al Rûm/30: 32.
12
BAB II
BIOGRAFI PROF. DR. TEUNGKU MUHAMMAD HASBI ASH SHIDDIEQY DAN TAFSIR AN NUUR
A. Riwayat Hidup1
Mengenai tempat lahir dan asal keturunan maka Hasbi ash-Shiddieqy
lahir di Loukseumawe, Aceh Utara di tengah keluarga berstrata sosial
ulama-umara, tepatnya pada 10 Maret 1904. Ayahnya, Tengku Muhammad Husein ibn
Muhammad Su’ud, adalah salah seorang loyalis rumpun Tengku Chik Di
Simeuluk Samalanga. Sementara Ibunya, Tengku Amrah adalah putri Tengku
Abdul Aziz, seorang pemangku jabatan Qadli Chik Maharaja Mangkubumi.
Berdarah campuran Arab-Aceh Hasbi berasal dari lingkungan keluarga
ulama, pendidik dan pejuang. Ash-Shiddieqy dibelakang nama beliau adalah
nama keluarga yang dihubungkan dengan Abu Bakar ash-Shiddiq khalifah
pertama dari kalangan shahabah pada tingkatan yang ke tigapuluh tujuh.
Ditinggal ibunya pada usia enam tahun setelah itu, Hasbi diasuh oleh
Tengku Syamsiyah, saudara wanita ibunya yang tidak dikaruniai putra.2 Dalam keterangan lain, Tengku Syamsiyah adalah paman dari pihak ibu Hasbi. Ia khatam
al-Qur’an pada usia delapan tahun. Setahun berikutnya ia belajar qirâ’at dan
1Hasan Shadily,
Ensiklopedi Islam 2, vol. 5 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994),
h.94.
2
tajwîd serta dasar-dasar tafsir dan fiqih dari ayahnya yang menghendakinya
menjadi seorang ulama. Ayahnya pula yang mengirim Hasbi ke salah satu dayah
di kota kelahirannya. Dayah berarti orang perempuan (ibu) yang diserahi
mengasuh atau menyusui anak orang lain; inang pengasuh; ibu susu. Tetapi dalam
kebiasaan masyarakat Aceh, dayah berarti tempat pendidikan agama, layaknya
pesantren di Jawa. 3
Delapan tahun lamanya Hasbi belajar dari satu dayah ke dayah lainnya.
Tahun 1912 ia belajar bahasa Arab di dayah Tengku Chik Di Piyeung dan
seterusnya berpindah-pindah tempat.
Pada tahun 1916 Hasbi merantau ke dayah Tengku Chik Idris di
Tanjungan Barat, Samalanga, dayah terbesar dan terkemuka di Aceh Utara untuk
belajar ilmu fiqih. Dua tahun kemudian pindah ke dayah Tengku Chik Hasan di
Kruengkale sampai tahun 1920 hingga mendapat syahâdah yaitu legalitas sang
guru untuk membuka dayah sendiri.
Kegemarannya membaca didukung kemahirannya dalam mengusai
bahasa-bahasa lain selain Melayu. Bahasa asing selain bahasa Arab yang
dimilikinya adalah bahasa Latin dan bahasa Belanda.
Al Irsyad Surabaya adalah tempat studi bahasa Arab Hasbi yang berangkat
kesana bersama al Kalali pada tahun 1926. tahun 1928 memimpin sekolah al
Irsyad di Lhokseumawe. Tahun1930 menjadi kepala sekolah al Huda di
Kruengmane Aceh utara. Pada tahun 1940-1942 menjadi direktur Darul
3 Departemen Pendidikan Nasional,
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
14
Mu’allimin Muhammadiyah Kutaraja. Masih sempat juga membuka Akademi
Bahasa Arab.
Pada era demokrasi liberal, ia terlibat secara aktif mewakili Partai
Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dalam perdebatan-perdebatan
panjang yang membahas masalah ideologi di Konstituante yaitu lembaga yang
mewakili rakyat ketika itu. Karir politik ini dimulai dari tahun 1930 ketika
diangkat menjadi ketua Jong Islamieten Bond cabang Aceh utara di
Lhokseumawe. Dan masuk sebagai anggaota konstituante pada tahun 1955.
Namun akhirnya lebih memilih dunia akademis daripada berpolitik praktis. Tahun
1958 menjadi utusan Indonesia dalam Seminar Islm Internasional di Lahore.
Karir akademiknya dimulai dari menjadi staf pengajar sekolah persiapan
PTAIN sampai akhirnya menjadi direkturnya. Mata kuliah Hadits menjadi
spesialisasinya di IAIN. Tahun 1960 mendapat promosi sebagai Guru Besar
dengan pidato pengukuhan berjudul Syariat Islam Menjawab Tantangan Jaman
yang disampaikan pada acara peringatan setengah tahun peralihan nama PTAIN
menjadi IAIN tahun1961.
Sewaktu pembukaan Fakultas Syariah di Darussalam, Banda Aceh yang
berinduk pada IAIN Yogyakarta beliau menjadi Dekannya sejak September 1960
hingga Januari 1962. Lepas dari jabatan ini, tahun 1963-1966 Hasbi merangkap
lagi sebagai Pembantu Rektor III dengan tetap menjadi Dekan Fakultas Syariah di
IAIN Yogyakarta.
Ada beberapa jabatan struktural di berbagai Perguruan Tinggi Swasta.
Universitas Cokroaminoto di kota yang sama. Mengajar di Universitas Islam
Indonesia (UII) Yogyakarta tahun 1964. Mengajar dan menjadi Dekan pada
Fakultas Syariah Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang sejak
tahun 1967 hingga wafatnya.
Meskipun tidak pernah belajar di luar negeri beliau mampu menelurkan
lebih dari seratus judul karya intelektual dari beragam disiplin keilmuan dan
berbagai artikel lainnya. Ia mendapat anugerah Doctor Honoris Causa dari
Unisba dan IAIN Sunan Kalijaga sekaligus pada tahun 1975. Pada tanggal 9
Desember 1975, setelah beberapa hari memasuki karantina haji, dalam rangka
menunaikan ibadah haji, beliau berpulang ke rahmatullah, dan jasad beliau
dimakamkan di pemakaman keluarga IAIN Ciputat Jakarta. Pada upacara
pelepasan jenazah dihadiri Buya Hamka dan Mr. Moh. Rum. Naskah terakhir
yang sempat diselesaikan adalah Pedoman Haji.
Keppres Nomor 067/TK/Tahun 2007 menetapkan pemberian gelar
pahlawan nasional dan Bintang Mahaputra Utama kepada Prof Dr Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy.4
B. Pemikiran dan Karya
Dari segi pemikiran Hasbi adalah pelajar tekun yang memiliki kemampuan
otodidak yang baik. Terbukti dengan penyampaian makalahnya dalam
4 Margawati Rahayu Simarmata,” Sembilan Putra Terbaik Terima Gelar Pahlawan
16
Internasional Islamic Colloquium yang diselenggarakan di Lahore Pakistan tahun
1958. Bahkan sebelum berhaji atau belajar di Timur Tengah Hasbi sudah
jauh-jauh menyerukan pembaharuan. Sejak awal Hasbi sudah berani menentang arus
bahkan di lingkungan yang sangat fanatik sekalipun. Terkenal sangat moderat
tetapi juga tegas dalam mengambil sikap. Dan beliau adalah penggagas awal fiqh
yang berkepribadian Indonesia.
Hasbi sebagaimana kebanyakan ulama memandang bahwa syariat Islam
bersifat lentur sehingga dinamikanya bisa disesuaikan dengan masa dan wilayah
hadirnya. Beliau memandang bahwa fiqh merupakan produk ijtihad yang belum
final sehingga memungkinkan umat Islam Indonesia untuk memiliki coraknya
sendiri. Beliau mengkritik praktek penggunaan fiqh yang dilaksanakan
masyarakat Indonesia yang dinilai tidak berkepribadian Indonesia. Pintu ijtihad
masih terus terbuka lebar. Beliau menyarankan tinjauan ulang atas hukum-hukum
produk ulama mazhab, mencari hukum yang timbul dari adat kebiasaan dan
meninjau masalah kontemporer dengan tinjauan proporsional. Kemudian semua
itu diramu untuk menjadi mazhab fiqh baru Indonesia.
Pandangan modern Hasbi tentang zakat dan sarannya kepada pemerintah
untuk membuat bait al mâl adalah bukti kepahaman atas maqâsid al syarî’ah atau
tujuan pemberlakuan syariah sekaligus bentuk kepedulian beliau atas
kesejahteraan umat Islam dan tanggung jawab ilmiah sebagai seorang pengemban
ilmu Allah.
Karya ilmiah Hasbi adalah buah dari ketekunan membaca di perpustakaan
1957-1958 beliau mendapat penghargaan sebagai salah seorang dari sepuluh
penulis Islam terkemuka.
Cukup banyak karya tulis yang telah dihasilkannya. Karya tulisnya
mencakup berbagai disiplin ilmu keislaman. Menurut catatan, buku yang
ditulisnya berjumlah 73 judul (142 jilid) dengan klasifikasi sebagai berikut:
1. Bidang fiqh terdiri dari 36 judul.
2. Bidang hadis terdiri dari 8 judul.
3. Bidang tafsir terdiri dari 6 judul.
4. Bidang tauhid; ilmu kalam terdiri dari 5 judul.
5. Yang lainnya adalah tema-tema umum.
C. Sejarah Penulisan Tafsir An-Nuur
Hasbi menulis tafsirnya sejak tahun 1952 hingga tahun 1961 di sela-sela
kesibukannya mengajar, menjadi dekan fakultas Syari’ah IAIN dan menjadi
anggota konstituente dari partai Masyumi. Karena kesibukannya itu, ia tidak
menuliskan sendiri tafsirnya, tapi hanya mendiktekan kemudian dituliskan oleh
seorang pengetik, sementara di mejanya bertebaran berbagai buku rujukan5. Latar belakang penulian tafsir ini, sebagaimana yang ia tulis di pengantar
tafsirnya, karena ia melihat banyak umat Islam Indonesia yang mulai tertarik
untuk mendalami ajaran Islam, termasuk tafsir al-Qur’an. Tapi sayang,
5
Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Tafsir al Qur’anul Majid an Nuur, vol. 1
18
kebanyakan diantara mereka tidak menguasai bahasa Arab, padahal kitab-kitab
tafsir umumnya berbahasa Arab. Maka ia tulis tafsir ini untuk memudahkan
mereka yang tertarik mendalami tafsir al-Qur’an itu.
Di bidang tafsir al-Qur’an, Hasbi menulis dua tafsir, yaitu Tafsir an-Nuur
(1956) dan Tafsir al-Bayan (1966). Tafsir an-Nuur ditulis di tengah perdebatan
tentang boleh-tidaknya menerjemah sekaligus menulis al-Qur’an dengan bahasa
selain bahasa Arab. Bagi Hasbi, al-Qur’an bersifat universal. Karena itu, demi
suksesnya misi transformasi maka penggunaan bahasa pembaca yang
terkotak-kotak dalam suku dan bangsa masing-masing untuk menafsirkan al-Qur’an
menjadi sebuah kebutuhan mendesak, tidak terkecuali menggunakan bahasa
Indonesia.
Hasbi sepenuhnya menyadari bahwa pendapatnya ini berseberangan
dengan pendapat majelis ulama-ulama besar Saudi Arabia dalam keputusan No.
67, 21 Syawal 1399 H/1978 M. Keputusan itu berisi fatwa haramnya menulis
(menafsirkan) al-Qur’an dengan menggunakan selain bahasa Arab. Namun ia
jalan terus dengan menulis Tafsir an-Nuur.
Dalam menyusun kitab tafsirnya, Hasbi banyak menggunakan
sumber-sumber seperti ayat al-Qur’an, riwayat Nabi, riwayat sahabat dan tabi’in,
teori-teori ilmu pengetahuan, pengalaman dan juga pendapat para mufasir. Ia menyusun
Tafsir an-Nuur dengan sistematika pembahasan tertentu yang diharapkan mampu
menggugah minat pembaca sekaligus memudahkannya dalam memahami dan
satu kitab tafsir rujukan Lembaga Penyelenggara Penerjemahan Kitab Suci
al-Qur’an dalam tugasnya menerjemahkan al-al-Qur’an.
D. Karakteristik Tafsir An-Nuur
Sistem penulisan tafsir ini pertama-tama menyajikan pengantar umum
bagi setiap surat. Dengan menghubungkan hal-hal yang memiliki korelasi dengan
surat sebelumnya, atau biasa disebut munasabah. Kemudian menyebutkan satu,
dua atau tiga ayat al-Qur’an yang mengandung satu pembahasan. Kemudian ayat
tersebut diterjemahkan maknanya dengan cara yang mudah difahami. Setelah itu
barulah Hasbi menafsirkan inti dari ayat-ayat terebut. Selanjutnya ia menyebutkan
ayat-ayat lain yang mengandung pembahasan yang sama. Terakhir untuk lebih
memudahkan memahami maksud ayat-ayat itu ia menyebutkan
asbabun-nuzulnya, jika memang ada.
Materi tafsir yang terdapat dalam an-Nuur Hasbi sarikan dari tafsir-tafsir
mu’tabar, terutama dari al-Maraghî. Ayat dan hadits yang dinukil dalam tafsir ini
terdapat pula dalam tafsir induk dan tafsir yang mengambil dari
tafsir-tafsir induk itu. Sementara dalam menerangkan ayat-ayat yang semakna dengan
ayat-ayat yang sedang ditafsirkan, Hasbi berpedoman pada Tafsîr Ibnu Katsir,
karena banyak menafsirkan ayat dengan ayat.
Tahun 1995 Tafsir an-Nuur diterbitkan oleh Pustaka Rizki Putra Semarang
dalam 5 jilid.
Dari maksud penulisan tafsir ini yaitu untuk memudahkan mereka yang
20
segi-segi kemasyarakatan dan hukum-hukum sosial maka jelas terlihat bahwa
corak tafsir ini adalah al adabî al ijtim’î, sastra budaya kemasyarakatan.6
Begitu seriusnya Hasbi dalam menyampaikan ide-idenya sampai dalam
penulisan tafsir ini disertakan transliterasi ayat-ayat al-Qur’an pada bagian tafsir
hal ini selain untuk mempermudah para peminat tafsir yang belum bisa membaca
al-Qur’an dalam tulisan aslinya sekaligus mendorong umat untuk tidak minder
menghadapi tafsir al-Qur’an karena memang dia ditujukan bagi seluruh umat baik
kalangan terpelajar ataupun masyarakat awam. Apabila diperhatikan dengan
seksama maka akan didapati bahwa terjemahan dalam tafsir ini memiki ruh yang
sama dengan terjemah Departemen Agama hanya terdapat penyesuaian kata
seiring dengan perkembangan bahasa Indonesia modern. Karena memang tafsir
Hasbi merupakan salah satu diantara rujukan tim penerjemah al-Qur’an yang
dibentuk Departemen Agama disamping Hasbi juga terlibat secara aktif dalam
proses lahirnya al-Qur’an dan Terjemahnya terbitan Dartemen Agama.
6 Didin Saefuddin Buchari,
Pedoman Memahami al Qur’an (Bogor: Granada Sarana
21
A. Pengertian Agama
Kata agama dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti:
Segenap kepercayaan (kepada Tuhan, Dewa dan lain sebagainya) serta dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu.1
Dalam Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, agama disetarakan dengan
religion dalam bahasa Inggris yang berasal dari bahasa Latin: religio yang berarti
kekhawatiran, keseganan, atau berasal dari kata relegere yang berarti membaca
kembali atau dari kata religare yang berarti mengikat kembali. Dalam definisi
agama adalah segala kepercayaan kepada Tuhan atau Dewa berikut ajaran
kebaktian dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu; sangat
mementingkan konsep mengenai asal-usul (Tuhan) serta tujuan akhir perjalanan
hidup manusia; digunakan manusia sebagai wahana untuk berjuang memenuhi
dorongan-dorongan moralnya yang luhur dan mencapai kesempurnaan yang
paling tinggi melalui penghayatan dan melibatkan seluruh kemampuan ruhaniah
dan sikap pasrah diri.2
1 W.J.S. Poerwadarminta,
Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (Jakarta: Balai
Pustaka, 2006), h. 10.
2 Save M. Dagun,
Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Lembaga Pengkajian
22
Selain dikenal sebagai religi, agama disetarakan dengan dîn dalam bahasa
Arab. Dalam Al Munjid kata dîn diartikan sebagai: al dîn (jama’ :adyân): (1) al
jazâu wa al mukâfaah; (2) al qadâ; (3) al mâlik/ al muluk wa al sultân;(4) al tadbîr;(5) al hisâb.3(Artinya: (1) pahala, (2) ketentuan, (3) kekuasaan, (4)
pengelolaan, (5) perhitungan).
Al Jurjani dalam al Ta’rîfât memadankan al dîn dengan al millah yang
disebut sebagai satu dalam zat atau materinya tetapi berbeda di dalam
penggambaran. Ketika sebagai syariat yang dipatuhi maka disebut al Dîn. Ketika
berfungsi mengumpulkan seluruh makna agama maka disebut al millah.
Ditambah dengan al Madzhab ketika difungsikan sebagai tempat kembali atau
referensi. Secara gampang dibedakan antara ketiganya kepada sandarannya, al dîn
disandarkan kepada Allah, al millah kepada nabi dan al millah kepada mujtahid.4
Harun Nasution mencantumkan empat unsur penting yang ada dalam
agama secara umum, yaitu:
1. Kekuatan gaib.
2. Keyakinan bahwa kebaikan di dunia dan akhirat bergantung kepada hubungan
baik dengan sesuatu yang gaib tersebut.
3. Respons emosional seperti rasa takut dan cinta.
4. Paham akan adanya yang suci dalam bentuk kekuatan gaib, kitab suci atau
tempat-tempat tertentu.5
3Louis Ma’luf,
Munjid; fi al lughah, (Beirut: al Matba’ah al Kâtûlîkiyyah 1960; reprint,
Beirut: Dar el- Machreq Sarl, 1986), h. 231.
4‘Ali ibn Muhammad ibn ‘Ali al Jurjani,
al Ta’rîfât,, (Beirut: Dar al Kitab al
‘Arabiy,1996), h. 141-142.
5Harun Nasution,
Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, vol.1(Jakarta: UI-Press,1986),
Muhammad Rasyid Rida dalam al Manâr meyebutkan bahwa:
Sesungguhnya agama adalah aturan yang ditentukan oleh Tuhan karena akal manusia secara mandiri tidak bisa mencapai kecuali harus adanya pertolongan wahyu. Meskipun demikian agama ini sesuai dengan tuntutan fitrah (jati diri) manusia untuk membersihkan jiwanya dan mempersiapkan manusia untuk sesuatu kehidupan yang abadi di hari akhirat nanti.6
Endang Saifuddin Anshari dalam Ilmu Filsafat dan Agama membagi
agama berdasarkan sumbernya menjadi dua, yaitu:
1. Agama budaya.
2. Agama wahyu.
Agama budaya adalah agama yang lahir dari kebudayaan manusia atau
ciptaan manusia. Sedangkan agama wahyu adalah agama yang diwahyukan
Allah.7
Sedangkan agama yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah Islam
yang berasal dari bahasa Arab yang berarti penyerahan diri sepenuhnya kepada
Allah. Dalam istilah teologi berarti agama monotheis yang diwahyukan Allah
kemudian diterima dan disiarkan Nabi Muhammad saw.. Berpedoman pada kitab
suci al Qur’an dan Hadis Rasulullah.8
Agama Islam adalah agama yang datang dengan terutusnya seorang mulia
Nabi Muhammad saw. sebagai penutup Nabi dan Rasul Allah, yang diberi wahyu
dengan dipenuhi mukjizat berupa al-Qur’an, yang di dalamnya terdapat ayat-ayat
6 Abd. Jabbar Adlan,
Dirasat Islamiyyah Pengantar Ilmu Tauhid dan Pemikiran Islam
(Surabaya: Anika Bahagia, 1985), h.15.
7 Endang Saifuddin Anshari,
Ilmu Filsafat dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu, 1981), h.
142.
8Dagun,
24
penjelas yang tidak diragukan lagi kebenarannya dan juga sebagai petunjuk bagi
orang-orang yang bertakwa sekaligus sebagai pengingat bagi orang-orang yang
lupa.9
B. Fungsi Agama
Sang pencipta telah menciptakan berbagai macam hewan di muka bumi
ini. Bila dibandingkan dengan populasi hewan lunak, maka jumlah hewan buas
lebih banyak. Oleh karena itu, akan ditemukan senjata utama pada masing-masing
hewan tersebut, demi menghindari serangan dari hewan yang lain.
Manusia adalah termasuk bagian dari hewan. Manusia mempunyai tangan,
lisan, pedang, alat-alat perang, kendaraan, dan banyak lagi peralatan lain yang
dapat berfungsi sebagai alat pertahanannya. Bahkan jika dibandingkan dengan
hewan lainnya, manusia mempunyai alat yang lebih variatif. Karena manusia
mempunyai sesuatu yang membedakan dari hewan yaitu akal yang cenderung
berkembang, maka manusia membutuhkan peraturan. Peraturan yang dimaksud
adalah adanya perintah dan larangan, yang dengannya, manusia dapat hidup
teratur dan terjaga keamanan dan kelestariannya.10
Tujuan hidup beragama adalah membersihkan diri dan mensucikan jiwa
dan ruh. Tujuan agama lainnya adalah membina manusia agar menjadi baik dan
jauh dari kejahatan. Maka ajaran moral seperti kebersihan jiwa, tidak
mementingkan diri sendiri, cinta kebenaran, suka membantu manusia, kebesaran
jiwa, suka damai, rendah hati dan sebagainya merupakan hal-hal yang ditekankan.
9 ‘Alî Ahmad al Jûrjâwî,
Hikmah al Tasyrî’ wa falsafatihi (Beirut: Dar al Fikr, 1997), h.
29.
10
Karenanya agama menjadi sangat penting bagi hidup kemasyarakatan manusia
sebab dari individu-individu yang berjiwa bersih dengan akhlak yang baik itulah
masyarakat yang baik dapat dibina.11
Sebuah kutipan tentang fungsi agama dalam masyarakat modern berbunyi:
“Agama bukanlah pengganti politik-ekonomi, sastra, maupun hukum. Tapi ia dapat memperluas horizon dan visi manusia, menciptakan konteks transendental bagi pemecahan persoalan-persoalan yang saling terkait dari kehidupan manusia sekarang yang sedang mengalami frustasi baik secara individual maupun kolektif.” 12
Agama selain sebagai pembuka jalan pikiran juga diyakini sebagai solusi
yang dapat menyelesaikan problem kemanusiaan bukan hanya sebagai individu
tetapi juga sebagai masyarakat manusia. Dengan agama manusia bisa mengatur
seluruh persoalan hidup dengan baik sehingga terbebas dari segala macam
tekanan yang kadang membuat frustasi. Maka sikap keberagamaan yang malah
selalu menimbulkan konflik dan polemik berarti telah menyalahi fungsi agama.
Demikian fungsi agama secara umum. Secara khusus dalam menerangkan
fungsi Islam sebagai agama Maulana Muhammad Ali dalam mukadimah
Islamologi13menyebutkan :
1. Agama adalah kekuatan untuk mengembangkan akhlak manusia..
2. Islam sebagai landasan peradaban abadi.
3. Islam adalah kekuatan pemersatu yang paling besar di dunia.
4. Islam adalah kekuatan ruhani terbesar di dunia.
5. Islam memecahkan masalah dunia yang besar-besar.
11 Nasution,
Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya., vol. 1, h.18-19.
12 William McInner
,”Agama di Abad Duapuluh Satu,” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, v
.II, no.5(1990) h.79.
13 Ali ,
Islamologi. Penerjemah R. Kaelan danH.M. Bachrun (Jakarta: Darul Kutubil
26
C. Agama dan Perilaku Memecah Belah
Agama-agama besar secara umum memiliki dua ekstrim pada pola
kepercayaan penganutnya yaitu: sekularis dan fundamentalis. Kaum
fundamentalis terikat dengan dogma yang menutup peluang perubahan atau
sekedar adaptasi. Prinsip moral yang absolut dan ketat dari pemahaman yang
tekstual apa adanya menjadikan seluruh realitas hanya sebatas baik dan buruk
tanpa toleransi sedikitpun. Bahkan pendidikan dalam rumah tangga dengan aturan
yang sangat ketat membuat mereka sulit untuk menerima kenyataan bahwa
masyarakat sangat heterogen dan pluralistik. Tidak mau mendengar dan melihat
untuk perubahan. Tetapi pada saat yang sama mereka lebih memilih banyak sibuk
menciptakan koloni yang bisa dikuasai dan menghabiskan waktu dan energi untuk
merintangi dan memerangi lawan mereka dari pada membuka jalan kedekatan
kepada “Tuhan”. Sebaliknya kaum sekularis malah berupaya untuk lepas dari
formalitas agama.14
Konflik sosial yang bersumber dari agama biasanya timbul karena
perbedaan yang terjadi dalam empat hal, yaitu: doktrin dan sikap, suku dan ras
umat beragama, tingkat kebudayaan dan masalah prosentase kwantitas pemeluk
agama dalam satu lingkup tertentu. Masalah doktrin dan sikap adalah masalah
cara pemberian informasi agama seperti apa yang diterangkan tentang fatwa. Suku
dan ras adalah strata yang terjadi baik secara sistemik atau terjadi diluar kesadaran
masyarakat beragama. Tingkat kebudayaan menunjukkan kwalitas masyarakat
14William McInner
beragama secara general. Sedangkan masalah mayoritas dan minoritas adalah
masalah hegemoni pemahaman dan dominasi peran politik, ekonomi dan sosial.15 Dari definisi agama yang telah dipaparkan di atas tidak terdapat
keterangan yang menyatakan bahwa agama adalah sebuah lembaga formal atau
institusi yang memiliki struktur organisasi. Ketika ada keterangan bahwa “agama
digunakan manusia sebagai wahana untuk berjuang memenuhi
dorongan-dorongan moralnya…” maka kata wahana tidak bisa diartikan sebagai organisasi
agama. Agama dalam hal ini adalah sesuatu yang abstrak, kesadaran dalam hati
dan keyakinan yang dalam. Ketika masyarakat beragama berkumpul sebagai satu
komunitas secara tidak sadar kemudian timbul rasa kebersamaan dan sebagian
kemudian mengira bahwa rasa kebersamaan itu adalah agama. Formalisasi agama
inilah yang kemudian menyulut adanya konflik, karena muatan lokal yang masuk
kepada komponen asli agama berbeda disetiap tempat16.
Agama sendiri, dalam hal ini Islam, melarang segala jenis pemutusan
hubungan, pemboikotan, propokasi kebencian, tetapi menganjurkan kepada
persatuan dan persaudaraan.
ﻦﻋﻭ
ﻲﹺﺑﹶﺃ
ﹶﺓﺮﻳﺮﻫ
ﹶﻝﺎﹶﻗ
:
ﹶﻝﺎﹶﻗ
ﹸﻝﻮﺳﺭ
ﻪﱠﻠﻟﹶﺍ
-
ﻰﻠﺻ
ﷲﺍ
ﻪﻴﻠﻋ
ﻢﻠﺳﻭ
- -
ﺎﹶﻟ
ﺍﻭﺪﺳﺎﺤﺗ
ﺎﹶﻟﻭ
ﺍﻮﺸﺟﺎﻨﺗ
,
ﺎﹶﻟﻭ
ﺍﻮﻀﹶﻏﺎﺒﺗ
,
ﺎﹶﻟﻭ
ﺍﻭﺮﺑﺍﺪﺗ
,
ﺎﹶﻟﻭ
ﻊﹺﺒﻳ
ﻢﹸﻜﻀﻌﺑ
ﻰﹶﻠﻋ
ﹺﻊﻴﺑ
ﹴﺾﻌﺑ
,
ﺍﻮﻧﻮﹸﻛﻭ
ﺩﺎﺒﻋ
ﻪﱠﻠﻟﹶﺍ
ﺎﻧﺍﻮﺧﹺﺇ
,
ﻢﻠﺴﻤﹾﻟﹶﺍ
ﻮﺧﹶﺃ
ﹺﻢﻠﺴﻤﹾﻟﹶﺍ
,
ﺎﹶﻟ
ﻪﻤﻠﹾﻈﻳ
,
ﺎﹶﻟﻭ
ﻪﹸﻟﹸﺬﺨﻳ
,
ﺎﹶﻟﻭ
ﻩﺮﻘﺤﻳ
,
ﻯﻮﹾﻘﺘﻟﹶﺍ
ﺎﻫ
ﺎﻨﻫ
,
ﲑﺸﻳﻭ
ﻰﹶﻟﹺﺇ
15 D. Hendropuspito,Sosiologi Agama (Yogyakarta, Kanisius, 1989), h. 151.
16 Muhammad Syamsu As.,
Ulama Pembawa Islam di Indonesia (Jakarta: Penerbit
28
ﻩﹺﺭﺪﺻ
ﹶﺙﺎﹶﻠﹶﺛ
ﹴﺭﺍﺮﻣ
,
ﹺﺐﺴﺤﹺﺑ
ﹴﺉﹺﺮﻣﺍ
ﻦﻣ
ﺮﺸﻟﹶﺍ
ﹾﻥﹶﺃ
ﺮﻘﺤﻳ
ﻩﺎﺧﹶﺃ
ﻢﻠﺴﻤﹾﻟﹶﺍ
,
ﱡﻞﹸﻛ
ﹺﻢﻠﺴﻤﹾﻟﹶﺍ
ﻰﹶﻠﻋ
ﹺﻢﻠﺴﻤﹾﻟﹶﺍ
ﻡﺍﺮﺣ
,
ﻪﻣﺩ
,
ﻪﹸﻟﺎﻣﻭ
,
ﻪﺿﺮﻋﻭ
17“Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah saw. Telah bersabda, “Janganlah kalian saling membenci, saling mengintai, saling memarahi, saling memboikot, dan janganlah kalian bertransaksi diatas transaksi orang lain. Jadilah kalian sebagai bamba Allah yang saling bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagai muslim yang lain. Tidak boleh menzaliminya, merendahkannya, atau meremehkannya. Taqwa berada di sini (Nabi Muhammad menunjuk dadanya tiga kali) yaitu menurut seberapa besar perbuatan buruknya dalam penghinaan terhadap saudara semuslimnya. Setiap muslim terhadap muslim lainnya haram darahnya, hartanya, dan harga dirinya”
Bahkan Islam mengharamkan permusuhan dengan cara saling
mendiamkan lebih dari tiga hari, apalagi lebih dari sekedar mendiamkan dan
diatas tiga hari.
ﻦﻋﻭ
ﻲﹺﺑﹶﺃ
ﻱﺭﺎﺼﻧﻷﺍ ﺏﻮﻳﹶﺃ
-
ﻲﺿﺭ
ﷲﺍ
ﻪﻨﻋ
-
ﱠﻥﹶﺃ
ﹶﻝﻮﺳﺭ
ﻪﱠﻠﻟﹶﺍ
-
ﻰﻠﺻ
ﷲﺍ
ﻪﻴﻠﻋ
ﻢﻠﺳﻭ
-
ﹶﻝﺎﹶﻗ
: -
ﺎﹶﻟ
ﱡﻞﺤﻳ
ﹴﻢﻠﺴﻤﻟ
ﹾﻥﹶﺃ
ﺮﺠﻬﻳ
ﻩﺎﺧﹶﺃ
ﻕﻮﹶﻓ
ﺙﺎﹶﻠﹶﺛ
ﹴﻝﺎﻴﹶﻟ
.
ﻥﺎﻴﻘﺘﹾﻠﻳ
ﺽﹺﺮﻌﻴﹶﻓ
ﺍﹶﺬﻫ
ﺽﹺﺮﻌﻳﻭ
ﺍﹶﺬﻫ
,
ﺎﻤﻫﺮﻴﺧﻭ
ﻱﺬﱠﻟﹶﺍ
ﹸﺃﺪﺒﻳ
ﹺﻡﺎﹶﻠﺴﻟﺎﹺﺑ
-
ﻖﹶﻔﺘﻣ
ﻪﻴﹶﻠﻋ
18ﹴﻢﻌﹾﻄﻣ ﹺﻦﺑ ﹺﺮﻴﺒﺟ ﻦﻋﻭ
ﻪﻨﻋ ﷲﺍ ﻲﺿﺭ
-ﹶﻝﺎﹶﻗ
:
ﻪﱠﻠﻟﹶﺍ ﹸﻝﻮﺳﺭ ﹶﻝﺎﹶﻗ
ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ
ﻭ
ﻢﻠﺳ
ﻊﻃﺎﹶﻗ ﹶﺔﻨﺠﹾﻟﹶﺍ ﹸﻞﺧﺪﻳ ﺎﹶﻟ
-ﻲﹺﻨﻌﻳ
:
ﹴﻢﺣﺭ ﻊﻃﺎﹶﻗ
.
ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻖﹶﻔﺘﻣ
19.
17 Abu al Husain. Muslim,
Shahih Muslim (Beirut: Dar al Fikr, 1992), vol. 8, h.10.
18 Abd Allah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al Bukhari,
al Jami’ al Shahih al Bukhari (Beirut: Dar al Fikr, 1981), vol. 5, h. 2256.
19 al Bukhari,
“Dari Abi Ayyub ra, bahwasanya Rasulullah saw. Telah bersabda, “Tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya melebihi tiga malam, yaitu ketika keduanya bertemu, yang satu berpaling ke arah sini dan yang satu lagi ke arah sini, dan yang lebih baik dari keduanya adalah yang terlebih dahulu memberi salam,” muttafaq ‘alaih.
“Dari Jubair bin Mut’im ra, ia berkata, “Rasulullah saw. Telah bersabda, ‘Tidak akan masuk surga seseorang yang memutus tali persaudaraan,” muttafaq ‘alaih.
Perlu dipahami bahwa dalam pembahasan ini kata kunci permasalahan
terletak pada kata “mencerai-berai” yang dalam bahasa Arab terambil dari kata
farraqa yang merupakan kata kerja masa lampau sedangkan bentuk kata bendanya
adalah tafriqah atau tafrîq. Kata ini dibedakan dari kata ikhtilâf sebuah kata
benda yang berasal dari kata kerja bentuk lampau ikhtalafa dengan arti berselisih
atau berbeda pendapat. Ikhtilâf biasanya dikaitkan dengan hasil ijtihâd dalam
masalah cabang yang bukan masalah prinsipil. Sedangkan tafrîq merupakan
perpecahan umat yang kadang muncul salah satunya dari ikhtilâf yang
berkepanjangan. Setiap tafrîq adalah ikhtilâf tetapi tiadak semua ikhtilâf berakhir
dengan tafrîq.
Walaupun perbedaan pendapat adalah bagian dari sunnah Allah bahkan
Allah menciptakan manusia untuk hal tersebut namun tentu perpecahan di
kalangnan umat Islam bukanlah sesuatu yang baik20. Ikhtilâf selagi tidak
menimbulkan perpecahan merupakan satu bentuk keluwesan syari’ah sedangkan
tafrîq merupakan satu bencana yang menghancurkan sendi-sendi persatuan umat.
20 Sufyan Raji Abdullah, M
engenal Aliran-Aliran dalam Islam dan Ciri-Ciri Ajarannya
30
Memerlukan kebijaksanaan yang lebih dan sportifitas yang tinggi untuk menjadi
31
A. Sûrah al-An’âm/6: 159 Sûrah al-Rûm/30: 30-32 Surah al An’âm ayat 1591
Ayat dan Terjemah
ّﹶﻥﹺﺇ
ﺬّﹶﻟﺍ
ﻦﻳ
ﺍﻮﹸﻗّﺮﹶﻓ
ﻢﻬﻨﻳﺩ
ﺍﻮﻧﺎﹶﻛﻭ
ﺎﻌﻴﺷ
ﺖﺴﹶﻟ
ﻢﻬﻨﻣ
ﻲﻓ
ٍﺀﻲﺷ
ﺎﻤّﻧﹺﺇ
ﻢﻫﺮﻣﹶﺃ
ﻰﹶﻟﹺﺇ
ﻪّﹶﻠﻟﺍ
ّﻢﹸﺛ
ﻢﻬﹸﺌّﹺﺒﻨﻳ
ﺎﻤﹺﺑ
ﺍﻮﻧﺎﹶﻛ
ﹶﻥﻮﹸﻠﻌﹾﻔﻳ
“Sesungguhnya mereka yang memecah-belah agama sehingga menjadilah
mereka bergolong-golongan (mazhab, sekte), dan kamu tidak masuk ke salah satu
golongan itu. Sesungguhnya urusan mereka adalah dengan Allah, dan kemudian
Allah memberitahukan tentang apa yang telah mereka kerjakan.”
Surat al Rûm 30 sampai 322
Ayat dan Terjemah
Ayat 30:
ﻢﻗﹶﺄﹶﻓ
ﻚﻬﺟﻭ
ﻠﻟ
ﹺﻦﻳّﺪ
ﺎﹰﻔﻴﹺﻨﺣ
ﹶﺓﺮﹾﻄﻓ
ﻪّﹶﻠﻟﺍ
ﻲﺘّﹶﻟﺍ
ﺮﹶﻄﹶﻓ
ﺱﺎّﻨﻟﺍ
ﺎﻬﻴﹶﻠﻋ
ﻻ
ﹶﻞﻳﺪﺒﺗ
ﹺﻖﹾﻠﺨﻟ
ﻪّﹶﻠﻟﺍ
ﻚﻟﹶﺫ
ﻦﻳّﺪﻟﺍ
ﻢّﹺﻴﹶﻘﹾﻟﺍ
ّﻦﻜﹶﻟﻭ
ﺮﹶﺜﹾﻛﹶﺃ
ﹺﺱﺎّﻨﻟﺍ
ﻻ
ﹶﻥﻮﻤﹶﻠﻌﻳ
1ash Shiddieqy,
Tafsir al Qur’anul Majid an Nuur vol.2 (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2000), h. 1343
2
32
“Luruskanlah pandanganmu terhadp agama Allah dengan sepenuh hati,
dan berpegang eratlah kepada fitrah Allah, yang dengan fitrah itu manusia
diciptakan. Tidak ada perubahan terhadap tabiatnya yang diciptakan oleh Allah
(agama Allah), itulah agama yang lurus. Tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui”. Ayat 31:
ﲔﹺﺒﻴﹺﻨﻣ
ﻪﻴﹶﻟﹺﺇ
ﻩﻮﹸﻘّﺗﺍﻭ
ﺍﻮﻤﻴﻗﹶﺃﻭ
ﹶﺓﻼّﺼﻟﺍ
ﻻﻭ
ﺍﻮﻧﻮﹸﻜﺗ
ﻦﻣ
ﲔﻛﹺﺮﺸﻤﹾﻟﺍ
“Kamu kembali kepada-Nya dan berbaktilah kepada Allah dan dirikanlah sembahyang dan janganlah kamu menjadi orang-orang yang mempersekutukan Allah.” Ayat 32:
ﻦﻣ
ﻦﻳﺬّﹶﻟﺍ
ﺍﻮﹸﻗّﺮﹶﻓ
ﻢﻬﻨﻳﺩ
ﹶﻛﻭ
ﺍﻮﻧﺎ
ﺎﻌﻴﺷ
ّﹸﻞﹸﻛ
ﹴﺏﺰﺣ
ﺎﻤﹺﺑ
ﻢﹺﻬﻳﺪﹶﻟ
ﹶﻥﻮﺣﹺﺮﹶﻓ
“Yaitu orang-orang yang mencerai-beraikan agama mereka, lalu mereka menjadi beberapa golongan; tiap golongan merelakan apa yang ada di sisi mereka.”
Terjemahan Departemen Agama:
Surat al An’âm ayat 159
Terjemahan Departemen Agama: Surat al Rûm 30 sampai 32
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,”
“Dengan kembali bertaubat Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah,”
“Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.”
Di sini terlihat jelas pengaruh terjemahan Tafsir an Nuur atas terjemahan
Departemen Agama dalam al-Qur’an dan Terjemahnya. Hal itu adalah wajar
karena memang Hasbi ash Shiddieqy adalah satu diantara sepuluh anggota
“Dewan Penterjemah” yang bertugas untuk menerjemahkan al-Qur’an ke dalam
bahasa Indonesia versi Departemen Agama selama delapan tahun sejak tahun
1967 dan satu-satunya anggota yang sudah memiliki tafsir berbahasa Indonesia
dalam edisi lengkap tigapuluh juz.3
B. Pengertian Memecah Belah Agama
Dari penafsiran Hasbi ash Shiddieqydapatlah diketahui bahwa
memecah-belah agama dan berselisih berarti mengakui sebagian ajaran agama dan
mengingkari sebagian yang lain serta mentakwilkan nash-nash agama menurut
hawa nafsu dan dorongan hati.
3
Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir al Qur’an, Al Qur’an dan Terjemahnya, h.
34
Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa ayat ini turun mengenai ahlu al
kitâb yang memecah-belah agama Ibrahim, Musa dan agama Isa, serta menjadikan
agama-agama itu bermazhab-mazhab. Masing-masing pengikut mazhab fanatik
terhadap mazhabnya dan memusuhi mazhab lain.
Sebagian ahli tafsir ada yang berpendapat bahwa ayat ini turun mengenai
ahli bid’ah dan partai-partai (firqah) yang telah tumbuh dalam Islam yang
memecah persatuan umat.
Hasbi menggabungkan dua pendapat ini, yaitu dengan menetapkan bahwa
ayat ini menerangkan keadaan ahlu al kitab yang terkotak-kotak dalam berbagai
mazhab sekaligus menyuruh umat Islam untuk bersatu-padu serta menjauhkan diri
dari perpecahan.
Dari pilihan sikap ini terlihat bahwa Hasbi memandang bahwa dengan
memilih makna umum lafaz akan lebih mendatangkan maslahat. Seandainya
dipilih pendapat yang pertama saja maka selamatlah umat ini dari kritik Allah
yang terdapat di dalamnya. Tidak ada manfaat yang bisa dipetik bagi umat
Muhammad di belakang hari dan keterangan ini tak ubahnya berita biasa saja
yang tidak ada hubungannya dengan kondisi kekinian. Dari sini terlihat
pendekatan kritik kontekstual yang dibangun sebagai sebuah komunikasi yang
relevan guna memproduksi atau menyempurnakan diskursus yang ada.
Ketika masyarakat Islam sudah terpecah dalam berbagai kelompok dan
sekte maka berbagai kelompok dan sekte itu seolah mewakili agama di luar Islam
C. Perpecahan dalam Islam
Hasbi ash Shiddieqy memandang bahwa ahli bid’ah dan partai-partai
(firqah) yang telah tumbuh dalam Islam adalah sebuah indikasi perpecahan umat
Islam. Bid’ah yang dimaksud adalah membuat perkara-perkara baru dalam agama
yang tidak ada keterangannya baik di dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi
Muhammad. Termasuk perkara-perkara yang menyelisihi keduanya.
Beberapa kalangan yang semangat memerangi bid’ah menganggapnya
sebagai masalah terbesar umat, memiliki pandangan yang tidak bisa ditawar lagi.
Dalam definisi kalangan ini, bid’ah diartikan sebagai sesuatu yang menyelisihi
atau menyimpang dari kitab dan ijma’ salaf al ummah baik berkaitan dengan
keyakinan ataupun ibadah ritual yang diamalkan. Kadang diartikan sebagai
ungkapan yang dibuat-buat dalam perkara agama ataupun membuat sesuatu yang
menyerupai syariat. Singkatnya berlelih-lebihan dalam beribadah kepada Allah.
Bid’ah dibagi dalam dua perkara. Pertama, pada adat atau kebiasaan, biasanya
dikaitkan dengan penemuan dan penciptaan baru. Bid’ah semacam ini masih
dibolehkan. Kedua, bid’ah yang terjadi pada agama. Bid’ah macam inilah yang
diharamkan karena perkara agama sifatnya adalah tawqîfî yaitu harus ditetapkan
dengan dalil baik dari al-Qur’an maupun dari Hadis Nabi. Bid’ah dalam agama
dikategorikan lagi dalam dua hal, yaitu dalam hal keyakinan, berupa ucapan yang
bersifat keyakinan dan dalam perkara ibadah, berupa peribadatan dengan cara
yang tidak disyariatkan. Ditinjau dari segi dalil bid’ah dikelompokkan dalam
36
sekali tidak memiliki dasar hukum dalam al-Qur’an maupun Hadis. Yang kedua
adalah sesuatu yang memiliki dasar hukum dalam ajaran Islam tetapi dilakukan
dengan cara yang menyelisihi ajaran tersebut. Untuk menguatkan peringatakan
atas bahaya bid’ah ini dicantumkan pula pendapat mazhab Hanbali yang
membolehkan membunuh orang yang mengajak kepada bid’ah karena
kekhawatiran akan rusaknya jamaah umat Islam karena bid’ah tersebut.
Hadis-hadis yang biasa dikemukakan sebagai dalil pembuka diantaranya:
1. Hadis man ahdatsa fî amrinâ… riwayat al Bukhari.
ﺩﺭ ﻮﻬﹶﻓ ﻪﻴﻓ ﺲﻴﹶﻟ ﺎﻣ ﺍﹶﺬﻫ ﺎﻧﹺﺮﻣﹶﺃ ﻰﻓ ﹶﺙﺪﺣﹶﺃ ﻦﻣ
4 ٌ
Hadis ini berbicara tentang tetolaknya amalan-amalan yang diada-adakan.
2. Hadis man ‘amila ‘amalan….riwayat Muslim.
ﺩﺭ ﻮﻬﹶﻓ ، ﺎﻧﺮﻣﹶﺃ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﺲﻴﹶﻟ ﹰﻼﻤﻋ ﹶﻞﻤﻋ ﻦﻣ
5
Hadis ini berbicara tentang tertolaknya amalan yang tidak bersumber dari
Nabi.
3. Hadis wa iyyakum wa muhdatsâti al umûr riwayat Abu Dawud.
ﻢﹸﻜﻨﻣ ﺶﻌﻳ ﻦﻣ ﻪﻧﹺﺈﹶﻓ ﺎﻴﺸﺒﺣ ﺍﺪﺒﻋ ﹾﻥﹺﺇﻭ ﺔﻋﺎﱠﻄﻟﺍﻭ ﹺﻊﻤﺴﻟﺍﻭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻯﻮﹾﻘﺘﹺﺑ ﻢﹸﻜﻴﺻﻭﹸﺃ
ﺷﺍﺮﻟﺍ ﲔﻳﺪﻬﻤﹾﻟﺍ ِﺀﺎﹶﻔﹶﻠﺨﹾﻟﺍ ﺔﻨﺳﻭ ﻰﺘﻨﺴﹺﺑ ﻢﹸﻜﻴﹶﻠﻌﹶﻓ ﺍﲑﺜﹶﻛ ﺎﹰﻓﹶﻼﺘﺧﺍ ﻯﺮﻴﺴﹶﻓ ﻯﺪﻌﺑ
ﺍﻮﹸﻜﺴﻤﺗ ﻦﻳﺪ
4 al Bukhari,
al Jami’ al Shahih al Bukhari, vol. 3, h. 222.
5 Muslim,
ﻋﺪﹺﺑ ﱠﻞﹸﻛﻭ ﹲﺔﻋﺪﹺﺑ ﺔﹶﺛﺪﺤﻣ ﱠﻞﹸﻛ ﱠﻥﹺﺈﹶﻓ ﹺﺭﻮﻣُﻷﺍ ﺕﺎﹶﺛﺪﺤﻣﻭ ﻢﹸﻛﺎﻳﹺﺇﻭ ﺬﹺﺟﺍﻮﻨﻟﺎﹺﺑ ﺎﻬﻴﹶﻠﻋ ﺍﻮﻀﻋﻭ ﺎﻬﹺﺑ
ﺔ
ﹲﺔﹶﻟﹶﻼﺿ
6
Hadis ini berbicara mengenai peringatan Nabi untuk menjauhi bid’ah karena
semua bid’ah sesat.7
Golongan moderat memandang bahwa perjuangan memurnikan ajaran
Islam dengan cara memberantas bid’ah dan kekolotan berarti masuk ke dalam
lingkup masalah khilafiyah. Karena kelompok yang mempertahankan dan
memberantas kedunya sama-sama berdalih untuk memurnikan ajaran Islam.8 Sejarah mengatakan bahwa persoalan politik yang kemudian merembet
kepada masalah teologi adalah pemicu adanya perpecahan dalam Islam. Yang
akhirnya memunculkan tiga aliran teologi yaitu: Khawârij, Murji’ah dan
Mu’tazilah. Bersamaan dengan itu muncul pula dua aliran teologi lainnya al Qadariyyah dan al Jabaryyiah.9
Di alam modern kini terjadi juga perdebatan tentang wajibnya mendirikan
negara Islam10 di pihak lain ada yang menganggap bahwa yang demikian adalah paham keagamaan yang rancu dan merupakan legitimasi tindak kebrutalan seperti
teror, pembunuhan atau pengkafiran hanya dengan sebab sepele11.
6 Abu Dawud,
Sunan Abi Dawud, vol.4, h.329.
7 Hartono Ahma