• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip Fiduciary Duty Terhadap Pertanggungjawaban Direksi Bank Dalam Pembayaran Letter Of Credit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Prinsip Fiduciary Duty Terhadap Pertanggungjawaban Direksi Bank Dalam Pembayaran Letter Of Credit"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

PRINSIP FIDUCIARY DUTY TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI BANK DALAM PEMBAYARAN LETTER OF CREDIT

TESIS

Oleh YA’THI SYAHRI

087005065/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PRINSIP FIDUCIARY DUTY TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI BANK DALAM PEMBAYARAN LETTER OF CREDIT

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

YA’THI SYAHRI 087005065/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Judul Tesis : PRINSIP FIDUCIARY DUTY TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI BANK DALAM PEMBAYARAN LETTER OF CREDIT

Nama Mahasiswa : YA’THI SYAHRI Nomor Pokok : 087005065

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H, M.H) Ketua

(Prof. Dr.Ningrum Natasya Sirait, S.H, M.LI) (Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi D e k a n

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 27 September 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H, M.H

Anggota : 1. Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H, M.LI 2. Prof. Dr. Rungtun, S.H, M.Hum

3. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum

(5)

ABSTRAK

Ketentuan bank sebagai lembaga keuangan dalam bentuk badan hukum Perseroan Terbatas merupakan ketentuan khusus (lex specialis) yang diatur dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, demikian juga dengan ketentuan direksinya yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI). Sebagai lembaga entitas bisnis keuangan, bank sangat rentan terhadap resiko dan kerap kali menjadi salah satu target kejahatan untuk disalahgunakan dalam pengelolaannya, salah satunya adalah terjadinya kerugian bank melalui pembobolan bank khususnya melalui fasilitas pembayaran Letter of Credit. Dilihat dari konteks peran dan kewenangan direksi bank dalam melakukan pembayaran

letter of credit, jelas sangat diperlukan adanya prinsip kehati-hatian (prudential banking).

Namun pada dasarnya dilihat dari tanggung jawab direksi bank yang berkaitan dengan sistem hukum perbankan merupakan optimalisasi prinsip fiduciary duty yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Mengenai hal ini terdapat dua masalah yang dianalisis terkait ketentuan prinsip fiduciary

duty yaitu: bagaimana ketentuan prinsip fiduciary duty dalam UUPT dan relevansinya

terhadap pertanggungjawaban direksi bank khususnya dalam pembayaran Letter of

Credit jika terjadinya pelanggaran prinsip fiduciary duty tersebut.

Untuk menjawab permasalahan tersebut dilakukan penelitian yang bersifat yuridis normatif, yaitu mengumpulkan, menganalisis dan mensistematisasikan hasil penelitian terhadap ketentuan-ketentuan serta best practice yang berlaku di industri perbankan, kemudian diinterpretasikan ke dalam prinsip fiduciary duty. Mengingat bahwa penulisan ini bersifat yuridis normatif maka pengumpulan bahan penelitian akan dilakukan dengan cara telaah kepustakaan (library research).

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa: Pertama, ketentuan prinsip fiduciary duty terdapat pada Pasal 97 ayat (2) UUPT dan relevansinya terhadap pertanggungjawaban direksi bank yakni dalam ketentuan khusus perbankan adanya kewajiban prinsip kehati-hatian (prudential banking) merupakan wujud implementasi prinsip fiduciary duty di pundak direksi bank. Kedua, dalam mekanisme pembayaran Letter of Credit, jika direksi bank mengabaikan sikap prudential banking dan terjadi kerugian aset bank, direksi dapat dianggap lalai dan bersalah serta melanggar prinsip fiduciary duty. Agar pelaksanaan prinsip ini berjalan sesuai dengan maksudnya maka disarankan: Pertama, diharapkan adanya keberanian para hakim untuk memperberat sanksi bagi direksi bank yang telah melakukan penyelewengan tugas dan kewenangannya menyebabkan kerugian aset bank yang berdampak pada kepentingan pemegang saham khususnya kepentingan para nasabah. Kedua, diharapkan agar peran Direktur Kepatuhan lebih meningkatkan fungsi pengawasannya terhadap hasil uji kebijakan yang akan dikeluarkan oleh Direksi yang didalamnya mengandung unsur penyimpangan/pelanggaran terhadap ketentuan kehati-hatian terutama dalam mengontrol transaksi pembayaran L/C sebagai fasilitas layanan devisa luar negeri.

Kata kunci: Fiduciary Duty, Pertanggungjawaban, Direksi, Bank, Perseroan Terbatas,

(6)

ABSTRACT

Terms of banks as financial institutions in the form of legal entity is a Limited Liability Company specific provision (lex specialis) as stipulated in Law Number 10/1998 on Banking, as well as directors with the provisions stipulated in Bank Indonesia Regulation (PBI). As a business entity financial institutions, banks are vulnerable to risk and often become one of the targets of crime to be abused in its management, one of them is the loss the bank through a bank burglary in particular through the payment letter of credit facility. Viewed from the context of the role and authority of directors of the bank in making payment letter of credit, obviously very necessary to the principle of prudence (prudential banking). But viewed from the bank directors responsibilities associated with the system of banking law is basically a fiduciary duty optimization principles contained in Law Number 40/2007 on Limited Liability Company (Company Law). There are three problems concerning the application of fiduciary duty principles such as how the application of the principle of fiduciary duty in Company Law and its relevance to the accountability of directors in banks, and how the accountability of directors of banks on payment letter of credit in the event of breach of fiduciary duty principles.

This normative juridicial study was conducted to answer the problems mentioned above by collecting the data needed including legislation, regulations of Bank Indonesia, scientific papers/articles, court decisions, and other legal materials related to the object of study through a library research. The result of study was collected, analyzed and systemized to the stipulation and best practice existing in the banking industry and then interpreted into the principle of fiduciary duty.

Based on the results of this research, it is concluded that: First, the principle of fiduciary duty provisions of relevance to the accountability of bank directors namely, in the special provisions of the obligation of banking prudence (prudential banking) is as of the implementation of the principle of fiduciary duty on the shoulders of bank directors. Second, in a letter of credit payment mechanism, if the bank directors to ignore the attitude of prudential banking and there is a loss of any assets, the directors may be deemed negligent and guilty as well as violating the principle of fiduciary duty. In order for the implementation of this principle goes according to his purpose it is recommended: First, the courage of the judges are expected to make heavier sanctions for directors of banks that had done duty and authority of fraud caused losses to banks that have an impact on shareholder interests, especially interests of our customers. Second, it is expected to further enhance the role of Compliance Director oversight function to test the policy to be issued by the Board of Directors which also contains elements of the deviation/violation of prudential regulations, especially in controlling the transaction payment Letter of Credit as a foreign exchange service facilities.

(7)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan serta melimpahkan Nikmat, Rahmat, dan Karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini tepat pada waktu yang telah ditentukan dengan judul “Prinsip Fiduciary Duty Terhadap Pertanggungjawaban Direksi Bank dalam Pembayaran Letter of Credit.”

Tesis ini dibuat dalam rangka memenuhi serta melengkapi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Humaniora pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Selanjutnya, penulis menyadari sesungguhnya bahwa dalam penulisan Tesis ini tentunya masih terdapat beberapa kesalahan dan belum sempurna dikarenakan segala keterbatasan kemampuan yang dimiliki. Untuk itu dengan segala bentuk upaya, penulis mengharapkan kritik yang bersifat membangun dan saran dari semua pihak demi perbaikan selanjutnya kemudian hari.

(8)

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc(CTM), Sp.A(K) selaku Rektor atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Runtung Sitepu, S.H,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang juga sekaligus Komisi Pembimbing penulis; 3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H, M.H, selaku Ketua Program Studi

Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Komisi Pembimbing Utama yang telah memberikan bimbingan sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan perkuliahan;

4. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H, M.Hum, selaku Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bimbingan, dukungan, serta saran dan kritik dari awal penelitian;

5. Ibu Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H, M.LI selaku Komisi Pembimbing yang dalam kesibukannya rela meluangkan waktunya untuk memberikan kontribusi pemikiran, bimbingan serta arahan yang sangat tepat dalam penyusunan Tesis ini;

6. Bapak Prof. Budiman Ginting, S.H,M.Hum, selaku Anggota Komisi Penguji yang telah memberikan saran dan kritik dalam penelitian ini;

(9)

8. Para Guru Besar serta seluruh Dosen Staf Pengajar Progran Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis selama mengikuti proses perkuliahan; 9. Teristimewa kedua orang tua tercinta, ayahanda Rachmat Syahri dan Ibunda

Masinah serta semua saudara/i yang tiada hentinya berdoa demi kesuksesan penulis dalam menyelesaikan tugas akhir perkuliahan ini;

10.Seluruh Rekan Staf dan Pegawai Sekretariat Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas bantuan dan informasinya yang diberikan kepada penulis dalam proses penyelesaian perkuliahan hingga penelitian tesis;

11. Para sahabat seperjuangan Kelas Reguler A Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 2008.

Akhirnya, penulis mengharapkan agar Tesis ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan dalam pengembangan keilmuan terutama bagi penulis dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan hukum di masa mendatang. Terima kasih atas segala masukan dan saran serta kritik atas penyempurnaan Tesis ini. Semoga Allah SWT senantiasa memberkahi kita semua. Amin Ya Rabbal Alamin.

Medan, 27 September 2010 Wassalam

Penulis,

(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : YA’THI SYAHRI

Tempat/Tanggal lahir : Aekkanopan, 18 Januari 1986 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Tempat Tinggal : Jl. Kapten Zubit No. 71 Lk.III Aekkanopan

Kec. Kualuhhulu Kab. Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara Kode Pos 21457

Pendidikan Formal :

1. Sekolah Dasar (SD) Sultan Hasanuddin Aekkanopan. (Lulus Tahun 1998). 2. Madrasah Tsanawiyah (MTs) Ponpes Ar-Raudhatul Hasanah. (Lulus Tahun

2001).

3. Madrasah Aliyah (MA) Ponpes Ar-Raudhatul Hasanah Tahun. (Lulus Tahun 2004).

4. Strata Satu (S-1) Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara Medan (Lulus Tahun 2008).

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan... 21

C. Tujuan Penelitian... 21

D. Manfaat Penelitian... 21

E. Keaslian Penelitian... 22

F. Kerangka Teori dan Konsepsional ... 23

1. Kerangka Teori... 24

2. Konsepsional ... 34

G. Metode Penelitian... 36

1. Jenis Penelitian... 37

2. Sumber Bahan Penelitian ... 37

3. Teknik Pengumpulan Data... 39

(12)

BAB II : KETENTUAN PRINSIP FIDUCIARY DUTY DALAM UUPT DAN RELEVANSINYA TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN

DIREKSI BANK ...41

A. Istilah Perseroan Terbatas ...41

B. Struktur Organ Perseroan Terbatas ...44

C. Doktrin Hukum dalam Perseroan Terbatas ...52

D. Prinsip Fiduciary Duty dalam UUPT Terhadap Tanggung Jawab Direksi ...71

E. Kedudukan Direksi Bank dalam Hal Ketentuan Khusus Perbankan ...78

1. Istilah Perbankan dan Bank ...78

2. Fungsi Pengawasan Bank Sentral Terhadap Perbankan ...86

3. Keberadaan Direktur Kepatuhan dalam Ketentuan Perbankan ...90

4. Pertanggungjawaban Direksi Bank dalam Hal Ketentuan 5. Khusus Perbankan...94

BAB III : PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI BANK MENGENAI PEMBAYARAN LETTER OF CREDIT DALAM HAL TERJADINYA PELANGGARAN PRINSIP FIDUCIARY DUTY ... 100

A. Beberapa Aspek Mengenai Letter of Credit... 100

B. Prinsip Fiduciary Duty Terhadap Pertanggungjawaban Direksi Bank dalam Pembayaran Letter of Credit ... 113

1. Penerapan Fiduciary Duty Bagi Direksi Bank Kaitannya Terhadap Pengaturan Prinsip Kehatian-hatian Bank (Prudential Banking) ... 113

2. Penerapan Prinsip Kehatian-hatian (Prudential Banking) dalam Pembayaran Letter of Credit ... 121 3. Akibat Hukum Bila Direksi Bank Tidak Menerapkan Prinsip

(13)

BAB: IV : KESIMPULAN DAN SARAN... 131

A. Kesimpulan... 131 B. Saran... 132

(14)

ABSTRAK

Ketentuan bank sebagai lembaga keuangan dalam bentuk badan hukum Perseroan Terbatas merupakan ketentuan khusus (lex specialis) yang diatur dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, demikian juga dengan ketentuan direksinya yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI). Sebagai lembaga entitas bisnis keuangan, bank sangat rentan terhadap resiko dan kerap kali menjadi salah satu target kejahatan untuk disalahgunakan dalam pengelolaannya, salah satunya adalah terjadinya kerugian bank melalui pembobolan bank khususnya melalui fasilitas pembayaran Letter of Credit. Dilihat dari konteks peran dan kewenangan direksi bank dalam melakukan pembayaran

letter of credit, jelas sangat diperlukan adanya prinsip kehati-hatian (prudential banking).

Namun pada dasarnya dilihat dari tanggung jawab direksi bank yang berkaitan dengan sistem hukum perbankan merupakan optimalisasi prinsip fiduciary duty yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Mengenai hal ini terdapat dua masalah yang dianalisis terkait ketentuan prinsip fiduciary

duty yaitu: bagaimana ketentuan prinsip fiduciary duty dalam UUPT dan relevansinya

terhadap pertanggungjawaban direksi bank khususnya dalam pembayaran Letter of

Credit jika terjadinya pelanggaran prinsip fiduciary duty tersebut.

Untuk menjawab permasalahan tersebut dilakukan penelitian yang bersifat yuridis normatif, yaitu mengumpulkan, menganalisis dan mensistematisasikan hasil penelitian terhadap ketentuan-ketentuan serta best practice yang berlaku di industri perbankan, kemudian diinterpretasikan ke dalam prinsip fiduciary duty. Mengingat bahwa penulisan ini bersifat yuridis normatif maka pengumpulan bahan penelitian akan dilakukan dengan cara telaah kepustakaan (library research).

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa: Pertama, ketentuan prinsip fiduciary duty terdapat pada Pasal 97 ayat (2) UUPT dan relevansinya terhadap pertanggungjawaban direksi bank yakni dalam ketentuan khusus perbankan adanya kewajiban prinsip kehati-hatian (prudential banking) merupakan wujud implementasi prinsip fiduciary duty di pundak direksi bank. Kedua, dalam mekanisme pembayaran Letter of Credit, jika direksi bank mengabaikan sikap prudential banking dan terjadi kerugian aset bank, direksi dapat dianggap lalai dan bersalah serta melanggar prinsip fiduciary duty. Agar pelaksanaan prinsip ini berjalan sesuai dengan maksudnya maka disarankan: Pertama, diharapkan adanya keberanian para hakim untuk memperberat sanksi bagi direksi bank yang telah melakukan penyelewengan tugas dan kewenangannya menyebabkan kerugian aset bank yang berdampak pada kepentingan pemegang saham khususnya kepentingan para nasabah. Kedua, diharapkan agar peran Direktur Kepatuhan lebih meningkatkan fungsi pengawasannya terhadap hasil uji kebijakan yang akan dikeluarkan oleh Direksi yang didalamnya mengandung unsur penyimpangan/pelanggaran terhadap ketentuan kehati-hatian terutama dalam mengontrol transaksi pembayaran L/C sebagai fasilitas layanan devisa luar negeri.

Kata kunci: Fiduciary Duty, Pertanggungjawaban, Direksi, Bank, Perseroan Terbatas,

(15)

ABSTRACT

Terms of banks as financial institutions in the form of legal entity is a Limited Liability Company specific provision (lex specialis) as stipulated in Law Number 10/1998 on Banking, as well as directors with the provisions stipulated in Bank Indonesia Regulation (PBI). As a business entity financial institutions, banks are vulnerable to risk and often become one of the targets of crime to be abused in its management, one of them is the loss the bank through a bank burglary in particular through the payment letter of credit facility. Viewed from the context of the role and authority of directors of the bank in making payment letter of credit, obviously very necessary to the principle of prudence (prudential banking). But viewed from the bank directors responsibilities associated with the system of banking law is basically a fiduciary duty optimization principles contained in Law Number 40/2007 on Limited Liability Company (Company Law). There are three problems concerning the application of fiduciary duty principles such as how the application of the principle of fiduciary duty in Company Law and its relevance to the accountability of directors in banks, and how the accountability of directors of banks on payment letter of credit in the event of breach of fiduciary duty principles.

This normative juridicial study was conducted to answer the problems mentioned above by collecting the data needed including legislation, regulations of Bank Indonesia, scientific papers/articles, court decisions, and other legal materials related to the object of study through a library research. The result of study was collected, analyzed and systemized to the stipulation and best practice existing in the banking industry and then interpreted into the principle of fiduciary duty.

Based on the results of this research, it is concluded that: First, the principle of fiduciary duty provisions of relevance to the accountability of bank directors namely, in the special provisions of the obligation of banking prudence (prudential banking) is as of the implementation of the principle of fiduciary duty on the shoulders of bank directors. Second, in a letter of credit payment mechanism, if the bank directors to ignore the attitude of prudential banking and there is a loss of any assets, the directors may be deemed negligent and guilty as well as violating the principle of fiduciary duty. In order for the implementation of this principle goes according to his purpose it is recommended: First, the courage of the judges are expected to make heavier sanctions for directors of banks that had done duty and authority of fraud caused losses to banks that have an impact on shareholder interests, especially interests of our customers. Second, it is expected to further enhance the role of Compliance Director oversight function to test the policy to be issued by the Board of Directors which also contains elements of the deviation/violation of prudential regulations, especially in controlling the transaction payment Letter of Credit as a foreign exchange service facilities.

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perseroan Terbatas merupakan bentuk badan hukum perseroan yang banyak digunakan sebagai kendaraan bisnis dalam mengembangkan berbagai usaha ekonomi saat ini dan sangat mempengaruhi pertumbuhan perekonomian nasional. Dikatakan demikian, di samping karena pertanggungjawabannya terbatas, Perseroan Terbatas juga memberikan kemudahan bagi pemilik (pemegang saham) untuk mengalihkan perusahaannya kepada setiap orang dengan menjual seluruh saham yang dimilikinya pada perusahaan tersebut. Selain itu, kata “terbatas” tidak hanya menunjuk kepada tanggung jawab pemegang saham yang tidak melebihi nilai nominal saham yang diambil sebagian dan dimiliki, melainkan juga dapat berlaku terhadap organ-organ lainya seperti direksi dan komisaris.

(17)

Doktrin hukum yang berkaitan dengan hal tersebut mengemukakan adanya 4 (empat) unsur badan hukum dianggap sebagai badan hukum, yaitu harus ada kekayaan yang terpisah dan lepas dari anggotanya, mempunyai tujuan tertentu, adanya kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh hukum, dan adanya organisasi yang teratur.1

Dari doktrin tersebut, antara lain dapat disimpulkan bahwa sekalipun suatu badan hukum adalah personifikasi dari suatu objek hukum “orang”, namun demikian, dengan adanya unsur “organisasi yang teratur” tersebut, berarti suatu badan hukum memerlukan kepengurusan, sebab badan hukum adalah abstraksi hukum dan pelaksanaannya sehari-hari tetap dilakukan oleh “orang” yang secara konkrit dapat melakukan hak dan kewajiban. Oleh karena Perseroan Terbatas sebagai abstraksi hukum, maka memerlukan pengurus perseroan untuk menjalankan operasionalnya. Pengurus perseroan tersebut dalam ketentuan Perseroan Terbatas disebut dengan direksi.

Direksi merupakan badan pengurus perseroan yang paling tinggi serta yang berhak dan berwenang untuk menjalankan perusahaan, bertindak untuk dan atas nama perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan.2 Ini sejalan dengan pengertian direksi yang disebutkan dalam Pasal (1) angka 5 UUPT bahwa “Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan       

1

Chidir Ali, Badan Hukum: Rechtspersoon, (Bandung: Alumni, 1991), hal. 53.

2

(18)

anggaran dasar.” Definisi tersebut menjelaskan bahwa perseroan bergantung kepada direksi sebagai organ yang dipercayakan untuk melakukan pengurusan perseroan. Selanjutnya adanya perseroan merupakan sebab keberadaan direksi atau dengan perkataan lain tanpa perseroan, tidak ada Direksi.3 Sedangkan untuk menjalankan tugasnya, direksi harus diperlengkapi dengan wewenang yang cukup, tentu saja tanggung jawab atas pelaksanaan wewenang tersebut. Pelimpahan wewenang yang cukup besar juga mencerminkan bahwa direksi merupakan organ perseroan yang mewakili perseroan untuk mengambil segala macam tindakan hukum dalam rangka mencapai tujuan dan kepentingan perseroan dengan prinsip kepercayaan tinggi.

Berkaitan dengan prinsip kepercayaan tersebut Gunawan Wijaya menjelaskan ada dua fungsi utama direksi, yaitu: “Pertama, direksi adalah trustee bagi perseroan (duty of loyality and good faith). Kedua, direksi adalah agen bagi perseroan dalam mencapai tujuan dan kepentingannya (duty of care and skill). Selanjutnya tugas dan tanggung jawab direksi tersebut merupakan tugas dan tanggung jawab direksi sebagai suatu organ yang bersifat kolegial dalam arti direksi tidak secara sendiri-sendiri bertanggung jawab kepada perseroan. Ini berarti setiap tindakan yang diambil atau dilakukan oleh salah satu atau lebih anggota direksi akan mengingat anggota direksi lainnya. Namun bukan berarti tidak diperkenankan terjadinya pembagian tugas di antara anggota direksi perseroan demi pengurusan perseroan yang efesien.4

      

3

Gunawan Wijaya, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 24

4

(19)

Dalam mengelola pengurusan perseroan yang efisien, direksi diawasi oleh komisaris. Secara bersamaan tentu saja menjadi suatu kewajiban bagi setiap anggota direksi dan komisaris untuk dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Tidak hanya itu, bagi keduanya juga dapat digugat ke pengadilan negeri bilamana atas dasar kesalahan dan kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan. Untuk anggota direksi terdapat tambahan ketentuan bahwa atas kesalahan atau kelalaiannya tersebut, ia dapat dituntut pertanggungjawaban penuh secara pribadi. Begitu pula dalam hal kepailitan yang terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota direksi bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian dimaksud.5

Beberapa hal mengenai tanggung jawab direksi Perseroan Terbatas antara lain tercantum dalam Pasal 92 ayat (1), Pasal 92 ayat (2), Pasal 92 ayat (6), Pasal 94 ayat (7), Pasal 97 ayat (1), Pasal 97 ayat (2), Pasal 97 ayat (3), Pasal 97 ayat (4), Pasal 98 ayat (1), Pasal 98 ayat (2), serta Pasal 98 ayat (3) UUPT 2007. Dari ketentuan tersebut, jelas sekali mengenai gambaran kewenangan direksi dalam mengelola perseroan sesuai maksud yang dicantumkan dalam anggaran dasar, yang di dalamnya termasuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum dengan pihak ketiga atau dengan kata lain direksi mewakili perseroan terbatas di dalam maupun di luar pengadilan. Batas atas ketentuan tersebut dijelaskan dalam Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UUPT. Oleh karena

      

5

(20)

itu, keberhasilan dan atau kegagalan operasional suatu Perseroan Terbatas tersebut sangat tergantung pada kepengurusan direksi.

Ketergantungan Perseroan Terbatas pada direksi tersebut hakikatnya dapat ditinjau melalui hubungan hukum intern yang membatasi kesewenang-wenangan antara pemegang saham, direksi, dan komisaris yang sekaligus meletakkan tanggung jawab masing-masing. Hubungan intern itu umumnya dibatasi oleh beberapa doktrin hukum penting dalam hukum perusahaan yang meliputi piercing the corporate veil, fiduciary

duty, self dealing transaction, derivative action, ultra and intra vires doctrine, corporate

oppurtunity, business judgement rule, dan insider trading.6 Dalam penelitian ini, seperti dalam judulnya, pembahasannya lebih mengkhususkan pada tanggung jawab direksi ditinjau dari prinsip yang berkenaan dengan doktrin fiduciary duty.

Pada dasarnya prinsip fiduciary duty merupakan prinsip yang melekat pada direksi dalam menjalankan perseroan secara keseluruhan. Sementara tanggung jawab direksi pada dasarnya dilandasi prinsip yang merujuk kepada kemampuan serta kehati-hatian tindakan direksi (duty of skill and care).7 Kesalahan atau kelalaian dalam melakukan apa yang menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang telah diberikan oleh anggaran dasar perseroan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka diberikan beberapa hak kepada pemegang saham perseroan yakni:

Pertama, secara sendiri-sendiri atau bersama-sama yang mewakili jumlah 1/10

      

6

Lihat lebih lanjut Try Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas: Keberadaan, Tugas, Wewenang, dan Tanggung Jawab, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), hal. 29-50.

7

(21)

(sepersepuluh) pemegang saham perseroan melakukan gugatan, untuk dan atas nama perseroan, terhadap direksi perseroan yang akibat kesalahan dan kelalaiannya menimbulkan kerugian kepada perseroan (derivative suite). Kedua, secara sendiri-sendiri melakukan gugatan langsung untuk dan atas nama pribadi pemegang saham terhadap direksi perseroan atas setiap keputusan ataupun tindakan direksi yang merugikan pemegang saham.8

Keberadaan perseroan dengan direksi adalah saling mendukung, dalam arti adanya perseroan adalah sebab keberadaan direksi dan keberadaan direksi adalah sebab adanya perseroan, karena mustahil ada perseroan tanpa ada direksi. Munir Fuady dalam hal ini menyebut kedudukan direksi sebagai ‘agen’ dari perusahaan. Sebagai agen, direksi wajib mengurus perusahaan yang dipimpinnya secara pantas dan profesional, dan harus mengutamakan kepentingan perusahaan di atas kepentingan pribadi dan kepentingan pemegang saham (termasuk jika pemegang sahamnya perusahaan

holding).9 Dengan demikian, antara perseroan dengan direksi terdapat hubungan fiducia.

       

Kedudukan direksi dengan perseroan dalam hal hubungan fiducia jika ditinjau berdasarkan ketentuan UUPT dapat diimplementasikan dalam ketentuan direksi bank yang berbentuk Perseroan Terbatas. Hal ini didasarkan ketentuan Pasal 21 UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 (UU Perbankan) yang menyatakan bahwa salah satu bentuk bank umum dapat berupa Perseroan Terbatas;

 

8

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, op.cit, hal. 113. Lihat Pasal 97 ayat (6) UUPT.

9

(22)

Koperasi; atau pun Perusahaan Daerah. Berdasarkan ketentuan tersebut, kedudukan bank jelas sebagai badan hukum dan juga sekaligus sebagai ketentuan khusus yang menyangkut direksi bank yang berbentuk Perseroan Terbatas.

Secara umum ketentuan bank tunduk dan harus berdasar kepada ketentuan yang diatur dalam UUPT. Akan tetapi, dengan sifat khusus yang dimiliki oleh usaha jasa berbentuk bank, maka ketentuan-ketentuan mengenai direksi bank diatur secara khusus. Artinya, ketentuan yang terdapat dalam UUPT serta doktrin hukum yang menyangkut badan hukum, berlaku untuk tugas dan tanggung jawab direksi bank, kecuali secara tegas terdapat ketentuan yang diatur dan hanya berlaku untuk direksi bank.

Beberapa ketentuan yang menyangkut tugas dan tanggung jawab direksi bank sebagian besar merupakan ketentuan yang sifatnya mengatur lebih rinci dari ketentuan yang terdapat dalam UUPT. 10 Bahkan dapat dikatakan, sebagai ketentuan yang melengkapi ketentuan pada UUPT yang dipadukan dengan sifat khusus usaha di bidang jasa perbankan. Sampai saat ini ketentuan yang mengatur mengenai direksi bank berupa Peraturan Bank Indonesia dan ketentuan lain yang diterbitkan Bank Indonesia dalam bentuk Surat Edaran atau Keputusan Direksi Bank Indonesia.

Hubungan berlakunya UUPT dan ketentuan yang mengatur direksi bank dapat dilihat pada Pasal 1 ayat 10a Peraturan BI No. 11/1/PBI/2009, tanggal 15 Desember 2009 tentang Bank Umum, yang menyatakan bahwa direksi bagi bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (5) UUPT. Dengan demikian, untuk pembahasan tanggung jawab direksi bank ini selanjutnya tidak       

10

(23)

terlepas dari pembahasan direksi sebagaimana dimaksud dalam UUPT dan secara khusus mendasarkan pada ketentuan yang berlaku pada ketentuan perbankan.

Ketentuan perbankan dalam status hierarki Peraturan Bank Indonesia atau Surat Edaran atau Keputusan Direksi Bank Indonesia merupakan perundang-undangan yang berada di bawah undang-undang. Oleh karena itu, ketentuan yang mengatur mengenai direksi bank dapat disebut sebagai ketentuan khusus yang melengkapi ketentuan yang terdapat dalam UUPT. Mungkin suatu waktu, ketentuan yang dikeluarkan Bank Indonesia tersebut menjadi masalah jika bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam UUPT, sebab jika dilihat dari hierarki perundang-undangan, kedudukan UUPT lebih tinggi dan oleh karenanya dapat membatalkan ketentuan yang berada di bawahnya. Akan tetapi, dapat saja diinterpretasikan bahwa ketentuan yang diatur oleh Bank Indonesia tersebut disebut sebagai ketentuan khusus, sehingga dapat mengeyampingkan ketentuan umum (lex specialis derogat legi generali).11

Beranjak melalui persoalan prinsip fiduciary duty direksi terhadap tanggung jawab direksi bank, di dalam perbankan setidaknya ada dua tugas dan tanggung jawab yang harus dipikul oleh direksi bank. Pertama, bank harus menjaga kepentingan pemegang saham. Kepentingan pemegang saham umumnya menyangkut ekspektasi keuntungan yang dapat dinikmati oleh pemegang saham, baik yang diperoleh dalam bentuk deviden maupun dalam bentuk capital gain. Dengan demikian, bank berkewajiban menjaga seluruh aset investasi dengan membuat kebijakan yang menjaga

      

11

(24)

kelangsungan pertumbuhan dan stabilitas. Kedua, direksi bank bertanggung jawab menjaga kepentingan para deposannya. Artinya direksi diharapkan dapat memberikan kepastian akan amannya dana para deposannya. Para depositor harus merasa yakin bahwa di samping bank memiliki kebijakan dan prosedur yang dapat memberikan rasa aman, juga para deposan percaya bahwa dananya dikelola oleh personel yang memiliki integritas yang baik.12

Bank dalam melakukan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian (prudential banking), dan juga harus menjaga kesehatan bank agar tetap terjaga terus demi kepentingan masyarakat pada umumnya dan bagi para nasabah penyimpan dana khususnya. Sebagai lembaga keuangan, bank yang merupakan tempat masyarakat menyimpan dananya dilandasi oleh kepercayaan bahwa uangnya akan dapat diperoleh kembali pada waktunya dan disertai dengan bunga, maksudnya di sini bahwa suatu bank sangat tergantung pada kepercayaan masyarakat tersebut. Semakin tinggi kepercayaan masyarakat, semakin tinggi pula kesadaran masyarakat untuk menyimpan uangnya pada bank dan menggunakan jasa-jasa lainnya dari bank. Jasa bank adalah semua aktivitas bank, baik yang secara langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan tugas dan fungsi bank sebagai lembaga intermediasi, yaitu lembaga yang memperlancar

      

12

(25)

terjadinya transaksi perdagangan, sebagai lembaga yang memperlancar peredaran uang serta sebagi lembaga yang memberikan jaminan kepada nasabahnya. 13

Selain sebagai tempat menyimpan uang, bank berfungsi juga sebagai salah satu media dalam melakukan transaksi perdagangan. Dalam melakukan transaksi perdagangan, permasalahan yang muncul biasanya di samping masalah pengiriman barang juga masalah dalam hal pembayaran. Bagi pengirim atau penjual, barang harus terlebih dahulu ada jaminan pembayaran terhadap barang yang dijualnya. Tanpa jaminan dari pihak pembeli tidak mungkin penjual berani melepas barang dagangannya. Begitu pula bagi pihak pembeli perlu ada jaminan untuk memperoleh barang dengan disertai jumlah dan kualitas yang diinginkannya. Bagi mereka yang berdagang masih dalam satu pulau atau masih dalam satu negara hal ini mungkin tidak menjadi masalah serius. Tetapi bagi mereka yang dibatasi oleh jarak yang jauh dan waktu yang lama, apalagi antar negara jelas masalah pengiriman barang dan pembayaran akan menjadi masalah besar.

Pada masa sekarang hampir semua negara saling mengadakan hubungan dagang untuk menunjang pembangunan ekonominya. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi jelas akan sangat meningkatkan bisnis internasional. Peningkatan bisnis internasional, pasti pula akan meningkatkan intensitas lalu lintas pembayaran ekspor-impor antar negara di dunia pada abad ke-21 mendatang. Kegiatan perdagangan tersebut dapat terbagi menjadi dua, yaitu:

      

13

(26)

a. kegiatan menjual barang (ekspor); dan

b. kegiatan membeli hasil produksi negara lain (impor).

Dari setiap kegiatan tersebut pada dasarnya ada 2 (dua) pihak yang berperan, pihak eksportir dan pihak importir. Perlu diingat dalam kegiatan ini, kedua belah pihak terpisah satu sama lain baik secara geografis maupun oleh batas kenegaraan yang dapat dipastikan akan mengalami kesulitan dalam pembayaran bila pihak pembeli tidak memiliki devisa, maksudnya adalah alat pembayaran yang diterima dalam lalu lintas pembayaran internasional atau suatu mata uang internasional.

Untuk menjembatani keinginan tersebut, baik pihak pembeli (importir) maupun pihak penjual (eksportir) maka perlu digunakan sarana pembayaran yang saling menguntungkan. Sarana pembayaran ini akan menjamin pembayaran yang diinginkan penjual dengan mengirim barangnya. Jaminan diberikan pula kepada pihak pembeli bahwa akan menerima jumlah dan kualitas barang yang diinginkan. Sarana pembayaran semacam ini dibuat melalui jaminan bank sebagai lembaga pembayar yang dikenal dengan nama Letter of Credit atau L/C.

Ditinjau secara umum L/C digunakan untuk membiayai sales contract jarak jauh antara pembeli dan penjual (importir dan eksportir) yang belum saling mengenal dengan baik. Singkat kata, kehadiran L/C digunakan untuk membiayai transaksi perdagangan internasional. Menurut ketentuan Uniform Customs and Practice for Documentary

Credits (UCPDC 600), L/C merupakan janji dari bank penerbit untuk melakukan

(27)

dari pengertian L/C di sini adalah bahwa L/C merupakan “janji membayar”. Sedangkan menurut Bank Indonesia, L/C merupakan janji dari issuing bank untuk membayar sejumlah uang kepada eksportir sepanjang ia dapat memenuhi syarat dan kondisi L/C tersebut. 14

L/C sebagai alat pembayaran sangat disukai secara internasional karena unsur janji pembayaran yang ada pada instrumen ini. Penerima yang menjual barang kepada pemohon merasa aman dibayar dengan cara L/C karena adanya janji pembayaran dari bank penerbit kepadanya. Sebaliknya, pemohon juga merasa aman membeli barang dengan cara L/C karena akan menerima dokumen-dokumen yang dikehendakinya sebab pemenuhannya merupakan syarat pembayaran L/C.15

Selain sebagai sistem pembayaran yang paling aman dipandang dari sudut kepentingan eksportir dan importir, L/C yang secara prinsip menganut Uniform Customs

and Practice for Documentary Credit (UCP 600) adalah suatu sarana yang paling

efektif, yang ditawarkan oleh bank-bank devisa dalam penyelesaian pembayaran transaksi bisnis internasional. Walaupun demikian risiko dalam transaksi L/C dapat saja timbul bilamana negosiasi tidak mematuhi norma dan ketentuan internasional tersebut. Umumnya risiko disebabkan adanya penyimpangan, sehingga berdampak bagi opening

bank maupun bagi advising bank dengan tidak dapat menerima pembayaran atau

keterlambatan pembayaran dari mitra bisnisnya di luar negeri. Perbedaan manajemen,

      

14

Ramlan Ginting, Letter of Credit: Tinjauan Aspek Hukum dan Bisnis, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2007), hal. 33-34.

15

(28)

tata hubungan individu, dan kebijakan treasury memiliki pengaruh signifikan terhadap negosiasi L/C yang dapat dijadikan faktor utama mengukur besar kecilnya risiko.

Mengingat besar kecilnya resiko dalam pemakaian L/C sebagai salah satu instrument yang vital dalam pembayaran perdagangan luar negeri, maka tidak heran jika halnya dokumen L/C sering menjadi pusat incaran penjahat untuk dijadikan palsu atau dipalsukan. Ada dua kemungkinan dalam hal pemalsuan L/C, yaitu: pertama, bill of

exchange yang dikeluarkan berdasarkan L/C dipalsukan, kedua, bill itu asli tetapi

dokumen perkapalan berdasarkan kredit itu dipalsukan. Jika bill of lading yang dipalsukan, maka kemungkinan barang yang dikirim barang rusak atau tidak berharga.16

Mencuatnya kasus L/C fiktif di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (selanjutnya disebut Bank BNI) yang memiliki potential loss setara Rp1,7 triliun cukup menarik perhatian publik. Dalam perihal kasus pembobolan Bank BNI melalui kasus L/C fiktif, menurut data kepolisian kasus itu diduga melibatkan sedikitnya tujuh perusahaan swasta yang bergerak di bidang ekspor pasir ke negara di Afrika. Peristiwanya berlangsung mulus selama kurun waktu lebih dari setahun (Juli 2002 hingga Agustus 2003).17 Pengawasan internal Bank BNI tak berjalan sama seperti       

16

Agus Sudrajat, Pengkajian Hukum tentang Masalah Hukum L/C sebagai Alat Pembayaran dalam Perdagangan, (Jakarta: BPHN Departement Kehakiman RI, 1996), hal. 3.

17

(29)

halnya sistem pengawasan Bank Indonesia yang juga ternyata tumpul. 18 Jika keadaannya demikian, persoalannya bukan saja terletak pada kerugian bank itu, melainkan pada level dalam negeri ada “pengaruh psikologis” masyarakat yang sedikit banyak dapat mengganggu kepercayaan publik pada lembaga perbankan. Kemudian pada level dunia internasional, pelaku bisnis luar negeri akan berpikir dua kali bila akan berhubungan bisnis melalui L/C dengan mitra bisnisnya di Indonesia.

       

Dalam keadaan yang demikian, pihak perbankan seharusnya menyadari bahwa dana masyarakat yang dihimpun oleh bank pada hakikatnya adalah “utang” bank kepada masyarakat, sekalipun secara yuridis formal pengertian utang dalam hal ini berbeda dengan pengertian utang pada umumnya. Oleh karena itu, hakikatnya karakteristik usaha bank adalah semakin besar “utang”, maka operasional bank tersebut cenderung semakin besar. Ini berarti liability terbesar dari bank adalah “utang” itu sendiri. Hal demikian tidak terjadi dalam bentuk usaha lainnya. Dengan demikian, modal utama bank pada dasarnya “dana masyarakat”. Dengan kata lain, industri perbankan sebagian besar asetnya berupa “utang” pada masyarakat. 19

Selanjutnya kepercayaan mutlak yang diberikan oleh masyarakat kepada bank melalui penempatan simpanan dana seharusnya diterima oleh bank secara bertanggung jawab, jujur, dan transparan. Bank harus mampu menjaga kepercayaan dan amanah yang diberikan oleh masyarakat. Karena hubungan yang didasarkan pada asas fiduciary

relationship dari nasabah kepada bank harus menimbulkan rasa memiliki dan rasa

 

18

Ibid.

19

(30)

bertanggung jawab (sense of belonging and responsibility) dari bank.20 Konsekuensinya, harus tercipta sebuah hubungan yang saling menguntungkan dan seimbang. Sebab, dana masyarakat bagi bank merupakan darah kehidupan bank. Tanpa dana masyarakat, bank tidak mungkin dapat beroperasi. Sehingga tidaklah adil jika keuntungan bank hanya dinikmati oleh bank itu sendiri (pemilik/pemegang saham) dan jika merugi harus mengikutsertakan masyarakat (deposan/nasabah). Kenyataan yang terjadi pada saat sekarang ini adalah demikian. Asas klasik yang dijadikan dasar pembenar mengenai masalah ini adalah sifat bank yang berbadan hukum yang berarti memiliki limitatif tanggung jawab. Tanggung jawab pemilik bank (shareholder) hanya terbatas dari saham yang diberikan kepada perseroan, sebagaimana asas yang terjadi dalam perseroan yang berbadan hukum.

Dalam hal ini menarik apa yang dikemukan Try Widiyanto bahwa:

Asas ‘amanah’ dan ‘janji’ bank kepada masyarakat seharusnya dilihat sebagai janji universal. Artinya, bank seharusnya dapat dituntut dan dimintakan pertanggungjawaban sepenuhnya apabila mereka melalaikan ‘amanah’ dan ‘janji’ tersebut. Namun demikian, hal ini belum terjadi dalam sejarah perbankan di Indonesia, bahwa seorang atau lebih nasabah melakukan gugatan terhadap bank yang mengelola dananya tidak sesuai dengan ketentuan. Dalam berbagai kasus perbankan di Indonesia yang mengalami rush, yang mengakibatkan tertundanya pembayaran simpanan nasabah, ternyata nasabah hanya mengikuti pengumuman dan ketentuan-ketentuan dari otoritas moneter, sehingga sulit untuk mencari yurisprudensi permasalahan ini dalam lembaga peradilan di Indonesia. Dengan demikian, dari aspek litigasi, permasalahan ini menjadi kurang populer.21

Uraian mengenai masalah di atas jika dipahami lebih mendalam memang sepantasnya bank sebagai lembaga hukum dapat dituntut oleh nasabah jika bank

      

20

Ibid., hal. 129.

21

(31)

melalaikan dan atau melakukan perbuatan hukum yang merugikan nasabah atau bank telah melakukan perbuatan hukum yang merugikan nasabah atau bank telah melakukan perbuatan hukum yang memenuhi rumusan delik dan atau telah melakukan suatu kesalahan (guilty). Tuntutan nasabah itu dapat berupa tuntutan pidana atau perdata. Tuntutan hukum tersebut harus diterima sebagai tanggung jawab bank sebagai badan hukum. Artinya, sepanjang para pengurus, komisaris, dan pemegang saham telah melakukan suatu perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku, norma dan doktrin hukum, kesusilaan, serta anggaran dasar (AD) perseroan dan kegiatan perseroan harus sesuai dengan UUPT.

Pasal 2 UUPT menyebutkan bahwa “Kegiatan perseroan harus sesuai dengan maksud dan tujuannya serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan atau kesusilaan”. Dalam ketentuan ini maka seharusnya tanggung jawab tersebut merupakan tanggung jawab perseroan sebagai badan hukum. Ironinya kejadian pembobolan bank (dilakukan melalui L/C fiktif) tersebut dapat dilihat di dalam konteks wewenang, tugas dan tanggung jawab direksi, yakni bahwa ada kegagalan dalam pemenuhan kedua ekspektasi sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.

(32)

para pemegang saham, begitu juga dengan ekspektasi para deposan. Kasus ini dapat menunjukkan betapa sistem pengendalian intern yang dimiliki oleh Bank BNI patut dipertanyakan karena tidak dapat menangkap isyarat awal akan terjadinya skandal yang demikian besar secara hitungan rupiah. Padahal di dalam ketentuan-ketentuan tentang prinsip kehati-hatian, risk management, dan compliance system yang dikeluarkan Bank Indonesia jelas- jelas disebut bahwa direksi bertanggung jawab atas tersedia dan terlaksananya system internal control yang mumpuni, identifikasi risiko setiap transaksi, dan terpenuhinya ketentuan- ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.22

Melalui tinjauan kasus tersebut, tindakan pegawai Bank BNI Cabang Kebayoran Baru terdapat unsur kesengajaan. Alasannya, prosedur penggunaan L/C sebagai jaminan kredit ekspor sebenarnya sangat rumit. Banyak sekali dokumen yang harus dicek dan dicek ulang. Persetujuannya pun tidak bisa dilakukan seorang saja. Ada verifikasi dari berbagai pihak sehingga tidak mungkin L/C tersebut lolos hanya karena kesalahan biasa.23 Kewenangan penyelesaian transaksi L/C ekspor, berapa pun nilainya menjadi kewenangan penuh pejabat di kantor Cabang Bank BNI. Akibatnya, sekali pejabat puncak di kantor cabang tersebut memiliki kepentingan pribadi yang bertentangan dengan kepentingan perusahaan, maka akan cukup sulit atau memerlukan waktu relatif

      

22

Cepi J Malik, op.cit.

23

(33)

lama bagi pihak di luar kantor cabang untuk dapat mendeteksi adanya kecurangan tersebut. 24

Sistem dan prosedur yang berlaku di Bank BNI ini sebenarnya berlaku secara umum di perbankan nasional. Lebih-lebih transaksi L/C ekspor yang bersifat berjangka (Usance L/C), tanpa adanya diskonto terhadap wesel ekspor tersebut maka bank tidak akan memiliki kewajiban efektif hingga masa jatuh tempo wesel berjangka tersebut.25 Alat kontrol pencatatan wesel ekspor berjangka yang belum terbayar adalah berupa buku catatan L/C ekspor yang belum dibayar (register) (biasanya buku ini sudah tidak dipelihara lagi karena adanya sistem komputerisasi) dan rekening administratif L/C ekspor yang belum terbayar (off balance sheet account)26. Karena minimnya alat kontrol L/C yang belum terbayar, tidak mustahil pihak auditor internal cukup sulit memantau eksistensi transaksi L/C ekspor berjangka ini.27

Hakikat pembuktian skandal L/C ekspor Bank BNI ini sebenarnya tidak terlalu ruwet. Sebagaimana praktik umum perbankan, L/C ekspor merupakan transaksi umum yang dianggap berisiko rendah karena risiko yang melekat padanya adalah risiko operasional. Artinya, sepanjang petugas bank melakukan transaksi sesuai pedoman yang ditetapkan, transaksi tersebut seharusnya tidak akan menjadi masalah. Masalah akan       

24

“Dirut BNI Bisa Jadi Tersangka” dalam http://www.sinarharapan.co.id/berita/0312/1l, Minggu 6 Juli 2008, diakses 27 April 2010.

25

Usance L/C disebut juga Acceptance L/C. Lihat Ramlan Ginting, op.cit., hal. 90.

26

Off Balance Sheet Account adalah rekening dan transaksi yang belum efektif menimbulkan perubahan harta dan utang dan beberapa catatan penting yang menyangkut transaksi valuta asing; transaksi ini dapat bersifat sebagai tagihan bank atau sebagai kewajiban bank yang dikenal dengan istllah ikat janji atau komitmen dan kontingensi. Lihat http://www.bi.go.id/biweb/Templates/Kamus diakses pada tanggal 24/08/2010.

27

(34)

terjadi, misalnya, karena adanya kesalahan dalam membaca prosedur. Namun dalam hal kesalahan karena adanya unsur kesengajaan, transaksi bank yang rawan terhadap pembobolan oleh petugas bank sangat banyak, tidak terbatas hanya L/C ekspor saja. Sebagai contoh, sama halnya soal prosedur pelayanan pembukaan simpanan deposito. 28

Uraian contoh kasus di atas jelas bahwa kasus L/C fiktif di Bank BNI hanyalah satu kasus kecil di antara ribuan potensi kasus transaksi lain (selain L/C ekspor) yang mungkin terjadi jika petugas bank ikut bermain di dalam transaksi bank. Sebagai pihak yang ditugasi oleh pemilik untuk mengelola bank, jelas bahwa segala sesuatu yang terjadi terhadap bank yang mereka kelola, direksi harus bertanggung jawab sepenuhnya. Namun demikian, tanggung jawab direksi harus dilihat dalam konteks korporat. Kesalahan utama Direksi Bank BNI terletak pada pemilihan pemimpin cabang yang ternyata tidak dapat mengemban amanah yang didelegasikan Direksi Bank BNI. Artinya, direksi tidak dapat disalahkan dalam kasus transaksi pembobolan L/C ekspor tersebut, namun secara finansial direksi bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita Bank BNI. 29

Dalam kasus L/C ekspor Bank BNI, mengingat transaksi L/C sampai saat ini hanya diawasi melalui rekening administratif (off balance sheet account), kiranya perlu ditinjau kembali perilaku berbagai transaksi bank. Dari uraian tersebut, jelas bahwa tanggung jawab direksi bank berkaitan dengan sistem hukum perbankan yang dalam hal ini pada dasarnya merupakan optimalisasi prinsip fiduciary duty, di mana direksi bank       

28

M. Syahran W. Lubis, “Mengkaji Resiko Negosiasi L/C di Bank” dalam http://www.ppatk.go.id/content.php?s_sid=76, diakses 28 April 2007.

29

(35)

dalam mengurus usahanya dilakukan secara lebih baik yang akhirnya kepercayaan masyarakat kepada bank dapat dioptimalkan dan saling menguntungkan. Berdasarkan pemikiran latar belakang permasalahan ini, penulis menganggap perlu melakukan penelitian dengan mengambil judul “Prinsip Fiduciary Duty Terhadap Pertanggungjawaban Direksi Bank dalam Pembayaran Letter of Credit.”

B. Permasalahan

Berdasarkan pemaparan beberapa hal di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana ketentuan prinsip fiduciary duty dalam UUPT dan relevansinya terhadap pertanggungjawaban direksi bank?

2. Bagaimana pertanggungjawaban direksi bank mengenai pembayaran letter of

credit dalam hal terjadinya pelanggaran prinsip fiduciary duty?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan menganalisis ketentuan prinsip fiduciary duty dalam UUPT terhadap pertanggungjawaban direksi bank.

(36)

D. Manfaat Penelitian

Apabila pandangan Enid Campbell yang menyatakan bahwa “In his or her

professional career, the lawyer as well as legal scholar will find it necessary to discover

the legal principle relevant to a particular problem”30 dipahami, dapat dikemukakan bahwa penelitian hukum bukan hanya untuk para praktisi hukum, melainkan juga untuk akademisi hukum.

Untuk itu secara teoritis atau akademis tentu penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para mahasiswa dan pembuat undang-undang melalui kontribusi pemikiran serta pengembangan doktri-doktrin hukum atau teori-teori hukum bagi penyempurnaan sejumlah perangkat peraturan, umumnya bagi perkembangan dunia hukum perbankan, khususnya mengenai tanggung jawab direksi bank dan juga mengenai transaksi pembayaran yang bersifat L/C.

Sementara secara praktis penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi praktisi hukum, umumnya bagi kepentingan kliennya dibidang hukum bisnis, khususnya di bidang hukum perseroan/perusahaan serta hukum perbankan. Juga kepada kalangan direksi bank guna lebih mengetahui dan memahami secara mendalam tentang tanggung jawabnya melalui prinsip fiduciary duty. Selain itu penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi para pengusaha eksportir-importir karena berkaitan dengan aspek hukum L/C. Sasaran akhir suatu ekspor ialah pembayaran. Pembayaran ini akan lebih pasti jika ada janji pembayaran dari bank yang diwujudkan dalam bentuk penerbitan

      

30

(37)

L/C. L/C dengan demikian memiliki peranan penting dalam rangka meningkatkan ekspor. Dengan demikian, pemahaman yang baik bagi pengusaha eksporti-importir terhadap aspek hukum L/C sangat diperlukan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pengamatan serta penelusuran kepustakaan yang dilakukan di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, penelitian yang membahas judul Prinsip

Fiduciary Duty Terhadap Pertanggungjawaban Direksi Bank dalam Pembayaran Leeter

of Credit belum pernah dilakukan baik dalam judul, topik, dan objek permasalahan yang

sama. Penelitian ini spesifik dilakukan pada aspek perbankan mengenai tanggung jawab direksi bank dalam pembayaran Letter of Credit. Namun pada tesis sebelumnya terdapat penelitian sejenis yang dilakukan oleh 3 (tiga) orang mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yaitu:

1) Rudi Dogar Harahap dengan judul Penerapan Business Judgement Rule

dalam Pertanggungjawaban Direksi Bank pada tahun 2008. Dalam judul

penelitian tesis tersebut yang dibahas adalah mengenai prinsip pembelaan direksi sebagai penyeimbang prinsip fiduciary duty.

2) Dedy Sutanto dengan judul Penentuan Standard Duty of Loyality dan Duty of

Care pada tahun 2008. Dalam judul penelitian tesis ini yang dibahas adalah

(38)

3) Maraganti Panggabean dengan judul Analisis Pertanggungjawaban Direksi

Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas pada tahun 2008. Dalam penelitian ini yang dibahas merupakan

cakupan pembahasan tanggung jawab direksi sebatas perbandingan antara UUPT 1995 dengan UUPT 2007.

Dengan demikian, berdasarkan penelusuran pada beberapa penelitian sebelumnya, penelitian ini bahwasanya dapat dikategorikan sebagai penelitan yang baru dan keasliannya dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuwan akdemisi, karena dilakukan melalui kejujuran secara rasional, objektif dan terbuka.

F. Kerangka Teori dan Konsepsional

Untuk menjawab permasalahan dan mencapai tujuan penelitian, maka digunakan beberapa teori dan konsep dalam rangka pelaksanaan prinsip fiduciary duty terhadap pertanggungjawaban direksi sebagai dasar analisis.

1. Kerangka Teori

a. Teori Personalitas

Hakikat prinsip fiducary duty pada tataran dokrin hukum perseroan adalah terletak pada jabatan yang diemban direksi sebagai kewajiban atau tugas menunaikan amanah dari shareholder maupun stakeholder dalam bentuk pertanggungjawaban. Menurut Try Widiyono, tanggung jawab direksi wajib dilakukan berdasarkan 3 (tiga) prinsip yang terjalin dalam satu sistem, yaitu prinsip fiduciary duty, prinsip duty of care

(39)

standard of care hakikatnya merupakan implementasi lebih lanjut dari prinsip fiduciary

duty. 31 Namun demikian, guna memahami prinsip fuduciary duty yang lebih komprehensif, adakalanya terlebih dahulu akan dikemukakan tentang personalitas perseroan. Hal ini dianggap perlu sebab keberadaan direksi tidak terpisahkan dari teori personalitas mengingat perseroan sama seperti halnya perorangan manusia baik pria maupun wanita yang masih anak-anak atau sudah dewasa adalah subjek hukum yang memiliki personalitas atau kepribadian (personality or individuality). Manusia sebagai

person atau perorangan sebagai subjek hukum, memiliki hak hidup yang dilindungi

hukum. Berhak memiliki kekayaan di depan hukum. Bahkan pada dirinya melekat berbagai hak asasi yang harus dihormati penguasa dan anggota masyarakat lain. Pada masa sekarang, secara universal, semua manusia sebagai perorangan tanpa membedakan jenis kelamin, golongan, kelompok, ras dan agama, dapat menegakkan hak-haknya di depan pengadilan. Sebaliknya, kepadanya dapat diminta pertanggungjawaban atas pelanggaran kewajiban hukum yang melekat pada hak tersebut di depan pengadilan. Sebagaimana M. Yahya Harahap mengatakan:

Semua manusia sebagai perorangan adalah badan hukum (legal person) dan hal itu melekat pada dirinya sejak lahir, serta keadaan itu berlangsung selama hidupnya sejak lahir sampai meninggal dunia. Akan tetapi, bukan manusia perorangan saja yang bisa menjadi subjek hukum dan badan hukum. Perseroan bisa juga menjadi badan hukum, oleh karena itu bisa subjek hukum. Apabila sesuatu mempunyai ‘hak’ (recht, right) dan ‘kewajiban’ (duty) seperti layaknya manusia, maka menurut hukum setiap apa pun yang mempunyai hak dan kewajiban adalah subjek hukum dalam kategori ‘badan hukum’ (rechtpersoon, legal person, legal entity). Dengan demikian, tidak selamanya badan hukum harus manusia (natural person). Badan hukum yang bukan manusia itulah (the non-human legal person) yang disebut pada       

31

(40)

Pasal 1 angka 1 UUPT 2007. Namanya disebut ‘Perseroan Terbatas’ (Naamlozevetnootscahp, corporation limited by shares).32

Secara umum, kata perseroan atau korporasi berasal dari kata corpus dalam bahasa Latin yang berarti badan, tubuh atau raga (body).33 Kemudian kata itu berkembang menjadi corporation atau perseroan yang lahir dan dicipta melalui proses hukum (processrecht, legal process). Bukan halnya lahir melalui proses alamiah (natural birth) seperti layaknya manusia dan oleh karena itu sebabnya disebut “badan hukum buatan” (kunsmatige rechtspersoon, artificial legal person).34

Pemahaman bahwa Perseroan Terbatas merupakan badan hukum yang didirikan untuk tujuan mendapatkan laba, di samping juga memiliki visi dan misi tertentu. Untuk mencapai laba, mewujudkan visi dan menjalankan misinya, perseroan melakukan berbagai kegiatan. Menurut Malvin Aron Eisenberg yang mendefinisikan perseroan yakni:

The business corporation is an instrument through which capital is assembled for the activities of producing and distributing goods and services and making investments. Accordingly, a basic premise of corporation is that a business corporation should have as its objective the conduct of such activities with a view to enhancing the corporation’s profit and the gains of the corporation’s owners, that is, the shareholders.35

Definisi di atas menjelaskan bahwa perseroan yang bergerak dalam bisnis terdapat beberapa ciri yaitu, merupakan suatu instrument, ada modal, melakukan aktivitas produksi dan distribusi barang dan jasa serta bertujuan memperoleh laba.       

32

M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 53.

33

K. Prent Cm, dkk., Kamus Latin-Indonesia, (Jakarta: Kanisius, 1969), hal. 109.

34

MC. Oliver and EA Marshal, Company Law, Eleventh Edition, (The M & E Handbook Series, 1991), hal. 10.

35

(41)

Definisi tersebut lebih menonjolkan sifat persero sebagai unit bisnis, yang tentunya secara inherent melekat risiko.

Dikaitkan dengan sifat bisnis yang telah diungkapkan tersebut, perseroan ditinjau dari sisi kedudukan hukumnya merupakan sebagai badan hukum (Legal Person, Legal

Entity) dan dianggap sebagai subjek hukum yang cakap melakukan tindakan hukum atau

mengadakan hubungan hukum dengan berbagai pihak seperti manusia. Dengan demikian sebutan Perseroan Terbatas (PT) sebagai badan hukum yang memiliki tanggung jawab terbatas (limited liability) karena setidaknya mempunyai lima ciri khusus atau karakteristik yaitu: sebagai personalitas hukum (legal personality); memiliki tanggung jawab terbatas (limited liability); sahamnya dapat dialihkan (transferable

shares); ada pendelegasian manajemen oleh struktur direksi; dan kepemilikan oleh

investor.36

Senada dengan hal di atas M. Yahya Harahap memberikan batasan bahwa “Meskipun perseroan badan hukum artifisial namun dia tidak fiktif (fictitious), tetapi nyata-nyata ada melakukan kegiatan bisnis atau kegiatan usaha di tengah-tengah masyarakat.”37 Jika dilihat secara nyata memang keberadaan perseoran sebagai badan hukum berbeda dengan manusia perorangan.

Berbagai teori telah muncul mengenai konsep personalitas (rechtpersoonlijkheid) tentang perseroan sebagai badan hukum. Berkenaan dengan hubungan kelompok di antara organ terdapat sebuah teori yang dinamakan entity theory (teori entitas) atau fiat       

36

Ridwan Khairandy, “Perseroan Terbatas sebagai Badan Hukum,” dalam Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 26, No. 3. 2007, hal. 5

37

(42)

theory (teori fiat).38 Teori ini berasal dari Romawi dan Common Law yang mengatakan, pada dasarnya perseroan sebagai badan hukum adalah buatan atau “ciptaan fiksi” (ficitious artificial) yang disebut entitas hukum (legal entity or juristic entity) yang memiliki personalitas fiktif. Kemudian pokok-pokok yang didasarkan dalam teori ini adalah perseroan merupakan organisme yang mempunyai identitas hukum yang terpisah dari anggotanya atau pemiliknya. Oleh karena itu, perseroan adalah badan hukum buatan melalui proses hukum. Dengan demikian pada dasarnya perseroan itu bersifat fiktif karena kelahirannya semata-mata melalui “persetujuan” pemerintah dalam bentuk fiat atau approval atau consencus of the government. Maka menurut teori ini, kepribadian atau personalitas perseroan sebagai badan hukum adalah “pengakuan hukum” terhadap kepentingan sekelompok orang tertentu untuk melakukan kegiatan perusahaan atau bisnis. Kepribadian atau personalitas orang-orang itu dan berkumpulnya mereka dalam badan hukum itu berbeda (distinct) dengan personalitas dari individu anggotanya. Dengan demikian yang menonjol adalah kepentingan kelompok (group interest) yang berwujud badan hukum yang diberi nama perseroan yang terpisah (separate) dari kepentingan individu (separate from the individual interest).

Teori personalitas yang lain adalah teori realistik atau disebut juga inherence

theory. Menurut teori ini bahwasanya perseroan sebagai grup atau kelompok, di mana

kegiatan dan aktivitas kelompok itu “diakui hukum terpisah” (separate legal

recognition) dari kegiatan dan aktivitas individu kelompok yang terlibat dalam

      

38

(43)

perseroan. Dengan demikian jumlah peserta (aggregate) terpisah dari komponen (aggregate distinct of separate from components).39

Melihat ketentuan sebagaimana di atas jika dilanjutkan sama halnya dengan “teori simbol” (symbol theory) yang berprinsip bahwa perseroan sebagai simbol keseluruhan dari perorangan kelompok yang bergabung dalam kegiatan usaha perseroan tersebut, merupakan orang-orang atau pribadi-pribadi yang terikat bergabung bersama dalam kegiatan usaha perseroan yang memiliki kepribadian hukum atau personalitas hukum (legal personality) yang berbeda dan terpisah (distinct and separate) dari kepribadian hukum individu personnya. Oleh karena itu, hukum membolehkan (law

permits) penerapan tanggung jawab terbatas (limited liability) hanya sebatas harta

kekayaan perseoran, dan menggugat dan digugat atas nama perseroan dan diakui memiliki “pengurusan” yang disebut direksi (Board of Directors) yang bertindak mengurus usaha (management) perseroan, serta mewakili (representative) perseroan.40

Di samping berdasarkan semua ketentuan di atas, ada juga teori organ (theory

organ) yang dikemukakan Otto van Gierkie yang berpendapat, perseroan sebagai badan

hukum adalah “realita sesungguhnya”, yang sama halnya dengan sifat kepribadian manusia. Sebab seperti halnya personalitas manusia, perseroan sebagai badan hukum, juga mempunyai maksud, tujuan dan kehendak seperti halnya manusia.41

      

39

M. Yahya Harahap, op.cit.

40

Ibid.

41

(44)

b. Doktrin Fiduciary Duty

Sejalan dengan teori personalitas, teori yang berkaitan dengan prinsip tanggung jawab direksi adalah yang sering disebut dengan doktrin fiduciary duty.42 Pada dasarnya doktrin ini merupakan penjabaran dari duty of loyalty and good faith bersama-sama dengan duty of care and skill, dalam sistem common law dikenal dengan nama fiduciary

duty.43 Charles.O’Kelley, Jr. meninjau dari sisi perseroan menyatakan bahwa fiduciary

duty memiliki dua fungsi sebagai berikut :

In the corporate setting, fiduciary duty has two quite different functions. First, it instructs directors to be absolutely fiar and candid in pursuing personal interests. Thus, the duty of loyalty makes it wrongful for a directors to unfairly compete with her corporation or to unfairly divert corporate resources or opportunities to her personal use. Second, fiduciary duty describes the bounds of acceptable conduct for directors in carrying out their individual and collective duty to manage the corporation. In both of these functions, fiduciary duty raises a core issue how to optimally reduce the possibility that the directors will favour personal interest over the corporation’s interests.44

Melalui penjabaran prinsip fiduciary duty sebagaimana tersebut di atas, Henry Campbell Black mendefinisikannya sebagai teori fiduciary duty, yakni suatu kewajiban yang ditetapkan undang-undang bagi seseorang yang memanfaatkan seseorang lain, di mana kepentingan pribadi seseorang yang diurus oleh pribadi lainnya, yang sifatnya hanya hubungan atasan-bawahan sesaat. Orang yang mempunyai kewajiban ini harus melaksanakannya berdasarkan suatu standar dari kewajiban (standart of duty) yang       

42

Prinsip ini ditemukan dan dielaborasi oleh Court of Chancery pada sekitar abad 18-19 untuk menjamin bahwa orang yang memegang aset atau sedang menjalankan fungsi dalam kapasitasnya sebagai perwakilan untuk kepentingan orang lain dengan itikad baik dan secara konsisten melindungi kepentingan dari orang yang diwakilinya. Robert R. Pennington, Directors’ Personal Liability, (Collin: Professional Books, 1997), hal. 33.

43

Gunawan Wijaya, op.cit., hal. 24.

44

(45)

paling tinggi sesuai dengan yang dinyatakan oleh hukum. Sedangkan fiduciary duty ini adalah seseorang yang memegang peran sebagai suatu wakil (trustee) atau suatu peran yang disamakan dengan sesuatu yang berperan sebagai wakil, dalam hal ini peran tersebut didasarkan kepercayaan dan kerahasiaan (trust and confidence) yang dalam dalam peran ini meliputi, ketelitian (scrupulous), itikad baik (good faith), dan keterusterangan (candor). Fiduciary ini termasuk hubungan seperti, pengurus atau pengelola, pengawas, wakil atau wali, dan pelindung (guardian), termasuk juga di dalamnya seorang lawyer yang mempunyai hubungan fiduciary dengan clietn-nya.45

Tidak semua orang yang diharapkan dan dihadapkan pada semua lini keadaan untuk memiliki suatu standar keahlian tertentu yang sama antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam beberapa hal, seseorang yang diangkat sebagai anggota direksi karena keahliannya dalam bidang tertentu, misalnya seorang akuntan diangkat sebagai anggota direksi karena keahliannya di bidang akuntansi/keuangan. Dalam hal ini, standar yang diharapkan dari anggota direksi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan anggota direksi lainnya yang tidak memiliki kemampuan dan keahlian yang sama. Dalam perspektif demikian, maka anggota direksi tersebut patut diharapkan dapat bertindak dari keahliannya tersebut. Dalam beberapa kejadian, seorang anggota direksi dapat dianggap telah melanggar duty of care jika dalam menghadapi suatu persoalan yang rumit ia tidak

      

45

(46)

mencari pendapat ahli untuk memberikan masukan dalam mengambil keputusan terhadap persoalan yang dihadapinya.46

Direksi dianggap telah memenuhi kewajibannnya menjalankan prinsip duty of

care apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Membuat keputusan bisnis yang tidak ada unsur kepentingan pribadi, berdasarkan informasi yang mereka percaya didasari oleh keadaan yang tepat, dan

2. Secara rasional mempercayai bahwa keputusan bisnis tersebut dibuat untuk kepentingan terbaik bagi perusahaan.47

Salah satu tolok ukur memutuskan apakah suatu kegiatan disebabkan oleh keputusan bisnis (business judgement) tidak tepat sehingga dapat menghindar dari pelanggaran prinsip duty of care adalah:

1. Memiliki informasi tentang masalah yang akan diputuskan dan percaya bahwa informasi tersebut benar;

2. Tidak memiliki kepentingan dengan keputusan dan memutuskan dengan itikad baik;

3. Memiliki dasar rasional untuk mempercayai bahwa keputusan yang diambil adalah yang terbaik bagi perusahaan.48

c. Konsep Trust Theory.       

46

Gunawan Wijaya, op. cit., hal. 34-35.

47

Heidi Mandanis Schooner, “Fiduciary Duties Demanding Cousin: Bank Director Liability for Unsafe or Unsound Banking Practices”, dalam George Washington Law Review, Januari 1995, hal. 180.

48

(47)

Sebelum berlakunya UUPT di Indonesia, jelas bahwa hukum Indonesia tidak menganut doktrin fiduciary duty. Hal ini disebabkan KUHD Indonesia merupakan penjelmaan dari KUHD Belanda, di mana KUHD Belanda diambil dari Prancis setelah Code Napoleon. Sebagaimana diketahui bahwa Code Napoleon tidak mengakui adanya prinsip fiduciary duty atau trustee. Sehingga seperti telah dijelaskan bahwa pada prinsipnya doktrin fiduciary duty terhadap direksi tidak diakui dalam sistem hukum Eropa Kontinental (civil law system).

Hubungan antara direksi dengan perseroan yang dipimpimnya dalam sistem hukum Eropa Kontinental adalah hubungan antara pemberi kuasa (perusahaan) dengan penerima kuasa (direktur), atau jika direktur diberi upah, maka secara legal hubungan tersebut merupakan juga hubungan perburuhan.49 Oleh karena hubungan direktur sebagai penerima kuasa maka dia hanya bertanggung jawab secara pribadi dalam hal dia menjalankan tugasnya melebihi dari kuasa yang diberikan kepadanya sesuai dengan anggaran dasar perusahaan. Dengan demikian, secara konkrit dapat dikatakan jika dalam

common law system direktur menurut standar tertentu sebagai trustee, maka menurut

civil law system seorang direktur pada prinsipnya bertindak hanya dengan

memperlihatkan anggaran dasar perusahaan.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa istilah “fiduciary” sama dengan istilah “trust”. Untuk istilah “trust” tersebut Munir Fuady menjabarkannya dalam ilmu hukum bahwa terdapat beberapa batasan tentang pengertian tersebut, yakni:

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan baik melalui studi literatur, observasi langsung serta wawancara, salah satu permasalahan yang terdapat pada Museum Seni

Okelah kalau begitu…dalam teknik sentuhan hal yang harus pertama bisa kita sentuh adalah tangan dan pundak si wanita dengan cara memeluknya dari samping…itu

KPR BRISyariah iB adalah Pembiayaan Kepemilikan Rumah kepada Perorangan untuk memenuhi sebagian atau keseluruhan kebutuhan akan hunian dengan menggunakan prinsip

KEUANGAN TENTANG NOMOR 267 /PMK.010/2015 TENTANG KRITERIA DAN/ ATAU RINCIAN TERNAK, BAHAN PAKAN UNTUK PEMBUATAN PAKAN TERNAK DAN P.AN IKAN YANG ATAS IMPOR DAN/

Pada kelompok kontrol yang tidak diberikan terapi tomat, sebagian besar responden yaitu 7 responden (63,64%) tetap mengalami hipertensi sedang dan 1 responden (9,09%) berada

Nanoenkapsulasi sendiri merupakan suatu proses penyalutan partikel padatan berukuran mikron, droplet cairan, atau gas dalam suatu kulit penyalut yang inert, untuk

[r]