• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pergeseran Alasan Perceraian Menurut Hukum Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pergeseran Alasan Perceraian Menurut Hukum Di Indonesia"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

PERGESERAN ALASAN PERCERAIAN MENURUT HUKUM DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

SRI AYU UTAMI 070200154

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PERGESERAN ALASAN PERCERAIAN MENURUT HUKUM DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH: SRI AYU UTAMI

NIM : 070200154

DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN : PERDATA BW

Disetujui oleh :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum NIP. 196603031985081001

Pembimbing I Pembimbing II

Prof.Dr.H.Tan Kamello,S.H., M.S. Zulkifli, S.H., M.Hum NIP. 1962204211988031004 NIP. 196101181988031010

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil alamin, segala puji dan syukur Penulis ucapkan pada

Allah SWT Sang Khalik, Sang Maha Pemberi Jalan kepada umat, yang telah

mencurahkan rahmat dan karunia yang begitu besar kepada Penulis sehingga

penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Begitu pula shalawat dan

salam Penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW

(Allahumma sholi ala Sayyidina Muhammad, wa ala ali Sayyidina Muhammad).

Semoga kita mendapatkan syafaatnya di hari kelak.

Penulisan skripsi yang berjudul:

PERGESERAN ALASAN PERCERAIAN MENURUT HUKUM DI INDONESIA

adalah guna memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum (SH) di

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Secara khusus saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

Ayahanda Drs. H. Syamsul Bahri dan Ibunda Hj. Sri Rahmawati, S.Sos. yang

telah mencurahkan serta memberikan perhatian, kasih sayang, bantuan, dan

pengorbanan yang tak ternilai hingga Penulis dapat melanjutkan dan

menyelesaikan pendidikan formal hingga Strata Satu (S1). Semoga Allah SWT

selalu memberikan kesehatan dan perlindungan bagi orangtua Penulis. Amin.

Tak lupa Penulis ucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum

(4)

mahasiswa/i di dalam lingkungan Kampus Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM selaku Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.H. selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing

Akademik. Terima kasih atas perhatian, dukungan serta bimbingan yang telah

Bapak berikan selama ini. You are the best lecturer I ever had.

6. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum. dan Ibu Rabiatul Syahriah, S.H.,

M.Hum. selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan.

Terima kasih atas waktu dan kesempatan yang telah Bapak dan Ibu berikan

hingga skripsi ini dapat selesai sebagaimana mestinya.

7. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S. selaku Dosen Pembimbing I. Penulis

mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan serta

dukungannya yang sangat berarti dan bermanfaat bagi Penulis.

8. Bapak Zulkifli, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II dan Dosen

Hukum Perdata. Terima kasih atas semua bantuan serta perhatian dan

dukungan yang sangat besar manfaatnya bagi Penulis.

9. Bapak dan Ibu Dosen yang telah mendidik Penulis selama empat tahun

(5)

10. Bang Erwin Adhanto, S.H. yang telah menjadi tempat bertanya dan bertukar

pikiran selama ini, terima kasih atas perhatian dan saran-saran serta

dukungannya.

11. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum. yang telah menjadi inspirasi dan

penyemangat bagi Penulis selama ini, terima kasih atas perhatiannya. You are

my beloved lecturer.

12. Abang dan Adikku tercinta Mhd. Fazar Kurniawan, SIP. dan Sri Rizki Sari

terima kasih dukungan dan perhatiannya selama ini, yang tidak

bosan-bosannya menemani dan memberi semangat Penulis dalam menyelesaikan

skripsinya. Cobaan bukan penghalang suatu keberhasilan. I love you all.

13. Keluarga besar H. Panut Alfisah, S.H., khususnya sepupuku Kak Swita

Amalia, S.Kom. dan Kak Nurul Atika, S.H. yang selalu memberikan

dukungan, terima kasih atas semangat yang telah diberikan selama ini. Big

love for Panut Family.

14. Om dan Tanteku, Purnama Ginting, S.E. dan Hj. Sri Lelianti, S.H. yang telah

menjadi orangtua kedua Penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, terima kasih atas kasih sayang, dukungan dan

perhatian yang diberikan selama ini, sehingga menambah semangat dalam

mengerjakan skripsi.

15. Buat Bang Alkautsar Sailanov, S.H. dan Bang Riko Nugraha, S.H. yang telah

banyak sekali memberikan ilmu dan wawasannya, Bang Indra Fadilah dan

(6)

menjadi senior yang baik bagi Penulis terima kasih atas perhatian, dukungan

dan semangat yang telah diberikan selama ini.

16. Buat Bang Ahmad Almaududy Amri, S.H. dan Bang Sudirman Naibaho, S.H.,

yang mengenalkan Organisasi Badan Ta’mirul Mushola (BTM) Aladdinsyah,

S.H. sehingga Penulis banyak mendapat pembelajaran dan pengetahuan yang

sangat bermanfaat.

17. Keluarga Besar Badan Ta’mirul Mushola (BTM) Aladdinsyah, S.H. Fakultas

Hukum USU.

18. Pemerintahan Mahasiswa (PEMA) Fakultas Hukum USU periode

kepengurusan 2009-2010.

19. Terima kasih juga Penulis ucapkan kepada sahabat-sahabat yang sangat

Penulis sayangi, Wina Avina Nst, Ninda Ausry, Rizki Karina Azilia, Ratu

Jushabella, Ferdiansyah “Kakek”, Hendry “Asun”, Ermilia Devrita, Dinda

Aprilita Putri, Yulia Andarini “Jol”, Omar Akbar, Miftah Farid, Alamin

Syahputra, Agmalun Hasugian, M. Febriansyah Putra “Pepy”, Theo Suwanda,

S.H., Ferdian “Dedek”, Debora Risma, S.H., Finita Serena, M. Suhaji Utama,

S.H., Febri Dermawan, dan Rio Randy RS. Senang bisa kenal dengan kalian

semua, melalui hari-hari bersama dalam suka dan duka. Begitu banyak

kenangan indah yang tidak dapat dilupakan, semoga persahabatan dan

silaturahmi kita tetap terjalin sampai hari tua. Amin. Really love you all guys

20. Dan buat seluruh teman-teman stambuk 2007 yang tidak dapat Penulis

(7)

21. Buat adek-adek stambuk 2008, Wirda, Fatya, Berliana, Fika, Putri, Anggi,

Zaki, Adhari, Rozy dan yang lainnya yang tidak dapat Penulis sebutkan satu

persatu, teruskan perjuangan kalian ya.

22. Dan buat semua teman-teman yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu,

terima kasih buat semuanya.

Kesadaran Penulis akan tidak sempurnanya hasil penulisan skripsi ini

membawa harapan yang besar pada semua pihak agar dapat memberikan kritik

dan saran yang konstriktif guna menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih

baik dan lebih sempurna lagi, baik dari segi isi/materi maupun dari segi cara

penulisannya di masa mendatang.

Semoga Allah SWT melimpahkan segala rahmat dan karuniaNya kepada

kita semua dan membalas segala kebaikan dan jasa semua pihak yang telah

membantu Penulis secara tulus dan ikhlas dengan mendapatkan balasan yang

setimpal.

Wassalam

Penulis

(8)

ABSTRAKSI

Hukum Perkawinan yang berlaku di Indonesia dituangkan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Sebuah perkawinan tentunya tidak terlepas dari kata perceraian, walaupun tidak ada pasangan suami-isteri manapun yang ingin bercerai. Perubahan nilai-nilai sosial yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia membuat tingkat perceraian semakin tinggi terutama kasus cerai gugat. Akibatnya terjadi pergeseran alasan-alasan perceraian yang seyogyanya telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 namun hanya berlaku formalitas belaka.

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana kedudukan suami dan isteri dalam pengajuan gugatan perceraian, dan bagaimana perkembangann alasan perceraian dalam perkawinan di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif yang dilakukan melalui kajian terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan hukum lainnya yang relevan. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan, dan dianalisis secara kualitatif.

(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………...i

ABSTRAKSI ……..………...vi

DAFTAR ISI………...……….vii

BAB I : PENDAHULUAN………..1

A. Latar Belakang………...1

B. Perumusan Masalah………...7

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan………...…..7

D. Keaslian Penulisan……….8

E. Tinjauan Kepustakaan………...9

F. Metode Penelitian………....13

G. Sistematika Penulisan………..15

BAB II : TINJAUAN UMUM PERKAWINAN DAN PERCERAIAN….19 A. Sejarah Hukum Perkawinan………18

B. Perkawinan………..27

C. Perceraian………38

D. Akibat Hukum Perkawinan Dan Perceraian………46

E. Perkawinan Campuran………50

F. Peraturan Mengenai Perkawinan……….57

BAB III : KEDUDUKAN SUAMI DAN ISTERI DALAM PENGAJUAN GUGATAN PERCERAIAN………...65

A. Sebelum Diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974………65

(10)

C. Kedudukan Suami Dan Isteri Dalam Hubungannya Dengan

Perkawinan Campuran Berkaitan Dengan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan…………...78

BAB IV : PERKEMBANGAN ALASAN PERCERAIAN DALAM PERKAWINAN DI INDONESIA………..….85

A. Sebab-Sebab Perceraian Yang Berkembang Dalam Masyarakat...85

B. Alasan Yang Menjadi Latar Belakang Perceraian………..96

C. Pergeseran Alasan Perceraian Mempengaruhi Perkembangan Hukum Perkawinan Indonesia………...…102

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN………...106

A. Kesimpulan……….………...106

B. Saran………...106

(11)

ABSTRAKSI

Hukum Perkawinan yang berlaku di Indonesia dituangkan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Sebuah perkawinan tentunya tidak terlepas dari kata perceraian, walaupun tidak ada pasangan suami-isteri manapun yang ingin bercerai. Perubahan nilai-nilai sosial yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia membuat tingkat perceraian semakin tinggi terutama kasus cerai gugat. Akibatnya terjadi pergeseran alasan-alasan perceraian yang seyogyanya telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 namun hanya berlaku formalitas belaka.

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana kedudukan suami dan isteri dalam pengajuan gugatan perceraian, dan bagaimana perkembangann alasan perceraian dalam perkawinan di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif yang dilakukan melalui kajian terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan hukum lainnya yang relevan. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan, dan dianalisis secara kualitatif.

(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada dasarnya manusia adalah mahluk Zoon Politicon artinya manusia selalu bersama manusia lainnya dalam pergaulan hidup dan kemudian

bermasyarakat. Hidup bersama dalam masyarakat merupakan suatu gejala yang

biasa bagi manusia dan hanya manusia yang memiliki kelainan saja yang ingin

hidup mengasingkan diri dari orang lain. Salah satu bentuk hidup bersama yang

terkecil adalah keluarga. Keluarga ini terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang

terbentuk karena perkawinan. Kata perkawinan atau pernikahan bukan suatu kata

yang asing karena sejak dahulu manusia sudah melakukan perkawinan.

Perkawinan merupakan salah satu dimensi kehidupan yang sangat penting

dalam kehidupan manusia yang merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan

kuat sebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam

membentuk suatu keluarga atau rumah tangga. Begitu pentingnya perkawinan,

sehingga tidak mengherankan jika agama-agama, tradisi atau adat masyarakat dan

juga institusi negara tidak ketinggalan mengatur perkawinan yang berlaku di

kalangan masyarakatnya

Sebuah perkawinan bagi masyarakat adalah suatu pilihan hidup yang

memang harus dijalani agar dapat melanjutkan keturunan dalam keluarganya.

Untuk melaksanakan perkawinan sepasang pria dan wanita bukan sekedar

(13)

kesepakatan mengikatkan hubungan mereka dalam perkawinan. Begitu banyak

peristiwa perkawinan yang terjadi dimasyarakat sebagian besar didasari atas rasa

saling mencintai.

Seorang pria yang jatuh cinta kepada seorang wanita kemudian menjalani

masa pendekatan, memperkenalkan keluarga masing-masing dan merasa cocok

karena memiliki tujuan hidup yang sama maka mereka menyatukan cintanya

dalam sebuah ikatan perkawinan. Berjanji sehidup semati serta saling mencintai

satu sama lain. Ada juga sepasang sejoli yang saling mencintai dan hubungan

mereka tidak disetujui keluarga namun mereka tetap bersikukuh melaksanakan

perkawinan tanpa persetujuan atas dasar saling mencintai. Namun ada juga

sepasang insan yang dipertemukan oleh keluarga masing-masing tanpa perkenalan

yang mendalam atau sering disebut perjodohan kemudian melakukan perkawinan.

Rasa saling mencintai bukan satu-satunya alasan sepasang sejoli

melakukan perkawinan. Apalagi pada zaman sekarang dimana kebutuhan semakin

tinggi dan biaya hidup yang mahal maka banyak juga pasangan yang melakukan

perkawinan atas dasar ekonomi. Seperti seoranng wanita yang menikah dengan

laki-laki yang lebih tua jauh dari umurnya dengan alasan dapat memenuhi semua

kebutuhan hidupnya.

Begitu banyak peristiwa yang terjadi dimasyarakat mengenai latar

belakang terjadinya perkawinan yang terus berkembang dan sekarang sudah

semakin cenderung mengarah pada materi. Baik adat maupun agama menjelaskan

bahwa perkawinan merupakan suatu hal yang sakral dan berlangsung untuk

(14)

perkawinan itu pada dasarnya mempunyai makna penting, suci dan bertujuan

untuk menggapai kebahagiaan dan kesejahteraan kehidupan berkeluarga. Jadi

perkawinan bukan soal main-main seperti membeli baju, kalau tidak cocok

langsung diganti dengan yang baru, tetapi soal serius dalam mengejar kebaikan

bagi keluarga, agama dan bangsa.

Mengenai perihal perkawinan negara Indonesia telah mempunyai

undang-undang perkawinan nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan

memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan

telah berlaku bagi berbagai golongan masyarakat tersebut.1 Adapun hukum perkawinan yang berlaku secara otentik dan menyeluruh di Indonesia adalah

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan2yang selanjutnya disebut UUP.

Sesuai dengan rumusan yang tertuang di dalam UUP, maka dalam

perkawinan berarti adanya ikatan lahir batin antara seorang suami dengan seorang

isteri. Dalam agama Islam, perkawinan tidaklah semata-mata sebagai hubungan

atau kontrak keperdataan biasa seperti yang tercantum dalam pasal 26 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, akan tetapi ia mempunyai nilai ibadah yang

bersifat sakral.

Sebagaimana diketahui bahwa perkawinan selalu dibayang-bayangi

dengan kata perceraian dalam arti bahwa perkawinan tidah terlepas dari

perceraian. Setiap pasangan suami isteri tentunya tidak menginginkan dan bahkan

tidak merencanakan untuk melakukan perceraian. Saat prosesi pernikahan

1

K.Wantjik Saleh,Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1976, hal 3

2

(15)

dilangsungkan tak satu pasanganpun yang merencanakan perceraian. Bersatu

sampaitill dead do us part‘hingga maut memisahkan’ adalah impian setiap pasangan. Bunga-bunga cinta diharapkan akan terus bersemi. Kenyataannya

dalam perjalanan ujian dan cobaan badai kehidupan perkawinan menciptakan

jurang perbedaan yang tidak terjembatani. Perbedaan yang semakin terlihat

memperburuk keadaan sehingga mereka memutuskan untuk berpisah.

Mengambil contoh yang sangat gamblang terlihat adalah kehidupan

selebriti di Indonesia dimana tingginya angka perceraian memperlihatkan telah

runtuhnya norma tabu dalam masyarakat. Contohnya Dewi Persik yang bercerai

dengan Saiful Jamil dimana perceraian mereka disebabkan karena tidak ada

kecocokan merupakan sebab yang sebenarnya kurang kuat untuk dapat diajukan

sebagai alasan hancurnya rumah tangga, namun Pengadilan mengakui lewat

putusan bahwa mereka resmi bercerai. Setelah bercerai Dewi Persik

melangsungkan perkawinan dengan Aldi Taher tetapi kemudian bercerai lagi

dalam keadaan usia perkawinan yang cukup singkat. Contoh ini menunjukkan

bahwa sebagian masyarakat tidak lagi memandang perceraian sebagai hal yang

dapat memporak-porandakan citra dan harga dirinya. Sakralitas nilai lembaga

keluarga perlahan luntur. Grafik melonjaknya angka perceraian seperti bukan lagi

hal yang patut diresahkan. Bahkan berbagai media memasukkan perceraian dalam

acara yang bertajuk infotainment. Pemberitaan hancurnya ikatan perkawinan

bukan lagi menjadi berita yang menerbitkan keprihatinan, sebaliknya menjadi info

(16)

Pemaparan Sekretaris Badilag Farid Ismail dalam Focus Group Discussion di Kantor Kedeputian Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Wapres RI bahwa

meningkatnya angka perceraian di Indonesia beberapa tahun terakhir memang

merupakan fakta yang tidak bisa dibantah. Meski demikian, ditinjau dari segi

sejarah, angka perceraian di negara ini sesungguhnya bersifat fluktuatif. Hal itu

dapat dibaca dari hasil penelitian Mark Cammack, guru besar dari Southwestern

School of Law-Los Angeles, USA. Berdasarkan temuan Mark Cammack, pada

tahun 1950-an angka perceraian di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, tergolong

yang paling tinggi di dunia. Pada dekade itu, dari 100 perkawinan, 50 di antaranya

berakhir dengan perceraian. Tetapi pada tahun 1970-an hingga 1990-an, tingkat

perceraian di Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara menurun drastis,

padahal di belahan dunia lainnya justru meningkat. Angka perceraian di Indonesia

meningkat kembali secara signifikan sejak tahun 2001 hingga 2009.3

Menurut data persentase Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama

terhadap perkara yang diputus oleh Pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia

tahun 2009 menunjukkan bahwa perkara gugat cerai mencapai 57,89% dibanding

dengan perkara cerai talak sebesar 28,76% dan 13,35% merupakan perkara lain.4 Data presentase ini menunjukkan adanya pergeseran bentuk perceraian

yang sedang menjadi tren dimana isteri yang mengajukan gugatan cerai. Berbagai

alasan mengemuka sebagai sebab perceraian diantaranya, domestic violence

3

Hermansyah, Melonjaknya Angka Perceraian Menjadi Sorotan Lagi, http://www.badilag.net/index.php?option=com_content&task=view&id=5167&Itemid=1, diakses tanggal 19 Desember 2010 pukul 10.49

4

(17)

(kekeransan dalam rumah tangga) yang dilakukan suami kepada pihak isteri baik

secara fisik, ekonomi, maupun psikologis, adanya infidelity (perselingkuhan) oleh isteri yang angkanya naik drastis, cerai karena pilkada dan politik, kawin di

bawah umur, bahkan kasus cacat karena kecelakaan sepeda motor juga menjadi

salah satu dari banyak faktor terjadinya perceraian. Kemandirian finansial isteri

sepertinya tidak bisa dipungkiri sebagai faktor utama kepercayaan diri dan

keberanian isteri berinisiatif terlebih dulu mengajukan gugatan cerai kepada

suami. Stabilitas ekonomi secara signifikan self esteem (meningkatkan kepercayaan diri) dan otonomi perempuan untuk dapat melanjutkan hidup tanpa

tunjangan suami setelah putusnya ikatan perkawinan.

Perceraian adalah bagian dari putusnya perkawinan yang tercantum dalam

Pasal 30 UUP atau dalam KUH Perdata disebut pembubaran perkawinan sesuai

dengan Pasal 199. Salah satu prinsip dalam Hukum Perkawinan Nasional yang

seirama dengan ajaran agama adalah mempersulit terjadinya perceraian karena

berarti gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia,

kekal dan sejahtera. Oleh karena itu perceraian hanyalah merupakan pengecualian

sehingga perceraian tidak dapat dilakukan kecuali telah ada alasan-alasan yang

dibenarkan oleh ketentuan UUP. Alasan-alasan perceraian yang telah diatur dalam

UUP telah menjadi suatu syarat yang harus dipenuhi ketika seorang suami atau

isteri ingin mengajukan perceraian.

Perubahan nilai-nilai sosial yang sedang terjadi di tengah masyarakat

Indonesia membuat tingkat perceraian semakin tinggi. Akibat dari perkembangan

(18)

seyogyanya telah ditentukan dalam UUP namun ketika sampai pada prakteknya di

pengadilan, hakim mengabulkan perkara perceraiannya dengan alasan-alasan yang

telah mengalami pergeseran nilai dari ketentuan Undang-Undang Perkawinan

Nasional. UUP yang menganut asas monogami dan prinsip mempersulit percerain

pun pada kenyataannya hanya seperti formalitas untuk pemenuhan syarat-syarat

mengajukan gugatan perceraian di pengadilan. Penjabaran di atas menjadi fokus

pembahasan dalam skripsi ini. Alasan-alasan perceraian yang pada masa sekarang

ini telah mengalami pergeseran karena telah terjadi perubahan nilai-nilai budaya

masyarakat akibat perkembangan zaman. Pergeseran alasan-alasan perceraian ini

tentunya sudah pasti juga akan membawa dampak dan pengaruh baik terhadap

manusianya maupun terhadap hukum perkawinan di Indonesia. Oleh karena itu

maka Penulis tertarik untuk meninjau lebih jauh melalui penulisan skripsi dengan

judul “PERGESERAN ALASAN PERCERAIAN MENURUT HUKUM DI

INDONESIA”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis akan mengemukakan masalah

sebagai berikut :

1. Bagaimana kedudukan suami dan isteri dalam pengajuan gugatan perceraian?

2. Bagaimana perkembangann alasan perceraian dalam perkawinan di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan utama dari penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi

(19)

Sumatera Utara. Berdasarkan permesalahan yang telah dikemukakan di atas, maka

tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui kedudukan suami dan istri dalam pengajuan gugatan

perceraian.

2. Untuk mengetahui perkembangan alasan perceraian dalam perkawinan di

Indonesia.

Manfaat dari penulisan yang dapat dikutip dari skripsi ini antara lain :

1. Secara teoretis, penulisan ini dapat dijadikan bahan kajian untuk menambah

pengetahuan bagi perkembangan hukum perdata dalam masalah perkawinan

khususnya alasan-alasan perceraian yang telah bergeser dan mengalami

perkembangan.

2. Secara praktis, adalah untuk memberikan suatu sumbangan pemikiran yang

yuridis tentang alasan-alasan perceraian menurut hukum yang berlaku di

Indonesia yang telah bergeser dalam prakteknya di masyarakat kepada

almamater Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sebagai bahan

masukan bagi rekan-rekan mahasiswa.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan, khususnya

di lingkungan Universitas Sumatera Utara belum pernah ada penulisan skripsi

yang menyangkut pergeseran alasan perceraian yang terjadi di masyarakat,

sehingga penulisan skripsi ini adalah asli.

PERGESERAN ALASAN PERCERAIAN MENURUT HUKUM DI

(20)

ditulis secara objektif ilmiah, melalui pemikiran referensi, dari buku-buku,

bantuan dan para narasumber dari pihak-pihak lain. Skripsi ini juga bukan

merupakan jiplakan atau merupakan judul skripsi yang sudah pernah diangkat

sebelumnya oleh orang lain.

E. Tinjauan Kepustakaan

UUP memberikan definisi tentang perkawinan yaitu pasal 1 angka 1 yang

menyatakan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami dan isteri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurut Pasal 26 KUH Perdata dinyatakan Undang-Undang memandang

soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata dan dalam Pasal 81 KUH Perdata

dinyatakan bahwa tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan,

sebelum kedua pihak membuktikan kepada pejabat agama mereka, bahwa

perkawinan dihadapan pegawai pencatatan sipil telah berlangsung.5Sedangkan menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan bukan saja berarti

sebagai perikatan perdata, tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus

merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan. Perkawinan dalam arti

perikatan adat adalah perkawian yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum

adat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.6

Perkawinan dilihat dari segi keagamaan adalah suatu perikatan jasmani

dan rohani yang membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut kedua

5

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2007, hal 7

6

(21)

calon mempelai beserta keluarga kerabatnya. Hukum agama telah menetapkan

kedudukan manusia dengan iman taqwanya, apa yang seharusnya dilakukan dan

apa yang seharusnya tidak dilakukan (dilarang). Oleh karenanya pada dasarnya

setiap agama tidak dapat membenarkan perkawinan yang berlangsung tidak

seagama.7

Pengertian perkawinan menurut UUP bukan saja sebagai perbuatan

hukum, akan tetapi juga merupakan perbuatan keagamaan, sehingga sah atau

tidaknya suatu perkawinan harus berdasarkan hukum masing-masing agama dan

kepercayaannya.

UUP juga mengandung prinsip atau asas dan konsepsi mengenai

perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah

disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.

Adapun asas-asas yang tercantum dalam UUP adalah sebagai berikut :8 a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan

kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi

agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu

dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materil.

b. Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah

sah, bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya

dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus

dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

7

Ibid., hal 10

8

(22)

c. Asas monogami. Asas ini ada kekecualian, apabila dikehendaki oleh

yang bersangkutan, karena hukum dan agama mengizinkan, seorang

suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian, perkawinan

seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu

dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat

dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan

diputuskan oleh pengadilan.

d. Prinsip calon suami isteri harus telah masak jiwa dan raganya untuk

dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan

perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat

keturunan yang sehat.

e. Karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia,

kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip

mempersukar terjadinya perceraian.

f. Hak dan kedudukan suami dan isteri adalah seimbang dengan hak dan

kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam

pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatunya

dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan oleh suami isteri.

Mengenai perceraian baik dalam KUH Perdata dan UUP tidak ditentukan

secara tegas tentang definisi perceraian, oleh karena itu sangatlah sukar untuk

menentukan secara lengkap dan jelas tentang apa yang dimaksud dengan

(23)

Menurut hukum adat pada umumnya aturan mengenai perceraian

dipengaruhi oleh agama yang dianut masyarakat yang bersangkutan. Dari semua

agama yang terdapat di Indonesia, hanya agama Islam yang banyak mengatur soal

perceraian.9Menurut hukum Islam istilah perceraian disebut dalam bahasa arab yaitu Talak yang artinya melepas ikatan. Hukum asal dari Talak adalah makruh

(tercela). Sebagaimana hadis riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah dari Ibnu ‘Umar

yang mana Rasulullah SAW mengatakan sesuatu yang halal (boleh) yang sangat

dibenci Allah ialah Talak.10

Secara umum dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perceraian

adalah pemutusan hubungan perkawinan antara suami dengan isteri yang

diakibatkan oleh sebab-sebab tertentu selain daripada kematian. Perceraian dapat

terjadi karena beberapa alasan-alasan yang dalam hal ini alasan-alasan perceraian

ada tercantum dalam KUH Perdata, Hukum Agama dan UUP. Semua penjabaran

mengenai alasan perceraian memiliki satu kesamaan yaitu mempersulit terjadinya

perceraian.

Indonesia juga mengenal praktek perkawinan campuran dimana istilah

perkawinan campuran yang sering dinyatakan anggota masyarakat sehari-hari,

ialah perkawinan campuran karena perbedaan adat/suku bangsa yang bhineka,

atau karena perbedaan agama antara kedua insan yang akan melakukan

perkawinan. Perbedaan adat misalnya antara pria/wanita Minangkabau dengan

pria/wanita Jawa, dan sebagainya, sedangkan perkawinan Campuran antar agama,

misalnya antara pria/wanita beragama Hindu dengan pria/wanita Budha.

9

Hilman Hadikusuma, Op.cit., hal 152

(24)

Perkawinan ini diatur dalam Pasal 57-62 UUP, yang dimaksud dengan

perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua

orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan

kewarganegaraan, salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu

pihak berkewarganegaraan Indonesia. Dari ketentuan tersebut disimpulkan bahwa

perkawinan campuran di Indonesia diartikan hanyalah perkawinan antara mereka

yang mempunyai kewarganegaraan berbeda, sedangkan perkawinan antara

mereka yang berbeda agama bukan termasuk dalam perkawinan campuran, jika

dilakukan oleh warga negara Indonesia.

Maka untuk saat ini ketentuan tentang kewarganegaraan dari suami/isteri

yang melangsungkan perkawinan campuran akan mengacu kepada

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Sejalan dengan itu, Pasal 58 UUP merupakan kaidah petunjuk yang menentukan

akibat-akibat dari perkawinan campuran terhadap kewarganegaraan para pihak

yang menunjuk ke arah Hukum Indonesia.

F. Metode Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian, metode penelitian harus ditetapkan secara

tepat karena dengan metode penelitian ini akan membantu dalam menetapkan arah

dan tujuan penelitian sehingga akan mampu mengungkapkan penelitian secara

sistematis. Maka penulis mempergunakan metode sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Penelitian terhadap permasalahan dalam skripsi ini dilakukan dengan

(25)

kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau hanya

menggunakan data sekunder belaka.11 2. Bahan Hukum/Data

Dalam penyusunan skripsi ini, data dan sumber data yang digunakan

adalah bahan hukum primer, sekunder dan tersier.

Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan

perundang-undangan dibidang hukum perdata yang mengikat, antara lain

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UUP Tentang

Perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Bahan hukum sekunder yaitu, bahan hukum yang memberikan penjelasan

terhadap bahan hukum primer, yakni hasil karya para ahli hukum berupa

buku-buku, pendapat-pendapat pakar hukum, rancangan undang-undang, dan hasil-hasil

penelitian yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini.

Bahan hukum tersier atau bahan penunjang, yaitu bahan hukum yang

memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer

dan/atau bahan hukum sekunder yakni, kamus hukum dan kamus besar bahasa

indonesia.

3. Metode Pengumpulan Data/Bahan Hukum

Dalam melakukan kegiatan penelitian ini teknik pengumpulan data yang

digunakan penulis adalah Penelitian Kepustakaan (Library Research) yaitu

11

(26)

pengumpulan data yang diperoleh dari buku-buku, tulisan-tulisan, peraturan

perundang-undangan dan referensi lainnya yang mempunyai relevansi langsung

dari masalah yang akan diteliti, yang disebut sebagai data sekunder.

4. Analisis Data/Bahan Hukum

Penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam skripsi ini termasuk ke

dalam penelitian hukum normatif. Pengolahan data pada hakekatnya merupakan

kegiatan untuk melakukan analisa terhadap pemasalahan yang akan dibahas.

Analisis data dilakukan dengan:

a. Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang

diteliti;

b. Memilih kaidah-kaidah hukum yang sesuai dengan penelitian;

c. Menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep, pasal yang ada;

d. Menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif kwalitatif.

G. Sistematika Penulisan

Sistem penulisan skripsi ini terbagi ke dalam bab-bab yang menguraikan

permasalahan secara tersendiri, di dalam suatu konteks yang saling berkaitan satu

sama lain. Penulis membuat sistematika dengan membagi pembahasan

keseluruhan ke dalam 5 (lima) bab, dimana setiap bab terdiri dari beberapa sub

bab yang dimaksudkan untuk memperjelas dan mempermudah penguraian

masalah agar dapat lebih dimengerti, sehingga akhirnya sampai kepada suatu

(27)

Adapun susunan ini skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN, yang terdiri dari beberapa sub bab, yakni : Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan,

Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan, dan

Sistematika Penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM PERKAWINAN DAN PERCERAIAN, yang terdiri atas beberapa sub bab, yakni : Sejarah Hukum Perkawinan,

Perkawinan, Perceraian, Akibat Hukum Perkawinan Dan Perceraian,

dan Peraturan Mengenai Perkawinan.

BAB III : KEDUDUKAN SUAMI ISTERI DALAM PENGAJUAN GUGATAN PERCERAIAN, yang terdiri atas beberapa sub bab, yakni : Sebelum Diundangkannya Undang-Undang Perkawian Nomor

1 Tahun 1974, Setelah Diundangkannya Undang-Undang Perkawinan

Nomor 1 Tahun 1974, dan Kedudukan Suami dan Isteri Dalam

Hubungannya Dengan Perkawinan Campuran Berkaitan Dengan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan.

BAB IV : PERKEMBANGAN ALASAN PERCERAIAN DALAM

PERKAWINAN DI INDONESIA, yang terdiri dari beberapa sub bab, yakni : Sebab-Sebab Perceraian Yang Berkembang Dalam

Masyarakat, Alasan Yang Menjadi Latar Belakang Perceraian, dan

Pergeseran Alasan Perceraian Mempengaruhi Perkembangan Hukum

(28)

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN, yang dalam bab ini dirumuskan kesimpulan yang diambil dari pembahasan-pembahasan dalam skripsi

ini dan diakhiri dengan beberapa sumbang saran untuk kemajuan

pembangunan nasional. Sebagai pelengkap skripsi ini, pada bagian

(29)

BAB II

TINJAUAN UMUM PERKAWINAN DAN PERCERAIAN

A. Sejarah Hukum Perkawinan

Penjelasan Umum UUP antara lain dinyatakan bagi suatu negara dan

bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-Undang Perkawinan

Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan

hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi

berbagai golongan dalam masyarakat.12

Hal ini bermakna bahwa dengan keluarnya UUP “keanekaragaman”

hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan berlaku bagi berbagai

golongan warga negara dalam masyarakat dan dalam berbagai daerah dapat

diakhiri. Namun demikian ketentuan hukum perkawinan sebelumnya, ternyata

masih tetap dinyatakan berlaku, selama belum diatur sendiri oleh UUP dan hal itu

tidak bertentangan dengan UUP tersebut.13

Ketentuan hukum perkawinan yang lama masih tetap berlaku sesuai

dengan peruntukan yakni untuk mereka yang melangsungkan perkawinan sebelum

lahirnya UUP, seperti berikut:14

a. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum

(perkawinan) Islam yang telah diresiplir dalam hukum adat;

12

Lihat Penjelasan Umum Angka 1 Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

13

Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan Dan Kekeluargaan Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal 230

14

(30)

b. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum perkawinan adat;

c. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku

Huwelijksordonnantie Christen Indonesia (Ordonansi Perkawinan Kristen Indonesia) Staatsblad 1933 Nomor 74;

d. Bagi orang-orang Timur Asing Tionghoa dan Warga Negara Indonesia

keturunan Tionghoa berlaku ketentuan-ketentuan KUH Perdata dengan

sedikit perubahan;

e. Bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warga negara Indonesia

keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku hukum (perkawinan) adat

dan agama mereka masing-masing;

f. Bagi orang-orang Eropa dan warga negara Indonesia keturunan Eropa dan

yang disamakan dengan mereka berlaku KUH Perdata.

Lahirnya UUP ini bertitik pangkal dari anggapan peraturan

perundang-undangan yang mengatur masalah perkawinan di masa lalu sudah tidak cocok lagi

dengan politik hukum dan kebutuhan masa kini. Oleh karena itu, undang-undang

ini harus dipandang sebagai hasil proses penyempurnaan konsepsi-konsepsi

hukum dimasa lalu. Suatu perwujudan dari berbagai keinginan dalam

menciptakan suatu hukum perkawinan yang bersifat “nasional” dan sesuai dengan

kebutuhan hukum rakyat Indonesia dimasa kini dan masa mendatang.15

Kelahiran UUP bukan sekedar bermaksud menciptakan suatu hukum

perkawinan yang bersifat dan berlaku “nasional” dan “menyeluruh”, melainkan

juga dimaksudkan dalam rangka mempertahankan, lebih menyempurnakan,

15

(31)

memperbaiki atau bahkan menciptakan konsepsi-konsepsi hukum perkawinan

yang baru sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman bagi rakyat Indonesia

yang pluralistik. Dalam kaitan ini, penjelasan umum UUP antara lain menyatakan

dalam undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai

perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah

disesuaikan dengan perkembangan zaman dan tuntutan zaman.16

Cita unifikasi yang telah ditinggalkan oleh pemerintah kolonial Belanda

menjadi aktual lagi dan bersifat nasional. Pemerintah kolonial belanda selalu

mengalami kegagalan untuk menciptakan unifikasi hukun di Indonesia. Pada

dasarnya rencana hukum tersebut mengarah dan berlandaskan kepada hukum

Barat. Menggingat bangsa Indonesia merupakan bagian terbesar penduduk dan

telah memiliki hukumnya sendiri, sudah tentu merasa keberatan untuk tunduk

pada hukum Eropa yang merupakan bagian kecil saja dari penduduk Hindia

Belanda pada waktu itu.

Ahli-ahli hukum Indonesia memiliki perbedaan pendapat mengenai perlu

tidaknya dilakukan unifikasi hukum perkawinan, berhubung hukum perkawinan

tersebut erat kaitannya dengan kehidupan sosial keagamaan. Sebagian besar ahli

hukum menghendaki adanya suatu unfikasi hukum perkawinan, namun oleh

mereka diisyaratkan agar pengunifikasiannya dilakukan secara berhati-hati dan

bertahap, jangan sampai menyinggung perasaan sesuatu golongan hukum tertentu.

Sebaliknya ada yang mengecam pengunifikasian hukum perkawinan sebab

16

(32)

hubungan hukum perkawinan dipengaruhi secara mendalam oleh paham-paham

keagamaan dan kemasyarakatan.

Tahun 1974 Indonesia telah berhasil menciptakan suatu hukum

perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara Indonesia dan dengan tanpa

membedakan golongan penduduk dan daerah lagi, dengan mengatasi

persoalan-persoalan yang selama ini dinilai krusial. Saat ini hukum di Indonesia telah

berhasil menciptakan suatu unifikasi hukum perkawinan yang bersifat nasional

sebagaimana diatur dalam UUP, namun masih terbatas pada hal-hal yang bersifat

administratif atau formal saja, selebihnya masih diserahkan kepada hukumnya

masing-masing.17

Keinginan pemerintah untuk membentuk hukum perkawinan yang bersifat

“nasional”, sudah mulai dirintis sejak tahun 1950. Pada masa lalu pembaharuan

terhadap hukum perkawinan selalu menemui kegagalan berhubung subjek dan

objek yang diatur hukum perkawinan berkaitan erat dengan kehidupan social

keagamaan, yang tidak mudah untuk disatupadukan. Ini berarti pembaruan hukum

perkawinan nasional harus dilakukan penuh hati-hati, sehingga tidak

menimbulkan kekecewaan golongan penduduk lainnya.

Semenjak tahun 1950 pemerintah telah memberikan perhatiannya pada

hukum keluarga, terutama sekali yang berkaitan dengan Undang-Undang

Perkawinan. Usaha pembaruan hukum keluarga ini mengalami banyak kegagalan

berhubung denngan sifatnya yang sangat sensitif dan sangat erat sangkut pautnya

dengan faktor-faktor spiritual dan kebudayaan bangsa, yang menyebabkan

17

(33)

kewenangannya harus dilakukan secara berhati-hati.18 Pada akhir tahun 1950

dengan Surat Perintah Menteri Agama No B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950

oleh pemerintah dibentuklah Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum

Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat Islam.19 Panitia ini menyusun suatu Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang dapat menampung semua

kenyataan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat pada waktu itu.

Karena keanggotaannya terdiri dari atas orang-orang yang dianggap ahli

mengenai hukum umum, hukum Islam dan Kristen dari berbagai aliran yang

diketuai oleh Tengku Hasan.20

Tahun 1952 akhir, panitia telah membuat suatu Rancangan

Undang-Undang Perkawinan yang terdiri atas peraturan umum, yang berlaku untuk semua

golongan dan agama dan peraturan-perraturan khusus yang mengatur hal-hal yang

mengenai golongan agama masing-masing. Selanjutnya pada tanggal 1 Desember

1952 panitia menyampaikan Rancangan Undang-Undang Perkawinan Umum

kepada semua organisasi pusat dan lokal dengan permintaan supaya

masing-masing memberikan pendapat atau pandangannya tentang soal-soal tersebut

paling akhir pada tanggal 1 Februari 1953.21Rancangan yang dimajukan itu selain berusaha kearah kodifikasi dan unifikasi, juga telah mencoba memperbaiki

keadaan masyarakat dengan menetapkan antara lain :

18

Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan Dan Hukum Perceraian Di Malaysia Dan Indonesia, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991, hal 18

19

Asro Soisroatmodjo, dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, hal 9

20

Nani Soewondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat, Timun Mas, Jakarta, hal 176

21

(34)

1. Perkawinan harus didasarkan kemauan bulat dari kedua belah pihak,

untuk mencegah kawin paksaan ditetapkan batas-batas umur 18 bagi

laki-laki dan 15 bagi perempuan;

2. Suami isteri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam

kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam

masyarakat;

3. Poligami diizinkan bila diperbolehkan oleh hukum agama yang

berlaku bagi orang yang bersangkutan dan diatur sedemikian hingga

dapat memenuhi syarat keadilan;

4. Harta bawaan dan harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi

milik bersama;

5. Perceraian diatur dengan keputusan Pengadilan Negeri, berdasarkan

alasan-alasan yang tertentu, mengenai talak dan rujuk diatur dalam

peraturan Hukum Islam;

6. Kedudukan anak sah atau tidak, pengakuan anak, mengangkat dan

mengesahkan anak, hak dan kewajiban orang tua terhadap anak,

pencabutan kekuasaan orang tua dan perwalian.22

Tanggal 24 April 1953 diadakan hearing oleh Panitia Nikah, Talak dan Rujuk dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan, yang dalam rapatnya bulan

Mei 1953 Panitia memutuskan untuk menyusun Undang-Undang Perkawinan

menurut sistem yang berlaku:

22

(35)

1. Undang-Undang Pokok yg berisi semua peraturan yang berlaku bagi

umum bersama-sama (uniform), dengan tidak menyinggung agama; 2. Undang-Undang Organik, yang mengatur soal perkawinan menurut

agama masing-masing, yaitu bagi golongan Islam, Kristen Katolik, dan

golongan Kristen Protestan;

3. Undang-Undang untuk golongan netral, yaitu yang tidak termasuk

suatu golongan agama itu.23

Tahun 1954 akhirnya panitia telah berhasil membuat Rancangan

Undang-Undang tentang Perkawinan Umat Islam yang kemudian disampaikan oleh

Menteri Agama kepada Kabinet akhir bulan September 1957 dengan penjelasan

masih akan ada amandemen-amandemen yang menyusul. Tetapi sampai

permulaan tahun 1958 belum ada tindakan-tindakan apapun dari pemerintah

mengenai soal undang-undang perkawinan itu.24

Pemerintah juga selama bertahun-tahun tidak memberikan tanggapan

sampai pada tahun 1958 beberapa anggota wanita parlemen di bawah pimpinan

Soemari, mengajukan rancangan inisiatif terpenting diantaranya, setidak-tidaknya

bagi dunia Islam Indonesia sebuah masalah yang menggemparkan bahwa didalam

usul inisiatif itu telah ditetapkan suatu keharusan untuk menjalankan monogami.

Pemerintah pada waktu itu sudah memberikan reaksi dengan mengemukakan

suatu rancangan yang hanya mengatur perkawinan Islam. Justru dari pihak Islam

tradisional terdapat keraguan apakah bagi orang-orang Islam diperlukan hukum

perkawinan. Bukankah peraturan-peraturan yang sekali telah diberikan Tuhan,

23

Ibid., hal 180

24

(36)

sebagaimana yang telah diwahyukan secara cermat dalam syariat diperuntukkan

untuk segala zaman dan negara. Bahan-bahan baru untuk didiskusikan yakni

rencana-rencana tersebut tidak pernah dibahas selanjutnya.25

Satu setengah tahun setelah pengajuan pengusulan, dalam bulan Oktober

1959, Rancangan Undang-Undang Soemari tersebut ditarik kembali oleh para

pengajunya, kendati memperoleh perhatian yang besar dari sejumlah anggota

DPR, Rancangan tersebut sepertinya tidak bepeluang untuk dibicarakan. Para

anggota Partai Islam menngadakan perlawanan, terutama terhadap asas monogami

yang dikandung dalam Rancangan tersebut. Sudah barang tentu sebagai organisasi

kaum perempuan memprotes argumentasi yang dipergunakan untuk

membenarkan poligami.26

Pembentukan UUP berproses sangat panjang dan kemudian

dimusyawarahkan dengan sungguh isi Rancangan Undang-Undang tentang

Perkawinan, agar dapat menampung aspirasi masyarakat dan memberikan

formulasinya secara teknis yuridis. Dalam memberikan isi kepada Rancangan

Undang-Undang tentang Perkawinan tersebut diusahakan untuk mempertemukan

aspirasi hukum yang berbeda-beda itupun tidak bisa dilakukan materi yang

dipermasalahkan akan dicabut.

Satjipto Rahardjo menyatakan, bahwa dilihat dari sudut fungsi hukum

sebagai a tool of social engineering, Undang-Undang tentang Perkawinan ini tidak sesuai dengan perkiraan yang didasarkan pada kemampuan hukum untuk

25

J. Prins, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Alih Bahasa G.A. Ticoalu, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal 19-20

26

(37)

menjalankan a tool of social engineering di bidang-bidang yang berkaitan erat dengan kehidupan kebudayaan dan spiritual masyarakat, namun dilihat dari proses

perkembangan masyarakat menuju masyarakat industri, pengundang-undangan ini

patut dicatat sebagai suatu kemajuan yang besar. Undang-Undang tentang

Perkawinan ini memuat ketentuan-ketentuan yang apabila dinilai dari sudut tipe

keluarga yang dikehendakinya, bisa digolongkan pada keluarga yang cocok untuk

masyarakat modern industrial. Apabila ditempatkan pada latar belakang sebagai

bentuk perkawinan di Indonesia yang masih mendasarkan diri pada ikatan dan

struktur clan (kesukuan), maka kehadirannya dapat dinilai sebagai sarana untuk melakukan perubahan sosial. Perubahan sosial di sini terjadi dengan cara

melakukan perombakan-perombakan pada struktur hubungan sosial.27

Apabila dilihat dari segi peranannya bagi pembangunan nasional, hukum

perkawinan yang baru ini bisa dipandang sebagai satu bangunan yang didirikan di

tengah-tengah masyarakat yang memberikan peringatan tentang berbagai janji

yang termuat dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut. Ketentuan-ketentuan

yang tercantum didalamnya mungkin belum seluruhnya atau secara sempurna

dapat dijalankan dalam masyarakat Indonesia sekarang ini dan diingatkan pula

agar berhati-hati dalam membuat hukum yang menyangkut bidang kehidupan

yang bersifat pribadi, apalagi jika hukum itu hendak melakukan

perombakan-perombakan dibidang tersebut.

Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Kehakiman Oemar Seno Adji

dalam sambutannya atas disetujuinya Rancangan Undang-Undang tentang

27

(38)

Perkawinan untuk dijadikan Undang-Undang tentang Perkawinan sangat penting

terutama bagi pemerintah.

Bagi suatu Negara dan Bangsa Indonesia adalah mutlak adanya Undang-Undang Perkawinan Nasional dan dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka Undang-Undang Perkawinan ini harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta mengandung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan hukum masing-agama agama dan kepercayaannya itu. Sebagai suatu Undang-Undang yang nasional sifatnya dan yg meliputi seluruh warga negara Indonesia, merupakan suatu penggarisan lanjutan dari TAP MPR No. IV/MPR/1973 tentang GBHN, yang antara lain menentukan bahwa seluruh kepulauan Nusantara merupakan satu kesatuan hukum, dalam arti bahwa hanya ada satu hukum dalam hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional. Ketunggalekaan dalam Hukum Perkawinan ini dalam beberapa hal masih memungkinkan adanya kebinekaan. Undang-Undang tentang Perkawinan ini merupakan sutau refleksi dari pidato kenegaraan Presiden pada tanggal 16 Agustus 1973, tentang menyinggung Undang-Undang yang sekarang diselesaikan bersama dan disahkan oleh DPR yg terhormat. Undang-Undang tentang Perkawinan ini memiliki landasan bagi suatu perkawinan sebagai suatu lembaga yang suci dan luhur oleh semua agama dan cita budaya yang mengilhami alam fikiran, atas dasar mana dibangun suatu keluarga yang kekal, sejahtera, dan bahagia diwujudkan dalam asas monogami yang memandang poligami sebagai exceptional, dan restriktif dan perceraian harus dihindarkan, dan terdapat sesuatu untuk menaikkan kedudukan, harkat, dan martabat wanita, sedangkan pengaturan itu sejalan dengan tugas negara untuk memberikan perlindungan terhadap kesucian dan keseluruhaun tujuan perkawinan.28

Dengan adanya Undang-Undang Perkawinan, walaupun belum sempurna

dan pelaksanaannya masih jauh dari memuaskan, baik teoritis maupun praktis

tetapi telah memberikan suatu pegangan.29

B. Perkawinan

Segala peraturan yang ada mengenai perkawinan itu akan mencakup

pengertian daripada perkawinan. Ditinjau dari segi adanya peraturan tentang

28

Rachmadi Usman, Op.cit., hal 243-244

29

(39)

perkawinan, maka perkawinan adalah suatu hidup bersama dari seorang pria

dengan seorang wanita yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam

peraturan yaitu peraturan hidup bersama.30

Menurut Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam,

perkawinan yang disebut “nikah” berarti :

Melakukan suatu akad atau perjanjian untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah.31

Dilihat dari aspek hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian yang

mengandung tiga karakter khusus, yaitu :32

1. Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela dari kedua belah

pihak;

2. Kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat persetujuan

itu saling mempunyai hak untuk memutuskan tersebut berdasarkan

ketentuan yang ada dalam hukum-hukumnya;

3. Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai hak

dan kewajiban masing-masing pihak.

Persetujuan perkawinan itu secara prinsipil berbeda dengan

persetujuan-persetujuan lainnya, seperti persetujuan-persetujuan jual beli, sewa menyewa, tukar-menukar

dan lain-lain.

30

Wirjono Projodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1984, hal 7

31

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, 1977, hal 10

32

(40)

Sejak semula dalam persetujuan perkawinan telah ditentukan oleh hukum

isi dari persetujuan antara suami isteri, sementara pada persetujuan biasa para

pihak pada pokoknya bebas menentukan isi dari persetujuan itu sesuka hatinya

asalkan isi persetujuan tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan,

undang-undang dan ketertiban umum.33

Pengertian perkawinan menurut KUH Perdata Pasal 26, yang mengatakan

bahwa perkawinan ialah Pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang

perempuan untuk waktu yang lama. Pada KUH Perdata memandang perkawinan

hanya dari hubungan keperdataan saja, yang berarti bahwa asalnya suatu

perkawinan hanya ditentukan oleh pemenuhan syarat-syarat yang ditetapkan

dalam undang-undang tersebut, sementara syarat-syarat serta pengaturan agama

dikesampingkan.34Perkawinan dianggap suatu lembaga yang terikat pada suatu pengakuan oleh negara dan hanya sah bila dilakukan dihadapan pejabat yang

berwenang (penguasa).35

Hal tersebut berbeda dengan perkawinan yang sekarang dianut oleh

hukum positif di Indonesia. UUP memberikan defenisi perkawinan dalam Pasal 1,

yang menyatakan bahwa : “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang

pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang kekal dan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa”. Pengertian tersebut mengandung makna bahwa suatu perkawinan adalah

suatu perikatan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berarti

33

Wirjono Projodikoro, Op.cit., hal 8

34

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1985, hal 23

35

R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Peraturan Perundang-undangan Di

(41)

dalam suatu perkawinan terdapat unsur keagamaan yang kuat, bahwa tiada

perkawinan tanpa didasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Terdapat beberapa hal dari rumusan perkawinan tersebut di atas yang perlu

diperhatikan :36

1. Digunakannya kata: “seorang pria dengan seorang wanita mengandung arti

bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini

menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh

beberapa negara Barat.

2. Digunakannya ungkapan “sebagai suami isteri” mengandung arti bahwa

perkawinan itu adalaha bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam

satu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”.

3. Dalam defenisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan yaitu

membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan

sekaligus perkawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam

perkawinan mut’ah dan perkawinan tahlil.

4. Disebutkannya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan

bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan

untuk memenuhi perintah agama.

Selain pengertian perkawinan berdasarkan UUP, karena di Indonesia

mengakui adanya beberapa agama dan berdasarkan pada Pasal 2 ayat (1) UUP

yang berbunyi : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum

36

(42)

masing-masing agamanya dan kepercayaannya”, maka perlu juga diketahui

pengertian dari perkawinan menurut hukum agama.

Menurut hukum agama pada umumnya, perkawinan merupakan perbuatan

yang suci (sakramen; samskara) yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan

berkeluarga dan berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan baik sesuai

dengan ajaran agama masing-masing. Jadi perkawinan dilihat dari segi keagamaan

adalah suatu perikatan jasmani dan rohani yang membawa akibat hukum terhadap

agama yang dianut kedua calon mempelai beserta keluarga kerabatnya.37

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia memberikan defenisi lain yang tidak

mengurangi arti-arti defenisi UUP tersebut namun bersifat menambah penjelasan,

dengan rumusan yang terdapat pada Pasal 2 menyatakan bahwa : “Perkawinan

menurut islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan gahlizhanuntuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Ungkapan akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalizhan merupakan penjelasan dari ungkapan “ikatan lahir batin” yang terdapat dalam rumusan UUP yang

mengandung arti bahwa akad pernikahan itu bukanlah semata perjanjian yang

bersifat keperdataan. Ungkapan untuk menaati perintah Allah dan pelaksanaannya

merupakan ibadah, merupakan penjelasan dari ungkapan “Ketuhanan Yang Maha

Esa” dalam UUP. Hal ini lebih menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat Islam

37

(43)

merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang melaksanakannya

telah melakukan perbuatan ibadah.38

Suatu perkawinan yang dibangun dengan dilandasi cinta kasih dan saling

menghormati dan menghargai satu sama lain merupakan tonggak kuat menuju

rumah tangga yang sejahtera. Atas dasar tersebut maka setiap perkawinan yang

dilakukan pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai. Tujuan tersebut antara lain

adalah ingin menciptakan suatu rumah tangga yang bahagia dan sejahtera baik

secara materil maupun imateril. Dalam UUP disebutkan bahwa tujuan perkawinan

adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti tujuan perkawinan di sini bukan hanya

tujuan dari segi keperdataan saja akan tetapi tujuan di sini lebih mengarah kepada

hubunngan yang bersifat spiritual, yaitu hubungan harmonis antara kedua manusia

yang berlandaskan pada nilai-nilai ketuhanan yang pelaksanaannya sesuai dengan

agama masing-masing. Pada penjelasan umum UUP menyatakan bahwa untuk

mencapai tujuan perkawinan maka suami isteri perlu saling bantu membantu dan

melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya

membantu dan mencapai kebahagiaan spiritual dan materil. Agar tujuan dan

cita-cita perkawinan itu dapat tercapai maka setiap anggota keluarga khususnya suami

isteri dituntut agar dapat menciptakan stabilitas dalam keluarga sehingga

keharmonisan akan tetap terjaga dalam rumah tangga karena ini merupakan modal

utama tercapainya tujuan perkawinan.

38

(44)

Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat keperdataan

adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis

kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, untuk kebahagiaan berumah tangga

keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, dan

untuk mempertahankan kewarisan. Oleh karena sistem keturunan dan kekerabatan

antara suku bangsa Indonesia yang satu dan lainnya berbeda-beda, termasuk

lingkungan hidup dan agama yang dianut berbeda-beda, maka tujuan perkawinan

adat bagi masyarakat adat berbeda-beda diantara suku bangsa yang satu dan suku

bangsa yang lain.39

Tujuan perkawinan menurut hukum agama juga berbeda antar agama yang

satu dan agama yang lainnya. Menurut hukum Islam tujuan perkawianan adalah

untuk menegakkan agama, untuk mendapatkan keturunan yang sah, untuk

mencegah maksiat dan untuk membina keluarga rumah tangga yang damai dan

teratur. Menurut hukum agama Kristen tujuan perkawinan adalah untuk

membentuk suatu persekutuan hidup yang kekal antara pria dan wanita yang

berdasarkan cinta kasih dan untuk melahirkan anak dan mendidik anak serta

saling tolong menolong antara suami isteri dan obat nafsu. Hukum agama Budha

memberikan rumusan tujuan perkawinan adalah untuk membentuk suatu keluarga

(rumah tangga) bahagia yang diberkahi oleh Sanghyang Adi Budha/Tuhan Yang

Maha Esa, para Budha dan Para Bodhisatwa-Mahatsatwa. Selanjutnya tujuan perkawinan menurut hukun agama Hindu adalah untuk mendapatkan keturunan

39

(45)

dan untuk menebus dosa-dosa orang tua dengan menurunkan seorang putra (yang

akan menyelamatkan orangtuanya dari neraka).40

Untuk mencapai tujuan perkawinan tersebut, maka dapat dilihat dari

perumusan Pasal-Pasal dalam UUP, Penjelasan Umum, dan Penjelasan Pasal demi

Pasalnya, maka dapat disimpulkan bahwa UUP menghendaki :41

a. Adanya perkawinan yang kekal abadi, artinya perkawinan diharapkan

hanya putus karena kematian salah satu pihak (suami/isteri);

b. Dalam perkawinan tidak terjadi adanya perceraian;

c. Perkawinan dilakukan oleh mereka yang telah cukup umur;

d. Adanya perkawinan monogami;

e. Adanya perkawinan atas dasar agama;

f. Adanya keturunan dalam perkawinan;

g. Adanya perkawinan berdasarkan hukum.

Beberapa unsur-unsur perkawinan adalah sebagai berikut :

a. Unsur Agama/Kepercayaan

Suatu perkawinan harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, hal ini

dijelaskan dalam Pasal 1 UUP. Selain itu unsur agama juga terdapat dalam

Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah jika

dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing, kemudian dalam

Pasal 8 huruf (f) dijelaskan bahwa 2 (dua) orang yang berbeda agama

dilarang untuk melakukan perkawinan. Oleh karena itu, unsur agama dalam

suatu perkawinan merupakan salah satu unsur yang penting dalam melakukan

40

Ibid., hal 23-24

41

Wahyu Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan Dan Keluarga

(46)

suatu perkawinan, sehingga suatu perkawinan tidak dapat dilakukan dengan

seenaknya saja.

b. Unsur Biologis

UUP memberikan jalan keluar bagi pasangan yang secara biologis tidak dapat

memiliki keturunan. Dalam Pasal 4 ayat (2) dijelaskan bahwa

ketidakmampuan isteri untuk melahirkan keturunan dapat dijadikan alasan

bagi seorang suami untuk menikah lagi. Kemudian dalam Pasal 7 ayat (2)

diatur mengenai batas usia bagi pria dan wanita untuk menikah juga termasuk

dalam unsur biologis. Untuk melakukan perkawinan seorang pria minimal

berumur 19 (Sembilan belas) tahun, sedangkan bagi wanita minimal berumur

16 (enam belas) tahun.

c. Unsur Sosiologis

Memperoleh keturunan merupakan salah satu tujuan dari perkawinan. Dalam

UUP diatur mengenai batas umur untuk melakukan perkawinan. Untuk pria

batas minimal adalah berumur 19 (Sembilan belas) tahun, sedangkan untuk

wanita batas minimal berumur 16 (enam belas) tahun. Kalau calon mempelai

menikah dibawah umur yang ditentukan, dikhawatirkan dalam menjalankan

rumah tangganya mereka belum memiliki rasa tanggung jawab, kedewasaan

dan kematangan fisik dan mental, oleh karena itu perkawinan haruslah

dilakukan dengan persiapan yang matang.42

42

(47)

d. Unsur Yuridis

Suatu perkawinan harus dilangsungkan menurut ketentuan undang-undang.

Perkawinan sah jika dilakukan sesuai dengan syarat dan prosedur yang telah

ditentukan oleh undang-undang. UUP menganut asas monogami, dimana

seorang pria hanya boleh menikah dengan seorang wanita, dan seorang wanita

hanya boleh menikah dengan seorang pria.

e. Unsur Hukum Adat

Seorang anak selalu mempunyai hubungan dengan ibu dan keluarga ibunya.

Pasal 2 ayat (1) UUP menentukan, bahwa perkawinan adalah sah apabila

dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Dari rumusan ini berarti tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing

agama dan kepercayaannya itu ialah suatu perkawinan adalah sah, bila

dilangsungkan menurut hukum agamanya masing-masing termasuk

kepercayaannya sepanjang diakui oleh negara Republik Indnonesia. Dari

ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUP, maka dapat dilihat bahwa Undang-undang

perkawinan ini menggantungkan sahnya suatu perkawinan kepada hukum agama

dan kepercayaan masing-masing pemeluknya.

Menurut pendapat Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika bahwa :

Sahnya perkawinan itu ditentukan oleh ketentuan agama dan kepercayaan mereka yang melakukan perkawinan, berarti apabila suatu perkawinan yang dilakukan bertentangan degan ketentuan agama dan kepercayaannya, dengan sendirinya menurut hukum perkawinan belum sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan.43

Jelaslah suatu perkawinan yang didasarkan pada UUP adalah mutlak

dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya dari masing-masing

43

(48)

orang yang akan melaksanakan perkawinan, kalau tidak maka perkawinan itu

tidak sah.44

Undang-undang perkawinan juga menentukan syarat-syarat perkawinan di

samping ketentuan-ketentuan masing-masing agama dan kepercayaan, sebagai

berikut :45

1. Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua calon mempelai.

Jadi, dalam perkawinan ada k

Referensi

Dokumen terkait

Make sure that the products or services that you will be offering are desired, do not just decide to open up a store with out doing any market research is like playing craps,

If poker is your game it is a little different, most games depend on luck and all you really need to know if the basics, but poker is totally different because you are playing

Stand Up Comedy adalah bentuk dari seni komedi atau melawak yang dipertunjukkan kepada penonton secara langsung dengan seorang. komedian di atas panggung sebagai

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deduktif aksiomatik, yaitu de- ngan menurunkan teorema yang telah ada dan pendeteksian pola yang kemu- dian diterapkan dalam

[r]

yang berkiprah di Jawa selama kurun waktu 15-25 tahun, terdiri dari insinyur konstruksi sipil, ahli geoteknik, praktisi pengadaan barang dan jasa pemerintah, arsitek dan

Klien menderita alergi sejak usia 10 bulan dengan keluhan batuk disertai dengan sesak kemudian berobat dan sembuh. Pada usia anak 2 tahun kambuh lagi kemudian klien periksa dan

Dalam penelitian ini, pengujian hipotesis 1 menggunakan variabel akrual diskresioner (merupakan variabel dummy, 0 jika akrual diskresioner bernilai positif, 1 jika akrual