• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku mencerai-berai agama dalam tafsir an-Nur: Tafsir surat al- an'am ayat 159 dan al-Rum 30 sampai 32

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perilaku mencerai-berai agama dalam tafsir an-Nur: Tafsir surat al- an'am ayat 159 dan al-Rum 30 sampai 32"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

PERILAKU MENCERAI-BERAI AGAMA DALAM TAFSIR AN-NUUR

Tafsir Surat al An’âm ayat 159 dan al Rûm 30 sampai 32

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)

Oleh :

Budi Utomo NIM: 208034000003

PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

▸ Baca selengkapnya: tidak mudah terpengaruh bilangan 14 ayat 25 sampai 30

(2)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat 8 Juni 2010

(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Masalah disintegrasi bukan hanya terjadi pada masalah kenegaraan

tetapi juga merambah wilayah beragama dan berkeyakinan. Disintegrasi dalam satu kawasan negara biasanya membicarakan masalah state atau

pembagian wilayah yang diklaim oleh pihak separatis sebagai hak mereka yang diambil oleh pemerintahan yang sah. Jadi yang dibicarakan adalah peta wilayah.

Disintegrasi di dalam agama dan keyakinan adalah terjadi karena adanya orientasi baru baik dalam masalah ibadah ritual, pemahaman dan kelembagaan secara parsial atau keseluruhan. Pada awalnya yang dibicarakan adalah peta pemikiran tetapi pada akhirnya bisa sampai pada pembicaraan peta wilayah, pemberontakan kepada otoritas kekuasaan yang sah. Yang seluruhnya keluar dari pakem yang ada dalam tuntunan Allah dan Rasul-Nya sebagai pemilik otoritas Islam. Kemudian Islam yang sudah tidak original itu masih memakai nama gen awalnya sehingga timbulah banyak varian yang saling berbenturan karena persaingan seolah mengharuskan adanya satu juara saja, yang paling benar, yang paling original. Persaingan yang tak pernah usai, tidak hanya menyebabkan perang dingin tetapi juga kerap memicu bentrokan fisik bahkan pertumpahan darah dan perang senjata dalam waktu yang panjang dan melelahkan. Bahkan memicu dendam sejarah yang terus diwariskan.

(6)

ii Alhamdu li Allâh rabb al ‘alamîn.

Allahumma shalli ‘alâ Muhammad wa ‘alâ âli Muhammad.

Terima kasih yang tulus kepada Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Prof. Dr. Zaenun Kamal F., MA., Dekan Fakultas Ushuluddin, Dr. Bustamin Msi., Ketua Jurusan Tafsir Hadis, Dr. Edwin Syarif MA., Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis. Tak lupa pula kepada pembimbing skripsi bapak Drs. A. Rifqi Muchtar, MA., atas kesabaran, bimbingan dan arahannya dalam proses penyelesaian skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh dosen pembimbing mata kuliah di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, semoga Allah memberikan keberkahan atas ilmu yang diajarkan. Tak lupa pula kepada segenap karyawan Perpustakaan Utama, Perpustakaan FU UIN dan Perpustakaan Umum IMan Jama.

Permohonan maaf dan terima kasih yang tiada terhingga kepada Orang Tua tercinta Ibu Hajjah Janatun dan Bapak Haji Tambak bin Ranyan yang sekian lama menunggu dengan sabar dan ikhlas atas keterlambatan penyelesaian tugas ini karena kesalahan dan keterbatasan penulis. Juga atas dukungan moril, materil dan do’a yang tiada putus-putusnya. Semoga rida dunia sampai akhirat. Allah berikan keberkahan pada umur dan ‘amal shalih keduanya.

(7)

iii

Terima kasih selanjutnya untuk isteri tercinta Fitria Kadam dan Pasukan Kecilku; Zhafira La Zanba, Zakia Nurul ‘Aini dan Zou Zein yang selalu membawa keceriaan dan menjadi semangat hidup. Semoga Romo (penulis) bisa memberikan sejarah yang baik untuk kebahagiaan dan kebanggaan keluarga “ La Zanba” kecil kita. Juga kepada Keluarga besar lain di Kampung Gedong; Bapak Rudi Trikurniawan sekeluarga dan Ibu Tuti beserta suami dan anak-anak. Keluarga besar cucu Mbah Tesbeh alias Mbah Salbani.

Penulis dedikasikan tulisan ini untuk keluarga besar “698 ghairu” semoga menjadi inspirasi bagi kemajuan kita bersama. “ Kita boleh terlambat dalam hal-hal yang bisa kita kejar, tetapi kita tak bisa menunda keputusan atas perkara yang harus kita kerjakan, jangan bunuh idealisme...”

Selesainya tulisan ini adalah keberkahan luar biasa bagi penulis dan keluarga besar dan ini adalah hadiah luar biasa dan hiburan yang sangat menggembirakan sekaligus mengharukan.

Hanya Allah yang bisa membalas seluruh kebaikan atas inspirasi dan motivasi dari Ibu-Bapak, para guru, orang tua, dosen pembimbing dan seluruh keluarga besar. Jazâkumullâhu khairan katsîran.

Wassalâmu ‘alaikum wa rahmah Allah wa barakâtuh.

Kelapa Dua Wetan, 03 Juni 2010

(8)

iv

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……… 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……… 6

C. Tujuan Penelitian………. 8

D. Metodologi Penelitian………. 8

E. Sistematika Penulisan………. 10

BAB II BIOGRAFI PROF. DR. TEUNGKU MUHAMMAD HASBI ASH SHIDDIEQY DAN TAFSIR AN NUUR A. Riwayat Hidup………. 12

B. Pemikiran dan Karya……… 15

C. Sejarah Penulisan Tafsir An-Nuur……….. 17

D. Karakteristik Tafsir An-Nuur……….. 19

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG AGAMA DAN PERILAKU MENCERAI-BERAI A. Pengertian Agama ... 21

B. Fungsi Agama ... 24

(9)

v

BAB IV ANALISIS TENTANG MASALAH PERILAKU MENCERAI-BERAI AGAMA DAN BAHAYANYA DALAM TAFSIR AN NUUR KAJIAN SURAH AL AN’ÂM AYAT 159 DAN AL RÛM 30 SAMPAI 32

A. Sûrah al-An’âm/6: 159 Sûrah al-Rûm/30: 30-32 ... 31

B. Pengertian Memecah Belah Agama ... 33

C. Perpecahan dalam Islam... 35

D. Penyebab Perpecahan... 41

E. Bahaya Perpecahan dalam Agama... 45

F. Klaim Syirik atas Perilaku Memecah Belah Agama ... 47

G. Solusi untuk Menghindari Perpecahan ... 50

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 57

B. Saran-saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 59

(10)

1

Latar Belakang Masalah

Akhir-akhir ini media sering membicarakan penyerangan yang dilakukan

oleh sekelompok umat Islam atas kelompok umat Islam lainnya. Mulai dari

serangan argumentasi dalam berbagai tulisan, intimidasi sampai kekerasan fisik

yang terkadang menimbulkan bentrokan fisik massa yang berseteru. Bisa saja

perseteruan itu dipicu oleh adanya perbedaan konsep esensial dalam agama, yaitu

masalah teologi1. Mungkin juga disebabkan pilihan politik dengan latar belakang pemahaman politik yang didasarkan pada partai berasas Islam yang berbeda2. Ataupun organisasi non politik yang menggunakan atribut Islam3.

Ini menunjukkan adanya disintegrasi umat Islam. Perbedaan dalam satu

kesatuan agama. Satu sembahan dan sumber pengambilan hukum namun berbeda

pandangan dalam banyak hal.

Sangat berbeda dengan para shahabah Rasulullah saw. yang pada awalnya

mereka berasal dari berbagai latar belakang keyakinan, strata sosial dan suku

bangsa bahkan fanatisme yang sering memicu peperangan. Maka Islam merangkul

mereka dalam sebuah semangat persaudaraan Islam sehingga bisa meretas

batas-batas pembeda dan mampu bersatu dalam keberagaman. Sebut saja term ‘Arab

1ANTARA Diserang,” artikel diakses pada senin, 23 Pebruari 2009 dari

.

http://www.ANTARA.com

2 Rival Fahmi, -Okezone, “Pulang-Kampanye-Massa-PKS-PPP-Bentrok,” artikel diakses

pada Minggu, 3 Maret 2009 dari http://news.okezone.com

3 detikSurabaya, >> News Jatim, 11/04/2008, “ Rebutan Lahan, anggota FPI Nyaris

.

http://m.detik.com

Bentrok dengan Warga,” artikel diakses Jum’at, 12 Juni 2009 dari

(11)

2

dan ‘Ajam, orang merdeka dan budak, muhâjirîn dan anshâr, bangsawan dan

rakyat biasa, itu semua adalah setting latar belakang sosio cultural ketika itu.

Sebuah contoh adalah kehidupan umat Islam di masa dahulu, mereka

hidup berdampingan dengan orang-orang non muslim, bahkan al-Qur’an dengan

tegas menyatakan dalam Sûrah al Kâfirûn /109:6

ﹺﻦﻳﺩ ﻲﻟﻭ ﻢﹸﻜﻨﻳﺩ ﻢﹸﻜﹶﻟ

“Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”

Tetapi sesuai dengan latar belakang turunnya ayat tersebut, pemisahan antara

muslim dengan non muslim tersebut adalah dalam masalah akidah dan ibadah

saja. Ketika orang-orang musyrik mencoba mengajak Nabi saw. untuk melakukan

kompromi dalam bidang agama. Tentu saja hal tersebut tidak dapat dijalankan.

Karena kompromi atau toleransi kerjasama dengan orang non muslim

diperbolehkan ketika urusannya bukan permasalahan aqidah dan atau ibadah.4 Memang membicarakan masa itu merupakan sebuah hayalan tentang

kondisi ideal umat Islam. Hayalan itu dipertegas lagi dengan adanya hadis yang

menyebutkan bahwa sebaik-baik generasi adalah generasi beliau bersama para

shahabah kemudian tâbi’ în kemudian tâbi’ al tâbi’în5. Namun tetap saja ada

rambu-rambu bagi umat yang menginginkan berada dalam kelompok Nabi dan

shahabah. Nabi pulalah yang memberi informasi akan terpecahnya umat Islam ke

dalam tujuh puluh tiga golongan yang semuanya masuk neraka kecuali satu ahlu

4 Ali Mustafa Yaqub,

Kerukunan Umat dalm Perspektif al-Qur’an & Hadis (Jakarta:

Pustaka Firdaus, 1999), h. 68-69.

5 Abd Allah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al Bukhari,

al Jami’ al Shahih al Bukhari

(12)

al sunnah wa al jamâ’ah. Menurut Nabi mereka adalah orang-orang yang

mengikutinya dan para sahabatnya.

ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹶﻝﻮﺳﺭ ﱠﻥﹺﺇ ﹶﻻﹶﺃ ﹶﻝﺎﹶﻘﹶﻓ ﺎﻨﻴﻓ ﻡﺎﹶﻗ ﻪﻧﹶﺃ ﹶﻥﺎﻴﹾﻔﺳ ﻰﹺﺑﹶﺃ ﹺﻦﺑ ﹶﺔﻳﹺﻭﺎﻌﻣ ﻦﻋ

ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ

ﻢﻠﺳﻭ

ﹶﻝﺎﹶﻘﹶﻓ ﺎﻨﻴﻓ ﻡﺎﹶﻗ

»

ﹶﻻﹶﺃ

ﲔﻌﺒﺳﻭ ﹺﻦﻴﺘﻨﺛ ﻰﹶﻠﻋ ﺍﻮﹸﻗﺮﺘﹾﻓﺍ ﹺﺏﺎﺘﻜﹾﻟﺍ ﹺﻞﻫﹶﺃ ﻦﻣ ﻢﹸﻜﹶﻠﺒﹶﻗ ﻦﻣ ﱠﻥﹺﺇ

ﻰﻓ ﹲﺓﺪﺣﺍﻭﻭ ﹺﺭﺎﻨﻟﺍ ﻰﻓ ﹶﻥﻮﻌﺒﺳﻭ ﻥﺎﺘﻨﺛ ﲔﻌﺒﺳﻭ ﺙﹶﻼﹶﺛ ﻰﹶﻠﻋ ﻕﹺﺮﺘﹾﻔﺘﺳ ﹶﺔﱠﻠﻤﹾﻟﺍ ﻩﺬﻫ ﱠﻥﹺﺇﻭ ﹰﺔﱠﻠﻣ

ﺔﻨﺠﹾﻟﺍ

«

.

ﹸﺔﻋﺎﻤﺠﹾﻟﺍ ﻰﻫﻭ

6

“Dari mu’awiyah bin Abi Sufyan, bahwasanya terdapat seseorang di antara kami yang berdiri, kemudian dia berkata, “ketahuilah, bahwasanya Rasulullah saw. Telah bersabda, ‘ketahuilah bahwasanya orang-orang sebelum kalian dari kalangan ahli kitab telah bercerai-berai menjadi 72 millah, dan

sesungguhnya, millah ini (agama Islam) akan tercerai-berai menjadi 73 golongan.

72 golongan berada di neraka, dan satu golongan lagi berada di surga.’ Segolongan itu adalah al jamâ’ah.

Dalam riwayat lain, terdapat perbedaan redaksi dengan maksud yang

sama, yakni penjelasan tentang satu kelompok yang selamat dengan redaksi

sebagai berikut:

ﻦﻣﻭ ﺍﻮﹸﻟﺎﹶﻗ ﹰﺓﺪﺣﺍﻭ ﹰﺔﱠﻠﻣ ﱠﻻﹺﺇ ﹺﺭﺎﻨﻟﺍ ﻰﻓ ﻢﻬﱡﻠﹸﻛ ﹰﺔﱠﻠﻣ ﲔﻌﺒﺳﻭ ﺙﹶﻼﹶﺛ ﻰﹶﻠﻋ ﻰﺘﻣﹸﺃ ﻕﹺﺮﺘﹾﻔﺗﻭ

ﹶﻝﻮﺳﺭ ﺎﻳ ﻰﻫ

ﻰﹺﺑﺎﺤﺻﹶﺃﻭ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﺎﻧﹶﺃ ﺎﻣ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻪﱠﻠﻟﺍ

7 “Ummatku akan tercerai-berai menjadi 73 millah, semuanya masuk

neraka, kecuali satu millah. Para sahabat bertanya, siapa (yang berada dalam)

6 Abu Dawud Sulaiman bin al Asy’ats al Sijistani al Azdî,

Sunan Abi Dawud, vol.4

(Cairo: Darul Hadis, 1999), h.324.

7 Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Surat al Turmuzî,

Sunan al Turmuzi, vol. 5 (Beirut:

(13)

4

millah itu ya Rasulallah? Beliau bersabda, “yaitu orang-orang yang mengikuti apa

yang ada padaku dan para sahabatku.”

Keterangan inilah yang kemudian menjadi senjata bagi setiap kelompok

yang mengaku sebagai salah satu golongan yang selamat untuk mempertahankan

diri sekaligus menyerang balik. Dan dari sini juga istilah salaf diperdebatkan8.

Sebuah ironi yang terjadi adalah ketika larangan untuk

berkelompok-kelompok dan bergolong-golong itu secara tegas tertera dalam al-Qur’an, bahkan

kelompok dan golongan itu semakin hari semakin terlihat lebih banyak.

Dalam al-Qur’an Sûrah Ali 'Imran /3:103 disebutkan:

ﺍﻭﺮﹸﻛﹾﺫﺍﻭ ﺍﻮﹸﻗﺮﹶﻔﺗ ﺎﹶﻟﻭ ﺎﻌﻴﻤﺟ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹺﻞﺒﺤﹺﺑ ﺍﻮﻤﺼﺘﻋﺍﻭ

ﻢﹸﻜﻴﹶﻠﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ

ًﺀﺍﺪﻋﹶﺃ ﻢﺘﻨﹸﻛ ﹾﺫﹺﺇ ﹶﺔﻤﻌﹺﻧ

ﹶﻠﻋ ﻢﺘﻨﹸﻛﻭ ﺎﻧﺍﻮﺧﹺﺇ ﻪﺘﻤﻌﹺﻨﹺﺑ ﻢﺘﺤﺒﺻﹶﺄﹶﻓ ﻢﹸﻜﹺﺑﻮﹸﻠﹸﻗ ﻦﻴﺑ ﻒﱠﻟﹶﺄﹶﻓ

ﺎﻬﻨﻣ ﻢﹸﻛﹶﺬﹶﻘﻧﹶﺄﹶﻓ ﹺﺭﺎﻨﻟﺍ ﻦﻣ ﺓﺮﹾﻔﺣ ﺎﹶﻔﺷ ﻰ

ﹶﻥﻭﺪﺘﻬﺗ ﻢﹸﻜﱠﻠﻌﹶﻟ ﻪﺗﺎﻳَﺁ ﻢﹸﻜﹶﻟ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻦﻴﺒﻳ ﻚﻟﹶﺬﹶﻛ

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”9. QS. Ali 'Imran /3:103

Dalam ayat lain Allah swt. Berfirman:

ﺍﻮﹸﻓﺭﺎﻌﺘﻟ ﹶﻞﺋﺎﺒﹶﻗﻭ ﺎﺑﻮﻌﺷ ﻢﹸﻛﺎﻨﹾﻠﻌﺟﻭ ﻰﹶﺜﻧﹸﺃﻭ ﹴﺮﹶﻛﹶﺫ ﻦﻣ ﻢﹸﻛﺎﻨﹾﻘﹶﻠﺧ ﺎﻧﹺﺇ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﺎﻬﻳﹶﺃ ﺎﻳ

ﱠﻥﹺﺇ

ﲑﹺﺒﺧ ﻢﻴﻠﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﱠﻥﹺﺇ ﻢﹸﻛﺎﹶﻘﺗﹶﺃ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﺪﻨﻋ ﻢﹸﻜﻣﺮﹾﻛﹶﺃ

8 Muhammad al Ghazali,

Islam yang Diterlantarkan, Penerjemah Muhammad Jamaluddin

(Bandung : Karisma, 1994), h. 13-22.

9 Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir al Qur’an,

Al Qur’an dan Terjemahnya

(14)

“Hai manusia, sesungguhnya Kami meciptakan kamu dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang wanita (Hawa) dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al-Hujurat/49:13)10

Ketika kota Mekkah dibebaskan dari kaum musyrikin (fathu Makkah)

pada bulan Ramadlan 8 H, Bilal seorang Sahabat nabi yang berkulit hitam naik ke

atas ka’bah untuk mengumandangkan adzan. Melihat kejadian ini, ada seoang

berkomentar, “mengapa budak hitam seperti itu yang mengumandangkan adzan?”.

Dari peristiwa tersebut, Allah kemudian menurunkan ayat 13 surah al Hujurat ini.

Dalam ayat ini sekurang-kurangnya terdapat dua buah teori. Pertama, teori

persamaan hak bagi manusia (Nazhariyyah al Musâwah). Persamaan ini berlaku

untuk seluruh manusia tanpa melihat etnis, warna kulit, kedudukan, keturunan,

dan lain sebagainya11. Ketika ayat ini diturunkan kepada Nabi saw Beliau hidup dalam suatu masyarakat yang sendi-sendi kehidupannya adalah berpijak di atas

prinsip-prinsip perbedaan. Perbedaan dalam keyakinan, harta, pangkat, keturunan,

dan warna kulit. Masyarakat pada masa itu membanggakan keturunan dan

kabilah-kabilah (suku-suku) mereka.

Kedua, teori pengakuan atas eksistensi bangsa-bangsa (syu’ûb, bentuk

tunggalnya: sya’b) dan suku-suku bangsa (qabâil, bentuk tunggalnya: qabilah).

Eksistensi bangsa-bangsa dan suku bangsa ini diakui dan dikehendaki oleh Allah.

Keberadaannya bukan untuk berbangga-banggaan apalagi melecehkan pihak lain.

10 Ali Mustafa Yaqub,

Kerukunan Umat dalm Perspektif al-Qur’an & Hadis (Jakarta:

Pustaka Firdaus, 1999) h. 29.

11 Abd al-Qadir Audah,

al-Tasyri’ al Jina’i al Islami, vol.1 (Bairut : Dar al-Katib al

(15)

6

Melainkan untuk saling mengenali satu sama lain, termasuk mengenali

kekurangan dan kelebihan pihak lain.12

Setiap kelompok selalu saja merasa bahwa ajaran mereka yang paling

benar dan biasanya adanya perseteruan ini terjadi karena masing-masing ingin

menjaga kemurnian agama agar tidak bercampur dengan ajaran yang bukan

berasal dari al-Qur’an dan Hadis Nabi13.

Orang-orang yang mengatas namakan memberantas bid’ah dan kekolotan

kadang tanpa sadar sedang berjuang dalam masalah khilafiyah. Kelompok yang

mempertahankan sebuah masalah khilafiyah dan yang berupaya memberantas

perkara itu juga sama-sama dalam rangka memurnikan ajaran Islam14.

Teori yang akan penulis bahas dalam tulisan ini adalah bahwa umat Islam

akan terpecah kedalam tujuh puluh tiga golongan yang semuanya masuk neraka

kecuali satu ahlu al sunnah wa al jama’ah. Masalah ini sangat penting untuk

dibahas karena banyaknya kesalahpahaman umat dalam memaknai ahlu al sunnah

wa al jama’ah sehingga menimbulkan perpecahan dan pertikaian.

1. Pembatasan Masalah

Dalam al-Qur’an setidaknya ada dua tempat yang secara jelas

menyebutkan idiom farraqû dînahum15 yang secara terjemah harfiah bahasa

12 Yaqub,

Kerukunan Umat,h. 31.

13 Zamihan Mat Zin al Ghari,

Salafiyah Wahabiyah Suatu Penilain (Selangor: Tera Jaya

Enterprise, 2001), h. 148-149.

14 Tim Penulis,

Biografi K.H. Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis Pesantren Modern

(Ponorogo: Gontor Press), h. 460.

15 Faidu Allah al Hasanî al Maqdisî,

Fathu al Rahmân li Talibi al Qur-ân (Indonesia:

(16)

Indonesia berarti “mencerai-berai16 agama mereka” yaitu pada Sûrah al An’âm/6: 159 dan Sûrah al Rûm/30: 32. 17 Dua ayat inilah yang akan dibahas selain karena di dalamnya secara apa adanya menyebut kata yang secara

terjemah harfiah bahasa Indonesia akar katanya berarti memecah belah

agama dan secara munasabah memiliki kesamaan topik, yaitu larangan untuk

memecah belah agama tetapi juga memiliki beberapa poin yang menarik

untuk dibahas dan dibicarakan dalam sub-sub judul. Mengingat terlalu

luasnya pembahasan dan persoalan-persoalan yang berkenaan dengan

perpecahan dalam Islam termasuk sudut pandang pembahasannya maka

penelitian ini dibatasi sebatas lingkup penafsiran Hasbi ash Shiddieqy dalam

Tafsir an-Nuur.

Pemilihan Tafsir an-Nuur sebagai rujukan awal tulisan ini dengan

alasan karena ini adalah tafsir berbahasa Indonesia yang ditulis lengkap.

Cakupan wilayah pembahasan ini menggunakan dua skala yaitu lokal

ke-Indonesiaan dan internasional. Dalam penelitian ini pembicaraan akan

menggunakan skala nasional meski terkadang membawa wacana pemikiran

internasional karena pada hakekatnya keduanya memiliki hubungan sangat

erat.

16 Ahmad Warson Munawir,

Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997),

h. 1050.

17 Muhammad Fuad ‘Abd al Baqi,

al Mu’jam al Mufahras li Alfâz al Qur ân al Karîm

(17)

8

2. Perumusan Masalah

Agar pembahasan ini lebih terarah maka penulis merumuskan

permasalahan dalam bingkai pertanyaan “ Bagaimana Penafsiran Hasbi ash

Shiddieqy mengenai farraqû dînahum yang tertera dalam Sûrah al

An’âm/6: 159 dan Sûrah al Rûm/30: 32.

B. Tujuan Penelitian

Selain untuk memenuhi persyaratan akademis dalam rangka memperoleh

gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.) pada Program Studi Tafsir-Hadis Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,

skripsi ini bertujuan untuk:

1. Mendalami makna mencerai-berai agama yang terdapat dalam Sûrah al

An’âm/6: 159 dan Sûrah al Rûm/30: 32.

2. Mengetahui secara umum pokok-pokok pemikiran Hasbi ash Shiddieqy yang

terkait dengan makna farraqû dînahum.

3. Menelaah dan menelusuri penafsiran Hasbi ash Shiddieqy serta pendapatnya

diantara beberapa pendapat lain.

D. Metodologi Penelitian

1. Metode Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini, penulis sepenuhnya menggunakan metode

kepustakaan (library reseach) dari berbagai buku yang berkaitan dengan

(18)

Adapun sumber primer dalam penulisan skripsi ini penulis merujuk kepada

Tafsir al Qur’anul Majid an Nuur karya Prof. DR. Teungku Muhammad

Hasbi ash Shiddieqy. Sedangkan sumber sekunder penulis merujuk kepada

tafsir berbahasa Indonesia lainnya yaitu Tafsir al Azhar, sebuah tafsir

berbahasa Arab yaitu Tafsîr ibn al Katsîr dan buku-buku lain yang berkaitan

dengan skripsi ini.

2. Metode Pembahasan

Adapun metode yang digunakan dalam membahas penelitian ini

adalah dengan menggunakan metode deskriptif-analitis. Yaitu dengan

menerangkan tinjauan teoritis seputar definisi agama, fungsi agama, perilaku

memecah belah agama dan hubungan antara agama dan perilaku memecah

belah. Masalah-masalah tersebut kemudian dianalisa dengan menggunakan

sudut pandang penafsiran Prof. DR. Teungku Muhammad Hasbi ash

Shiddieqy dalam Tafsir an Nuur pada Sûrah al An’âm/6: 159 dan Sûrah al

Rûm/30: 32. Hasil analisa itulah yang akhirnya dirangkum dalam kesimpulan

(19)

10

3. Tehnik Penulisan

Adapun dalam penulisan skripsi ini penulis berpedoman pada buku: “

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)”, yang

diterbitkan oleh CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2007.

Pengecualian terdapat pada penulisan Tafsir an Nuur kependekan

dari Tafsir al Qur’anul Majid an Nuur menggunakan cara penulisan judul

pada buku aslinya yaitu buku cetakan Pustaka Rizki Putra Semarang tahun

1995 dan tahun 2000. Ungkapan shallallahu ‘alaihi wasallam disingkat

menjadi saw., berdasarkan penulisan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,

edisi ketiga, Departemen Pendidikan Nasional, yang diterbitkan oleh Balai

Pustaka.

E. Sistematika Penulisan

Dalam penelitian ini penulis membagi tulisan menjadi lima bab dan

masing-masing terdiri dari sub-sub bab:

Bab I merupakan pendahuluan yang menjadi acuan dan landasan

pembasan skripsi ini. Memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan

masalah, tujuan penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan

Bab II berisi biografi Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash

Shiddieqy dan keterangan tentang Tafsir an Nuur berupa riwayat hidup,

pemikiran dan karya, sejarah penulisan dan karakteristik Tafsir an-Nuur.

Bab III berisi pengertian mengenai agama, fungsi agama dan kaitan antara

(20)

Bab IV analisis tentang masalah perilaku mencerai-berai agama dan

bahayanya dari Tafsir an Nuur , kajian Surah al An’âm/6: 159 dan al Rûm/30: 32.

(21)

12

BAB II

BIOGRAFI PROF. DR. TEUNGKU MUHAMMAD HASBI ASH SHIDDIEQY DAN TAFSIR AN NUUR

A. Riwayat Hidup1

Mengenai tempat lahir dan asal keturunan maka Hasbi ash-Shiddieqy

lahir di Loukseumawe, Aceh Utara di tengah keluarga berstrata sosial

ulama-umara, tepatnya pada 10 Maret 1904. Ayahnya, Tengku Muhammad Husein ibn

Muhammad Su’ud, adalah salah seorang loyalis rumpun Tengku Chik Di

Simeuluk Samalanga. Sementara Ibunya, Tengku Amrah adalah putri Tengku

Abdul Aziz, seorang pemangku jabatan Qadli Chik Maharaja Mangkubumi.

Berdarah campuran Arab-Aceh Hasbi berasal dari lingkungan keluarga

ulama, pendidik dan pejuang. Ash-Shiddieqy dibelakang nama beliau adalah

nama keluarga yang dihubungkan dengan Abu Bakar ash-Shiddiq khalifah

pertama dari kalangan shahabah pada tingkatan yang ke tigapuluh tujuh.

Ditinggal ibunya pada usia enam tahun setelah itu, Hasbi diasuh oleh

Tengku Syamsiyah, saudara wanita ibunya yang tidak dikaruniai putra.2 Dalam keterangan lain, Tengku Syamsiyah adalah paman dari pihak ibu Hasbi. Ia khatam

al-Qur’an pada usia delapan tahun. Setahun berikutnya ia belajar qirâ’at dan

1Hasan Shadily,

Ensiklopedi Islam 2, vol. 5 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994),

h.94.

2

(22)

tajwîd serta dasar-dasar tafsir dan fiqih dari ayahnya yang menghendakinya

menjadi seorang ulama. Ayahnya pula yang mengirim Hasbi ke salah satu dayah

di kota kelahirannya. Dayah berarti orang perempuan (ibu) yang diserahi

mengasuh atau menyusui anak orang lain; inang pengasuh; ibu susu. Tetapi dalam

kebiasaan masyarakat Aceh, dayah berarti tempat pendidikan agama, layaknya

pesantren di Jawa. 3

Delapan tahun lamanya Hasbi belajar dari satu dayah ke dayah lainnya.

Tahun 1912 ia belajar bahasa Arab di dayah Tengku Chik Di Piyeung dan

seterusnya berpindah-pindah tempat.

Pada tahun 1916 Hasbi merantau ke dayah Tengku Chik Idris di

Tanjungan Barat, Samalanga, dayah terbesar dan terkemuka di Aceh Utara untuk

belajar ilmu fiqih. Dua tahun kemudian pindah ke dayah Tengku Chik Hasan di

Kruengkale sampai tahun 1920 hingga mendapat syahâdah yaitu legalitas sang

guru untuk membuka dayah sendiri.

Kegemarannya membaca didukung kemahirannya dalam mengusai

bahasa-bahasa lain selain Melayu. Bahasa asing selain bahasa Arab yang

dimilikinya adalah bahasa Latin dan bahasa Belanda.

Al Irsyad Surabaya adalah tempat studi bahasa Arab Hasbi yang berangkat

kesana bersama al Kalali pada tahun 1926. tahun 1928 memimpin sekolah al

Irsyad di Lhokseumawe. Tahun1930 menjadi kepala sekolah al Huda di

Kruengmane Aceh utara. Pada tahun 1940-1942 menjadi direktur Darul

3 Departemen Pendidikan Nasional,

Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai

(23)

14

Mu’allimin Muhammadiyah Kutaraja. Masih sempat juga membuka Akademi

Bahasa Arab.

Pada era demokrasi liberal, ia terlibat secara aktif mewakili Partai

Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dalam perdebatan-perdebatan

panjang yang membahas masalah ideologi di Konstituante yaitu lembaga yang

mewakili rakyat ketika itu. Karir politik ini dimulai dari tahun 1930 ketika

diangkat menjadi ketua Jong Islamieten Bond cabang Aceh utara di

Lhokseumawe. Dan masuk sebagai anggaota konstituante pada tahun 1955.

Namun akhirnya lebih memilih dunia akademis daripada berpolitik praktis. Tahun

1958 menjadi utusan Indonesia dalam Seminar Islm Internasional di Lahore.

Karir akademiknya dimulai dari menjadi staf pengajar sekolah persiapan

PTAIN sampai akhirnya menjadi direkturnya. Mata kuliah Hadits menjadi

spesialisasinya di IAIN. Tahun 1960 mendapat promosi sebagai Guru Besar

dengan pidato pengukuhan berjudul Syariat Islam Menjawab Tantangan Jaman

yang disampaikan pada acara peringatan setengah tahun peralihan nama PTAIN

menjadi IAIN tahun1961.

Sewaktu pembukaan Fakultas Syariah di Darussalam, Banda Aceh yang

berinduk pada IAIN Yogyakarta beliau menjadi Dekannya sejak September 1960

hingga Januari 1962. Lepas dari jabatan ini, tahun 1963-1966 Hasbi merangkap

lagi sebagai Pembantu Rektor III dengan tetap menjadi Dekan Fakultas Syariah di

IAIN Yogyakarta.

Ada beberapa jabatan struktural di berbagai Perguruan Tinggi Swasta.

(24)

Universitas Cokroaminoto di kota yang sama. Mengajar di Universitas Islam

Indonesia (UII) Yogyakarta tahun 1964. Mengajar dan menjadi Dekan pada

Fakultas Syariah Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang sejak

tahun 1967 hingga wafatnya.

Meskipun tidak pernah belajar di luar negeri beliau mampu menelurkan

lebih dari seratus judul karya intelektual dari beragam disiplin keilmuan dan

berbagai artikel lainnya. Ia mendapat anugerah Doctor Honoris Causa dari

Unisba dan IAIN Sunan Kalijaga sekaligus pada tahun 1975. Pada tanggal 9

Desember 1975, setelah beberapa hari memasuki karantina haji, dalam rangka

menunaikan ibadah haji, beliau berpulang ke rahmatullah, dan jasad beliau

dimakamkan di pemakaman keluarga IAIN Ciputat Jakarta. Pada upacara

pelepasan jenazah dihadiri Buya Hamka dan Mr. Moh. Rum. Naskah terakhir

yang sempat diselesaikan adalah Pedoman Haji.

Keppres Nomor 067/TK/Tahun 2007 menetapkan pemberian gelar

pahlawan nasional dan Bintang Mahaputra Utama kepada Prof Dr Teungku

Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy.4

B. Pemikiran dan Karya

Dari segi pemikiran Hasbi adalah pelajar tekun yang memiliki kemampuan

otodidak yang baik. Terbukti dengan penyampaian makalahnya dalam

4 Margawati Rahayu Simarmata,” Sembilan Putra Terbaik Terima Gelar Pahlawan

(25)

16

Internasional Islamic Colloquium yang diselenggarakan di Lahore Pakistan tahun

1958. Bahkan sebelum berhaji atau belajar di Timur Tengah Hasbi sudah

jauh-jauh menyerukan pembaharuan. Sejak awal Hasbi sudah berani menentang arus

bahkan di lingkungan yang sangat fanatik sekalipun. Terkenal sangat moderat

tetapi juga tegas dalam mengambil sikap. Dan beliau adalah penggagas awal fiqh

yang berkepribadian Indonesia.

Hasbi sebagaimana kebanyakan ulama memandang bahwa syariat Islam

bersifat lentur sehingga dinamikanya bisa disesuaikan dengan masa dan wilayah

hadirnya. Beliau memandang bahwa fiqh merupakan produk ijtihad yang belum

final sehingga memungkinkan umat Islam Indonesia untuk memiliki coraknya

sendiri. Beliau mengkritik praktek penggunaan fiqh yang dilaksanakan

masyarakat Indonesia yang dinilai tidak berkepribadian Indonesia. Pintu ijtihad

masih terus terbuka lebar. Beliau menyarankan tinjauan ulang atas hukum-hukum

produk ulama mazhab, mencari hukum yang timbul dari adat kebiasaan dan

meninjau masalah kontemporer dengan tinjauan proporsional. Kemudian semua

itu diramu untuk menjadi mazhab fiqh baru Indonesia.

Pandangan modern Hasbi tentang zakat dan sarannya kepada pemerintah

untuk membuat bait al mâl adalah bukti kepahaman atas maqâsid al syarî’ah atau

tujuan pemberlakuan syariah sekaligus bentuk kepedulian beliau atas

kesejahteraan umat Islam dan tanggung jawab ilmiah sebagai seorang pengemban

ilmu Allah.

Karya ilmiah Hasbi adalah buah dari ketekunan membaca di perpustakaan

(26)

1957-1958 beliau mendapat penghargaan sebagai salah seorang dari sepuluh

penulis Islam terkemuka.

Cukup banyak karya tulis yang telah dihasilkannya. Karya tulisnya

mencakup berbagai disiplin ilmu keislaman. Menurut catatan, buku yang

ditulisnya berjumlah 73 judul (142 jilid) dengan klasifikasi sebagai berikut:

1. Bidang fiqh terdiri dari 36 judul.

2. Bidang hadis terdiri dari 8 judul.

3. Bidang tafsir terdiri dari 6 judul.

4. Bidang tauhid; ilmu kalam terdiri dari 5 judul.

5. Yang lainnya adalah tema-tema umum.

C. Sejarah Penulisan Tafsir An-Nuur

Hasbi menulis tafsirnya sejak tahun 1952 hingga tahun 1961 di sela-sela

kesibukannya mengajar, menjadi dekan fakultas Syari’ah IAIN dan menjadi

anggota konstituente dari partai Masyumi. Karena kesibukannya itu, ia tidak

menuliskan sendiri tafsirnya, tapi hanya mendiktekan kemudian dituliskan oleh

seorang pengetik, sementara di mejanya bertebaran berbagai buku rujukan5. Latar belakang penulian tafsir ini, sebagaimana yang ia tulis di pengantar

tafsirnya, karena ia melihat banyak umat Islam Indonesia yang mulai tertarik

untuk mendalami ajaran Islam, termasuk tafsir al-Qur’an. Tapi sayang,

5

Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Tafsir al Qur’anul Majid an Nuur, vol. 1

(27)

18

kebanyakan diantara mereka tidak menguasai bahasa Arab, padahal kitab-kitab

tafsir umumnya berbahasa Arab. Maka ia tulis tafsir ini untuk memudahkan

mereka yang tertarik mendalami tafsir al-Qur’an itu.

Di bidang tafsir al-Qur’an, Hasbi menulis dua tafsir, yaitu Tafsir an-Nuur

(1956) dan Tafsir al-Bayan (1966). Tafsir an-Nuur ditulis di tengah perdebatan

tentang boleh-tidaknya menerjemah sekaligus menulis al-Qur’an dengan bahasa

selain bahasa Arab. Bagi Hasbi, al-Qur’an bersifat universal. Karena itu, demi

suksesnya misi transformasi maka penggunaan bahasa pembaca yang

terkotak-kotak dalam suku dan bangsa masing-masing untuk menafsirkan al-Qur’an

menjadi sebuah kebutuhan mendesak, tidak terkecuali menggunakan bahasa

Indonesia.

Hasbi sepenuhnya menyadari bahwa pendapatnya ini berseberangan

dengan pendapat majelis ulama-ulama besar Saudi Arabia dalam keputusan No.

67, 21 Syawal 1399 H/1978 M. Keputusan itu berisi fatwa haramnya menulis

(menafsirkan) al-Qur’an dengan menggunakan selain bahasa Arab. Namun ia

jalan terus dengan menulis Tafsir an-Nuur.

Dalam menyusun kitab tafsirnya, Hasbi banyak menggunakan

sumber-sumber seperti ayat al-Qur’an, riwayat Nabi, riwayat sahabat dan tabi’in,

teori-teori ilmu pengetahuan, pengalaman dan juga pendapat para mufasir. Ia menyusun

Tafsir an-Nuur dengan sistematika pembahasan tertentu yang diharapkan mampu

menggugah minat pembaca sekaligus memudahkannya dalam memahami dan

(28)

satu kitab tafsir rujukan Lembaga Penyelenggara Penerjemahan Kitab Suci

al-Qur’an dalam tugasnya menerjemahkan al-al-Qur’an.

D. Karakteristik Tafsir An-Nuur

Sistem penulisan tafsir ini pertama-tama menyajikan pengantar umum

bagi setiap surat. Dengan menghubungkan hal-hal yang memiliki korelasi dengan

surat sebelumnya, atau biasa disebut munasabah. Kemudian menyebutkan satu,

dua atau tiga ayat al-Qur’an yang mengandung satu pembahasan. Kemudian ayat

tersebut diterjemahkan maknanya dengan cara yang mudah difahami. Setelah itu

barulah Hasbi menafsirkan inti dari ayat-ayat terebut. Selanjutnya ia menyebutkan

ayat-ayat lain yang mengandung pembahasan yang sama. Terakhir untuk lebih

memudahkan memahami maksud ayat-ayat itu ia menyebutkan

asbabun-nuzulnya, jika memang ada.

Materi tafsir yang terdapat dalam an-Nuur Hasbi sarikan dari tafsir-tafsir

mu’tabar, terutama dari al-Maraghî. Ayat dan hadits yang dinukil dalam tafsir ini

terdapat pula dalam tafsir induk dan tafsir yang mengambil dari

tafsir-tafsir induk itu. Sementara dalam menerangkan ayat-ayat yang semakna dengan

ayat-ayat yang sedang ditafsirkan, Hasbi berpedoman pada Tafsîr Ibnu Katsir,

karena banyak menafsirkan ayat dengan ayat.

Tahun 1995 Tafsir an-Nuur diterbitkan oleh Pustaka Rizki Putra Semarang

dalam 5 jilid.

Dari maksud penulisan tafsir ini yaitu untuk memudahkan mereka yang

(29)

20

segi-segi kemasyarakatan dan hukum-hukum sosial maka jelas terlihat bahwa

corak tafsir ini adalah al adabî al ijtim’î, sastra budaya kemasyarakatan.6

Begitu seriusnya Hasbi dalam menyampaikan ide-idenya sampai dalam

penulisan tafsir ini disertakan transliterasi ayat-ayat al-Qur’an pada bagian tafsir

hal ini selain untuk mempermudah para peminat tafsir yang belum bisa membaca

al-Qur’an dalam tulisan aslinya sekaligus mendorong umat untuk tidak minder

menghadapi tafsir al-Qur’an karena memang dia ditujukan bagi seluruh umat baik

kalangan terpelajar ataupun masyarakat awam. Apabila diperhatikan dengan

seksama maka akan didapati bahwa terjemahan dalam tafsir ini memiki ruh yang

sama dengan terjemah Departemen Agama hanya terdapat penyesuaian kata

seiring dengan perkembangan bahasa Indonesia modern. Karena memang tafsir

Hasbi merupakan salah satu diantara rujukan tim penerjemah al-Qur’an yang

dibentuk Departemen Agama disamping Hasbi juga terlibat secara aktif dalam

proses lahirnya al-Qur’an dan Terjemahnya terbitan Dartemen Agama.

6 Didin Saefuddin Buchari,

Pedoman Memahami al Qur’an (Bogor: Granada Sarana

(30)

21

A. Pengertian Agama

Kata agama dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti:

Segenap kepercayaan (kepada Tuhan, Dewa dan lain sebagainya) serta dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu.1

Dalam Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, agama disetarakan dengan

religion dalam bahasa Inggris yang berasal dari bahasa Latin: religio yang berarti

kekhawatiran, keseganan, atau berasal dari kata relegere yang berarti membaca

kembali atau dari kata religare yang berarti mengikat kembali. Dalam definisi

agama adalah segala kepercayaan kepada Tuhan atau Dewa berikut ajaran

kebaktian dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu; sangat

mementingkan konsep mengenai asal-usul (Tuhan) serta tujuan akhir perjalanan

hidup manusia; digunakan manusia sebagai wahana untuk berjuang memenuhi

dorongan-dorongan moralnya yang luhur dan mencapai kesempurnaan yang

paling tinggi melalui penghayatan dan melibatkan seluruh kemampuan ruhaniah

dan sikap pasrah diri.2

1 W.J.S. Poerwadarminta,

Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (Jakarta: Balai

Pustaka, 2006), h. 10.

2 Save M. Dagun,

Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Lembaga Pengkajian

(31)

22

Selain dikenal sebagai religi, agama disetarakan dengan dîn dalam bahasa

Arab. Dalam Al Munjid kata dîn diartikan sebagai: al dîn (jama’ :adyân): (1) al

jazâu wa al mukâfaah; (2) al qadâ; (3) al mâlik/ al muluk wa al sultân;(4) al tadbîr;(5) al hisâb.3(Artinya: (1) pahala, (2) ketentuan, (3) kekuasaan, (4)

pengelolaan, (5) perhitungan).

Al Jurjani dalam al Ta’rîfât memadankan al dîn dengan al millah yang

disebut sebagai satu dalam zat atau materinya tetapi berbeda di dalam

penggambaran. Ketika sebagai syariat yang dipatuhi maka disebut al Dîn. Ketika

berfungsi mengumpulkan seluruh makna agama maka disebut al millah.

Ditambah dengan al Madzhab ketika difungsikan sebagai tempat kembali atau

referensi. Secara gampang dibedakan antara ketiganya kepada sandarannya, al dîn

disandarkan kepada Allah, al millah kepada nabi dan al millah kepada mujtahid.4

Harun Nasution mencantumkan empat unsur penting yang ada dalam

agama secara umum, yaitu:

1. Kekuatan gaib.

2. Keyakinan bahwa kebaikan di dunia dan akhirat bergantung kepada hubungan

baik dengan sesuatu yang gaib tersebut.

3. Respons emosional seperti rasa takut dan cinta.

4. Paham akan adanya yang suci dalam bentuk kekuatan gaib, kitab suci atau

tempat-tempat tertentu.5

3Louis Ma’luf,

Munjid; fi al lughah, (Beirut: al Matba’ah al Kâtûlîkiyyah 1960; reprint,

Beirut: Dar el- Machreq Sarl, 1986), h. 231.

4‘Ali ibn Muhammad ibn ‘Ali al Jurjani,

al Ta’rîfât,, (Beirut: Dar al Kitab al

‘Arabiy,1996), h. 141-142.

5Harun Nasution,

Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, vol.1(Jakarta: UI-Press,1986),

(32)

Muhammad Rasyid Rida dalam al Manâr meyebutkan bahwa:

Sesungguhnya agama adalah aturan yang ditentukan oleh Tuhan karena akal manusia secara mandiri tidak bisa mencapai kecuali harus adanya pertolongan wahyu. Meskipun demikian agama ini sesuai dengan tuntutan fitrah (jati diri) manusia untuk membersihkan jiwanya dan mempersiapkan manusia untuk sesuatu kehidupan yang abadi di hari akhirat nanti.6

Endang Saifuddin Anshari dalam Ilmu Filsafat dan Agama membagi

agama berdasarkan sumbernya menjadi dua, yaitu:

1. Agama budaya.

2. Agama wahyu.

Agama budaya adalah agama yang lahir dari kebudayaan manusia atau

ciptaan manusia. Sedangkan agama wahyu adalah agama yang diwahyukan

Allah.7

Sedangkan agama yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah Islam

yang berasal dari bahasa Arab yang berarti penyerahan diri sepenuhnya kepada

Allah. Dalam istilah teologi berarti agama monotheis yang diwahyukan Allah

kemudian diterima dan disiarkan Nabi Muhammad saw.. Berpedoman pada kitab

suci al Qur’an dan Hadis Rasulullah.8

Agama Islam adalah agama yang datang dengan terutusnya seorang mulia

Nabi Muhammad saw. sebagai penutup Nabi dan Rasul Allah, yang diberi wahyu

dengan dipenuhi mukjizat berupa al-Qur’an, yang di dalamnya terdapat ayat-ayat

6 Abd. Jabbar Adlan,

Dirasat Islamiyyah Pengantar Ilmu Tauhid dan Pemikiran Islam

(Surabaya: Anika Bahagia, 1985), h.15.

7 Endang Saifuddin Anshari,

Ilmu Filsafat dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu, 1981), h.

142.

8Dagun,

(33)

24

penjelas yang tidak diragukan lagi kebenarannya dan juga sebagai petunjuk bagi

orang-orang yang bertakwa sekaligus sebagai pengingat bagi orang-orang yang

lupa.9

B. Fungsi Agama

Sang pencipta telah menciptakan berbagai macam hewan di muka bumi

ini. Bila dibandingkan dengan populasi hewan lunak, maka jumlah hewan buas

lebih banyak. Oleh karena itu, akan ditemukan senjata utama pada masing-masing

hewan tersebut, demi menghindari serangan dari hewan yang lain.

Manusia adalah termasuk bagian dari hewan. Manusia mempunyai tangan,

lisan, pedang, alat-alat perang, kendaraan, dan banyak lagi peralatan lain yang

dapat berfungsi sebagai alat pertahanannya. Bahkan jika dibandingkan dengan

hewan lainnya, manusia mempunyai alat yang lebih variatif. Karena manusia

mempunyai sesuatu yang membedakan dari hewan yaitu akal yang cenderung

berkembang, maka manusia membutuhkan peraturan. Peraturan yang dimaksud

adalah adanya perintah dan larangan, yang dengannya, manusia dapat hidup

teratur dan terjaga keamanan dan kelestariannya.10

Tujuan hidup beragama adalah membersihkan diri dan mensucikan jiwa

dan ruh. Tujuan agama lainnya adalah membina manusia agar menjadi baik dan

jauh dari kejahatan. Maka ajaran moral seperti kebersihan jiwa, tidak

mementingkan diri sendiri, cinta kebenaran, suka membantu manusia, kebesaran

jiwa, suka damai, rendah hati dan sebagainya merupakan hal-hal yang ditekankan.

9 ‘Alî Ahmad al Jûrjâwî,

Hikmah al Tasyrî’ wa falsafatihi (Beirut: Dar al Fikr, 1997), h.

29.

10

(34)

Karenanya agama menjadi sangat penting bagi hidup kemasyarakatan manusia

sebab dari individu-individu yang berjiwa bersih dengan akhlak yang baik itulah

masyarakat yang baik dapat dibina.11

Sebuah kutipan tentang fungsi agama dalam masyarakat modern berbunyi:

“Agama bukanlah pengganti politik-ekonomi, sastra, maupun hukum. Tapi ia dapat memperluas horizon dan visi manusia, menciptakan konteks transendental bagi pemecahan persoalan-persoalan yang saling terkait dari kehidupan manusia sekarang yang sedang mengalami frustasi baik secara individual maupun kolektif.” 12

Agama selain sebagai pembuka jalan pikiran juga diyakini sebagai solusi

yang dapat menyelesaikan problem kemanusiaan bukan hanya sebagai individu

tetapi juga sebagai masyarakat manusia. Dengan agama manusia bisa mengatur

seluruh persoalan hidup dengan baik sehingga terbebas dari segala macam

tekanan yang kadang membuat frustasi. Maka sikap keberagamaan yang malah

selalu menimbulkan konflik dan polemik berarti telah menyalahi fungsi agama.

Demikian fungsi agama secara umum. Secara khusus dalam menerangkan

fungsi Islam sebagai agama Maulana Muhammad Ali dalam mukadimah

Islamologi13menyebutkan :

1. Agama adalah kekuatan untuk mengembangkan akhlak manusia..

2. Islam sebagai landasan peradaban abadi.

3. Islam adalah kekuatan pemersatu yang paling besar di dunia.

4. Islam adalah kekuatan ruhani terbesar di dunia.

5. Islam memecahkan masalah dunia yang besar-besar.

11 Nasution,

Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya., vol. 1, h.18-19.

12 William McInner

,”Agama di Abad Duapuluh Satu,” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, v

.II, no.5(1990) h.79.

13 Ali ,

Islamologi. Penerjemah R. Kaelan danH.M. Bachrun (Jakarta: Darul Kutubil

(35)

26

C. Agama dan Perilaku Memecah Belah

Agama-agama besar secara umum memiliki dua ekstrim pada pola

kepercayaan penganutnya yaitu: sekularis dan fundamentalis. Kaum

fundamentalis terikat dengan dogma yang menutup peluang perubahan atau

sekedar adaptasi. Prinsip moral yang absolut dan ketat dari pemahaman yang

tekstual apa adanya menjadikan seluruh realitas hanya sebatas baik dan buruk

tanpa toleransi sedikitpun. Bahkan pendidikan dalam rumah tangga dengan aturan

yang sangat ketat membuat mereka sulit untuk menerima kenyataan bahwa

masyarakat sangat heterogen dan pluralistik. Tidak mau mendengar dan melihat

untuk perubahan. Tetapi pada saat yang sama mereka lebih memilih banyak sibuk

menciptakan koloni yang bisa dikuasai dan menghabiskan waktu dan energi untuk

merintangi dan memerangi lawan mereka dari pada membuka jalan kedekatan

kepada “Tuhan”. Sebaliknya kaum sekularis malah berupaya untuk lepas dari

formalitas agama.14

Konflik sosial yang bersumber dari agama biasanya timbul karena

perbedaan yang terjadi dalam empat hal, yaitu: doktrin dan sikap, suku dan ras

umat beragama, tingkat kebudayaan dan masalah prosentase kwantitas pemeluk

agama dalam satu lingkup tertentu. Masalah doktrin dan sikap adalah masalah

cara pemberian informasi agama seperti apa yang diterangkan tentang fatwa. Suku

dan ras adalah strata yang terjadi baik secara sistemik atau terjadi diluar kesadaran

masyarakat beragama. Tingkat kebudayaan menunjukkan kwalitas masyarakat

14William McInner

(36)

beragama secara general. Sedangkan masalah mayoritas dan minoritas adalah

masalah hegemoni pemahaman dan dominasi peran politik, ekonomi dan sosial.15 Dari definisi agama yang telah dipaparkan di atas tidak terdapat

keterangan yang menyatakan bahwa agama adalah sebuah lembaga formal atau

institusi yang memiliki struktur organisasi. Ketika ada keterangan bahwa “agama

digunakan manusia sebagai wahana untuk berjuang memenuhi

dorongan-dorongan moralnya…” maka kata wahana tidak bisa diartikan sebagai organisasi

agama. Agama dalam hal ini adalah sesuatu yang abstrak, kesadaran dalam hati

dan keyakinan yang dalam. Ketika masyarakat beragama berkumpul sebagai satu

komunitas secara tidak sadar kemudian timbul rasa kebersamaan dan sebagian

kemudian mengira bahwa rasa kebersamaan itu adalah agama. Formalisasi agama

inilah yang kemudian menyulut adanya konflik, karena muatan lokal yang masuk

kepada komponen asli agama berbeda disetiap tempat16.

Agama sendiri, dalam hal ini Islam, melarang segala jenis pemutusan

hubungan, pemboikotan, propokasi kebencian, tetapi menganjurkan kepada

persatuan dan persaudaraan.

ﻦﻋﻭ

ﻲﹺﺑﹶﺃ

ﹶﺓﺮﻳﺮﻫ

ﹶﻝﺎﹶﻗ

:

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﹸﻝﻮﺳﺭ

ﻪﱠﻠﻟﹶﺍ

-

ﻰﻠﺻ

ﷲﺍ

ﻪﻴﻠﻋ

ﻢﻠﺳﻭ

- -

ﺎﹶﻟ

ﺍﻭﺪﺳﺎﺤﺗ

ﺎﹶﻟﻭ

ﺍﻮﺸﺟﺎﻨﺗ

,

ﺎﹶﻟﻭ

ﺍﻮﻀﹶﻏﺎﺒﺗ

,

ﺎﹶﻟﻭ

ﺍﻭﺮﺑﺍﺪﺗ

,

ﺎﹶﻟﻭ

ﻊﹺﺒﻳ

ﻢﹸﻜﻀﻌﺑ

ﻰﹶﻠﻋ

ﹺﻊﻴﺑ

ﹴﺾﻌﺑ

,

ﺍﻮﻧﻮﹸﻛﻭ

ﺩﺎﺒﻋ

ﻪﱠﻠﻟﹶﺍ

ﺎﻧﺍﻮﺧﹺﺇ

,

ﻢﻠﺴﻤﹾﻟﹶﺍ

ﻮﺧﹶﺃ

ﹺﻢﻠﺴﻤﹾﻟﹶﺍ

,

ﺎﹶﻟ

ﻪﻤﻠﹾﻈﻳ

,

ﺎﹶﻟﻭ

ﻪﹸﻟﹸﺬﺨﻳ

,

ﺎﹶﻟﻭ

ﻩﺮﻘﺤﻳ

,

ﻯﻮﹾﻘﺘﻟﹶﺍ

ﺎﻫ

ﺎﻨﻫ

,

ﲑﺸﻳﻭ

ﻰﹶﻟﹺﺇ

15 D. Hendropuspito,

Sosiologi Agama (Yogyakarta, Kanisius, 1989), h. 151.

16 Muhammad Syamsu As.,

Ulama Pembawa Islam di Indonesia (Jakarta: Penerbit

(37)

28

ﻩﹺﺭﺪﺻ

ﹶﺙﺎﹶﻠﹶﺛ

ﹴﺭﺍﺮﻣ

,

ﹺﺐﺴﺤﹺﺑ

ﹴﺉﹺﺮﻣﺍ

ﻦﻣ

ﺮﺸﻟﹶﺍ

ﹾﻥﹶﺃ

ﺮﻘﺤﻳ

ﻩﺎﺧﹶﺃ

ﻢﻠﺴﻤﹾﻟﹶﺍ

,

ﱡﻞﹸﻛ

ﹺﻢﻠﺴﻤﹾﻟﹶﺍ

ﻰﹶﻠﻋ

ﹺﻢﻠﺴﻤﹾﻟﹶﺍ

ﻡﺍﺮﺣ

,

ﻪﻣﺩ

,

ﻪﹸﻟﺎﻣﻭ

,

ﻪﺿﺮﻋﻭ

17

“Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah saw. Telah bersabda, “Janganlah kalian saling membenci, saling mengintai, saling memarahi, saling memboikot, dan janganlah kalian bertransaksi diatas transaksi orang lain. Jadilah kalian sebagai bamba Allah yang saling bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagai muslim yang lain. Tidak boleh menzaliminya, merendahkannya, atau meremehkannya. Taqwa berada di sini (Nabi Muhammad menunjuk dadanya tiga kali) yaitu menurut seberapa besar perbuatan buruknya dalam penghinaan terhadap saudara semuslimnya. Setiap muslim terhadap muslim lainnya haram darahnya, hartanya, dan harga dirinya”

Bahkan Islam mengharamkan permusuhan dengan cara saling

mendiamkan lebih dari tiga hari, apalagi lebih dari sekedar mendiamkan dan

diatas tiga hari.

ﻦﻋﻭ

ﻲﹺﺑﹶﺃ

ﻱﺭﺎﺼﻧﻷﺍ ﺏﻮﻳﹶﺃ

-

ﻲﺿﺭ

ﷲﺍ

ﻪﻨﻋ

-

ﱠﻥﹶﺃ

ﹶﻝﻮﺳﺭ

ﻪﱠﻠﻟﹶﺍ

-

ﻰﻠﺻ

ﷲﺍ

ﻪﻴﻠﻋ

ﻢﻠﺳﻭ

-

ﹶﻝﺎﹶﻗ

: -

ﺎﹶﻟ

ﱡﻞﺤﻳ

ﹴﻢﻠﺴﻤﻟ

ﹾﻥﹶﺃ

ﺮﺠﻬﻳ

ﻩﺎﺧﹶﺃ

ﻕﻮﹶﻓ

ﺙﺎﹶﻠﹶﺛ

ﹴﻝﺎﻴﹶﻟ

.

ﻥﺎﻴﻘﺘﹾﻠﻳ

ﺽﹺﺮﻌﻴﹶﻓ

ﺍﹶﺬﻫ

ﺽﹺﺮﻌﻳﻭ

ﺍﹶﺬﻫ

,

ﺎﻤﻫﺮﻴﺧﻭ

ﻱﺬﱠﻟﹶﺍ

ﹸﺃﺪﺒﻳ

ﹺﻡﺎﹶﻠﺴﻟﺎﹺﺑ

-

ﻖﹶﻔﺘﻣ

ﻪﻴﹶﻠﻋ

18

ﹴﻢﻌﹾﻄﻣ ﹺﻦﺑ ﹺﺮﻴﺒﺟ ﻦﻋﻭ

ﻪﻨﻋ ﷲﺍ ﻲﺿﺭ

-ﹶﻝﺎﹶﻗ

:

ﻪﱠﻠﻟﹶﺍ ﹸﻝﻮﺳﺭ ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ

ﻢﻠﺳ

ﻊﻃﺎﹶﻗ ﹶﺔﻨﺠﹾﻟﹶﺍ ﹸﻞﺧﺪﻳ ﺎﹶﻟ

-ﻲﹺﻨﻌﻳ

:

ﹴﻢﺣﺭ ﻊﻃﺎﹶﻗ

.

ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻖﹶﻔﺘﻣ

19

.

17 Abu al Husain. Muslim,

Shahih Muslim (Beirut: Dar al Fikr, 1992), vol. 8, h.10.

18 Abd Allah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al Bukhari,

al Jami’ al Shahih al Bukhari (Beirut: Dar al Fikr, 1981), vol. 5, h. 2256.

19 al Bukhari,

(38)

“Dari Abi Ayyub ra, bahwasanya Rasulullah saw. Telah bersabda, “Tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya melebihi tiga malam, yaitu ketika keduanya bertemu, yang satu berpaling ke arah sini dan yang satu lagi ke arah sini, dan yang lebih baik dari keduanya adalah yang terlebih dahulu memberi salam,” muttafaq ‘alaih.

“Dari Jubair bin Mut’im ra, ia berkata, “Rasulullah saw. Telah bersabda, ‘Tidak akan masuk surga seseorang yang memutus tali persaudaraan,” muttafaq ‘alaih.

Perlu dipahami bahwa dalam pembahasan ini kata kunci permasalahan

terletak pada kata “mencerai-berai” yang dalam bahasa Arab terambil dari kata

farraqa yang merupakan kata kerja masa lampau sedangkan bentuk kata bendanya

adalah tafriqah atau tafrîq. Kata ini dibedakan dari kata ikhtilâf sebuah kata

benda yang berasal dari kata kerja bentuk lampau ikhtalafa dengan arti berselisih

atau berbeda pendapat. Ikhtilâf biasanya dikaitkan dengan hasil ijtihâd dalam

masalah cabang yang bukan masalah prinsipil. Sedangkan tafrîq merupakan

perpecahan umat yang kadang muncul salah satunya dari ikhtilâf yang

berkepanjangan. Setiap tafrîq adalah ikhtilâf tetapi tiadak semua ikhtilâf berakhir

dengan tafrîq.

Walaupun perbedaan pendapat adalah bagian dari sunnah Allah bahkan

Allah menciptakan manusia untuk hal tersebut namun tentu perpecahan di

kalangnan umat Islam bukanlah sesuatu yang baik20. Ikhtilâf selagi tidak

menimbulkan perpecahan merupakan satu bentuk keluwesan syari’ah sedangkan

tafrîq merupakan satu bencana yang menghancurkan sendi-sendi persatuan umat.

20 Sufyan Raji Abdullah, M

engenal Aliran-Aliran dalam Islam dan Ciri-Ciri Ajarannya

(39)

30

Memerlukan kebijaksanaan yang lebih dan sportifitas yang tinggi untuk menjadi

(40)

31

A. Sûrah al-An’âm/6: 159 Sûrah al-Rûm/30: 30-32 Surah al An’âm ayat 1591

Ayat dan Terjemah

ّﹶﻥﹺﺇ

ﺬّﹶﻟﺍ

ﻦﻳ

ﺍﻮﹸﻗّﺮﹶﻓ

ﻢﻬﻨﻳﺩ

ﺍﻮﻧﺎﹶﻛﻭ

ﺎﻌﻴﺷ

ﺖﺴﹶﻟ

ﻢﻬﻨﻣ

ﻲﻓ

ٍﺀﻲﺷ

ﺎﻤّﻧﹺﺇ

ﻢﻫﺮﻣﹶﺃ

ﻰﹶﻟﹺﺇ

ﻪّﹶﻠﻟﺍ

ّﻢﹸﺛ

ﻢﻬﹸﺌّﹺﺒﻨﻳ

ﺎﻤﹺﺑ

ﺍﻮﻧﺎﹶﻛ

ﹶﻥﻮﹸﻠﻌﹾﻔﻳ

“Sesungguhnya mereka yang memecah-belah agama sehingga menjadilah

mereka bergolong-golongan (mazhab, sekte), dan kamu tidak masuk ke salah satu

golongan itu. Sesungguhnya urusan mereka adalah dengan Allah, dan kemudian

Allah memberitahukan tentang apa yang telah mereka kerjakan.”

Surat al Rûm 30 sampai 322

Ayat dan Terjemah

Ayat 30:

ﻢﻗﹶﺄﹶﻓ

ﻚﻬﺟﻭ

ﻠﻟ

ﹺﻦﻳّﺪ

ﺎﹰﻔﻴﹺﻨﺣ

ﹶﺓﺮﹾﻄﻓ

ﻪّﹶﻠﻟﺍ

ﻲﺘّﹶﻟﺍ

ﺮﹶﻄﹶﻓ

ﺱﺎّﻨﻟﺍ

ﺎﻬﻴﹶﻠﻋ

ﹶﻞﻳﺪﺒﺗ

ﹺﻖﹾﻠﺨﻟ

ﻪّﹶﻠﻟﺍ

ﻚﻟﹶﺫ

ﻦﻳّﺪﻟﺍ

ﻢّﹺﻴﹶﻘﹾﻟﺍ

ّﻦﻜﹶﻟﻭ

ﺮﹶﺜﹾﻛﹶﺃ

ﹺﺱﺎّﻨﻟﺍ

ﹶﻥﻮﻤﹶﻠﻌﻳ

1ash Shiddieqy,

Tafsir al Qur’anul Majid an Nuur vol.2 (Semarang: Pustaka Rizki Putra,

2000), h. 1343

2

(41)

32

“Luruskanlah pandanganmu terhadp agama Allah dengan sepenuh hati,

dan berpegang eratlah kepada fitrah Allah, yang dengan fitrah itu manusia

diciptakan. Tidak ada perubahan terhadap tabiatnya yang diciptakan oleh Allah

(agama Allah), itulah agama yang lurus. Tetapi kebanyakan manusia tidak

mengetahui”. Ayat 31:

ﲔﹺﺒﻴﹺﻨﻣ

ﻪﻴﹶﻟﹺﺇ

ﻩﻮﹸﻘّﺗﺍﻭ

ﺍﻮﻤﻴﻗﹶﺃﻭ

ﹶﺓﻼّﺼﻟﺍ

ﻻﻭ

ﺍﻮﻧﻮﹸﻜﺗ

ﻦﻣ

ﲔﻛﹺﺮﺸﻤﹾﻟﺍ

“Kamu kembali kepada-Nya dan berbaktilah kepada Allah dan dirikanlah sembahyang dan janganlah kamu menjadi orang-orang yang mempersekutukan Allah.” Ayat 32:

ﻦﻣ

ﻦﻳﺬّﹶﻟﺍ

ﺍﻮﹸﻗّﺮﹶﻓ

ﻢﻬﻨﻳﺩ

ﹶﻛﻭ

ﺍﻮﻧﺎ

ﺎﻌﻴﺷ

ّﹸﻞﹸﻛ

ﹴﺏﺰﺣ

ﺎﻤﹺﺑ

ﻢﹺﻬﻳﺪﹶﻟ

ﹶﻥﻮﺣﹺﺮﹶﻓ

“Yaitu orang-orang yang mencerai-beraikan agama mereka, lalu mereka menjadi beberapa golongan; tiap golongan merelakan apa yang ada di sisi mereka.”

Terjemahan Departemen Agama:

Surat al An’âm ayat 159

(42)

Terjemahan Departemen Agama: Surat al Rûm 30 sampai 32

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,”

“Dengan kembali bertaubat Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah,”

“Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.”

Di sini terlihat jelas pengaruh terjemahan Tafsir an Nuur atas terjemahan

Departemen Agama dalam al-Qur’an dan Terjemahnya. Hal itu adalah wajar

karena memang Hasbi ash Shiddieqy adalah satu diantara sepuluh anggota

“Dewan Penterjemah” yang bertugas untuk menerjemahkan al-Qur’an ke dalam

bahasa Indonesia versi Departemen Agama selama delapan tahun sejak tahun

1967 dan satu-satunya anggota yang sudah memiliki tafsir berbahasa Indonesia

dalam edisi lengkap tigapuluh juz.3

B. Pengertian Memecah Belah Agama

Dari penafsiran Hasbi ash Shiddieqydapatlah diketahui bahwa

memecah-belah agama dan berselisih berarti mengakui sebagian ajaran agama dan

mengingkari sebagian yang lain serta mentakwilkan nash-nash agama menurut

hawa nafsu dan dorongan hati.

3

Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir al Qur’an, Al Qur’an dan Terjemahnya, h.

(43)

34

Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa ayat ini turun mengenai ahlu al

kitâb yang memecah-belah agama Ibrahim, Musa dan agama Isa, serta menjadikan

agama-agama itu bermazhab-mazhab. Masing-masing pengikut mazhab fanatik

terhadap mazhabnya dan memusuhi mazhab lain.

Sebagian ahli tafsir ada yang berpendapat bahwa ayat ini turun mengenai

ahli bid’ah dan partai-partai (firqah) yang telah tumbuh dalam Islam yang

memecah persatuan umat.

Hasbi menggabungkan dua pendapat ini, yaitu dengan menetapkan bahwa

ayat ini menerangkan keadaan ahlu al kitab yang terkotak-kotak dalam berbagai

mazhab sekaligus menyuruh umat Islam untuk bersatu-padu serta menjauhkan diri

dari perpecahan.

Dari pilihan sikap ini terlihat bahwa Hasbi memandang bahwa dengan

memilih makna umum lafaz akan lebih mendatangkan maslahat. Seandainya

dipilih pendapat yang pertama saja maka selamatlah umat ini dari kritik Allah

yang terdapat di dalamnya. Tidak ada manfaat yang bisa dipetik bagi umat

Muhammad di belakang hari dan keterangan ini tak ubahnya berita biasa saja

yang tidak ada hubungannya dengan kondisi kekinian. Dari sini terlihat

pendekatan kritik kontekstual yang dibangun sebagai sebuah komunikasi yang

relevan guna memproduksi atau menyempurnakan diskursus yang ada.

Ketika masyarakat Islam sudah terpecah dalam berbagai kelompok dan

sekte maka berbagai kelompok dan sekte itu seolah mewakili agama di luar Islam

(44)

C. Perpecahan dalam Islam

Hasbi ash Shiddieqy memandang bahwa ahli bid’ah dan partai-partai

(firqah) yang telah tumbuh dalam Islam adalah sebuah indikasi perpecahan umat

Islam. Bid’ah yang dimaksud adalah membuat perkara-perkara baru dalam agama

yang tidak ada keterangannya baik di dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi

Muhammad. Termasuk perkara-perkara yang menyelisihi keduanya.

Beberapa kalangan yang semangat memerangi bid’ah menganggapnya

sebagai masalah terbesar umat, memiliki pandangan yang tidak bisa ditawar lagi.

Dalam definisi kalangan ini, bid’ah diartikan sebagai sesuatu yang menyelisihi

atau menyimpang dari kitab dan ijma’ salaf al ummah baik berkaitan dengan

keyakinan ataupun ibadah ritual yang diamalkan. Kadang diartikan sebagai

ungkapan yang dibuat-buat dalam perkara agama ataupun membuat sesuatu yang

menyerupai syariat. Singkatnya berlelih-lebihan dalam beribadah kepada Allah.

Bid’ah dibagi dalam dua perkara. Pertama, pada adat atau kebiasaan, biasanya

dikaitkan dengan penemuan dan penciptaan baru. Bid’ah semacam ini masih

dibolehkan. Kedua, bid’ah yang terjadi pada agama. Bid’ah macam inilah yang

diharamkan karena perkara agama sifatnya adalah tawqîfî yaitu harus ditetapkan

dengan dalil baik dari al-Qur’an maupun dari Hadis Nabi. Bid’ah dalam agama

dikategorikan lagi dalam dua hal, yaitu dalam hal keyakinan, berupa ucapan yang

bersifat keyakinan dan dalam perkara ibadah, berupa peribadatan dengan cara

yang tidak disyariatkan. Ditinjau dari segi dalil bid’ah dikelompokkan dalam

(45)

36

sekali tidak memiliki dasar hukum dalam al-Qur’an maupun Hadis. Yang kedua

adalah sesuatu yang memiliki dasar hukum dalam ajaran Islam tetapi dilakukan

dengan cara yang menyelisihi ajaran tersebut. Untuk menguatkan peringatakan

atas bahaya bid’ah ini dicantumkan pula pendapat mazhab Hanbali yang

membolehkan membunuh orang yang mengajak kepada bid’ah karena

kekhawatiran akan rusaknya jamaah umat Islam karena bid’ah tersebut.

Hadis-hadis yang biasa dikemukakan sebagai dalil pembuka diantaranya:

1. Hadis man ahdatsa fî amrinâ… riwayat al Bukhari.

ﺩﺭ ﻮﻬﹶﻓ ﻪﻴﻓ ﺲﻴﹶﻟ ﺎﻣ ﺍﹶﺬﻫ ﺎﻧﹺﺮﻣﹶﺃ ﻰﻓ ﹶﺙﺪﺣﹶﺃ ﻦﻣ

4 ٌ

Hadis ini berbicara tentang tetolaknya amalan-amalan yang diada-adakan.

2. Hadis man ‘amila ‘amalan….riwayat Muslim.

ﺩﺭ ﻮﻬﹶﻓ ، ﺎﻧﺮﻣﹶﺃ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﺲﻴﹶﻟ ﹰﻼﻤﻋ ﹶﻞﻤﻋ ﻦﻣ

5

Hadis ini berbicara tentang tertolaknya amalan yang tidak bersumber dari

Nabi.

3. Hadis wa iyyakum wa muhdatsâti al umûr riwayat Abu Dawud.

ﻢﹸﻜﻨﻣ ﺶﻌﻳ ﻦﻣ ﻪﻧﹺﺈﹶﻓ ﺎﻴﺸﺒﺣ ﺍﺪﺒﻋ ﹾﻥﹺﺇﻭ ﺔﻋﺎﱠﻄﻟﺍﻭ ﹺﻊﻤﺴﻟﺍﻭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻯﻮﹾﻘﺘﹺﺑ ﻢﹸﻜﻴﺻﻭﹸﺃ

ﺷﺍﺮﻟﺍ ﲔﻳﺪﻬﻤﹾﻟﺍ ِﺀﺎﹶﻔﹶﻠﺨﹾﻟﺍ ﺔﻨﺳﻭ ﻰﺘﻨﺴﹺﺑ ﻢﹸﻜﻴﹶﻠﻌﹶﻓ ﺍﲑﺜﹶﻛ ﺎﹰﻓﹶﻼﺘﺧﺍ ﻯﺮﻴﺴﹶﻓ ﻯﺪﻌﺑ

ﺍﻮﹸﻜﺴﻤﺗ ﻦﻳﺪ

4 al Bukhari,

al Jami’ al Shahih al Bukhari, vol. 3, h. 222.

5 Muslim,

(46)

ﻋﺪﹺﺑ ﱠﻞﹸﻛﻭ ﹲﺔﻋﺪﹺﺑ ﺔﹶﺛﺪﺤﻣ ﱠﻞﹸﻛ ﱠﻥﹺﺈﹶﻓ ﹺﺭﻮﻣُﻷﺍ ﺕﺎﹶﺛﺪﺤﻣﻭ ﻢﹸﻛﺎﻳﹺﺇﻭ ﺬﹺﺟﺍﻮﻨﻟﺎﹺﺑ ﺎﻬﻴﹶﻠﻋ ﺍﻮﻀﻋﻭ ﺎﻬﹺﺑ

ﺔ

ﹲﺔﹶﻟﹶﻼﺿ

6

Hadis ini berbicara mengenai peringatan Nabi untuk menjauhi bid’ah karena

semua bid’ah sesat.7

Golongan moderat memandang bahwa perjuangan memurnikan ajaran

Islam dengan cara memberantas bid’ah dan kekolotan berarti masuk ke dalam

lingkup masalah khilafiyah. Karena kelompok yang mempertahankan dan

memberantas kedunya sama-sama berdalih untuk memurnikan ajaran Islam.8 Sejarah mengatakan bahwa persoalan politik yang kemudian merembet

kepada masalah teologi adalah pemicu adanya perpecahan dalam Islam. Yang

akhirnya memunculkan tiga aliran teologi yaitu: Khawârij, Murji’ah dan

Mu’tazilah. Bersamaan dengan itu muncul pula dua aliran teologi lainnya al Qadariyyah dan al Jabaryyiah.9

Di alam modern kini terjadi juga perdebatan tentang wajibnya mendirikan

negara Islam10 di pihak lain ada yang menganggap bahwa yang demikian adalah paham keagamaan yang rancu dan merupakan legitimasi tindak kebrutalan seperti

teror, pembunuhan atau pengkafiran hanya dengan sebab sepele11.

6 Abu Dawud,

Sunan Abi Dawud, vol.4, h.329.

7 Hartono Ahma

Referensi

Dokumen terkait

Aplikasi ini nantinya akan memberikan informasi letak – letak ATM dalam bentuk peta dan dapat menentukan lokasi ATM terdekat dari posisi nasabah menggunakan formula

Aplikasi ini merupakan aplikasi dari analisa yang terjadi di lapangan bagaimana prosedur penyewaan fasilitas yang ada digambarkan ke dalam rancangan sistem

Bisa saja jika mereka sekolah mereka akan menyadi dokter, profesor, bupati, menteri, gubernur, bahkan presiden kenapa tidak karena mereka mempunya pendidikan

Namun hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian FR Retno Anggraini (2006) dan eddy (2005) yang menyebutkan bahwa profitabilitas tidak berpengaruh pada tingkat pengungkapan

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2Al2 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketidakpastian lingkungan bisnis akan mendorong manajer menggunakan sistem pengukuran kinerja (SPK) secara interaktif yang kemudian

Tujuan dari simulasi adalah memahami perilaku sistem atau mengevaluasi berbagai strategi dalam batas yang telah ditentukan dengan kriteria tertentu untuk pengoperasian

Keenam, skripsi yang ditulis oleh Aghis Nikmatul Qomariyah dengan judul Penafsiran Bakri Syahid Terhadap Ayat-ayat al-Qur‟an dan Kewajiban Istri dalam Tafsir al-Huda