• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISIS dan Romantisme Khilafah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ISIS dan Romantisme Khilafah"

Copied!
1
0
0

Teks penuh

(1)

Tu lis an opi ni pan jang 900 ka ta di ser tai ri wa yat hi dup sing kat,

fo to ko pi NPWP, fo to di ri pe nu lis di ki rim ke opi ni@sua ra pem ba ru an.com. Bi la se te lah dua ming gu ti dak ada pem be ri ta hu an da ri re dak si,

pe nu lis ber hak me ngi rim ke me dia lain. Me mi hak Ke be nar an

Pe mim pin Umum:

Theo L Sam bua ga

Wa kil Pe mim pin Umum:

Ran dolph La tu mah ina

Pe mim pin Re dak si/Pe nang gung Ja wab:

Pri mus Do ri mu lu

Edi tor at Lar ge:

John Ri a dy

SP

Opi ni & Edi to ri al

A 10

Sua ra Pem ba ru an

Sabtu-Minggu, 9-10 Agustus 2014

I

dIng

R H

asan

F

enomena gerakan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) ternyata kian meng-khawatirkan. Dukungan terha-dap kelompok ekstremis ini tampaknya cenderung meluas di kalangan masyarakat di berba-gai kota di Indonesia. Bahkan, sekarang mereka sudah berani secara terang-terangan mendek-larasikannya di negeri ini, dan mengklaim sebagai bagian dari gerakan yang lahir di Timur Tengah tersebut. Mereka juga aktif merekrut pengikut-pengi-kut baru terutama kalangan anak-anak muda.

Salah satu daya tarik ISIS di kalangan masyarakat Islam Indonesia adalah tujuannya un-t u k m e n d i r i k a n k h i l a f a h Islamiyah, seperti yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai negara yang ma-yoritas penduduknya beragama Islam, tentu saja banyak warga Muslim yang merasa terwakili oleh apa yang ditawarkan ISIS tersebut, sehingga mereka men-dukung sepenuhnya.

Romantisme Sejarah

Khilafah Islamiyah di ka-langan umat Islam memang di-pandang sebagai sesuatu yang sangat penting. Tetapi, persoal-annya adalah apakah keinginan untuk mendirikan khilafah Islamiyah di Indonesia merupa-kan langkah yang tepat? Apakah semata-mata karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dapat dijadikan argumen-tasi yang kuat untuk mendukung keinginan tersebut?

Kalau dilihat dari tipologi gerakan-gerakan radikal Islam yang ingin mendirikan khilafah Islamiyah, pada umumnya

tam-pak memiliki pola yang sama. Mereka, meminjam istilah Ernest Bormann, pencetus teori konvergensi simbolik, memiliki dan berbagi tema-tema fantasi (fantasy themes) yang sama, bahwa khilafah merupakan pe-merintahan paling ideal yang telah ditetapkan Allah SWT; dan bahwa keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran hanya dapat direalisasikan di bawah peme-rintahan khilafah tersebut.

Dalam pandangan mereka, berbagai praktik penyeleweng-an umat mpenyeleweng-anusia selama ini, merupakan akibat dari pemerin-tahan sekarang yang tidak mau tunduk pada aturan Tuhan atau sesuai bahasa mereka, tidak mau menerapkan khilafah. Itulah yang mereka sebut seba-gai pemerintahan thaghut, yakni pemerintahan kaum kafir yang kejam, despotik atau sewenang-wenang pada rakyatnya.

Sayangnya, mereka agaknya tidak memahami bahwa segala urusan duniawi, termasuk masa-lah pemerintahan (khilafah), bersifat kontekstual. Artinya, ia boleh jadi merupakan pilihan tepat, tetapi hanya berlaku un-tuk ukuran saat itu. Sedangkan di saat yang lain belum tentu te-pat jika diterapkan.

Khilafah pada masa Nabi dan khalifah-khalifahnya me-mang sangat layak diterapkan. Ketika itu Islam tengah mengu-asai dunia, bahkan sampai tem-bus ke belahan Eropa, seperti Spanyol, Italia, dan sebagainya.

Situasi di Indonesia tentu sa-ja sangat berbeda. Benar bahwa mayoritas penduduknya beraga-ma Islam, tetapi dasar negara-nya adalah Pancasila dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.

Dengan demikian, jika ada kelompok yang ingin mendiri-kan khilafah Islamiyah di Indonesia, termasuk oleh ISIS, apalagi dengan menghalalkan penggunaan kekerasan, jelas hal itu merupakan tindakan ahisto-ris dan mencerminkan ketidak-pahamannya terhadap konteks masyarakat Indonesia yang se-sungguhnya.

Sama sekali tidak ada argu-mentasi yang kuat, dari sudut pandang manapun, untuk mela-kukan hal tersebut. Atau dengan kata lain mereka sebenarnya ha-nyalah sedang berasyik masyuk

dengan romantisme sejarah ke-gemilangan Islam di masa lalu, seraya menutup mata terhadap realitas umat Islam kekinian di Indonesia.

Dekonstruksi

Gerakan ISIS dan gerakan-gerakan radikal Islam lainnya cara umum memiliki doktrin se-rupa yang mendorong, untuk ti-dak mengatakan memaksa. Mereka berani melakukan tin-dakan-tindakan yang tidak tole-ran, penuh kekerasan, dan seba-gainya. Di antara doktrin-doktrin yang kerap kita dengar adalah

takfiri (mengkafirkan pihak yang berlainan agama atau yang diang-gap musuhnya) dan jihad fisabi-lillah (berjuang dengan meng-angkat senjata di jalan Allah).

Konstruksi pemahaman me-reka atas dua doktrin tersebut sebenarnya keliru dari sudut Islam yang diajarkan oleh Nabi sendiri. Karena itu, perlu ada upaya dekonstruksi terhadap doktrin tersebut. Tetapi setelah-nya harus pula disertai dengan rekonstruksi sehingga bisa me-luruskan kekeliruan itu.

Doktrin takfiri, misalnya, ti-dak lagi relevan untuk saat ini, apalagi di Indonesia. Dikotomi Muslim dan kafir menjadi ambi-gu jika dikaitkan dengan masya-rakat kita sekarang ini. Kafir ti-dak semata-mata diartikan seba-gai non-Muslim.

Mengenai doktrin jihad, ka-um radikal juga sudah sangat keliru dalam penerapannya. Berjuang mengangkat senjata, yang kerap didengungkan, bah-kan oleh Nabi sendiri, dianggap sebagai ‘jihad kecil”. Jihad yang benar adalah bersungguh-sung-guh dan berusaha keras dalam suatu hal, seperti dalam menun-tut ilmu, mencari rejeki dan se-bagainya. Mati dalam usaha ter-sebut justru dianggap mati sya-hid dan dijanjikan surga oleh Tuhan.

Dengan demikian, rekon-struksi atas pemahaman kaum radikal yang keliru tersebut ha-rus teha-rus dilakukan sehingga pe-nyebaran ISIS sedikit banyak dapat ditangkal.

Penulis adalah DEPUTI DIREKTUR

THE POLITICAL LITERACY INSTITUTE,

DOSEN KomuniKasiPOLITIK

FISIP UIN JAKARTA

ISIS dan Romantisme Khilafah

“Habitus” Baru

M

enjelang HUT ke-69 Republik Indonesia, termasuk 16 tahun Orde

Reformasi, sebagian besar rakyat Indonesia belum sepenuhnya me-nikmati kemerdekaan. Bagi rakyat, kemerdekaan bukan hanya berarti bebas menyampaikan pendapat, beraktivitas, dan berkarya, tetapi yang lebih penting adalah peningkatan kesejahteraan. Sayangnya, sampai saat ini masih ada puluhan juta rakyat yang hidup dalam kemiskinan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan 28,28 juta jiwa atau 11,25 persen dari total penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan. Bila ditambah yang hampir miskin atau mendekati garis kemiskinan (near poor), jumlahnya bisa melonjak menjadi 100 juta jiwa. Di sisi lain, segelintir orang Indonesia memiliki kekayaan luar biasa, bahkan dalam waktu singkat meningkat pesat. Akibatnya, ketimpangan ekonomi pun semakin parah. Buktinya rasio gini Indonesia terus memburuk. Pada 2005, rasio gini tercatat 0,34, lalu pada 2009 menjadi 0,37, dan saat ini mencapai 0,41. Semakin besar rasio gini, semakin lebar pula kesenjangan antara sekelompok kecil kaum kaya dan sebagian besar orang miskin.

Penyebab utamanya adalah korupsi. Pajak rakyat dan hasil pengelolaan kekayaan negara digerogoti koruptor, sehingga program pemberdayaan masya-rakat dan pemberantasan kemiskinan mendapat alokasi dana yang minim. Penyebab lainnya adalah alokasi APBN yang didominasi belanja birokrasi dan subsidi yang tak tepat sasaran. Selain itu, sebagian besar elite, birokrasi, politisi, tokoh masyarakat, bahkan pemuka agama, lebih korup dan egois. Praktik korup-si justru menjadi semakin ganas saat Orde Reformakorup-si, ketimbang Orde Baru!

Oleh karena itu, pergantian pemerintahan hasil Pilpres 2014 dari SBY-Boediono ke Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) menjadi momentum untuk memulai habitus baru di negeri ini. Apalagi, presiden dan wakil presiden terpi-lih, Jokowi-JK mengusung tagline “Revolusi Mental” menuju “Indonesia Hebat”. Habitus baru itu tercermin dari pikiran, sikap, dan perilaku dengan meninggalkan kebiasaan lama, seperti korup, bermental priyayi, serta budaya instan yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Dalam bahasa Indonesia, habitus yang berasal dari bahasa Latin diartikan sebagai “kebiasaan”, setelah kata tersebut diadopsi bahasa Inggris menjadi habit. Dalam pengertian yang lebih luas, habitus bisa diartikan sebagai “karak-ter” dan juga “watak”.

Bagi kita, ada empat komponen bangsa yang seharusnya memulai habi-tus baru. Pertama, pemerintahan. Salah satu tolok ukurnya adalah penentuan kabinet. Kita berharap Jokowi-JK menepati janji dengan menempatkan sosok berintegritas, kapabel, dan akseptabel, dalam kabinet mendatang. Bila zaken kabinet sukses terbentuk, perilaku birokrasi pun diharapkan berubah menjadi semakin profesional dan melayani. Gubernur, bupati, dan wali kota, hendak-nya berlaku serupa saat memilih kepala dinas, camat, dan lurah. Dengan de-mikian diharapkan pemerintahan mendatang betul-betul bekerja untuk mema-jukan kesejahteraan umum.

Kedua, parpol dan DPR. Kita sepakat dengan pernyataan bahwa daya ru-sak pada Orde Reformasi sangat dahsyat yang dipicu ulah politisi. Legislative heavy membuat DPR sangat berkuasa dan menjungkirbalikkan segala tatan-an. Perekrutan politik lebih mengutamakan modal dan popularitas, ketimbang kapabilitas dan integritas. Tak heran bila banyak legislator kini dipenjara. Ke depan, perekrutan kader harus lebih selektif dengan mengutamakan kapabili-tas dan integrikapabili-tas.

Ketiga, penegak hukum. Salah satu penyebab korupsi marak adalah pe-negakan hukum yang masih lemah. Koruptor dihukum ringan, sehingga tak menimbulkan efek jera. Penyebabnya, mafia hukum masih bergentayangan. Oleh karena itu, Jokowi-JK wajib menunjuk tokoh berintegritas, berani, dan tak kenal kompromi menjadi kapolri dan jaksa agung, serta mengusulkan hakim agung dan komisioner KPK dengan kriteria serupa.

Keempat, masyarakat. Pemerintah, elite, tokoh masyarakat, dan pemuka agama hendaknya mendidik masyarakat agar tidak menyogok dan memberi suap dalam berbagai urusan. Bila ada aparat yang meminta suap, masyarakat tak perlu takut melaporkannya ke instansi atau saluran yang dibuat pemerin-tah pusat. Sogok dan suap harus dijadikan musuh bersama!

Bila keempat komponen tersebut secara simultan melakukan habitus ba-ru, kita yakin kesejahteraan umum lebih cepat tercapai. Hal ini sejalan dengan keinginan Presiden Soekarno saat menyampaikan pidato lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1945. “Apakah kita mau Indonesia merdeka, yang kaum kapital-nya merajalela, ataukah yang semua rakyatkapital-nya sejahtera, yang semua cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang dan pangan?”

Tentu kita ingin seluruh rakyat Indonesia sejahtera. Semua itu bisa terwujud dengan melakukan habitus baru yang sejalan dengan revolusi mental ala Jokowi.

Ta juk Ren ca na

Banyak yang meragukan kualitas saksi kubu Prabowo-Hatta.

– Semoga bukan saksi yang direkayasa.

u Praktik pemerasan TKI jadi target KPK.

– Jangankan di negeri orang, di negeri sendiri pun diperlakukan tak semestinya.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

tanggungjawab utama untuk memberikan edukasi pada pasien tentang sifat masalah kesehatan, hal-hal yang harus dihindari, penggunaan obat-obat di rumah, jenis

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan bekerjasama dengan SMAN 3 Penajam Paser Utara melakukan kerjasama pembinaan guru-guru di Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Penajam Paser

Lukisan berjudul Women III adalah merupakan hasil karya yang dibuat oleh seniman yang menganut aliran lukisan abstrak ekspresionis willem de Kooning dan merupakan salah satu

Subjek utama dalam penelitian ini adalah Pengelola Badan Amil Zakat Nasional Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Penerima ZIS (mustahik). Objek penelitian ini

Secara umum, AVO (amplitude versus offset) yang bekerja pada domain reflektifitas dapat digunakan untuk menganalisis anomali hidrokarbon, tetapi pada kasus tertentu

Efektif tanggal 1 Januari 2012 PPSAK No. 44 "Akuntansi Aktivitas Pengembangan Real Estat" dalam Paragraf 47 – 48 dan 56 – 61” Pencabutan standar ini mengubah penyajian

 Menyatakan diri sebagai bagian dari NII Kartosuwiryo  Diselesaikan dengan Musyawarah Kerukukan Rakyat Aceh C..