• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran HLA pada Karsinoma Nasofaring

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peran HLA pada Karsinoma Nasofaring"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Peran HLA pada Karsinoma Nasofaring

De lfitri Munir

De p a rte me n Ilmu Ke sa ha ta n Te ling a Hid ung Te ng g o ro k, Be d a h Ke p a la Le he r Fa kulta s Ke d o kte ra n Unive rsita s Suma tra Uta ra

Abstrak: HLA merupakan petanda imunogenetik seseorang yang berperan pada respon imun terutama pada infeksi intraselular seperti infeksi virus Epstein-Barr. HLA diturunkan secara heterozigot dan bersifat kodominan serta mengikuti pola induk kelompok rasnya. Akibatnya, kelompok ras tertentu akan mengahadapi resiko menderita penyakit tertentu. Infeksi VEB yang merupakan salah satu faktor penyebab penting pada KNF, sangat ditentukan keberadaannya oleh HLA. Kemampuan HLA mempresentasikan peptida VEB kepada ThCD4 atau TcCD8 melalui TCR sangat menentukan respon imun terhadap VEB tersebut.

Kata kunci: Human leucocyte antigen, karsinoma nasofaring

Abstracts: HLA is a personal immunogenetic, that has a role in immune response as especially on intra cellular infection such as Epstein-Barr viruses. HLA is inherited as heterozygot and has character of co-dominant and follow main pattern ethnic group. As a consequence, certain ethnic group have a risk suffering from certain disease. Epstein-Barr virus infection that is one of NPC important etiology factors, that is much defined by HLA. The capability of HLA to present these viruses petide for ThCD4 or TcCD8 by means of TCR much difines immune response for that virus.

Keywords: Human leucocyte antigen, nasopharyngeal carcinoma

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang paling banyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60% dari tumor ganas kepala dan leher adalah KNF. Penyakit ini menduduki urutan ke lima dari seluruh keganasan setelah kanker mulut rahim, payudara, kelenjar getah bening dan kulit, dengan prevalensi 4,7 per 100.000 penduduk setiap tahun.1,2

Penyebab pasti KNF sampai saat ini belum ditemukan, namun ada beberapa faktor yang dicurigai sebagai faktor penyebab. Faktor tersebut adalah faktor ekstrinsik seperti virus Ebstein-Barr, nitrosamine, pola makan dan lingkungan. Sedangkan faktor intrinsik misalnya

gen human leucocyte antigen (HLA),

proto-onkogen dan gen supresor.3

Faktor genetik diyakini berperan sebagai salah satu faktor etiologi KNF. Keyakinan bahwa faktor ini berperan berdasarkan fakta-fakta seperti, terdapat perbedaaan frekuensi yang nyata diantara berbagai kelompok suku bangsa. Fakta tersebut antara lain pada populasi China Selatan yang memiliki frekuensi KNF 100 kali dibanding frekuensi pada populasi Kaukasia. Disamping itu dijumpai adanya peningkatan resiko pada keluarga penderita KNF dan masih tingginya resiko KNF emigran

asal China di daerah yang insidennya sangat rendah.4

Salah satu faktor genetik yang paling dicurigai adalah gen HLA. Gen ini diturunkan secara heterozigot dan bersifat kodominan. Akibatnya, kelompok masyarakat dengan HLA tertentu akan menghadapi resiko terjadinya penyakit tertentu (Abbas dan Lichtman, 2003). Beberapa penyakit diduga ada kaitannya dengan HLA, dalam arti penderita dengan penyakit tertentu sering dijumpai memiliki gen HLA tertentu.5

(2)

terkontrol yang mengarah pada proses keganasan.7

GEN HLA

Gen major histocompatibility complex

(MHC) adalah kompleks gen pada 4-megabase region di rantai pendek kromosom nomer 6 di dalam inti sel. MHC merupakan istilah umum, sedangkan pada manusia disebut HLA. Gen ini mengekspresikan molekul HLA yang terdapat di permukaan sel, dan molekul ini sangat berperan pada sistem imun, khususnya dalam menghadapi infeksi seperti infeksi virus.8,9

Nomenklatur sistem HLA berasal dari HLA Nomenclature Commitee of the World Health

Organization yang dibentuk tahun 1969, dan

dilaporkan pertama kali pada tahun 1970. HLA kelas I terdiri dari beberapa lokus seperti: A, -B, -C, dan HLA kelas II terdiri dari HLA-DR, -DQ dan -DP. Setiap lokus HLA terdiri dari alel yang sangat polimorfik dan dari waktu kewaktu akan bertambah sesuai dengan penemuan para peneliti.9,10 (Gambar 1).

G a m b a r 1. Re g io d a n o rg a nisa si HLA p a d a le ng a n p e nd e k kro m o so m 6 (d ikutip d a ri ke p usta ka a n 11)

EKSPRESI GEN HLA

Ekspresi gen adalah proses pembentukan

messenger RNA dan molekul protein dengan

menggunakan informasi yang tersimpan di DNA. Pada proses pembentukan ini, informasi pertama kali ditranskripsikan kedalam RNA yang single stranded dan disebut juga dengan

DNA like molecule atau messenger RNA

(mRNA). Dalam hal ini 4 macam nukleotida diterjemahkan (translated) menjadi 20 protein asam amino. Pada proses transkripsi, enzim

RNA polimerase mengenal dan mengikat

nukleotida DNA sehingga rantai DNA menjadi terpisah, dan terbentuklah rantai baru. Apabila RNA polimerase menemukan nukleotida pertama pada DNA adalah T, maka enzim akan

menambah dengan nukleotida A pada rantai yang dibuat. Demikian juga apabila molekul DNA selanjutnya adalah G, maka molekul C akan ditambah pada rantai yang baru. Akhirnya tanda berhenti dari gen dicapai, RNA

polimerase lepas dari DNA dan rantai RNA

yang baru terbentuk. Rantai RNA yang baru ini disebut dengan messenger RNA yang membawa informasi dari DNA yang digunakan untuk membentuk protein asam amino. Messenger

RNA membawa informasi dari DNA kepada ribosom dan disini informasi pada mRNA mengalami translasi dari nukleotida kepada molekul asam amino. Pada manusia DNA berada di nukleus, sedangkan ribosom di sitoplasma sehingga mRNA harus meninggalkan DNA sebelum menyentuh ribosom. Ribosom menyentuh mRNA pada tempat yang disebut

start codon.12

MOLEKUL HLA

Molekul HLA kelas I merupakan molekul yang diekspresikan oleh gen HLA kelas I dan terletak pada permukaan sel berinti jaringan somatik, kecuali jaringan susunan saraf pusat, sperma, oosit dan plasenta yang ekspresinya sangat minimal. Manfaat biologik ekspresi dari gen HLA kelas I adalah memproses dan mempresentasikan antigen intra sel, misalnya peptida virus terhadap sel Tc CD8+ melalui molekul T Cell Receptor (TCR).8

Struktur molekul HLA kelas I terdiri dari

antigen binding region, immunoglobulin like region, transmembrane region dan cytoplasmic region. Antigen binding region berfungsi untuk mengikat antigen asing. Bagian ini mempunyai susunan 180 asam amino dan terbagi atas dua rantai α1 dan α 2, sedangkan Immunologic

region terdiri dari rantai α 2 dan α 3

microglobulin. Rantai α 3 tersusun dari 90 asam amino, dengan fungsi biologik sebagai tempat ikatan molekul Tc CD8+. Transmembrane region adalah polipeptida yang tersusun dari 25 asam amino dan merupakan perpanjangan dari rantai α 3. Fungsi biologik bagian ini adalah jalur menuju sitoplasma dan merupakan tempat terikatnya molekul HLA pada membran sel.8 (Gambar 2).

(3)

G a m b a r 2. Mo le kul HLA ke la s I (d ikutip d a ri ke p usta ka a n 9)

Molekul HLA kelas II teletak pada permukaan sel imunokompeten seperti sel makrofag, dendritik, limfosit dan lain-lain. Manfaat biologik ekspresi dari gen HLA kelas II adalah memproses dan mempresentasikan antigen intra dan ekstra sel, misalnya peptida virus dan bakteri terhadap sel T helper CD4+ (Th CD4+) melalui molekul TCR.13

Struktur molekul HLA kelas II mirip dengan molekul HLA kelas I. Pada antigen binding region terdapat rantai α1 dan α1 yang berlekuk dan berinteraksi secara selektif dengan peptida antigen. Struktur kimia pada lekukan ini menentukan sifat polimorfik dari molekul HLA kelas II. Pada immunoglobulin like region

terdapat rantai α2 dan α2 yang masing-masing tersusun dari 90 asam amino dan tidak bersifat polimorfik. Struktur molekul HLA kelas II yang terletak transmembrane dan cytoplasmic

mempunyai kemiripan fungsi dengan bagian yang sama dari molekul HLA kelas I.8 (Gambar 3)

G a m b a r 3. Mo le kul HLA ke la s II (d ikutip d a ri ke p usta ka a n 9)

HLA DAN POPULASI

Setiap individu mempunyai dua alel pada setiap lokus dan diekspresikan pada permukaan sel secara independen. Ekspresi antigen HLA tertentu tidak menyebabkan supresi pada antigen HLA lain dari satu lokus yang sama. Pewarisan sistem HLA dari satu generasi ke generasi berikutnya berdasarkan hukum Mendel dan bersifat kodominan. Bila seseorang mempunyai dua alel pada satu lokus, berarti satu alel berasal dari kromosom ayah dan lainnya berasal dari kromosom ibu. Karena itu, satu seri antigen yang lokasinya pada satu kromosom biasanya diturunkan secara lengkap pada anak-anaknya sebagai suatu unit atau lazim disebut haplotipe. Setiap individu memiliki haploptip sesuai dengan kromosom yang diturunkan oleh orang tuanya.14

Salah satu karakteristik pada HLA adalah polimorfik yang menunjukkan beragamnya ekspresi dari gen HLA yang terdapat pada suatu populasi. Hal tersebut karena adanya sejumlah besar alel yang berperan. Secara teoritik tingginya tingkat polimorfisme suatu gen karena akibat salah satu kejadian dari mutation rate, selection, genetic hitch-hiking atau kombinasi ketiganya. Penjelasan ilmiah tentang tingginya polimorfik tersebut berdasarkan adanya

selection molekul HLA karena beragamnya

fungsi biologik yang harus dijalankan oleh sistem imun. Distribusi gen dan molekul HLA pada suatu populasi mempunyai pola yang khas dan mempunyai kemiripan sesuai dengan pola induk sistem HLA dari kelompok rasnya. Misalnya populasi Melayu di Indonesia mempunyai kedekatan jarak genetik dengan etnis Oriental di China selatan sebagai anggota dari ras Mongoloid. Oleh karena HLA diturunkan menurut hukum Mendel, secara heterozigot dan bersifat kodominan, maka kelompok masyarakat dengan HLA tertentu akan menghadapi resiko terjadinya suatu penyakit.15

HLA DAN RESPONS IMUN

Misi utama dari sistem imun didasarkan pada kemampuannya membedakan antigen self

(4)

maka antigen seperti VEB mengalami endositosis dan akan di lokalisasi di dalam vesikel yang disebut endosom dan lisosom. Visikel mempunyai PH asam dan mengandung enzim proteolitik seperti capthepsin. Didalam endosom dan lisosom akan terjadi degradasi peptida antigen virus terutama oleh kerja capthepsin. Gen HLA kelas II menangkap isarat dari peptida antigen, sehingga pada proses selanjutnya muncul kode genetik dari gen HLA kelas II untuk mensintesa molekul HLA kelas II didalam endoplasmik retikulum. Molekul yang baru dibentuk ini akan ditransportasikan ke benda Golgi kemudian membentuk exocytic vesicle. Vesikel yang berisi molekul HLA kelas II ini akan menyatu dengan lisosom yang berisi peptida antigen virus. Peptida antigen ini akan diikat oleh binding clefts yang dibentuk oleh rantai α1 dan α 1 dari molekul HLA kelas II. Ikatan peptida dengan molekul HLA kelas II ini akan dimunculkan ke permukaan sel. Molekul HLA kelas II selanjutnya akan mempresentasikan determinan antigen tersebut kepada sel limfosit Th CD4+ melalui TCR. Ikatan molekul ini akan menimbulkan reaksi imunologik, dimana timbul proses imun yang menyebabkan ThCD4 berdiferensiasi menjadi limfosit T helper 1 (Th1). Limfosit ini akan melepas IL2, TNFα. dan INFγ. Bahan-bahan ini akan memicu limfosit Tc CD8+ untuk aktif mencari sel yang terinfeksi. Sel limfosit TcCD8 melalui reseptor TCR akan mengenal dan mengikat antigen yang dipresentasikan oleh HLA kelas I. Interaksi dari komplek trimolekuler tersebut merupakan langkah awal dalam proses imunitas spesifik dan berakhir dengan eliminasi antigen virus tersebut oleh TcCD8.9

G a m b a r 4. A lur ke rja HLA ke la s II (d ikutip d a ri ke p usta ka a n 9)

Setelah memasuki sel atau melalui fagosom, antigen intraselular seperti VEB, akan didegradasi menjadi peptida didalam sitosol oleh enzim proteolitik. Peptida antigen ini akan dikirim ke endoplasmic reticulum (ER) melalui

transporter associated with antigen processing

(TAP). Ketika peptida antigen memasuki endoplasmik retikulum, maka peptida akan terikat pada binding clefts yang dibentuk oleh rantai α1 dan α2 molekul HLA kelas I dengan bantuan tapasin. Setelah komplek peptida dan HLA kelas I lepas dari tapasin maka komplek ini akan dikirim kebenda Golgi dan dikeluarkan ke permukaan sel melalui exocitic vesicle.

(5)

G a m b a r 5. A lur ke rja HLA ke la s I (d ikutip d a ri ke p usta ka a n 9)

Ketika TCR berikatan dengan antigen yang dipresentasikan oleh HLA kelas I, limfosit TcCD8+ mengeluarkan granul untuk menghancurkan sel target. Perforin merupakan salah satu granul yang dapat melobangi membran sel target. Granzym (Granule enzymes) yang juga dibentuk oleh TcCD8+ akan masuk kedalam sel target melalui lobang pada membran sel yang dibuat oleh perforin dan akan terjadi proses lisis pada sel target.16 (Gambar 6.)

VEB-APC-HLA II-peptida VEB-TCR-ThCD4

Th1 TNFα, IL-2, IFNγ

sel terinfeksi VEB-HLA I-peptida VEB-TCR-TcCD8

lisis perforine, granzym

G a m b a r 6. HLA p a d a re sp o ns im un sp e sifik

HLA DAN KARSINOMA NASOFARING Sebagai petanda genetik sekaligus regulator respon imun dari berbagai penyakit, maka banyak usaha para peneliti untuk mencari asosiasi antara HLA dan kerentanan terhadap suatu penyakit. Penelitian empirik telah banyak dilakukan pada beberapa penyakit yang mempunyai aspek imun, infeksi dan kelainan endokrin atau metabolik. Adanya interaksi molekuler antara molekul HLA dengan komponen seluler yang non imun, telah mendorong usaha penelitian tentang asosiasi HLA dengan penyakit non imun, untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih luas tentang fungsi biologi molekul HLA tersebut. Beberapa penyakit diduga ada kaitannya dengan HLA, dalam arti penderita dengan penyakit tertentu sering dijumpai memiliki antigen HLA tertentu. Misalnya HLA-DR4 sering terdapat pada penderita artritis reumatoid. Apa yang menimbulkan fenomena diatas belum diketahui dengan pasti, tetapi telah dikemukakan beberapa hipotesis yang mendukung hubungan antara gen HLA dengan suatu penyakit seperti teori gen respon imun. Pada teori ini, antigen seperti virus yang masuk ke dalam tubuh akan menjalani beberapa fase

yang berakhir dengan eliminasi antigen tersebut. HLA berfungsi sebagai petanda imunogenetik pada jaringan tubuh manusia dan berperan serta mempengaruhi respon imun, sehingga penting dalam tercetusnya respon imun.13 Hipotesis lain adalah adanya kelainan tertentu yang disebabkan oleh substansi spesifik, maka gen respon imun merespon secara berlebihan atau sebaliknya, dan akan menyebabkan timbulnya penyakit. Disamping itu molekul HLA bertindak sebagai reseptor untuk faktor etiologi penyakit seperti virus (receptor theory). Dugaan lain adalah antigen HLA tertentu mempunyai struktur molekul yang mirip dengan faktor etiologik suatu penyakit (mimicry theory), sehingga memungkinkan tidak terjadinya respon imun, atau terjadi reaksi imun, namun respon tersebut ditujukan terhadap HLA itu sendiri.5

Telah diketahui bahwa polimorfisme molekul HLA ditentukan oleh urutan asam amino yang membentuk celah pengikat peptida, dan celah tersebut yang berinteraksi baik dengan peptida antigen seperti virus maupun dengan reseptor limfosit ThCD4 atau TcCD8. Bukti-bukti bahwa keragaman yang sangat besar pada urutan asam amino pada celah tersebut sangat penting secara fungsional diperoleh dari penelitian-penelitian secara struktural, klinis maupun eksperimental. Analisis peptida antigen yang terikat, jelas menunjukkan bahwa molekul-molekul HLA yang disandi oleh alel yang berbeda mempunyai pola pengikatan peptida yang berbeda. Adanya molekul HLA dengan sifat pengikatan peptida yang berbeda tersebut dapat menyebabkan suatu peptida antigen akan lepas dalam ikatan suatu molekul HLA sehingga menimbulkan pengaruh yang berbeda pada perangsangan aktivitas sel limfosit T. Terdapat bukti-bukti yang tidak lansung menyokong konsep bahwa alel kerentanan dan protektif merupakan molekul mengikat dan menyajikan epitop peptida yang berbeda.17

(6)

belum dapat disimpulkan dengan pasti, melalui mekanisme mana HLA dapat berperan dalam kejadian penyakit. Hal ini disebabkan alel HLA yang berhubungan dengan penyakit tertentu dapat juga ditemukan dalam individu yang sehat, dan jika seluruh individu tersebut diikuti secara prospektif, sebagian mereka tidak pernah sakit. Berdasarkan hal tersebut maka menjadi jelas bahwa ekpresi gen HLA tertentu sendiri saja tidaklah cukup sebagai penyebab timbulnya penyakit. Gen HLA hanya merupakan salah satu dari beberapa faktor yang berkontribusi untuk terjadinya penyakit meskipun merupakan faktor yang terpenting.8

Berbagai penelitian telah menemukan hubungan antara HLA dengan KNF, baik hubungan HLA yang rentan maupun protektif terhadap KNF. HLA yang rentan untuk terjadinya KNF dijumpai pada gen HLA-A*0207 di Taiwan.18 Sedangkan HLA yang berhubungan protektif terhadap KNF dijumpai pada HLA-A11 pada ras Kaukasia di Amerika Serikat.19

KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa HLA sebagai petanda genetik seseorang sangat berperan pada respon imun terutama pada infeksi intraselular seperti VEB. Infeksi VEB sebagai salah satu faktor penyebab KNF sangat ditentukan keberadaanya di dalam tubuh manusia oleh HLA.

DAFTAR PUSTAKA

1. Soetjipto D. Karsinoma nasofaring. Dalam: Tumor Telinga Hidung Tenggorok. Diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta, Balai Penerbit FK-UI 1989;71-84.

2. Roezin A, Syafril A. Karsinoma nasofaring. Dalam: (Soepardi, Iskandar N) Telinga Hidung Tenggorok. Jakarta, Gaya Baru 2000;149-53.

3. Yuan JM, Wang XL, Xiang YB, Gao YT, Ross RK, Yu MC. Preserved foods in relation to risk of nasopharyngeal carcinoma in Shanghai, China. Int J Cancer, 2000; Vol. 85 (3): 358-63.

4. Jia WH, Feng BJ, Xu ZL, Zhang XS, Huang P, Huang LX. Familial risk and clustering of nasopharyngeal carcinoma in Guangdong, China. Cancer 2004; Vol. 101 (2): 363-9.

5. Benacerraf B. Significance and biological function of class II MHC molecules. Am J Pathol 1985; Vol. 120 (3): 334-43.

6. Cooke A. Regulation of the immune response. In: (Roitt I, Brostoff J, Male D) Immunology, 6th edition. Toronto; Mosby 2001. 173-88.

7. Hu, Li-Fu. Nasopharyngeal Carcinoma and Epstein-Barr Virus. Thesis. Karolonska Instituter, Stockholm, 1996.

8. Abbas, A K and Lichtman, AH. Cellular and Molecular Immunology 5th edition. WB Saunders , Philadelphia 2000.

9. Judajana FM. Sistem major

histocompatibilityl complex. Dalam: (Subijanto PS, Suhartono TP, Judajana FM) Gangguan sistem imun mukosa intestinal. Surabaya, Gideon 2003. 12-30.

10. Handono K. Hubungan gen HLA kelas II dengan kerentana genetik dan ekspresi otoantibodi pada lupus eritematosus sistemik. Disertasi, Universitas Airlangga, Surabaya, 1998.

11. Fuger L. PCR and RFLP studies of inherited susceptibility to autoimmune disorders, with special reference to multiple sclerosis. Dan Med Bull 1994; Vol 11: 38-49.

12. Drlica K. Gene expression. In: Understanding DNA and Gene Cloning, 4th edition. Newark: John Wiley & Sons 2004; 59-79.

13. Roitt IM, Delves PJ. Essential Immunology. 10th edition. Australia, Blackwell Science 2001.

14. Judajana FM. Pola sistem HLA penderita Diabetes Melitus Indonesia. Disertasi. Universitas Airlangga. Surabaya 1994.

15. Rusdi A. Peranan HLA dalam ilmu kedokteran dan beberapa problematik test HLA pada populasi Indonesia, Lokakarya HLA, Bandung 1992.

16. Behrens G, Li M, Smith CM, Belz GT, Mintern J, Carbone FR. Helper T Cells dendritic cells and CTL immunity, Immunol cells Biol, 2004; Vol. 82 (1): 84-90.

(7)

Molecules and Function. Bios Sci Publ Ltd Oxfort 1996; 277-308.

18. Allan H, Raymond JA, Chien JC, Sophia SW, Yu JC, William K. Association of HLA Class I and II Allels and extended Haplotypes Whit Nasopharyngeal Carcinoma in Taiwan. Journal of the

National Cancer Institute 2002; Vol. 94 (23): 1780-89.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian tersebut maka akan dilakukan penelitian tentang pengelompokkan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia menggunakan metode ensemble ROCK

posttraumatska artroza, slučajevi kod kojih je oštećen acetabulum, kod bolesnika dobroga općeg stanja, aktivnih i dobre koštane gustoće, onih koji mogu izdržati zahvat.

Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa kasus kecelakaan yang pernah terjadi dan penyebab kecelakaan dari tahun ke tahun selalu berulang-ulang dan terkesan tiap

Tahapan pekerjaan yang dilakukan untuk membuat model perubahan jaring titik referensi orde 2 BPN di Provinsi Aceh berdasarkan formulasi Elastic Half Space Okada yaitu,

Negara masih absen dalam pemenuhan hak ko- munitas orientasi seksual, namun tahun ini kasus prank sembako menunjukan sedikit oase pada isu diskriminasi pada masyarakat sipil.

Hasil yang didapatkan dari simulasi sensitifitas hidrofon dengan frekuensi 500 Hz menunjukkan nilai sensitifitas terbesar terjadi pada sudut 0 o yang merupakan titik 90 o

Pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat ventil. Pada waktu

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh bakteri Pseudomonas diminuta dan Bacillus subtilis dalam menekan populasi Pratylenchus coffeae dan pengaruhnya terhadap