LAPORAN PENELITIAN
HIBAH BERSAING
Model Meningkatkan Niat Pembelian Konsumen
Pada Produk Ramah Lingkungan
Oleh:
Jati Waskito SE, M.Si
NIDN: 0617107101
Drs. Sujadi, M.M.
NIDN: 0024115301
Dibiayai Oleh Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta Wilayah VI Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Hibah Penelitian Nomor 007/KL/SP/PENELITIAN/2014, tanggal 8 Mei 2014
UNIVERSITAS MUHAMMADYAH SURAKARTA
NOVEMBER, 2014
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji Syukur kita panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan
begitu banyak nikmat dan barokah yang tiada henti-hentinya. dan sholawat serta
salam semoga selalu diberikan kepada Nabi besar Muhammad SAW.
Ide penelitian ini berawal dari rentetan judul penelitian yang telah peneliti
buat sebelumnya, sehingga ada suatu ketertarikan tersendiri untuk lebih
memperdalam dan menuntaskan penelitian yang bertemakan isu lingkungan. Hasil
penelitian memperlihatkan bahwa masih perlu dilakukan upaya yang
sungguh-sungguh dari para akademisi, praktisi, maupun masyarakat pada umumnya untuk
memperhatikan isu ligkungan.
Penelitian ini belum bisa dikatakan sempurna, karena di sana-sini masih
terdapat beberapa kelemahan dari sisi teori maupun metodologi, namun peneliti
berharap bahwa hasil penelitian ini memberikan kontribusi baik dari akademik
maupun dari sisi praktis.
Tak lupa peneliti ucapkan terima kasih kepada dibiayai oleh Koordinasi
Perguruan Tinggi Swasta Wilayah VI Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan yang
bersedia membiayai penelitian ini. Demikian pula pada rekan sejawat selalu
memberikan bimbingan, dan asisten peneliti serta semua pihak yang telah membantu
terselesaikannya penelitian ini.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Hormat saya,
Surakarta, 5 November 2014
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN ………..………….……. 10
1.1. Latar Belakang Masalah ………...………... 10
1.2. Rumusan Masalah ………..……… 10
II. STUDI PUSTAKA ……….…… 13
A. Green marketing………….……….………... 13
1. Definisi green marketing ………...……….. 13
2. Manfaat green marketing ……….…... 14
3. Komponen green marketing ………..….………...………. 15
4. Tujuan green marketing ……….……….. 15
5. Kendala green marketing ………...…...………. 16
B. Isu di dalam strategi pemasaran ………...……… 17
C. Gaya hidup ramah lingkungan ………..… 20
D. Hipotesis ………. 25
III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ………...………..…… 33
IV. METODE PENELITIAN ……….………….……. 34
IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……….……….. 43
V SIMPULAN DAN SARAN ... 49
VI CAPAIAN LUARAN PENELITIAN DAN RENCANA SELANJUTNYA . 54
Daftar Tabel
Tabel 4.1 Hasil analisis faktor ... 37
Tabel 4.2 Hasil uji reliabilitas variabel penelitian ... 38
Tabel 5.1 Data responden berdasarkan jenis kelamin ... 39
Tabel 5.2 Data responden berdasarkan umur... 39
Tabel 5.3 Data responden berdasarkan tempat tinggal... 41
Tabel 5.4 Data responden berdasarkan jenis pembelian produk hijau... 41
Tabel 5.5 Data responden berdasarkan tingkat pendidikan...41
Tabel 5.6 Persepsi kesadaran responden terhadap produk hijau berdasarkan tempat tinggal ...42
Tabel 5.7 Persepsi kesadaran responden terhadap produk hijau berdasarkan Jenis produk ... 43
Tabel 5.8 Persepsi kesadaran responden terhadap produk hijau berdasarkan Tempat pendidikan ... 44
Tabel 5.9 Persepsi kesadaran responden terhadap produk hijau berdasarkan umur . 45 Tabel 5.10 Persepsi kesadaran responden terhadap produk hijau berdasarkan Jenis kelamin ... 46
Tabel 5.11 Evaluasi model hipotesis dengan goodness of fit measures ... 47
Daftar Gambar
Gambar 1 Model Penelitian... 32
Gambar 2 Fishbone Diagram... 39
Daftar Lampiran
Lampiran 1 Kuesioner penelitian
Lampiran 2 Hasil analisis dengan program SPSS
Lampiran 3 Hasil analisis dengan program AMOS
Lampiran 4 Sertifikat pemakalah dalam seminar nasional
Lampiran 5 Peneriman submit di Jurnal Ekonomi dan Bisnis UKSW
RINGKASAN
Hasil penelitian Waskito dan Harsono (2011) menemukan bahwa tingkat kesadaran masyarakat mulai tumbuh pada produk ramah lingkungan. Namun demikian hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tumbuhnya tingkat kesadaran tersebut belum disertai dengan action atau keputusan pembelian produk hijau. Akan menjadi suatu penelitian yang menarik apabila dengan menggunakan responden yang sama yakni warga kota Joglosemar dengan menggunakan konsep yang dikemukakan Chen dan Chang (2012), bahwa persepsi nilai produk, resiko produk, dan tingkat kepercayaan terdahap produk ramah lingkungan mungkin menjadi faktor mengapa mereka belum meningkatkan sikap mereka dari attention menjadi intention to buy.
Tujuan dari studi ini adalah untuk mendapatkan diskripsi persepsi masyarakat terhadap nilai, resiko, dan tingkat kepercayaan terhadap produk ramah lingkungan berdasarkan karakteristik mereka. Studi ini juga mengusulkan sebuah model yang tepat untuk mengingkatkan keinginan niat beli pada produk ramah lingkungan dengan mempertimbangkan beberapa variable tersebut. Penelitian ini mengusulkan tiga konstruksi yang baru, yakni persepsi nilai hijau (ramah lingkungan), persepsi resiko mengkonsumsi produk ramah lingkungan, dan niat membeli produk hijau, serta menggabungkan konsep kepercayaan terhadap produk hijau seperi yang diusulkan oleh Chen dan Chang (2012). Hal ini akan menjadi kerangka integral untuk membahas lebih lanjut implikasinya di bidang pemasaran hijau.
Survey mendatangi masyarakat Joglosemar dengan instrument kuesioner, memilih responden yang telah memiliki pengalaman mengkonsumsi produk ramah lingkungan, baik makanan, produk elektronika, produk otomotif, dan produk laininya. Analisis faktor menunjukkan bahwa semua alat ukur valid, dan uji alpha cronbach juga menunjukkan semuanya reliabel. Analsis deskriptif dilakukan untuk menguji perbedaan persepsi responden terhadap variabel penelitian berdasarkan karakteristik mereka. Alat analisis structural equation modeling dipakai untuk menguji model yang diusulkan.
memberikan penghargaan yang lebih terhadap produk ramah lingkungan. Umur dan jenis kelamin responden tidak berpengaruh pada semua variabel penelitian
Berdasarkan analisis persamaan struktural ditemukan: Model penelitian yang diusulkan dalam penelitian ini dapat mewakili gambaran secara komprehensif faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keniatan konsumen untuk membeli produk ramah lingkungan. Variabel green value dan green risk adalah unsur terpenting dalam meningkatkan keinginan masyarakat untuk membeli produk ramah lingkungan. Bahwa dengan meningkatkan penghargaan masyarakat terhadap produk hijau akan dapat meningkatkan kepercayaan mereka pada kinerja produk. Tingkat penghargaan yang tinggi pada produk hijau dapat meningkatkan kepercayaan dan secara langsung menguatkan keinginan mereka untuk membeli produk tersebut. Apabila perusahaan dapat menekan persepsi masyarakat terhadap resiko produk akan dapat meningkatkan keinginan mereka untuk membeli produk. Tingkat kepercayaan saja yang terbentuk tanpa disertai dengan peningkatan penghargaan terhadap produk hijau, belum mampu meningkatkan keinginan pembelian mereka.
Beberapa keterbatasan yang perlu diperbaiki dalam penelitian ini antara lain: Studi yang dilakukan memiliki dimensi cross-sectional, sehingga pola hubungan yang diteliti merupakan protret sesaat yang menggambarkan hubungan-hubungan yang terjadi saat pengambilan data, sementara dinamika perubahan persepsi konsumen terhadap penghargaan, kepercayaan, dan resiko pembelian produk hijau dapat berubah sewaktu-waktu. Penelitian ini mengandalkan informasi dari masyarakat yang telah mengkonsumsi beragam produk hijau, hanya saja jumlah mereka tidak berimbang (lebih didominasi makanan organik). Penelitian ini hanya mengambil sampel di tiga kota, sampel dari kota lain yang lebih luas dapat diperbandingkan dengan hasil studi ini
Sebaiknya penelitian yang akan datang dilakukan dengan metode time
series untuk mengetahui stabilitas tingkat kesadaran masyarakat terhadap lingkungan.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Bencana yang bermunculan sebagai dampak dari buruknya kondisi
lingkungan akhir-akhir ini, semakin menyadarkan kita akan arti pentingnya isu
lingkungan natural untuk diperhitungkan semua fihak, terutama perusahaan. Aktivitas
bisnis, diakui atau tidak, telah memberikan sumbangan yang signifikan terhadap
menurunnya kualitas lingkungan alam. Saat ini masyarakat semakin menyadari
isu-isu lingkungan karena seringnya terjadi bencana sebagai akibat dari pencemaran
lingkungan yang muncul dari kegiatan industri manufaktur di dunia (Chen, 2011).
Hasil penelitian Waskito dan Harsono (2011) menemukan mulai tumbuhnya tingkat
kesadaran masyarakat terhadap pelestarian lingkungan dan ketertarikan terhadap
produk ramah lingkungan.
Mulai tumbuhnya kesadaran ini berdampak pada kecenderungan perusahaan
untuk lebih perduli terhadap perlindungan lingkungan sebagai tanggung jawab sosial
mereka (Dwyer, 2009; Lee, 2009). Merespon peningkatan keperdulian masyarakat
terhadap lingkungan ini, banyak perusahaan yang berfikir keras untuk dapat
memanfaatkan peluang isu ini demi kepentingan bisnis mereka (Haden et al, 2009).
Dalam era yang semakin sadar dengan kelestarian lingkungan, perusahaan mulai
lebih memperhatikan pemasaran hijau (green marketing) di beberapa industri, seperti
industri informasi dan elektronik (Chen, 2010). Namun demikian, tidak semua
perusahaan memiliki cukup kemampuan untuk melakukan strategi pemasaran hijau.
Jika perusahaan ingin melaksanakan pemasaran hijau dengan sukses, mereka harus
mengintegrasikan konsep pemasaran hijau ke dalam semua aspek kegiatan pemasaran
secara rutin (Ottman, 1992). Perusahaan harus menerapkan strategi pemasaran hijau
untuk meningkatkan persepsi nilai produk dan mengurangi persepsi resiko produk
mereka untuk meningkatkan keunggulan kompetitif. Kegiatan pemasaran hijau
meliputi pengembangan (developing), pembedaan (differentiating), harga, dan
mempromosikan produk dan layanan yang dapat memenuhi kebutuhan lingkungan
Untuk menunjang kesuksesan peluncuran produk hijau, pemasaran hijau
sangat berperan penting dalam menentukan kesuksesan penjualan produk ramah
lingkungan tersebut. Pemasaran hijau tidak hanya menerapkan strategi diferensiasi
dengan menciptakan kebutuhan pelestarian lingkungan, tetapi juga faktor lain yang
dapat meningkatkan niat pembelian konsumen.
Masyarakat bersedia untuk membeli produk hijau apabila produk tersebut
disertai dengan informasi yang memadai dan dapat dipercaya. Hal ini berarti
perusahaan harus menyediakan informasi yang dapat dipercaya bagi konsumen
mereka dalam rangka untuk mengurangi persepsi negatif pelanggan mereka terhadap
resiko pemanfaatan produk tersebut (Peattie, 1992). Akan menjadi sulit bagi pemasar
untuk meyakinkan pelanggan mereka membeli produk tanpa memberikan informasi
yang meyakinkan pada pelanggan mereka. Perusahaan perlu memberikan informasi
yang komplit tentang kinerja lingkungan produk untuk mendapatkan kepercayaan
dari konsumen mereka.
Harapan pada produk hijau sering diciderai oleh persepsi bahwa produk
tersebut berkualitas rendah atau tidak benar-benar merealisasikan janji-janji yang
disebut dalam promosi bahwa produk mereka ramah lingkungan. Pemasar harus
menyadari bahwa konsumen tidak hanya terfokus pada isu produk ramah lingkungan
saja, tetapi mereka juga harus ingat bahwa konsumen tidak mungkin untuk
berkompromi pada atribut tradisional sebuah produk, seperti nilai, kualitas, harga,
dan kinerja. Produk hijau harus tidak kalah dengan atribut-atribut produk nongreen
tersebut untuk menarik konsumen.
Kehijauan (keramahan lingkungan) sebuah produk tidak dapat menjamin
peningkatan penjualan, bahkan di era hijau sekalipun. Chen dan Chang (2012)
berpendapat bahwa perusahaan perlu mengembangkan produk yang memiliki atribut
selain keramahan lingkungan tetapi juga atribut produk yang bernilai tinggi untuk
meningkatkan niat pembelian konsumen. Selain itu, salah satu elemen kunci strategi
pemasaran hijau adalah kredibilitas. Menurunkan persepsi resiko pelanggan dalam
mengkonsumsi produk hijau dapat membantu untuk menurunkan skeptisisme
Hasil penelitian Waskito dan Harsono (2011) menemukan bahwa konsumen
mempunyai tingkat kesadaran yang tumbuh pada produk ramah lingkungan. Namun
demikian hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tumbuhnya tingkat kesadaran
tersebut belum disertai dengan action atau keputusan pembelian produk hijau. Akan
menjadi suatu penelitian yang menarik apabila dengan menggunakan responden yang
sama yakni warga kota Joglosemar dengan menggunakan konsep yang dikemukakan
Chen dan Chang (2012), bahwa persepsi nilai produk, resiko produk, dan tingkat
kepercayaan terdahap produk mungkin menjadi faktor mengapa mereka belum
meningkatkan sikap mereka dari attention menjadi intention to buy. Selanjutnya
memahami perbedaan dari aspek psikologis yang mendasari perilaku
pro-lingkungan antara dua kelompok konsumen yang berbeda: pembeli produk hijau dan
pembeli non produk hijau akan sangat penting sebagai dasar masukan pembuatan
konsep green marketing yang komprehensif berdasarkan temuan empiris.
1.2. Pertanyaan penelitian
Pertanyaan penelitian pada tahun pertama ini adalah :
1. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap nilai, resiko, dan tingkat kepercayaan
terhadap produk hijau?
2. Bagaimana membentuk model pemasaran hijau dengan mempertimbangkan
keramahan produk terhadap lingkungan, persepsi nilai produk, dan resiko produk
BAB II STUDI PUSTAKA
A. Green Marketing
1. Definisi green marketing
Melaksanakan konsep green marketing dalam suatu perusahaan berarti
memasukkan pertimbangan lingkungan dalam semua dimensi aktivitas pemasaran
yang dilakukan perusahaan (Crane, 2000). Dalam literatur yang ada, konsep green
marketing merupakan variasi terminologi dari environmental marketing, ecological
marketing, green marketing, sustainable marketing, greener marketing (Prakash,
2002), dan societal marketing (Kotler 2003).
Sebenarnya konsep green marketing bukanlah hal yang baru. Konsep ini
sudah diperkenalkan oleh Bell dan Emeri, serta Feldman sejak tahun 1971, yang
menyatakan konsep pemasaran telah salah penempatan, karena hanya sebatas
memuaskan keinginan konsumen tapi dengan mengabaikan kepentingan masyarakat
dan lingkungan dalam jangka panjang (MCDaniel dan Rylander, 1993).
Pada tahun 1976 Henion dan Kinnear memperkenalkan ecological marketing
sebagai ilmu yang mempelajari dampak positif dan negatif dari aktivitas pemasaran
pada polusi, penipisan energi dan dan penipisan sumberdaya nonenergi (Polonsky,
1994). Pengertian ini digunakan dalam workshop yang diadakan oleh The American
Marketing association (AMA) yang melibatkan akademisi, praktisi dan pembuat
keputusan public.
Kotler pada tahun 1976 kemudian memperkenalkan konsep societal
marketing untuk memenuhi tanggung jawab sosial pemasar yang terdiri dari empat
pertimbangan dalam pengambilan keputusan pemasaran yaitu : keinginan konsumen,
kepentingan konsumen, persyaratan perusahaan, dan kesejahteraan lingkungan sosial.
(MCDaniel dan Rylander, 1993). Konsep ini menyatakan bahwa tugas organisasi
adalah menentukan kebutuhan, keinginan, dan kepentingan dari pasar sasaran, dan
memberikan kepuasan secara lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan pesaing
dengan jalan melindungi atau meningkatkan kesejahteraan konsumen dan
Peattie pada tahun 1995 mendefinisikan green marketing sebagai proses
manajemen holistik yang bertanggung jawab untuk mengidentifikasi, mengantisipasi
dan memuaskan keinginan konsumen dan masyarakat dengan jalan yang
menguntungkan dan berkelanjutan (Karna, Hansen dan Juslin 2001).
Sementara Polonsky (1994), menyatakan bahwa green marketing merupakan
seluruh aktivitas yang didesain untuk menghasilkan dan memfasilitasi semua
perubahan yang diharapkan dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia,
dengan dampak minimal pada perusakan lingkungan alam. Hal ini terjadi akibat
pemenuhan kebutuhan dan keinginan manusia memiliki potensi untuk menimbulkan
dampak negatif pada lingkungan alam.
Dari pengertian-pengertian ini dapat disimpulkan bahwa green marketing
mengandung beberapa poin penting yaitu : pertama organisasi atau perusahaan
melalui aktivitas pemasarannya berusaha memuaskan kebutuhan dan keinginan
konsumen, kedua aktivitas pemasaran ini dilaksanakan dengan cara yang lebih efisien
dan efektif dibandingkan dengan pesaing, dan ketiga aktivitas ini memberikan
dampak minimal pada perusakan lingkungan alam sehingga dapat meningkatkan
kesejahteraan konsumen dan masyarakat.
2. Manfaat Green Marketing
Green marketing merupakan konsep yang makin menarik bagi akademisi,
praktisi, pembuat aturan publik, konsumen serta masyarakat yang peduli terhadap
lingkungan. Alasan mengapa konsep ini menjadi sangat penting untuk diaplikasikan
oleh perusahaan merupakan alasan sederhana yang sudah diketahui sejak dahulu,
yaitu keterbatasan sumberdaya.
Dalam literatur ekonomi dinyatakan, bahwa ilmu ekonomi adalah ilmu yang
mempelajari bagaimana manusia memenuhi kebutuhan dan keinginannya dengan alat
pemenuhan kebutuhan atau sumber daya yang terbatas. Sumberdaya yang ada
didunia, baik sumberdaya alam ataupun bukan, jumlahnya terbatas. Eksploitasi
sumberdaya yang semena-mena dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang pada
Dari sudut pandang pemasar sendiri, keterbatasan sumberdaya membuat
perusahaan mencari cara baru untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen.
Konsep green marketing merupakan suatu alternatif yang dapat digunakan pemasar
dalam melaksanakan aktivitas pemasaran dengan memanfaatkan sumberdaya yang
terbatas secara efisien dan efektif.
Melalui konsen green marketing akan diperoleh manfaat secara langsung:
1). Menghasilkan produk yang ramah lingkungan
2). Para produsen dan pemasang iklan mengembangkan produk yang mereka
upayakan untuk memenuhi keinginan masyarakat yang peduli akan lingkungan
3). Inovasi. Kecintaan terhadap lingkungan akan membuat perusahaan menjadi lebih
inovatif, baik inovatif dalam input, process, output, bahkan strategi
marketing/pemasaran
3. Komponen Green marketing
Komponen-komponen yang terdapat dalam Green marketing :
1) Green Consumer
Merupakan konsumen yang peduli lingkungan hidup. Para pembeli
(konsumen) yang dipengaruhi kepedulian lingkungan hidup dalam pembelian
suatu produk. Sebagai contoh : konsumen yang peduli akan lingkungan hidup
akan lebih menyukai pembelian minyak yang bebas dari campuran timah.
Tekanan-tekanan dari kelompok seperti Friends of the Earth atau Greenpeace telah mendorong
perusahaan-perusahaan untuk melakukan metode produksi dan pembuangan limbah
guna mengurangi tingkat pencemaran.
2) Green Consumersism
Dalam ilmu marketing dikatakan bahwa penawaran itu ada karena adanya
permintaan (hukum penawaran dan permintaan). Begitupun dengan green marketing
ada karena adanya green consumers. Green Consumerism sendiri didefinisikan
sebagai “The use of individual consumer preference to promote less enviromentally damaging products and services”(Smith, 1998). Yang menarik dari definisi ini adalah
bahwa green consumerism muncul dari kesadaran dan pembentukan preferensi
produk-produk yang ramah lingkungan atau minimal sedikitnya dapat mengurangi
tingkat kerusakan lingkungan. Hal ini menunjukkan kepahaman bahwa
menciptakan produk yang seratus persen aman bagi lingkungan sangat sulit dicapai.
Terlalu banyak trade off baik itu terhadap harga, ketahanlamaan (durability), product
performance, kenyamanan, dan kriteria lain-lain Bahkan klaim-klaim dari
perusahaan-perusahaan tertentu bahwa produk mereka telah ramah lingkungan,
menurut hasil beberapa survey, terbukti mulai sangat diragukan oleh kebanyakan
konsumen.
3) Green Product
Green Product atau yang biasa disebut dengan produk yang berwawasan
lingkungan adalah suatu produk yang dirancang dan diproses dengan suatu cara
untuk mengurangi efek-efek yang dapat mencemari lingkungan, baik dalam produksi,
pendistribusian dan pengkonsumsiannya. Hal ini dapat dikaitkan dengan pemakaian
bahan baku yang dapat didaur ulang.
4. Tujuan green marketing
Menurut John Grant, 2007 tujuan green marketing dibagi menjadi 3 tahapan,
yaitu sebagai berikut :
1) Green : bertujuan ke arah untuk berkomunikasi bahwa merek atau
perusahaan adalah peduli lingkungan hidup
2) Greener : bertujuan selain untuk komersialisasi sebagai tujuan utama
perusahaan, juga untuk mencapai tujuan yang berpengaruh kepada lingkungan
hidup. Perusahaan mencoba merubah gaya konsumen mengkonsumsi atau memakai
produk. Misalnya penghematan kertas, menggunakan kertas bekas maupun
kertas recycle. Menghemat air, listrik, penggunaan AC, dll
3) Greenest : perusahaan berusaha merubah budaya konsumen kearah yang
lebih peduli lingkungan hidup.
5. Kendala Green Marketing
Dalam usaha mengaplikasikan konsep green marketing terdapat
beberapa permasalahan potensial yang bisa muncul menurut Polonsky (1994). Yaitu
mereka tidak menyesatkan konsumen dan industri, dan tidak melakukan pelanggaran
terhadap peraturan atau hukum yang berlaku pada pemasaran lingkungan, (2)
perusahaan saat memodifikasi produk sesuai permintaan ataupun persepsi
konsumen, tapi ternyata produk ini juga tidak lebih baik dari produk yang terdahulu
karena konsumen memiliki persepsi yang salah. Oleh sebab itu perusahaan harus
memiliki pengetahuan yang baik sehingga dapat mengambil keputusan dan tindakan
terhadap lingkungan yang benar, (3) peraturan pemerintah yang didesain guna
memberikan peluang kepada konsumen untuk membuat keputusan yang lebih baik,
atau memotivasi mereka untuk lebih bertanggungjawab terhadap lingkungan hidup.
Sangat sulit bagi perusahaan untuk dapat menyesuaikan dengan seluruh isu
lingkungan.
B. Isu Lingkungan di dalam Strategi Pemasaran
Perubahan positif consumer behavior untuk memilih produk yang ramah
lingkungan merupakan hasil dari meningkatknya pengetahuan tentang masalah
lingkungan yang berawal pada tahun 1970-an (Alwitt dan Pritts, 1996). Konsumen
yang sadar akan pelestarian lingkungan akan berupaya untuk meminimalkan dampak
kerusakan lingkungan dari produk yang digunakannya, dan akan mempertimbangkan
untuk menggunakan produk yang ramah lingkungan.
Menanggapi hal tersebut, perusahaan berusaha untuk mengasosiasikan
produknya sebagai produk yang ramah lingkungan dengan cara mencantumkan
eco-label dan membuat iklan yang mengaitkan produk dengan upaya pelestarian
lingkungan. Upaya ini mungkin efektif, seperti diungkapkan oleh Suchard dan
Polonski (1991) bahwa konsumen yang khawatir akan kelestarian lingkungan akan
memeriksa produk yang akan dibelinya untuk memastikan bahwa dia membeli
produk yang ramah lingkungan.
Meskipun perhatian tersebut dikatakan terus meningkat, namun kenyataannya
setelah puluhan tahun isu lingkungan menjadi perhatian publik, produk ramah
lingkungan belum menunjukkan penjualan yang tinggi. Peningkatan perhatian publik
konsumen bahkan di negara maju sekalipun. Bonini dan Oppenheim (2008) menulis
bahwa makanan organik yang kebanyakan dibeli orang lebih untuk alasan kesehatan
pribadi daripada alasan lingkungan hanya mendapatkan market share kurang dari 3%
dari total penjualan makanan pada tahun 2006 menurut Nutrition Business Journal.
Masih pada tahun yang sama, Bonini dan Oppenheim (2008) mengungkapkan bahwa
deterjen ramah lingkungan dan bahan-bahan pembersih ramah lingkungan yang
digunakan oleh rumah tangga hanya mendapatkan market share kurang dari 2%. Pada
tahun 2007 mobil hibrid yang dibeli di Amerika Serikat hanya sedikit melebihi angka
2% dari total mobil yang dibeli menurut laporan J.D. Power and Associates (Bonini
dan Oppenheim, 2008).
Kenyataan di atas menjadi tanda tanya tentang perlunya perusahaan
memasukkan isu lingkungan ke dalam strategi marketing, dimana isu lingkungan
tentu akan menambah biaya karena akan menjadi item pengeluaran baru pada proses
pencarian informasi tentang keadaan lingkungan, preferensi green consumers,
pengembangan produk baru; periklanan, pembuatan kemasan, dan bentuk-bentuk
komunikasi pemasaran lainnya, sedangkan dampaknya terhadap kinerja pemasaran
dan kinerja keuangan belum tentu didapatkan. Namun dengan semakin gencarnya
tekanan publik dan peraturan pemerintah, menjadi keharusan bagi perusahaan untuk
memperhatikan masalah lingkungan dan memastikan bahwa proses yang dilakukan
dan produk yang dihasilkan oleh perusahaan memenuhi standar keamanan bagi
lingkungan hidup.
Meskipun ada tekanan eksternal dalam pelaksanaanya, perusahaan dapat
memanfaatkan isu lingkungan yang dikemas dalam strategi pemasaran (green
marketing strategy) untuk mendapatkan competitive advantage. Dengan semakin
banyak orang yang peduli dengan lingkungan, perusahaan dapat menjadikan isu
lingkungan untuk membentuk preferensi yang secara komparatif akan membedakan
produk yang ditawarkan perusahaan dengan produk yang ditawarkan oleh para
pesaing. Selain mendapatkan pujian dan preferensi, praktek pemanfaatan isu
lingkungan juga tercatat memberikan efisiensi. Quatman, Manies, Thomson dan
memangkas penggunaan energi dengan rancangan pusat perbelanjaan yang hemat
energi yang akan memberikan efisiensi dalam jangka panjang, dan janji untuk
mendapatkan listrik dari sumber energi terbarukan berpotensi mendapatkan simpati
dari publik. Mereka juga memberikan contoh Google, perusahaan search engine
terbesar di dunia, yang pada tahun 2007 mengumumkan investasi ratusan juta dolar
untuk membangun pembangkit listrik dengan sumber energi terbarukan yang akan
menghasilkan daya sebesar 1 gigawatt (cukup untuk melayani Kota San Francisco)
yang berasal dari sinar matahari, panas bumi dan tenaga angin yang lebih murah
dibandingkan dengan penggunaan batu bara.
Penelitian yang dilakukan oleh Langerak, Peelen dan Van der Veen (1998)
mencatat bahwa perusahaan yang dengan sukarela mengadopsi green marketing akan
mampu mengeksplor green marketing opportunities dan meningkatkan business
performance. Hal ini menunjukkan bahwa adopsi green marketing yang dilakukan
atas inisiatif internal perusahaan akan berdampak positif bagi kinerja perusahaan
dengan memberikan hubungan yang lebih baik dengan konsumen dalam jangka
panjang. Namun demikian penelitian yang melibatkan 138 perusahaan manufaktur
Belanda ini masih menunjukkan bahwa inisiatif untuk mengadopsi green marketing
sebagian besar dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu regulasi pemerintah. Belum
dapat dipastikan apakah dorongan faktor eksternal ini yang menjadi penyebab
mengapa green marketing banyak yang tidak sukses, karena dilakukan semata untuk
memenuhi tuntutan peraturan, daripada menjadi bagian penting dari strategi
perusahaan.
Penelitian lain yang menunjukkan manfaat green marketing dilakukan oleh
Pirakatheeswari (2009) yang menemukan bahwa perusahaan yang mengembangkan
produk baru dan produk yang ditingkatkan dengan input-input lingkungan akan
memberikan akses kepada pasar yang baru, meningkatkan profit sustainablitity, dan
menikmati competitive advantage dibandingkan perusahaan yang tidak
melakukannya. Selengkapnya keuntungan green marketing menurut Pirakatheeswari
(2009) adalah sebagai berikut:
2. Membantu perusahaan memasarkan produknya dan menjaga aspek lingkungan
tetap berada di benak konsumen dan perusahaan
3. Membantu untuk mengakses pasar baru dan mendapatkan keunggulan bersaing
4. Karyawan akan merasa bangga bekerja pada perusahaan yang bertanggung
jawab terhadap pelestarian lingkungan.
C. Gaya Hidup Ramah Lingkungan
Gaya hidup menurut Kotler (2002) adalah pola hidup seseorang di dunia yang
iekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup menggambarkan
“keseluruhan diri seseorang” dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Gaya hidup menggambarkan seluruh pola seseorang dalam beraksi dan berinteraksi di dunia.
Secara umum dapat diartikan sebagai suatu gaya hidup yang dikenali dengan
bagaimana orang menghabiskan waktunya (aktifitas), apa yang penting orang
pertimbangkan pada lingkungan (minat), dan apa yang orang pikirkan tentang diri
sendiri dan dunia di sekitar (opini). Beekman (2004) gaya hidup adalah menunjukkan
bagaimana orang hidup, bagaimana membelanjakan uangnya, dan bagaimana
mengalokasikan waktu. Selain itu, gaya hidup menurut Hall J. (2007) adalah pola
hidup seseorang dalam dunia kehidupan sehari-hari yang dinyatakan dalam kegiatan,
minat dan pendapat yang bersangkutan. Gaya hidup mencerminkan keseluruhan
pribadi yang berinteraksi dengan lingkungan.
Dari berbagai di atas dapat disimpulkan bahwa gaya hidup adalah pola hidup
seseorang yang dinyatakan dalam kegiatan, minat dan pendapatnya dalam
membelanjakan uangnya dan bagaimana mengalokasikan waktu. Faktor-faktor utama
pembentuk gaya hidup dapat dibagi menjadi dua yaitu secara demografis dan
psikografis. Faktor demografis misalnya berdasarkan tingkat pendidikan, usia, tingkat
penghasilan dan jenis kelamin, sedangkan faktor psikografis lebih kompleks karena
indikator penyusunnya dari karakteristik konsumen. Kependudukan atau demografi
adalah ilmu yang mempelajari dinamika kependudukan manusia. Meliputi di
dalamnya ukuran, struktur, dan distribusi penduduk, serta bagaimana jumlah
Analisis kependudukan dapat merujuk masyarakat secara keseluruhan atau kelompok
tertentu yang didasarkan kriteria seperti pendidikan, kewarganegaraan, agama, atau
etnisitas tertentu.
Kata Demografi berasal dari bahasa Yunani yang berarti ’Demos’ adalah
rakyat atau penduduk dan ’Grafein’ adalah menulis. Jadi Demografi adalah tulisan
atau karangan mengenai penduduk. Istilah ini pertama kali dipakai untuk pertama
kalinya oleh Achille Guilard dalam karangannya yang berjudul ’Elements de Statistique Humaine on Demographic Compares’ pada tahun 1885 (wikipidia, 2011). Demografi mempelajari struktur dan proses penduduk di suatu wilayah. Stuktur
penduduk meliputi jumlah, persebaran dan komposisi penduduk. Stuktur ini
berubah-ubah yang disebabkan oleh proses demografi yaitu kelahiran, kematian dan migarsi.
Ketiga faktor ini disebut dengan komponen pertumbuhan penduduk. Selain ketiga
faktor tersebut struktur penduduk ditentukan juga oleh faktor yang lain misal
perkawinan, perceraian. Perubahan stuktur yaitu perubahan dalam jumlah maupun
komposisi akan memberikan pengaruh sosial, ekonomi dan politis terhadap penduduk
yang tinggal disuatu wilayah.
Psikografik adalah ilmu tentang pengukuran dan pengelompokkan gaya hidup
konsumen (Kotler, 2002). Sedangkan psikografik menurut Jenkins & Pell (2006),
adalah suatu instrumen untuk mengukur gaya hidup, yang memberikan pengukuran
kuantitatif dan bisa dipakai untuk menganalisis data yang sangat besar. Analisis
psikografik biasanya dipakai untuk melihat segmen pasar. Analisis psikografik sering
juga diartikan sebagai suatu riset konsumen yang menggambarkan segmen konsumen
dalam hal kehidupan, pekerjaan dan aktivitas lainnya. Psikografik berarti
menggambarkan (graph) psikologi konsumen (psyco).
Psikografik adalah pengukuran kuantitatif gaya hidup, kepribadian dan
demografik konsumen. Psikografik sering diartikan sebagai pengukuran AIO
(activity, interest, opinions), yaitu pengukuran kegiatan, minat dan pendapat
konsumen. Psikografik memuat beberapa pernyataan yang menggambarkan kegiatan,
minat dan pendapat konsumen. Pendekatan psikografik sering dipakai produsen
bahwa psikografik senantiasa menjadi metodologi yang valid dan bernilai bagi
banyak pemasar
Leung & Rice (2002) menjelaskan studi psikografik dalam beberapa bentuk
seperti diuraikan berikut.
1. Profil gaya hidup (a lifestyle profile), yang menganalisis beberapa karakteristik
yang membedakan antara pemakai dan bukan pemakai suatu produk.
2. Profil produk spesifik (a product-specific profile) yang mengidentifikasi kelompok
sasaran kemudian membuat profil konsumen tersebut berdasarkan dimensi produk
yang relevan.
3. Studi yang menggunakan kepribadian ciri sebagai faktor yang menjelaskan,
menganalisis kaitan beberapa variabel dengan kepribadian ciri, misalnya kepribadian
ciri yang mana yang sangat terkait dengan konsumen yang sangat memperhatikan
masalah lingkungan.
4. Segmentasi gaya hidup (a general lifestyle segmentation), membuat
pengelompokkan responden berdasarkan kesamaan preferensinya.
5. Segmentasi produk spesifik, adalah studi yang mengelompokkan konsumen
berdasarkan kesamaan produk yang dikonsumsinya.
Orang-orang yang berasal dari sub-budaya, kelas sosial, dan pekerjaan yang
sama dapat memiliki gaya hidup yang berbeda. Gaya hidup adalah pola hidup
seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya. Gaya
hidup menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” yang berinteraksi dengan lingkungannya. Pemasar mencari hubungan antara produknya dengan kelompok gaya
hidup konsumen. Contohnya, perusahaan penghasil komputer mungkin menemukan
bahwa sebagian besar pembeli komputer berorientasi pada pencapaian prestasi.
Dengan demikian, pemasar dapat dengan lebih jelas mengarahkan mereknya ke gaya
hidup orang yang berprestasi.
Banyak orang masih bingung, bagaimana harus memulai ikut menghambat
pemanasan global. Apa yang harus diperbuat, dan bagaimana memulai. Kebanyakan
orang sudah mulai mengerti, bahwa bencana yang sering terjadi belakangan ini sangat
bahwa banjir bandang, badai topan, gelombang pasang yang ekstrim dan perubahan
cuaca yang mendadak adalah akibat dari akumulasi pemanasan global. Perubahan
iklim yang diakibatkan oleh pemanasan global difahami sebagai penyebab berbagai
bencana lingkungan. Tapi belum banyak informasi yang menjelaskan, apa yang harus
dilakukan oleh orang kebanyakan untuk perubahan iklim.
Akan tetapi bila dicermati dengan seksama, hubungan perubahan iklim
dengan perilaku seseorang, sesungguhnya sangat jelas. Apalagi bila dilihat dari
akibat perubahan iklim kepada kehidupan seseorang. Perubahan iklim menimbulkan
banjir yang volumenya sangat besar. Banjir mengakibatkan banyak orang sengsara
dan harus mengungsi. Kehidupan sehari-hari pengungsi sangat terganggu, selain harta
benda yang rusak, pengungsi harus meninggalkan mata pencaharian karena harus
menghadapi banjir. Pengungsi kehilangan penghasilan, bahkan tidak sedikit yang
menderita sakit. Perubahan iklim telah merubah kehidupan banyak orang, terutama
para korban banjir.
Banjir yang melanda belakangan ini, selain karena diakibatkan oleh
penggundulan hutan, juga ditambah karena tingginya volume hujan dalam waktu
yang relatif singkat. Tingginya volume air hujan, jauh melebihi hujan beberapa tahun
sebelumnya. Ketika Jakarta tenggelam tergenang banjir bulan Februari 2007, ada
beberapa “pakar” yang mengatakan bahwa banjir 2007 adalah siklus 5 tahunan. Artinya terjadi lima tahun lagi. Tapi apa lacur, Februari 2008, Jakarta kembali
tenggelam. Tahun ini, meski berbagai upaya telah dilakukan, banjir masih
mengancam Jakarta. Artinya, banjir bukan lagi sekedar disebabkan oleh hujan siklus
periodik. Banjir yang datang adalah fenomena perubahan iklim, hal tersebut adalah
fenomena pemanasan global.
Tidak mudah untuk melihat hubungan sebab akibat antara kebiasaan orang
sehari-hari dengan bencana perubahan iklim. Perilaku hidup sehari-hari sifatnya
sangat lokal dan sering sangat individual. Sedangkan perubahan iklim sifat dan
lingkupnya global, seluruh bumi. Keterkaitan satu sama lain seolah jauh dan sulit
dilihat. Meski demikian, ada benang merah yang sangat jelas antara perilaku
. Green Lifestyle adalah sebuah gaya hidup yang seharusnya sejak dulu telah
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari (Yuen & Chu, 2010). Green Lifestyle lebih
menitikberatkan kepada kepedulian terhadap bumi. Sebuah gaya hidup yang
benar-benar menjadikan bumi ini sebagai “partner” anda dalam kehidupan sehari-hari,
bukan hanya sebagai “Objek” eksploitasi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Untuk
memulai hidup dengan Green Lifestyle, tidak harus melakukan perubahan yang
drastis terhadap pola hidup anda. Hal ini bisa dimulai dengan hal-hal kecil yang biasa
dilakukan sehari-hari. Misalnya:
1. Hemat Pemakaian Air
Tanpa air, pohon tak mungkin bisa tumbuh subur. Apabila tidak ada
pohon-pohon hijau di bumi ini, maka bencana global warming pun akan menjadi-jadi.
Karena itu menghemat pemakaian air adalah cara yang bijak untuk mengatasi
persoalan ini. Kalau seseorang terbiasa menggosok gigi pada pagi atau malam hari
dengan kran air terus terbuka dan air mengalir terus, dengan Green Lifestyle bisa
memulai menutup kran tersebut dan memMenggunakan air disaat hanya
memerlukannya saja.
2. Manfaatkan Lampu Listrik secara bijak
Seringkali terjadi, semua anggota keluarga sedang menonton teve bersama, sementara
lampu di kamar terus menyala. Memanfaatkan listrik secara bijak, belum dapat
menjadi gaya hidup yang dianggap penting oleh banyak fihak.
3. Green Lifestyle dengan Cucian
Memanfaatkan alat berteknologi tinggi untuk pengering cucian merupakan
kegiatan harian yang kita lakukan. Gaya hidup ramah lingkungan lebih cenderung
menggunakan cahaya matahari daripada memakai alat pengering yang memerlukan
banyak energi listrik. Dengan demikian kita bisa lebih menghemat pemakaian energi
listrik. Bahkan mencuci dengan tangan lebih dianjurkan daripada menggunakan
mesin cuci.
Selanjutnya Yuen & Chu (2010) menambahkan, hal-hal kecil inilah yang
sehari-hari biasa dilakukan. Masyarakat dapat mulai menerapkan green lifestyle dari
kehidupan sehari-hari mencerminkan green lifestyle. Secara terinci gaya hidup ramah
lingkungan yang secara praktis dalam kehidupan sehari-hari
D. Hipotesis Penelitian
Hall (2007) mengidentifikasi tren konsumen yang tumbuh dengan cepat,
yaitu, etika dan cara hidup. Hal ini ditunjukkan dengan kepekaan terhadap dampak
lingkungan yang kemudian ditransformasikan pada perubahan perilaku pribadi.
Leung dan Rice (2002) menunjukkan bahwa sebagian besar perilaku lingkungan
warga Cina-Australia terkait keprihatinan mereka terhadap lingkungan. Bagi banyak
orang, tanggung jawab lingkungan tidak memberikan cukup motivasi bagi mereka
untuk memilih gaya hidup ramah lingkungan. Oleh karena itu, mereka berpendapat
bahwa kedua belah pihak, baik kebijakan pemerintah maupun lingkungan industri
melalui strategi bisnis harus disesuaikan sehingga masyarakat dapat mengubah
perilaku konsumen mereka.
Studi pada tahun pertama ini ingin membantu pemasar mengembangkan
kerangka kerja pemasaran hijau untuk meningkatkan niat pembelian hijau melalui
tiga arah: persepsi nilai ramah lingkungan (green perceived value), persepsi resiko
mengkonsumsi produk ramah lingkungan (green perveived risk), dan kepercayaan
mengkonsumsi produk ramah lingkungan (green trust). Walaupun penelitian
sebelumnya telah secara luas membahas isu-isu yang relevan tentang persepsi nilai
dan persepsi resiko, namun kebanyakan masih terpaku pada produk tradisional dan
belum menangkap tentang isu-isu hijau atau lingkungan. Dengan demikian, studi ini
ingin mengisi kesenjangan penelitian.
Penelitian ini mengusulkan tiga konstruksi yang baru, yakni persepsi nilai
hijau (ramah lingkungan), persepsi resiko mengkonsumsi produk ramah lingkungan,
dan niat membeli produk hijau, serta menggabungkan konsep kepercayaan terhadap
produk hijau seperi yang diusulkan oleh Chen dan Chang (2012). Hal ini akan
menjadi kerangka integral untuk membahas lebih lanjut implikasinya di bidang
Niat pembelian produk hijau adalah lebih penting bagi perusahaan karena
adanya peraturan lingkungan yang ketat di tingkat internasional dan gerakan
lingkungan yang sudah menjadi isu umum. Studi ini mengembangkan kerangka kerja
penelitian yang dapat membantu perusahaan meningkatkan niat pembelian konsumen
hijau melalui tiga faktor penentu: persepsi nilai produk hijau, persepsi resiko produk
hijau, dan kepercayaan terhadap produk hijau.
Penelitian ini merangkum literatur tentang pemasaran hijau ke dalam
kerangka manajerial baru dari niat pembelian hijau. Selain itu, studi ini lebih lanjut
akan melakukan uji empiris untuk memverifikasi hubungan antara persepsi nilai
hijau, persepsi resiko hijau, persepsi kepercayaan hijau, dan niat membeli hijau.
Konsep yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebuah kerangka kerja baru niat
pembelian hijau sesuai dengan tren lingkungan sehingga dapat dipakai industry untuk
membantu perusahaan meningkatkan niat pembelian konsumen terhadap produk
hijau mereka. Hasil temuan penting ini juga dapat dijadikan sebagai konsep dasar
penyusunan strategi pemasaran hijau.
Dampak positif dari persepsi nilai hijau pada kepercayaan hijau
Persepsi nilai didefinisikan sebagai evaluasi keseluruhan konsumen dari
manfaat pada produk atau jasa berdasarkan penilaian seorang konsumen (Patterson
dan Spreng, 1997). Penelitian sebelumnya banyak yang meneliti “persepsi nilai” karena memiliki efek positif pada kinerja pemasaran (Sweeney et al., 1999). Hal ini
karena meneliti persepsi nilai semakin penting saat ini, perusahaan dapat
meningkatkan niat membeli konsumen melalui nilai produk (Steenkamp dan
Geyskens, 2006). Sebuah produk dapat memberikan nilai bagi pelanggan dengan
menawarkan manfaat dan rasa yang berbeda dari produk pesaing ( Aaker, 1996).
Posisi nilai produk perusahaan dapat membedakan produk mereka dari pesaing
mereka '(Kim et al., 2008). Persepsi nilai tidak bisa hanya menjadi penentu penting
dalam menjaga hubungan pelanggan dalam jangka panjang, tetapi juga memainkan
nilai juga dirasakan penting dalam mempengaruhi kepercayaan pelanggan (Kim et al.,
2008).
Sehubungan dengan tingkat kesadaran lingkungan yang saat ini semakin
meningkat, studi ini mengusulkan sebuah konstruksi baru, "persepsi nilai hijau (green
perceived value)", dan mengacu pada Patterson dan Spreng (1997) mendefinisikan konsep ini sebagai "penilaian keseluruhan konsumen dari keuntungan bersih pada
produk atau jasa antara apa yang diterima dan apa yang diberikan berdasarkan pada
keinginan konsumen terhadap pelestarian lingkungan, harapan berkelanjutan, dan
kebutuhan hijau ". Kepercayaan adalah tingkat kesediaan untuk bergantung pada satu
objek didasarkan pada harapan kemampuannya, kehandalan, dan manfaat (Hart dan
Saunders, 1997). Selain itu, kepercayaan adalah niat untuk menerima kerentanan
berdasarkan ekspektasi positif integritas dan kemampuan sebuah produk ( Lin et al,
2003). Chen (2010) mendefinisikan "kepercayaan hijau (green trust)" sebagai
"kemauan untuk bergantung pada satu objek berdasarkan pada keyakinan atau
harapan akibat kredibilitasnya, manfaat, dan kemampuannya terhadap kinerja
lingkungan".
Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa terdapat hubungan positif persepsi
nilai dan kepercayaan pelanggan. Semakin meningkat persepsi nilai konsumen
terhadap sebuah produk pasca-pembelian maka akan semakin meningkatkan
kepercayaan mereka terhadap produk (Eid, 2011; Sirdeshmukh et al, 2002.).
Beberapa perusahaan melebih-lebihkan nilai lingkungan dari produk mereka
sedemikian rupa sehingga pelanggan kurang percaya kepada produk mereka lagi
(Kalafatis dan Pollard, 1999).
H1. Persepsi nilai hijau (green perceived value) berpengaruh positif terhadap
kepercayaan hijau (green trust).
Efek negatif dari persepsi resiko produk ramah lingkungan pada kepercayaan
terhadap produk hijau
Resiko dianggap merupakan evaluasi subyektif oleh konsumen terkait dengan
Karena persepsi resiko adalah kombinasi dari konsekuensi negatif dan
ketidakpastian, penilaian persepsi resiko akan mempengaruhi keputusan pembelian
konsumen (Aaker, 1996). Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa persepsi resiko
akan berdampak pada keputusan pembelian dan perilaku konsumen (Chaudhuri,
199). Teori persepsi resiko menyatakan bahwa konsumen tertarik untuk
meminimalkan resiko yang mereka rasakan dan bukan untuk memaksimalkan utilitas
mereka (Mitchell, 1999). Asimetri informasi membuatnya lebih sulit bagi pembeli
untuk mengidentifikasi nilai produk yang sebenarnya sebelum melakukan pembelian
(Chen dan Chang 2012). Kondisi ini memberikan insentif bagi penjual untuk
bertindak jujur. Akhirnya, para pembeli tidak mau membeli produk karena
ketidakpercayaan mereka dari penjual yang disebabkan oleh asimetri informasi antara
pembeli dan penjual (Gregg dan Walczak, 2008). Jika konsumen merasa resiko tinggi
terhadap produk, mereka akan enggan untuk mempercayai produk (Mitchell, 1999).
Dengan demikian, penelitian sebelumnya menyatakan bahwa resiko dianggap negatif
mempengaruhi persepsi kepercayaan konsumen terhadap sebuah produk (Eid,
2011).
Terdapat hubungan yang kuat antara persepsi resiko dan emosi negatif
konsumsi yang memiliki efek langsung pada kepercayaan (Chaudhuri, 1997).
Sehingga , resiko yang terkait emosi seperti kecemasan atau kekhawatiran negatif
akan mempengaruhi kepercayaan (Chen dan Chang, 2012). Oleh karena itu,
penelitian sebelumnya menyatakan bahwa persepsi resiko berpengaruh negatif
terhadap kepercayaan pelanggan (Koehn, 2003; Eid, 2011). Dengan semakin
meningkatnya tren lingkungan, pelanggan memiliki pertimbangan yang lebih pada
lingkungan yang akan meningkatkan persepsi resiko mereka. Oleh karena itu, Chang
dan Chen (2012) mengusulkan konsep yang baru dengan apa yang mereka sebut
sebagai , "persepsi resiko hijau (green perceived risk)", yang didifinisikan sebagai
"harapan negatif konsekuensi lingkungan yang terkait dengan perilaku pembelian ".
Dalam konteks manajemen lingkungan, penelitian ini berpendapat persepsi resiko
hijau akan berpengaruh negatif terhadap kepercayaan hijau
Dampak positif kepercayaan hijau pada niat pembelian hijau
Kepercayaan disebabkan dari tiga keyakinan - integritas, manfaat, dan
kemampuan – yaitu sebuah harapan salah satu pihak bahwa kata, janji, atau pernyataan dari pihak lain dapat diandalkan (Schurr dan Ozanne, 1985). Selain itu,
kepercayaan adalah sejauh mana keyakinan bahwa pihak lain akan berperilaku seperti
yang diharapkan (Hart dan Saunders, 1997). Kepercayaan pelanggan adalah penentu
fundamental jangka panjang perilaku konsumen (Lee et al, 2011.). Oleh karena itu,
niat pembelian konsumen dipengaruhi oleh kepercayaan konsumen (Harris dan
Goode, 2010). Literatur sebelumnya mengemukakan bahwa kepercayaan pelanggan
merupakan penentu niat pembelian konsumen (Schlosser et al., 2006). Jika pembeli
memiliki pengalaman kepercayaan dengan penjual, mereka akan memiliki niat
pembelian yang semakin meningkat. Dengan demikian, kepercayaan konsumen
merupakan anteseden niat pembelian konsumen (van der Heijden et al, 2003.).
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kepercayaan konsumen akan
berpengaruh positif terhadap niat pembelian konsumen (Schlosser et al., 2006).
Beberapa perusahaan seringkali terlalu membesar-besarkan kinerja lingkungan dari
produk mereka, sehingga pelanggan enggan untuk mempercayai mereka lagi. Dengan
demikian, Chen (2010) berpendapat bahwa kepercayaan hijau akan mempengaruhi
perilaku pembelian konsumen dalam era lingkungan. Selanjutn Chen (2010)
mengusulkan gagasan baru, "keniatan membeli produk hijau" mereka
mengartikannya sebagai "kemungkinan bahwa konsumen akan membeli produk
tertentu yang dihasilkan dari kebutuhan mereka untuk ikut melestarikan lingkungan".
Lu et al. (2010) menunjukkan bahwa kepercayaan pelanggan berpengaruh positif
terhadap niat pembelian konsumen.
H3. Kepercayaan hijau berpengaruh secara positif terhadap niat pembelian hijau.
Dampak positif persepsi nilai hijau terhadap pembelian hijau
Karena penilaian konsumen sering didasarkan pada informasi yang tidak
berpengaruh terhadap niat pembelian (Kardes et al., 2004). Persepsi nilai adalah
seperangkat atribut yang terkait dengan persepsi nilai suatu produk, sehingga dapat
membangun sebuah dampak positif dan meningkatkan pembelian niat (Ashton et al,
2010). Semenjak adanya beberapa perusahaan yang mempromosikan produk mereka
dengan klaim yang menyesatkan tentang nilai lingkungan dari produk mereka,
pelanggan enggan untuk membeli mereka produk (Kalafatis dan Pollard, 1999). Oleh
karena itu, persepsi nilai hijau memainkan peran lebih penting dalam era lingkungan
saat ini. Persepsi nilai adalah salah satu yang paling faktor yang berpengaruh secara
signifikan terhadap niat pembelian (Zeithaml, 1988).
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa persepsi nilai berpengaruh secara
positif terhadap niat pembelian konsumen (Gounaris et al., 2007). Persepsi nilai yang
rendah dapat mengakibatkan hilangnya niat pembelian (Sweeney dan Soutar, 2001).
Jika konsumen merasa bahwa nilai suatu produk lebih tinggi, mereka lebih cenderung
untuk membeli produk (Chang dan Chen, 2008).
H4. Persepsi nilai hijau berpengaruh secara positif terhadap niat pembelian produk
hijau.
Efek negatif persepsi resiko produk hijau pada niat pembelian produk hijau
Resiko dianggap memiliki pengaruh negatif terhadap keputusan pembelian
pelanggan (Harridge-March, 2006). Selain itu, persepsi resiko adalah harapan
kerugian yang bersifat subyektif, sehingga secara signifikan akan mempengaruhi
perilaku konsumen (Mitchell, 1999). Teori persepsi resiko mengungkapkan bahwa
pembeli cenderung untuk meminimalkan persepsi resiko mereka daripada untuk
memaksimalkan harapan mereka terhdap nilai produk (Mitchell, 1999). Pengurangan
persepsi resiko mengarah pada peningkatan probabilitas membeli dan munculnya
niat pembelian konsumen. Dengan demikian persepsi resiko berpengaruh negatif
terhadap niat pembelian (Chang dan Chen, 2008).
Informasi asimetri membuat konsumen konsumen cukup sulit untuk menilai
nilai produk yang sebenarnya sebelum mereka membeli (Mishra et al., 1998). Situasi
pelanggan enggan untuk membeli karena informasi asimetri penjual melekat dalam
produk ketika melakukan transaksi (Gregg dan Walczak, 2008). Jika konsumen
merasa beresiko tinggi terhadap suatu produk, mereka mustahil untuk membeli
produk (Mitchell, 1999). Dengan demikian, literatur sebelumnya menunjukkan
bahwa pengurangan persepsi resiko dapat meningkatkan niat pembelian pelanggan
(Wood dan Scheer, 1996).
H5. Persepsi resiko produk hijau berpengaruh secara negatif terhadap niat
pembelian produk hijau.
Penelitian ini mengintegrasikan konsep pemasaran hijau dan relationship
marketing pada kerangka penelitian niat pembelian produk hijau. Perusahaan perlu memperitmbangkan bahwa konsumen tidak mungkin berkompromi pada fungsi
produk, meskipun mereka harus peduli apakah konsumen merasakan keramahan
lingkungan pada produk mereka. Produk hijau harus memiliki fungsi seperti produk
tradisional sehingga tidak kalah dengan produk nongreen untuk meningkatkan niat
pembelian. Kerangka penelitian ini secara simultan menganggap baik kehijauan
sebuah produk dan nilai maupun resiko produk untuk meningkatkan niat pembelian
konsumen yang perduli terhadap kelestarian lingkungan.
Selain itu, mengurangi persepsi resiko pelanggan terhadap kehijauan sebuah
produk dapat membantu meringankan skeptisisme pelanggan dan meningkatkan
kepercayaan pelanggan membeli produk hijau. Makalah ini memperluas penelitian
niat pembelian konsumen, persespsi nilai, persepsi resiko, dan kepercayaan
konsumen kepada bidang pemasaran hijau. Penelitian ini menegaskan bahwa persepsi
nilai hijau berpengaruh secara positif terhadap niat pembelian produk hijau.
Sedangkan persepsi resiko hijau berpengaruh secara negatif terhadap niat beli produk
hijau. Chen dan Chang (2012) berpendapat bahwa hubungan antara niat pembelian
hijau dan dua determinan – persepsi nilai hijau dan persepsi resiko hijau - yang sebagian dimediasi oleh kepercayaan hijau. Ini berarti bahwa kepercayaan hijau dapat
meningkatkan meningkatkan tingkat hubungan positif antara persepsi nilai hijau dan
niat pembelian hijau dan menurunkan tingkat hubungan negatif antara persepsi
Green Perceived Value
adalah persepsi nilai hijau dan persepsi resiko hijau. Variable outcomenya adalah
niat pembelian produk hijau, sedangkan kepercayaan hijau sebagai mediator parsial.
Kerangka penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.
H4 H1
H3
H 2
H5
Gambar 1 Model Penelitian Green Percived Risk
Green Trust Green Puchase
Intentions
GPV I GPV 2 GPV 3
GPV 4 GPV 5
GPR 1 GPR 2
GPR 3 GPR 4 GPR 5
GT 1
GT 3
GT 2
GT GT 4
GPI 3 GPI 2
Daftar Kepustakaan
Aaker, D.A. (1996), Building Strong Brands, Free Press, New York, NY.
Ashton, A.S., Scott, N., Solnet, D. and Breakey, N. (2010), “Hotel restaurant dining: the relationship between perceived value and intention to purchase”, Tourism and HospitalityResearch, Vol. 10 No. 3, pp. 206-18.
Chang, H.H. and Chen, S.W. (2012), “The impact of online store environment cues on purchaseintention: trust and perceived risk as a mediator”, Online Information Review, Vol. 32 No. 6,pp. 818-41.
Chen, Y.-S. (2008), “The driver of green innovation and green image – green core competence”,Journal of Business Ethics, Vol. 81 No. 3, pp. 531-43.
Chen, Y.-S. (2010), “The drivers of green brand equity: green brand image, green satisfaction, andgreen trust”, Journal of Business Ethics, Vol. 93 No. 2, pp. 307-19. Chen, Y-S. and Chang,H.H. (2012),” Enhance green purchase intentions The roles of green perceived value, green perceived risk, and green trust” Management
DecisionVol. 50 No. 3, 2012 pp. 502-520
Corritore, C.L., Kracher, B. and Wiedenbeck, S. (2003), “On-line trust: concepts, evolving themes,a model”, International Journal of Human-Computer Studies, Vol. 58 No. 6, pp. 737-58.
Cronin, J., Brady, M., Brand, R., Hightower, R. and Shemwell, D. (1997), “A cross -sectional test ofthe effect and conceptualization of service value”, Journal of Services Marketing, Vol. 11 No. 6, pp. 375-91.
Dwyer, R.J. (2009), “Keen to be green organizations: a focused rules approach to accountability”,Management Decision, Vol. 47 No. 7, pp. 1200-16.
Eggert, A. and Ulaga, W. (2002), “Customer perceived value: a substitute for satisfaction inbusiness markets”, Journal of Business & Industrial Marketing, Vol. 17 Nos 2/3, pp. 107-18.
Eid, M.I. (2011), “Determinants of e-commerce customer satisfaction, trust, and loyalty in SaudiArabia”, Journal of Electronic Commerce Research, Vol. 12 No. 1, pp. 78-93.
Ginsberg, J.M. and Bloom, P.N. (2004), “Choosing the right green marketing strategy”, MIT SloanManagement Review, Vol. 46 No. 1, pp. 79-84.
Gounaris, S.P., Tzempelikos, N.A. and Chatzipanagiotou, K. (2007), “The relationships of customer-perceived value, satisfaction, loyalty and behavioral intentions”, Journal ofRelationship Marketing, Vol. 6 No. 1, pp. 63-87.
Haden, S.S.P., Oyler, J.D. and Humphreys, J.H. (2009), “Historical, practical, and theoretical perspectives on green management: an exploratory analysis”, Management Decision,Vol. 47 No. 7, pp. 1041-55.
Hall, M.K.. (2007), “Can the building of trust overcome consumer perceived risk online?”,Marketing Intelligence & Planning, Vol. 24 No. 7, pp. 746-61.
Harris, L.C. and Goode, M.M.H. (2010), “Online servicescapes, trust, and purchase intentions”Journal of Services Marketing, Vol. 24 No. 3, pp. 230-43.
Hart, P. and Saunders, C. (1997), “Power and trust: critical factors in the adoption and use ofelectronic data interchange”, Organizational Science, Vol. 8 No. 1, pp. 23 -42.
Jain, S.K. and Kaur, G. (2004), “Green marketing: an Indian perspective”, Decision, Vol. 31 No.2,pp. 168-209.
Kalafatis, S.P. and Pollard, M. (1999), “Green marketing and Ajzen’s theory of planned behaviour:a cross-market examination”, Journal of Consumer Marketing, Vol. 16 Nos 4/5, pp. 441-60.
Kardes, F.R., Posavac, S.S. and Cronley, M.L. (2004), “Consumer inference: a review of processes, bases, and judgment contexts”, Journal of Consumer Psychology, Vol. 14 No. 3, pp. 230-56.
Kim, C., Zhao, W. and Yang, K.H. (2008), “An empirical study on the integrated framework of e-CRM in online shopping: evaluating the relationships among perceived value, satisfaction, and trust based on customers’ perspectives”, Journal of Electronic Commerce in Organizations, Vol. 6 No. 3, pp. 1-19.
Koehn, D. (2003), “The nature of and conditions for online trust”, Journal of Business Ethics,Vol. 43 No. 1, pp. 3-19.
Lee, J., Park, D.-H. and Han, I. (2011), “The different effects of online consumer reviews on consumers’ purchase intentions depending on trust in online shopping malls: an advertising perspective”, Internet Research, Vol. 21 No. 2, pp. 187-206.
Lee, K.-H. (2009), “Why and how to adopt green management into business organizations?: The case study of Korean SMEs in manufacturing industry”, Management Decision, Vol. 47 No. 7, pp. 1101-21.
Lu, Y., Zhao, L. and Wang, B. (2010), “From virtual community members to C2C e -commerce buyers: Trust in virtual communities and its effect on consumers’ purchase intention”, Electronic Commerce Research and Applications, Vol. 9 No. 4, pp. 346-60.
Ottman, J.A. (1992), Green Marketing, NTC Business Books, Chicago, IL.
Patterson, P. and Spreng, R. (1997), “Modeling the relationship between perceived value, satisfaction and repurchase intention in a business-to- business, service context: an empirical examination”, International Journal of Service Industry Management, Vol. 8 No. 5, pp. 414-34.
Pavlou, P.A. (2003), “Consumer acceptance of electronic commerce: integrating trust and riskwith the technology acceptance model”, International Journal of Electronic Commerce, Vol. 7 No. 3, pp. 101-34.
Peattie, K. (1995), Environmental Marketing Management, Pitman Publishing, London.
Schlosser, A.E., White, T.B. and Lloyd, S.M. (2006), “Converting web site visitors into buyers:how web site investment increases consumer trusting beliefs and online purchase intentions”, Journal of Marketing, Vol. 70 No. 2, pp. 133-48.
Schurr, P.H. and Ozanne, J.L. (1985), “Influences on exchange processes: buyers’ preconceptionsof a seller’s trustworthiness and bargaining toughness”, Journal of Consumer Research,Vol. 11 No. 4, pp. 939-53.
Sirdeshmukh, D., Singh, J. and Sabol, B. (2002), “Consumer trust, value, and loyalty in relationalexchanges”, Journal of Marketing, Vol. 66 No. 1, pp. 15-37.
Steenkamp, J.B.E.M. and Geyskens, I. (2006), “How country characteristics affect the perceived value of web sites”, Journal of Marketing, Vol. 70 No. 3, pp. 136-50.
Stone, R.N. and Gronhaug, K. (1993), “Perceived risk: further considerations for the marketing discipline”, European Journal of Marketing, Vol. 27 No. 3, pp. 39-50. Sweeney, J.C. and Soutar, G.N. (2001), “Consumer perceived value: the development of a multipleitem scale”, Journal of Retailing, Vol. 77 No. 2, pp. 203-20.
Waskito, J, (2004),” Manajemen Strategi dan Lingkungan Natural” Benefit, Vol 12, pp.13-18
Waskito,J, and Harsono,M., “Pengembangan dan Implementasi Model Strategi Pemasaran Berwawasan Lingkungan: Studi EMpiris Pada Masyarakat Joglosemar” JDM, Vol. 1 , pp 33-39