TENTANG PERKAWINAN
OLEH: NUR HIDAYAH
PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA
FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM
.JURUSAN AHWAL SYAKHSHIYYAH
UIN SY ARIF HIDAY ATULLAH
JAKARTA
1427 HI 2006 M
KEDUDUKAN ANAK DAN HARTA BERSAMA DALAM
PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN MENURUT
HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari'ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syari'at Guna
Mencapai Gclar Sarjana Hukum Islam
Olcb: Nur Hidayab NIM. 101044122111
Drs. H. Afi 1 llauzi Abbas MA
NIP ISO 210 421
PROGRAM STUD! PERADILAN AGAMA
FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM
JURUSAN AHWAL SYAKHSHIYYAH
UIN SY ARIF I-IIDA Y ATULLAH
JAKARTA
di Bawah Tangan Menurut Hukum Islam dan UU No. I I 1974 tentang Perkawinan" telah diajukan dalam siding Munaqasyah Fakultas Syari'ah clan Hukum UIN Syarif !-lidayatullah Jakarta, pada tanggal
20 Juli 2006. skripsi ini telah cliterirna sebagai salah satu syarat
Ketua Sekretaris
untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hnkum Islam pacla Jurusan Ahwal Syakhshiyyah
Jakaita, 20 Juli 2006 Mengesahkan
Oekan,
F. Dr. H. Muhammad. Amin Suma SH, MA, MM' NIP. 50 210 422
PANIT!A UJIAN
Prof. Dr. !-!. Muh. Amin Suma, SH, MA, MM Drs. Ascp Syari fuddin H ithtyal SI-I, M 1-1
Pernbimbi, :g: Ors. H. Afifi Fauzi Abbas, MA Penguji Ora. I-lj. f-Ialimah Ismail
KATA PENGANTAR
Bismillahirramanirrahim
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan segala ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang be1judul "Kedudukan Anak dan Harta Bersama dalam Perkawinan di Bawah
Tangan Menurut Hukum Islam dan UU Perkawinan No. I I 1974" sebagaimana mestinya.
Salawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada manusia agung yang menjadi panutan Islam dan selalu dinantikan syafa'atnya di hari kiamat, Nabi Mu11ammad SAW, serta sahabat dan keluarganya hingga akhir zaman.
Suka cita menyelimuti penulis seiring dengan selcsainya pcnyusunan
skripsi 1111. Hal terscbut tidak lain karcna dorongan dan bantuan berbagai
pihak. Oleh karcnanya Pcnulis mcngucapkan tcrima kasih yang tak tcrhingga kepada yang terhormat :
I. Bapak Prof. Dr. Hasanuddin AF, MA., selaku Dosen dan Dekan Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Ora. Hj. Halimah Ismail dan Bapak Drs. Asep Syarifuddin Hidayat, SH, MA., selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Ahwal Syakhshiyyah. 3. Bpk Ors. 1-1. Afifi Fauzi Abbas, MA., sclaku Doscn Pembimbing yang
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk pengumpulan bahan skripsi ini.
6. Kepada Ayahanda H. Suwaryo Dan Ibunda Hj. Hayanah, yang selalu membimbing penulis dengan sepenuh hati, kesabaran dan perhatian kepada
penulis.
7. Kepada kakak Nur Ai'ni ST, serta saudara-saudaraku yang tercinta, yang telah memberikan motivasi dan dukungannya kepada penulis. Khususnya adikku Boby Handoko yang tcrcinta yang di Pesantren, Terima kasih yang telah memberi semangat kcpada pcnulis.
8. Kakanda yang tercinta Akhmad Saefuddin yang telah mencurahkan kasih
sayang serta kcsabarannya dan bimbingannya schinJga pcnulis dapal menyelesaikan skripsi.
9. Rekan-rekan di Jurusan Ahwal Syakhshiyyah angkatan 2001 yang turut mewarnai cakrawala pemikiran penulis sclama masa kuliah.
I 0. Teman-temanku di Peradilan Agama "A", yang telah mcmbcrikan semangat dan motivasi pada penulis untuk menulis skripsi.
12. Untuk sahabar kecilku Rini, terima kasih telah ngebantu penulis disaat penuli dalam kesusahan dalam skripsi.
Atas semua itu, penulis hanya dapat memanjatkan do'a kepada Allah SWT, semoga amal baiknya diterima Allah SWT, dan mendapatkan balasan yang setimpal amin. Terakhir penulis berharap semoga kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya pembaca pada umumnya.
Jakarta, 20 Juli 2006
DAFT AR ISi ... iv
BAB I : PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang Masalah ... ..
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 7 C. Tujuan Penelitian ... 8 D. Metode Penelitian... 9 E. Sistematika Penulisan ... ... ... ... ... ... .. ... ... . I 0
BAB II : PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN... 13 A. Pengertian Perkawinan Di Bawal1 Tangan Menurut
Hukum Islam Dan Undang-Undang No. 1/1974... .... 13 B. Faktor Penyebab Terjadinya Perkawinan
Di Bawal1 Tangan. .... .... .... ... . ... ... .... ... ... ... .. . .. . .. ... ... ... ... 19 C. Tinjauan Hukum Islan1 dan Undang-Undang No. 1/1974
BAB III : PENGERTIAN ANAK DAN HARTA BERSAMA
MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG
NO. 1/1974...
29
A. Pengertian Anak Menurut Hukum Islam dan
Undang-Undang No. 1/1974... 29 B. Status Anak Dari Perkawinan Di Bawah Tangan
Menurut Hukum Islam Dan Undang-Undang No.l/1974 35 C. Harta Bersama Menurut Hukum Islam Dan
Undang-Undang No. 111974 ... 41 D. Terbentuknya Harta Bersama Dalam Perkawinan .. :... 50
BAB IV : KEDUDUKAN ANAK DAN HARTA BERSAMA
DALAM PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN... S3
A. Akibat Perkawinan Di Bawah T:mgan Terhadap Harla
Bersama Menurut Hukum Islam Dan Undang-Undang
No. i/1974 ... 53 B. Kedudukan Anak Akibat Perkawinan di Bawah Tangan
Terhadap Harta Bersama Menurut Hukum Islam dan
Undang-Undang No. 1/1974 ... 60
BAB V : PENUTUP ... 67
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Suatu kenyataan dalam keberadaan makhluk hidup di muka bumi adalah mereka terdiri dari dua jenis, yakni jenis laki-laki dan jenis perempuan. Kedua jenis makhluk itu, baik dari segi fisik maupun dari segi psikis mempunyai sifat-sifat yang berbeda. Namun secara biologis kedua jenis makhluk hidup tersebut adalah saling membutuhkan, sehingga
mereka menjadi berpasang-pasangan atau be1jodoh-jodohan yang secara harfiah disebut perkawinan 1.
Perkawinan adalah perilaku makhluk hidup agar kehidupan di alam
dunia berkembang biak. Perkawinan bukan saja terjadi di kalangan
manusia, tetapi te1jadi pula pada tanaman dan hewan. Firman Allah SWT
Artinya:
"Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah''. (Q.S. Adz-Dzariyaat: 51: 49)
1
Allah SWT telah memilih dengan cara perkawinan manusia dapat keturunan . dan dapat melestarikan kehidupannya setelah masing-masing
pasangan stap melakukan peranannya yang positit: Firman Allah SWT:
{ ' I"
Artinya:
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorc;ng laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu sating kenal mengeral. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". (Q.S. Al-Hujurat: 49: 13)
Allah SWT tidak ingin menjadikan manusia itu seperti makhluk
lainnya, yang bebas mengikuti nalurinya dan bcrhubungan antara laki-laki
dan perempuan secara anarki dan tidak ada aturan yang mcngaturnya. Demi menjaga martabat kemulyaan manusia, Allah SWT menurunkan
hukum perkawinan yang sesuai dengan martabat manusia itu.
3
perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan berlaku bagi berbagai golongan masyarakat yang berbeda.2
Dalam pasal 1 ayat 1 UU No. 1 I 1974 tentang Perkawinan memberikan definisi sebagai berikut adalab : "Perkawinan adalah ikatan labir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumab tangga yang babagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa)". "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya" (pasal2ayat1).3
Pada penjelasan pasal 2 ayat 1 dijelaskan bahwa sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dimana sila pertamanya adalab Ketuhanan Yang Mal1a Esa, maka perkawinan bukan saja mempunyai unsur labir tetapi unsur bathin juga mempunyai peranan yang penting.
Untuk menciptakan ikatan yang mitsaqan ghalizan (ikatan yrng kokoh), selain harus memenuhi ketentuan pasal 2 ayat (1) UU No. 1 I
1974, juga harus dipenuhi pasal 2 ayat (2) nya yakni pencatatan pada tiap--tiap Perkawinan dengan tujuan w1tuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum. Namun dalam prakteknya, tak dapat dipungkiri babwa sampai sekarang masih sermg terjadi pernikahan-pernikahan yang 'bermasalal1', biasanya masalab tersebut berupa kecacatan atau kekurangan
2
Hilman Hadi Kusuma. Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, flukum Ada/ da11
Hukum Agama. (Bandung: Manclar Maju, 1990), hal. 2.
3
rukun-rukun dan syarat-syarat perkawinan sebagaimana yang telaj ditetapkan oleh hukum Islam dan hukum positif. Salah satu pernikahan yang bermasalah itu adalah apa yang dikenal dengan pernikahan sirri
(pernikahan yang sengaja disembunyikan).4
Dalam pasal tersebut di atas terkandung maksud bahwa tidak ada perkawinan di luar hukwn agama dan kepercayaan dari masing-masing pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut. Jadi orang yang beragama Islam perkawinannya barn sah apabila dilakukan mcnurut hukwn Islam. Hal lain yang penting adalah adanya ketentuan mengenai pencatatan perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan
pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian, yang dinyatakan dalam surat-surat
keterangan suatu akte yang juga dimuat dalam daftar catatan.5
Dengan diadakannya pencatatan ini juga untuk kepastian hukum dalam bidang pcrkawinan. Dcngan diadukannya pcncatatan itu, rnaka
perkawinan jelas adanya, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi orang
4
Gani Abdullah dan Moh. Daud Ali, Tidak Memenuhi Hukum Perkawinan Positif Berarti
Ke/uar dari Sistim Perkawinan yang Ber/aku, Mimbar Hukum : No. 28 Tim. Vll (Jakm1a :
Al-Hikmah dan DITBINBAPER, 1996), September-Oktobcr, hal. 27
5
5
lain dan masyarakat pada umumnya. Bila pencatatan perkawinan tidak dilakukan, maka ini jelas merupakan suatu perbuatan melanggar hukum.
Dewasa ini masih banyak te1jadi perkawinan yang melanggar ketentuan mengenai pencatatan perkawinan, yaitu mereka yang melangsungkan perkawinan yang memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun perkawinan, dan perkawinan terscbut tidak dicatat dalam lembaga perkawinan, perkawinan ini di sebut perkawinan di bawah tangan.
Dengan adanya perkawinan di bawah tangan ini, menimbulkan ketidak pastian hukum bagi pihak yang melangsungkan perkawinan, juga berpengaruh terhadap antara lain :
1. Kedudukan suarni istri dalam perkawinan.
2. Kedudukan anak-anak yang lahir dalarn pl!rkawinan 3. Kedudukan harta bersama dalarn perkawinan
Melalui perkawinan suarni istri terikat dalam suatu pe1janjian untuk hidup bersama dalarn membina rumal1 tangga, di antara hasil kebersamaan antara suami istri itu adala!J berupa harta bcnda. Harta benda yang diperoleh selama dalam perkawinan adala!J harta bersama (pasal 35 ayat 1, UU No. I I 1974 tentang Perkawinan).
istri dari kemungkinan gugatan dari keluarga suam1 atau kemungkinan
hak-haknya dilanggar oleh suami.
Di dalam UU Perkawinan pasal 3 7 dijelaskan "bila perkawinan putus karena perceraian, harta tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing. Dalam pasal 37, dijelaskan yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum
Jainnya". Dengan demikian hukum agama dan hukum adat termasuk
bagian dari sistim hukum yang ada di Indonesia.
Masih banyak hal-hal Jain selain di atas, maka sangat menarik untuk mengkaji masalah perkawinan di bawah tangan m1, terutama mengenai masalah kedudukan anak dan harta bersama.
Dalam membahas kedudukan anak dan harta bersama ini tidak hanya
di ambil dari hukum Islam saja, tetapi juga dari UU No. I I 1974 tentang Perkawinan . oleh karena itu, penulisan skripsi ini diberi judul :
"KEDUDUKAN ANAK DAN HARTA BERSAMA DALAM
PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN MENURUT HUKUM ISLAM
DAN UU NO. I II974 TENTANG PERKAWINAN ".
Adapun pemilihan judul ini didasari dengan adanya beberapa alasan yaitu:
7
Nasional mengenai Perkawinan yang di dalamnya diatur tentang kedudukan anak dan harta bersama.
2. Masih kurangnya minat masyarakat untuk mencatat perkawinannya pada lembaga pencatatan nikah.
3. Dengan adanya penulisan ini, semoga semua kendala dan masalah yang timbul dalam perkawinan di bawah tangan, terutama yang menyangkut kedudukan anak dan harta bersanm dapat lebih
dipahami, untuk selanjutnya dapat diterima keberadaannya oleh
masyarakat Indonesia.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan Iatar belakang masalah yang telah diuraikan BAB I porn A, maka jelaslah bahwa masalah yang dibahas secara kompleks dan Iuas.
oleh karena itu, pembahasan mengenai keduduk:m anak dan haiia bersama dalam perkawinan di bawah tangan menurut hukum Islam dan UU No. I
11974 tentang Perkawinan .
Bahwa nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah nikah yang telah memenuhi ketentuan rukun dan syarat perkawinan
tetapi dirahasiakan, sehingga dalam istilah lain disebut sebagai nikah sirri.
Perkawinan jenis ini dirahasiakan baik dari masyarakat atau dari aparat
Hukum Islam di sm1 adalah hukum perdata Islam yang
spesialisasinya adalah hukum keluarga atau dalam istilah fiqhnya disebut fiqh munakalmt. Sedangkan hukum positif adalah hukum yang orientasinya
pada tempat dan waktu tertentu. Dalam hal perkawinan di Indonesia yang dimaksud adalah UU No. II 1974 tentang Perkawinan
Berdasarkan latar belakang dan pembal1asan masalal1 di atas maka penulis merumuskan masalal1 sebagai berikut :
I. Apa yang dimaksud dengan perkawinan di bawal1 tangan dan
bagaimana tinjauan hukumnya menurut hukum Islan1 dan UU No. I I
1974?
2.
Bagaimana kedudukan anak yang lahir dari perka win an di bawahtang an menurut hukum Islam dan
uu
No. 1/1974 tentang Perkawinan?3. Bagaimana kedudukan harta bersanm dari perkawinan di bawah tangan menurut hukum Islam dan
uu
No. II
1974 ten tangPerkawinan?
C. Tujuan <lan Manfaat Pcnclitian
9
I. Untuk mengetahui maksud perkawinan di bawah tangan dan tiajauan
hukwnnya menurut hokwn Islam dan UU No. 1/1974 tentang perkawinan.
2. Untuk mengetahui kedudukan anak dari perkawinan di bawah tangan menurut hokwn Islam dan UU No. 1/1974 tentang perkawinan.
3. Untuk mengetahui dapat atau tidaknya anak dari perkawinan di bawah tangan mendapatkan harta warisan yang ditinggalkan orang tuanya.
Adapun kegunaan skripsi ini adalah :
I. Agar masyarakat mengetahui permasalahan kedudukan anak dan harta bersama dalam perkawinan di bawah tangan dan dapal menyelesaikan pem1asalahan tersebut jika tmjadinya putusnya perkawinan, sehingga terhindarnya dari konflik keluarga yang tidak diharapkan.
2. Sebagai sun1bangan terhadap dw1ia Ilmu Pengetalman hukun1 Islam dan UUP No. I I 1974 yang berkenaan dcngan kedudukan anak dan harta bersanm dalam perkawinan di bawah tangun.
D. Metode Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mcnggunakan mctodc penelitian sebagai berikut :
Dari segi jenis, penelitian ini penelitian kualitatif. Dari seg1
tujuan penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yakni memperoleh gambaran sebenarnya tentang bagaimana Kedudukan Anak dan Harta Bersama dalan1 Perkawinan di Bawah Tangan Menurut Hukum Islam dan UU Perkawinan No. 1I1974.
Dari segi tipe studi hukum Islam, ia merupakan penelitian
komparatif yakni studi yang dilakukan dengan membandingkan antara atman hukum Islam dan Undang-Undang pcrkawinan No. I I 1974 2. Teknik Pengumpulan Data
Sifat data yang digunakan adalah data kualitatit: yakni dengan memilih buku-buku hukum Islam yang mcnjeklaskan tentang
kedudukan anak, harta bersama dan perkawinan di bawah tangan. Dalam pengumpulan data digunakan teknik studi documenter sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Sun1ber data primer, yaitu : buku-buku literatm, seperti : Fiqh
Mawaris karya Ahmad Rofiq, Bidayatul Mujtahid karya lbnu Rusyid, Fiqh Surmah karya Sayid Sabiq, Hukun1 Fiqh Islam
karya Hasbi Ash-Shiddiqie, dan UU No. 1 I 1974 tentang Perkawinan.
[image:19.595.95.496.195.666.2]11
Perkawinan Islam, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Hukum Islam
di Indonesia dan lain-lainnya.
3. Analisa Data
Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu : teknik analisis kualitatif dan analisis perbandingan hukum. Sedangkan teknis penulisan dan penyusunan skripsi 1111 berpedoman pada buku "Pedoman penulisan skripsi Fakultas Syari'ah dan Hukum UlN Syari f
Hidayatullah Jakarta 2006". E. Sistematika Penulisan
Dalam suatu penyusunan karya ilmiah yang tidak kalah pentingnya
adalah mengenai penyusunan sistematikanya. Sistematika menuqjukkan
arah di dalam penulisan dari bab ke bab, sehingga jelas mengenai apa yang akan dibahas. Selain itu, kegunaan sisitematika adalah sebagai bahan kontrol di dalam penulisan sub bab dari masing-masing bab dengan harapan apabila terjadi penyimpangan tidak akm1 terlalu jauh dari alur pemikiran yang tel ah ditetapkan pada daftar isi.
Adapun sistematika pada pcnulisan skripsi ini adalah scbagai bcrikut : Bab I Pendahuluan
Bab II
Membahas mengenai latar bclakang masalah, pembatasan (1an
perumusan masalah, tujuan dan kcgunaan pcnulisan, mctodc penulisan dan sistematika pcnulisan.
Menguraikan tentang pengertian nikah di bawah tangan,
tinjauannya dan faktor penycbab エ・セェ。、ゥョケ。@ perkawinan di
bawah tangan.
Bab Ill Pengertian anak dan harta bersama menurut hukum Islam dan UU Perkawinan No. 1 I 1974
Menguraikan secara umum tentang pengertian anak dan hmia bersama, status anak dan bentuk-bentuk harta bersama dalam perkawinan di bawah tangan menurut hukum Islam dan UU
Perkawinan No. I I 1974.
Bab IV : Kedudukan anak dan hmia bersama dalam perkawinm1 di bawah
tm1gan.
Bab V
Menguraikan tentang akibat hukwn perkawinan di bawah tangm1
terhadap harta bersmna dan kedudukan m1ak akibat perkawinm1 di bawah tangan menurut hukum Islam dan UU Perkawinan No. I 1974.
Penutup
BAB II
PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN
A. Pengertian Perkawinan Di Bawah Tangan 1. Menurut Hokum Islam
Perkawinan "Sirri" (bawah tangan) adalah pcrkawinan yang
dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan memakai
akad lafdzi (dengan ucapan) mencakup ijab dan qabul antara keduanya dalam satu majlis dan dengan kesaksian para saksi, mahar dan wali.
Adapun rukun perkawinan ada Iima macam, yaitu (a). Mempelai Laki-laki, (b). Mempelai perempuan, (c). Wali, (d). Dua orang saksi, (e). !jab qabul
Dari lima rukun itu yang penting ialah ijab qabul antara yang
mengakadkan dengan yang menerima akad.
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan ialah syarat yang bertalian dengan rukun-rukun perkawinan, yaitu :
I. Syarat-syarat suami : (a). Bukan mahram dari calon istri, (b). Tidak terpaksa, atas kemauan sendiri, ( c ). Orangnya tertentu, jelas orangnya, (d). Tidak sedang menjalankan ihrarn haji.
atas kemauan sendiri, (c). Jelas orangnya, (d). Tidak sedang
berihram haj i.
3. Syarat-syarat wali : (a). Laki-laki, (b ). Baliqh, ( c ). Islam, ( d). Tidak gila, ( e ). Tidak dipaksa, (f). Adil, (g). Tidak sedang ihram haji. 4. Syarat-syarat saksi: (a). Laki-laki, (b). Baliqh, (c). Islam, (cl). Tidak
gila!, (e). Adil, (f). Dapat mendengar dan melihat, (g). bebas, tidak
dipaksa. 1
5. Syarat-Syarat ijab qabul. lojab harus disampaikan dengan menggunakan lafal nikah atau tazwij (kawin). Allah SWT,
menyebutkan dalam kisah nabi Syu'aib dan Nabi Musa :2
Artinya:
"Berkatalah dia ( Syu"aib) : "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, alas dasar bahwa kamu bekerja dengan ku delapan tahun ... "(Al. Qashash I 28
.· 27)
Perkawinan ini di lakukan biasanya tanpa ada pemberitahuan rcsm1 pelaksanaan akad dengan cara ini adalah benar dan sah, walaupun tidak
tercatat secara resmi. Mungkin timbul pertanyaan "mengapa sebagian
1
H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), (Jakarta : Pustaka Amani . 1989), Cet. Ke-Ill, hal. 30
2
15
orang mencari earn perkawinan seperti ini? Tanpa ada pemberitahuan dan
catatan resmi? Dan apa saja ketentuan syari'at yang dilanggar oleh orang
yang melakukannya?".
Nikah di bawah tangan dikenal istilah masyarakat Islam sebagai
nikah sirri. Kata sirri dari segi etimologi berasal dari bahasa Arab yang arti harfialrnya rahasia. Jadi nikah sirri artinya nikah rahasia. 3
Dalarn lrnkum Islam akad nikah adalah perbuatan hukum yang
sangat penting dan rnengandung akibat-akibat hukurn serta konsekuensi
tertentu sebagaimana yang telah ditetapkan oleh syari'at Islam.
Dalam sejarah hokum Islam, bahwa istilah pcrkawinan di bawah
tangan 1111 ada sejak Jaman Umar lbnu Khattab. Pcrkataan Umar
diriwayatkan Malik dari Abi Zubair al-Makky :
Artinya:
"Bahwasannya umar mendatangi perkawinan yang tidak ada kesaksian atasnya, kecuali seorang /e/aki dan seorang perempiuan, lalu Umar berkata : ini adalah nikah sirri dan a/cu tidak membolehkannya. Sekiranya aku mengetahui lebih dulu pasti aku raj am". 4
3
Ors. Muha1n1nad Fu'ad Syakir, Perkauiinan Terlarang, (a/-A4isyar, a/-Urji, as-Sirri,
Mut 'ah), (Jakarta : Cendika Sentra Muslim, 2002), Cel. Kc··· I, hal 95-96
4
Imam Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi'i berpendapat bahwa s1m
adalah pelaksanaan akad nikah yang tidak disaksikan oleh saksi yang
persyaratannya tidak cukup atau tidak sesuai dengan yang telah disepakati
jumhur fuqaha, misalnya saksi terdiri dari satu orang laki-laki dan satu
orang perempuan.5
Menurut Masjfuk Zuhdi ada tiga perkembangan pengertian dan praktek nikah sirri di kalangan masyarakat Indonesia.
Pertama, nikah di bawah tangan diartikan sebagai nikah yang
dilangsungkan menurut ketentuan syari'at Islam (telah memenuhi rukun dan syaratnya) tetapi rnasih bersifat intern kcluarga, bclurn dilakukan pencatatan oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan (PPN) dan bclum
diadakan upacara menurut Islam dan adat (walimatul 'w-sy I reseps1 perkawinan dengan segala bunga rampainya).
Kedua, nikah di bawah tangan diartikan sebagai nikah yang telah
I-,
memenuhi ketentuan syari'at Islam dan juga sudah dilangsungkan di
hadapan PPN dan telah pulah diberikan salinan akta nikah kepada kedua mempelai karena calon suami istri sudah mernenuhi syarat-syarat sahnya nikah menw-ut hukum positit: Namun nikahnya masih dilangsungkan dalam lingkungan intern keluarga dan handai tolan yang sangat terbatas, belum diadakan resepsi perkawinan.
5
17
Ketiga, nikah di bawah tangan diartikan sebagai nikah yang hanya
dilangsungkan menurut ketentuan syari'at Islam, karena terbentur pada PP No. 10 I 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri
Sipil dan PP No. 45 I 1990 tentang perubahan alas PP No. JO /1983.6 Dari perkembangan pengertian praktek nikah sirri di atas, jelas bahwa pengertian nikah yang dipermasalahkan dalam ha! publikasinya
baik berupa upacara perkawinan yang bersifat ritual adat lokal dan norma
agama, maupun prosedur administratif yang ditentukan oleh Negara, tergantung pada tempat di mana praktek nikah sirri itu terjadi.
2. Menurut Undaug-Undang Perkawimm No. I Tahun 1974
Istilah nikah di bawah tangan muncul setelah UU No. I I 197 4 tentang perkawinan berlaku secara efektif tanggal 1 Oktober 1975.7 Suatu akta di bawah tangan ialah tiap--tiap akta yang tidak dibuat oleh atau dengan perantaraan pejabat um um. 8
PPN termasuk pejabat umum karena telah ditentukan oleh UU
sebagaimana telah disebutkan dalam UU No. 22 I 1946. Dengan demikian maka kesimpulannya bahwa setiap perbuatan hukum yang tidak dilakukan secara resmi dinamakan di bawah tangan maksudnya perbuatan hukum
6
Masjfuk Zuhdi, Nikah Sirri, Nikah Di bawah Tangan dan Status Anaknya Menurut
Hukum Islam dan Positif, Mimbar Hukwn: Aktualisasi Hukum Islam, No. 28 tah Vil, (1996),
ha!. 8--9
7
A. Ghani Abdullah, Tinjauan Hukum Terhadap Perkawinan Di Bawah Tangan. Mimhar
hukum: Aktualisasi Hukwn Islam, No.23th VI, (1995), hal. 47
8
tersebut dilakukan tidak dihadapan pejabat umum sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku.
Menurut M. Idris Ramulyo, SH. Perkawinan di bawah tangan adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-{)rang Islam Indonesia,
memenuhi baik rukun-rukun maupun syarat-syarat perkawinan, tetapi tidak didaftarkan pada pejabat Pencatatan Nikah, seperti diatur dan ditentukan oleh UU Perkawinan.9
Dengan demikian perkawinan di bawah tangan yang telah memenuhi
rukun dan syarat perkawinan adalah sah, karena sesuai hukum Islam dan pasal 2 ayat (I) UU Perkawinan, hanya suja perkawinan tersebut lidak
didaftarkan kepada Pegawai Pencatatan Nikah (PPN). Sedangkan perkawinan di bawah tangan yang tidak memenuhi rukun dan syarat
perkawinan menurut hukum Islam adalah tiduk sah. Karena tidak dilakukan menurut agamanya atau telah melanggar hukum agamanya,
berarti ha! ini telah melanggar ketentuan pada pasal 2 ayat (!) dan ayat (2) UU Perkawianan.
Tidak sahnya suatu perkawinan akan berakibat sangat luas anak-anak
mereka bukan anak-anak yang sah, karcnanya tidak berhak atas warisan ayah mereka, karena suami istri tcrsebut oleh UU dianggap tidak terikat
9
M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan
19
oleh tali perkawinan maka masing-masing suam1 istri berhak untuk menikah secara sah dengan orang lain.
Jadi setiap perbuatan hukum yang dilakukan tidak secara resmi
dinamakan nikah di bawah tangan, maksudnya perbuatan hukum tersebut
dilakukan tidak dihadapan pejabat umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
B. Faktor Penyebab Terjadinya Perkawinan di Bawah Tangan
Menurut H. A. Wasit Aulawi, yang juga mantan Dekan Fakultas Syari'ah dan Hukum UJN Jakarta. Ada beberapa faktor yang menyebabkan
te1:jadinya nikah sirri, yaitu faktor pengetahuan masyarakat yang belum bulat, faktor fiqh yang tidak mengatur batas umur nikah, dan faktor kekhawatiran orang tua yang berlebihan terhadap jodoh anaknya.10
Berikut akan dijelaskan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya nikah di bawah tangan yang terjadi di masyarakat :
1. Faktor ekonomi
Ada orang yang melakukan perkawinarmya di bawah tangan karena
tidak mampu membiayai pernikahan, karena orang yang melakukan perkawinai1 bukan saja hanya menyiapkan biaya nikah yang harus diserahkai1 kepada KUA, tetapi malah sejak dari tingkat RT pw1 kalau hendak melakukan perkawinan itu selalu memerlukan biaya,
10 A. Wasit Aulawi,
Pernikahan Harus Melibatkan Masyarakat", Mimbar Hukum :
sehingga bagi orang yang betul-betul lemah ekonomi ia tidak
mampu untuk menyiapkan biaya tersebut, akhirnya te1jadilah nikah
di bawah tangan.
2. Faktor Agama
Ada dua ha! yang sangat rentan pada persoalan terjadinya nikah di bawah tangan karena faktor agama :
a. Tindakan prevcntif untuk mcnghindari zma
Alasan pernikahan sirri misalnya untuk menjaga hal-hal yang
tidak diinginkan dalam hubungan pria dan wanita yang sudah saling 111cncinta, scmcntara mcrcku bdum siap bcrumah tangga, atau karena masing-masing masih 111empunyai tugas dan kesibukan yang belum terselesaikan, bahkan sementara kalangan berpendapat, nikah sirri merupakan bentuk altematif pemecahan
yang paling baik dalam 111engatasi pergaulan muda-mudi yang menjurus pada hal-hal yang dilarang agama.11
b. Pendapat tentang sahnya sesuatu perkawinan
Perkawinan di bawah tangan atau perkawinan liar tersebut oleh sebagian besar umat Islam dianggap sah 111enurul hukum aga111a, walaupun tidak didaftarkan atau dicatat pada KUA setempat, hal ini dianggap karena pencatatan perkawinan tidak kenal menurut
11
A. Zuhdi Mudhar, Memahami Hukum Perkaiwan (Nikah, Tha/ak, dan Rujuk), (Bandung:
21
hukum agama. Sebanyak 81, 12 % dari 207 responden yang dapat dihubungi di wilayah DK! Jakarta saja tanpa pencatatan masih dianggap sah karena tidak dikenal pencatatan perkawinan dalam
Islan1.12
3. Faktor adanya persetujuan istri untuk menghindari pelanggaran alas
PP No. I 0 I 1983 Pasal 4 ayat (I) dan Pasal 13
Calon suam1 mengawini calon istri secara diam-diam dan
dirahasiakan hubungannnya sebagai suami istri untuk menghindari hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas
permintaan sendiri sebagai Pegawai Ncgcri Sipil (Vidc PP No. I 0 I
1983 Pasal 4 ayat (I) dan Pasal 13). Motif nikahnya terutarna untuk memenuhi kebutuhan biologis yang halal, sayang nikahnya tanpa persetujuan istri yang terdahulu, atasannya dan pejabat yang berwenang serta tanpa izin Pengadilan Agama.13
Ratusan pasangan suami-istri diantaranya beberapa pasang berstatus Pegawai Negeri kawin tanpa melalui proses UUP dan tanpa pendaftaran di KUA di kotamadya dan kabupaten Gorontalo sejak beberapa tahun berjalan lancar dcngan aman. Bagi masyarakat di
12
M. Idris Ramulyo, Op. Cit., Hal. 77 13
daerah itu perkawinan cara demikian dikenal dengan perkawinan
1iar. . 14
4. Faktor ketidaktahuan tentang pentini,,'llya pencatatan
Nikah dan cerai di bawah tangan masih banyak te1jadi di beberapa daerah di Kabupaten Garut, hingga saat ini masih sering berlangsung terutama di daerah pedesaan yang jauh terpencil. Hal ini terjadi
akibat kesadaran masyarakat tentang pentingnya pemahaman Undang-Undang Perkawinan dan tata cara perceraian masih rendah. Menurut keterangan kepala Sub. Bagian TU Depag Garut, Ujen Zaenal Alim BA, nikah di bawah tangan itu memang sa'i.15
5. Faktor batas minimal usia kawin
Fiqh memang tidak mengatur batas umur untuk menikal1. Auak
umur berapa saja dapat dinikahkan, karena anaknya masih kecil, biaya nikahnya dilaksanakan secara sirri.16 Aturan tentang batas minimal usia kawin mengaharuskan izin dari Pengadilan Agama bagi yang ingin menyelenggarakan perkawinan di bawah umur, biasanya masyarakat tidak ingin menempuh prosedur yang terbelit untuk
mendapatkan izin itu, maim di dacrah-dacrah tcrtcntu anak-anak kecil dinikalikan secara sirri.
14
Banyak Bayi Lahir Tanpa Ayah, Harian Umum Terbit, (Jakarta), Rabu 9 Juni 1982
15
Berita Daerah, Poskota, (Jakarta), Desember 1989
C. Tinjauan Hukum Islam Dan UU Perkawinan No. 1 / 1974 Terhadap
Perkawinan Di Bawah Tangan 1. Menurut Hokum Islam
Dalam hukum Islam akad nikah adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting dan mengandung akibat-akibat hukum serta konsekuensi tertentu sebagaimana yang telal1 ditetapkan oleh syari'at Islam. Oleh karena itu, untuk menentukan sah atau tidaknya suatu pernikal1an diperlukan kehati-hatian atau ketelitian dalam menggunakan dalil syari'atnya (al-Qaur'an, Sunnah, Qiyas dan sebagainya).
Nikal1 sirri merupakan salah satu bentuk nikah yang masih
diperdebatkan sah atau tidaknya oleh para ulama. Berkaitan dengan ha! ini terdapat 2 (dua) golongan ulama. Golongan pertama maenyatakan bahwa perkawinan di bawah tangan adalah sah, sedangkan golongan
kedua menyatakan tidak sah.
a. Golongan Pertama adalah menurut jumhur ulania
Mereka mengatakan bahwa jika para saksi yang hadir dipesan oleh
pihak yang mengadakan akad nikah agar merahasiakan dan tidak menyebarluaskan berita pernikahannya kepada khalayak ramai, maka perkawinan tetap sal1. Sebaliknya meskipun perkawinan itu diumU111kan atau disebarluaskan kepada khalayak ramai, tetapi ketika
maka perkawinan tersebut tidak sah. 17 Alasan yang mereka kemukakan adalah sebagai berikut :
• Hadits Rasulullah S.A.W, dari lbnu Abbas:
Artinya:
"Pelacur yaitu perempuan-perempuan yang mengawinkan dirinya tanpa saksi" (I-LR. At-Tirmidzi)
• Dari Aisyah, Rasulullah S. A.W, bersabda:
Artinya:
"Tidak sah perkawinan kecua/i dengan wali dan dua orang saksi yang adil" (H.R. Al-Daruqutni)
Kata tidak di sini adalah maksudnya "tidak sah" yang berarti menunjukkan bahwa mempersaksikan te1jadinya ijab qabul merupakan syarat sahnya perkawinan.
• "Riwayat dari Abu Zubairi al-Maliki, bahwa Umar Bin Khattab menenma laporan adanya pcrkawinan yang hanya disaksikan olch seorang pna dan seorang wanita. Lalu beliau menjawab : ini kawin gelap, dan aku tidak membenarkan dan andaikan aku hadir tentu
17
25
aim tidak membenarkan dan andikan saat itu aku hadir tentu aku
rajam" (H.R. Malik dalam Kitab al-Muwatha).
Lebih lanjut dikatakan oleh Imam Syafi'i, Abu Hanifah, Ibnu
Mundzir, Umar, Urwah, Sya'bi dn Nafi bahwa apabila terjadi akad nikah tetapi dirahasiakan dan mereka pesan kepada yang hadir agar merahasiakan pula, maka perkawinannya sah, tetapi makruh karena menyalahi adanya perintah untuk mengumumkan pemikahan.18
Sabda Nabi S.A.W dari Aisyah:
Artinya:
"Umumkanlah akad nikah ini dan laksanakanlah pengumuman itu rnelalui mesjid dengan mernukul rebana" (H.R. At-Tirmidzi)
Senada dengan pendapat di atas, mazhab Hambali menyatakan nikah
yang telah dilangsungkan menurut syari'at Islam adalah sah meskipun
dirahasiakan oleh kedua mempelai, wali, para saksinya, hanya saja makruh hukumnya.19
b. Golongan ke<lua adalah menurut Mazhab Maliki, dan para Sahabatnya
Mereka menyatakan bahwa saksi dalam pcrnikahan tidak wajib <.Jan
cukup diumumkan saja sebelum terjadi persenggamaan. Tetapi
18
Sayid Sabiq, Op. Cit., hal. I 87 19
sebelum akad nikah diumumkan bahwa kepada khalayak ramai,
sudah terjadi persenggamaan maka pernikahannya batal, meskipun saat akad nikah dihadiri oleh para saksi.
Pendapat ini bertumpu pada pemikiran ketika memperbandingkan mengenai ketentuan bahwa akad nikah yang persaksiannya tidak disebut secara tegas dalam al-Qur'an dibanding dengan ketentuan mengenai akad jual beli Mu'ajjal atau utang piutang yang disebut jelas dalam surat al-Baqarah ; 282, kalau yang disebut yakni saksi akad jual beli saja ditemukan dalil menyatakan tidaklah wajib, maka untuk yang tidak disebut dalam hal ini saksi akad nikah lenlulah lidak wajib juga.
lbnu Wahab meriwayatkan dari Imam Malik lenlang seorang
laki-laki yang nikah dengan perempum1 dengan disaksikan oleh dua orang
laki-laki tetapi dipesan agar mereka merahasiJKmmya? Lalu menjawab : "Keduanya harus diceraikan dengan satu talak, tidak boleh menggaulinya,
tetapi istrinya berhak atas maliarnya yang telah diterimanya, sedangkan kedua orm1g saksinya tidak dihukum. 20
2. Menurut UU Perkawinan No. 1I1974
Menurut UU Perkawinan yang berlaku di Indonesia, suatu
perkawinan akan diakui dan mendapalkan lcgalilas dari Negara apabiln telah memenuhi dua syarat berikut ini :
20
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Ikata11, (Jakarta: llaja Grafci11do Persada, 1995), Cet.
27
a. Telah memenuhi ketentuan hukum materiil sebagaimana perintah UU Perkawinan pasal 2 ayat (1 ), yaitu pernikahannya telah
dilangsungkan menurut aturan-aturan yang ditentukan oleh hukurn
agama masing-masing. Maka bagi orang Islam pernikahan itu sah apabila telah memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun yang telah
ditetapkan dalam syari'at Islam.
b. Telah memenuhi ketentuan hukum formil sebagaimana yang dikehendaki UU Perkawinan pasal 2 ayat (2), yaitu pernikahan tersebut telah dicatatkan oleh Pegawai Pencatatan Nikah (PPN) yang berwenang dan telah memperoleh bukti otentik berupa akta nikah.
Dilihat dari segi teori hukum yang menyatakan bahwa pcrbuatan hukurn adalah tindakan seseorang yang dilakukan berdasarkan suatu ketentuan hukum sehingga dapat mcnimbulkan hukum, sebaliknya suatu tindakan yang dilakukan tidak menurut aturan hukum tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum, sekalipun tindakan itu belum tentu
melawan hukum dan karenanya sama sekali belum mempunyai akibat yang diakui dan dilindw1gi oleh hukwn.
Dengan demikian suatu pernikahan baru dapat dikatakan sebagai
mempunyai akibat hukum atas pernikahan itu sendiri, sehingga dengan
demikian eksistensi pernikahan secara yuridis dapat diakui.
Perkawinan di bawah tangan mcrupakan wujud yang pertama, maka
perkawinan itu sah menurut ajaran agama sesuai dengan pennintaan pasal 2 ayat (1) UUP. Namun belum te1masuk kategori perbuatan hukum sehingga belum mendapat pengakuan secara hukum. Perbuatan nikah baru dikatakan perbuatan hukum apabila memenuhi unsur tata cara pencatatan
BAB III
PENGERTIAN ANAK DAN HARTA BERSAMA MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO. l TAHUN 1974
A. Pengertian Anak Mennrut Hnknm Islam dan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahnn 1974
I. Menurut Hukum Islam
Menurut ajaran Islam bahwa setiap anak mempunyai hubungan yang erat dengan ibu dan bapaknya (double unilateral I bilateral), sehingga kalau salah satunya meniggal dunia maka yang satu akan mcnjadi ahli wans
1 d I . I
ter 1a ap yang amnya.
Sejak lahir, anak mempunyai hak nasab pada orang tua sebagai buah
perkawinan mereka. Firman Allah SWT :
... > " ,, .. ,. ,,_ 0 ... ... ... ... ,,. ,,. ... 0
セ@ セjャセi@
.faj a;,w.)1
セZ@
I
.:JI
セャェャ@
;;.:
セisBG@
0JY..
ZZN[LセセI|@
セGスN@
セMセijャャェ@
{"
rr
: "
I
o
_;..,11} ...
0:,_;j4
セ[NウZNL@
セェI@
; ' , , F ;
Artinya :
"Para ibu hendaklah menyusukan onak-anaknya se/ama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewqjiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ihu dengan cara yang ma'n(/". (Al-Baqarah I 2: 233)
1
Dalam ha! ini, anak disandarkan pada ayahnya dengan perkataan セ⦅L@
J.;l_,..JI menunjukkan keistimewaan ayah dalam soal nasab. Oleh karena itu, para ulama telah sepakat bahwa anak yang dilahirkan karena hubungan suami istri dalam perkawinan yang sah, nasab atau hukum nasab anak tersebut mengikuti kedua orang tuanya. Kedua orang tua itu, yang laki-laki lazim disebut sebagai bapak dan yang perempuan disebut seorang ibu dengan anaknya.
Di dalam Islam terdapat bennacarn-macam status anak, sesuai dengan swnber anak itu sendiri, sumbcr asal itulah yang akan mencntukan status seorai1g aiiak. Setiap kcadaan menentukan kedudukaimya, membawa sifat sendiri dai1 memberi haknya. Hubungan ai1tara ai1ak dan orang tuanya mempunyai syarat-syarat yang membenarkai1 hubungan yang ada dan terdapat antara orang tuanya. Perkawinan menentukan status anak, tergantung kepada perkawinai1 atau hubungan antara orang tuanya.
31
pribadi berdasrkan kesatuan darah. Nasab merupakan nikmat yang paling besar diturunkan Allah SWT kepada hamba-hambanya, sesuai dengan
firmam1ya dalam Al-Qur'an:
"o /
wti}JI}
QセNj@
セI@
セi_I@
'*"')
セ@
セ@
1?.
セ@
ci1 ;:...
Ji;;.
セNZjQ@
JA>)
... ... ,,. ,,.
Artinya:
"Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah
Tuhanmu Maha Kumm". (Q.S. Al-Furqaan I 25 : 54)
Dalam Islam memang terdapat pcrnbagian anak, tctapi bukan bcrani
Islam telah melakukan diskriminasi tcrhadap anak yang di lahirkan. Prinsi p
Islam tegas, bahwa setiap anak yang dilahirkan berstatus fitrah. Sabda Nabi SAW:
Artinya:
"Tiap-tiap anak itu dilahirkan menurut jitrahnya (bersih), orang tuanya yang 11ie1y"adikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi". (H.R.
Bukhori dan Muslim)2
Ini berarti bahwa keturunan mempengaruhi satu sama lainnya, kemungkinan satu di antara nenck rnoyangnya pcrnah mcrnpunyai
2 Imron Rosyid, Anak Asuh Dan Anak Luar Nikah Serta lmplikasinya da/am Hukum
Islam, Mimbar Hukum : No. 19 Tim. VI I995 Maret-April (Jakarta : al -Hikmah dan
penyakit yang tidak menurun langsung ke anak cucunya, tetapi
kemungkinan akan turun kepada cicit-cicitnya yang dekat dan jauh.
Di dalam balia Arab terdapat bermacam kata yang digunakan untuk
mii ai1al( sekalipun terdapat perbedaan yang positif di dalam
pemakaiaimya. Urnpainanya kata
:i.l:J
artinya secara umwn anak, tetapidipakai untuk anak yai1g dilahirkan oleh manusia atau binatang. Jika
dikatakai1 セZj@ artinya analc kandungku dan walad hadzal heiwan berarti
anak binatang yang dilallirkan induknya. Di samping itu terdapat kata ibnun yang artinya anak juga hanya ada perbedaan dalam pernakaian keduanya. Kata yang terakhir ini dipakai dalam arli luas yakni dipakai untuk anak kandung, anak angkat, anak susu, anak pungut, anak tiri dan lainnya. Masing-rnasing anak ini rncndapal pt:rhalian khusus dalam islam
yang rnenentukan statusnya baik dalam kcturunan, kewarisan rnaupun
dalain pandangan rnasyarakat clan ketentuan hukurnnya.3
Di dalain Al-Qur'ai1, Allah SWT berfirman dalam surat Asy-Syuura'
I 42 : 49 yai1g berbunyi :
3
Dr. Fuad Mohd. Fachruddin, Masalah Anak dalam Hukum Islam, Anak Kandung, Anak
33
Artinya : / ,i;'f,t:•<.· . ,
Bk・ーオョケセ。ョ@ Allah-:-lah. kerqjaan ⦅A。ヲエ[AOセ@ LセYLセGNN「オュゥ[ゥZrゥセ@ ュセョ」ゥーエ。ォ。ョ@
apa yang dzkehendakz. Dza memberzkien al!dhnpef..e111puqi:z. kepad(l ,;szapa yang Dia kehendaki dan memberikan ー・イゥエューオ。QQセ・ー。hAゥZLsゥ。ーアIZANYイキーゥ。@
kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada·siap£! yang Dia
Kehendaki" (Asy-Syuura I 42 : 49) セMM
Ayat 50 yang berbunyi :
Artinya:
"Atau Dia yang menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki--Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendakinya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui Lagi Maha Kuasa'" (Asyu-Syuura I 42 : 50)
Adanya anak menunjukkan adanya Bapak dan !bu yang melahirkan
anak itu, atau dengan kata lain: adalah hasil dari terjadinya suatu
persetubuhan antara laki-laki dengan seorang perempuan, maka lahirlah
seorang anak yang mana lald-lalci itu adalah Bapaknya dan perempuan itu
adalah Ibunya. 5
2. Mcnurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 I 1974
Dalam ha! anak, UU Perkawinan dalam pembaliasau mengenai
asal--usu! seorang anal( dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang otentik,
yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang alau oleh Pcngadilan
4
Al-Qur'an dan Terjemahannya, Jakaita, Depaitemen Agama RI, 1989
5
Negeri setelah melakukan pemeriksaan yang teliti atas pennohonan yang bersangkutan (pasal 55) tentang "pembuktian asal-usul anak". 6
Anak yang di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan Perdata dengan Ibunya dan keluarga Ibunya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari hasil perzinahan tersebnt. 7
UU Perkawinan hanya memuat beberapa pasal saja yang menyangkut tentang pengertian anak yaitu :
Pasal 42 : Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Pasal 43 (1 ). Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan Perdata dcngan Ibunya dan keluarga ibunya.
(2). Kedudukan anak tersebut ayat (I) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 44 : (!). Seorang suami dapat menyangkal salmya anak yang dilahirkan oleh istrinya, bilamana ia dapat membuktikan bal1wa istrinya telah berzina dan anak itu 。ォゥ「。セ@
daripada perzinaan tcrsebut.
35
(2). Pengadilan memberikan keputusan tentang sah atau
tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.
Jadi kesimpulan dari pasal 42, 43, dan 44 tersebut, di dalamnya memberi toleransi hukum kepada anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, meskipun jarak antara pernikahan dan kelahiran anak kurang dari batas waktu minimal usia kandungan seperti akan dijelaskan. Jadi selama bayi yang dikandung tadi lahir pada saat ibunya dalam ikatan perkawinan yang sah, maka anak tersebut adalah anak sah. Undang-undang tidak mengatur batas minimal usia kandungan, baik dalam pasal-pasalnya
maupun dalam penjelasrumya.
Kru·ena itu, dasru·---dasru· dimunculkannya pasal 42 UUP No. I I 1974
dianalisis. Sclain karena pengaruh pcmahaman mayoritas Ulamu (Jumlrnr) yang tetap membolehkru1 kawin bagi laki-laki dengan perempuan hamil meskipun tercela, boleh jadi karena pengaruh hukum barat yang telah diresepsi oleh hukum adat. 8
B. Status Anak dari Perkawinan di Bawah Tangan Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang No. 1I1974
I. Mcnurut Hukum Islam
8
Untuk mengetahui status anak
tangan sangat erat relevansinya dengan status perkawinan di bawah
"iai'igali
1itu sendiri. Sebab sah atau tidaknya perkawinan itu membawa akibat hukum yang cukup luas salah satunya adalah mengenai status anak yang
lahir dari perkawinan tersebut.
Menurut jumhur ulama pada garis besarnya akad nikah ada 2 (dua) macam, yaitu : (a) Akad yang sah sempurna yakni akad yang telah
memenuhi semua rukun dan syarat sahnya nikah; (b) Akad yang rusak
dan batal yakni akad yang salah satu rukun atau syarat sahnya nikah
tidak terpenuhi.
Sementara mengenai anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan menurut hukum Islam anak mcmpunyai nasab dengan bapaknya. Sebab perkawinan di bawah tangan itu termasuk perkawinan yang diperselisihkan boleh dan salmya oleh ulama. Karena itu, perkawinan di
bawah tangan itu dianggap cacat atau fasad yang ringan. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW :
Artinya:
" ...... Anak itu untuk pasangan suami istri yang seranjang" ... (!IR. Bukhari)'
9
37
Dengan demikian perkawinan di bawah tangan termasuk dalam kategori akad yang sah sempurna, maka secara otomatis dapat diketahui
bahwa status anak dari nikah di bawah tangan adalah anak yang sah atau syar'i artinya anak tersebut mempunyai lmbungan nasab baik dengan
ibunya maupun dengan bapaknya. Ketentuan ini berdasarkan kesepakatan jumhur ulama yang menyatakan bahwa anak yang dilahirkan dari seorang wanita dalam suatu pernikahan yang sah adalah anak sah atau syar'i dan dengan sendirinya memiliki hubungan nasab dengan suami dari wanita tersebut. Asalkan memenuhi beberapa syarat, sebagai berikut :
• Han1ilnya istri dari suaminya itu merupakan suatu hal yang mungkin artinya suami tersebut seorang laki-lald yang baligh dan mampu memberi keturunan.
• Anak itu dilahirkan 6 (cnam) bulan sddah let:jadi perse11ggan1<1a11
antara suami istri (menurul jumhur ulama) alau setelah pcrkawinan (menurut mazhab Hanafi). Dasar kescpakalan 1111 diambil dari ketentuan
Nash Al-Qur'an, Surat Al-Ahqaf I 46 : 15, yang bcrbunyi :
Artinya:
Dan Surat Luqman I 31 : 14 yang berbunyi :
Artinya:
"Jbunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun ... "(Q.S. Luqman I 31 : 14)
Kedua ayat tersebut, oleh lbnu Abbas dan clisepakati para ulama,
clitafsirkan bahwa ayat pertanm menunjukkan bahwa tenggang waktu
mengandung dan menyapih adalah 30 bulan. Seclangkan ayat kedua menerangkan bahwa menyapihnya setelah bayi disusukan secara sempurna membutuhkan waktu clua tahun atau clua puluh empat bulan. Berarti, bayi
membutuhkan waktu 30-24 bulan = 6 bulan di dalam kandungan.10
• Istri melahirkan anaknya sebelum habis masa maksimal kehamilan (2
tahun mcnurut mazhab Hanali, 4 lahun mcnurul mazhab Syali'i dan
Hambali, 5 talrnn menurut mazhab Mal iki). Tcrhilung dari tanggal perceraiannya baik cerai melalui thalak raj'i maupun thalak ba'in atau kematian suaminya.
Menurut analisa penulis, pacla saat lahir ia sudah bergigi dan pandai
tertawa walaupun si istri telah bercerai dari suaminya. Baik cerai melalui thalaq raj'i maupun thalaq ba'in. Karena itu pendapat tersebut dapat
cligunakan sebagai referensi hukwn, sejauh bukti-bukti mendukungnya.
39
Riwayat Abu Hurairah. Ditegaskan dalam hadis Rasulullah SAW :
Artinya:
"Dari Abi Hurairah, Bersabda Rasulullah SAW : "Anak ilu adalah menjadi milik orang yang mempunyai tempal ti:lur, adapun yang melakukan zina maka dilempasi batu (hukum rqjam)" (H.R. Tirmidzi)
Maksud hadits ini seorang anak mempunyai hubungan nasab dengan suami perempuan yang telah melahirkannya dalam perkawinan yang sah. Sedangkan kalau perempuan itu tidak berhubungan dengan suami yang sah, maka ia telal1 berzina dan ketcntuan yang diberlakukan untuk perempuan itu adalah hukum rajam. Scmentara mengenai anak itu harus dinasabkan ke laki-laki yang mana tidak disebutkan dan tidak ditentukan sama sekali. 11
Kewajiban orang tua terhadap anaknya adalal1 berupa pemeliharaan terhadap anak tersebut, yang dalam ha! ini meliputi berbagai hal diantaranya menyangkut masalah ekonominya, pendidikan, menjaga si anak dari segala macam bahaya, menjaga keselamatan dan kesehatan baik lahir maupun bathinya. Mengenai pendidikan sebagai orang tua dituntut untuk memberikan pendidikan kepada si anak segala macam ilmu yang
11 Drs. Achrnad Kuz.ari, M.A.,
baik untuk kepentingan hidup di dunia maupaun sebagai bekal kehidupan
di akhirat nanti. Firman Allah S.W.T, menegaskan:
J ,, J , . , , -' ,, ;::l LNセ@
サ セ@ . / --11} 1'u •
<
ᄋQセAG@ •<
' ..
oli
1· · ,. セLゥ@'.
·.u1 QセZイlj@• · "\ "\ {-r- · · · J
r--o::-
Jr -
セ@ Y-° .:1-. セ@ ··Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka ... " (Q.S. At-Tahrim : 6)
2. Menurut UU No. l / 1974 Tcntang Pcrkawinan
Selaras dengan hukum Islam, UU No. 1 I 1974 tentang Perkawinan
yang berlaku di Indonesia pun mengaitkan erat sah tidaknya status seorang anak dengan status pernikahan itu sendiri. Dengan kata lain,
secara mutlak sah atau tidaknya suatu pcrkawinan mcnurut prcspckli
r
Ul JNo. 1 I 1974 tcntang Pcrkawinan akan sangat mcmpcngaruhi status anak yang lahir dari perkawinan tersebut
Sebagai pernikahan yang dirahasiakan, pcrkawinan di bawah tangan
hanya dapat mendapatkan tanda sah alas jasanya memenuhi ketentuan pasal 2 ayat (!) UUP. Dan tidak mendapatkan tanda perbuatan hukum karena keengganannya memenuhi ketentuan pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang berbunyi "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agarna dan kepercayaannya itu. Oleh karena itu, perkawinan terscbul tidak mcpunyai kckuatan hukum dan
dianggap oleh Negara tidak pernah ada suatu pernikahan se!ama belum
41
Dengan demikian, jelaslah bahwa perkawinan di bawah tangan merupakan pernikahan yang tidak diakui dan dianggap tidak pernah ada oleh Negara I Pemerintah. Sehingga status anak yang lahir dari pekawinan di bawah tangan itu pun adalah anak tidak sah atau anak luar nikah. Hal ini didasarkan pada ketentuan yang terdapat dalam UU Perkawinan No. l I
I 974 pasa 43 ayat (I) yang berbw1yi : "Anak yang lahir diluar nikah hanya mempunyai hubungan dengan Ibunya dan keluarga Ibunya".
Dengan demikian dapat dipahami bahwa anak yang lahir dari nikah di bawah tangan sama dengan anak yang dilahirkan diluar nikah dan jelas berstatus sebagai anak tidak sah. Anak tersebut hanya mempunyai hubWJgan nasab dengan Ibu dan keluarga Ibwwa. Karena itu, hubungan hukmn I perdata berupa hak dan kewajiban hanya lahir dalam hubungan antara anak dan lbunya serta keluarga si !bu.
C. Harta Bersama Mcnurut Hukum Islam dan Undang-Undang No. I I
1974
1. Mcnurut Hukum Islam
Di dalam setiap perkawinan pada dasarnya diperlukan harta yang menjadi dasar materil bagi kehidupan keluarga harta tersebut dinamakan harta perkawinan.
a. Harta masing-masing suami istri yang telah dimilikinya sebelum mereka kawin baik berasal dari warisan, atau usaha mereka sendiri-sendiri atau dapat disebut sebagai harta bawaan.
b. Harta masing-masing suami istri yang dimilikinya sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan, tetapi 、ゥー・イッャセィョケ。@ bukan dari usaha mereka baik seorang atau bersama-sama, tetapi merupakan hibah, wasiat, atau warisan untuk masing-masing.
c. Harta yang diperoleh sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan atas usaha mereka berdua atau salah seorang mereka atau disebut harta bersama.12
Apakah kenyataan ini dibuang dari kehidupan masyarakat ? tentu tidak mw1gkin, dari pengamatan lembaga harta bersama lebih besar maslahatnya dari mudaratnya. Atas dasar metodologi maslahah mursalah.13 Dan "urf'14 dan kaidal1 "a/-Adatu al-Muhakamal", para ulama mclakukan pendekatan kompromistis kepada hukum adat. Sclain pendckatan kompromistis, Prof. Ismail Muhammad Syah dalam disertainya. Telali mengembangkan pendapat "Pencaharian bersama suami istri" mestinya
12
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 83 " Mas/ahah Mursalah adalah Maslahah yang tidak secara tegas baik kebolehan maupun larangannya, tetapi maslahah tersebut serasi dengan tujuan Syari'at. Abdul Wahab Khalaf, l/11m
Ushul al-Fiqh, (Johor: Maktabah Al-Da'wah Al-Jslarniyal1, 1972), hal. 84.
14
Uruf seakar dengan kata "ma'nif" adalah sesuatu yang dianggap baik oleh rnanusia dan
( I
i
43
GセGMGBBB]ᄋMBᄋ@
f
U5J1JsᆬAセゥQ_⦅QイZZ@
セL[⦅^ZᄋM⦅G⦅[⦅M
. __-masuk dalam Rubu Muamalah I tetapi ···ternyam' GGセ「」。イ。@ ,,,,khl!sus tidak
ᄋMᄋセMMMBBBBᄋᄋMセMMセMMMMMM⦅LNNN⦅L⦅L@ セセ@
-dibicarakan, mungkin ha! ini disebabkan olch karena pada 'liiiiumnya pengarang dari kitab-kitab tersebut adalah orang Arab. Sedangkan adat Arab tidak mengenal adanya adat mengenai pencaharian suami istri, tetapi di sana dibicarakan mengenai masalah perkongsian yang dalam bahasa Arab disebut syirkah atau syarikah.15
Oleh karena itu, masalah pencaharian bersama suami istri ini adalah termasuk perkongsian atau syirkah, maka untuk mengetahui hukumnya, perlu kita bahas duhulu pengertian perkongsian atau syirkah dan macan1-macam perkongsian serta hukumnya menurut empat imam mazhab.
Syirkah menurut bahasa adalah percampuran suatu harta dengan harta lain sehingga tidak dapat dibedakan lagi satu dari セG。ョァ@ lain.16 Menurut istilah hukum Islam ialah adanya hak dua orang atau lebih terhadap sesuatu. 17
Adapun dasar hukum syirkah dalam Islam adalah Islam mengajarkan pada umatnya untuk saling tolong menolong diantara sesamanya. Dengan adanya tolong menolong akan menimbulkan kerjasama, dengan kerjasama akan menimbulkan ketentuan yang dibagi menurut kesepakatan. Dengan
15
Ismail Muhammad Syah, Pencaharian Bersama Suam-lsti di Tinjau dari Sudut UUP No.
I I 1974 dan Hukum Ada/, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hal. 282
16
Abdur Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala Mazahibi/ Ar-Ba'ah, (Mesir : Darul lhyat Turasi Al-Arbi, 1969), Juz IV, hal. 61
17
demikian syirkah diperoleh dengan bukti yag tercantum dalam firman
Allah SWT, yang berbunyi :
{Y £ : Y'A
I
..r} ...
セ|@Artinya:
"Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka itu berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang -orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ...... "(Q.S. Shaad I 38: 24)
Bila dilihat dari kontek surat ini memang tidak ada kalimat yang
secara teks memperoleh syirkah. Namun bila dilihat dari sifatnya sural ini ada kalimat yang memperoleh syirkah, dengan adanya kata "Khulathai"
(tafsir Al-Khozim) menafsirkan kata "Kholathai" dengan tafsir "As--Syuraka" (orang-orang yang berserikat).
Adapun dalil hadist yang diperbolehkan syirkah yailu :
A1iinya:
45
keluar dari antara mereka"18 (HR. Abu Daud, dan disahihkan oleh Al-Hakim)
Dari hadis Qudsi tersebut dapat dian1bil kesimpulan bahwa perkongsian pada umumnya menurut hukum Islam bukan hanya sekedar
boleh melainkan lebih dari itu disukai selama dalam perkongsian itu tidak
ada tipu muslihat.
Adapun macam-macam syirkah menurut para ulama Imam Mazhab
ada 5 macan1, antara lain :
J. Syirkah !nan (perkongsian terbatas)
Yaitu perkongsian antara dua orang atau lebih ケセQQQァ@ masing-masing mempunyai modal dan sama-sama beke1ja menjalankan usaha perkongsian dengan keunttmgan dibagi sesuai dengan perjanjian waktu perkongsian dibentuk, juga adanya saling tanggung jawab antara mereka. Mengenai macam syirkal1 ini para ulama empat mazhab sependapat tentang bolehnya perkongsian.
2. Syirkah Mufawwadlah (perkongsian tak /erhatas)
Yaitu perkongsian dua orang atau lcbih untuk bcrniaga dcngan modal dari para peserta dengan ketentuan masing-masing akan mendapatkan keuntungan dengan banyaknya modal dan masing-masing anggota perkongsian memberikan hak penuh kepada anggota perkongsian untuk bertindalc dalam rangka menjalankan perkongsian seperti mcnjual atau membeli barang-barang. Hukum syirkah ini boleh men,1rut mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanafi, tetapi tidak boleh menurut mazhab syafi'i. Hanya beda antara tiga mazhab yang membolehkan yaitu menurut mazhab
18 Abu Bakar Ahmad bin Husein bin Ali Al-Baihaqi, Sunnah Qubra, (Beirut : Darul Fikr,
Hanafi disyaratkan bahwa modal peserta perkongsian hams sama banyak, sedangkan menumt mazhab Maliki, dan Hambali tidal( mensyaratkan.
3. Syirkah Abdan (Perkongsian tenaga)
Yaitu beberapa orang tukang pekerja berkongsi melakukan pekerjaan dengan keuntungan dibagi menumt perjanjian. Hukum syirkah ini boleh menurut mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali, tetapi tidak boleh menurut mazhab Syafi'i Hanya beda antara tiga mazhab yang membolehkan itu bahwa mazhab Maliki mensyaratkan supaya pekerjaan yang mereka lalmkan hams sejenis dan setempat, sedangkan mazhab Hanafi clan Han1bali tidak mensyaratkan itu.
4. Syirkah Wujuh (Perkongsian kepercayaan)
Yaitu perkongsian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih tanpa modal melainkan mendapat kepercayaan orang untuk membeli barang-barang apa saJa dengan cara kredit, kemudian menjual lagi dengan mendapat keuntungan dan keuntungan itu dibagi menumt perjanjian waktu perkongsian itu terbentuk. Disepalcati oleh tiga mazhab kecuali Syafi'i.
5. Syirkah Mudharabah (perkongsian orang yang memiliki modal dan yang tidak)
Yaitu suatu perkongsian yang diadakan antara orang yang mempunyai modal dan orang yang tidak mempunyai modal. Dengan earn orang yang mempunyai modal menyerahkan modalnya kepada orang yang tidak mempunyai modal untuk berusaha dan berdagang. Disepalcati tentang bolelmya syirkah ini oleh mazhab Maliki dan Han1bali, karena terdapat syirkah dalam laba (keuntungan), sedangkan Mazhab Syafi'i dan 1-lanafi tidal( menggolongkan kedalam syirkah karcna pckerjaan m1 tidak dinamalcan syirkal1. 19
19
47
Setelah dikemukakan definisi, macam-macam dan hukum syirkah menurut para ulama empat mazhab, maka manakah dari sekian banyak macam syirkah yang mendekati dan sama dengan pengertian hruta bersama suami istri?
Dalam menanggapi persoalan ini tentunya tidak semua orang mempunyai jawaban yang sama, misalnya Ismail Muhammd Syah berpendapat bahwa pencaharian bersama suami istri lebih dekat kepada pengertian syirkah abdan dan syirkah Mufawwadlah.
Jadi kesimpulru1 yang diambil Ismail Muhammad Syah adalah berdasarkan alasan pada umumnya suami istri dalam masyarakat Indonesia sama-sama bekerja membanting tulang, berusaha mendapatkan nafkah hidup sehm·i-hru·i dan sekedar harta simpanan masa tua mereka, kalau keadam1 memungkinkan juga untuk sedikit meninggalkau untuk anak-anak mereka sesudah meninggal dunia.
Jadi pengertian hat1a bersama menurut hukum Islam yang ditinjau melalui pendekatan syirkah Abdan dan Syirkah Mufawwadlah adalah harta bersama yang dimiliki suan1i istri selanm dalam perkawinan.
Fatun-ahman dalam bukunya Ilmu Wm·is memberikan definisi harta bersama sebagai harta kekayaan yang diperoleh suami istri selama perkawinan berlangsung.20
2. Menurut Undang-Undang No. 1/1974 Tentang Pcrkawinan
Penge1iian dari haiia bersarna bila kita perhatikan tidaklah dapat
dipisahkan dari sebuah perkawinan. Haiia benda yang diperoleh dalam
atau selama perkawinan berlangsung menjadi harta bersama. Harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh dari masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang pihak tidak menentukan lain.
Dalarn UU Perkawinan No. I I 1974 diatur juga masalah harta bersama, antara lain :
Pasal 35 berbunyi :
(I). Harta benda yang diperoleh selarna perkawinan menjadi harta
bersama.
(2). Haiia bawaan dari masing-masing suami dan islri dan harta bcnda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warism1 adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang pihak tidak menentukan lain.
Maksud dari pasal 35, apabila harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Dan apabila harta bawaan dari
masing-masing suan1i istri selama dalam perkawinan, baik sebagai hadiah
atau warisan maka hm·ta tersebut tetap masing-masing menguasamya,
49
Pasal 36 berbunyi :
(I). Mengenai harta bersama, suam1 atau istri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak.
(2). Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai
hak sepenuhnya untuk melalrnkan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Sementara dari pasal 36 tentang harta bersama, baik saumi atau istri
dapat mempergunakannya dengan persetujuan salah satu pihak. Sedangkan
me