• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGANTAR Dinamika Psikologis Ketidakjujuran Akademik Pada Calon Pendidik.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGANTAR Dinamika Psikologis Ketidakjujuran Akademik Pada Calon Pendidik."

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENGANTAR

Di Indonesia standar kompetensi lulusan pada jenjang perguruan tinggi telah diatur dalam PP pasal 26 nomor 19 tahun 2005. Didalamnya menjelaskan bahwa standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan tinggi bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang berakhlak mulia, memiliki pengetahuan, keterampilan, kemandirian, dan sikap untuk menemukan, mengembangkan, serta menerapkan ilmu, teknologi, dan seni, yang bermanfaat bagi kemanusiaan. Dijelaskan pula standar untuk menjadi seorang pendidik tercantum dalam PP pasal 28 nomor 19 tahun 2005 ayat 3 yang berisi Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi: Kompetensi pedagogik, Kompetensi kepribadian, Kompetensi profesional, dan Kompetensi sosial.

Manurung (2012) menjelaskan penjabaran dari kompetensi kepribadian didalamnya mencakup kejujuran. Dimana sebagai seorang pendidik, kewajiban guru adalah mengajarkaan kejujuran didalam kelas yang dibuktikan dengan memberikan keteladanan. Dipertegas oleh Salabi (2014) bahwa sekolah tidak hanya fokus pada ilmu pengetahuan peserta didik yang unggul tapi juga bertanggungjawab terhadap karakter dan kepribadian.

(2)

2

Penelitian tentang kejujuran pada calon guru pernah dilakukan oleh Arianto (2013) dengan judul “Tingkat Kejujuran Sosial dan Akademik Mahasiswa Pendidikan Biologi”. Sebanyak 132 mahasiswa semester 2, 4, dan 6 di Fakultas pendidikan biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram menjadi subjek dalam penelitiannya. Hasilnya menunjukan bahwa kejujuran pada mahasiswa cenderung menurun ketika jenjang semesternya meningkat. Kejujuran sosial yang dilakukan mahasiswa berkaitan erat dengan kejujuran akademik. Dari penelitian tersebut juga diperoleh hasil bahwa wanita memiliki tingkat kejujuran sosial dan kejujuran akademik lebih tinggi daripada pria. Menarik kesimpulan dari penelitiannya Arianto, bahwa ketidakjujuran pada calon guru merupakan bentuk dari menurunnya kompetensi kepribadian yang seharusnya dimiliki oleh guru.

Media massa saat ini juga banyak berita mengenai ketidakjujuran yang terjadi di Indonesia. Tingkat ketidakjujuran akademik merupakan salah satu bagian dari berita yang sudah sangat memprihatinkan. Mulai dari kasus menyontek dikelas hingga pada pembelian ijazah palsu yang ternyata sudah lama berlangsung (kompas, 2015). Berita terbaru di bulan september tahun 2015 yaitu tentang sidak yang dilakukan oleh kemenristek dikti dilapangan yang menemukan adanya wisuda ilegal. Wisuda ilegal yang dilaporkan terjadi di 3 perguruan tinggi swasta. Sejumlah 1.235 Wisudawan dinyatakan ilegal karena tidak terdaftar di Kopertis. Informasi yang diperoleh mahasiswa melakukan pembelajaran kelas jauh namun setelah ditelusuri ternyata tidak ada pembelajaran (dikti, 2015).

(3)

3

mengikuti proses perkuliahan seperti pada umumnya. Sasaran dari ijazah palsu ini adalah guru swasta dan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi tahun 2015 mengatakan banyaknya plagiarisme juga banyak ia lihat di lingkungan Kemenristek dan Dikti. Hal tersebut diketahui pada pengajuan karya ilmiah untuk kenaikan jabatan atau untuk menjadi guru besar. Jika terjadi plagiatisme maka gelar Guru Besar bisa dicabut. Padahal peraturan terkait plagiarisme sesungguhnya sudah tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 17 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan

Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi

(http://dikti.go.id/blog/2015/04/17/kawal-antiplagiasi-perguruan-tinggi harusbentu k-dewan-etik/).

Murphy dan Banas (2009) menyatakan bahwa kejujuran akademik berarti bersikap jujur dalam setting pendidikan. Kibler (1993) mendefinisikan ketidakjujuran akademik sebagai bentuk kecurangan dan plagiarism yang melibatkan siswa dalam memberi atau menerima bantuan yang tidak sah dalam latihan akademis atau menerima uang untuk pekerjaan yang bukan dilakukan oleh mereka sendiri. Jones (2011) mengungkapkan bahwa ketidakjujuran akademik mencakup perbuatan menyontek, menipu, plagiarisme, dan pencurian ide, baik yang dipublikasikan atau tidak dipublikasikan. Kecurangan merupakan bagian dari perilaku tidak jujur. Davis dkk (2009) mengatakan Kecurangan akademik mengacu pada tindakan yang dilakukan oleh siswa yang menipu, menyesatkan, atau menipu guru dengan berpikir bahwa karya akademik yang disampaikan mahasiswa adalah kanya sendiri. Kecurangan akademik adalah masalah yang fundamental bagi integritas akademik di perguruan tinggi (Brimble dan Clarke, 2005).

(4)

4

Banas menjelaskan bentuk dari plagiarisme adalah; (1) Membeli atau menyalin pekerjaan orang lain (seperti makalah) dan mengkalim sebagai hasil kerja sendiri, (2) Menyalin dari kertas orang lain selama kuis atau ujian, (3) Membayar orang lain untuk mengerjakan tugas sekolah sendiri. Bentuk lain dari ketidakjujuran akademik yaitu mengerjakan pekerjaan lain, mengubah nilai atau catatan akademis melalui pemalsuan, mencuri atau merusak properti milik sekolah, berbohong atau melebih- lebihkan data untuk membuat hasil dari pekerjaan anda tampak lebih dipercaya, dan kecurangan pada tes atau tugas lainnya dengan menggunakan catatan atau sumber lainnya yang tidak seharusnya digunakan.

Faktor yang melatarbelakangi terjadinya ketidakjujuran akademik adalah faktor motivasional (Handayani & Baridwan, 2013; McCabe, 1999; Murdock dan Anderman, 2006; Nursani & Irianto; 2013) dan Faktor kontekstual (Jordan, 2001; Maymon, Benjamin, Stavsky, Shoshani dan Roth, 2015; McCabe & Trevino, 1997). McCabe (1999) mengatakan bahwa motivasi umum terkait keterlibatan siswa dalam ketidakjujuran akademik dilatarbelakangi oleh tekanan untuk mendapatkan nilai yang lebih tinggi, keinginan untuk unggul, kurangnya persiapan dan tekanan untuk mendapatkan pekerjaan setelah selesai studi. Faktor yang memprediksi kecurangan sebagai pengaruh perilaku tidak jujur melalui tiga mekanisme motivasional: (a) tujuan siswa, (b) harapan siswa untuk mencapai tujuan, dan (c) penilaian siswa dari biaya terkait dengan pencapaian tujuan-tujuan Murdock dan Anderman (2006).

(5)

5

diri (Nursalam, Munirah & Bani, 2013), self esteem dan need for approval, ketakutan terhadap kegagalan, kompetisi untuk memperoleh nilai yang tinggi serta peringkat akademis, dan self efficcy. Faktor demografi yang mempengaruhi perilaku menyontek adalah jenis kelamin, umur, Indeks Prestasi Komulatif (IPK), moralitas, riwayat pendidikan sebelumnya dan fakultas atau jurusan yang diambil. Terkait dengan jenis kelamin, Banyak penelitian yang melaporkan bahwa ketidakjujuran akademik lebih banyak dilakukan oleh laki-laki daripada perempuan (Diekhof, 1996; Jensen, 2001; Roig, 2005; Whitley, 1998).

Penelitian ketidakjujuran dilakukan Lestari dan Asyanti (2015) pada 365 siswa yang terdiri dari 187 siswa SMP dan 178 siswa SMA di Surakarta. Hasil penelitian menunjukan bentuk-bentuk ketidakjujuran pada situasi tugas, ulangan, dan ujian yaitu menyontek, menyalin tugas teman, mengutip blog dalam mengerjakan makalah, meminta teman mengerjakan tugas, bertanya pada teman, menyontek teman, membuka buku, meminta jawaban, dan mencari kesempatan untuk menyontek. Tujuan dari ketidakjujuran yang dilakukan adalah untuk menyelesaikan tugas/ ulangan/ ujian, menghindari hukuman, menghindari kemarahan, ingin memperoleh nilai yang baik, menghindari kesulitan dan mengikuti perilaku teman-teman yang curang.

(6)

6

Penelitian terkait ketidakjujuran akademik pada mahasiswa juga dilakukan oleh Ariska (2015). Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk ketidakjujuran akademik mahasiswa antara lain menyontek, plagiarisme, dan melanggar aturan perkuliahan, membawa contekan, penggunaan handphone, menganti kalimat dari tugas teman, tidak berkontribusi dalam tugas kelompok, copy paste dan plagiarism. Selaras dengan penelitian Nursalan, munirah dan Bani (2013)

menjelaskan bentuk kecurangan yang dilakukan oleh mahasiswa adalah menyontek hasil ujian temannya, membuka buku saat ujian, menyalin kerjaan teman, dan melakukan salinan dari internet melalui handphone.

Penelitian yang dilakukan Purnamasari pada mahasiswa Universitas Negeri Semarang pada angkatan tahun 2010 dengan jumlah subjek 250 orang menunjukkan bahwa tingkat kecurangan akademik yang terjadi pada mahasiswa Universitas Negeri Semarang angkatan 2010 tinggi dengan faktor efikasi diri akademik sebagai faktor paling dominan. Penelitian Warsiyah (2013) pada 92 mahasiswa muslim di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, Tingkat Keimanan dan Prokrastinasi Akademik secara tidak langsung (melalui Sikap terhadap menyontek) memiliki pengaruh yang signifikan pada Perilaku Menyontek. Nursalam, munirah dan Bani (2013) mengatakan bahwa Faktor-faktor yang menyebabkan mahasiswa melakukan kecurangan akademik adalah dipengaruhi oleh mahasiswa lain yang menyontek, ujian yang sulit, waktu pengerjaan yang singkat, tidak memahami materi, tidak percaya diri dengan hasil kerja sendiri, tidak berlakunya hukuman, dan keinginan untuk memperoleh hasil yg bagus. Selaras dengan hasil Penelitian Minarcik dan bridges (2015) pada 201 mahasiswa pasca sarjana jurusan psikologi. Mayoritas mahasiswa yang melakukan kecurangan akademik tidak memperoleh konsekuensi negatif (81%) dan bahkan akan melakukannya lagi (41%).

(7)

7

(2014) tentang pandangan etis terhadap kecurangan akademis dilihat dari perbandingan lintas budaya mahasiswa S1 di Ukrania dan Amerika Serikat. Hasilnya menyebutkan bahwa, secara umum mahasiswa Ukraina memandang kecurangan akademis sebagai sesuatu yang tidak terlalu salah jika dibandingkan dengan mahasiswa Amerika Serikat. Mahasiswa Ukraina juga memiliki pemahaman yang berbeda tentang apa yang dikategorikan sebagai kecurangan akademis dan yang bukan.

Anderman dan Murdock (2007) mengatakan bahwa kecurangan pada karya akademis melibatkan beragam fenomena psikologis, termasuk belajar, pengembangan, dan motivasi. Dari perspektif pembelajaran, kecurangan adalah strategi jalan pintas kognitif. Pembelajaran yang efektif sering melibatkan penggunaan yang kompleks dari regulasi diri dan strategi kognitif, kecurangan menghalangi kebutuhan untuk menggunakan strategi tersebut. Sehingga siswa dapat memilih untuk melakukan kecurangan, baik karena mereka tidak tahu bagaimana cara menggunakan strategi pembelajaran yang efektif. Withley (1998) menambahkan bahwa ketidakjujuran akademik lebih dimungkinkan terjadi pada siswa dengan kemampuan belajar yang tidak efektif.

(8)

8

menyatakan dilatarbelakangi oleh soal ujian yang sulit dan ingin menghindari nilai yang tidak memuaskan. Melihat kondisi tersebut, kecurangan akademik yang dilakukan oleh mahasiswa sebagai calon pendidik menarik untuk ditindaklanjuti untuk dilakukan penelitian terkait dengan dinamika psikologisnya.

Untuk menjelaskan dinamika psikologi maka perlu mengacu pada pengertian dan penjelasanya. Dalam kamus psikologi, Chaplin (2011) menjelaskan dinamika (dynamic) sebagai sesuatu yang menyinggung sistem psikologi. Dimana didalamnya menjelaskan motif, menyinggung perubahan, hal-hal yang menimbulkan perubahan, atau sistem-sistem yang menekankan penyebab tingkah laku yang tidak disadari. Untuk menjelaskan dinamika psikologis maka harus memperhatikan aspek-aspek psikologis yaitu aspek emosi, aspek kognitif dan aspek perilaku. Emosi, diartikan sebagai satu keadaan yang terangsang dari organisme, mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya, dan perubahan perilaku. Kognitif merupakan suatu konsep umum yang didalamnya mencakup semua bentuk pengenalan. termasuk di dalamnya mengamati, melihat, memperhatikan, memberikan, menyangga, membayangkan, memperkirakan, menduga, dan menilai. Perilaku diartikan sebagai sembarang respon yang berisi reaksi, tanggapan, jawaban atau balasan. Secara khusus bagian dari satu kesatuan pola reaksi/ perbuatan/ aktivitas. Ketiga aspek tersebut akan membahas bagaimana dinamika psikologis pada calon pendidikan yang melakukan ketidakjujuran akademik.

(9)

9

Referensi

Dokumen terkait

Pembahasan spasial bangunan yang terdiri dari orientasi bangunan, fungsi ruang, hubungan ruang, organisasi ruang, dan sirkulasi ruang menghasilkan adanya karateristik bangunan

Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital tersebut dilakukan oleh instansi/lembaga terkait yang dikoordinasikan oleh Kepala BNPB dan atau kepala BPBD sesuai

Ada beberapa penyakit di Indonesia yang bermula dari nekrosis contohnya adalah pada jantung ada Acut Miocardiac Infark, pada hati ada Sirosis, pada paru-paru

Data yang diperoleh berasal dari persepsi individu tentang pemakai sistem informasi pada perusahaan manufaktur yang terdaftar pada Bursa Efek Jakarta (BEJ). Hasil

dalam upacara tradisi Perang Topat tidak dapat dipisahkan. Karena simbol-simbol atau piranti.. yang digunakan dalam prosesi. uapacara

 Tuntutan : Meminta Menteri KKP Susi Pudjiastuti untuk mundur dari jabatannya, Meminta Presiden RI untuk membatalkan seluruh peraturan yang dibuat oleh Menteri

Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada Arsip Nasional Republik Indonesia Tahun Anggaran 2009 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pH, suhu dan konsentrasi substrat selobiosa yang optimum u ntuk aktivitas β -glukosidase Bacillus pumilus dari saluran pencernaan