• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis dan Pemetaan Indeks Kekeringan Meteorologis Menggunakan Data Satelit TRMM dari 36 Titik Stasiun BMKG di Pulau Sumatera.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis dan Pemetaan Indeks Kekeringan Meteorologis Menggunakan Data Satelit TRMM dari 36 Titik Stasiun BMKG di Pulau Sumatera."

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DAN PEMETAAN INDEKS KEKERINGAN

METEOROLOGIS MENGGUNAKAN DATA SATELIT TRMM

DARI 36 TITIK STASIUN BMKG DI PULAU SUMATERA

NOFRIYADI WIDODO

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis dan Pemetaan Indeks Kekeringan Meteorologis Menggunakan Data Satelit TRMM dari 36 Titik Stasiun BMKG di Pulau Sumatera adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun untuk mendapatkan gelar kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2013

Nofriyadi Widodo

(3)

ABSTRAK

NOFRIYADI WIDODO. Analisis dan Pemetaan Indeks Kekeringan Meteorologis Menggunakan Data Satelit TRMM dari 36 Titik Stasiun BMKG di Pulau Sumatera. Dibimbing oleh HIDAYAT PAWITAN.

Kriteria kekeringan pada suatu wilayah dapat ditentukan dengan menggunakan beberapa metode yang menghitung nilai indeks kekeringan wilayah tersebut. SPI (Standardized Precipitation Index) merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk menghitung tingkat kekeringan meteorologis bulanan di suatu wilayah. Curah hujan merupakan faktor utama yang mempengaruhi kekeringan meteorologis. Satelit TRMM menyediakan data dugaan curah hujan sehingga data tersebut dapat digunakan untuk menghitung nilai indeks kekeringan meteorologis di suatu wilayah. Validasi nilai curah hujan dugaan dengan nilai pengamatan menunjukkan korelasi positif pada selang kepercayaan 95%, sehingga data TRMM dapat digunakan untuk tujuan analisis indeks kekeringan meteorologis.Nilai indeks kekeringan meteorologis pulau Sumatera tahun 2001 samapai 2010 berkisar antara -2,51 sampai 2,67 yang menunjukkan kriteria sangat kering sampai sangat basah. Pemetaan indeks kekeringan bulanan menunjukkan kekeringan dominan terjadi pada Juni dan Juli yang terjadi hampir setiap tahun kecuali tahun 2006 pada bulan Juni dan tahun 2004 bulan Juli. Indeks tersebut juga menggambarkan wilayah yang kering pada bulan basah seperti bulan November tahun 2001, 2004, 2006, dan 2007 serta bulan Desember tahun 2001, 2005, 2006, 2007, 2008 dan 2010. Wilayah yang sering mengalami kekeringan meteorologis dari hasil pemetaan adalah Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, dan Lampung. Kekeringan dengan kriteria sangat kering di Sumatera Utara terjadi pada Agustus 2004 dan September 2005, dengan wilayah yang sering mengalami kekeringan adalah bagian selatan dan timur Sumatera Utara. Kondisi sangat kering di Riau terjadi pada April 2005, hampir seluruh wilayah Riau mengalami kekeringan terutama pada bulan Mei, Juni, dan Juli bahkan kekeringan juga terjadi pada bulan Desember, Januari, dan Maret. Kekeringan dengan kriteria sangat kering terjadi di Sumatera Selatan pada Maret 2007 dan Desember 2008. Kekeringan di Sumatera Selatan meliputi wilayah bagian barat, utara dan selatan dan kekeringan sering terjadi pada bulan Mei, Juni, dan Juli. Seluruh wilayah Lampung mengalami kekeringan dengan kriteria sangat kering pada bulan April tahun 2005 dan bulan Mei tahun 2008 serta kekeringan sering terjadi di awal tahun pada bulan Februari, Maret, April dan bulan Mei.

(4)

ABSTRACT

NOFRIYADI WIDODO. Analysis and Mapping of Meteorological Drought Index Based on TRMM Data Satellite from 36 Point of BMKG Station in Sumatera. Supervised by HIDAYAT PAWITAN.

Drought index criteria in a region can be determined by using a method that calculates drought index value of the region. SPI (Standardized Precipitation Index) is a method that can be used to calculate the level of monthly meteorological drought in the region. Rainfall is the main factor affecting the meteorological drought. TRMM satellite provides estimated rainfall data that can be used to calculate the value of meteorological drought index in a region. Validation of estimated rainfall data with observation data showed a positive correlation at convidence interval 95%. Meteorological drought index value of Sumatra Island in 2001 to 2010 ranged from -2.51 to 2.67 indicating the criteria very dry to very wet. Mapping monthly drought index indicates the dominant drought occurred in June and July which happens almost every year except in 2006 on June and 2004 on July. The index also describes dry region in wet months such as November in 2001, 2004, 2006, and 2007 also December in 2001, 2005, 2006, 2007, 2008 and 2010. Areas that often experience drought meteorology of the mapping are North Sumatera, Riau, South Sumatra, and Lampung. Very dry drought criteria in North Sumatra occurred in August 2004 and September 2005, with the region experiencing frequent droughts is part of the south and east of North Sumatra. Very dry conditions in Riau occurred in April 2005 and almost all regions of Riau showed drought especially in May, June, and July even drought also occurred in December, January, and March. Very dry drought criteria occurred in South Sumatra in March 2007 and December 2008. Drought in South Sumatra covers an area to the west, north, and south droughts often occur in May, June, and July. The whole area of Lampung experiencing extremely dry drought criteria in April 2005 and 2008, drought often occurs at the beginning of the year such as February, March, April and May.

(5)
(6)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Mayor Meteorologi Terapan

ANALISIS DAN PEMETAAN INDEKS KEKERINGAN

METEOROLOGIS MENGGUNAKAN DATA SATELIT TRMM

DARI 36 TITIK STASIUN BMKG DI PULAU SUMATERA

NOFRIYADI WIDODO

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)
(9)

Judul Skripsi : Analisis dan Pemetaan Indeks Kekeringan Meteorologis

Menggunakan Data Satelit TRMM dari 36 Titik Stasiun BMKG di Pulau Sumatera.

Nama : Nofriyadi Widodo NIM : G24090010

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Hidayat Pawitan, MScE Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Rini Hidayati, MS Ketua Departemen

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2013 ini ialah kekeringan, dengan judul Analisis dan Pemetaan Indeks Kekeringan Meteorologis Menggunakan Data Satelit TRMM dari 36 Titik Stasiun BMKG di Pulau Sumatera.

Terima kasih penulis kepada Ayah dan Ibunda tercinta, yang selalu memberikan dukungan materi dan moral agar karya tulis ini dapat saya selesaikan, terimakasih juga kepada kakak Febriandi dan Mihar Efendi yang telah memberi penulis semangat dalam penyelesaian karya tulis ini. Terima kasih juga kepada Kakek dan Nenek yang selalu memberikan dukungan kepada penulis, dan seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Serta tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan, M.Sc.E. selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan dan dampingan dalam penyelesain karya ilmiah ini. 2. Dr. Ir. Rini Hidayati, MS. selaku ketua departemen GFM dan seluruh dosen

yang telah memberikan ilmu selama perkuliahan.

3. Mas Azis dan staf pegawai departemen GFM atas bantuannya dalam mengurus keperluan dan administrasi kuliah.

4. Ibu dan bapak pegawai PPMB IPB : Bu Susi, Bu Wina, Bu Lilis, Bu Ira, Bu Esi, Pak Herman, Pak Ian, Pak Handi, Mas Komeng, dan Teh Isop, atas pengalaman kerjanya.

5. Teman-teman laboratorium Hidrometeorologi: Noya, Santi, Risna, Eka Fay, Risa, May, Abu, Ika, Didi, Zia, Hifdi, Ima, Dodik, Eka, dan teman-teman GFM 46: Dissa, Wengky, Ocha, Nowa, Wayan, Rini, Dieni, Alin, Kresna, Enda, Ika P, Hijjaz, Dunka, Ipin, Iif, Ijal, Umar, Icha, dan semua temen GFM 46 yang tidak bisa saya sebutkan semuanya.

6. Saudara-saudara di Primasista: Romi, Aisa, Erni, Mamet, Is, Enek, Ibu, Bundo, Mami, Etek, Ni Ami, Pak Ipot, Da Akri, Da Iki, Da Aan, dan semua keluarga di Primasista yang tidak bisa say sebutkan semuanya.

7. Teman-teman satu kontrakan : Fauzi, Apri, Robi, Rahmat, dan Sam.

8. Teman-teman, adi dan kakak di Indonesian Climate Student Forum (ICSF), Earth Hour Bogor, dan UKF atas pengalaman organisasi yang berharga.

9. Ian Wiyana STP atas bantuan dan sarannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan memiliki nilai tambah kebaikan bagi ilmu pengetahuan

Bogor, September 2013

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 3

Asumsi 3

TINJAUAN PUSTAKA 4

Kekeringan 4

Indeks Kekeringan 4

Standardized Precipitation Index (SPI) 5

Penginderaan Jauh 6

METODE 8

Tempat Penelitian dan Waktu Penelitian 8

Bahan 8

Alat 9

Prosedur Analisis Data 9

HASIL DAN PEMBAHASAN 13

Data Dugaan Curah Hujan TRMM dan Data Pengamatan 13 Nilai indeks kekeringan SPI (Standardized Precipitation Index) 16

SIMPULAN DAN SARAN 22

Simpulan 22

Saran 23

DAFTAR PUSTAKA 23

(12)

DAFTAR TABEL

1 Klasifikasi nilai indeks SPI 6

2 Nilai korelasi, MAE, dan RMSE data dugaan dan data observasi

stasiun Tabing Padang 16

DAFTAR GAMBAR

1 Peta Pulau Sumatera (sumber: BAPPEDA (2013)) 3

2 Orbit dan jangkauan satelit TRMM (sumber: a) NASA 2007, b)

Sasmitro 2011) 8

3 Diagram alir penelitian 12

4 Hubungan antara sebaran data curah hujan stasiun dan TRMM

stasiun Tabing Padang 14

5 Pola curah hujan bulanan statsiun Tabing Padang 14 6 Nilai Ea (absolut error) dan Er (relative error) data curah hujan

pengamatan dan pendugaan TRMM pada stasiun Tabing, Padang 15 7 Uji konsistensi data TRMM pada stasiun Tabing, Padang 16 8 Nilai indeks kekeringan maksimum stasiun Tabing Padang

2001-2010 17

9 Perbandingan nilai fluktuasi curah hujan dan indeks kekeringan

stasiun Tabing Padang 18

10 Peta indeks kekeringan Bulan Juni 2005 22

DAFTAR LAMPIRAN

1 Koordinat stasiun BMKG di Pulau Sumatera 25

2 Data curah hujan pengamatan stasiun Tabing Padang tahun

2001-2010 27

3 Data pendugaan curah hujan (mm) satelit TRMM Tabing Padang

tahun 2001-2010 27

4 Uji konsistensi data pendugaan satelit TRMM 28

5 Indeks kekeringan maksimum tahun 2001-2010 32

6 Perbandingan fluktuasi curah hujan dengan indeks kekeringan tahun

2001-2010 36

(13)
(14)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perubahan penggunaan lahan yang tidak terkendali seperti perambahan hutan dan penebangan liar menyebabkan hilangnya tutupan lahan hutan serta daya dukung lingkungan menjadi lebih terbatas, sehingga sering terjadi bencana banjir dan kekeringan. Daya dukung lingkungan yang terbatas tersebut dapat meningkatkan kejadian banjir dan kekeringan dengan intensitas yang semakin kuat. Secara nasional dari sektor pertanian tercatat rerata luas padi sawah yang tergenang banjir mencapai 100 ribu ha/tahun, akibat kekeringan mencapai lebih dari 200 ribu ha/tahun, dan kebakaran hutan lebih dari 100 ribu ha pada tahun-tahun El Nino (Pawitan 2003). Kejadian tersebut tidak terlepas dari dampak fenomena iklim yang terjadi di Indonesia seperti El Nino dan La Nina. Fenomena ini terjadi tiap dua hingga tujuh tahun sekali. Menurut As-Syakur (2011) El Nino

yang pernah berlansung di Indonesia adalah tahun 2002/2003 dan 2006 sedangkan

La Nina pada tahun 2010.

Kekeringan (drought) merupakan salah satu kejadian iklim yang sering terjadi dan dapat memberikan dampak negatif serta berpengaruh langsung terhadap aktivitas makhluk hidup. Kekeringan merupakan suatu kejadian alam yang sangat berpengaruh terhadap ketersediaan cadangan air dalam tanah, baik yang diperlukan untuk kepentingan pertanian maupun untuk kebutuhan manusia. Kekeringan juga merupakan masalah sumber daya air yang kompleks, melibatkan banyak pihak dan membutuhkan tindakan individual atau kolektif terpadu untuk mengamankan pasokan air.

Bencana kekeringan berlangsung dengan proses yang lambat sehingga dikatakaan sebagai sebagai bencana merangkak (creeping disaster). Datangnya tidak tiba-tiba seperti banjir atau gempa bumi, namun timbul secara perlahan-lahan sehingga sangat mudah diabaikan. Awal dan akhir bencana kekeringan tidak bisa diketahui secara pasti. Kekeringan merupakan ancaman yang paling mengganggu sistem produksi pertanian di Indonesia terutama tanaman pangan. Kekeringan secara sederhana merupakan suatu periode di mana terjadi kekurangan air yang disebabkan oleh berkurangnnya curah hujan. Kurangnya curah hujan tersebut merupakan indikasi terjadinya kekeringan meteorologis di suatu wilayah. Usaha yang penting untuk mengantisipasi kekeringan adalah pemahaman terhadap karakteristik iklim dan analisis sifat-sifat hujan yang dapat menggambarkan kondisi kekeringan secara fisik disuatu lokasi. Untuk mengetahui tingakat kekeringan meteorologis bulanan di disuatu lokasi dapat digunakan salah satu metodete analisis indek kekeringan SPI (Standardized Precepitation Index).

(15)

2

informasi secara spasial dalam bentuk peta sehingga dapat dilihat sebaran wilayah yang mengalami kekeringan berdasarkan kriteria pada nilai indeks kekeringannya (Suryanti 2008).

Perumusan Masalah

Besarnya keberagaman curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh sirkulasi udara pada skala global maupun regional, pembentukan awan dan hujan juga dipengaruhi oleh kondisi lokal seperti, topografi dan suhu permukaan laut diperairan Indonesia. Pulau Sumatera secara keseluruhan memiliki karakteristik iklim yang khas baik dalam skala regional maupun lokal. Wilayah Sumatera memiliki barisan pegunungan yang membujur dari utara sampai selatan, dikelilingi oleh lautan yang terdiri dari Samudera Hindia, Laut Jawa, Selat Malaka, Selat Karimata, dan dekat dengan Laut Cina Selatan. Kondisi tersebut memberikan pengaruh terhadap pembentukan awan dan hujan di Pulau Sumatera selain pengaruh dari pergerakan posisi semu matahari terhadap bumi dan sirkulasi global.

Secara umum perbedaan kondisi cuaca dan iklim yang terjadi di Pulau Sumatera sangat dipengaruhi oleh ITCZ (Inter Tropical Convergence Zone) pada bulan Januari sampai Maret dan Muson Asia pada bulan November sampai Desember, serta faktor lokal lainnya (Sandy 1987). Akibatnya, daerah ini sering mengalami anomali atau penyimpangan iklim terutama yang berhubungan dengan gejala alam La-Nina dan El-Nino, yang dapat menyebabkan terjadinya bencana alam seperti bencana kekeringan. Kekeringan meteorologis merupakan indikasi awal terjadinya bencana kekeringan dengan faktor utama jumlah curah hujan yang jatuh pada waktu tertentu. Data curah hujan dapat digunakan untuk menghitung nilai indeks kekeringan metorologis di Pulau Sumatera menggunakan metode SPI (Standardized Precipitation Index). Analis spasial indeks kekeringan di Pulau Sumatera dapat digunakan sebagai salah satu upaya dalam antisipasi dan prakiraan untuk kondisi yang akan datang, sehingga dapat diketahui pola dan frekuensi terjadinya bencana kekeringan di Pulau Sumatera.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menghitung nilai indeks kekeringan meteorologis bulanan Pulau Sumatera dan melakukan pemetaan nilai indeks kekeringan meteorologis wilayah Sumatera berdasarkan nilai SPI (Standardized Precipitation Index) tahun 2001 sampai 2010 menggunakan data satelit TRMM.

Manfaat Penelitian

(16)

3 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah nilai indeks kekeringan meteorologis Pulau Sumatera. Secara geografis Pulau Sumatera terletak antara 6018’LU -6005’LS dan 94008’-108029’BT yang terdiri dari pegunungan-pengunungan dan dikelilingi oleh lautan yang sangat berperan terhadap dinamika atmosfer di wilayah Sumatera. Kondisi tersebut menyebabkan keadaan iklim dan cuaca di Pulau Sumatera bervariasi menurut tempat dan waktu. Perhitungan nilai indeks kekeringan menggunakan data estimasi curah hujan satelit TRMM 3B42 L6 tahun 2001 sampai 2010 pada 36 titik yang disesuaikan dengan koordinat stasiun BMKG yang berada di Pulau Sumatera.

Asumsi

Penelitian ini menggunakan asumsi sebagai berikut:

1. Definisi dari kekeringan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kekurangan curah hujan yang terjadi pada semua rezim iklim di wilayah dengan curah hujan kecil maupun besar.

2. Validasi data TRMM dari 36 titik data yang digunakan pada penelitian ini hanya dilakukan pada satu titik stasiun saja yaitu stasiun Tabing, Padang yang dianggap dapat mewakili karakteristik curah hujan di stasiun lainnya.

(17)

4

TINJAUAN PUSTAKA

Kekeringan

Kekeringan merupakan kejadian iklim yang berulang dan dapat terjadi pada semua zona iklim meskipun dengan karakteristik yang bervariasi di setiap tempat terjadinya (Moreira et al. 2012). Kekeringan merupakan salah satu bencana alam yang dapat mempengaruhi sektor ekonomi dan lingkungan dalam skala yang besar (Obasi 1994). Menurut Dracup et al. (1980) definisi kekeringan sering dikaitkan dengan sektor yang dipengaruhi oleh kekeringan tersebut, sehingga dapat didefinisikan sebagai kekeringan meteorologi, kekeringan hidrologi, sosial ekonomi, serta kekeringan secara pertanian.

Menurut International Glossary of Hydrology (WMO 1974) pengertian kekeringan adalah suatu keadaan tanpa hujan berkepanjangan atau masa kering di bawah rata-rata yang cukup lama sehingga mengakibatkan keseimbangan hidrologi terganggu secara serius. Konsep kekeringan berangkat dari definisi yaitu periode tanpa air hujan cukup atau suatu periode kelangkaan air. Kekeringan dapat terjadi secara meteorologis atau klimatologis dan kekeringan dari berbagai aspek antara lain kekeringan secara hidrologi, kekeringan secara pertanian dan kekeringan secara sosial ekonomi (Grigg 1996).

Kekeringan meteorologi merupakan suatu masa di mana pasokan air hujan aktual pada suatu lokasi jatuh atau turun lebih sedikit dibandingkan pasokan air klimatologis yang sesungguhnya sesuai estimasi normal (Palmer 1965). Kekeringan meteorologis berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim. Kekeringan hidrologis berkaitan dengan kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan pertanian berhubungan dengan kekurangan kandungan air di dalam tanah sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah yang luas. Kekeringan Sosial ekonomi berkaitan dengan kondisi dimana pasokan komoditi ekonomi kurang dari kebutuhan normal akibat kekeringan meteorologi, hidrologi, dan pertanian. Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya kekeringan adalah curah hujan sebagai sumber air tersedia, karakteristik tanah sebagai media penyimpanan air, dan jenis tanaman sebagai subjek yang menggunakan air.

Indeks Kekeringan

Menurut Hounam et al. (1975) penentuan tingkat kekeringan bertujuan untuk:

1. Mengevaluasi kecenderungan klimatologis menuju keadaan kering atau tingkat kekeringn dari suatu wilayah.

2. Memperkirakan kebutuhan air irigasi pada suatu luasan tertentu. 3. Mengevaluasi kekeringan pada suatu tempat secara lokal.

4. Melaporkan secara berkala perkembangan kekeringan secara regional.

(18)

5 hanya dilihat dari batasan jumlah curah hujan, batasannya sangat beragam bergantung kepada waktu dan tempat penelitian (Ogallo dan Gbeckor-kove 1989).

Indeks kekeringan banyak macamnya, antara lain : Standardized precipitation index (SPI), Palmer Drought Severity Index(PDSI), Crop Moisture Index (CMI), Surface Water Supply Index (SWSI), Reclamation Drought Indeks

(RDI), dan masih banyak lagi. Indeks-indeks ini diciptakan bergantung pada gambaran umum yang melatar belakangi daerah tersebut, pengguna, proses, input dan hasil outputnya atau masing-masing klasifikasi. Berdasarkan deklarasi Lincoln 2009 yang membahas mengenai indeks kekeringan dan sistem peringatan dini kekeringan (Drought Early Warning Systems) menyatakan bahwa

Standardized Precipitation Index direkomendasikan untuk memonitoring tingkat kekeringan meteorologis diseluruh dunia (Hayes et al.2011).

Standardized Precipitation Index (SPI)

Metode SPI (Standardized Precipitation Index) pertama kali dikembangkan oleh McKee tahun 1993 yang merupakan salah satu metode perhitungan indeks kekeringan yang sering digunakan untuk mengidentifikasi peristiwa kekeringan dan untuk mengevaluasi tingkat kekeringan berdasarkan nilai-nilai dari klasifikasi tingkat kekeringannya (McKee et al. 1993). Menurut Bordi et al. (2009), SPI banyak digunakan karena dapat memberikan perbandingan yang handal dan relatif mudah digunakan pada kondisi iklim dan tempat yang berbeda. Metode ini dapat menggambarkan dampak kekeringan baik jangka pendek maupun jangka panjang karena menggunakan data statistik yang konsisten.

Bersadasarkan deklarasi Lincoln Decralation on droght Indices yang dihasilkandari Workshop on Indices and Early Warning System for Drought di University of Nebraska-Lincoln myatakan bahwa SPI akan mencerminkan sifat kekeringan meteorologi di Seluruh dunia. Kelebihan SPI adalah sederhana dengan input hujan serta mampu menjelaskan kekeringan menggunkan skala waktu, dan dapat mengidentifikasi kering dan basah dengan cara yang sama. Kelemaha SPI adalah menggukan seri waktu variable hujan yang cukup panjang dan handal dan hanya dapat menjelaskan kekeringan meteorologi. Skala waktu mencerminkan kondisi propogasi air hujan menjadi siklus hidrologi seperti pada skala waktu satubulan, tiga bulan, enam bulan sapai 12 bulan (Bokal 2011). Penelitian ini menggunakan metode SPI pada skala waktu satu bulan.

(19)

6

Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh merupakan ilmu, teknik dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa adanya kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji. Pengumpulan data secara jarak jauh dapat digunakan menggunakan berbagai sensor sehingga data dapat dianalis untuk mendapatkan informasi tentang objek, daerah atau fenomena yang dikaji. Menurut Lillesand dan Kiefer (1997), pengumpulan data dari jarak jauh dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, variasi daya, gelombang bunyi dan energi.

Penginderaan Jauh untuk Pendugaan Curah Hujan

Pendugaan curah hujan menggunakan teknik penginderaan jauh diawali oleh satelit meteorologi pertama TIROS-1 (Television and Infraed Observation Satellite) yang menangkap citra awan pada tahun 1960. Sasmitro (2011), menyebutkan bahwa dalam perkembangannya terdapat empat metode dalam pendugaan curah hujan menggunakan satelit:

1. Pendugaan curah hujan menggunakan kanal IR (Inframerah) dan VIS (Visible). Prinsip pendugaan curah hujan dengan metode ini adalah citra yang menangkap data emisi dari puncak awan atau didekat awan. Satelit yang menangkap citra tersebut adalah satelit-satelit yang mempunyai orbit GEO (Geostationary Earth Orbit).

2. Pendugaan curah hujan dengan kanal pasif gelombang mikro. Prinsip dari metode ini adalah menangkap intensitas radiasi gelombang mikro yang diemisikan oleh permukaan bumi, awan dan butir hujan.

3. Pendugaan curah hujan dengan kanal radar satelit. Radar satelit akan mengeluarkan sinyal dan menangkap gelombang balik dari sinyal tersebut, sehingga dari nilai hamburan gelombang balik tersebut dapat diketahui karakteristik dari objek yang terkena gelombang tersebut. Satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) merupakan satelit pertama yang menggunakan radar, nilai intensitas hujan yang dihasilkan oleh oleh sensor radar tersebut memiliki hasil yang akurat dibanding sensor lainnya.

4. Pendugaan curah menggunakan metode kombinasi kanal inframerah dan gelombang mikro (blended techniques). Kombinasi yang digunakan adalah

(20)

7 sensor gelombang mikro dan sensor inframerah yang bertujuan untuk mendapatkan data real time.

TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission)

Satelit TRMM diluncurkan pada tanggal 27 November 1997 dengan ketinggian awal 350 km diatas permukaan bumi dan memgelilingi daearah tropis termasuk Jepang dan Amerika Serikat.Sejak Agustus 2001 ketinggian satelit ini berubah menjadi 403 km di atas permukaan bumi dan mengorbit sebanyak 16 kali setiap harinya dengan menghabiskan waktu rata-rata 92,5 menit untuk satu kali orbit (NASA 2007). Satelit ini dilengkapi dengan lima sensor utama yaitu PR (Precipitation Radar), TMI (TRMM Microwave Imager), VIRS (Visible Infrared Scanner), LIS (Lightning Imaging Sensor) dan CERES (Clouds and Earth’s

Radiant Energy System), merupakan wahana yang sangat tepat digunakan untuk studi karakteristik dan mekanisme curah hujan tropis dan prediksi curah hujan (Suryantoro et al. 2008).

Sensor yang digunakan untuk untuk pemantauan presipitasi secara kusus adalah sensor PR (Precipitation Radar) dan TMI (TRMM Microwave Imager). Sensor PR merupakan radar presipitasi pertama di antariksa yang bekerja pada frekuensi 13,8 GHz untuk mengukur distribusi presipitasi secara 3 dimensi, baik untuk presipitasi diatas daratan maupun di atas lautan, serta untuk menentukan kedalam lapisan presipitasi. Sensor TMI merupakan suatu multiple passive microwave radiometer yang beroperasi pada 5 frekuensi yaitu 10,65; 19,35; 85,5 GHz polarisasi ganda dan pada 22,235 GHz polarisasi tunggal. Dari sensor tersebut dapat diekstraksi data untuk integrated coloumn precipitation content, air cair dalam awan, es awan, intensitas hujan, tipe hujan seperti hujan statifrom atau hujan konvektif. Data yang dihasilkan oleh sensor satelit ini dikelola oleh GSFC (Geoddard Space Flight Center) NASA untuk sensor PR, TMI dan VIRS, sedangkan data dari sensor LIS dan CERES tidak dikelola oleh GSFC.

Satelit TRMM menghasilkan 3 level data hujan, level 1 merupakan data yang masih dalam bentuk raw dan telah dikalibrasi dan dikoreksi geometrik, level 2 merupakan data yang telah memiliki gambaran parameter geofisik hujan pada resolusi spasial yang sama akan tetapi masih dalam kondisi asli keadaan hujan saat satelit melewati daerah yang direkam, dan level 3 merupakan data yang telah memiliki nilai-nilai hujan, khususnya kondisi hujan bulanan yang merupakan penggabungan dari kondisi hujan dari level 2 (Feidas 2010).

(21)

8

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data TRMM 3B42V6 yang merupakan data pendugaan nilai curah hujan menggunakan metode kombinasi (Blended Techniques), yaitu TRMM TMPA (Tropical Rainfall Measuring Mission Multi-Satellite Precipitation Analysis). Metode ini menggabungkan data satelit TRMM dengan satelit-satelit yang membawa gelombang mikro (DMSP dengan sensor SSm/I, Aqua dengan sensor AMSR-E dan AMSU-B), dan GEO IR data yang telah dikalibrasi dengan data curah hujan satelit TRMM (Huffman et al

2008). Data TRMM TMPA V6 (Version 6) merupakan data turunan dari data near real time yang kemudian dikoreksi dengan data curah hujan permukaan secara global milik GPCC (Global Precipitation Climatology Center). Data TRMM TMPA 3B42V6 menyediakan data pengugaan curah hujan harian dan memiliki resolusi global (0,250 x 0,250).

METODE

Tempat Penelitian dan Waktu Penelitian

Penelitian dengan wilayah kajian Pulau Sumatera terletak antara 6018’LU -6005’LS dan 94008’-108029’BT dilakukan di Laboratorium Hidrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai Bulan Juli tahun 2013.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan observasi salah satu stasiun di Sumatera yaitu stasiun Tabing, Padang tahun 2001 sampai 2010 yang digunakan untuk mengkalibrasi data estimasi curah hujan observasi TRMM 3B42V6 tahun 2001 sampai 2010 yang dapat diakses dari

http://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.NASA/.GESDAAC/. Data satelit TRMM

a) b)

(22)

9 yang digunakan adalah data pendugaan nilai curah hujan TRMM 3B42V6 pada 36 titik yang koordinatnya disesuaikan dengan koordinat stasiun BMKG yang berada di Pulau Sumatera (Lampiran 1).

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer dengan tambahan perangkat lunak : Microsoft Office 2010, dan Surfer 9 untuk melakukan pemetaan nilai indeks kekeringan meteorologis.

Prosedur Analisis Data

Penelitian ini dilakukan dengan dua tahapan yaitu tahap pengumpulan bahan dan pengolahan bahan.

Pengumpulan Bahan

Data yang digunakan sebagai bahan penelitian ini adalah data curah hujan pengamatan stasiun Tabing, Sumatera Barat tahun 2001 sampai 2010 yang didapatkan dari BMKG Pusat dan data estimasi curah hujan observasi TRMM tahun 2001 sampai 2010. Data TRMM yang digunakan adalah 3B42V6 yang merupakan data curah hujan harian yang didapatkan dengan mengunduh dari internet pada http:// iridl.ldeo.columbia.edu/ SOURCES/ .NASA/ .GES-DAAC/ .TRMM_L3/ .TRMM_3B42/ .v6/ .daily/ .precipitation.

Pengolahan Data

Perbandingan Data Dugaan dan Data Observasi Stasiun Tabing, Padang Data curah hujan yang dibandingkan adalah data curah hujan bulanan pengukuran stasiun Tabing, Padang dengan data pendugaan curah hujan observasi TRMM. Data TRMM yang diunduh adalah data dugaan curah hujan harian kemudian diakumulasikan setiap bulan untuk mendapatkan nilai curah hujan bulanannya. Data yang digunakan selama sepuluh tahun karena untuk analisis ketersedian air diperlukan data yang cukup panjang dan kontinyu (Adhidarma et al. 2004). Perbandingan data tersebut bertujuan untuk melihat baik tidaknya data dugaan TRMM, karena data observasi merupakan data yang benar-benar diukur dilapangan pada stasiun pengukuran curah hujan. Data TRMM yang diambil adalah data titik yang telah disesuaikan dengan koordinat stasiun Tabing, Padang yaitu pada koordinat 100.35 BT dan 0.88 LS. Perbandingan data hanya dilakukan pada satu titik stasiun pengamatan karena keterbatasan data observasi stasiun. Perbandingan data curah hujan dilakukan dengan dua metode yaitu secara visual dan perbandingan menggunkan parameter statistika.

1. Perbandingan Data Secara Visual

(23)

10

2. Perbandingan Kuliatas Data dengan Parameter Statistika

Parameter statistika yang digunakan untuk membandingkan nilai kualitas data yang digunakan adalah Ea (Absolute Error) dan Er (relative error), korelasi, MAE dan RMSE.

Ea (Absolute Error) dan Er (relative error)

Absolute error atau kesalahan mutlak menunjukan nilai mutlak dari selisih antara nilai observasi stasiun dengan nilai pendugaan. Sedangkan relative error

(kesalahan relatif) merupakan perbandingan antara kesalahan mutlak dengan nilai sebenarnya.

| ̂|, dan

| ̂|

keterangan:

= Curah hujan pengamatan (mm/bulan)

̂ = Curah hujan dugaan TRMM (mm/bulan) Korelasi

Korelasi menunjukkan kereeratan hubungan antara data hasil dugaan dengan data hasil pengukuran lapangan. Nilai korelasi berkisar antara (-1) sampai 1. Korelasi dapat dihitung menggunakan persamaan:

̂ ∑ ̅ ( ̂ ̂̅) √∑ ̅ √∑ ( ̂̅ )

keterangan:

= Curah hujan pengamatan (mm/bulan)

̂ = Curah hujan dugaan TRMM (mm/bulan) MAE (Mean Absolute Error)

MAE merupakan nilai absolut galat rata-rata antara data dugaan dengan data pengukuran. Nilai MAE dapat dihitung menggunakan persamaan berikut:

| | ̂ |

|

keterangan:

= Curah hujan pengamatan (mm/bulan)

̂ = Curah hujan dugaan TRMM (mm/bulan)

RMSE (Root Mean Square Error)

(24)

11

Nilai indeks kekeringan yang dihitung adalah indeks kekeringan Pulau Sumatera dengan menggunakan data curah hujan dugaan satelit TRMM pada 36 titik stasiun BMKG yang ada di Pulau Sumatera. Indeks kekeringan yang digunakan adalah SPI (Standardized Precipitation Index) dengan menggunakan data tahun 2001 sampai 201dengan sakal waktu satu bulan. Langkah kerja yang dilakukan untuk mendapatkan nilai SPI adalah sebagai berikut:

1. Menghitung rata-rata curah hujan bulanan

Data pedugaan curah hujan TRMM yang didapatkan adalah nilai curah hujan hujan harian maka data yang di dapatkan dijumlahkan setiap bulan untuk mendapakan nilai curah hujan bulanan tahun 2001 sampai 2010. Perhitungan nilai rata-rata curah hujan bulan ( dengan menggunakan persamaan berikut:

keterangan:

µ = Rata-rata curah hujan bulanan X = Curah hujan bulanan (mm) N = Jumlah hari setiap bulan 2. Uji konsistensi data

Uji konsistensi data curah hujan berfungsi untuk melihat apakah data curah hujan yang ada konsisten atau tidak, karena data yang akan diolah terlebih dahulu data tersebut harus konsisten. Konsistensi data dilihat dari grafik perbandingan antara nilai rata-rata curah hujan tahunan kumulatif stasiun dengan rata-rata curah hujan tahunan kumulatif stasiun pembanding.

3. Menghitung standar deviasi curah hujan bulanan

Standardeviasi dihitung menggunakan persamaan berikut:

√∑ ̅

keterangan :

S = Standar deviasi curah hujan bulanan

X = Rata-rata curah hujan bulanan tahun ke-i bulan ke-j

̅̅̅̅= Rata-rata curah hujan bulan ke-j

= Jumlah tahun

4. Mengklasifikasikan indeks kekeringan

(25)

12

̅

Keterangan:

Indeks kekeringan

= Rata-rata hujan bulanan tahun ke-i bulan ke-j ̅ = Rata-rata hujan bulan ke-j

S = Simapanganbaku bulan ke-j

Pemetaan Indeks Kekeringan

Nilai indeks kekeringan yang diperoleh dengan menggunakan metode SPI kemudian dipetakan secara spasial menggunakan perangkat lunak Surfer versi 9 dengan metode kriging. Pemetaan bertujuan untuk melihat sebaran spasial indeks kekeringan yang menunjukkan tingkat kekeringan tersebut dan mengidentifikasi daerah yang mengalami kekeringan meteorologis.

(26)

13

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengolahan data penelitian terdiri dari validasi data pendugaan curah hujan TRMM dengan data observasi stasiun di permukaan. Data yang digunakan untuk validasi adalah data pendugaan curah hujan bulanan TRMM 3B42V6 dan data pengamatan stasiun Tabing, Padang. Data pendugaan curah hujan TRMM digunakan untuk menghitung nilai indeks kekeringan meteorologis menggunakan metode SPI dengan skala waktu satu bulan. Data TRMM yang diambil adalah data 36 titik di wilayah Sumatera yang disesuaikan dengan koordinat letak stasiun BMKG (Lampiran 1).

Data Dugaan Curah Hujan TRMM dan Data Pengamatan

Data dugaan curah hujan TRMM yang divalidasi adalah data pada koordinat titik 0°57 0 LU dan 100°21 11 BT (0,95°LS dan 100,35306°BT) (Lampiran 2 dan 3) yang merupakan koordinat letak stasiun Tabing, Padang. Validasi hanya menggunakan data observasi stasiun Tabing, Padang karena ketersedian data observasi yang didapatkan dan asumsi bahwa semua data TRMM yang digunakan mengikuti pola pada stasiun Tabing, Padang. Secara umum wilayah Sumatera memiliki tipe iklim ekuatorial sehingga pada penelitian ini validasi data hanya menggunakan satu data stasiun pengamatan dianggap mewakili. Hasil perbandingan ini serupa sengan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya Aldrian (2003) dan Tjasyono (2004) yang mengelompokkan zonsi pola curah hujan di Indonesia dimana sebagian besar wilyah pulau Sumatera termasuk kedalam pola ekuatorial.

(27)

14

Nilai koefisien determinan (R2) yang didapatkan dari perbandingan data pengamatan dan data pendugaan curah hujan daerah Tabing, Padang adalah 0,5108 (Gambar 5). Nilai tersebut menunjukkan bahwa data curah hujan observasi stasiun memiliki korelasi positif dengan curah hujan TRMM, dimana 51.08% keragaman dari curah hujan observasi dapat diterangkan oleh curah hujan TRMM. Nilai koefisien determinan tersebut cukup kuat sehingga data curah hujan TRMM dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut pada penelitian ini. Curah hujan TRMM dipengaruhi oleh suhu kecerahan awan yang menunjukkan semakin tinggi suhu kecerahan awan nilai curah hujan yang dihasilakan juga semakin tinggi.

Gambar 4 Hubungan antara sebaran data curah hujan stasiun dan TRMM stasiun Tabing Padang

(28)

15 Parameter statistika yang digunakan untuk membandingkan kualitas data pengamatan dengan data pendugaan curah hujan TRMM stasiun Tabing Padang adalah nilai korelasi, MAE, dan RMSE. Ea (absolut error) dan Er (relative error) dihitung untuk melihat selisih antara data pengukuran stasiun dengan data pendugaan TRMM. Secara umum nilai pengukuran stasiun lebih besar dibandingkan data dugaan TRMM sehinga terdapat beberapa data pada tahun 2005 dan 2006 yang memiliki selisih cukup besar. Sedangkan nilai Er yang merupakan perbandingan kesalahan mutlak dengan data pengukuran sebenarnya menunjukkan hasil yang sama dimana pada tahun 2005 dan 2006 terdapat selisih yang cukup besar antara data pengukuran dengan data pendugaan (Gambar 6).

Kofiesien korelasi yang dihitung menunjukkan keeratan hubungan antar dua data. Hubungan antara nilai curah hujan pengamatan dan nilai curah hujan pendugaan TRMM memiliki hubungan yang signifikan dengan nilai korelasi 0.71 pada taraf nyata 5%. Nilai korelasi yang didapatkan cukup besar disebabkan nilai dimensi waktu yang digunakan besar yaitu data curah hujan bulanan. Semakin besar nilai dimensi suatu data memiliki variasi yang kecil sehingga korelasi yang didapatkan semakin tinggi dan kebalikannya semakin besar variasi datanya maka korelasi yang diadapatkan akan semakin kecil. Oleh karena itu pendugaan curah hujan pada dimensi waktu yang besar baik digunakan seperti dasarian, bulanan, dan tahunan.

Uji MAE dan RMSE data dugaan TRMM dengan data pengukuran lapangan bertujuan untuk mengetahui nilai rataan dari absolut galat dan megetahui nilai akar dari rataan kuadrat galat. Perhitungan nilai MAE dan RMSE dilakukan pada data curah hujan bulanan. Nilai MAE yang didapatkan cukup besar karena semakin besar dimensi waktu yang didapatkan semakin besar pula nilai MAE dan RSME yang didapatkan. Hasil yang didapatkan analog dengan penelitian Sasmitro (2011) dan Wibowo (2010), dimana pada penelitian Sasmitro semakin besar nilai dimensi waktunya hasil MAE dan RMSE nya juga semakin besar, begitu juga pada penelitian Wibowo (2010) yang menggunakan data bulanan menghasilkan nilai MAE dan yang RMSE yang besar juga.

(29)

16

Nilai indeks kekeringan SPI (Standardized Precipitation Index)

Kekeringan kerap terjadi namun sering tidak disadari kapan awal mulanya terjadi bencana tersebut. Proses terjadinya kekeringan diawali dengan berkurangnnya jumlah curah hujan dibawah normal pada satu musim. Berkurangnya nilai curah hujan tersebut merupakan proses awal terjadinya kekeringan meteorologis. Nilai curah hujan dugaan yang didapatkan dari data satelit TRMM digunakan untuk menghitung nilai indeks kekeringan meteorologis di Pulau Sumatera. Indeks kekeringan dihitung menggunakan metode SPI (Standardized Precipitation Index). Bersadarkan validasi yang menggunakan data stasiun Tabing Padang terhadap data dugaan curah hujan TRMM, diketahui bahwa data dugaan TRMM dapat digunakan sebagai data curah hujan pada penelitian ini.

Nilai SPI yang dihitung adalah indeks kekeringan setiap bulan dari tahun 2001 sampai 2010. Sebelum menghitung nilai indeks kekeringan dilakukan pengujian konsistensi data curah hujan yang digunakan. Uji konsistensi data dilakaukan dengan mebandingkan nilai curahujan kumulatif rata-rata tahunan stasiun dengan nilai kumulatif curah hujan rata-rata tahunan stasiun pembanding. Stasiun pembanding adalah stasiun yang berada dekat dengan stasiun yang akan diuji konsistensi datanya. Data yang digunakan harus konsisten, sebagai contoh perhitungan nilai konsistensi pada data stasiun Tabing, Padang seperti pada Gambar 7, data pada stasiun Tabing Padang merupakan data yang konsisten karena grafik perbandingan yang didapat menghasilkan garis lurus yang menunjukkan bahwa data yang digunakan konsisten. Hasil yang sama juga didapatkan pada 35 stasiun lainnya di Pulau sumatera (Lampiran 4).

Tabel 2 Nilai korelasi, MAE, dan RMSE data dugaan dan data observasi stasiun Tabing Padang

Parameter

Statistika Nilai Korelasi 0.71

MAE 115.37

RMSE 151.88

(30)

17

Nilai indeks kekeringan yang didapatkan pada semua stasiun di Pulau Sumatera memiliki nilai yang beragam, nilai maksimum sebesar 2,67 yang memiliki kriteria sangat basah dan nilai SPI minimum -2,51 yang memiliki kriteria sangat kering. Indeks kekeringan dihitung setiap bulan selama 10 tahun kemudian diambil nilai indeks kekeringan maksimumnya setiap tahun pada setiap stasiun di Pulau Sumatera. Dari 36 titik data yang digunakan nilai indeks kekeringan maksimum secara umum memiliki kriteria kering dan agak kering (Lampiran 5), hanya beberapa stasiun yang memiliki nilai indeks kekeringan sangat kering pada tahun tertentu yatu tahun 2003 di Pangkal Pinang, tahun 2004 di stasiun Sampali, Natuna, dan Tebing Tinggi, tahun 2005 di stasiun Sibolga, Gunung Sitoli, Tanjung Pinang, Simpang Tiga, dan Kota Bumi, tahun 2006 di stasiun Teluk Bayur, 2007 di Palembang, serta tahun 2008 di Tanjung Pandan, Menggala, Teluk Betung, dan Kota Bumi.

Kejadian kekeringan pada kriteria sangat kering pada Pulau Sumatera bagian utara dan tengah terjadi pada tahun 2004 dan 2005 sedangkan pada bagian selatan terjadi pada tahun 2008 dan beberapa wilayah kepulauan di bagian timur Pulau Sumatera mengalami kejadian sangat kering pada tahun 2004 dan 2008. Nilai kekeringan maksimum yang didapatkan pada 36 titik stasiun dari tahun 2001 sampai 2010 terlihat bahwa kekeringan meteorologis maksimum terjadi pada bulan yang berbeda setiap tahunnya. Contoh nilai indeks kekeringan maksimum pada Gambar 8 di stasiun Tabing, Padang dapat diketahui bahwa kriteria kekeringan maksimum di tempat tersebut adalah agak kering dan kering bahkan ada yang normal. Pada gambar tersebut telihat bahwa nilai kekeringan maksimum yang didapatkan terjadi pada bulan yang berbeda dari tahun 2001 sampai 2010. Kekeringan terjadi pada bulan-bulan kering seperti bulan Mei, Juni, dan Juli namun juga terdapat nilai kekeringan maksimum pada bulan-bulan basah seprti bulan November, Desember, dan Januari.

Fluktuasi indeks kekeringan yang didapatkan dipengaruhi oleh fluktuasi curah hujan. Hubungan antara nilai curah hujan dan indeks kekeringan (Lampiran 6) menunjukkan bahwa indeks kekeringan meteorologis yang didapatkan pada 36 stasiun sangat dipengaruhi oleh nilai curah hujan. Fluktuasi nilai indeks

(31)

18

kekeringan mengikuti fluktusai curah hujannya karena perhitungan nilai SPI secara bulanan sehingga tidak ada pengaruh lag dari bulan sebelumnya. Contoh fluktuasi curah hujan dan indeks keringan pada Gambar 9 di bawah pada stasiun Tabing, Padang dapat diketahui bahwa fluktuasi nilai indeks kekeringan dipengaruhi oleh fluktuasi nilai curah hujan. Secara umum indeks kekeringan yang didapatkan tidak dipengaruhi oleh nilai curah hujan pada bulan sebelumnya karena dari semua titik, fluktuasi nilai indeks kekeringan sangat mendekati fluktuasi nilai curah hujannya pada bulan yang sama.

Nilai indeks kekeringan yang dipetakan adalah indeks kekeringan bulanan setiap tahun mulai dari tahun 2001 sampai 2010 (Lampiran 7). Hasil pemetaan diketahui bahwa pada tahun 2001 kekeringan meteorologis terjadi pada bulan Maret , Mei, Juni, Juli, Oktober, November, dan Desember dengan daerah yang mengalami kekeringan dibagian barat, sebagian utara dan selatan pulau Sumatera. Kekeringan juga terlihat diwilayah pantai barat Sumatera diakhir tahun 2001 dan berlanjut sampai tahun 2002. Tahun 2002 kekeringan meteorologis terjadi hampir di setiap bulannya, kecuali bulan April dan November. Wilayah yang mengalami kekeringan terluas terjadi pada bulan Oktober dimana hampir seluruh pulau Sumatera menunjukkan indeks kekeringan dengan kriteria kering. Tahun 2003 kekeringan terjadi pada bulan Januari, Maret, Mei, Juni dan Juli pada bagian selatan pulau Sumatera. Tahun 2004 kekeringan terjadi pada bulan Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, dan Agustus. Bulan Agustus hampir seluruh wilyah Sumatera mengalami kekeringan. Tahun 2005 kekeringan terjadi diawal tahun, pada bulan April seluruh pulau Sumatera mengalami kekeringan meteorologis. Kekeringan meteorologis tahun 2006 terjadi pada pertengahan tahun mulai bulan Juli sampai Desember terlihat bahwa semakin ke akhir tahun wilayah yang mengalami kekeringan semakin meluas bahkan pada bulan November wilayah Sumatera bagian tengah dan selatan mengalami kekeringan meteorologis. Tahun 2007 kekeringan terjadi sepanjang tahun dibeberapa wilayah di Pulau Sumatera dan berlanjut sampai awal tahun 2008. Tahun 2009 kekeringan juga terjadi pada

(32)

19 awal tahun sedangkan pada tahun 2010 indeks kekeringan menunjukkan kondisi basah dan kekeringan baru terjadi lagi diakhir tahun 2010 pada bulan Desember dimana sebagian besar pantai barat Sumatera mengalami kekeringan.

Berdasarkan bulan terjadi kekeringan meteorologis (Lampiran 7), pada bulan Januari kekeringan terjadi pada tahun 2002 pada sebagian Sumatera Utara. Tahun 2003 kekeringan juga terlihat disebagian besar Lampung, kemudian terjadi lagi pada tahun 2005 dengan wilayah yang cukup luas yaitu sebagian Sumatera Utara, Riau, Jambi. Tahun 2006 kekeringan meteorologis pada bulan Januari terlihat di Pulau Bangka dan Pulau Nias, tahun 2008 kekeringan terjadi di bahagian timur Aceh. Sumatera Barat dan Riau bagian selatan, Jambi bagian utara mengalami kekeringan pada tahun 2009 pada bulan Januari. Tahun 2010 kekeringan meteorologis bulan Januari terjadi di bagian selatan Bengkulu dan Kepulauan Riau.

Bulan Februari kekeringan terjadi di wilayah Riau, Jambi dan Palembang pada tahun 2002. Tahun 2004 kekeringan terjadi di wilayah Kepulauan Riau dan berlanjut tahun 2005 kekeringan terjadi hampir diseluruh Aceh, Riau, dan sebagian Sumatera Barat serta Sumatera Utara bagian selatan. Kekeringan terjadi di wilayah Lampung bagian selatan tahun 2007 dan berlanjut tahun 2008 di seluruh Lampung, Bengkulu, Sematera Selatan, dan Sumatera Barat bagian selatan. Tahun 2009 kekeringan bulan Februari terlihat di wilayah Aceh bagian utara dan Pulau Bangka.

Bulan Maret kekeringan meteorologis terjadi tahun 2001 di wilayah Sumatera Barat dan Lampung, tahun 2002 terjadi di Kepulauan Riau, tahun 2003 kekeringan terjadi di Bengkulu, Sumatera Selatan dan Jambi. Tahun 2004 kekeringan terjadi di Bengkulu, Sumatera Selatan bagian selatan dan Lampung bagian utara serta tahun 2005 dan 2006 kekeringan terjadi di Sumatera Utara bagian Selatan dan Riau. Tahun 2007 wilayah yang mengalami kekeringan meteorologis bulan Maret adalah Aceh, Jambi bagian selatan, dan sebagian besar Sumatera Selatan. Tahun 2008 sampai 2010 tidak terdapat wilayah yang mengalami kekeringan meteorologis.

Tahun 2001, 2002, dan 2003 pada bulan April tidak terlihat wilyah yang mengalami kekeringan meteorologis di Pulau Sumatera. Kekeringan meteorologis terjadi tahun 2004 di Kepulauan Riau. Tahun 2004 hampir seleuruh Pulau Sumatera mengalami kekeringan Meteorologis hanya sebagian Sumatera Utara dan Aceh yang tidak mengalami kekeringan meteorologis. Kekringan baru terlihat lagi tahun 2008 di Sumatera Barat bagian selatan dan Begkulu bagian Utara. Tahun 2009 kekeringan terjadi di wilayah Sumatera Barat dan Riau. Tahun 2010 hanya sebagian kecil Sumatera Utara bagian timur yang mengalami kekeringan meteorologis.

(33)

20

Bulan Juni 2001 kekeringan terjadi di Aceh dan 2002 kekeringan terjadi di Pulau Nias. Tahun 2003 kekeringan terjadi di Sematera selatan, sebagian Bengkulu dan Jambi, tahun 2004 kekeringan terjadi cukup luas meliputi Sumatera Utara bagian selatan, seluruh Sumatera Barat, sebagian Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Lampung. Tahun 2005 wilayah yang mengalami kekeringan adalah Aceh bahagian barat, Sumatera Utara bagian timur, Riau bagian utara serta sebagian kecil Sumatera Barat dan Jambi. Tahun 2007 kekringan terjadi di Sumatera Utara bagian timur. Tahun 2008 terjadi di Sumatera Selatan dan Jambi bagian selatan. Tahun 2009 tidak terlihat wilayah yang mengalami kekeringan meteorologis dan tahun 2010 hanya sebagian kecil wilayah Sumatera Utara bagian timur yang mengalami kekeringan.

Wilayah yang mengalami kekeringan meteorologis pada bulan Juli 2001 adalah bagian selatan Riau, Jambi bagian timur, dan sebagian Sumatera Selatan. Tahun 2002 kekeringan terjadi di Sumatera Utara dan tahun 2003 kekeringan terjadi di Jambi bagian timur. Aceh bagian barat, Sumatera Utara bagian Selatan, dan Riau mengalami kekeringan meteorologis tahun 2005 dan 2006. Tahun 2008 kekeringan terjadi di Lampung, Bengkulu bagian selatan dan Sumateraa Selatan bagian selatan. Tahun 2009 kekeringan terjadi di Riau, Sumatera Utara bagian selatan, dan Sumatera Barat bagian timur. Sumatera Utara bagian timur megalami kekeringan meteorologis pada bulan Juli 2010.

Tahun 2001 tidak terlihat wilayah yang mengalami kekeringan meteorologis pada bulan Agustus. Tahun 2002 kekeringan terjadi di pantai timur Riau dan Jambi. Hampir seluruh Pulau Sumatera mengalami kekeringan meteorologis tahun 2004 kecuali sebagian Aceh, Riau, Sumatera Selatan serta Lampung dan Bengkulu. Tahun 2006 kekeringan terjadi di seluruh Lampung dan Bengkulu, serta Sumatera Selatan bagian selatan. Tahun 2007 kekeringan terjadi di Sumatera Utara bagian selatan dan Sumatera Barat bagian utara. Kekeringan meteorologis tidak telihat pada athun 2008 sampai 2010 pada bulan Agustus di Pulau Sumatera.

Bulan September 2001 tidak terlihat wilayah yang mengalami kekeringan meteorologis sama seperti bulan Agustus 2001. Kekeringan terjadi pada tahun 2002 di bagian timur Lampung. Tahun 2003 juga tidak terlihat wilayah yang mengalami kekeringan meteorologis dan tahun 2004 wilayah yang mengalami kekeringan adalah Riau bagian selatan. Tahun 2005 semua wilayah Sumatera Utara mengalami kekeringan meteorologis. Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan bagian barat, seluruh Bengkulu dan Sumatera Barat terlihat mengalami kekeringan meteorologis bulan September tahun 2006. Tahun 2007 dan 2008 hanya sebagian kecil pantai utara Aceh yang mengalami kekeringan. Tahun 2009 kekeringan terjadi di pantai timur Jambi dan Sumatera Selatan. Tahun 2010 tidak terlihat ada wilayah yang mengalami kekeringan meteorologis.

(34)

21 2008, 2009, dan 2010 kekerigan terjadi di Sumatera Barat bagian Utara, Aceh bagian barat, dan sebagian Riau bagian timur.

Bulan November kekeringan meteorologis tidak terjadi pada tahun 2002, 2003, 2005, 2008, 2009, dan 2010. Tahun 2001 kekeringan terjadi pada pantai barat Sumatera Utara dan Pulau Nias dan tahun 2004 kekeringan terjadi di pantai timur Sumatera Utara. Hampir seluruh Pulau Sumatera mengalami kekeringan meteorologis tahun 2006 kecuali Sumatera Utara dan Aceh bagian barat. Tahun 2007 kekeringan menyebar di bagian selatan dan utara Pulau Sumatera.

Tahun 2001 bulan Desember kekeringan terjadi sepanjang pantai barat Sumatera Barat dan Bengkulu serta Jambi bagian selatan. Tahun 2002 kekeringan terjadi di Lampung. Tahun 2003 dan 2004 tidak terlihat wilayah yang mengalami kekeringan. Tahun 2005 dan 2006 kekeringan tersebar di Kepulauan Riau, Lampung bagian selatan, Pulau Nias, Sumatera Selatan, dan Aceh bagian utara. Tahun 2007 dan 2008 kekeringan terjadi di Riau dan tahun 2009 tidak terlihat wilayah yang mengalami kekeringan meteorologis. Tahun 2010 seluruh Sumatera Barat dan Bengkulu, Jambi bagian utara, Riau bagian selatan mengalami kekeringan meteorologis.

Kekeringan meteorologis hampir terjadi setiap tahun dan paling sering terjadi pada bulan Juni dan Juli, dari hasil pemetaan tersebut juga terlihat bahwa kekeringan terjadi pada bulan-bulan basah seperti bulan Oktober, November dan Desember hal tersebut disebabkan oleh indeks kekeringan yang dihitung hanya dipengaruhi oleh nilai curah hujan saja. Wilayah yang sering mengalami kekeringan meteorologis adalah Riau, Sumatera Utara dan Lampung dimana hampir setiap tahun daerah tersebut mengalami kekeringan meteorologis baik pada bulan kering Mei, Juni, dan Juli maupun pada bulan basah November, Desember, dan Januari. Nilai kekeringan yang didapatkan mengikuti musim dimana pada bulan dengan curah hujan sedikit maka nilai indeks kekeringan meteorologis yang didapatkan akan semakin kecil yang menunjukkan kriteria kering, sedangkan hampir semua wilayah di Pulau Sumatera mengalami kekeringan meterologis namun pada bulan yang berbeda-beda. Hal tersebut dipengaruhi oleh penyebaran hujan tidak selalu merata setiap tempat dan waktu sehingga mempengaruhi nilai indeks kekeringan yang didapatkan.

(35)

22

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil perhitungan nilai indeks kekeringan menggunakan metode SPI (Standardized Preciptation Index) menunjukkan tingkat kekeringan meteorologis yang bervariasi di Pulau Sumatera dengan nilai indeks kekeringan -2.51 hingga 2.67 dengan kriteria sangat kering hingga sangat basah. Indeks kekeringan SPI dihitung berdasarkan faktor nilai curah hujan dugaan satelit TRMM yang telah divalidasi menggunakan data pengamatan observasi stasiun permukaan. Data dugaan tersebut cukup baik digunakan karena hasil dari validasi menunjukkan nilai yang baik dari uji secara visual dan uji secara stastistik antara hubungan nilai curah hujan dugaan TRMM dengan data pengamatan stasiun.

Hasil pemetaan indeks kekeringan setiap bulannya dari tahun 2001 sampai 2010 menunjukkan sebaran kekeringan yang bervariasi setiap bulannya dimana kekeringan dominan terjadi pada Juni dan Juli yang terjadi hampir setiap tahun kecuali tahun 2006 pada bulan Juni dan tahun 2004 bulan Juli. Kekeringan meteorologis juga didapatkan pada bulan basah seperti bulan November tahun 2001, 2004, 2006, dan 2007 serta bulan Desember tahun 2001, 2005, 2006, 2007, 2008 dan 2010. Tahun 2006 kekeringan terjadi pada akhir tahun yang merupakan bulan basah pada bulan September, Oktober, dan November wilayah Sumatera bagaian selatan dan tengah meliputi: Jambi, Bengkulu, Lampung, Sumatera Selatan, dan Sumatera Barat mengalami kekeringan.

Wilayah yang sering mengalami kekeringan meteorologis dari hasil pemetaan adalah Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, dan Lampung. Tahun 2001 sampai 2010 hanya tahun 2003 daerah Sumatera Utara tidak mengalami

(36)

23 kekeringan meteorologis. Keringan dengan kriteria sangat kering terjadi tahun 2004 dan 2005 dengan wilayah yang sering mengalami kekeringan adalah bagian selatan dan timur Sumatera Utara. Kekeringan meteorologis di Riau dan Sumatera Selatan terjadi dari tahun 2001 sampai 2010 dengan kondisi sangat kering pada tahun 2005 di Riau serta tahun 2007 dan 2008 di Sumatera Selatan. Hampir seluruh wilayah Riau mengalami kekeringan terutama pada bulan Mei, Juni, dan Juli bahkan kekeringan juga terjadi pada bulan Desember, Januari, dan Maret di Riau. Kekeringan di Sumatera Selatan meliputi wilayah bagian barat, utara dan selatan. Kekeringan sering terjadi pada bulan Mei, Juni, dan Juli. Kekeringan meteorologis di Lampung tidak terjadi tahun 2009 selebihnya terjadi kekeringan dengan kondisi sangat kering tahun 2005 dan 2008. Hampir seluruh wilayah Lampung mengalami kekeringan dengan dimana kekeringan sering terjadi di awal tahun pada bulan Februari, Maret, April dan Bulan Mei.

Saran

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data satelit TRMM yang merupakan data dugaan, sehingga diperlukan validasi dengan data observasi lapangan yang lebih banyak lagi. Perlu dilakukan pengujian terhadap kelayakan peta yang dihasilkan terutama pada daerah yang terlalu kering atau basah yang dapat dikaitkan dengan data lainnya. Data satelit dapat digunakan oleh instansi atau lembaga yang berkatian sebagai pembanding data observasi yang diukur di lapangan, dan pelengkap data di wilayah yang tidak memiliki alat ukur cuaca dan iklim.

DAFTAR PUSTAKA

Adidharma WK, Hadihardaja IK, Legowo S. 2004. Perbandingan pemodelan hujan-limpasan antara artificial neural network (ANN) dan NRECA. Jurnal Teknik Sipil, 3(11): 105-115.

Aldrian E, Susanto RD. 2003. Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature. Int. Jour. of Clim. 23: 1435-1452.

Asy-syakur AR. 2007. Identifikasi hubungan fluktuasi nilai SOI terhadap curah hujan bulanan di kawasan Batukaru-Bedugul, Bali. Jurnal Bumi Lestari. 7(2):123-129.

BMKG. 2013. Analisis tingkat kekeringan. Buletin Agroklimat. Vol 02(02):1-19 Bokal S. 20I1. Standardized Precipitation Index tool for drought monitoring:

example from Slovenia. Drought Management Centre for Shoutheastern Europe: DMCSEE.

Bordi I, Fraedrich K, Sutera A. 2009. Observed drought and wetness trends in Europe: an update. Hydrological and Earth System Sciences 13:1519-1530.doi:10.5194/hess-13-1519-2009.

(37)

24

Grigg, Neil S. 1996. Water Resourses Management: Principle, Regulations, and Cases. McGraw-Hill.

Dracup JA, Lee KS, Paulson EG. 1980. On the definition of drought. Journal of Water resourses. 16:297.

Hayes MJ, Svoboda MD, Wall N, Widhalm M. 2001. The Lincoln declaration on drought index recommended. Bulletin of the American Meteorologist Society. 92(4): doi:10.1175/2010BAMS313.1.

Hounam CE, Burgos JJ, Kalik MS, Palmer WC, Rodda J. 1975. Drought and agriculture. Technical Note No.138. WMO Publication No. 392, 127pp.

Lillesand dan Kiefer. 1997. Pengindreaan jauh dan interpretasi citra. Dulbahri (penerjemah). Yogyakarta (ID). Gajah Mada University Press.

McKee TB, Doesken NJ, Kleist J. 1993. The relationship of drought frequency and duration to time scales. Procedings of the 8th Conference on Applied Climatology.

Moreira EE, Mexia JT, Pareira LS. 2012. Are drought occurrence and severity aggravating? a study on SPI drought class transitions using log-liniear models and ANOVA-like inference. Journal of Hydrology and Earth System Sciences. 16:3011-3028.doi:10.5194/hess-16-3011-2012.

NASA. 2007. Tropical Rainfall Measuring Mission TRMM. Senior Review Proposal. [diacu pada 25 September 2013]. Tersedia pada http://trmm.gsfc.nasa.gov/trmm_rain/Events/TRMMSenRev2007_pub.pdf. Ogallo LJ, Gbckor-kove N. 1989. Drought and desertification. WCAP 7

WMO/TD No. 286.

Obasi GOP. 1994. WMO’s role in the international decade for natural disaster reduction. Bulletin of American Meteorological Society. 75:1655-1661.

Palmer W.C. 1995. Meteorological Drought. Research Paper No.45. U.S. Weather Bureau. Washington, DC.

Pawitan H. 2003. Perubahan penggunaan lahan dan pengaruhnya terhadap hidrologi daerah aliran sungai. Prosiding: Multifungsi pertanian dan konservasi sumberdaya lahan: ISBN: 979-9474-34-5.

Sandy IM, 1987. Iklim Regional Indonesia. Jurusan Geografi FMIPA-UI. Depok (ID). Universitas Indonesia

Sasmitro SD. 2011. Pendugaan curah hujan dengan data satelit geostationer (MTSAT-IR) dan gelombang mikro imager (TRMM): studi kasus DAS Citarum. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Suryanti I. 2008. Analisis hubungan antara sebaran kekeringan menggunakan indeks Palmer dengan karakteristik kekeringan studi kasus: Provinsi Banten. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Suryantoro A, Halimurrahman, Harjana T. 2008. Aplikasi satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) untuk prediksi curah hujan diwilayah Indonesia.

Paper review. Bandung (ID). LAPAN.

Tjasyono BHK. 2004. Klimatologi. Bandung (BD): Institut Teknologi Bandung. Wibowo AR. 2010. Evaluasi curah hujan GSMaP dan TRMM TMPA dengan

curah hujan permukaan wilayah Jakarta – Bogor. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

(38)

25 Lampiran 1 Koordinat stasiun BMKG di Pulau Sumatera

No. Stasiun Bujur Lintang Elevasi (m dpl)

CH Tahunan

(mm)

1 SABANG 95.3 5.9 126 1012

2 LHOKSEMAWE 97.2 5.2 87 1128

3 BANDA ACEH 95.4 5.5 21 1879

4 MEULABOH 96.1 4.3 - 3342

5 INDRAPURI 95.3 5.3 - 1210

6 SAMPALI 98.8 3.6 - 1612

7 BELAWAN 98.7 3.8 3 2200

8 MEDAN 98.7 3.6 25 2271

9 TUNTUNGAN 98.6 3.5 - 1652

10 TEBINGTINGGI 99.1 3.4 - 2023

11 AEK GODANG 99.3 1.4 - 1450

12 SIBOLGA 98.9 1.6 3 4820

13 GUNUNG SITOLI 97.6 1.5 6 2376

14 BATAM 104.1 1.1 24 1837

15 TANJUNG BALAI

KARIMUN 103.4 1.0 - 1496

16 TANJUNGPINANG 104.5 0.9 18 2811

17 PAKANBARU 101.5 0.5 31 2499

(39)

26

No. Stasiun Bujur Lintang Elevasi (m dpl)

CH Tahunan

(mm)

19 RANAI/NATUNA 108.4 4.0 2 952

20 TELUK BAYUR 100.0 1.2 - 3499

21 PADANG/TABING 100.4 -0.9 3 3223

22

PADANG

PANJANG 101.4 0.6 - 3172

23 SICINCIN 101.4 -0.6 - 1747

24 RENGAT/JAPURA 102.3 0.5 46 1991

25 SINGKEP/DABO 104.6 -0.5 31 2274

26 JAMBI 103.7 -1.6 25 2017

27 KERINCI 101.4 -2.2 782 877

28 PALEMBANG 104.7 -2.9 10 2365

29 KENTEN 104.7 -3.0 - 1740

30

PANGKAL

PINANG 106.1 -2.2 33 1928

31

TANJUNG

PANDAN 107.8 -2.8 44 2709

32 BENGKULU 102.3 -3.9 16 3118

33 KEPAHIYANG 102.6 -3.6 - 1563

34 MENGGALA 105.2 -4.5 19 1662

35 TELUKBETUNG 105.2 -5.3 96 1528

(40)

27

Lampiran 2 Data curah hujan pengamatan stasiun Tabing Padang tahun 2001-2010

Tahun Bulan

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

2001 238 538 245 174 182 231 386 217 249 258 309 139

2002 461 272 208 430 287 175 286 203 350 689 765 424

2003 245 369 246 557 231 121 181 464 396 478 739 501

2004 234 167 353 382 247 136 370 236 361 511 504 418

2005 428 272 310 138 275 245 369 553 689 879 417 399

2006 360 376 814 418 142 318 273 232 88 30 269 461

2007 776 289 349 413 167 394 305 176 344 579 230 591

2008 98 413 554 271 190 493 437 234 305 352 398 669

2009 272 211 236 252 150 134 436 244 320 446 562 367

2010 265 427 815 234 281 346 372 309 539 602 580 206

Sumber : BMKG 2013

Lampiran 3 Data pendugaan curah hujan (mm) satelit TRMM Tabing Padang tahun 2001-2010

Tahun Bulan

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

2001 249 489 174 357 188 163 173 144 287 91 259 186

2002 217 283 316 297 219 139 212 192 192 292 514 384

2003 291 258 488 409 192 189 163 317 258 556 482 350

2004 277 145 230 356 217 62 206 54 242 389 463 446

2005 357 166 234 163 147 140 152 344 194 552 284 281

(41)

28

2007 389 229 198 275 137 246 244 120 249 358 141 353

2008 177 141 392 229 124 294 292 201 282 143 243 360

2009 207 206 242 209 102 140 163 207 222 366 450 313

2010 246 324 681 309 222 359 309 256 417 349 387 191

Sumber : http://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.NASA/.GESDAAC/.

Lampiran 4 Uji konsistensi data pendugaan satelit TRMM

Sabang/Cut Bau Lhoksemawe Banda Aceh

(42)

29

Belawan Medan Tuntungan

Tebing Tinggi Aek Godang Sibolga

(43)

30

Tanjung Pinang Simpang Tiga, Pekanbaru Tarempa

Natuna Teluk Bayur Tabing, Padang

(44)

31

Singkep/Dabo Paalmerah, Jambi Kerinci

Palembang Kenten Pangkal Pinang

(45)

32

Teluk Betung Kota Bumi Menggala

Lampiran 5 Indeks kekeringan maksimum tahun 2001-2010

Sabang/Cut Bau Lhoksemawe Banda Aceh

Meulaboh Indrapuri

(46)

33

Belawan Medan Tuntungan

Tebing Tinggi Aek Godang Sibolga

(47)

34

Tanjung Pinang Simpang Tiga, Pekanbaru Tarempa

Natuna Teluk Bayur Tabing, Padang

(48)

35

Singkep/Dabo Paalmerah, Jambi Kerinci

Palembang Kenten Pangkal Pinang

(49)

36

Teluk Betung Kota Bumi Menggala

Lampiran 6 Perbandingan fluktuasi curah hujan dengan indeks kekeringan tahun 2001-2010

Sabang/Cut Bau Lhoksemawe Banda Aceh

(50)

37

Belawan Medan Tuntungan

Tebing Tinggi Aek Godang Sibolga

(51)

38

Tanjung Pinang Simpang Tiga, Pekanbaru Tarempa

Natuna Teluk Bayur Tabing, Padang

(52)

39

Singkep/Dabo Paalmerah, Jambi Kerinci

Palembang Kenten Pangkal Pinang

(53)

40

Teluk Betung Kota Bumi Menggala

Lampiran 7 Peta indeks kekeringan bulanan tahun 2001-2010

2001

(54)

41

April Mei Juni

(55)

42

Oktober November Desember

2002

(56)

43

April Mei Juni

(57)

44

Oktober November Desember

2003

(58)

45

April Mei Juni

(59)

46

Oktober November Desember

2004

(60)

47

April Mei Juni

(61)

48

Oktober November Desember

2005

(62)

49

April Mei Juni

(63)

50

Oktober November Desember

2006

(64)

51

April Mei Juni

(65)

52

Oktober November Desember

2007

(66)

53

April Mei Juni

(67)

54

Oktober November Desember

2008

Gambar

Gambar 2 Orbit dan jangkauan satelit TRMM (sumber: a) NASA 2007, b)
Gambar 3 Diagram alir penelitian
Gambar 4 Hubungan antara sebaran data curah hujan stasiun dan
Gambar 6 Nilai Ea ( absolut error) dan Er (relative error) data curah hujan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Hasil validasi menggunakan data hotspot satelit Aqua/Teraa (Tahun 2010 – 2012) terhadap peta KBDI berdasarkan data hasil curah hujan harian hasil estimasi menunjukan bahwa 66 %

Untuk menentukan kondisi agar data hujan satelit TRMM dapat digunakan dalam analisa kekeringan, maka nilai RMSE dari hasil perhitungan dengan : tanpa koreksi, koreksi

Untuk menentukan kondisi agar data hujan satelit TRMM dapat digunakan dalam analisa kekeringan, maka nilai RMSE dari hasil perhitungan dengan : tanpa koreksi, koreksi

Nilai curah hujan dari citra TRMM 3B42 daily telah berhasil diekstrak menjadi sebuah variabel array dua dimensi(longitude dan latitude) yang siap untuk digunakan dengan

Pada data nilai RMSE yang digunakan sebagai contoh perwakilan dari hasil uji t antara curah hujan rata-rata TRMM dengan BMKG yang dihubungkan berdasarkan 21 pos

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai koefisien korelasi, faktor koreksi, nilai error data hujan bulanan TRMM terhadap data groundstation di Wilayah Sungai Noelmina serta