• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Jumlah Elemen Array Terhadap Speed Of Convergence Adaptive Beamforming Pada Smart Antenna

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Jumlah Elemen Array Terhadap Speed Of Convergence Adaptive Beamforming Pada Smart Antenna"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

LAMPIRAN

clc;

close all; clear all;

c= 300e6; f= 800e6; lambda = c/f; d=lambda/2;

% INPUT DATA

A= input('masukkan jumlah array = ');

B= input('masukkan sudut sinyal datang (derajat)= '); C= input('masukkan sudut interferensi(derajat) = ');

% TIME SETTINGS

sampel = 50; % Jumlah sampling

BitRate = 200;

% DATA YANG AKAN DIKIRIMKAN

theta = pi*[-1:0:1];

fsimulasi = 4*BitRate; %frekuensi simulasi

Ts = 1/fsimulasi; % periode simulasi

for k=1:sampel

q=randperm(2); Data(k)=-1^q(1);

end

Data = upsample(Data, fsimulasi/BitRate); t = Ts:Ts:(length(Data)/fsimulasi);

x=(cumsum(Data))/8;

% SINYAL INTERFERENSI

sinyal_interferensi = normrnd(0,1,1,length(t)).*exp (j*(unifrnd(-pi,pi,1,length(t))));

(2)

% RESPON ARRAY TERHADAP SUDUT DATANG DAN SUDUT INTERFERENSI

Kd = pi; %

respon_datang = zeros(1,A);

respon_interferensi = zeros(1,A);

for k = 0:A-1,

respon_datang(k+1) = exp(j*k*Kd*cos(B));

respon_interferensi(k+1) = exp(j*k*Kd*cos(C));

end;

% TOTAL SINYAL TERIMA

datang = zeros(A, length(t));

interferensi = zeros(A, length(t)); sinyal_terima =cos(pi*x)+j*sin(pi*x);

for i = 0:A-1,

datang(i+1,:) = sinyal_terima .* respon_datang(i+1);

interferensi(i+1,:) = sinyal_interferensi .* respon_interferensi(i+1); %

end;

total_sinyal = (datang + interferensi);

% HITUNG BEBAN UNTUK ARAH YANG DIINGINKAN

y = zeros(1,length(t)); % output

mu = 0.05; % step size

e = zeros(1,length(t)); % error

w = zeros(1,A); % weights

for i=0:length(t)-1,

y(i+1) = w * total_sinyal(:,i+1); e(i+1) = sinyal_terima(i+1)-y(i+1);

w = w + mu *e(i+1)*(total_sinyal(:,i+1))';

end;

%PLOT

close all; figure;

plot(abs(y),'r'); hold;

plot(abs(sinyal_terima),'--b');

ylabel('desired signal'); xlabel('iterasi');

(3)

DAFTAR PUSTAKA

[1] Balanis, C.A & Ioannides, P.I. (2007). “Introduction to Smart Antenna”. Morgan and Claypool.

[2 Straw , R. Dean. (2000). “The ARRL Antenna Book (19th ed.)”. Newington : ARRL The National Association For Amateur Radio.

[3] Monzingo, R.A., Haupt, R.L., & Miller, T.W. (2011). “Introduction to Adaptive Arrays (Second ed.)”. United States : Scitech Publishing.

[4] Balanis, C.A. (2005). “Antenna Theory: Analysis and Design (Third ed.)”.New Jersey : Wiley and Sons.

[5] Godara, L.C. (2004). “Smart Antennas”. New York: CRC Press.

[6] Joshi, Revati. (2014). “Adaptive Beamforming Using LMS Algorithm”. International Journal of Research and Technology. Vol. 03. Issue 5.

[7] Gross, Frank. (2005). Smart Antenna for Wireless Communication”. New York : Mc-Graw Hill.

[8] Junqueira, Cynthia. (2011). “Low Cost Smart Antenna Array Hardware Implementation”. Institute of Aeronautics and Space : Brazil.

(4)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metodologi Penelitian

Pada bab ini akan dijelaskan metodologi penelitian, jenis antena yang digunakan, spesifikasi perangkat penelitian serta parameter yang akan dianalisis dan parameter yang digunakan dalam simulasi. Adapun metodologi penelitian Tugas Akhir ini ditunjukan oleh diagram alir pada Gambar 3.1.

Langkah pertama dalam melakukan penelitian Tugas Akhir ini adalah menentukan frekuensi kerja antena dan spacing antar elemen. Antena bekerja pada frekuensi 800 MHz serta jarak antar elemen yang digunakan sebesar 0,5λ. Konfigurasi antena yang digunakan adalah N – elemen linear array. Linier array dipilih karena konfigurasinya yang sederhana sehingga mudah untuk dianalisis.

Jumlah iterasi yang digunakan sebanyak 200 iterasi. Step size yang digunakan sebesar 0,05. Besar nilai step size yang digunakan biasanya berada pada rentang ,5

����. Selanjutnya kita menentukan parameter yang akan dianalisis serta parameter yang nilainya akan diatur atau diubah-ubah. Adapun parameter yang akan dianalisis adalah speed of convergence algortima LMS. Parameter yang nilainya akan diatur adalah jumlah elemen array.

(5)
(6)

Selanjutnya program yang sudah dibuat akan dijalankan dengan piranti lunak komputer. Adapun hasil simulasi yang akan ditampilkan yaitu grafik desired signal dan besar optimum weight untuk masing-masing elemen antena. Kemudian

akan dilakukan analisis terhadap grafik hasil simulasi dan besar optimum weight yang didapatkan.

3.2 Jenis Antena yang Digunakan

Adapun jenis antena yang akan digunakan dalam Tugas Akhir ini yaitu N- elemen linear array dengan jarak antar elemen sebesar 0,5λ. Jumlah elemen yang digunakan sebanyak 12 elemen. Antena akan digunakan untuk komunikasi radar pada frekuensi 800 MHz. Panjang elemen antena yang digunakan dapat dihitung menggunakan Persamaan 3.1.

� = �

� (3.1) dimana :

= panjang gelombang (m) c = cepat rambat gelombang (m/s) f = frekuensi kerja antena (MHz) sehingga:

0,5λ = x 6

8 x 6

λ = 18,75 cm

(7)
(8)

3.3 Spesifikasi Perangkat Penelitian

Adapun Perangkat keras yang digunakan untuk menjalankan simulasi pada Tugas Akhir ini adalah satu buah laptop ASUS K43SD dengan spesifikasi yang ditunjukkan oleh Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Spesifikasi perangkat penelitian

Processor Core i3-2350M (@2,3GHz,4 CPU)

Memory 4 GB DDR3

HDD 500 GB

3.4 Parameter Umum Simulasi

Tabel 3.2 menunjukkan parameter yang digunakan dalam simulasi. Adapun parameter yang nilainya akan diatur yaitu jumlah elemen array. Adapun jumlah maksimum dari elemen yang digunakan sebanyak 12 elemen. Sudut datang sinyal (desired angle) sebesar 45° dan sudut interferensi (interference angle) sebesar 60°.

Tabel 3.2. Parameter yang digunakan dalam simulasi

No Parameter dalam simulasi Nilai yang digunakan

1 Frekuensi kerja antena 800 MHz

2 Jumlah elemen array 2 elemen – 12 elemen

3 Sudut datang sinyal 45°

4 Sudut interferensi 60°

5 Step size 0,05

(9)

Dalam perancangan sistem smart antenna, spacing antar elemen yang digunakan harus lebih kecil dari λ. Spacing antar elemen yang digunakan dalam simulasi yakni sebesar 0.5λ. Hal ini dilakukan karena dalam implementasinya, semakin besar jarak antar elemen, maka akan menyebabkan munculnya sidelobe yang tidak diinginkan. Hal ini disebut juga sebagai grating lobes. Gambar 3.3 menunjukkan grating lobes.

Gambar 3.3 Grating lobes

3.5 Parameter Analisis

Adapun parameter yang akan dianalisis adalah speed of convergence algoritma LMS. Speed of convergence adalah lama waktu yang diperlukan untuk melakukan proses iterasi desired signal sampai iterasi k-th sehingga mencapai titik konvergen. Semakin cepat speed of convergence, maka semakin cepat antena akan melacak dan menemukan user yang diinginkan. Weight update dari algoritma LMS diberikan oleh Persamaan 3.2 [9].

(10)

dimana matrix kovarians R diberikan oleh Persamaan 3.3.

� = [� � � � �] (3.3)

Speed of convergence biasanya tergantung pada nilai step size (µ) yang

digunakan. Besar nilai step size yang digunakan biasanya berada pada rentang ,5 ����. Dalam banyak aplikasi seperti channel equalization, konvergen harus secepat mungkin. Adapun alternatifnya dengan menggunakan algoritma LMS yang diterapkan dalam rangkaian filter adaptif dengan konvergen yang cepat.

Algoritma LMS merupakan algoritma pengolahan sinyal digital yang banyak digunakan untuk adaptive filter. Algoritma LMS pun juga sering diterapkan pada sistem smart antenna. Adapun hubungan antara d(k), e(k) dan y(k) ditunjukkan oleh blok diagram pada Gambar 3.4. Desired signal digunakan untuk menghitung besar error antara d(k) dan y(k) dan kemudian error ini akan digunakan untuk menghitung besar mean square error yang akan dikomputasi menggunakan adaptive algorithm. Selanjutnya adaptive algorithm akan mengatur weight untuk masing-masing elemen array untuk membuat pola sorotan yang

adaptif sesuai dengan arah yang diinginkan.

(11)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Umum

Bab ini membahas tentang hasil simulasi yang ditampilkan pada perangkat lunak komputer. Analisis hasil simulasi dilakukan untuk mengetahui pengaruh jumlah elemen array terhadap speed of convergence algoritma LMS .

4.2 Analisis Hasil Simulasi

Untuk simulasi yang pertama, jumlah array yang digunakan sebanyak 2 elemen. Gambar 4.1 menunjukkan hasil simulasi dimana desired signal akan mendekati titik konvergen setelah 104 iterasi. Hal ini menunjukkan bahwa saat jumlah elemen yang digunakan sebanyak dua elemen, maka antena akan membutuhkan waktu lebih lama untuk melacak user yang dimaksud.

(12)

Untuk simulasi yang kedua, adapun jumlah array yang digunakan sama dengan 3 elemen. Gambar 4.2 menunjukkan hasil simulasi untuk jumlah elemen array (N) sebanyak 3 elemen. Dari hasil simulasi terlihat bahwa dengan menambah

jumlah elemen array yang digunakan, maka desired signal akan konvergen setelah 49 iterasi.

Gambar 4.2 Hasil simulasi untuk N = 3 elemen

(13)

Gambar 4.3 Hasil simulasi untuk N = 4 elemen

Dari Gambar 4.3 terlihat bahwa speed of convergence meningkat menjadi 30 iterasi. Speed of convergence adalah lama waktu yang diperlukan untuk melakukan proses iterasi desired signal sampai iterasi k-th sehingga mencapai titik konvergen. Pada titik ini proses pengecilan beam dilakukan untuk mengoptimalkan radiasi ke arah user yang diinginkan sementara sinyal interferensi akan ditolak.

(14)

Gambar 4.4 Hasil simulasi untuk N = 5 elemen

Peningkatan speed of convergence berbanding lurus dengan jumlah array yang digunakan. Semakin banyak jumlah elemen array yang digunakan, maka speed of convergence akan semakin cepat. Hal ini disebabkan karena penambahan

jumlah array akan meningkatkan direktivitas antena sehingga antena akan lebih cepat menemukan user yang dimaksud. Direktivitas antena adalah kemampuan antena untuk memfokuskan pancaran radiasinya. Jika direktivitas meningkat, maka gain juga akan meningkat sesuai Persamaan 4.1.

� = ƞ. (4.1) dimana :

(15)

Untuk simulasi yang kelima, jumlah elemen array yang digunakan sebanyak 6 elemen. Gambar 4.5 menunjukkan hasil simulasi untuk jumlah array sama dengan 6 elemen dimana desired signal akan mencapai titik konvergen setelah 22 iterasi.

Gambar 4.5 Hasil simulasi untuk N = 6 elemen

(16)

Gambar 4.6 Hasil simulasi untuk N = 7 elemen

(17)

Untuk simulasi selanjutnya, jumlah elemen array yang digunakan berturut-turut sebanyak 9 elemen dan 10 elemen. Gambar 4.8 menunjukkan hasil simulasi untuk jumlah elemen array sama dengan 9 elemen dan Gambar 4.9 menunjukkan hasil simulasi untuk jumlah elemen sama dengan 10 elemen.

Gambar 4.8 Hasil simulasi untuk N = 9 elemen

Dari Gambar 4.8 terlihat bahwa speed of convergence semakin cepat jika dibandingkan dengan hasil simulasi yang sebelumnya. Desired signal akan konvergen setelah 13 iterasi. Pemilihan variabel step size juga mempengaruhi speed of convergence. Step size mengontrol karakteristik konvergen algoritma LMS.

(18)

Gambar 4.9 Hasil simulasi untuk N = 10 elemen

Untuk simulasi selanjutnya, jumlah elemen yang digunakan sebanyak 11 elemen. Gambar 4.10 menunjukkan hasil simulasi untuk jumlah elemen sama dengan 11 elemen dimana desired signal akan konvergen setelah 11 iterasi. Untuk simulasi yang terakhir, jumlah elemen yang digunakan sebanyak 12 elemen. Gambar 4.11 menunjukkan hasil simulasi untuk jumlah elemen sama dengan 12 elemen.

Besar optimum weight untuk masing-masing elemen ditunjukkan oleh Tabel 4.1. Dalam sistem smart antenna, gain dan phasa tiap elemen antena dinyatakan dalam bentuk bilangan kompleks. Besar weight tiap elemen antena diatur oleh prosesor pengolah sinyal untuk mengurangi mean square error antara output dan desired signal sehingga antena dapat mengarahkan pancaran ke arah user yang

(19)

Gambar 4.10 Hasil simulasi untuk N = 11 elemen

(20)

Tabel 4.1 Besar optimum weight untuk tiap elemen

Elemen ke- weights

1 0.07994 + 0.00151i

2 -0.00333 - 0.08527i

3 -0.08542 + 0.01572i

4 0.02230 + 0.07823i

5 0.07722 - 0.02286i

6 -0.03075 - 0.08052i

7 -0.07522 + 0.04209i

8 0.04461 + 0.06704i

9 0.06726 - 0.04575i

10 -0.05548 - 0.06682i

11 -0.05721 + 0.06332i

12 0.06233 + 0.05007i

Gambar 4.12 Perbandingan jumlah elemen (N) vs Iterasi 0 20 40 60 80 100 120

0 2 4 6 8 10 12 14

JU ML A H IT E R A S I

(21)

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari analisis yang dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Penambahan jumlah elemen array akan mempercepat speed of convergence algoritma LMS untuk menghitung desired signal sehingga mencapai titik konvergen.

2. Dari hasil simulasi didaptkan speed of convergence paling lambat yaitu 104 iterasi saat jumlah array yang digunakan sebesar 2 elemen dan paling cepat sebesar 11 iterasi saat jumlah elemen array yang digunakan sebanyak 10 elemen sampai 12 elemen.

3. Semakin cepat speed of convergence, maka proses adaptive beamfoming untuk melacak dan mengoptimalkan pancaran ke arah user yang diinginkan juga semakin cepat.

5.2 Saran

Adapun beberapa saran dari Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut : 1. Tugas Akhir ini dapat diimplementasikan dalam bentuk hardware.

2. Tugas Akhir ini juga dapat dikembangkan dengan menggunakan algoritma adaptive beamforming yang berbeda.

(22)

BAB II

DASAR TEORI

2.1 Pengertian Smart Antenna

Smart antenna merupakan susunan dari beberapa elemen antena yang

menggunakan pengolahan sinyal digital untuk mengoptimasi radiasi atau pola penerimaan secara adaptif dan otomatis [1]. Sistem seperti ini memungkinkan antena dapat mengubah pola radiasi atau penerimaan sesuai dengan tujuan sehingga meningkatkan kinerja sistem komunikasi wireless. Istilah smart antenna umumnya mengacu kepada antenna array yang dikombinasikan dengan pengolahan sinyal yang canggih, yang mana desain fisiknya dapat dimodifikasi dengan menambahkan beberapa elemen. Tujuan utama penggunaan teknologi pengolahan sinyal digital pada sistem smart antenna adalah untuk menentukan arah kedatangan sinyal serta besar weight untuk mengarahkan radiasi antena ke arah signal of interest (SOI) dan null ke arah signal not interest (SNOI) [1].

Ide utama dari pengembangan smart antenna adalah memaksimumkan gain antena ke arah yang diinginkan dan pada saat yang sama membuat pola radiasi minimum ke arah sinyal yang mengganggu [1]. Adapun konfigurasi sistem smart antenna secara umum ditunjukkan oleh Gambar 2.1.

(23)

Gambar 2.1 Konfigurasi sistem smart antenna

2.2 Klasifikasi Smart Antenna

Secara umum, sistem smart antenna dibagi menjadi dua yaitu switched beam system dan adaptive array system. Pada dasarnya, kedua jenis sistem smart

antenna ini menggunakan prinsip yang sama dalam meningkatkan kualitas dan

kinerja dari sistem yaitu dengan meningkatkan gain sampai level maksimum ke arah dimana posisi pengguna berbeda sehingga meningkatkan level daya sinyal terhadap interferensi. Berikut uraian beberapa jenis smart antenna [1].

2.2.1 Switch Beam System

Switched beam system merupakan tipe smart antenna yang paling

(24)

output dari beberapa antena dengan tujuan untuk membentuk lebar sorotan yang

sempit (direksional).

Tujuan utama penggunaan switched beam system adalah untuk meningkatkan gain tergantung kepada lokasi dari user. Karena pancaran yang tetap, user yang diinginkan mungkin tidak berada dalam cakupan dari pancaran utama

sehingga apabila terdapat sinyal pengganggu di sekitar main beam, maka desired signal yang diterima oleh user lebih kecil dibandingkan dengan sinyal interferensi.

Switched beam system terdiri dari beberapa pancaran tetap dengan arah yang

belum ditentukan, dimana pancaran yang akan dipilih adalah yang menerima sinyal dengan kualitas yang paling baik dari pengguna. Pancaran yang dihasilkan mempunyai lebar main lobe yang sempit dan side lobe yang kecil sehingga sinyal yang datang dari arah selain dari arah yang diinginkan akan diredam. Penggunaan lebar main lobe yang sempit akan mereduksi jumlah sumber interferensi yang tertangkap oleh pola radiasi antena. Pola radiasi switched beam system ditunjukkan oleh Gambar 2.2 [1].

(25)

2.2.2 Adaptive Array System

Teknologi adaptive array system menggunakan berbagai algoritma pengolahan sinyal untuk membedakan sinyal pengguna dengan sinyal interferensi berdasarkan arah kedatangan dari sinyal-sinyal tersebut. Sistem ini akan secara adaptif beradaptasi dengan lingkungan dimana sinyal berada. Berbeda dengan switched beam system, adaptive array system akan menghasilkan pola pancaran

yang tidak tetap dimana pancaran yang dihasilkan dapat diarahkan sesuai dengan arah yang diinginkan [1].

Dengan menggunakan algoritma pengolahan sinyal digital (digital signal processing), adaptive array system mampu secara efektif menemukan dan melacak

berbagai jenis sinyal secara cepat untuk mengurangi interferensi dan memaksimalkan penerimaan sinyal. Pola radiasi dari adaptive array system ditunjukkan oleh Gambar 2.3 [1].

Gambar 2.3 Pola radiasi adaptive array system

Karena kemampuannya untuk mengarahkan pancaran ke arah yang diinginkan serta menolak sinyal interferensi, kinerja adaptive array system lebih baik dibanding switched beam system. Adapun perbandingan coverage relatif dari switched beam system, adaptive array system dan conventional sectoring

(26)

Adaptive array system lebih rumit jika dibandingkan dengan switched beam

system karena sistem ini menggunakan algoritma adaptive beamforming yang

kompleks untuk menentukan arah kedatangan sinyal dengan cepat. Akan tetapi sistem ini membutuhkan lebih banyak biaya dibandingkan dengan switched beam system [1].

Gambar 2.4 Perbandingan coverage relatif dari sistem switched beam, adaptive array dan conventional sectoring

2.3 Cara Kerja Smart Antenna

Smart antenna bekerja seperti berikut. Asumsikan bahwa ada seorang

(27)

Smart antenna mampu mengolah sinyal-sinyal yang diterima oleh susunan

antena atau yang dipancarkan oleh susunan antena dengan menggunakan susunan algoritma-algoritma yang sesuai untuk meningkatkan performa sistem wireless. Sebuah susunan antena terdiri dari seperangkat elemen-elemen antena terdistribusi (dipole, monopole, atau elemen-elemen antena directional) yang diatur dalam ukuran tertentu (linear, circular, atau rectangular grid) dimana jarak antara elemen dapat berbeda-beda. Sinyal-sinyal yang dikumpulkan oleh elemen-elemen individu digabungkan secara koheren yang meningkatkan kekuatan sinyal yang diinginkan dan mengurangi interferensi dari sinyal-sinyal yang lain. Sebab itu, sebuah smart antenna dapat dipandang sebagai kombinasi dari elemen-elemen antena regular atau conventional yang sinyal-sinyal pancar atau terimanya diproses menggunakan algoritma-algoritma adaptive beamforming [2].

.

Gambar 2.5 Diagram blok implementasi smart antenna

Gambar 2.5 menunjukkan sebuah implementasi umum dari sistem smart antenna. Seperti yang ditunjukkan pada gambar, susunan-susunan antena memiliki

input (masukan) atau output (keluaran) sebagai sinyal-sinyal RF dalam domain

(28)

mode memancarkan, sinyal-sinyal digital baseband diubah ke RF dengan menggunakan Digital to Analog Converters (DACs). Perubahan ke bawah dari RF ke baseband atau perubahan ke atas dari baseband ke RF dapat melibatkan penggunaan sinyal-sinyal IF. Sinyal-sinyal baseband yang diterima dari masing-masing antena kemudian digabungkan menggunakan algoritma-algoritma smart pada bagian pengolahan digital. Karena itu, masing-masing elemen antena mempunyai sebuah rantai RF mulai dari elemen antena ke front end RF ke konversi digital untuk penerima dan sebaliknya untuk pengirim. Bagian pengolahan digital dapat diimplementasikan pada sebuah mikroprosesor atau sebuah DSP (Digital Signal Processor) atau FPGA (Field Programmable Gate Array). Oleh karena itu,

implementasi algoritma smart biasanya adalah sebuah kode perangkat lunak (software) jika tidak diimplementasikan dalam sebuah ASIC (Application Specific Integrated Circuit) atau FPGA.

2.4 Antenna Array

(29)

Adapun tujuan membuat susunan antena, yaitu untuk mendapatkan diagram arah dengan pola tertentu (beamforming) dan mendapatkan diagram arah dengan pengendalian arah tertentu (beamsteering). Adapun konfigurasi dari sebuah antena array linier sepanjang sumbu x ditunjukkan oleh Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Antena array linier

Medan listrik total dari sebuah array ditentukan oleh penjumlahan vektor medan listrik dari masing-masing elemen sesuai Persamaan 2.1 [3].

= + = �̅ ƞ � 4� {

− [ � − �⁄ ]

� +

− [ � + �⁄ ]

� } (2.1)

dimana � adalah beda fasa antar elemen. Medan listrik sebuah antenna array dapat berbentuk 2 dimensi atau 3 dimensi. Untuk array yang sama, ada

beberapa degrees of freedom yang dapat digunakan untuk membentuk pola sorotan sebuah antena, yaitu [3] :

1. Konfigurasi array secara geometris (linear, circular, planar dan spherical). 2. Amplitude excitation dari tiap elemen.

(30)

2.5 Linear Array

Linear array merupakan konfigurasi antena susun (array) yang paling

sederhana. Adapun contoh linear array yaitu dua elemen array dan N-elemen linear array. Berikut uraian beberapa jenis linear array.

2.5.1 Dua Elemen Array

[image:30.595.222.410.333.465.2]

Adapun bentuk antena array yang paling mudah untuk dianalisis yaitu antena array dengan dua elemen array. Gambar 2.7 menunjukkan antena dipole yang disusun secara vertikal sepanjang sumbu y dengan jarak sebesar d [3].

Gambar 2.7 Dua elemen array

Field point terletak pada jarak r dari titik awal (origin) dimana ≫ . Misalkan vektor r, r1, dan r2 paralel antara satu sama lainnya yang diberikan oleh Persamaan 2.2 dan Persamaan 2.3. Maka, persamaan untuk medan listrik total diberikan oleh Persamaan 2.4 [3].

+ sin � (2.2) − sin � (2.3)

= ƞ� − �

4� sin � . cos

sin �+ �

(31)

� = beda fasa antar dua elemen yang berdekatan L = panjang antena

= sudut yang diukur dari sumbu z pada spherical coordinates d = jarak antar elemen

2.5.2 N – Elemen Linear Array

[image:31.595.210.426.363.487.2]

Adapun contoh linear array yang paling umum yaitu linear array dengan N elemen array. Misalkan tiap elemen mempunyai jarak antar elemen yang sama dan amplituda yang sama. Gambar 2.8 menunjukkan N – elemen linear array yang terdiri atas beberapa elemen isotropis [3].

Gambar 2.8 N elemen linear array

Misalkan pada kondisi medan jauh dimana ≫ , maka array factor dapat ditentukan dengan menggunakan Persamaan 2.5 [3].

(32)

2.6 Circular Array dan Planar Array

[image:32.595.185.453.236.440.2] [image:32.595.183.458.512.706.2]

Adapun contoh konfigurasi antena array lainnya yang dapat digunakan untuk membentuk pola sorotan antena yaitu uniform circular dan uniform planar circular array. Gambar 2.9 menunjukkan konfigurasi uniform circular array dan

Gambar 2.10 menunjukkan konfigurasi uniform planar circular array [3].

Gambar 2.9 Uniform circular array

(33)

2.7 Konsep Adaptive Array

Adaptive array telah menjadi solusi terbaik untuk beberapa masalah

penerimaan yang umumnya melibatkan deteksi sinyal dan estimasi kedatangan sinyal. Alasan yang mendasari adalah konsep ini menawarkan direktivitas dan pembatasan sensitivitas, serta gain yang besar dan beamwidth yang lebih sempit. Adapun beberapa keuntungan dari penggunaan adaptive array, antara lain [3]: 1. Gain yang tinggi. Penambahan jumlah elemen akan meningkatkan gain. 2. Electronic beam scanning. Dengan menggunakan phase shifter pada tiap

elemen array, maka beam dapat digeser tanpa pergerakan mekanis.

3. Side lobe yang lebih kecil. Jika desired signal ditangkap oleh main lobe sedangkan sinyal interferensi ditangkap oleh side lobe, maka pengecilan side lobe secara relatif terhadap main lobe akan meningkatkan signal to

interference ratio (SIR).

4. Multiple beams. Pencatuan pada array memungkinkan multiple main beam

secara bersamaan. 5. Adaptive nulling.

Sistem adaptive array meningkatkan penerimaan desired signal dalam komunikasi radar, sonar, seismik dan komunikasi wireless. Sistem ini secara otomatis dapat mendeteksi sinyal penganggu dan menekannya sehingga secara simultan meningkatkan penerimaan sinyal [3].

2.8 Alasan Penggunaan Smart Antenna

(34)

1. Terbatasnya spektrum yang tersedia menyebabkan keterbatasan kapasitas. 2. Lingkungan propagasi gelombang radio dan mobilitas dari user

meningkatkan fading dan delay. 3. Terbatasnya umur perangkat mobile.

[image:34.595.191.438.283.474.2]

Sebagai tambahan, sistem komunikasi wireless dan seluler harus bisa mengatasi interferensi yang diakibatkan oleh frequency reuse. Adapun penyebab penurunan kualitas sistem komunikasi ditunjukkan pada Gambar 2.11.

Gambar 2.11 Penyebab penurunan kualitas sistem komunikasi

Adapun penyebab penurunan kualitas suatu sistem komunikasi disebabkan oleh dua hal. Yang pertama adalah multipath fading, yang disebabkan oleh banyak nya lintasan yang ditempuh oleh sinyal yang dipancarkan untuk mencapai antena penerima, sehingga sinyal yang diterima oleh antena penerima akan melemah [1].

(35)

data maksimum. Kelemahan yang ketiga adalah co-channel interference. Sistem selular membagi kanal-kanal frekuensi yang tersedia kedalam kumpulan-kumpulan kanal, menggunakan satu kumpulan kanal tiap sel, dengan penggunaan ulang frekuensi. Inilah yang menyebabkan co-channel interference. Untuk level gangguan co-channel yang ditentukan, kapasitas dapat dinaikkan dengan menyusutkan ukuran sel, tetapi dengan penambahan base station [1].

2.9 Propagasi Sinyal

Sampai saat ini, masalah kapasitas selalu dikaitkan dengan co-channel interference dan keterbatasan kanal akibat pertambahan jumlah user [4]. Selain itu,

multipath fading dan delay spread juga berperan dalam pengurangan kapasitas

sistem. Karena kemampuan smart antenna untuk beradaptasi dengan lingkungan, maka delay spread dan multipath fading dapat berkurang sehingga meningkatkan kapasitas.

Sinyal yang dipancarkan oleh perangkat mobile user bersifat omnidirectional. Akibatnya, sinyal dapat terpantul oleh benda-benda seperti

gedung sehingga akan menyebabkan multiple delay di sisi penerima. Multiple delay ini tidak sesuai dalam fasa karena perbedaan panjang lintasan yang diukur dari letak base station. Hal ini disebut sebagai multipath fading yang ditunjukkan pada

Gambar 2.12 [4].

(36)
[image:36.595.212.426.94.272.2]

Gambar 2.12 Multipath environment

Gambar 2.13 Fade zone

Fade zone biasanya kecil dan selalu berubah setiap saat selama sinyal yang

diterima mengalami atenuasi (pelemahan) akibat perpindahan dari user. Area yang lebih terang menunjukkan fade zone dalam multipath environment.

2.10 Kelebihan dan Kekurangan Sistem Smart Antenna

[image:36.595.267.410.336.496.2]
(37)

Dengan memfokuskan radiasi, maka cakupan dari base station akan semakin jauh. Sistem switched beam dapat meningkatkan cakupan base station sampai 200 persen, tergantung pada kondisi lingkungan dan perangkat yang digunakan.

2. Pengurangan interferensi co-channel

Smart antenna memiliki kemampuan agar dapat fokus memancarkan energi

dalam bentuk pola radiasi hanya ke arah yang diinginkan pengguna dan memiliki pola radiasi nulls ke arah yang tidak diinginkan. Oleh karena itu interferensi co-channel dapat diabaikan.

3. Peningkatan kapasitas.

Secara umum, smart antenna akan meningkatkan level daya sinyal dan mengurangi interferensi, sehingga meningkatkan SIR (signal to interference ratio).

4. Tingkat keamanan yang tinggi.

Smart antenna membuat penyusup sult untuk mendapatkan koneksi karena

harus diposisikan dalam arah yang sama seperti yang terlihat oleh base station.

5. Kompatibilitas

Teknologi smart antenna dapat diterapkan pada berbagai teknik multiple access seperti pada SDMA (space division multiple access). Hal ini hampir

(38)

station harus dilengkapi dengan teknologi pengolahan sinyal digital yang canggih.

Hal ini tentunya akan meningkatkan biaya.

2.11 Beamforming

Antenna array yang mengarahkan sorotan ke arah yang diinginkan dengan

cara menggeser fasa tiap elemen disebut juga sebagai phased array antenna [4]. Pola sorotan akan digeser oleh phase shifter dan biasanya digunakan pada berbagai frekuensi gelombang radio. Metode ini disebut juga electronic beamsteering karena adanya pergeseran fasa pada tiap elemen antena.

Phase array antenna modern sering disebut juga sebagai smart antena

dimana arah pancarannya dibentuk sesuai dengan arah yang diinginkan. Smart antena disebut juga sebagai digital beamformed (DBF). Karena menggunakan teknologi ini menggunakan pengolahan sinyal digital, maka proses pembentukan beam disebut juga sebagai digital beamforming.

Pola radiasi dari antena ini akan dikendalikan oleh berbagai algoritma pengolahan sinyal tergantung kepada kriteria yang diinginkan. Adapun kriteria tersebut antara lain:

1. Maximizing signal to interference ratio (SIR).

SIR merupakan perbandingan antara sinyal yang diterima dengan sinyal interferensi. Semakin besar sinyal yang diterima, maka SIR akan semakin besar dan sebaliknya.

2. Minimizing mean square error (MSE)

(39)

sorotan dapat diatur ke arah null dari sinyal interfereni sehingga akan meningkatkan perbandingan level sinyal terhadap interferensi.

Ada dua jenis beamforming, yaitu analog beamforming dan digital beamforming. Adapun keuntungan digital beamforming dibandingkan analog

beamforming, yaitu pergeseran fasa antar elemen dan bobot array dapat dilakukan

[image:39.595.162.494.298.484.2]

secara cepat dibandingkan analog beamforming. Adapun konfigurasi analog beamforming dan digital beamforming ditunjukkan pada Gambar 2.14 [4].

Gambar 2.14 Konfigurasi beamforming : (a) analog beamforming (b) digital beamforming

2.12 Adaptive Beamforming

Adaptive beamforming adalah proses pembentukan pola sorotan adaptif

(40)

Adaptive beamforming dapat dilakukan dengan menggeser fasa dari tiap

elemn array sehingga sinyal yang dikirimkan atau diterima dari tiap elemen akan berbeda fasa dalam arah yang berbeda. Fasa antar elemen (interelement phase) dan amplitudo diatur untuk mengoptimalkan penerimaan sinyal [5].

Dalam beamforming adaptif, berat optimum secara iterasi dihitung dengan algoritma yang kompleks dengan kriteria yang berbeda. Ada dua tipe algoritma yang digunakan untuk adaptive beamforming, yaitu [6]:

1. Non-blind adaptive algorithm, yaitu algoritma yang menggunakan sinyal referensi untuk memodifikasi bobot array secara iteratif. Adapun contoh algoritma ini, yaitu algoritma Least Mean Square (LMS).

2. Blind adaptive algorithm, yaitu algoritma yang tidak memerlukan sinyal referensi untuk memodifikasi bobot array. Adapun contoh algoritma ini, yaitu Constant Modulus Algorithm (CMA).

2.12.1 Non- Blind Adaptive Algorithm

Non-blind adaptive algorithms adalah algoritma yang menggunakan sinyal

referensi (desired signal) untuk memodifikasi bobot array secara iterasi. Non-blind adaptive algorithm memerlukan training sequence dari desired signal d(k) untuk

mengekstrak informasi dari desired user dari lingkungan sekitar. Adapun contoh non-blind adaptive algorithm adalah algoritma LMS.

(41)

ini ditunjukkan oleh Gambar 2.15 [5]. Adapun output array antena y(t) diberikan oleh Persamaan 2.6 [5].

[image:41.595.175.436.195.330.2]

= � Ѳ + ∑= � Ѳ + (2.6)

Gambar 2.15 Sistem adaptive beamforming algoritma LMS

S(t) menunjukkan kedatangan sinyal yang diinginkan pada sudut Ѳ dan menunjukkan sinyal intererensi dengan sudut datang sebesar Ѳ secara berturut. � Ѳ dan � Ѳ menunjukkan steering vector untuk sinyal yang diinginkan dan sinyal interferensi. Besar weight vector diberikan oleh Persaman 2.7 [5].

+ = + [−∇ { } ] (2.7)

dengan adalah parameter step-size dimana < µ <

� � . � merupakan eigenvalue dari matriks korelasi R dan merupakan mean square error antara output y(n) dan desired signal d(n) yang diberikan oleh Persamaan 2.8. Gradient

vector dapat dihitung dengan Persamaan 2.9. Algoritma LMS menyederhanakan

(42)

= [ ∗ − ℎ ] (2.8) ∇ { } = − + � (2.9)

� = ℎ (2.10) = ∗ (2.11) + = + (2.12)

Mean square error, (n) merupakan salah satu kriteria adaptive beamforming. Semakin kecil nilai MSE antara desired signal dan output, maka pola

lebar sorotan dapat diatur ke null sehingga akan meningkatkan level SIR (signal to interference ratio).

2.12.2 Blind Adaptive Algorithm

Blind adaptive algorithm tidak memerlukan training sequence dari sinyal

referensi untuk menentukan besar weight vector yang diperlukan. Adapun contoh blind adaptive algorithm, yaitu algoritma CMA. Beberapa adaptive algorithm

bertujuan untuk mengurangi error antara sinyal referensi dan array output. Dikatakan constant modulus karena sinyal yang ideal mempunyai amplituda yang konstan dalam berbagai kondisi lingkungan sinyal [7].

Constant modulus algorithm diperkenalkan oleh Dominique Godard. Ia

menggunakan fungsi dengan notasi p, sehingga optimum weight diberikan oleh Persamaan 2.13 [8].

(43)

dengan p adalah integer positif dan q juga merupakan integer positif . Rp dan error berturut-turut diberikan oleh Persamaan 2.14 [6] dan Persamaan 2.15 [6], dimana s(k) adalah zero memory estimate dari y(k).

= �[| | �]

�[| |�] (2.14) = | |�− �− | |� (2.15)

Adapun weight update dari algoritma CMA ditunjukkan oleh Persamaan 2.16 dimana µ adalah variabel step size.

(44)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Antena merupakan salah satu komponen penting dalam sistem telekomunikasi. Sebagai perangkat yang meradiasi dan menerima gelombang elektromagnetik, antena telah mengalami perkembangan yang sangat pesat baik dalam bentuk maupun aplikasinya. Salah satu pengembangan antena adalah smart antenna yang merupakan susunan dari antena yang dikombinasikan dengan

pengolahan sinyal.

Antena array merupakan antena yang menggunakan beberapa elemen antena individual yang bekerja sama sehingga membentuk suatu antena dengan karakteristik yang berbeda dari antena individualnya. Keunikan antena array adalah bahwa pola radiasi dari antena dapat dikendalikan dengan cara mengatur sedemikian rupa fasa arus catu masing-masing elemen antena dan mengatur jarak antar elemennya.

Inti dari smart antenna yaitu memilih algoritma adaptive beamforming. Dengan menggunakan algoritma adaptive beamforming, bobot dari array antena dapat diatur untuk membentuk pola radiasi adaptif untuk melacak user secara otomatis sehingga mengurangi interferensi dari user lainnya [1].

Algoritma LMS (least mean square) merupakan salah satu algoritma adaptive beamforming yang sering digunakan pada sistem smart antenna [1].

(45)

mudah dan ketahanan terhadap berbagai kondisi sinyal [1]. Algoritma LMS sering digunakan pada sistem adaptive filter. Tugas Akhir ini akan menganalisa pengaruh jumlah elemen array terhadap speed of convergence algoritma LMS.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut: 1. Apa pengaruh jumlah elemen array terhadap speed of convergence

algoritma LMS?

2. Apa hubungan antara speed of convergence dengan proses adaptive beamfoming?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan Tugas Akhir ini adalah untuk menganalisis pengaruh jumlah elemen array terhadap speed of convergence algoritma LMS.

1.4 Batasan Masalah

Agar isi dan pembahasan Tugas Akhir ini terarah, maka penulis membuat batasan masalah sebagai berikut :

1. Algoritma yang digunakan adalah algoritma LMS (least mean square). 2. Parameter yang akan dianalisis hanya speed of convergence algoritma LMS. 3. Parameter yang nilainya akan diatur yaitu jumlah elemen array.

4. Sudut sinyal datang yang diinginkan sebesar 45°.

5. Jumlah elemen yang digunakan sebanyak dua elemen sampai 12 elemen. 6. Sudut interferensi yang diinginkan sebesar 60°.

(46)

1.5 Metodologi Penelitian

Adapun metodologi penelitian Tugas Akhir ini yaitu :

1. Studi literatur. yaitu dengan membaca teori-teori yang berkaitan dengan topik Tugas Akhir yang terdiri dari buku-buku referensi baik yang dimilki oleh penulis atau dari perpustakaan dan juga dari artikel-artikel, jurnal, layanan internet, dan lain-lain.

2. Simulasi dengan menggunakan perangkat lunak komputer untuk menganalisis pengaruh jumlah elemen array terhadap speed of convergence algoritma LMS.

1.6 Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini menjelaskan secara singkat secara singkat latar belakang, tujuan penelitian, rumusan masalah, batasan masalah dan metodologi penelitian.

BAB II DASAR TEORI

Bab ini berisi teori tentang smart antenna dan tipe-tipe sistem smart antenna serta algoritma adaptive beamforming yang digunakan

dalam Tugas Akhir.

BAB III METODE PENELITIAN

(47)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini membahas hasil simulasi sistem smart antenna dengan piranti lunak komputer.

BAB V PENUTUP

(48)

ABSTRAK

Smart antenna merupakan sebuah antena array yang dikombinasikan

dengan teknologi pengolahan sinyal digital. Tujuan penggunaan teknologi pengolahan sinyal yaitu untuk mengetahui arah kedatangan sinyal dari user yang dimaksud sehingga meningkatkan penerimaan sinyal. Salah satu cara untuk meningkatkan penerimaan sinyal adalah dengan menambah jumlah elemen antena. Tugas Akhir ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jumlah elemen array terhadap speed of convergence algoritma LMS (least mean square). Dari analisis diperoleh bahwa penambahan jumlah elemen array akan meningkatkan speed of convergence algoritma LMS. Speed of convergence paling cepat sebesar 11 iterasi

saat jumlah elemen yang digunakan sebanyak 10 elemen sampai 12 elemen dan paling lambat sebesar 104 iterasi saat jumlah elemen yang digunakan sebesar dua elemen. Semakin cepat speed of convergence, maka proses adaptive beamfoming untuk melacak dan mengoptimalkan pancaran ke arah user yang diinginkan juga semakin cepat.

(49)

TUGAS AKHIR

PENGARUH JUMLAH ELEMEN ARRAY TERHADAP SPEED OF CONVERGENCE ADAPTIVE BEAMFORMING PADA SMART ANTENNA

Diajukan untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan pendidikan sarjana (S-1) pada

Departemen Teknik Elektro Sub konsentrasi Teknik Telekomunikasi Oleh

ZULHAM JULIO NIM : 120402067

DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(50)

TUGAS AKHIR

PENGARUH JUMLAH ELEMEN ARRAY TERHADAP SPEED OF CONVERGENCE ADAPTIVE BEAMFORMING PADA SMART ANTENNA

Oleh:

Zulham Julio

120402067 Disetujui Oleh:

Pembimbing

Ir. Arman Sani, MT NIP: 196311281991031003

Diketahui Oleh:

Ketua Departemen Teknik Elektro FT USU

Ir. Surya Tarmizi Kasim, M.Si NIP: 195405311986011002 DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(51)

ABSTRAK

Smart antenna merupakan sebuah antena array yang dikombinasikan

dengan teknologi pengolahan sinyal digital. Tujuan penggunaan teknologi pengolahan sinyal yaitu untuk mengetahui arah kedatangan sinyal dari user yang dimaksud sehingga meningkatkan penerimaan sinyal. Salah satu cara untuk meningkatkan penerimaan sinyal adalah dengan menambah jumlah elemen antena. Tugas Akhir ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jumlah elemen array terhadap speed of convergence algoritma LMS (least mean square). Dari analisis diperoleh bahwa penambahan jumlah elemen array akan meningkatkan speed of convergence algoritma LMS. Speed of convergence paling cepat sebesar 11 iterasi

saat jumlah elemen yang digunakan sebanyak 10 elemen sampai 12 elemen dan paling lambat sebesar 104 iterasi saat jumlah elemen yang digunakan sebesar dua elemen. Semakin cepat speed of convergence, maka proses adaptive beamfoming untuk melacak dan mengoptimalkan pancaran ke arah user yang diinginkan juga semakin cepat.

(52)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas Berkah dan Rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir yang berjudul :

PENGARUH JUMLAH ELEMEN ARRAY TERHADAP SPEED OF CONVERGENCE ADAPTIVE BEAMFORMING PADA SMART ANTENNA

Tugas Akhir merupakan bagian dari kurikulum yang harus diselesaikan untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan pendidikan Sarjana Strata Satu (S-1) di Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

Tugas Akhir ini saya persembahkan kepada yang teristimewa, yaitu Ayahanda Sawirman dan Ibunda Nirwanti, yang telah membesarkan, mendidik dan selalu mendoakan penulis tanpa mengenal rasa lelah. Selanjutnya rasa sayang kepada saudara penulis, Ilham Yusuf yang selalu memberi dukungan dan semangat kepada penulis.

Selama penulis menjalani pendidikan di kampus hingga menyelesaikan Tugas Akhir, penulis banyak menerima bantuan, bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan kali ini, penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang tulus kepada :

1. Bapak Ir. Arman Sani, M.T, selaku Dosen Pembimbing Tugas Akhir penulis yang senantiasa membimbing dan memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.

(53)

3. Bapak Ir. Surya Tarmizi Kasim, M.Si, selaku Ketua Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Rahmad Fauzi, S.T, M.T, selaku Sekretaris Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

5. Seluruh Staf Pengajar yang telah memberikan bekal ilmu kepada penulis dan Staf Pegawai di Departemen Teknik Elektro.

6. Seluruh sahabat penulis, Faishal, Junaidi, Antan, Bambang, Windi, Wahyu, Leily, Rini, Ibnu , Guntur, M. Arif, Fauzi, Fauziah, Sudarmin, Fajar, M. Arif Suhendra, Agida, Hendra Prayetno, Gansyar, Roso, Ihsan, Royansyah, Muadzzah, Syahrul, Yogy, Dody, Ilham Bagus, Arif Milando, M. Ridho, Elyani, Suji, Mahatir, Habib, Fadlan, Ifan, Lipi, Rasyid, Kennedy, Ardi, Arief. W , Syahrul Lesmana dan teman-teman angkatan 2012 lainnya, atas kebersamaan dan dukungan yang diberikan kepada penulis selama menjalani masa perkuliahan.

7. Seluruh senior dan junior di Departemen Teknik Elektro atas dukungan dan bantuan yang diberikan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa Tugas Akhir ini masih jauh dari kata sempurna. Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan untuk menyempurnakan Tugas Akhir ini. Kiranya Tugas Akhir ini bermanfaat bagi kita semua. Terimakasih.

Medan, 21 September 2016

Penulis

(54)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah……….. ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 2

1.4 Batasan Masalah ... 2

1.5 Metodologi Penelitian ... 3

1.6 Sistematika Penulisan ... 3

II. DASAR TEORI ... 5

2.1 Pengertian Smart Antenna ... 5

2.2 Klasifikasi Smart Antenna ... 6

2.2.1 Switch Beam System ... 6

2.2.2 Adaptive Array System ... 8

2.3 Cara Kerja Smart Antenna ... 9

2.4 Antenna Array ... .11

2.5 Linear Array ... .13

2.5.1 Dua Elemen Array ... .13

2.5.2 N – Elemen Array ... .14

2.6 Circular Array dan Planar Array ... .15

2.7 Konsep Adaptive Array ... 16

2.8 Alasan Penggunaan Smart Antenna ... 16

2.9 Propagasi Sinyal ... 18

(55)

2.11 Beamforming ... 21

2.12 Adaptive Beamforming ... 22

2.12.1 Non Blind Adaptive Algorithm ... 23

2.12.1 Blind Adaptive Algorithm ... 25

III METODE PENELITIAN ... 27

3.1 Metodologi Penelitian ... 27

3.2 Jenis Antena yang Digunakan ... 29

3.3 Spesifikasi Perangkat Penelitian ... 30

3.4 Parameter Umum Simulasi ... 31

3.5 Parameter Analisis ... 32

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

4.1 Umum ... 33

4.2 Analisis Hasil Simulasi ... 33

V KESIMPULAN DAN SARAN ... 44

5.1 Kesimpulan ... 44

5.2 Saran ... 44

(56)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Konfigurasi sistem smart antenna………..………6

Gambar 2.2 Pola radiasi switched beam system.………...…7

Gambar 2.3 Pola radiasi adaptive array system ………...8

Gambar 2.4 Perbandingan coverage relatif dari sistem switched beam, adaptive array dan conventional sectoring……….………9

Gambar 2.5 Diagram blok implementasi smart antenna ………...10

Gambar 2.6 Antena array linier……………...………..12

Gambar 2.7 Dua elemen array……………..………...13

Gambar 2.8 N- elemen linear array…….……….14

Gambar 2.9 Uniform circular array ……….15

Gambar 2.10 Uniform planar circular array………....15

Gambar 2.11 Penyebab penurunan kualitas sistem komunikasi ...……17

Gambar 2.12 Multipath environment………19

Gambar 2.13 Fade zone………19

Gambar 2.14 Konfigurasi beamforming………...22

Gambar 2.15 Sistem adaptive beamforming algoritma LMS………...24

Gambar 3.1 Diagram alir metodologi penelitian………...28

Gambar 3.2 Konfigurasi antena yang digunakan…...29

Gambar 3.3 Grating lobes………...………32

(57)

Gambar 4.1 Hasil simulasi untuk N = 2 elemen ... 34

Gambar 4.2 Hasil simulasi untuk N = 3 elemen ... 35

Gambar 4.3 Hasil simulasi untuk N = 4 elemen ... 36

Gambar 4.4 Hasil simulasi untuk N = 5 elemen ... 37

Gambar 4.5 Hasil simulasi untuk N = 6 elemen ... 38

Gambar 4.6 Hasil simulasi untuk N = 7 elemen ... 39

Gambar 4.7 Hasil simulasi untuk N = 8 elemen ... 39

Gambar 4.8 Hasil simulasi untuk N = 9 elemen ... 40

Gambar 4.9 Hasil simulasi untuk N = 10 elemen ... 41

Gambar 4.10 Hasil simulasi untuk N = 11 elemen ... 42

Gambar 4.11 Hasil simulasi untuk N = 12 elemen ... 42

(58)

DAFTAR TABEL

Gambar

Gambar 3.1 Diagram alir proses penelitian
Gambar 3.2 Konfigurasi antena yang digunakan
Gambar 3.4 Blok diagram adaptive filter dengan algoritma LMS
Gambar 4.1 Hasil simulasi untuk N = 2 elemen
+7

Referensi

Dokumen terkait