• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biografi dan pemikiran rabi'ah al-adawiyah (99h/717m-181m)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Biografi dan pemikiran rabi'ah al-adawiyah (99h/717m-181m)"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Siti Rihanah

106022000918

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang telah diajukan untuk

memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 31 Maret 2011

(5)

i

Biografi Dan Pemikiran Rabi’ah Al-Adawiyah (99H/717M-185H/801M)

Riwayat hidup sufi perempuan yang bernama Rabiah al-Adawiyah (99H/717M-185H/801M) telah tersusun pada puluhan buku-buku yang ada, tetapi riwayat tersebut tidak selalu menjelaskan secara terperinci tentang biografi sufi perempuan tersebut. Terlalu banyak pembahasan mengenai Rabi’ah condong ke arah konsep mahabbah yang dilakukannya dalam sejarah Islam. Pemikiran-pemikiran Rabi’ah yang berkaitan dengan akhlak juga menarik untuk ditilik lebih dalam lagi.

Studi ini bertujuan untuk menjelaskan dan memaparkan tentang riwayat hidup Rabi’ah al-Adawiyah dan pemikiran-pemikirannya. Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah siapakah sosok seorang Rabi’ah al-Adawiyah dan apa saja pemikiran-pemikirannya.

(6)

ii

nikmat dan karunia-Nya terutama nikmat sehat, iman dan Islam, sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini sekaligus mengakhiri studi program S-1 pada

Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sholawat dan

salam selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, keluarga dan

para sahabat serta pengikut-pengikutnya hingga akhir zaman.

Ketertarikan Penulis terhadap sosok pribadi Rabi’ah al-Adawiyah dilatar belakangi oleh keunikan dan keistimewaan dalam sejarah kehidupannya. Amal

perbuatan serta pemikiran-pemikirannya masih memiliki relevansi dan manfaat

untuk dikaji dan diterapkan hingga saat kini maupun nanti. Itulah salah satu hal

yang mendorong penulis untuk menyusun skripsi mengenai biografi dan

pemikiran Rabi’ah al-Adawiyah. Hal ini juga menjadi tanggung jawab akademis dalam menyelesaikan program studi strata satu pada Jurusan Sejarah Peradaban

Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Selanjutnya, tak lupa penulis menyampaikan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada semua pihak baik langsung maupun tidak langsung yang telah

berjasa dan membantu penyelesaian penulisan skripsi ini. Melalui kesempatan ini,

penulis berkenan secara khusus menyampaikan ucapan terima kasih dan

(7)

iii

2. Bapak Drs H. M. Ma’ruf Misbah, MA. Selaku Ketua Jurusan Sejarah Peradaban Islam serta Ibu Sholikatus Sa’diyah M.Pd. Selaku Sekretaris Jurusan Sejarah Peradaban Islam yang telah membantu dalam proses

terlaksananya skripsi ini.

3. Bapak Dr. Parlindungan Siregar, M.Ag. Selaku dosen pembimbing skripsi,

yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan

bimbingan kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini.

4. Ibu Awalia Rahma, MA. dan Bapak Syamsudin Dasan, M.Ag. Sebagai

dosen penguji dalam sidang munaqosyah yang telah banyak berjasa.

5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, yang dengan sabar dan penuh keikhlasan mendidik

dan memberikan ilmunya kepada penulis.

6. Teman-teman seperjuangan jurusan Sejarah Peradaban Islam angkatan

2006 khususnya Citra Amalia, Neneng Komariah, M. Irkhamni, Yudarman

Adi Putra, A.Syairozi, Ruliyadi, M. Andi Gilang, Fadhrul Rahman dan

semuanya. Para sahabat KKN 2009, yang penulis tidak bisa menyebutkan

namanya satu persatu.

7. Kakak-kakak penulis dan kesemuanya yang senantiasa memberikan

semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Dan terlebih

(8)

iv luasnya.

Demikian ucapan terima kasih penulis, semoga kebaikan dan ketulusan

mereka dibalas oleh Allah SWT dengan pahala berlipat ganda. Terakhir semoga

skripsi ini dapat bermanfaat bagi almamater dan pembaca umumnya. Amin ya rabbal alamin

Jakarta, 31 Maret 2011

(9)

v

KATA PENGANTAR………..…. ii

DAFTAR ISI………...…... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………..………..……. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……….. 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 6

D. Tinjauan Pustaka... 6

E. Metode Penelitian……….... 8

F. Sistematika Penulisan……… 9

BAB II BIOGRAFI RABI’AH AL-ADAWIYAH A. Riwayat Hidup 1. Latar Belakang Keluarga………….……….... 11

2. Latar Belakang Pendidikan Non Formal……..….. 15

3. Syair-Syairnya..………... 17

B. Awal MulaKesufian Rabi’ah Al-Adawiyah 1. Kondisi Agama……… 20

2. Dari Budak Menjadi Seorang Sufi……….. 21

3. Rabi’ah al-Adawiyah dan Sahabat-Sahabatnya…… 28

(10)

vi

B. Jalan Menuju Mahabbah……… 38

C. Mahabbah dan Jalan Menuju Tuhan……….. 39

D. Konsep Mahabbah Dalam Tasawuf Rabi’ah Al-Adawiyah 42 BAB IV AKHLAK DALAM PEMIKIRAN RABI’AH AL-ADAWIYAH A. Tobat………. 46

B. Ridho………. 47

C. Cinta……….. 48

D. Hakikat Keimanan……… 50

E. Rendah Diri dan Riya……..………….……...………. 50

BAB V KESIMPULAN... 52

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Mistisisme dalam Islam diberi nama tasawuf dan oleh kaum Orientalis

Barat disebut sufisme. Kata sufisme dalam istilah Orientalis Barat khusus dipakai

untuk mistisisme Islam. Sufisme tidak dipakai untuk mistisisme yang terdapat

dalam agama-agama lain. Tasawuf atau sufisme sebagaimana halnya dengan

mistisisme di luar agama Islam, mempunyai tujuan memperoleh hubungan

langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang

berada di hadapan Tuhan. Intisari dari mistisisme termasuk dalamnya sufisme,

ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan

Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran berada dekat

dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad “bersatu dengan Tuhan”.

Tasawuf merupakan suatu ilmu pengetahuan dan sebagai ilmu pengetahuan,

tasawuf atau sufisme mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang Islam dapat

berada sedekat mungkin dengan Allah.1

Adapun tokoh yang sangat berpengaruh dan mempunyai peranan penting

dalam sejarah dunia tasawuf salah satunya adalah Rabi’ah al-Adawiyah.

Tampilnya Rabi’ah dalam sejarah tasawuf Islam memberikan corak lain dalam

perkembangan tasawufnya, di mana sebelumnya asketisme Islam ditandai dengan

rasa takut dan pengharapan yang dilontarkan oleh Hasan al-Bahsri, maka dia

1

Harun Nasution,Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam(Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 56.

(12)

meningkatkan menjadi asketisme rasa cinta (al-hubb atau al-mahabbah). Cinta yang murni lebih tinggi dari pada takut dan pengharapan, sebab yang suci murni

tidak mengharapkan apa-apa.2

Di samping itu, Rabi’ah juga banyak berbicara banyak hal tentang nilai -nilai kesufian selain tentang cinta, misalnya pembicaraannya tentang arti

kezuhudan, kedukaan, ketakutan, ketawadhuan, meluruskan amal perbuatan, riya,

tidak menyibukkan diri dengan makhluk, tobat, ridho, dan lain-lain. Oleh karena

itu, Rabi’ah merupakan titik peralihan dalam kezuhudan Islam menuju kemunculan tasawuf dan para sufi. Oleh karena itu ia sangat populer pada

masanya sebagaimana yang dilukiskan oleh Ibn Khallikan (1211-1282)3: “Rabi’ah

al-Adawiyah senantiasa ada dalam pandangan masa orang-orang semasanya.

Cerita-cerita tentang kesalehan dan ibadahnya, sangatlah terkenal.”4

Membahas tentang tokoh sufi yang satu ini sangat berkaitan dengan

karya-karyanya yang berupa syair-syair cinta pada Tuhan,dan pemikiran-pemikirannya.

Sebagian pengkaji tasawuf dari kalangan orientalis seperti Nicholson menganggap

bahwa urgensi Rabi’ah adalah kemampuannya memberikan warna baru dalam

kezuhudan Islam yang sebelumnya identik dengan ketakutan. Begitu pula, Syekh

Mustafa Abdul Razak dalam pembahasannya tentang Rabi’ah al-Adawiyah

menyatakan bahwa ia merupakan orang pertama yang mengembangkan oleh diri

(riyadhah) kesufian dengan lirik-lirik kecintaan terhadap Tuhan, baik melalui

2

M. Alfatih Suryadilaga,Miftahus Sufi(Yogyakarta: Teras, 2008), h. 120.

3

B. Lewis,The Encyclopaedia Of Islam(Leiden: E.J Brill, 1979), h. 832.

4

(13)

syair maupun tulisan biasa.5 Salah satu syairnya yang populer adalah “Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka, bukan pula ingin masuk surga. Tetapi aku mengabdi karena cintaku pada-Nya. Tuhanku, jika kupuja Engkau karena takut pada neraka, maka bakarlah aku di dalamnya, dan jika kupuja Engkau karena mengharapkan surga, maka jauhkanlah aku dari padanya. Tetapi jika Engkau kupuja semata-mata karena Engkau, maka janganlah sembunyikan kecantikan-Mu yang kekal itu dariku.”6

Selain syair-syair cintanya, di kalangan para sufi, Rabi’ah juga dikenal

dengan pemikirannya yang berkaitan dengan akhlak antara lain tobat, ridho, cinta,

hakikat keimanan, rendah diri dan riya, dan masih banyak lagi. Dari semua buah

pemikirannya itu mempunyai perkataan-perkataan yang mengandung nilai sangat

banyak, yang di kemudian hari digunakan oleh para sufi setelahnya.7

Sementara Rabi’ah dengan konsep cintanya ada juga tokoh lainnya yang

berperan dalam perkembangan tasawuf, yakni Zun al-Nun al-Misri dan al-Ghazali

dengan ajaran Ma’rifah yang artinya adalah mengetahui rahasia-rahasia Tuhan

dengan menggunakan hati sanubari. Dengan demikian tujuan yang ingin dicapai

oleh ma’rifah adalah mengetahui rahasia-rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan.

Dapat dipahami bahwa ma’rifah datang sesudah mahabbah sebagaimana dikemukakan oleh al-Kalabazi. Hal ini disebabkan karena ma’rifah lebih mengacu

kepada pengetahuan, sedangkanmahabbah menggambarkan kecintaan.8

5

(14)

Kemudian yang kedua adalah Abu Yazid al-Bustami (w.874 M) dengan

paham Fana, Baqa dan Ittihad. Fana artinya adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri.

Menurut pendapat lain, fana berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan. Dan dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat tercela. Sebagai

akibat dari fana adalah baqa. Secara harfiah baqa berarti kekal, sedangkan menurut para sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya (fana) sifat-sifat basyariyah (kemanusiaan), maka yang kekal adalah sifat Ilahiah. Berbicara fana dan baqa sangat erat hubungannya dengan al-Ittihad, yakni penyatuan batin atau rohaniah dengan Tuhan, karena tujuan darifanadan baqa adalah itu sendiri adalahittihad. Inilah salah satu ajaran yang dikenalkan oleh Abu yazid al-Bustami.9

Yang ketiga adalah al-Hallaj dengan paham al-Hulul, yang secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap di mana manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Dalam hal ini, pada hakikatnya hulul istilah lain dari ittihad. Sedangkan tujuan dari padahulul adalah mencapai persatuan secara batin.10

Yang keempat adalah Ibn Araby dengan pahamWahdah al- Wujud, yakni adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdahdanal-wujud. Wahdah artinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demikian wahdah al-wujud berarti kesatuan wujud. Pengertian wahdah al-wujud

9

Ibid., h. 232-235.

10

(15)

yang selanjutnya digunakan para sufi, yaitu suatu paham yang merupakan bahwa

antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuanwujud.11

Yang terakhir adalah Abdul Karim al-Jili dengan ajarannya Insan Kamil. Secara harfiah, insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikianinsan kamil berarti manusia yang sempurna.Insan kamil lebih ditujukan kepada manusia yang sempurna dari segi pengembangan potensi intelektual,

rohaniah, intuisi, kata hati, akal sehat, fitrah dan lain sebagainya yang bersifat

batin, dan bukan pada mansuia dari dimensi basyariahnya. Insan kamil juga berarti manusia yang sehat dan terbina potensi rohaniahnya sehingga dapat

berfungsi secara optimal dan dapat berhubungan dengan Allah dan dengan

makhluk lainnya secara benar menurut akhlak Islami. Manusia yang selamat

rohaniah itulah yang diharapkan dari manusiaInsan Kamil.12

Berbagai macam tokoh-tokoh sufi dalam tasawuf dan beragamnya corak

tentang pokok-pokok pemikiran tasawuf, membuat penulis ingin mengambil judul

biografi dan pemikiran Rabi’ah al-Adawiyah.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar pembahasan yang akan dibahas tidak meluas dan melebar, maka

penelitian ini dibatasi hanya pada masalah bagaimana Biografi dan Pemikiran

Rabi’ah al-Adawiyah.

Untuk memudahkan dalam pembahasan skripsi ini, penulis membuat

rumusan masalah sebagai berikut:

11

Ibid., h. 247-248.

12

(16)

1. Siapakah sosok Rabi’ah al-Adawiyah?

2. Bagaimana konsep mahabbah dalam tasawuf Rabi’ah al-Adawiyah? 3. Bagaimana akhlak dalam pemikiran Rabi’ah al-Adawiyah?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan dari penulisan ini antara lain untuk mengetahui siapa sosok

Rabi’ah al-Adawiyah, syair-syairnya, dan pemikiran-pemikirannya, selain itu penulisan ini juga bertujuan untuk memperkaya khazanah tasawuf dan mengenal

tokoh sufi wanita yang sangat berperan dalam memperkenalkan dan

mengembangkan konsep mahabbah dalam dunia tasawuf. Penulisan skripsi ini

juga diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca dan khalayak umum

terhadap ilmu pengetahuan seputar tasawuf dan tokoh sejarah Islam yakni Rabi’ah al-Adawiyah.

D. Tinjauan Pustaka

Telah banyak karya tulis baik dalam bentuk buku, kitab, maupun disertasi

yang membahas tentang Rabi’ah al-Adawiyah, di antaranya adalah:

1. Abdul Halim, menulis sebuah tesis dengan judul, “Cinta Ilahi, Studi perbandingan antara al-Ghazali dan Rabi’ah al-Adawiyah.” Abdul menulis

tentang kedua biodata sufi tersebut, cinta ilahi menurut pandangan al-Ghazali,

pengalaman dan ungkapan cinta Rabi’ah yang dimulai dari tobat, zuhud, rida,

muraqabah, muhabbah. Dan yang terakhir Abdul membuat analisis perbandingan

(17)

2. Buku yang berjudul “Rabi’ah: Pergulatan Spiritual perempuan” karya

Margaret Smith ini adalah sebuah disertasi terbitan Cambridge University Press,

London, 1928. Buku ini menjelaskan tentang Rabi’ah mulai dari kehidupan dan

masa-masa tahun pertamanya, kezuhudan, karamah-karamah dan doa-doa

Rabi’ah, masa tua hingga wafatnya Rabi’ah, dan pilihannya untuk tidak menikah.

Ringkasnya buku ini banyak mengungkap sisi-sisi kehidupan Rabi’ah sejak kecil

hingga dewasanya.

3. Kitab Robi’ah al-Adawiyah: Wa al-Hayah al-Ruhiyah fi al-Islam karangan Thaha Abdul Baqi Surur tahun 1968 membahas di antaranya kelahiran dan

pertumbuhan Rabi’ah, pengaruh Rabiah terhadap spiritualisme Islam, maqam-maqam (stasion) spiritual Rabi’ah, kedudukan Rabi’ah dalam tasawuf Islam, kezuhudan Rabi’ah dan horizon spiritual, metode spiritualnya Rabi’ah.

4. Kitab Rabi’ah al-Adawiyah: Imamah al-‘Asyiqin wa al-Mahzunin karangan

Abdul Mun’im al-Hafani terbitan Dar al-Rasyad tahun 1991 menyajikan tentang

mi’raj spiritualnya Rabi’ah, keadaan-keadaan dan stasion-stasion (maqam)-nya, analisis terhadap tingkah laku para laki-laki dan wanita yang ada di sekitar

Rabi’ah dan hubungan mereka dengan Rabi’ah.

Meski banyak sarjana dan mahasiswa yang melakukan penelitian tentang

sejarah hidup Rabi’ah, namun sejauh ini belum ada studi yang membahas tentang

biografi dan pemikiran-pemikirannya secara luas. Karena itu penulis merasa perlu

melakukan penelitian tentang riwayat hidup dan pemikiran-pemikiran Rabi’ah al

(18)

E. Metode Penelitian

Dalam tujuan studi ini adalah untuk mencapai penulisan sejarah, maka

upaya merekonstruksi masa lampau dari objek yang diteliti itu ditempuh melalui

metode sejarah dan menggunakan penelitian deskriptif analisis, yaitu mencoba memaparkan kehidupan seorang sufi wanita Rabi’ah al-Adawiyah dan pemikiran-pemikirannya. Oleh karena itu dalam penelitiannya penulis menggunakan

langkah-langkah dalam penelitian sejarah, seperti:

1. Heuristik atau teknik pengumpulan data. Maka dalam pengumpulan data-data untuk bahan penulisan ini, penulis melakukan penelitian kepustakaan (Library Research) dengan merujuk kepada sumber-sumber yang berhubungan dengan tema dalam skripsi ini, seperti buku-buku, kitab, tesis dan disertasi. Dalam hal ini,

penulis mengunjungi beberapa perpustakaan seperti Perpustakaan Utama UIN

Syrif Hidayatullah, di sini penulis menemukan beberapa buku dan sebuah tesis

karya Abdul Halim yang mana tesis ini merupakan sebuah sumber primer. Selain

tesis, di perpustakaan ini penulis juga mendapatkan sumber primer lain yg berupa

dua kitab karangan Thaha Abdul Baqi Surur dan Abdul Mun’im al-Hafani. Selanjutnya penulis mendatangi Perpustakaan Umum Daerah Jakarta Selatan, di

sini penulis menemukan buku yang merupakan sebuah sumber sekunder dalam

penulisan ini. Dan yang terakhir Perpustakaan Iman Jama’, di sini penulis mendapatkan beberapa buku yang sangat bermanfaat salah satunya buku Margaret

Smith terbitan Cambridge University Press. Buku ini adalah suatu disertasi karya

(19)

2. Kritik sumber yaitu tahap dimana peneliti melakukan kritik sumber setelah

semua sumber-sumber yang diperlukan dalam penelitian sudah terkumpul.

Tujuannya adalah untuk menguji keabsahan tentang keaslian sumber (otentisitas)

yang dilakukan melalui kritik ekstern, dan keabsahan tentang kesahihan sumber (kredibilitas) yang ditelusuri melalui kritikintern.

3. Interpretasi atau penafsiran sejarah seringkali disebut juga dengan analisis sejarah, yaitu mencoba menguraikan sejarah hidup Rabi’ah dan pemikiran -pemikirannya, karena data-data yang sudah dilakukan kritik sumber biasanya

masih berbeda-beda dalam isinya. Oleh karena itu dalam teknik interpretasi ini

diharapkan penulis mampu mengurai perjalanan hidup Rabi’ah beserta buah pemikirannya yang sangat bermakna.

4. Tahap terakhir dalam suatu penelitian adalah historiografi yaitu tahap

penulisan atau pelaporan tentang hasil penelitian.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam skripsi ini terdiri dari lima bab yang

perincinnya sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan, yang terdiri dari: latar belakang masalah, pembatasan

dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan pustaka, metode

penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Biografi Rabi’ah al-Adawiyah yang terdiri dari: riwayat hidup, latar belakang keluarga, latar belakang pendidikan non formal, syair-syairnya. Awal

(20)

budak menjadi seorang sufi, Rabi’ah dan sahabat-sahabatnya, serta yang terakhir adalah wafatnya Rabi’ah al-Adawiyah.

Bab III: Menjelaskan tentang proses menuju mahabbah dalam pemikiran

Rabi’ah al-Adawiyah yang isinya terdiri dari: pengertian mahabbah, jalan menuju mahabbah, mahabbah dan jalan menuju Tuhan, serta konsep mahabbah dalam

tasawuf Rabi’ah al-Adawiyah.

Bab IV: Menjelaskan tentang akhlak dalam pemikiran Rabi’ah al-Adawiyah yang berkaitan dengan: tobat, ridho, cinta, hakikat keimanan, rendah diri dan riya.

Bab V : Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi tentang kesimpulan dari

(21)

BAB II

BIOGRAFI RABI’AH AL-ADAWIYAH

A. Riwayat Hidup

1. Latar Belakang Keluarga

Ismail, ayah dari Rabi’ah adalah orang yang menghabiskan masa siangnya dengan bekerja, dan beribadah di waktu malamnya. Pendapatannya terlalu sedikit,

sehingga tidak mencukupi untuk keperluan istrinya yang tengah mengandung, dan

ketiga anak perempuannya. Akan tetapi ia tetap merasa cukup dengan rezeki yang

sedikit itu, ia senantiasa bersyukur kepada Allah atas nikmat-Nya serta

beristighfar, ia juga tidak pernah memandang berat kepada dunia dan tidak tamak

untuk mencarinya.

Pernah suatu ketika Ismail berdoa agar ia dikaruniai seorang anak

laki-laki. Keinginan untuk memperoleh anak laki-laki ini disebabkan karena keluarga

Rabi’ah bukanlah termasuk keluarga yang kaya raya, tapi sebaliknya hidup serba kekurangan dan penuh penderitaan. Setiap hari ayahnya kerap memeras keringat

untuk menghidupi keluarganya, sementara anak-anaknya saat itu masih terbilang

kecil-kecil. Apalagi ditambah dengan calon anak yang tengah dikandung sang

istri, beban penderitaan ayahnya pun dirasakan semakin bertambah berat,

sehingga bila kelak dikaruniai anak laki-laki, diharapkan beban penderitaan itu

akan berkurang karena anak laki-laki bisa melindungi seluruh keluarganya. Atau

paling tidak bisa membantu ayahnya untuk mencari penghidupan.

(22)

Pada suatu malam yang gelap gulita, tibalah waktu bagi sang istri untuk

melahirkan anak ke-empatnya.1 Diceritakan oleh Fariduddin Al-Attar bahwa pada

masa kelahiran Rabi’ah tidak terdapat satu pun barang berharga di rumah Ismail, bahkan tidak terdapat setetes minyak untuk mengoles pusar anaknya yang baru

lahir, apalagi minyak untuk penerang. Di dalam rumah tersebut juga tidak terdapat

sehelai kain untuk menyelimuti sang bayi. Istrinya meminta agar Ismail pergi ke

tetangga untuk minta sedikit minyak guna menyalakan lampu. Akan tetapi ayah

Rabi’ah telah bersumpah bahwa ia tidak akan meminta sesuatu pun kepada manusia lain, sehingga ia pura-pura menyentuh pintu rumah tetangganya, lalu

kembali ke rumah dan melaporkan bahwa tetangganya sedang tidur sehingga tidak

membukakan pintu.

Pada tengah malam setelah Rabi’ah dilahirkan, ayahnya bermimpi bertemu dengan Rasulullah yang berkata padanya: “Jangan engkau merasa sedih, karena anak perempuan yang baru dilahirkan tadi kelak akan menjadi seorang perempuan yang utama, yang nantinya tujuh puluh ribu dari ummatku membutuhkan syafa’atnya.” Dalam mimpi tersebut Nabi juga memberi perintah

agar besok menemui Isa Zaidan, seorang amir dengan menyampaikan sepucuk

surat berisi pesan Rasulullah seperti yang diperintahkan dalam mimpinya. Isi surat

tersebut “Hai Amir, engkau biasanya membaca shalawat seratus kali setiap malam dan empat ratus kali setiap malam Jum’at. Tetapi dalam Jum’at terakhir

ini engkau lupa membacanya. Oleh karena itu, hendaklah engkau membayar empat ratus dinar kepada yang membawa surat ini, sebagai kafarat atas

1

(23)

kelalaianmu.”2 Ayah Rabi’ah terbangun dan menangis, ia lalu bangkit dari tempat tidurnya dan langsung menulis surat serta mengirimkannya kepada Amir melalui

pembawa surat pimpinan itu. Ketika Amir telah selesai membaca surat itu, ia

berkata: “Berikan dua ribu dinar kepada orang tersbut sebagai tanda terima

kasihku, sebab Nabi telah mengingatkanku untuk memberi empat ratus dinar

kepadanya dan katakana padanya bahwa aku ingin agar ia menghadapku supaya

aku dapat bertemu dengannya. Tetapi aku rasa tidaklah tepat bahwa orang seperti

itu harus datang kepadaku, akulah yang akan datang kepadanya dan mengusap

penderitaannya dengan jenggotku.3

Rabi’ah lahir sekitar tahun 99H/717M4 dengan nama lengkap Rabi’ah

binti Ismail al-Adawiyah al-Bashriyah al-Qaisiyah di suatu perkampungan dekat

kota Basrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185H/801M.5 Mengenai

kelahirannya ada juga yang menyebut tahun 714. Hal ini dikarenakan sangat

gelapnya kehidupan orang tuanya pada saat ia dilahirkan.6

Di tengah-tengah kota Basrah yang penuh dengan kekayaan, Rabi’ah

tumbuh di sebuah rumah yang terpencil dengan keluarga yang menderita

kelaparan dan kemiskinan. Walaupun keadaan yang secara lahiriah serba

kekurangan akan tetapi Rabi’ah kaya akan iman dan takwa. Rabi’ah telah banyak

mengambil pelajaran agama, qana’ah dan wara’ dari sang ayah. Rohaninya pun

2

Asep Usman Ismail, dkk., Tasawuf (Jakarta: Pusat Studi Wanita, 2005), h.132-133.

3

Margaret Smith,Rabi’ah: Pergulatan Spiritual Perempuan. Penerjemah Jamilah Baraja (Surabaya: Risalah Gusti,1997), h. 8.

4

Margaret Smith, “Rabi’a al-‘Adawiyya al-Kasiyya” dalamThe Encyclopaedia Of Islam New Edition, ed. CE Bosworth vol. viii (Leiden: E.J. Brill, 1995), h. 354-356.

5

Rosihon Anwar dan Mukhtar Solohin,Ilmu Tasawuf (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2007), h. 119.

6

(24)

mulai berkembang, sehingga ia sangat gemar membaca Al-Quran. Dia telah

membaca dan menghafalnya dengan penuh khusyuk serta memahami maknanya

dengan penuh yakin dan iman yang mendalam.7

Diceritakan bahwa Rabi’ah telah hafal Al-Quran pada usia sepuluh tahun. Kecepatan Rabi’ah dalam menghafal Al-Quran dapat dimaklumi, karena ia sangat suka menghafal. Rabi’ah tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga biasa dengan kehidupan orang shaleh yang penuh zuhud. Ayahnya menghendaki

agar anaknya terpelihara dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik, yang dapat

menjadi penghalang bagi pertumbuhan jiwanya, dan dapat menyekat

kesempurnaan bathiniyahnya. Maka Rabi’ah sering dibawa ayahnya ke sebuah musholla di pinggiran kota Bashrah. Di tempat inilah Rabi’ah sering melakukan ibadah dan munajat, berdialog dengan Sang Khalik.8

Sejak kecil, Rabi’ah sudah terbiasa menggantungkan semua harapannya kepada dirinya sendiri. Ia sangat memahami kondisi ekonomi orang tuanya,

sehingga dia tidak pernah merasa menuntut banyak terhadap orang tuanya. Ia

selalu menerima apapun yang diberikan padanya. Pada masa kanak-kanak Rabiah

telah ditinggal mati oleh kedua orang tuanya dan hal ini tidak menjadikannya

asing dengan kemiskinan dan penderitaan, ia tidak merasa canggung bekerja dari

pagi hingga sore untuk menyambung hidupnya.9

Kini Rabi’ah hidup bersama dengan tiga saudara perempuannya. Ia meneruskan pekerjaan ayahnya dengan menyebrangi orang di sungai Dijlah

7

Semait,100 Tokoh, h. 477.

8

Ismail,Tasawuf, h. 133.

9

(25)

dengan sampannya. Hal ini ia lakukan secara terus-menerus hingga pada akhirnya

ia dikenal dengan nama Rabi’ah al-Adawiyah.10 2. Latar Belakang Pendidikan Non Formal

Rabi’ah al-Adawiyah dari Basrah adalah seorang sufi wanita yang pertama kali memperkenalkan konsep mahabbah dalam bidang tasawuf. Seorang penyair ‘Attar menulis, “Posisi Rabi’ah sangat unik, sebab dalam kaitannya dengan Tuhan

dan pengetahuannya mengenai ilmu-ilmu ketuhanan tidak ada bandingannya. Dia

sangat dimuliakan oleh semua pelaku sufi besar pada masanya, dan otoritas

kesufiannya tidak diragukan lagi di kalangan sahabat-sahabatnya.” Dialah salah

satu di antara sufi yang tidak mengikuti tokoh-tokoh sufi terkemuka lainnya, dan

menerima otoritas mereka di dalam masalah religius, jadi tidak seperti umumnya

para sufi yang lain, bahkan nampaknya dia tidak pernah belajar di bawah

bimbingan Shaykh atau pembimbing spiritual manapun, namun Rabi’ah mencari

sendiri berdasarkan pengalaman langsung kepada Tuhan.11 Ia tidak pula

meninggalkan ajaran secara tertulis langsung dari tangannya sendiri, melainkan

ajarannya dikenal melalui para muridnya dan baru ditulis setelah beberapa lama

setelah wafatnya.12 Abdul Qadir Jailani (w.1166M), membagi para pencari Tuhan

kepada dua kelompok.

Pertama, mereka yang mencari seorang guru untuk memberi pengajaran kepada mereka jalan yang menuju kepada Tuhan, untuk menjadi perantara antara

10

Semait,100 Tokoh, h. 478.

11

Margaret Smith,Mistisisme Islam Dan Kristen Sejarah Awal dan Pertumbuhannya. Penerjemah Amroeni Dradjat (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 277.

12

(26)

mereka dan Tuhan, dan kelompok ini tidak akan menerima bukti kebenaran

apapun di mana mereka tidak mengikuti jejak langkah Nabi sebelumnya.

Kedua, mereka yang dalam pencariannya menapaki jalan, dengan tidak mengikuti berbagai jalan yang dilalui makhluk Tuhan lainnya, karena Tuhan telah

membersihkan hati mereka dari segala sesuatu selain memusatkan hati mereka

semata-mata kepada Tuhan. Dari pembagian kelompok ini, Abdul Wahid

memasukkan Rabi’ah al-Adawiyah ke dalam kelompok yang kedua.13

Rabi’ah tidak pernah mengecap manisnya sekolah ataupun pergi ke rumah guru untuk belajar menjadi seorang sufi, tetapi kemasyhurannya telah sampai

menjangkau Eropa. Para sarjana Barat seperti Margaret Smith, Masignon, dan

Nicholson sangat kagum akan sejarah hidup wanita shaleh ini. Buah renungan

Rabi’ah kaya akan ilmu yang mendalam sehingga para sarjana sangat menaruh minat untuk meneliti buah pikirannya.

Maha suci Allah yang telah membalas keimanan dan ketakwaan seorang

hambanya yang bernama Ismail. Ismail adalah seseorang yang miskin harta tapi

kaya akan rasa cinta dan syukur kepada Tuhannya. Ia tidak bisa memberikan anak

perempuannya sebuah pendidikan yang layak karena keterbatasan ekonomi. Tapi

hal ini tidak membuat ia pasrah, justru semua ilmu yang ia miliki ia amalkan

bersama dengan anaknya, dengan cara sering mengajak Rabi’ah pergi ke musholla. Ia tanamkan segala hal-hal baik dan terpuji dalam diri Rabi’ah hingga Rabi’ah memiliki hati yang suci dan bersih. Warisan inilah yang menjadi bekal Rabi’ah hingga Rabi’ah bisa dikenal sebagai tokoh sufi. Al-Mahabbah (cinta

13

(27)

murni kepada Tuhan) merupakan puncak tasawuf Rabi’ah. Sungguh banyak syair-syair sufistik gubahannya yang berisi ungakapan cinta kepada Allah. Bahkan

gubahan syairnya itu, kemudian dalam kehidupan sufi lainnya, seperti Ibnu

al-Farij, al-Hallaj, Jalaluddin al-Rumi, dll, digunakan kembali dalam hidup sufistik

mereka.14

3. Syair-Syairnya

Rabi’ah tidakmeninggalkan ajaran secara tertulis langsung dari tangannya sendiri, melainkan ajarannya dikenal melalui para muridnya dan baru ditulis

beberapa lama setelah wafatnya.15 Sepanjang perjalanan hidupnya, Rabi’ah telah banyak melahirkan karya-karya yang berupa syair yang sangat melegenda. Di

antara syairnya yang terkenal adalah:

“Aku mencintai-Mu dengan dua cinta, cinta karena diriku dan karena diri-Mu. Cinta karena diriku adalah keadaanku senantiasa mengingat-Mu. Cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir sehingga Engkau kulihat. Baik untuk ini maupun untuk itu pujian bukanlah bagiku. Bagi-Mulah pujian untuk kesemuanya.”

Dalam syairnya yang lain, Rabi’ah mengatakan:

“Kucintai Engkau lantaran aku cinta, dan lantaran Engkau patut untuk dicintai, cintakulah yang membuat rindu kepada-Mu, Demi cinta suci ini, sibakkanlah tabir penutup tatapan sembahku. Janganlah Kau puji aku lantaran itu, bagi-Mulah segala puji dan puji.”16

Ada juga syairnya yang menyatakan:

“Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi. Beri ampunlah pembuat dosa yang datang kehadirat-Mu. Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku. Hatiku telah enggan mencintai selain Engkau.”17

14

Noer Iskandar Al-Barsany,Tasawuf, Tarekat Dan Para Sufi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 143.

(28)

Dalam kesempatan bermunajat, Rabi’ah kerapkali menyampaikan:

“Wahai Tuhanku, tenggelamkan aku dalam mencintai-Mu, sehingga tidak ada yang menyibukkan aku selain diri-Mu. Ya Tuhan, bintang di langit telah gemerlapan, mata telah bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci dan tiap pecinta telah menyendiri dengan yang dicintai, dan inilah aku berada di hadirat-Mu.”

Cinta Rabi’ah kepada Tuhan begitu mendalam dan memenuhi seluruh relung hatinya, sehingga membuatnya hadir bersama Tuhan. Hal ini seperti

terungkap dalam syairnya:

“Kujadikan Kau teman berbincang dalam kalbu. Tubuhku pun biar berbincang dengan temanku. Dengan temanku tubuhku bercengkrama selalu. Dalam kalbu terpancang selalu kekasih cintaku.”18

Terkadang kecintaan Rabi’ah terhadap Allah mampu menjadikannya tak merasakan kehadiran dirinya sendiri, karena kehadirannya bersama Allah

sebagaimana yang diungkapkannya dalam pernyataannya berikut ini:

“Aku menjadikan-Mu sebagai perkataan dalam hatiku, ragaku semata-mata hanya untuk zat yang menghendaki dudukku, ragaku adalah untuk zat yang duduk dengan riang gembira. Dan kekasih hatiku, bergembira dalam benakku.”

Rabi’ah mempunyai bait-bait syair lainnya yang menunjukkan kedalaman arti cinta terhadap Tuhan, yaitu:

“Aku mencintai-Mu melalui dua kecintaan: cinta hawa (hasrat) dan cinta karena Engkau adalah zat yang berhak mendapatkan itu. Zat yang aku cintai dengan kecintaan hawa akan membuatku mengingat-Nyadan melupakan selain-Nya. Sedangkan cinta karena engkau adalah zat yang berhak untuk dicintai. Maka bukakanlah tirai, sehingga aku bisa melihat-Mu. Tak ada puji terhadapku atas semua itu. Namun puji syukur hanya kepada-Mu atas semua itu.”19

Sewaktu fajar menyingsing, Rabi’ah berkata:

18

Anwar dan Solihin,Ilmu Tasawuf, h. 122.

19

(29)

“Tuhanku, malam telah berlalu dan siang telah siap menampakkan diri. Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima hingga aku merasa bahagia. Ataukah Engkau tolak sehingga aku merasa sedih. Demi kemahakuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan selama Engkau beri aku hayat. Sekiranya Engkau usir aku dari depan pintu-Mu, aku tidak akan pergi, karena cintaku pada-Mu telah memenuhi hatiku.”20

Rasa rindu Rabi’ah pada kekasihnya, selalu terungkap dalam bentuk syair -syair sehingga banyak -syair yang tercipta yang sarat dengan makna. Di antaranya:

Ya Allah jika kelak di hari kiamat Engkau memasukkanku di neraka, aku akan ungkapkan rahasia sehingga neraka akan lari dari sisiku selama 1000 tahun. Ya Allah kepada musuh-musuh-Mu berikan apa saja yang mereka inginkan di dunia ini, berikan kepada wali-Mu apa saja di akhirat nanti. Akan tetapi..bagiku..cukuplah Engkau semata. Ya Allah apa pun yang Engkau karuniakan kepadaku di dunia berikanlah kepada musuh-musuh-Mu. Dan apa pun yang Engkau karuniakan kepadaku di akhirat nanti berikanlah kepada sahabat-sahabat-Mu.21

Rabi’ah pernah berkata pada sahabatnya:

Saudaraku-saudaraku, khalwat merupakan ketenangan dan kebahagiaan. Kekasih selalu di hadapanku tak mungkin aku mendapat pengganti-Nya. Cinta-Nya pada makhluk cobaan bagiku. Dialah tujuan hidupku, oh, hati yang ikhlas oh, tumpuan harapan Berilah jalan untuk meredam keresahanku. Oh Tuhan sumber kebahagiaan dan hidupku pada-Mu saja kuserahkan hidupdan keinginan. Kupusatkan seluruh jiwa ragaku demi mencari ridha-Mu. Apakah harapanku akan terwujud?22

Kalimat di atas memberi isyarat bahwa Rabi’ah sebenarnya khawatir atas perhatian kekasih yang dicintainya terhadap makhluk yang lain. Cinta Tuhan

kepada semua makhluk dianggapnya sebagai ujian. Hal itu menandakan bahwa di

dalam diri Rabi’ah terdapat perasaan cemburu pada yang lainnya.23

20

Anwar dan Solihin,Ilmu Tasawuf, h. 122-123.

21

Ismail,Tasawuf, h.139.

22

Ibid., h. 141.

23

(30)

B. Awal MulaKesufian Rabi’ah Al-Adawiyah

1. Kondisi Agama

Sekitar abad hijrah kedua muncul, Irak telah menjadi sebuah pusat kota

yang mewah, dan Basrah juga telah menjadi kota yang penuh kemajuan. Di sana

terdapat rumah yang disediakan untuk hiburan dan permainan nafsu.

Gedung-gedung dan istana-istana telah dipenuhi dengan wanita-wanita lacur, bahkan

penyelewengan hidup telah meratai semua lapangan kehidupan dan masyarakat

umumnya.

Di samping semua ini, terdapat beberapa golongan dari para mu’minin yang bertakwa, dan orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa, mencari jalan

mereka untuk mengasingkan diri dan menetap jauh-jauh dari manusia. Di dalam

pondok-pondok yang bersebaran di merata kota Basrah itu, tanpa dipandang oleh

siapapun. Di sanalah, di dalam sebuah pondok yang kecil, terpisah jauh dari

pondok-pondok lainnya, ada seorang fakir yang tidak mempunyai apa-apa

menetap di sana. Pekerjaannya menyeberangkan orang atau penumpang di dalam

sebuah sampan antara dua tebing Dijlah. Orang ini sangat bertakwa, tersingkir

dari sifat duniawi, dan rohaninya penuh dengan keimanan, ia tidak pernah lelah

beribadah kepada Allah. Oleh karena itu, ia dikenal sebagai al-Abid, yakni orang

yang banyak beribadah.24 Al-Abid yang dimaksud di sini adalah Ismail yang

merupakan seorang ayah dari Rabi’ah.

Kota Basrah yang menjadi kota segala bangsa dan aliran, telah menjadi

ajang pertentangan antara satu aliran dengan aliran yang yang lain. Di kota ini

24

(31)

terdapat pengikut Khawarij dan pengikut Syi’ah. Jika terjadi pemberontakan atau kerusuhan-kerusuhan antara penduduk kota Basrah, maka sudah dapat

dibayangkan penguasa Bani Umayyah tidak akan berpangku tangan membiarkan

berkobarnya pertentangan atau pertumpahan darah di antara pengikut-pengikut

macam aliran itu. Peristiwa yang menyedihkan ini banyak terjadi pada abad kedua

Hijriah. Seolah-olah Allah hendak menghukum manusia yang selalu ingin berbuat

onar, dan menimbulkan perpecahan.

Sejak itu kota Basrah mengalami berbagai bencana alam, seperti

kekeringan akibat kemarau panjang. Kota yang pada mulanya makmur dan

berkembang, sekarang menjadi kota yang dilanda kemiskinan dan bencana alam.

Tentu saja yang paling menderita dalam suasana yang serba sulit ini adalah kaum

miskin. Rabi’ah dan saudara-saudaranya tidak luput dari penderitaan ini. Hingga pada akhirnya Rabi’ah dan ketiga saudaranya terpaksa meninggalkan rumah mereka dan mulai berkelana ke berbagai daerah untuk mencari hidup. Dalam

pengembaraan ini, dikisahkan bahwa Rabi’ah terpisah dari ketiga saudaranya dan tinggalah Rabi’ah seorang diri. Dalam keadaan seperti ini Rabi’ah jatuh ke tangan perampok yang kemudian dijual sebagai hamba sahaya dengan harga enam

dirham.25

2. Dari Budak Menjadi Seorang Sufi

Setelah dijual oleh perampok seharga enam dirham, Rabi’ah menjalani hari-harinya sebagai budak atau hamba sahaya pada suatu keluarga yang berasal

dari kaum Mawali Al-Atik, yang masih ada hubungannya dengan Bani Adwa, dan

25

(32)

nama lengkap yang dipakainya adalah nama umum yang dipakai pada saat itu.

Atik berasal dari suku Qais, dari sinilah ia dikenal dengan Qaisiyah atau

Al-Adawiyah.26

Tuan yang membeli Rabi’ah memberlakukannya dengan kejam dan bengis, tanpa pandang bulu, bahkan kepada wanita yatim piatu seperti Rabi’ah. Orang yang pernah jatuh ke tangannya jarang berhasil melepaskan dirinya, ibarat

tikus telah berada di bawah cengkraman cakar-cakar kucing yang tajam. Namun

Rabi’ah menghadapi semua cobaan itu dengan segala kekuatan imannya. Kekejaman majikannya tidak menjadikan Rabi’ah putus asa, akan tetapi semakin memperkokoh imannya. Ia mengisi hari-harinya dengan berbagai macam

kesibukan. Jika pada siang hari ia harus bekerja membanting tulang melakukan

berbagai macam pekerjaan yang dibebankan tuannya kepadanya, maka pada

malam hari ia mengisi waktunya dengan beribadah kepada Allah. Ia selalu berdoa

kepada Allah dan memohon ampunan serta ridho-Nya. Tidak jarang, dalam

doanya ia seolah-olah berbicara langsung dengan Allah sambil air matanya

bercucuran. Dalam doanya kepada Allah, Rabi’ah selalu mencurahkan isi hatinya yang sedang bergejolak: “Oh Tuhanku, aku seorang anak yatim yang teraniaya. Aku terbelenggu dalam perbudakan. Namun aku akan sabar dan rela menanggung penderitaan yang sedang menimpaku. Namun demikian, aku tidak kuasa menahan penderitaan yang lebih hebat yang sedang mengganggu perasaan hatiku karena aku masih bertanya-tanya dan masih belum mendapatkan jawabannya: ‘Apakah Engkau ridho akan aku?’ Sejak saat itu Rabi’ah terus

26

(33)

berusaha meningkatkan keimanannya, sehingga ia tidak memperdulikan segala

penderitaan yang sedang ia hadapi. Ia bagaikan seorang wanita yang sedang

mengarungi alam rohani yang amat luas untuk mencari ampunan dan ridho

Allah.27

Suatu hari, seorang asing datang kepadanya dan melihat Rabi’ah sedang tidak memakai cadar. Lalu laki-laki itu mendekatinya. Rabi’ah meronta-ronta dan menarik dirinya hingga ia terpeleset dan jatuh. Mukanya tersungkur di pasir panas

sambil berkata, “Ya Allah, aku adalah seorang musafir tanpa ayah dan ibu, seorang yatim piatu dan budak. Aku telah terjatuh dan terluka, meskipun demikian aku tidak bersedih hati oleh kejadian ini, aku hanya ingin ridho-Mu dan aku sangat ingin mengetahui apakah Engkau ridho terhadapku atau tidak.” Setelah itu ia mendengar suara yang mengatakan, “Janganlah bersedih, sebab pada saat Hari Perhitungan nanti derajatmu akan sama dengan orang-orang terdekat dengan Allah di dalam surga.”28

Musibah yang tiada henti semakin mendekatkannya pada Ilahi. Pada suatu

malam tuannya terbangun dan mendengar suara rintihan. Dari celah-celah kamar

ia mengintip apa yang dilakukan Rabi’ah. Ia tertegun melihat Rabi’ah sedang

bersujud seraya berdo’a, “Ya Tuhanku, Engkau tahu bahwa hatiku selalu mendambakan-Mu dan benar-benar tunduk pada perintah-Mu. Cahaya mataku mengabdi pada kerajaan-Mu, jika itu terserah pada-Mu, aku tak akan berhenti menyembah-Mu barang sesaat pun. Namun Engkau telah membuatku tunduk

27

Khamis,Penyair Wanita Sufi, h. 16-17.

28

(34)

kepada seorang makhluk, oleh karena itu aku terlambat datang dalam beribadah kepada-Mu.

Dengan mata kepalanya sendiri tuannya menyaksikan betapa sebuah

lentera tanpa rantai tergantung di atas kepala Rabi’ah, sedangkan cahayanya

menyinari seluruh rumah. Setelah melihat peristiwa tersebut, ia merasa takut dan

beranjak ke kamar tidurnya, lalu duduk merenung hingga fajar tiba. Esok paginya

ia memanggil Rabi’ah dengan suara lembut dan membebaskannya serta

mempersilahkan andai Rabi’ah masih mau tetap tinggal bersamanya. Rabi’ah

memilih untuk meninggalkan rumah tuannya.

Dengan kebebasan yang diperolehnya, ia curahkan hidupnya di

masjid-masjid dan tempat-tempat pengajian agama. Tidak ada sesuatu pun yang dapat

memalingkan hidupnya dari mengingat Allah. Dalam masa selanjutnya ia telah

berhasil mencapai tingkat yang tinggi dalam bidang kerohanian, dan ia selalu

melantunkan doa: “Ya Allah aku berlindung dari hal-hal yang memalingkan aku dari Engkau dan pada setiap hambatan yang akan menghalangi Engkau dari aku.”29 Dalam hidupnya ia selalu giat beribadah, bertaubat dan menjauhi duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan

kepadanya. Bahkan dalam doanya ia tidak mau meminta hal-hal yang bersifat

materi dari Tuhan.30

Dalam perjalanan selanjutnya Rabi’ah telah memilih hidup zuhud. Selama

hidupnya ia tidak pernah menikah, semua lamaran yang ingin meminangnya

ditolak, termasuk lamaran seorang Amir Abbasiyah dari Basrah tahun 145 H,

29

Ismail,Tasawuf, h. 134.

30

(35)

yang meninggal pada 172 H yakni Muhammad bin Sulaiman Al-Hasyimi. Ia

mengajukan mahar perkawinan sebesar seratus ribu dinar dan menulis surat

kepada Rabi’ah bahwa ia memiliki gaji sebanyak sepuluh ribu dinar tiap bulan dan akan diberikan semuanya kepada Rabi’ah.31 Cara menolak lamaran amir tersebut dikatakan: “Seandainya engkau memberi warisan seluruh harta warisanmu, tidak mungkin aku memalingkan perhatianku dari Allah padamu.”32

Selain Amir Abbasiyah dari Basrah, dikisahkan juga tentang seorang gubernur

yang menulis surat kepada rakyat Basrah agar mencarikannya seorang istri.

Seluruh rakyat setuju pada Rabi’ah, dan ketika ia mengajukan lamaran dijawab

oleh Rabi’ah, “Penolakan terhadap dunia ini adalah perdamaian, sedangkan nafsu terhadapnya akan membawa kesengsaraan. Kendalikanlah nafsumu dan jangan biarkan orang lain mengendalikan dirimu. Bagimu, pikirkanlah hari kematianmu, sedangkan bagiku, Allah dapat memberiku semua apa yang telah engkau tawarkan itu dan bahkan berlipat ganda. Aku tidak suka dijauhkan dari Allah walaupun hanya sesaat. Karenanya, selamat tinggal.”33

Menurut kisah lain ada juga ulama besar yang datang kepada Rabi’ah

untuk melamarnya. Di antara mereka adalah Abdul Wahid bin Zaid, yang terkenal

dengan kezuhudan dan kesucian hidupnya, seorang ahli ilmu agama, seorang

khatib, dan penganjur hidup menyepi bagi siapa saja yang mencari jalan kepada

Tuhan. Rabi’ah menolak lamarannya tersebut dengan mengatakan, “Hai orang

yang sangat bernafsu, carilah wanita lain yang juga sangat bernafsu sebagaimana

31

Smith,Rabi’ah, h. 13-14.

32

Ismail,Tasawuf, h. 135.

33

(36)

dirimu. Apakah kau melihat ada tanda birahi dalam diriku?”34 Ada juga sumber lain yang menyebutkan Hasan al-Basri (642M-728M)35, Malik bin Dinar

(w.748M)36, dan Tsabit al-Banani mendatangi rumah Rabi’ah untuk

meminangnya. Setelah mereka masuk dan duduk bersama layaknya dalam sebuah

majlis, Hasan mulai membuka pembicaraan dan berkata, “Wahai Rabi’ah, nikah

itu merupakan sunnah Rasulullah, untuk itu silahkan engkau memilih salah

seorang di antara kami sebagai calon suamimu.”

“Ya baiklah. Namun, aku berhak mengajukan syarat. Selama ini aku

mempunyai beberapa permasalahan, barangsiapa di antara kalian yang mampu

memecahkan masalah itu, dialah yang berhak untuk menikahi diriku,” jawab

Rabi’ah. Rabi’ah kemudian mengajukan masalahnya yang pertama kepada Hasan

untuk menyelesaikannya.

“Menurut Tuan, kelak di hari Kiamat aku termasuk golongan mana?

Apakah aku termasuk golongan yang akan masuk surga atau neraka?”

“Maaf, mengenai masalah ini aku tidak tahu pasti,” jawab Hasan. Lalu

Rabi’ah bertanya lagi, “Menurut Tuan, aku ini termasuk manusia yang celaka atau

manusia yang bahagia, ketika Allah menciptakan diriku dalam kandungan ibuku?”

“Maaf, itupun aku tidak tahu pasti.” Jawab Hasan. Pertanyaan berikutnya,

“Menurut Tuan, aku termasuk golongan yang mana ketika seseorang diseru nanti,

apakah golongan yang diseru “Janganlah kamu gentar dan bersedih”, ataukah golongan yang akan diseru, “Tidak akan ada rasa gembira bagimu.”

34

Khoir,Kisah-Kisah Pencerahan Sufi, h. 126.

35

Lewis,The Encyclopaedia of Islam, h. 247.

36

(37)

“Maaf, hal itupun aku tidak tahu pasti,” jawab Hasan. Selanjutnya,

”Menurut Tuan, kuburanku nanti termasuk taman surga atau galian neraka?”

“Maaf, itu juga aku tidak tahu,” jawab Hasan. Kemudian, “Menurut Tuan,

wajahku kelak di hari Kiamat termasuk wajah yang putih berseri ataukah wajah

yang hitam kelam dan bermuram durja.”

“Maaf, itu juga aku tidak tahu,” jawab Hasan. Lalu Rabi’ah

menyampaikan pertanyaannya yang terakhir, “Menurut tuan, aku termasuk

golongan manakah kelak di hari Kiamat, ketika masing-masing manusia

dipanggil, “Fulan bin fulan bahagia” ataukah dipanggil “fulan bin fulan celaka” “Maaf, aku tidak tahu pasti,” jawab Hasan sambil menahan malu.

Akhirnya sejumlah ulama yang hadir itu pun menangis, dan keluar dari

rumah Rabi’ah dengan penuh penyesalan.37 Semua permasalahn tersebut hanya

Allah yang mampu menjawab dan tidak ada seorang pun yang mampu

menjawabnya. Terkadang Rabi’ah menjawab lamaran dengan diplomatis, “Jika

aku tetap dalam keadaan prihatin, bagaimana mungkin aku dapat hidup berumah

tangga?” Rabi’ah sadar, bahwa dengan menerima tangan pria lain dalam ikatan

pernikahan, hanya akan membuat dia tidak adil terhadap suami dan anak-anaknya,

ia tidak mampu memberikan perhatian kepada mereka, karena seluruh hatinya

hanya untuk Allah semata. Rabi’ah tidak menikah bukan semata-mata zuhud

terhadap pernikahan itu sendiri, akan tetapi karena memang ia zuhud terhadap

kehidupan itu sendiri.38

37

Syekh Usman Al-Khaubari,Kisah Cinta Rabi’ah Al-Adawiyah: Mutiara Kearifan Hidup Para Hamba Allah. Penerjemah A. Bahruddin Sholohin (Yogyakarta: DIVA Press, 2008), h. 24-26.

38

(38)

Adapun pemikiran Rabi’ah tentang sebuah pernikahan yakni, “Akad nikah

adalah hak Pemilik alam semesta. Sedangkan bagi diriku, hal itu tidak ada karena

aku telah berhenti maujud(ada) dan lepas dari diri. Aku maujud (berada) dalam Tuhan dan diriku sepenuhnya milik-Nya. Aku hidup dalam naungan firman-Nya.

Akad nikah harus diminta dari-Nya, bukan dariku.”39

Dalam fase selanjutnya, hidup Rabi’ah hanya diisi dengan zikir, tilawah

dan wirid. Duduknya hanya menerima kedatangan muridnya yang terdiri dari

kaum sufi yang memohon kebaikan dan fatwanya, hidupnya penuh dengan ibadah

kepada Allah hingga akhir hayat.40

3. Rabi’ah al-Adawiyah dan Sahabat-Sahabatnya

Kehidupan Rabi’ah dirasakan sangat bermanfaat bagi sahabat-sahabatnya.

Hal ini dikarenakan kepedulian Rabi’ah terhadap mereka. Perhatiannya yang

besar ini dibuktikan dalam sebuah kisah ketika seorang laki-laki datang dan

memohon agar sudilah kiranya Rabi’ah untuk mendoakan dirinya. Permohonan

itu dibalas dengan rasa rendah hati, “Wahai, siapakah diriku ini? Turuti perintah

Allah dan berdoalah kepada-Nya, sebab dia akan menjawab semua doa bila

engkau memohonnya.”41

Suatu hari ketika Sufyan as-Sauri (w.778/161 H) mengunjungi Rabi’ah, ia

melihat melihat seorang pedagang di pintu dengan wajah merengut. Ia bertanya

apa yang diinginkan. Laki-laki tersebut menjawab: “Aku membawa sekantong

penuh uang emas dan dinar untuk kuberikan sebagai hadiah kepada Rabi’ah dan

membantu kebutuhannya. Tetapi aku takut ia menolaknya. Dapatkah anda

(39)

meyakinkan Rabi’ah untuk menerimanya?” lalu keduanya masuk, dan si pedagang itu memberi Rabi’ah uang. Rabi’ah segera menatap kea rah atas sambil berkata,

“Dia tahu bahwa aku malu untuk meminta apa pun dari dunia ini, bagaimana aku

dapat menerimanya sekarang dari seseorang yang tidak ikut memiliki benda ini?”

Pedagang lain datang dengan ribuan uang dirham perak, dan menawarkan

sebuah rumah untuk Rabi’ah. Tampaknya pada waktu itu Rabi’ah bisa menerima

desakan laki-laki itu, ia pun pergi ke rumah tersebut. Tidak berapa lama di sana, ia

merenungkan dalam tenang dekorasi dan warnanya, seolah-olah ia sepenuhnya

perempuan lain. Tetapi, ia segera beranjak dan memohon maaf atas

kekhilafannya, dan Rabi’ah pun mengembalikan rumah itu kepada pemiliknya

sambil berkata, “Aku takut hatiku menjadi terikat pada rumah Anda, dan itu akan

mempengaruhi pengabdianku terhadap Hari Pengadilan. Seluruh keinginanku

sepenuhnya hanya untuk memuja Allah.”42

Sahabat-sahabatnya mencoba untuk tidak pernah melewatkan hari-hari

tanpa ucapan-ucapannya, mereka selalu gembira mempelajari dan menerima

petunjuknya, tetapi ia menolak bantuan mereka.

Suatu hari Malik bin Dinar (w. 748/130 H) mengunjunginya,

menjumpainya sedang duduk di tikar lusuh di lantai, di dalam rumah yang

berlantaikan tanah. Dengan terharu ia berkata, “Wahai Rabi’ah, aku memiliki

temn-teman yang kaya. Jika engkau mengizinkanku meminta sesuatu dari

mereka!”

42

(40)

Rabi’ah menjawab, “Itu hal yang tidak benar wahai Malik. Allah

memberiku sebagaimana memberi mereka. Apakah Yang mampu memberi yang

kaya, lupa memberi yang miskin? Jika itu memang cara-Nya, maka kita pun harus

mensyukuri bagian kita.”43

C. Wafatnya Rabi'ah al-Adawiyah

Pada saat menderita sakit, Rabi’ah mendapat kunjungan tiga orang

sahabatnya, yaitu Hasan al-Basri, Malik bin Dinar dan Syaqiq al-Balkhi

(w.810/194H)44. Mereka membahas tentang ketulusan dan kejujuran. Salah

seorang penulis mengatakan, bahwa kain kafan milik Rabi’ah selalu berada di

sampingnya, di tempat di mana ia selalu melakukan ibadah-ibadahnya.45

Rabi’ah mencapai usia delapan puluh tahun. Bukan hanya semata-mata

tahun yang panjang tapi waktu yang penuh dengan berkat hidup yang menyebar

ke sekitarnya atau seperti yang dikatakan Masignon, suatu kehidupan yang

menyebarkan wangi yang semerbak ke daerah sekitarnya dan cinta yang tak

pernah padam.

Mengenai akhir hidup Rabi’ah, Muhammad bin ‘Amr berkata, ”Aku

datang melihat Rabi’ah, ia seorang wanita yang sudah tua berusia delapan puluh

tahun, seolah-olah kelihatan seperti tempat air yang hampir jatuh dari

gantungannya. Di rumahnya kulihat tempat gantungan baju dari kayu dari Persia,

tingginya kira-kira dua hasta. Selain itu terdapat pula sebuah kendi dari tanah liat,

dan sebuah tikar dari bulu. Ketika ajalnya hampir tiba, ia memanggil Abdah binti

43

Ibid., h. 125.

44

Nasution, Ensiklopedi, h. 892.

45

(41)

Abi Shawwal yang telah menemaninya dengan baik, sehingga ia merupakan

sahabat dan pembantunya yang paling baik dan setia. Kepada Abdah ia berpesan,

Janganlah kematianku sampai menyusahkan orang lain, bungkuslah mayatku dengan jubahku.”46

Maka pada saat ia meninggal, ditutupinya tubuh yang telah rentan itu

dengan sebuah kain selendang dari wol yang selalu dipakainya. Abdah

mengisahkan bagaimana ia bertemu dengan Rabi’ah dalam suatu mimpi, kira-kira

setahun setelah kematiannya. Dan ia mengenakan jubah sutera berwarna hijau

dengan hiasan bordir benang emas dan kain selendang sutera brokat yang tidak

pernah dilihat oleh Abdah sebelumnya di dunia, lalu Abdah menegurnya, “Wahai

Rabi’ah, engkau kemanakan kain kafan dan selendang yang engkau kenakan pada

saat kematianmu?” Rabi’ah menjawab, “Semua itu diambil dariku dan diganti

dengan apa yang engkau lihat dan pakaian yang aku kenakan sebagai kain kafan

telah dilipat, disegel dan dibawa oleh malaikat, sehingga pakaianku akan lengkap

sudah pada saat Hari Kebangkitan nanti.” Abdah berkata padanya, “Apakah

engkau melakukan hal-hal sebagaimana hari-harimu di dunia?” Lalu ia menjawab,

“Apakah itu dapat dibandingkan dengan rahmat Allah kepada orang-orang

suci-Nya?”47

Rabi’ah memang tidak ingin menyusahkan orang lain. Beberapa orang

shaleh ingin mendampingi di saat-saat terakhirnya, tetapi Rabi’ah menolak

didampingi pada saat-saat seperti itu. “Bangun dan keluarlah!” Lapangkanlah

jalan untuk utusan Allah (malaikat) yang akan datang menjemputku. Mereka

46

Khamis, Penyair Wanita Sufi, h. 80.

47

(42)

bangkit lalu keluar. Ketika mereka menutup pintu terdengar suara Rabi’ah mengucapkan syahadat, lalu dijawab oleh suara: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu, berpuas-puaslah dengan-Nya, maka masuklah bersama golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” Al -Quran surat al-Fajr ayat 27-30.

Jiwa yang datang telah berpulang ke rahmatullah untuk menikmati

kehidupan abadi. Sesuai dengan pesan Rabi’ah, pembantu dan sahabatnya yang

setia, Abdah mengapaninya dengan jubah dan selendang dari bulu yang selalu

dipakainya. Rabi’ah telah tiada, namun ia telah meninggalkan kenang-kenangan

yang penuh dengan nilai yang luhur.

Rabi’ah telah membukakan jalan menuju ma’rifah Illahi, sehingga ia

menjadi teladan bagi orang-orang yang menuju jalan Allah itu seperti Sufyan

as-Sauri (w. 778/161H)48, Rabah bin Amr al-Qaysi, dan Malik bin Dinar. Teladan

yang ditinggalkan Rabi’ah masih terus hidup sepanjang masa bagi orang-orang

yang menuju jalan Allah.49

Rabi’ah al-Adawiyah wafat pada tahun 185 H (801 M) dan dimakamkan di

kota kelahirannya yakni di Basrah. Banyak ulama mengatakan bahwa kelahiran

Rabi’ah di dunia, dan lalu meninggalkannya ke alam lain, ia tidak pernah

menginginkan sesuatu yang lain kecuali ta’zim hanya kepada Allah, dan ia tidak

pernah menginginkan apa pun atau berdoa kepada Allah, “Berilah aku ini atau

48

Nasution,Ensiklopedi, h. 865.

49

(43)

tolong lakukan ini untukku!” dan sedikit pula ia meminta kepada makhluk

ciptaan-Nya.50

Warisan yang telah ditinggalkan dan dapat menjadi panutan dan tuntunan

kita yang masih ada di dunia adalah salah satu kelebihan yang dimiliki Rabi’ah

yakni kemampuan ilmunya sangat memadai, termasuk ilmu batin yang

menjadikan dirinya sebagai sufi yang memiliki beberapa karamah. Karena itu, ia

termasuk Wali Allah. Perasaan cinta Ilahi yang didapatkan oleh Rabi’ah dalam

perjalanan tasawufnya, tidak ada sahabat al-Suffah yang pernah mengalaminya,

maka ini juga termasuk ciri khas perkembangan tasawuf yang dialami oleh

Tabi’in di akhir abad I dan II H.51

Sejarah perjalanan hidup Rabi’ah yang diwarnai dengan lika-liku

kehidupan sekitarnya tidaklah mudah membuat Rabi’ah menjadi seorang yang

pantang menyerah. Kesungguhan dan keikhlasan dalam beribadah yang disertai

iman dan takwa yang kuat itu akhirnya mampu mengantarkan Rabi’ah untuk

bertemu dengan Tuhan. Suatu usaha yang membuahkan hasil, karena penulis sulit

membayangkan betapa pedihnya saat ia harus menjalani hari-harinya dengan

keterbatasan ekonomi, sebagai budak, menjadi yatim piatu saat masih

kanak-kanak dan terpisah dengan saudaranya saat remaja. Tapi siapa sangka bahwa

akhirnya Rabi’ah akan menjadi seorang yang dikenal di negerinya bahkan dalam

sejarah Islam.

Sebagian umurnya ia habiskan bersama dengan murid, teman dan

sahabatnya. Setelah wafatnya Rabi’ah, sungguh mereka semua sangat kehilangan

50

Smith,Rabi’ah, h. 51.

51

Mahjuddin,Akhlak Tasawuf II: Pencarian Ma’rifah Bagi Sufi Klasik dan Penemuan

(44)

suatu sosok yang patut diteladani akhlaknya. Para murid dan sahabatnya tentu

(45)

BAB III

PROSES MENUJU MAHABBAH

DALAM PEMIKIRANRABI’AH AL-ADAWIYAH

A. Pengertian Mahabbah

Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, kecintaan atau cinta yang

mendalam. Dalam Mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd (benci). Al-Mahabbah dapat pula berarti al-wadud, yakni yang sangat kasih atau penyayang. Selain itu al-mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk

memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya

seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, orang tua pada anaknya,

seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau seorang

pekerja terhadap pekerjaannya.

Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat juga berarti suatu usaha

sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi

dengan tercapainya gambaran Yang Mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan. Kata

mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukkan pada suatu paham

atau aliran dalam tasawuf. Dalam hal ini mahabbah obyeknya lebih ditujukan

pada Tuhan.1

Menurut bahasa, kata mahabbah berkisar pada lima perkara:

1

Nata,Akhlak Tasawuf, h. 207-208.

(46)

1. Putih dan cemerlang, seperti kata hababul-asnan yang berarti gigi yang putih cemerlang.

2. Tinggi dan tampak jelas, seperti katahababul-ma’i wa hubabuhu, yang berarti banjir karena air hujan yang deras.

3. Teguh dan tidak tergoyahkan, seperti kata habbal-ba’ir, yang berarti onta yang sedang menderung dan tidak mau bangkit lagi.

4. Inti dan relung, seperti katahabbatul-qalbi, yang berarti relung hati.

5. Menjaga dan menahan, seperti katahibbul-ma’i lil-wi’a’, yang berarti air yang terjaga di dalam bejana.2

Mahabbah adalah cinta dan yang dimaksud ialah cinta kepada Tuhan.

Pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain adalah yang berikut:

1. Memeluk kepatuhan Tuhan dan membenci sikap melawan pada-Nya

2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi

3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi,

yaitu Tuhan.3

Menurut al-Sarraj mahabbah mempunyai tiga tingkat:

1. Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan zikir, suka menyebut

nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan.

Senantiasa memuji Tuhan.

2. Cinta orang yang siddiq, yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada

kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya dan lain-lain. Cinta yang

dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seorang dari Tuhan dan dengan

2

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah,Madarijus Salikin Pendekatan Menuju Allah Penjabaran

Konkrit “Iyyaka Na’budu Wa Iyyaka Nasta’in (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,1998), h. 353.

3

(47)

demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Ia mengadakan

dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan diri dari dialog itu. Cinta tingat

kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya

sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu

pada-Nya.

3. cinta orang yang arif, yaitu orang yang tahu betul pada Tuhan. Cinta serupa ini

timbul karena tahu betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta,

tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri

yang mencintai.4

Ketiga tingkat mahabbah tersbut tampak menunjukkan suatu proses

mencintai, yaitu mulai dari mengenal sifat-sifat Tuhan dengan menyebut-Nya

melalui zikir, dilanjutkan dengan leburnya diri (fana) dan sifat-sifat Tuhan itu, dan akhirnya menyatu kekal (baqa) dalam sifat Tuhan. Dari ketiga tingkatan ini tampaknya cinta yang terakhirlah yang ingin dituju oleh mahabbah.

Dengan uraian tersebut kita dapat memperoleh pemahaman bahwa

mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai tuhan sepenuh hati, sehingga

yang sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk ke dalam diri yang dicintai.

Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan

dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa.5

Sedangkan cinta dalam bahasa Arab disebut al-Hubb dalam dunia sufi termanifesfasi dengan istilah al-Mahabbah. Mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta. Dengan demikian, orang yang telah mencapai tingkat

4

Nasution,Falsafat Dan Mistisisme, h. 70-71.

5

(48)

mahabbah seluruh jiwanya terisi oleh rasa kasih sayang dan cinta kepada Allah,

sehingga kadang-kadang tampak tidak ada lagi perasaan cinta yang dapat

disalurkan kepada yang lain, seperti yang tampak pada Rabi’ah al-Adawiyah. Mahabbah adalah cinta yang luhur, suci, dan tanpa syarat kepada Allah

swt. Pencapaiannya ini mengubah murid dari “orang yang menginginkan Allah”

menjadi murad, “orang diinginkan Allah. Tak ada yang lebih besar dari ini.

Kemabukan spiritual oleh anggur mahabbah (cinta) berasal dari hanya

memikirkan sang kekasih. Kebenaran mahabbah adalah bahwa setiap atom dalam

diri sang pecinta (muhib) memberi kesaksian atas kadar cintanya kepada Allah swt.

Mahabbah merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan keadaan rohani

(hal), sama seperti tobat adalah dasar bagi kemuliaan kedudukan, (maqam). Mahabbah termasuk dalam kategori kedudukan (maqam) karena memang mahabbah salah satu diantara jalan yang harus dilalui oleh seorang salik (sang penempuh jalan spiritual). Sedangkan mahabbah juga sebagai keadaan ruhani

(hal) karena sebagian sufi menjadikan mahabbah sebagai suatu keadaan ruhani yang dialami olehsalik, juga karena mahabbah pada dasarnya adalah anugrah dari Allah. Kaum sufi menyebutnya sebagai anugrah-anugrah (mawahib). Dalam kamus tasawuf mahabbah adalah cenderung hati untuk memperhatikan keindahan

(49)

diperoleh atas usaha manusia, dan bersifat tetap. Sedangkan hal diperoleh sebagai anugrah dari Allah swt, dan bersifat sementara, datang dan pergi.6

B. Jalan Menuju Mahabbah

Untuk berada dekat dengan Tuhan, seorang sufi harus menempuh jalan

panjang yang berisi stasion-stasion yang disebut dalam istilah Arabmaqamat atau stages dan stations dalam istilah Inggris. Buku-buku tasawuf tidak selamanya memberikan angka dan susunan yang sama tentang stasion-stasion ini. Abu Bakr

Muhmmad al-Kalabadi misalnya memberikan dalam buku al-Ta’aruf li Mazhab Ahl al-Tasawuf yaitu tobat, zuhud, sabar, kefakiran, kerendahan hati, takwa,

tawakal, kerelaan, cinta, ma’rifah. Abu Nasr al-Sarraj Tusi menyebut dalam al-Luma’ yakni tobat, wara’, zuhud, kefakiran, sabar, tawakal, kerelaan hati. Abu Hamid Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din yakni tobat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakal, cinta, ma’rifat, kerelaan. Menurut Abu al-Qasim Abd Karim al-Qusyairi, maqamat itu adalah sebagai berikut: tobat, wara, zuhud, tawakal, sabar dan kerelaan.7

Keberagaman tingkatan maqam yang terdapat dalam dunia tasawuf menjadikan ahli-ahli sejarah tidak dapat menentukan secara pasti maqam apa saja yang telah dilalui oleh para sufi pada zaman silam. Seperti halnya pada Rabi’ah, menurut Thaha Abdul Baqi Surur dalam kitab Rabi’ah Adawiyah: Wa

al-6

Ibn Qayyim Al-Jauziyah,Madarij as-Salikin Baina Manazili Iyyaka Na’budu Wa Iyyaka Nasta’in(Beirut: Daarul Kitab, 1972), h.196.

7

Referensi

Dokumen terkait