• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Co-Management di Desa Pasarbanggi, Kabupaten Rembang, Jawa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Co-Management di Desa Pasarbanggi, Kabupaten Rembang, Jawa"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE

BERBASIS

CO-MANAGEMENT

DI DESA PASARBANGGI,

KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

AHMAD MUQORROBIN

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Co-Management di Desa Pasarbanggi, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2013

Ahmad Muqorrobin

(4)

ABSTRAK

AHMAD MUQORROBIN. Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Co-Management di Desa Pasarbanggi, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA dan TARYONO KODIRAN.

Mangrove merupakan salah satu ekosistem penting pesisir yang memiliki berbagai manfaat dan pemanfaatannya dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan. Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui dan menganalisis kondisi sumber daya mangrove dan masyarakat pemanfaat,2) menganalisis peran dan fungsi setiap pemangku kepentingan, serta 3) mengetahui dan menganalisis bentuk co-management terhadap pengelolaan ekosistem mangrove Desa Pasarbanggi, Kabupaten Rembang. Pengambilan data vegetasi mangrove dilakukan dengan menggunakan metode transek kuadrat; sedangkan pengambilan data sosial ekonomi, kelembagaan, dan wawancara dengan metode survei dan purposive sampling. Data yang diperoleh dari vegetasi mangrove meliputi kerapatan, frekuensi, penutupan, dan indeks nilai penting mangrove. Analisis pemangku kepentingan dengan menggunakan matriks kepentingan dan pengaruh. Penelitian menunjukkan terdapat 5 jenis mangrove di Desa Pasarbanggi yaitu

Avicennia marina, Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa dan Sonneratia alba. Strategi dalam rangka perluasan hutan mangrove yaitu dengan jenis-jenis tersebut. Analisis stakeholder mengidentifikasi 16 pemangku kepentingan yang diklasifikasi dalam 4 grup yaitu subject, key players, crowd, dan by standers. Pengelolaan mangrove di Desa Pasarbanggi masih dalam tahap konsultatif. Untuk meningkatkan efektifitas, pengelolaan diarahkan pada tingkat kooperatif dalam spektrum co-management dengan strategi manajemen. Kata kunci: mangrove, pemangku kepentingan, co-management

ABSTRACT

AHMAD MUQORROBIN. Co-Management Mangrove Ecosystem in the Pasarbanggi village, Rembang District, Central Java. Supervised by FREDINAN YULIANDA dan TARYONO KODIRAN.

(5)

mangrove rehabilitation of the site. Whereas based on stakeholder analysis, there are 16 stakeholders which are classified into 4 group i.e. subject, key players, crowd, dan by standers. According to co-management spectrum, mangove management pattern of Pasarbanggi village is still in a consultative level. Therefore, it’s required to improve management pattern to be cooperative level.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan

pada

Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan

PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE

BERBASIS

CO-MANAGEMENT

DI DESA PASARBANGGI,

KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

(8)
(9)

Judul Skripsi : Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Co-Management di Desa Pasarbanggi, Kabupaten Rembang, Jawa

Nama : Ahmad Muqorrobin NIM : C24080092

Disetujui oleh

Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc Pembimbing I

Taryono Kodiran, S. Pi, M.Si Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. Ketua Departemen

(10)

PRAKATA

Alhamdulillah puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan petunjuk-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Co-Management di Desa Pasarbanggi, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah”. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dari bulan April-Juni 2012 dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc selaku dosen pembimbing pertama, Taryono Kodiran, S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing kedua, dan Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil selaku Komisi Pendidikan Manajemen Sumber Daya Perairan yang telah membantu dalam memberikan bimbingan, arahan, serta masukan dalam penyusunan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.

Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak kekurangan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Februari 2013

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

TINJAUAN PUSTAKA 3

Ekosistem Mangrove 3

Permasalahan Ekosistem Mangrove 5

Pengelolaan Mangrove 6

Pengkajian ekologi dan sosial ekonomi 7

Kelembagaan dan perangkat hukum 7

Strategi dan pelaksanaan rencana pengelolaan 7

Co-Management (Pengelolaan Bersama) 8

Beberapa Studi Kasus 11

Co-management di Pulau Bali 11

Co-management di Taman Nasional Bunaken (Sulawesi Utara) 12

Co-management di Kabupaten Lombok Timur (NTB) 12

METODE 13

Waktu dan Tempat 13

Alat dan Bahan 13

Data Primer 13

Data Sekunder 15

Analisis Data 15

Analisis kondisi ekosistem mangrove 15

Analisis pemangku kepentingan 16

HASIL DAN PEMBAHASAN 19

Keadaan Umum Wilayah 19

Keadaan geografis 19

Keadaan sosial demografi 20

Kondisi ekosistem mangrove 22

Tingkat kerusakan dan ancaman mangrove 26

Karakteristik masyarakat pemanfaat ekosistem mangrove 27

Pola Pemanfaaatan Ekosistem Mangrove 33

(12)

Interaksi masyarakat Desa Pasarbanggi terhadap mangrove 36 Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara Co-management 37

SIMPULAN DAN SARAN 43

Simpulan 43

Saran 44

DAFTAR PUSTAKA 44

LAMPIRAN 48

(13)

DAFTAR TABEL

1 Dampak kegiatan manusia pada ekosistem mangrove 6 2 Peran pemangku kepentingan kunci dalam co-management 10 3 Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian 13

4 Pengambilan responden wawancara 14

5 Penilaian kuantitatif tingkat kepentingan 17

6 Penilaian kuantitatif tingkat pengaruh 17

7 Kriteria tingkat kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan 18 8 Jumlah penduduk Desa Pasarbanggi berdasarkan kelompok umur 20 9 Kualitas usia produktif masyarakat desa berdasarkan tingkat pendidikan

Desa Pasarbanggi tahun 2011 21

10 Daftar mata pencaharian masyarakat Desa Pasarbanggi 21

11 Komposisi jenis mangrove yang didapatkan 23

12 Indeks Nilai Penting pohon mangrove di tiga stasiun 25 13 Kajian pengelolaan mangrove di Desa Pasarbanggi 39 14 Peran pemangku kepentingan dalam lembaga pengelola 41

DAFTAR GAMBAR

1 Alur rumusan masalah 2

2 Interaksi pada ekosistem mangrove 5

3 Spektrum co-management 9

4 Matriks analisis kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan 18

5 Vegetasi dalam tiap stasiun 24

6 Diagram tipologi masyarakat pemanfaat mangrove 27 7 Diagram karakteristik usia masyarakat pemanfaat 28 8 Diagram karakteristik pendidikan masyarakat pemanfaat 28

9 Diagram pendapatan masyarakat pemanfaat 29

10 Diagram persepsi masyarakat pemanfaat terhadap kondisi mangrove 29 11 Diagram pemahaman masyarakat pemanfaat tentang mangrove 30 12 Diagram pemahaman masyarakat pemanfaat tentang konservasi 30 13 Diagram persepsi masyarakat pemanfaat mengenai sosialisasi

pemerintah 31

14 Diagram persepsi masyarakat pemanfaat mengenai peran pemerintah 31 15 Diagram persepsi masyarakat mengenai keinginan terlibat 32

16 Matriks analisis pemangku kepentingan 34

DAFTAR LAMPIRAN

17 Contoh Perhitungan RDi pohon Rhizophora stylosa stasiun 1 plot 1 48 18 Contoh Perhitungan RFi pohon Rhizophora stylosa stasiun 1 plot 1 48 19 Contoh Perhitungan BA pohon Rhizophora stylosa stasiun 1 plot 1 48 20 Contoh Perhitungan Ci pohon Rhizophora stylosa stasiun 1 plot 1 48 21 Contoh Perhitungan RCi pohon Rhizophora stylosa stasiun 1 plot 1 48

(14)
(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdiri dari kumpulan tanaman darat yang mampu hidup pada salinitas air laut. Ekosistem mangrove memiliki fungsi ekologis maupun fungsi ekonomis. Pengelolaan dan pemanfaatan terhadap ekosistem mangrove akan berdampak pada kelestarian ekosistem tersebut. Apabila dalam memanfaatkan ekosistem tanpa diiringi dengan etika pemanfaatan ekosistem yang lestari, maka akan merusak ekosistem mangrove itu sendiri.

Saat ini banyak ekosistem mangrove yang telah dikonversi untuk kepentingan manusia. Luas mangrove di Indonesia pada tahun 2005 hanya mencapai 3.062.300 ha. Berdasarkan data FAO (2007) luas mangrove di Indonesia telah berkurang sekitar 120.000 ha dari tahun 1980 sampai 2005 karena alasan perubahan penggunaan lahan. Sedangkan Paena et al. (2010) menyatakan pada tahun 2006 luas mangrove di Indonesia menjadi 2,59 juta hektar.

Adapun bentuk-bentuk konversi yang dilakukan manusia pada ekosistem mangrove seperti pembuatan tambak, bangunan rumah, industri, maupun persawahan. Berkurangnya ekosistem mangrove akan berdampak pula pada kondisi pesisir baik pada ekologi maupun ekonomi penduduk pesisir seperti yang terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Tanjung Jabung Timur Jambi yang menunjukkan hasil tangkapan udang laut nelayan semakin turun dengan semakin berkurangnya hutan mangrove di sekitar ekosistem tersebut (Huda 2008).

Berbagai pemangku kepentingan terhadap ekosistem mangrove memiliki kepentingan masing-masing terhadap ekosistem mangrove sehingga pengawasan dan kontrol terhadap penggunaan lahan mangrove sering menjadi lemah. Hal ini menjadi kendala utama dalam pengelolaan ekosistem mangrove. Selain itu, permasalahan yang sering dihadapi dalam pengelolaan adalah lemahnya koordinasi antar pemangku kepentingan karena memiliki kepentingan masing-masing terhadap sumber daya yang ada. Oleh karena itu dalam penelitian ini bentuk interaksi dan kepentingan yang dilakukan oleh masing masing pemangku kepentingan terutama masyarakat yang berada di sekitar ekosistem mangrove Desa Pasarbanggi akan dibahas.

Bentuk pengelolaan terhadap suatu ekosistem sumber daya harus ditentukan agar dalam melakukan pengelolaan ekosistem dapat berjalan maksimal. Adapun bentuk-bentuk pengelolaan terhadap suatu sumber daya dapat berdasarkan State/Goverment Based, Community Based, maupun Collaborative Based. Ketiga bentuk pengelolaan tersebut memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Jika dilihat berdasarkan keterlibatannya berbagai pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumber daya maka opsi yang terbaik untuk pengelolaan sumber daya adalah bentuk Collaborative Based (Pengelolaan Bersama/Co-management).

(16)

: Alur Masalah : Cakupan Penelitian

mangrove menjadi potensi tersendiri dalam pengembangan hutan mangrove di wilayah Kabupaten Rembang.

Perumusan Masalah

Mangrove merupakan salah satu ekosistem yang penting di daerah pesisir. Berbagai jenis vegetasi mangrove memiliki berbagai fungsi baik fungsi ekologis maupun fungsi ekonomis. Berbagai jenis pohon mangrove dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat pesisir sehingga dalam pengelolaan serta pengembangan ekosistem mangrove maka perlu diketahui jenis-jenis dari vegetasi mangrove yang berada pada Desa Pasarbanggi, Kabupaten Rembang.

Tingginya tingkat degradasi akibat pengalihan fungsi dan over-eksploitasi hutan mangrove menjadi masalah utama dalam pengelolaan mangrove di sepanjang pesisir utara Provinsi Jawa Tengah khususnya di wilayah pesisir Kabupaten Rembang. Beberapa permasalahan ekosistem mangrove di Kabupaten Rembang adalah konversi lahan mangrove menjadi tambak garam, tambak ikan, tambak udang. Berbagai pemangku kepentingan memiliki interaksi dan kepentingan masing-masing terhadap ekosistem mangrove sehingga tingkat kerawanan terhadap eksploitasi ekosistem mangrove semakin tinggi sehingga perlu diketahui bagaimana interaksi masyarakat dan kepentingan masing-masing pemangku kepentingan terhadap ekosistem mangrove (Gambar 1).

(17)

Pendekatan co-management lahir dikarenakan adanya kenyataan bahwa pendekatan state based yang lebih menempatkan pemerintah sebagai pemegang peran utama (top-down), terbukti tidak efektif. Pengelolaan sumber daya yang dilakukan oleh masing-masing pemangku kepentingan dan cenderung mengesampingkan peran pemerintah, seperti dalam comunity based management

juga terbukti belum terlalu efektif. Hal ini merupakan titik tolak berkembangnya pemikiran bahwa diperlukan kerjasama antara pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem sumber daya untuk kepentingan bersama melalui sistem pengelolaan bersama (co-management).

Sistem pengelolaan co-management merupakan suatu bentuk pembagian tanggung jawab dan wewenang yang mampu mengakomodir semua input diantara semua pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumber daya alam. Berdasarkan hal tersebut perlu diketahui bagaimana peran posisi pemerintah dan pemangku kepentingan lain saat ini sehingga dapat dibentuk sistem pengelolaan secara co-management yang dapat diterapkan dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Pasarbanggi, Kabupaten Rembang.

Tujuan Penelitian

Penelitian tentang mangrove di pesisir Desa Pasarbanggi, Kabupaten Rembang ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui dan menganalisis kondisi sumber daya mangrove dan masyarakat pemanfaat mangrove Desa Pasarbanggi, Kabupaten Rembang.

2. Menganalisis peran dan fungsi dari masing-masing pemangku kepentingan. 3. Mengetahui dan menganalisis bentuk co-management terhadap pengelolaan

ekosistem mangrove Desa Pasarbanggi, Kabupaten Rembang.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai salah satu masukan bagi Pemerintah Daerah Rembang dalam membuat rencana pengelolaan ekosistem mangrove dan sebagai informasi mengenai keanekaragaman hayati mangrove di pesisir Kabupaten Rembang.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Ekosistem Mangrove

(18)

(Odum 1993). Kusmana (2007) mengemukakan bahwa ekosistem mangrove merupakan ekosistem interface antara ekosistem daratan dengan ekosistem lautan. Oleh karena itu, ekosistem ini memiliki fungsi spesifik yang keberlangsungannya bergantung pada dinamika yang terjadi di ekosistem daratan dan lautan.

Secara umum, karakteristik habitat mangrove berhubungan dengan kondisi salinitas, struktur tanah, penggenangan air, pasang surut, serta jumlah oksigen di dalam tanah. IUCN (1993) menyebutkan bahwa komposisi spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah. Bentuk adaptasi dari tumbuhan mangrove terhadap habitatnya terlihat pada fisiologi dan struktur tumbuhan mangrove (Bengen 2002).

Bengen (2002) mengklasifikasikan ekosistem mangrove berada pada salinitas air payau (salinitas 2‰-22‰) sampai salinitas air laut (salinitas 35‰). Hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, dan daerah pantai yang terlindung. Jenis tanah yang mendominasi ekosistem mangrove biasanya adalah fraksi lempung berdebu, akibat rapatnya bentuk perakaran-perakaran yang ada. Fraksi lempung berpasir hanya terdapat dibagian depan (arah pantai). Sebagian besar jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur, terutama di daerah endapan lumpur terakumulasi.

Di Indonesia substrat berlumpur ini sangat baik untuk tegakan Rhizophora mucronata dan Avicennia marina (Bengen 2002; Gunarto 2004; Setyawan dan Winarno 2006). Nilai pH tanah di ekosistem mangrove berbeda-beda, tergantung pada tingkat kerapatan vegetasi yang tumbuh diekosistem tersebut. Jika kerapatan rendah, tanah akan mempunyai nilai pH yang cenderung tinggi. Nilai pH tidak banyak berbeda, yaitu antara 4,6-6,5 dibawah tegakan jenis Rhizophora spp (Arief 2003). Kennish (2000) mengatakan bahwa spesies mangrove juga memiliki tingkat toleransi terhadap suhu yang berbeda, seperti Avicennia marina lebih tahan terhadap perubahan suhu yang relative jauh daripada Rhizophora mangle.

Pasang surut menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove. Durasi pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada areal mangrove. Salinitas air menjadi sangat tinggi pada saat pasang naik dan menurun selama pasang surut. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan salah satu faktor yang membatasi distribusi jenis mangrove. Menurut Bengen (2002) pada areal yang selalu tergenang pasang surut hanya Rhizophora spp yang tumbuh baik, sedangkan Bruguiera spp dan Xylocarpus spp jarang mendominasi daerah yang sering tergenang. Faktor lingkungan yang paling mempengaruhi zonasi jenis mangrove menurut Sukmarani et al. (2009) adalah salinitas, pasang surut dan intensitas cahaya.

(19)

Gambar 2. Interaksi pada ekosistem mangrove (www.fao.org)

Kusmana (2005) mengemukakan apabila terjadi kerusakan pada ekosistem mangrove ekosistem ini dapat memperbaiki kondisinya secara alami dalam waktu 15 - 20 tahun jika: (1) kondisi normal hidrologi tidak terganggu, dan (2) ketersediaan biji dan bibit serta jaraknya tidak terganggu atau terhalangi. Jika kondisi hidrologi normal atau mendekati normal tetapi biji bakau tidak dapat mendekati daerah restorasi, maka dapat direstorasi dengan cara penanaman. Selain itu kondisi dan jenis tanah menentukan dari jenis tanaman mangrove yang akan ditanam. Oleh karena itu,ekosistem mangrove yang rusak dapat diperbaiki melalui penanamandengan melihat potensi aliran air laut, faktor alam, dan tekanan-tekanan lain yang mungkin menghambat perkembangan tanaman mangrove.

Permasalahan Ekosistem Mangrove

(20)

menimbulkan permasalahan yang sangat membahayakan bagi ekosistem tersebut (Tabel 1).

Tabel 1. Dampak kegiatan manusia pada ekosistem mangrove

Kegiatan Dampak Potensial

Tebang habis

- Berubahnya komposisi tumbuhan mangrove -Tidak berfungsinya daerah mencari makanan dan

pengasuhan

Pengalihan aliran air tawar - Peningkatan salinitas hutan mangrove - Menurunnya tingkat kesuburan hutan

Konversi lahan

- Mengancam regenerasi stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan - Terjadi pencemaran laut oleh bahan pencemar

yang sebelumnya diikat substrat mangrove - Erosi garis pantai, pendangkalan dan intrusi garam

Pembuangan sampah cair - Penurunan kandungan oksigen terlarut, timbul gas H2S

Pembuangan sampah padat

- Kemungkinan terlapisnya pneumatofora yang mengakibatkan matinya pohon mangrove

- Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat

Tumpahan minyak - Kematian pohon mangrove

Penambangan dan ekstraksi mineral

- Kerusakan total ekosistem mangrove, sehingga memusnahkan fungsi ekologis hutan mangrove (daerah pencari makanan, asuhan

- Pengendapan sedimen yang dapat mematikan pohon mangrove.

Sumber : Bengen (2002)

Dampak dari semua kegiatan dengan cara memanfaatkan hutan mangrove umumnya akan menimbulkan permasalahan yang cukup pelik, yakni akan merusak dan pada akhirnya dapat menyebabkan hilangnya sumber daya tersebut. Kerusakan hutan mangrove di beberapa wilayah pesisir pantai Indonesia sudah cukup serius, misalnya pantai utara Pulau Jawa, daerah Cilacap, pantai barat Pulau Lombok, pesisir Lampung, daerah Riau dan daerah Aceh (Pramudji 2000).

Pengelolaan Mangrove

(21)

Pengkajian ekologi dan sosial ekonomi

Pengkajian terhadap ekologi mangrove meliputi dampak ekologis intervensi manusia terhadap ekosistem mangrove. Berbagai dampak kegiatan yang dilakukan manusia terhadap ekosistem mangrove baik secara langsung maupun secara tidak langsung harus diidentifikasi. Dalam pengelolaan ekosistem mangrove juga diperlukan pengkajian terhadap kondisi sosial ekonomi yang mencangkup kebiasaan masyarakat di sekitar hutan mangrove dalam memanfaatkan sumber daya mangrove. Selain itu kegiatan industri, tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan sebagainya yang dilakukan di sekitar hutan mangrove harus diidentifikasi dengan baik untuk, mengurangi dampak resiko kerusakan pada ekosistem mangrove akibat faktor kegiatan manusia (Syukur et al. 2007).

Kelembagaan dan perangkat hukum

Kelembagaan memiliki fungsi penting dalam mengatur hubungan antara manusia dengan sumber daya alam agar tetap lestari (Nurjannah 2009). Suatu kelembagaan yang fungsional dan mandiri sangat penting untuk akses pengelolaan suatu ekosistem agar skema penguasaan sumber daya tidak anarkis, melainkan melalui pendekatan kolektif yang diorientasikan kepada kesejahteraan seluruh masyarakat. Dengan demikian, obsesi menjadikan kelompok -kelompok dan lembaga-lembaga lokal di masyarakat untuk peran dalam pengaturan fungsi hutan mangrove yang menyelaraskan kepentingan ekonomi dan konservasi dapat terlaksana (Awang et al. 2000).

Pengelolaan sumber daya yang bersifat common property sangat diperlukan koordinasi antar instansi/lembaga yang terkait dengan pengelolaan, contoh lembaga yang terkait dengan pengelolaan mangrove adalah Dinas Kehutanan, Dinas Kelautan Perikanan, dan Dinas Lingkungan Hidup. Peran pemerintah dalam menentukan arah kebijakan terhadap pemanfaatan suatu sumber daya sangat diperlukan. Daniel (1999) dan Marks (1991) in Aguilera et al. (2006) menyatakan bahwa ketika masing-masing lembaga saling melakukan koordinasi dan membentuk sebuah lembaga baru, maka akan terbentuk tujuan bersama, memiliki aturan baru, norma baru dan keyakinan baru terhadap lembaga tersebut.

Aspek perangkat hukum adalah peraturan dan undang-undang yang terkait dengan pengelolaan mangrove. Beberapa peraturan mengenai pengelolaan dan perlindungan terhadap ekosistem mangrove sebagai berikut : Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, Peraturan Pemerintah No.60 Tahun 2007 tentang konservasi sumber daya ikan, Undang-Undang No.27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Strategi dan pelaksanaan rencana pengelolaan

(22)

menunjuk suatu ekosistem hutan mangrove untuk dijadikan ekosistem konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai.

Saat ini dikembangkan pola pengelolaan secara co-management yang melibatkan kerjasama antara pemangku kepentingan baik dari pihak pemerintah maupun masyarakat. Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove secara

co-management meliputi komponen yang diawasi, sosialisasi dan transparansi kebijakan, institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat dalam pengawasan, mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi (Santoso 2000).

Masyarakat pesisir umumnya memiliki struktur yang masih sederhana sehingga setiap proses-proses pengelolaan mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan sampai kepada penerapan sanksi hukum, dilakukan secara bersama oleh masyarakat (Wahyudin 2003). Sifat yang demikian membuat aturan yang telah dibuat dan disepakati bersama cenderung dapat dilakukan dan ditaati.

Co-management (Pengelolaan Bersama)

Pendekatan co-management merupakan pendekatan menengah dari adanya pendekatan state-based dan pendekatan community based. Pendekatan state-based

yang menempatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan suatu sumber daya sangat terbatas. Pendekatan ini lebih didominasi oleh peran pemerintah dan bersifat “top-down”. Nikijuluw (2001) berpendapat bahwa kebutuhan yang selama ini tidak dilakukan untuk mengembangkan wilayah pesisir yaitu kurang dilibatkannya masyarakat pesisir dalam pembangunan. Keterlibatan masyarakat secara total dalam semua aspek program pembangunan yang menyangkut diri dan wilayah kehidupan mereka, yaitu sejak perencanaan program, pelaksanaannya, evaluasinya, serta prelevansiannya. Inilah yang sering menjadi kelemahan dalam pelaksanaan pengelolaan suatu ekosistem karena pelaku utama yang seharusnya terlibat diabaikan.

Pendekatan selanjutnya adalah model pendekatan community based.

Model pendekatan ini juga memiliki kelemahan karena pendekatan cenderung mengesampingkan peran pemerintah. Masyarakat juga bergerak sendiri dalam pengelolaan lingkungan sehingga tidak ada arahan dan pengetahuan teknis yang dibutuhkan yang diberikan dari pemerintah sehingga dalam pelaksanaan tidak terprogram dengan baik. Dalam pengelolaan ekosistem mangrove di desa Pasarbanggi tidak dapat hanya masyarakat yang menangani dan perlu adanya perhatian dari pihak pemerintah dan pemangku kepentingan lain yang berhubungan dengan potensi sumber daya mangrove yang cukup berpotensi, sehingga dibutuhkan kehati-hatian dalam kebijakan dan pengelolaan ekosistem mangrove tersebut.

(23)

mengikutsertakan mereka dalam proses pengelolaan karena masyarakat merupakan pengguna utama dari sumber daya alam.

Pomeroy (1995) dan Mallawa (2006) menyatakan bahwa dalam penerapan sistem pengelolaan co-management akan berbeda-beda dan tergantung pada kondisi spesifik dan sosial dari suatu wilayah. Oleh karena itu, co-management

hendaknya tidak dipandang sebagai strategi tunggal untuk menyelesaikan seluruh problem sumber daya, tetapi dipandang sebagai alternatif pengelolaan yang sesuai situasi dan lokasi tertentu.

Menurut Adrianto (2007) terdapat enam bentuk tahap dari spektrum co-management berdasarkan peran dari pihak pemerintah dan pihak pengguna sumber daya (masyarakat dan pemangku kepentingan lain) yaitu (1) tahap instruktif, (2) tahap konsultatif, (3) tahap komunikatif, (4) tahap advokasi, dan (5) tahap aksi keterlibatan (6) tahap kontrol masyarakat. Adapun gambaran co-management dari bentuk tanggung jawab pemerintah dan masyarakat selaku pemangku kepentingan dalam pengelolaan dapat dilihat pada gambar diagram dibawah ini (Gambar 3).

Gambar 3. Spektrum co-management (Modifikasi dari Pameroy and Rivera-Guieb (2006) oleh Adrianto (2007))

(24)

Tabel 2. Peran pemangku kepentingan kunci dalam co-management b) Memobilisasi aktivitas dalam co-management.

c) Berpartisipasi dalam penelitian, pengumpulan dan analisis data.

d) Perencanaan dan implementasi kegiatan. e) Monitaring dan evaluasi.

f) Advokasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Pemerintah a) Menyediakan perangkat legislasi untuk menjamin dan

melegitimasi hak masyarakat berpartisipasi dalam kerangka

co-management.

b) Menentukan bentuk dan proses desentralisasi pengelolaan. c) Menyediakan perangkat legitimasi bagi sistem pengelolaan

yang sudah ada di masyarakat.

d) Menyediakan bantuan teknis, finansial dan penyuluhan dalam inisiasi co-managament.

e) Resolusi konflik antar pemangku kepentingan.

f) Mengkoordinasi forum lokal bagi kemitraan pemangku kepentingandalam kerangka co-management.

g) Menentukan alokasi fungsi pengelolaan. Pemangku

kepentingan lain

a) Mengidentifikasi isu-isu dalam masyarakat, khususnya di luar masyarakat perikanan.

b) Berpartisipasi dalam perencanaan dan implementasi co-management.

c) Menyediakan insentif bagi tindakan nyata. d) Pengelolaan konflik.

e) Memfasilitasi kepentingan masyarakat.

Agen perubahan a) Memfasilitasi pemangku kepentingan dalam proses perencanaan dan implementasi.

b) Pengorganisasian masyarakat dalam inisiasi maupun implementasi co-management.

c) Jasa konsultasi dalam perencanaan dan implementasi co-management.

d) Menyediakan informasi data dalam perencanaan dan implementasi co-management.

Sumber : Pomeroy dan Rivera-Gueib (2006); Adrianto et al. (2009)

(25)

White (1994) in Wijanarko (2006) telah merinci dukungan instansi pemerintah daerah yang sangat diperlukan untuk membangun pengelolaan kolaboratif sebagai berikut:

a. Menciptakan ruang politik yang cukup untuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan. Pemerintah perlu menyediakan forum dialog yang setara antara wakil pemerintah dengan wakil masyarakat dalam mendiskusikan pengelolaan kolaboratif.

b. Menentukan arah kebijakan pengelolaan sumber daya yang bisa mengakomodasi aspirasi masyarakat.

c. Melakukan koordinasi dengan instansi lain yang terkait agar kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh semua pemangku kepentingan (pemangku kepentingan) dari banyak instansi bisa berjalan dengan harmonis.

d. Memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap kegiatan kelompok masyarakat yang berhasil.

e. Menegakkan hukum terhadap pelanggaran aturan lokal sehingga instansi pemerintah perlu selalu memantau efektifitas aturan lokal terkait pengelolaan partisipatif oleh masyarakat.

f. Menyelesaikan konflik dan masalah yang muncul antara pemangku kepentingan.

g. Memberikan bantuan kepada masyarakat berupa pelatihan, penyuluhan, keuangan, sarana dan perlengkapan, serta peningkatan kesadaran masyarakat.

Menurut Noble (2000) terdapat 6 (enam) prinsip bagi institusi dalam menerapkan co-management. Dari enam prisip tersebut empat prinsip diantaranya menggambarkan proses terbentuknya institusi dan dua prinsip lainnya menggambarkan penilaian keefektifan institusi tersebut. Adapun enam prinsip tersebut antara lain organisasi yang interaktif, kontrol lokal, dukungan masyarakat, proses yang terencana, keragaman anggota, prinsip holism (pengkajian semua aspek).

Beberapa Studi Kasus

Pelaksanaan co-management telah dilakukan pada beberapa wilayah di Indonesia dan menjadi studi kasus penelitian seperti di Bali (Nikijuluw 1996), Taman Nasional Bunaken (Erdmann 2001 in Daryanto 2012) dan Nusa Tenggara Barat (Indrawasih 2008). Studi kasus penerapan co-management juga telah dilakukan pada beberapa negara di Asia seperti

Co-management di Pulau Bali

(26)

Sejak awal penduduk Desa Jemluk telah dilibatkan dalam pembuatan dan penempatan terumbu karang buatan. Kerjasama atas pembuatan terumbu karang buatan ini dilakukan antara masyarakat desa dengan Dinas Perikanan Provinsi dan RIMF (Research Institute for Marine Fisheries). Kerjasama ini berdampak pada meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mengelola sumber daya terumbu karang. Nelayan menyadari bahwa terumbu karang ini merupakan milik mereka, sehingga pengelolaannya harus dilakukan oleh mereka sendiri. Namun, pengelolaannya tetap dibawah tanggung jawab pemerintah.

Masyarakat Desa Jemluk yang umumnya nelayan membentuk persatuan nelayan (Tunas Mekar Fisher Association/TMFA) kemudian mengembangkan mekanisme pengelolaan co-management dalam bidang wisata bersama dengan Dinas Perikanan Provinsi, Departemen Kepariwisataan, dan Satuan Polisi Lokal.

Co-management di Taman Nasional Bunaken (Sulawesi Utara)

Co-management di Taman Nasional Bunaken, Sulawesi Utara dilakukan melalui pembentukan DPTNB (Dewan Pengelolaan Taman Nasional Bunaken) oleh pemerintah, swasta dan masyarakat. Salah satu hasil rumusannya adalah penentuan tarif masuk Taman Nasional Bunaken dan pendistribusian hasil tarif masuk tersebut yang diperkirakan sekitar Rp 750 juta per tahun. Pendistribusian dari pemasukan tarif masuk Taman Nasional Bunaken terdiri atas 5% untuk dana pembangunan propinsi, 5% untuk pembiayaan pembangunan daerah-kota, 5% untuk pusat yang diperuntukkan untuk pembangunan KSDA dan ekosistemnya melalui Departemen Kehutanan dan Ditjen PKA, dan 85% sebagai dana pendukung pengelolaan dan pengembangan fasilitas Taman Nasional Bunaken.

Co-management di Kabupaten Lombok Timur (NTB)

Penerapan co-management di Kabupaten Lombok Timur (NTB) dilakukan melalui proyek Co-fish (Coastal Community Development and Fisheries Resourcs Management Project), yaitu pengelolaan sumber daya laut yang dilakukan dengan pendekatan co-management dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan yang dihimpun dalam satu kelembagaan yang disebut KKPK (Komite Kelautan Perikanan Kabupaten) untuk tingkat kabupaten dan KPPL (Komite Pengelolaan Perikanan Laut) di tingkat ekosistem dan desa. Proyek ini merupakan proyek pemerintah pusat yang pendanaannya berasal dari Asian Development Bank

(ADB) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka merealisasikan visi pembangunan kelautan dan perikanan. Daerah ini dipilih sebagai lokasi proyek karena daerah ini sebelumnya telah menerapkan community based management.

Kegiatan pengelolaan sumber daya yang telah dilakukan dalam proyek

(27)

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Kegiatan penelitian dibagi dalam dua tahap, yaitu pertama, kegiatan pengambilan sampel vegetasi mangrove. Kedua, pengambilan sampel wawancara tiap perwakilan pemangku kepentingan yang telah ditentukan. Masing-masing kegiatan tersebut dilakukan di lapang pada tanggal 26 April – 10 Juni 2012. Penelitian ini dilakukan di Desa Pasarbanggi, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah dengan alasan desa tersebut memiliki mangrove yang cukup baik.

Penentuan stasiun-stasiun pengamatan didasarkan atas keterwakilan zonasi mangrove. Pada penelitian ini terdapat 3 stasiun yaitu stasiun I di tepi pantai dengan titik koordinat 6o42’10.02” LS dan 111o22’49.0” BT, stasiun II berada di sekitar tambak penduduk dengan titik koordinat 6o41’56.4” LS dan 111o23’10.0” BT, dan stasiun III berada di muara sungai Kaliuntu dengan titik koordinat 6o41’56.1” LS dan 111o23’19.9” BT.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian secara insitu untuk mengetahui vegetasi mangrove antara lain kamera, termometer, refraktometer, pH stik, GPS, meteran, tali dan data sheet. Sedangkan alat yang digunakan secara eksitu adalah buku identifikasi (Tabel 3).

Tabel 3. Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian

Alat Parameter yang dilihat Unit Metode

Kamera Dokumentasi lokasi In situ

Termometer Pengukuran suhu 0C In situ

Refraktometer Pengukuran salinitas Permil In situ

pH stik Pengukuran pH In situ

GPS dan peta Menentukan posisi sampling Derajat In situ

Meteran Lingkar batang Cm In situ

Tali Membuat transek Meter In situ

Data sheet Pencatatan In situ

Buku identifikasi Identifikasi jenis mangrove Ek situ

Kuisioner Wawancara Orang In situ

Data Primer

Pengumpulan data primer dilakukan melalui pengamatan langsung (observasi) di lapangan, dengan melakukan pengukuran vegetasi mangrove, wawancara langsung dengan masyarakat lokal dan instansi terkait.

a. Metode Pengamatan Ekosistem Mangrove

(28)

Pada setiap lokasi pengamatan, letakkan petak-petak contoh (plot) berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10 x 10 m untuk tingkat pohon (diameter batang > 4 cm), 5 x 5 m untuk tingkat pancang (diameter < 4 cm, tinggi > 1 m ), 1 x 1 m untuk semai dan tumbuhan bawah (tinggi < 1 m). Data yang diambil pada pengamatan ekosistem mangrove adalah pengukuran diameter setiap pohon setinggi dada (1,30 m) yang berada di dalam.

b. Metode Pengambilan Data Instansi

Data dikumpulkan secara langsung di kantor instansi melalui wawancara secara terstruktur dengan responden (pedoman dengan kuisioner) dengan jumlah responden masing masing setiap instansi pemerintahan diwakili oleh seorang yang berkutat pada bidangnya khususnya mangrove (Tabel 4). Data yang dikumpulkan meliputi tupoksi masing masing instansi terkait kebijakan terhadap ekosistem mangrove dan keterlibatan instansi

c. Metode Pengambilan Data Persepsi Masyarakat

Data dikumpulkan secara langsung di lokasi penelitian melalui wawancara secara terstruktur dengan responden (pedoman dengan kuisioner) dengan jumlah 48 orang. Metode pengambilan sampel/responden yang digunakan adalah

purposive sampling, yaitu metode pengambilan sampel tidak secara acak melainkan berdasarkan pertimbangan tertentu atau disengaja. Adapun tujuan dari pengambilan secara purposive sampling adalah untuk mencari pengetahuan dan informasi sebesar-besarnya dari narasumber mengenai permasalahan yang diajukan. Dalam hal ini yang menjadi pertimbangan adalah responden (masyarakat) yang memanfaatkan ekosistem mangrove dan bersedia untuk diwawancarai (Tabel 4). Data yang dikumpulkan meliputi (1) data karakteristik responden (umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan), (2) kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove oleh masyarakat, (3) pemahaman atau persepsi masyarakat tentang mangrove, dan (4) keterlibatan masyarakat.

Tabel 4. Pengambilan responden wawancara

Responden Jumlah

(orang) Keterangan

Kelurahan Desa Pasarbanggi 1 Kepala Desa

Kelompok Tani Mangrove

“Sidodadi Maju” 12 Ketua dan Pengurus

Kelompok Nelayan “Sido

Dinas Kelautan dan Perikanan 1 Kepala Seksi Perlindungan SDP2K

Dinas Kehutanan 1 Kepala Seksi Penghutanan Sosial

Kantor Lingkungan Hidup 1 Bagian KSDA pesisir dan pulau pulau kecil

BAPPEDA 1 Kepala Sub Bidang SDA dan LH

(29)

Data Sekunder

Data sekunder dikumpulkan dari berbagai studi pustaka, buku laporan, jurnal, hasil penelitian, perundang-undangan dan data pendukung lainnya yang berhubungan dengan penelitian yang sedang dilakukan.

Analisis Data

Analisis kondisi ekosistem mangrove

Data yang dikumpulkan meliputi data mengenai jenis spesies, jumlah individu dan diameter pohon. Data diolah dan dianalisis potensi ekosistem mangrovenya, meliputi :

a. Kerapatan Jenis (Di)

Kerapatan jenis (Di) merupakan jumlah tegakan jenis ke-i dalam suatu unit area (Bengen 2000). Penentuan kerapatan jenis melalui rumus :

Keterangan :

Di = Kerapatan spesies ke-i

ni = Jumlah total tegakan spesies ke-i

A = Luas total area pengambilan contoh (m2) b. Kerapatan Relatif (RDi)

Kerapatan Relatif (RDi) merupakan perbandingan antara kerapatan spesies ke-i dengan total kerapatan seluruh spesies (Kusmana dan Istomo 1995 in Supardjo 2008). Penentuan Kerapatan Relatif (RDi) :

Keterangan :

RDi = Kerapatan Relatif Di = Kerapatan spesies ke-i

ΣDi = Jumlah total kerapatan seluruh spesies c. Frekuensi Spesies (Fi)

Frekuensi spesies (Fi) adalah peluang ditemukan suatu spesies ke-i dalam semua petak contoh dibanding dengan jumlah total petak contoh yang dibuat (Bengen 2000). Untuk menghitung frekuensi spesies (Fi) digunakan rumus :

Keterangan :

Fi = Frekuensi spesies ke-i

Pi = Jumlah petak contoh tempat ditemukannya spesies ke-i ΣPi = Jumlah total plot yang diamati

d. Frekuensi Relatif (RFi)

(30)

Keterangan :

RFi = Frekuensi relatif spesies Fi = Frekuensi spesies ke-i

ΣF = Jumlah frekuensi untuk seluruh spesies e. Penutupan Spesies (Ci)

Penutupan spesies (Ci) adalah luas penutupan spesies ke-i dalam suatu unit area tertentu (Bengen 2000).

Keterangan :

Ci = Penutupan spesies

ΣBA = (d = diameter batang setinggi dada, = 3,14) A = Luas total area pengambilan contoh (m2)

f. Penutupan Relatif (RCi)

Penutupun relatif (RCi) yaitu perbandingan antara penutupan spesies ke-i dengan luas total penutupan untuk seluruh spesies (Bengen 2000). Untuk menghitung RCi, maka digunakan rumus :

Keterangan :

RCi = Penutupan relatif Ci = Penutupan spesies ke-i

ΣCi = Jumlah total untuk seluruh spesies g. Indeks Nilai Penting (INP)

Melalui nilai Indeks Nilai Penting dapat menduga keadaan atau karakteristik suatu ekosistem mangrove. Indeks Nilai Penting didapat dari penjumlahan nilai relatif (Rdi), frekuensi relatif (RFi), dan penutupan relatif (RCi) dari mangrove (Bengen 2000).

Keterangan :

INP = Indeks Nilai Penting RDi = Kerapatan Jenis Relatif RFi = Frekuensi Jenis Relatif RCi = Penutupan Jenis Relatif

Analisis pemangku kepentingan

(31)

Tabel 5. Penilaian kuantitatif tingkat kepentingan

No Variabel Indikator Skor

1 Keterlibatan Terlibat seluruh proses 5

Terlibat 3 proses 4

Terlibat 2 proses 3

Terlibat 1 proses 2

Tidak terlibat 1

2 Manfaat Pengelolaan Mendapat 4 manfaat 5

Mendapat 3 manfaat 4

Mendapat 2 manfaat 3

Mendapat 1 manfaat 2

Tidak Mendapat manfaat 1

3 Prioritas pengelolaan Sangat menjadi prioritas 5

Prioritas 4

Cukup 3

Kurang 2

Tidak menjadi prioritas 1

4 Ketergantungan terhadap sumber daya

1 Aturan/Kebijakan pengelolaan Terlibat seluruh proses 5

Terlibat 3 proses 4

Terlibat 2 proses 3

Terlibat 1 proses 2

Tidak terlibat 1

2 Peran dan partisipasi Berkonstribusi pada semua point 5

Berkonstribusi dalam 3 point 4

Berkonstribusi dalam 2 point 3

Berkonstribusi dalam 31 point 2

Tidak berkonstribusi 1

3 Kewenangan dalam pengelolaan Kewenangan dalam semua proses 5

Kewenangan dalam 3 proses 4

Kewenangan dalam 2 proses 3

Kewenangan dalam 1 proses 2

Tidak memiliki kewenangan 1

(32)

yaitu pengukuran data berjenjang lima (Tabel 7). Nilai pada tabel kriteria dan indikator kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan merupakan akumulasi dari penilaian tingkat kepentingan maupun penilaian tingkat pengaruh.

Tabel 7. Kriteria dan indikator tingkat kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan

Kepentingan Pemangku kepentingan Skor Kriteria Nilai Keterangan

9 Sangat tinggi 17 – 20 Sangat bergantung pada keberadaan mangrove

7 Tinggi 13 – 16 Bergantung pada mangrove

5 Sedang 9-12 Cukup bergantung pada mangrove

3 Cukup tinggi 5 – 8 Kurang bergantung pada keberadaan mangrove

1 Rendah 1 – 4 Tidak bergantung keberadaan mangrove

Pengaruh Pemangku kepentingan Skor Kriteria Nilai Keterangan

9 Sangat tinggi 17 – 20 Sangat berpengaruh dalam pengelolaan mangrove 7 Tinggi 13 – 16 Berpengaruh dalam pengelolaan mangrove 5 Sedang 9 – 12 Cukup berpengaruh dalam pengelolaan mangrove 3 Cukup tinggi 5 – 8 Kurang berpengaruh dalam pengelolaan mangrove

1 Rendah 1 – 4 Tidak mempengaruhi pengelolaan mangrove

Sumber : Abbas (2005)

Hasil skoring terhadap tingkat kepentingan dan pengaruh masing-masing pemangku kepentingan dikelompokkan menurut jenis indikatornya dan kemudian disandingkan sehingga membentuk koordinat/matrik (Gambar 4). Melalui pembagian kuadran dari matrik dapat diketahui informasi mengenai potensi peran pemangku kepentingan dalam proses konstruksi lembaga pengelolaan ekosistem. Kuadran 1 bertindak sebagai subjek, kuadran 2 bertindak sebagai pemain (Key players), kuadran 3 bertindak sebagai pengikut (Crowd) dan kuadran 4 bertindak sebagai contex seter.

Gambar 4. Matrik analisis kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan (sumber : Adrianto et al.2009)

(33)

1. Pada kuadran 1 (Subject) pemangku kepentingan yang ada memiliki kepentingan yang tinggi terhadap sumber daya mangrove namun pengaruhnya rendah dalam pengelolaan. Sehingga kelompok pemangku kepentingan pada kuadran ini termasuk pemangku kepentingan yang penting namun perlu pemberdayaan.

2. Pada kuadran 2 (Key players) merupakan kelompok yang paling kritis karena memiliki pengaruh dan kepentingan yang sama-sama tinggi. Pemangku kepentingan pada kuadran II ini harus saling membangun hubungan kerja yang baik sehingga dapat memastikan keefektifan dan dukungan koalisi tiap pemangku kepentingan terhadap pengelolaan sumber daya. Pemangku kepentingan pada kuadran ini dapat menentukan perumusan kebijakan dalam pengelolaan sumber daya.

3. Pada kuadran 3 (Crowd) merupakan kelompok pemangku kepentingan yang memiliki kepentingan dan pengaruh rendah terhadap sumber daya. Pemangku kepentingan pada kuadran ini ini tidak terlibat secara langsung dengan pengelolaan namun sangat diperlukan dalam pengawasan dan evaluasi terkait pengelolaan sumber daya.

4. Pada kuadran 4 (Contex seter) merupakan kelompok pemangku kepentingan yang memiliki karena memiliki pengaruh yang tinggi dan kepentingan rendah. Pemangku kepentingan pada kuadran akan memberikan kemajuan maupun gangguan yang signifikan terhadap pengelolaan. Sehingga dalam suatu pengelolaan, pemangku kepentingan jenis ini harus selalu diberdayakan agar besarmya pengaruh dapat membantu dalam pengelolaan baik sebagai fasilitator maupun sebagai perumusan keputusan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Wilayah Keadaan geografis

Desa Pasarbanggi merupakan salah satu desa pesisir di Kecamatan Rembang yang memiliki ekosistem mangrove. Desa Pasarbanggi terletak di pesisir sekitar 5 Km dari ibukota Kabupaten kearah timur dengan luas wilayah desa 413 Ha dan panjang pantai ± 3 Km. Ketinggian Desa Pasarbanggi dari permukaan air laut sekitar 2 m DPL dengan jenis tanah dominan gromosol berpasir (Profil Data Desa Pasarbanggi 2011). Adapun batas-batas wilayah desa meliputi ; sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Padaran, sebelah timur berbatasan dengan Desa Tritunggal, sebelah barat berbatasan dengan Desa Tireman.

(34)

merupakan dataran lumpur (tidal flat) akibat sedimentasi dari beberapa sungai yang ada di sekitarnya. Pada musim hujan, beberapa sungai di Kabupaten Rembang bagian barat meluap dan membawa sedimen-sedimen dari darat ke arah laut. Oleh karena itu, ekosistem mangrove hanya terkonsentrasi di sisi barat Kabupaten Rembang yang mencakup wilayah Kecamatan Kaliori, Kecamatan Rembang, dan Kecamatan Lasem.

Pasang surut air laut secara umum rata-rata memiliki tipe tunggal dengan tinggi rata-rata harian (MSL) sebesar 122,13 cm dan muka air laut tertinggi (HHWL) sebesar 198,75 cm (Bappeda 2012). Karakteristik gelombang air laut di Kabupaten Rembang sangat ditentukan oleh kencangnya tiupan angin yang dipengaruhi oleh musim. Angin timur menimbulkan gelombang yang cukup tinggi di perairan Kabupaten Rembang. Angin timur ini berlangsung pada bulan Juni hingga Agustus dengan tinggi gelombang mencapai 0,7-1,1 meter. Hal ini menjadi acuan oleh masyarakat untuk tidak melakukan penanaman mangrove pada musim angin timur dimana gelombang laut sedang besar-besarnya.

Keadaan sosial demografi

Jumlah penduduk Desa Pasarbanggi pada tahun 2011 mencapai 2.945 orang dengan total kepala keluarga 855 KK. Pembagian usia produktif penduduk 20-59 tahun sekitar 1.745 jiwa atau 59,25% dari total penduduk Desa Pasarbanggi. Jumlah laki-laki dan perempuan relatif hampir sama yaitu 1.474 orang laki-laki dan 1.471 orang perempuan (Tabel 8).

Tabel 8. Jumlah penduduk desa pasarbanggi berdasarkan kelompok umur Umur (tahun) Laki-laki

Sumber : Profil Desa Pasarbanggi Tahun 2011

(35)

Tabel 9. Kualitas usia produktif masyarakat desa berdasarkan tingkat pendidikan

Penduduk usia 18-56 tahun yang tidak tamat SD 21 17

Penduduk usia 18-56 tahun yang tamat SD 1.220 1.236

Penduduk usia 18-56 tahun yang tamat SLTP 91 110

Penduduk usia 18-56 tahun yang tamat SLTA 65 56

Penduduk usia 18-56 tahun yang tamat PT 9 9

Sumber : Profil Desa Pasarbanggi Tahun 2011

Mata pencaharian masyarakat yang dominan pertama adalah nelayan sebanyak 730 orang, urutan kedua adalah buruh swasta sebanyak 265 orang, dan dominan ketiga adalah petani dan buruh tani dengan total keduanya 151 orang. Mata pencaharian lain masyarakat Desa Pasarbanggi antara lain pedagang 30 orang, bakul ikan 30 orang, tukang kayu/tukang batu 22 orang, PNS 8 orang, dan montir 2 orang (Tabel 10).

Tabel 10. Daftar mata pencaharian masyarakat Desa Pasarbanggi Mata Pencaharian Jumlah (orang)

Sumber : Data Primer Kecamatan Rembang 2009

Nelayan menjadi mata pencaharian yang dominan diantara masyarakat Desa Pasarbanggi karena tekait keberadaan desa yang berada di ekosistem pesisir. Nelayan juga menjadi pekerjaan turun-temurun bagi beberapa warga di desa tersebut. Nelayan di Desa Pasarbanggi umumnya merupakn nelayan harian dimana mereka berangkat pada satu hari dan pulang pada hari itu pula. Rata-rata kapal yang dimiliki warga berukuran 10 GT yang jarak tempuh biasanya kurang dari 80 km perhari dari daratan. Namun terkadang ada pula nelayan yang tetap berlayar sampai perairan Pulau Sumatera dengan menggunakan kapal ukuran 10 GT tersebut. Tidak sedikit dari penduduk Desa Pasarbanggi yang memilih untuk menjadi buruh swasta dan bekerja di pabrik. Beberapa alasan dari yang menjadi buruh pabrik adalah dikarenakan melihat hasil tangkapan nelayan yang semakin berkurang dari tahun ke tahun. Selain itu alasan keamanan bekerja di pabrik lebih terjamin daripada di laut yang penuh tantangan bahaya menjadi pilihan anak muda di Desa Pasarbanggi. Masih luasnya lahan tambak dan sawah di Desa Pasarbanggi sehingga masih banyak penduduk desa yang bekerja sebagai petani ataupun buruh tani.

(36)

pengembangan masyarakat. Kelembagaan yang terdapat di Desa Pasarbanggi antara lain perangkat desa, BPD (Badan Perwakilan Desa), LPMD, Karang Taruna, PKK, BKD/UKM Desa, Kelompok Nelayan Sidomulyo, dan Kelompok Wanita Nelayan Margo Utomo, dan Kelompok tani mangrove Sidodadi Maju. Kelompok Tani Mangrove Sidodadi Maju merupakan kelompok yang berperan dalam mengelola mangrove di Pasarbanggi.

Sarana prasarana di Desa Pasarbanggi cukup bagus dilihat dari kondisi desa yang ada saat penelitian. Jalan desa umumnya sudah memakai aspal dan rata -rata rumah penduduk sudah menggunakan dinding tembok. Namun, berdasarkan data Kecamatan Rembang tahun 2009 terdata bahwa dari 679 jumlah rumah yang ada di desa Pasarbanggi terdapat sekitar 354 rumah penduduk tidak menggunakan jamban dirumahnya sehingga masih banyak penduduk yang membuang air besar di sekitar pantai. Hal ini membuat pemandangan di sekitar tepi pantai terlihat kotor. Selain itu, kurangnya fasilitas tempat pembuangan sampah/tong sampah terkadang membuat beberapa pemandangan di sudut desa terlihat kumuh. Adanya balai pertemuan di Desa Pasarbanggi menjadi fasilitas masyarakat untuk mengadakan pertemuan desa. Pengadaan balai pertemuan untuk kelompok tani mangrove Sidodadi Maju sedang dalam tahap pembangunan ketika penelitian ini dilaksanakan.

Peran serta masyarakat Desa Pasarbanggi dalam pembangunan desa dan semangat kegotongroyongan penduduk cukup tinggi. Hal ini terbukti dari pembangunan beberapa fasilitas umum desa yang melibatkan para penduduk desa serta beberapa kegiatan kegotongroyongan antar penduduk seperti sambatan dalam pengolahan tanah, pembangunan rumah, pemeliharaan fasilitas umum dan kerja bakti yang dilakukan setiap bulan. Beberapa upacara adat istiadat trdisional juga masih melekat dalam kehidupan masyarakat Desa Pasarbanggi seperti upacara ”sedekah bumi” dan upacara ”sedekah laut”.

Kondisi ekosistem mangrove

Ekosistem mangrove merupakan sekumpulan vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut. Ekosistem mangrove banyak ditemukan pada pantai-pantai yang dangkal, daerah estuaria, teluk, delta dan daerah pantai yang terlindung. Ekosistem mangrove di Desa Pasarbanggi terdapat di daerah sekitar delta muara sungai Kaliuntu. Akibat pembukaan lahan tambak udang maupun bandeng yang semakin meningkat pada tahun 1970 luas hutan mangrove di Desa Pasarbanggi hanya tinggal sekitar 3 Ha. Seiring dengan kesadaran masyarakat yang semakin meningkat akan pentingnya mangrove, saat ini kondisi mangrove di Desa Pasarbanggi kembali semakin baik dan luasnya saat ini mencapai 60 Ha. Secara umum mangrove di Desa Pasarbanggi hidup pada salinitas 34 – 35 permil. Suhu rata-rata di ekosistem mangrove berkisar antara 29 – 30 oC. Nilai pH rata-rata yang didapat pengukuran pada 3 stasiun berkisar dari 6,8 – 7,45. Keadaan ini secara umum mendukung untuk pertumbuhan mangrove.

(37)

diketahui pula terdapat jenis Avicennia marina yang merupakan hasil penanaman oleh masyarakat (Gambar 5). Namun pertumbuhan jenis Avicennia marina

tersebut terlihat kurang maksimal karena kondisi tanah yang digunakan tidak sesuai untuk penanaman jenis tersebut. Kusmana (2005) menyebutkan bahwa salah satu yang menentukan keberhasilan dalam usaha penanaman mangrove kembali pada suatu wilayah adalah penentuan jenis mangrove harus sesuai dengan jenis dan kondisi tanah di wilayah tersebut.

Tabel 11. Komposisi jenis mangrove yang didapatkan

No. Nama Spesies Stasiun

Tepi pantai Tambak Muara sungai

1 Rhizophora stylosa √ √ √

2 Rhizophora apiculata √ √ √

3 Rhizophora mucronata - √

-4 Sonneratia alba √ √ √

5 Avicennia marina* - -

-Keterangan : √ = ditemukan ; - = Tidak ditemukan ; * = ditemukan di luar transek (Data primer diolah tahun 2012)

Ekosistem mangrove di Desa Pasarbanggi merupakan satu dari beberapa ekosistem mangrove yang ada di Kabupaten Rembang yang masih relatif baik kondisinya sehingga menjadi alasan untuk dijadikan sebagai lokasi penelitian. Rata-rata lokasi mangrove di Desa Pasarbanggi berada disekitar lahan tambak penduduk. Mangrove di Desa Pasarbanggi adalah mangrove hasil restorasi yang dilakukan selama lebih dari 30 tahun, sehingga perkembangannya sekarang ini hampir menyerupai ekosistem mangrove asli (Kusmana 2005).

Lokasi stasiun satu terletak di tepi pantai dengan pengambilan titik koordinat 6o42’10.02” LS dan 111o22’49.0” BT. Mangrove pada stasiun satu didominasi jenis Rhizophora stylosa, jenis paling banyak kedua adalah

Rhizophora apiculata dan paling sedikit adalah jenis Sonneratia alba.

Lokasi stasiun dua terletak di sekitar tambak penduduk pada koordinat 6o41’56.4” LS dan 111o23’10.0” BT. Lokasi stasiun dua didominasi jenis

Rhizophora stylosa dan Rhizophora mucronata. Pada stasiun ini jenis Rhizophora apiculata dan Sonneratia alba jumlahnya hanya sedikit.

(38)
(39)

Nilai Indeks Nilai Penting (INP) merupakan nilai yang digunakan untuk mengetahui apakah suatu jenis mangrove mempunyai pengaruh atau peranan yang besar terhadap ekosistem mangrove tersebut. Nilai INP diperoleh dari total penjumlahan kerapatan relatif, penutupan relatif dan frekuensi relatif. Menurut Bengen (2002) nilai penting suatu jenis berkisar antara 0% dan 300%.

Spesies Rhizophora stylosa mempunyai pengaruh yang paling besar karena memiliki penyebaran paling luas di ekosistem mangrove Desa Pasarbanggi (Tabel 12). Jenis Rhizophora sp. banyak mendominasi ekosistem mangrove di Desa Pasarbanggi dikarenakan adanya faktor substrat lumpur berpasir, dimana jenis Rhizophora sp. dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada jenis substrat ini (Bengen 2002; Gunarto 2004; Setyawan dan Winarno 2006). Pada dasarnya jenis Rhizophora sp. sering kali berkembang pada daerah intertidal yang luas, memiliki tingkat penyebaran yang luas dan mudah tumbuh.

Tabel 12. Indeks Nilai Penting pohon mangrove di tiga stasiun

Stasiun Spesies

Rhizophora stylosa 76.47 50.00 38.91 165.38

Rhizophora apiculata 19.61 33.33 32.37 85.31

Sonneratia alba 3.92 16.67 28.71 49.30

2

Rhizophora stylosa 83.33 33.33 31.08 147.74

Rhizophora apiculata 3.33 15.14 15.14 33.61

Rhizophora mucronata 8.33 11.11 15.14 34.58

Sonneratia alba 5.00 33.33 32.74 71.07

3

Rhizophora stylosa 86. 67 42.86 32.48 162.01

Rhizophora apiculata 13.33 40.95 40.95 95.23

Sonneratia alba 1.67 14.29 26.57 42.53

Sumber : data primer (diolah tahun 2012)

Mangrove sejati yang tumbuh dengan baik di Desa Pasarbanggi adalah dari jenis Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Sonneratia alba, dan Avicennia marina. Dari kelima jenis tersebut, jenis

Rhizophora stylosa mempunyai nilai INP paling tinggi dan memiliki pengaruh yang paling besar terhadap ekosistem mangrove di Desa Pasarbanggi. Dengan demikian Desa Pasarbanggi memiliki karakteristik habitat Rhizophora sp. Hal ini dapat menjadi acuan pemilihan jenis bibit ketika melakukan kebijakan dalam proses rehabilitasi dan perluasan ekosistem mangrove Desa Pasarbanggi. Proses rehabilitasi mangrove di Desa Pasarbanggi dengan memilih jenis Rhizophora sp

diharapkan bibit mangrove baru dapat tumbuh dengan baik dan proses rehabilitasi dapat berhasil. Hal ini dikarenakan jenis yang digunakan sesuai dengan kondisi umum perairan serta struktur tanah mendukung bibit mangrove untuk tumbuh.

(40)

bagaimana tingkat perkembangan ekosistem mangrove di desa tersebut setiap tahunnya apakah mengalami penurunan atau perluasan .

Perbedaan kerapatan relatif, frekuensi relatif dan penutupan jenis pada tiap stasiun dapat menjadi indikator jenis mangrove yang sebaiknya ditanam untuk proses perluasan ekosistem mangrove selain dilihat dari kondisi umum perairan dan substrat pada tiap stasiun. Semakin rapat mangrove maka akan semakin sulit dalam melakukan perluasan mangrove karena sempitnya lahan untuk dilakukan penanaman.

Tingkat kerusakan dan ancaman mangrove

Kerusakan ekosistem mangrove yang terjadi di Kabupaten Rembang secara umum disebabkan karena beberapa faktor seperti perluasan tambak, penebangan mangrove untuk kayu bakar/bangunan, reklamasi, pencemaran lingkungan dan kegiatan antropologi lain seperti menggunakan pohon mangrove sebagai tambatan kapal nelayan serta kegiatan mencari tambelo/obeng dibawah akar-akar mangrove. Pada tahun 1970 luas hutan mangrove di Desa Pasarbanggi hanya tinggal sekitar 3 Ha akibat pembukaan lahan untuk tambak garam maupun tambak ikan oleh penduduk sekitar .

Konversi ekosistem mangrove menjadi lahan tambak merupakan ancaman utama kerusakan ekosistem mangrove di Kabupaten Rembang. Ekosistem tambak di Kabupaten Rembang dapat ditemukan di sepanjang pesisir pantai. Hampir sebagian besar daratan pesisir pantai Kabupaten Rembang dimanfaatkan oleh masyarakat yang bermukim di dekat pantai sebagai lahan tambak. Dari data yang disusun Bappeda Kabupaten Rembang, luas tambak di Kabupaten Rembang semakin meningkat. Pada tahun 2007 luas tambak 1.069 Ha dan pada tahun 2011 luasnya menjadi dua kali lipat yaitu 2.386 Ha. Hal ini dapat menjadi indikator bahwa semakin banyak ekosistem mangrove yang dikonversi menjadi wilayahb pertambakan baik tambak ikan, udang, maupun garam.

Kerusakan karena penebangan mangrove terjadi akibat pencurian kayu untuk bahan bangunan maupun sebagai bahan bakar menjadi ancaman kerusakan kedua setelah konversi tambak. Masyarakat pesisir Kabupaten Rembang masih banyak yang menganggap bahwa ekosistem pesisir termasuk mangrove merupakan ekosistem sumber daya milik bersama (common property) dan dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu pandangan masyarakat mengenai hal ini dapat menjadi kendala dalam pelestarian mangrove

Kegiatan reklamasi pantai menjadi pelabuhan maupun industri yang tidak jauh dari ekosistem mangrove dapat berdampak terhadap ekosistem mangrove di Kabupaten Rembang. Perencanaan yang belum matang dalam pembuatan pelabuhan dan pembangunan industri di sekitar pantai Kabupaten Rembang yang tidak mengacu pada sistem AMDAL dapat mengancam keberadaan ekosistem mangrove secara jangka panjang.

(41)

Selain itu masih adanya nelayan yang menggunakan pohon mangrove menjadi tali pengait perahu juga menjadi ancaman bagi kelestarian mangrove di Desa Pasarbanggi.

Saat ini ekosistem mangrove di Desa Pasarbanggi mencapai 60 Ha dan kondisinya semakin baik. Pada tahun 2005 Setyawan dan Winarno (2006) juga menyebutkan bahwa kondisi mangrove di Desa Pasarbanggi relatif lebih baik dibandingkan ekosistem lainnya di Kabupten Rembang. Nilai penting tertinggi didominasi jenis Rhizophora sp. sebesar 83%, sedangkan nilai penting dari

Sonneratia sp. dan Avicennia sp. masing-masing 6% dan 9% (Setyawan dan Winarno 2006).

Ekosistem mangrove di Kabupaten Rembang khususnya di Desa Pasarbanggi sekarang merupakan ekosistem mangrove buatan hasil restorasi. Walaupun demikian secara berangsur-angsur kondisi mangrove di Desa Pasarbanggi sudah menyerupai ekosistem mangrove alami karena proses restorasi dan kemampuan homeostatis dari ekosistem mangrove tersebut selama lebih dari 20 tahun (Kusmana 2005).

Karakteristik masyarakat pemanfaat ekosistem mangrove

Masyarakat yang menjadi responden adalah perwakilan dan bagian dari masyarakat yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan mangrove di Kabupaten Rembang khususnya Desa Pasarbanggi. Adapun tipologi berdasarkan jenis pemanfaatannya dari masyarakat pemanfaat ekosistem mangrove di Desa Pasarbanggi yang menjadi responden antara lain kelompok tani mangrove, petambak, kelompok nelayan, pencari kepiting, pencari tiram, pencari kayu bakar, dan pemanfaat kayu bangunan (Gambar 6).

Gambar 6. Diagram tipologi masyarakat pemanfaat mangrove

Masyarakat pemanfaat sebagian besar memiliki usia yang berkisar antara 30-39 tahun dan 40 – 49 tahun dengan persentase 31% dan 34% dari total seluruh masyarakat pemanfaat. Kisaran masyarakat pemanfaat usia 20 – 29 adalah 4 %, 50 – 59 tahun sekitar 21%. Sedangkan masyarakat yang berusia 60 – 69 tahun sekitar 8%, dan masyarakat yang berusia lebih dari 69 tahun ada 2 % (Gambar 7).

84,79% 0,29%

0,57% 2,87% 0,29%

7,62% 3,58%

Kelompok Tani Mangrove

Kelompok Nelayan

Pemanfaat kayu bangunan

Petambak

Pencari tiram

Pencari kepiting

(42)

Gambar 7. Diagram karakteristik usia masyarakat pemanfaat

Masyarakat pemanfaat sebagian besar memiliki pendidikan akhir SD dan SMP dengan persentase sebanyak 42% dan 35%, masyarakat yang memiliki pendidikan akhir tingkat SMA/sederajat sebanyak 17 %, sedangkan yang memiliki tingkat pendidikan sampai S1 hanya 6% (Gambar 8). Kelompok nelayan, pencari tiram, pencari kayu bakar, pencari kepiting dan petambak merupakan kelompok pemanfaat yang memiliki anggota sebagian besar hanya lulusan SD dan SMP, hanya sedikit dari masyarakat pemanfaat dari dari eklompok kelompok tersebut yang memiliki pendidikan SMA. Sedangkan dalam kelompok tani mangrove tingkat pendidikan dari anggotanya relatif bervariasi dari SMP hingga S1.

Gambar 8. Diagram karakteristik pendidikan masyarakat pemanfaat Masyarakat pemanfaat terutama dari kelompok nelayan dan petambak saat ini semakin sadar akan arti pendidikan. Hal ini terlihat dari data profil desa yang menyatakan bahwa jumlah siswa SMA/sederajat pada tahun 2011 sebanyak 523 orang. Secara tidak langsung hal ini dapat menjadi indikasi bahwa tingkat pendidikan masyarakat semakin tinggi. Selain itu, lain itu banyaknya lapangan pekerjaan yang mencari pegawai minimal memiliki pendidikan akhir SMA menjadi acuan mereka bahwa untuk mencari pekerjaan swasta minimal harus berpendidikan SMA.

Tingkat pendapatan dari masyarakat pemanfaat tergolong rendah setiap bulannya. Sekitar 54% reponden memiliki pendapatan < 500 ribu, 38% pendapatan perbulannya 500 ribu - 1 juta. Tingkat pendapatan masyarakat yang memiliki pendapatan 1 juta – 1,5 juta dan > 1,5 juta memiliki persentase sama yaitu 4%. Rendahnya pendapatan masyarakat terlihat pada masyarakat yang memiliki profesi sebagai nelayan, petambak, serta pencari tiram dan kepiting

(43)

(Gambar 9). Hal ini dikarenakan usaha sebagai nelayan maupun petambak sebagian besar dilakukan secara tradisional.

Gambar 9. Diagram pendapatan masyarakat pemanfaat

Teknologi yang diterapkan oleh nelayan dan petambak rata-rata masih sederhana, sehingga hasilnya yang didapatkan dari kegiatan melaut maupun di tambak juga rendah. Nelayan di Desa Pasarbanggi terkadang harus melaut dengan kapal yang sederhana sampai ke perairan pulau Sumatera untuk mendapatkan hasil tangkapan yang cukup. Sistem pertambakan di Desa Pasarbanggi bersifat intensif yaitu dengan memanfaatkan tambak pada musim penghujan sebagai tambak bandeng maupun udang, sedangkan pada musim kemarau petambak memanfaatkan lahan sebagai tambak garam.

Masyarakat pemanfaat yang berasal dari kelompok tani mangrove, kelompok nelayan, petambak, pencari kepiting menyatakan 90% kondisi mangrove di Desa Pasarbanggi masih relatif baik. Sedangkan sebagian dari kelompok pencari tiram dan pencari kayu bakar menganggap sedang kondisi mangrove di Desa Pasarbanggi (10%) (Gambar 10). Penilaian kondisi mangrove berdasarkan kondisi yang ada dan perbandingan dengan ekosistem mangrove lain yang ada di Kabupaten Rembang.

Gambar 10. Diagram persepsi masyarakat pemanfaat terhadap kondisi mangrove Saat dilaksanakan penelitian, terlihat kondisi ekosistem mangrove di Desa Pasarbanggi memang relatif lebih baik dari pada mangrove pada wilayah Kabupaten Rembang lainnya. Hal ini didukung dengan terlihatnya kawanan berbagai jenis burung laut, larva udang, kepiting dan sekumpulan ikan ikan kecil ketika melakukan pengamatan di lapangan. Secara umum semua kelompok masyarakat pemanfaat berpendapat ekosistem mangrove di Desa Pasarbanggi kondisinya relatif bagus, bahkan cenderung semakin meningkat luasnya dari tahun

54% 38%

4% 4%

< 500 ribu 500 ribu - 1 juta 1 juta - 1,5 juta > 1,5 juta

90% 10% 0%

Gambar

Gambar 1. Alur rumusan masalah
Gambar 2. Interaksi pada ekosistem mangrove (www.fao.org)
Tabel 2. Peran pemangku kepentingan kunci dalam co-management
Tabel 4. Pengambilan responden wawancara
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan data yang diperoleh, kesimpulan yang dapat diambil adalah model pembelajaran Guided Inquiry disertai LKS audiovisual berpengaruh terhadap aktivitas dan

Ruang lingkup kegiatan Perlombaan Karya Inobel bagi Guru SD Tingkat Nasional Tahun 2018 berisi tentang pengalaman pembelajaran terbaik yang merupakan hasil inovasi

Air tanah, yang umumnya mempunyai kandungan besi dan mangan relatif lebih besar dari sumber air yang lain, pemakaiannya juga sudah harus mulai dikurangi atau dihentikan

Berdasarkan argumentasi di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah model pembelajaran PBL dan Guided Inquiry efektif terhadap kemampuan berpikir

pembersihan data, pembangun telah memilih untuk menggunakan dua kaedah iaitu menggantikan nilai yang hilang dengan dua pembolehubah global iaitu 'UNKNOWN' dan 'O'

Telah dilakukan penelitian tentang Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas Var Ayamurasaki) terhadap Bakteri Staphylococcus aureus

Kegiatan olahraga merupakan hal yang sangat penting guna menunjang prestasi olahraga adalah seberapa besar tingkat kesegaran jasmani yang dimiliki oleh seorang

Dengan demikian dalam karya seni pada umumnya dan khususnya seni lukis bentuk adalah wujud lahiriah yang merupakan organisasi medium berikut unsur-unsur seni, sehingga