• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Gen HLA-DQB1 pada Penyebab Kerentanan Karsinoma Nasofaring Suku Batak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Peran Gen HLA-DQB1 pada Penyebab Kerentanan Karsinoma Nasofaring Suku Batak"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Peran Gen HLA-DQB1 pada Penyebab Kerentanan

Karsinoma Nasofaring Suku Batak

Delfitri Munir

Departemen Ilmu Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

DQB1 dengan penyebab KNF pada suku Batak, dilakukan penelitian kasus-kontrol, dengan sampel kasus sebanyak 55 orang dan kontrol 104 orang. Isolasi DNA dilakukan di Laboratorium Terpadu Universitas Sumatera Utara, dan identifikasi alel gen HLA dilakukan dengan PCR-SSO reverse dot blot di Department of Immunohematology and Blood Transfusion, Leiden University Medical Center. Mayoritas penderita adalah laki-laki (60%), 50-59 tahun (29,09%). Jenis histopatologi terbesar adalah WHO Tipe 3 (54,55%), disusul oleh WHO Tipe 1 (29,09%) dan WHO Tipe 2 (16,36%). Stadium terbanyak adalah III (67,27%), disusul oleh IV (25,46%) dan II (7,27%). Alel gen HLA-DQB1 tidak ada yang berasosiasi secara bermakna dengan KNF (p>0,05). Kesimpulan penelitian ini adalah alel gen HLA-DQB1 tidak berasosiasi dengan penyebab kerentanan timbulnya KNF pada suku Batak.

Kata kunci: NPC, human leucocyte antigen, PCR-SSO reverse dot blot.

Abstract: HLA gene is suspected to be have a role in the development of NPC. To assess the relation between HLA-DQB1 alleles with NPC among the Batak people, this case-control study was performed using samples consisted of 55 case and 104 controls. DNA isolation was conducted at the Laboratorium Terpadu of Universitas Sumatera Utara, while gene allele identification was carried out using PCR-SSO reverse dot blot method at The Department of Immunohematology and Blood Transfusion, Leiden University Medical Center. The majority of NPC sufferers were males (60%), 50-59 years old (29,090%), and work as farmer (36.363%). Histopathologically, the majority was WHO Type 3 (54.545%), followed by WHO Type 1 (29.091%) and WHO Type 2 (16.364%). Most of them were in stage III (67.273%), followed by stage IV (25.455%) and stage II (7.273%). No association between HLA-DQB1 gene in case and control sampels (p>0,05). This study concludes that HLA-DQB1 allele gene has not a role in the development of NPC among the Batak people.

Keywords: karsinoma nasofaring, human leucocyte antigen, PCR-SSO reverse dot blot

PENDAHULUAN

Sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti karsinoma nasofaring (KNF). Faktor ekstrinsik seperti virus Epstein-Barr, nitrosamine, lingkungan dan faktor intrinsik misalnya gen HLA, gen onkogen, gen supresor dicurigai sebagai faktor penyebab. 1,2

Populasi China Selatan memiliki frekuensi KNF 100 kali dibanding populasi Kaukasia.1

Prevalensi KNF di Guangdong China Selatan adalah 39,84 per 100.000 penduduk, sedangkan pada populasi Jepang, Kaukasia dan India, prevalensi KNF

dilaporkan sangat rendah.3,4,5,6

Prevalensi KNF di Indonesia adalah 3,9 per 100.000

penduduk setiap tahun.7

Di Rumah Sakit H. Adam Malik Medan, Propinsi Sumatera Utara, penderita KNF ditemukan pada lima kelompok suku. Suku yang paling banyak menderita KNF adalah suku Batak, yaitu

46,7% dari 30 kasus.8

Peningkatan risiko menderita KNF terdapat pada pasien yang mempunyai riwayat keluarga menderita tumor ini. Sering dijumpai penderita KNF, dimana pada generasi mereka selanjutnya juga

ditemukan penyakit ini.9

(2)

tinggi risiko KNF emigran asal China di

daerah yang insiden KNF nya sangat rendah.1

Adanya perbedaan frekuensi KNF yang nyata pada kelompok suku dan adanya peningkatan risiko pada keluarga yang mempunyai riwayat penyakit ini serta masih tingginya risiko KNF pada emigran asal China, dicurigai faktor genetik merupakan salah satu faktor yang berperan pada penyebab KNF. Di antara berbagai gen yang telah diteliti, gen human leucocyte antigen (HLA) dipercaya merupakan gen yang terpenting sebagai faktor

yang berperan pada penyebab KNF.9,10

Gen HLA adalah kompleks gen yang terdapat dalam 4000 kilobases di rantai pendek kromosom nomor 6 dan bersifat polimorfik. Gen ini mengekspresikan molekul HLA yang terdapat di permukaan sel, dan molekul ini sangat berperan pada sistem imun.11

Salah satu landasan teori yang mendukung hubungan antara gen HLA dengan suatu penyakit adalah teori gen respon imun. Pada teori ini, antigen seperti virus yang masuk ke dalam tubuh akan menjalani beberapa fase yang berakhir dengan eliminasi antigen tersebut. HLA berfungsi sebagai pertanda imunogenetik pada jaringan tubuh manusia dan mempengaruhi respon imun, sehingga penting dalam tercetusnya respon imun. Pada hipotesis ini, adanya kelainan tertentu yang disebabkan oleh substansi spesifik, dan gen respon imun merespon secara berlebihan atau sebaliknya, sehingga

akan menimbulkan penyakit.12

Gen HLA di turunkan secara heterozigot dan bersifat kodominan. Akibatnya, kelompok masyarakat dengan HLA tertentu akan menghadapi risiko terjadinya penyakit tertentu.13

Distribusi gen dan molekul HLA pada suatu populasi mempunyai pola dan kemiripan yang sesuai dengan pola induk sistem HLA dari kelompok rasnya. Beberapa penyakit diduga ada kaitannya dengan HLA, dalam arti penderita dengan penyakit tertentu

sering dijumpai memiliki gen HLA tertentu.14

Berbagai penelitian telah menemukan hubungan antara HLA dengan KNF, baik yang bersifat kerentanan maupun protektif. Di Taiwan didapatkan alel gen HLA-DQB1*0201 rentan terhadap KNF dengan risiko 2,6.15 Di Tunisia ditemukan alel gen HLA-DRB1*03 dan HLA-DRB1*15 sebagai gen kerentanan

terhadap KNF.16 Alel gen HLA-DRB1*1501 pada ras Kaukasia di Amerika Serikat dijumpai sebagai gen protektif terhadap

KNF.17

Hampir semua penelitian telah membuktikan bahwa virus Epstein-Barr (VEB) mempunyai hubungan yang kuat dan

konsisten dengan penyebab KNF.18,19

Infeksi VEB berhubungan erat dengan derajat imunitas seluler seseorang, dan terkait dengan

faktor imunogenetik.20

Dalam proses ini, salah satu faktor yang memiliki peran adalah gen HLA yang bekerja sebagai regulator pada proses respon imun, sekaligus sebagai

pertanda genetik setiap individu.21

HLA kelas II seperti HLA-DQB1 yang penting pada proses recognition respon imun, sangat menentukan keberhasilan sistem imun dalam

menghadapi VEB.22

Pada infeksi laten, VEB di dalam sel memproduksi bermacam-macam protein seperti glikoprotein membran sel dan antigen inti sel yang berperan pada

transformasi keganasan.23

Untuk bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan terpengaruh oleh berbagai bangsa akibat migrasi di masa lalu, risiko terjadinya penyakit akan bervariasi menurut

kelompok suku.24

Oleh sebab itu perlu diketahui alel gen HLA-DQB1 penderita KNF setiap suku, sehingga dapat diketahui gambaran umum alel gen penderita KNF di Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan alel gen HLA-DQB1 tertentu yang berperan sebagai penyebab kerentanan timbulnya KNF pada suku Batak. Manfaat penelitian adalah menemukan alel gen HLA-DQB1 tertentu yang dapat digunakan untuk tindakan preventif dan sebagai dasar atau langkah awal pembuatan vaksin serta rekayasa genetika guna pencegahan terjadinya KNF pada suku Batak di masa datang.

BAHAN DAN CARA KERJA

Penelitian ini adalah suatu studi jenis eksploratif-observasional analitik, dengan pendekatan rancangan kasus-kontrol. Sampel penelitian adalah penderita KNF suku Batak (Batak Toba, Mandailing, Karo, Dairi, Simalungun, Angkola, dan Nias) yang berobat ke RS. H. Adam Malik, RS. Pirngadi, dan RS. Tembakau Deli Medan dan memenuhi kriteria

(3)

inklusi dan eksklusi. Pengambilan sampel

penelitian dilakukan secara consecutive

sampling, yang dimulai pada bulan April 2005. Penentuan besar sampel penelitian menggunakan rumus studi kasus kontrol tidak berpasangan. Pada penelitian ini ditentukan α = 0,05 dan β = 0,1. Berdasarkan penelitian Li et al (1995) didapatkan besar sampel minimal

adalah masing-masing 45 kasus dan kontrol.21

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah darah (whole blood) yang dilakukan isolasi DNA di Laboratorium Terpadu Universitas Sumatera Utara Medan, dan disimpan di dalam kulkas dengan temperatur -20oC. Setelah jumlah sampel isolasi DNA terpenuhi, sampel dibawa ke Dept. Immunohematology and Blood Transfusion, Leiden University Medical Center (Belanda) untuk pemeriksaan alel gen HLA-DRB1 dengan teknik PCR-SSO reverse dot blot. Besarnya risiko timbulnya KNF pada alel HLA tertentu diperhitungkan dengan menggunakan odds rasio (OR). Untuk menetapkan kemaknaan digunakan uji Chi-Square. Data yang dikumpulkan diolah dan dianalisis dengan menggunakan komputer program SPSS 12.0 for windows.

HASIL PENELITIAN

Tabel 1. Karakteristik sampel

Karakteristik Jumlah % Kelamin Laki-laki 33 60 Perempuan 22 40 Umur (tahun) 20-29 1 1,82 30-39 13 23,64 40-49 15 27,27 50-59 16 29.09 ≥ 60 10 18,18

Diagram 1. Distribusi histopatologi

Diagram 2. Distribusi stadium

Tabel 2.

Distribusi alel gen HLA-DQB1 pada kelompok kasus dan kontrol serta besarnya risiko timbulnya KNF dari masing-masing alel gen

Alel HLA-DQB1 Kasus% n = 55 Kontrol% n = 104 OR 95% CI p DQB1*02 DQB1*0301 DQB1*0302 DQB1*0303 DQB1*0305 DQB1*0402 DQB1*0501 DQB1*0502 DQB1*0503 DQB1*0601 DQB1*0602 DQB1*0603 DQB1*0609 16,36 70,91 5,46 1,82 1,82 - 18,18 20 12,73 20,00 1,82 3,64 1,82 10,58 75,96 5,77 2,89 - 0,96 25 10,58 12,50 17,31 - 1,92 0,96 1,65 0,77 0,62 0,62 - - 0,67 2,11 1,02 1,19 - 1,93 1,91 0,64 – 4,27 0,37 – 1,7 0,12 – 3,14 0,06 – 6,14 - - 0,3 – 1,51 0,85 – 5,25 0,38 – 2,73 0,52 – 2,75 - 0,26 – 14,05 0,12 – 31,10 0,3 0,49 0,56 0,68 0,17 0,47 0,33 0,10 0,97 0,68 0,17 0,51 0,65

Uji Chi-Square terhadap alel gen HLA-DQB1 antara kelompok kasus dan kontrol tidak ada asosiasi yang bermakna (p > 0,05).

WHO Tipe 1 (29,09%) WHO Tipe 2 (16,36%) WHO Tipe 3 (54,55%) III (67,27%) IV (25,6%) II (7,27%)

(4)

PEMBAHASAN

Pada penelitian ini dikumpulkan sampel kasus 55 dan kontrol 104. Penderita laki-laki lebih banyak yaitu 60% dan perempuan 40%, dengan perbandingan 3 : 2. Hal ini sesuai dengan laporan Morales-Angulo et al (1999) dimana bahwa laki-laki lebih banyak

menderita KNF dibanding perempuan.25

Kelompok umur penderita KNF terbanyak pada penelitian ini adalah 50-59 tahun (29,09%). Umur penderita yang paling muda adalah 21 tahun dan yang paling tua 77 tahun. Rata-rata umur penderita pada penelitian ini adalah 48,8 tahun. Di Cantabria ditemukan insiden paling tinggi pada

kelompok umur 50–70 tahun.25

Di RS. H. Adam Malik Medan didapatkan umur terbanyak penderita KNF adalah 50-59 tahun.26

Pada penelitian ini dijumpai jenis histopatologi yang paling banyak adalah WHO Tipe 3 (54,55%), sedangkan WHO Tipe 1 dijumpai 29,1% dan WHO Tipe 2 adalah 16,36%. KNF WHO Tipe 3 merupakan jenis terbanyak dijumpai terutama di Asia Tenggara.25

Menurut penelitian Krishna et al.

(2004), pada jenis ini ditemukan 100% VEB.27

KNF WHO Tipe 1 dominan ditemukan pada

etnis Kaukasoid seperti di Eropah,28

sedangkan di Jepang KNF WHO Tipe 2 merupakan tipe

yang paling banyak ditemukan.5

Pada penelitian ini, stadium lanjut ditemukan 92,73% sedangkan stadium dini 7,27%. Stadium III paling banyak yaitu 67,27% dan stadium IV sebesar 25,46%. Stadium II hanya 7,27%, sedangkan stadium I tidak ditemukan. Di Guangzhou, stadium III ditemukan paling banyak (68%) dan juga

tidak dijumpai stadium I.29

Di Jepang bahkan stadium IV yang paling banyak ditemukan

yaitu 72%.5

Di China Selatan, dijumpai KNF lebih banyak stadium dini (I dan II) yaitu 87%.30

Diagnosis KNF sering terlambat di tegakkan, disebabkan karena letak nasofaring tersembunyi di belakang rongga hidung. Kesalahan diagnosis dapat juga disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang penjalaran tumor dan salah interpretasi pada pemeriksaan histopatologi. Di samping itu gejala dini tumor ini tidak khas dan sering diabaikan penderita.31

Dari 13 alel gen HLA-DQB1 yang

diperiksa, dengan uji Chi-Square antara

kelompok kasus dan kontrol tidak ada asosiasi

yang bermakna (p > 0,05). Dengan demikian alel gen HLA-DRQ1 tidak berperan pada penyebab kerentanan timbulnya KNF pada suku Batak.

Alel gen DQB1*0502 ditemukan pada kasus lebih tinggi (20%) dibanding kontrol (10,58%) dengan OR 2,11 (CI 0,85–5,25) yang dicurigai sebagai alel yang rentan terhadap KNF, namun tidak mencapai tingkat kemaknaan (p> 0,05). Demikian juga alel gen HLA-DQB1*0501 ditemukan pada kasus lebih sedikit (18,18%) dibanding kontrol (25%) dengan OR 0,67 (CI 0,3–1,51) yang dicurigai sebagai alel gen protektif, namun belum mencapai tingkat kemaknaan (p> 0,05). Pada penelitian di Taiwan didapatkan alel gen HLA-DQB1*0201 rentan terhadap

KNF dengan risiko 2,6.15

Di China Selatan tidak dijumpai asosiasi antara alel gen

HLA-DQB1 dengan KNF.21

Telah diketahui bahwa polimorfisme molekul HLA ditentukan oleh urutan asam amino yang membentuk celah pengikat peptida, dan celah tersebut berinteraksi baik dengan peptida antigen maupun dengan reseptor sel T. Adanya bukti bahwa keragaman yang sangat besar pada urutan asam amino pada celah tersebut sangat penting secara fungsional diperoleh dari berbagai penelitian secara struktural, klinis

maupun eksperimental.14

Analisis peptida antigen yang terikat, jelas menunjukkan bahwa molekul-molekul HLA yang disandi oleh alel yang berbeda mempunyai pola pengikatan peptida yang berbeda. Adanya molekul HLA dengan sifat pengikatan peptida yang berbeda tersebut dapat menyebabkan suatu peptida antigen akan lepas dalam ikatan suatu molekul HLA sehingga menimbulkan pengaruh yang berbeda pada perangsangan aktivitas sel T. Terdapat bukti yang tidak langsung menyokong konsep bahwa alel kerentanan dan protektif merupakan molekul mengikat dan menyajikan epitop peptida yang berbeda.32

Terjadinya KNF pada individu yang mempunyai gen kerentanan, karena alel gen kerentanan tidak mempresentasikan dengan baik atau mempresentasikan secara salah antigen VEB atau antigen tumor kepada sel ThCD4, yang berakibat proses respon imun tidak terjadi.14

Dengan tidak terjadinya respon imun, maka antigen tumor akan menginfiltrasi sel tubuh lain sehingga memicu penyebaran

(5)

baik mempresentasikan antigen VEB atau atigen tumor kepada sel ThCD4. Proses respon imun terjadi dengan baik sehingga, VEB maupun sel-sel kanker dapat dieliminasi oleh sistem imun tubuh dan proses keganasan tidak terjadi. Dengan demikian alel gen protektif merupakan alel gen pelindung

terhadap KNF.34

Terdapatnya alel gen kerentanan dan protektif HLA-DQB1 yang berbeda-beda pada setiap lokasi dan etnik, diduga akibat molekul pengikat dan penyaji epitop peptida yang berbeda. Di samping itu juga akibat pegambilan sampel yang berbeda, distribusi gen HLA yang berbeda pada setiap populasi dan akibat pengaruh faktor lingkungan yang kuat terhadap kejadian KNF di lokasi tersebut. KESIMPULAN

Pada penelitian ini tidak dijumpai peran alel gen HLA-DQB1 pada penyebab kerentanan timbulnya KNF pada suku Batak.

DAFTAR PUSTAKA

1. Huang DP, Lo KW. Aetiological Factors and Pathogenesis in Nasopharyngeal Carcinoma, 2nd

edition, Hasselt, C.A. and Gibb, A.G. The Chinese University Press, Hongkong, 1999; pp. 31-50.

2. Yuan JM, Wang XL, Xiang YB, Gao YT, Ross RK, Yu MC. Preserved foods in relation to risk of nasopharyngeal carcinoma in Shanghai, China. Int J Cancer, 2000; 85 (3): pp. 358-63.

3. Li CC, Yu MC, Henderson BE. Some epidemiologic observations of nasopharyngeal carsinoma in Guangdong, People’s Republic of China. Ntl Cancer Inst Monogr 1985; 69: pp. 49-52.

4. Albeck H, Neilsen LH, Hansen HE, Bentzen J, Ockelmann HH, Bretlau, P. Epidemiology of nasopharyngeal and salivary gland carcinoma in Greenland. Arctic Med Res 1992; 51 (4): pp. 189-95.

5. Takashita H, Furukawa M, Fujieda S, Shoujaku H, Ookura T, Sakaguchi M, Epidemiological research into nasopharyngeal carcinoma in the Chubu region of Japan. Auris Nasus Laryng 1999; 26(3): pp. 277-86.

6. Lee AW, Foo W, Mang O, Sze WM, Chappell R, Lau WH, Ko WM. Changing epidemiology of nasophryeal carcinoma in Hong Kong over a 20-year period (1980-1999): an encouraging reduction in both incidence and mortality. Int J Cancer 2003; 103 (5): pp. 680-5.

7. Fachiroh J, Schouten T, Hariwiyanto B. Molecular Diversity of Epstein-Barr Virus IgG and IgA Antibody Responses in Nasopharyngeal Carcinoma: A Comparison of Indonesian, Chinese and Europen Subject. The Journal of Infectious Diseases 2004; 190 (1): pp. 53-62.

8. Lutan R, Zachreini I.

Immunohisto-chemical corelation betwen Nasopharyngeal Carcinoma and Epstein Barr Virus. Asean Otorhinolaryngology-Head and Neck Surgery Journal 1999; 3(3): pp. 257-9.

9. Jia WH, Feng BJ, Xu ZL, Zhang XS, Huang P, Huang LX. Familial risk and clustering of nasopharyngeal carcinoma in Guangdong, China’. Cancer 2004; 101 (2): pp. 363-9.

10. Huang T, Liu Q, Huang H, Cao S. Study on genetic epidemiology of nasopharyngeal carcinoma in Guangdong China. Zhonghua Yi Xue Yi Chuan Xue Za Zhi 2002; 19 (2): pp. 134-7.

11. Abbas AK, Lichtman AH. Cellular and Molecular Immunology, 5th

edition. WB Saunders, Philadelphia 2000.

12. Benacerraf B. Significance and biological function of class II MHC molecules. Am J Pathol 1985; 120 (3): pp. 334-43.

13. Judajana FM. Sistem major

histocompatibilityl complex. Dalam Gangguan sistem imun mukosa intestinal, eds. Subijanto, PS Suhartono, TP Judajana FM Gideon, Surabaya 2003; pp. 12-30.

14. de Vries RR, van Rood JJ. Immunogenetic and Diseases in the Genetic Basis of Common Diseases, University Press Inc, New York 1992; pp. 92-114.

(6)

15. Hildesheim A, Apple RJ, Chen CJ, Wang SS, Cheng YJ, Klitz W. Association of HLA Class I and II Allels and extended Haplotypes With Nasopharyngeal Carcinoma in Taiwan. Journal of the National Cancer Institute 2002; 94 (23): pp. 1780-89.

16. Mokni-Baizig N, Ayed K, Ayet FB, Ayet S, Sassi F, Ladgham A. Association between HLA-A/-B antigens and –DRB1 allels and nasopharyngeal carcinoma in Tunisia. Oncology 2001; 61 (1): pp. 55-8.

17. Burt RD, Vaughan TL, McKnight B, Davis S, Beckman AM, Smith AG. Associations between human leukocyte antigen type and nasopharyngeal carcinoma in Caucasians in the United States. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev 1996; 5 (11): pp. 879-87.

18. Zurhausen H, Schulte-Holtausen H, Klein G, Henle W, Clifford Santeson L., EBV DNA in biopsies of Burkitt tumors and anaplastic carcinoma of the nasopharyng. Nature 1970; 228: pp. 1056-8.

19. Pathmanathan R, Raab-Traub. Epstein-Barr virus in Nasopharyngeal Carcinoma, 3th

edition, VFH Chong, SY Tsao, Amour Publishing, Singapore 1999; pp. 14-21.

20. Qiu K, Tomita Y, Hashimoto M, Oshawa M, Kawano K, Wu DM, Aozasa K. Epstein-Barr virus in gastric carcinomain Suzhu, China, and Osaka, Japan: Association with clinico-pathologic factors and HLA-subtype. Intl J Cancer 1997; 71 (2): pp. 155-8.

21. Li PK, Poon AS, Tsao SY, Ho S, Tam JS, So AK. No association between HLA-DQ and -DR genotypes with nasopharyngeal carcinoma in southern Chinese. Cancer Genet Cytogenet 1995; 81(1): pp. 42-5.

22. Cooke A. Regulation of the immune response in Immunology, 6th

edition, eds. I. Roitt, J. Brostoff, D. Male, Mosby, Toronto 2001; pp. 173-88.

23. Fries KL, Miller WE, Raab-traub N. Epstein-Barr virus latent membrane protein 1 blocks p53-mediated apoptosis through the induction of the A20 gene. J. Virol 1996; 70: pp. 8653-59.

24. Rusdi A. Peranan HLA dalam ilmu kedokteran dan beberapa problematik test HLA pada populasi Indonesia, Lokakarya HLA, Bandung 1992.

25. Morales-Angulo C, Megia Lopez R, Rubio Suarez A, Rivera Herrero F, Rama J. Carcinoma of the nasopharyng of Catarbia. Acta Otorrinolaryngol Esp 1999; 50 (5): pp. 381-6.

26. Delfitri M. Beberapa Aspek KNF pada Suku Batak di Medan dan Sekitarnya. MKN 2006; 39 (3): pp. 12-17.

27. Krishna SM, James S, Kattoor J, Balaram P. Serum EBV DNA as a Biomarker in primary Nasopharyngeal Carcinoma of Indian Origin. Jpn J Clin Oncol 2004; 34 (6): pp. 307-311.

28. Jiong L, Berrino F, Coebergh JW. Variation of survaival for adults with nasopharyngeal cancer in Erope, 1978-1989. EUROCARE Working Group. Eur J Cancer 1998; 34 (14): pp. 2162-6.

29. Huang TB. Cancer of the nasopharynx in childhood. Cacer 1990; 66 (5): pp. 968-71.

30. Deng H, Zeng Y, Lei Y, Zhao Z, Wang P, Li B. Serological survey of nasopharyngeal carcinoma in 21 cities of south China. Chin Med J (Engl) 1995; 108 (4): pp. 300-3.

31. Jiang X, Wei L. Nasopharyngeal carcinoma and cervical masses. Lin Chuang Er Bi Yan Hou Ke Za Zi 2005; 19 (4): pp. 160-2.

32. Devenport MP, Hill AVS. Peptides associated with MHC class I and class II molecules in HLA and MHC: Gene, Molecules and Function MJ. Browning and AJ Mc Michael, Bios Sci Publ Ltd Oxfort 1996; pp. 277-308.

33. Kresno SB. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi ke 4. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta 2001.

34. Rosenberg SO, Pulasky BA, Gunther V. Processing and presentation of antigen for activation of lymphocytes to tumor cells in Tumor immunology, eds. G Parmini and MT Lotze Taylor & Francis, London 2002; 11-37.

Gambar

Diagram 1. Distribusi histopatologi

Referensi

Dokumen terkait

Karena peserta abal-abal itu tidak memenuhi syarat sebagai peserta, Dewan Pers memutuskan, bagi mereka yang memperoleh sertifikat dan identitas uji kompetensi wartawan,

Pernyataan Pengadu yang dikutip The Jakarta Post di dalam berita berjudul “Graft Suspect Proponents Touted for KPK Screening Team” sama sekali tidak menyebutkan nama-nama

Dalam Game GTA Shoot ini selain tampilan gambar yang sederhana tapi menarik dan juga menyegarkan dan didukung oleh sound atau suara agar

Bahwa Dewan Pers menerima pengaduan dari Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial, Danang Wijayanto, Ak., M.Si., bertindak mewakili dan karena itu untuk dan atas nama Komisi

Penulisan Ilmiah ini berisikan sebuah program sederhana mengenai komputerisasi penjulan batik, yaitu dengan menggunakan penginputan barang melalui produksi dan proses penjualan,

Metode ini memberi kesempatan kepada setiap siswa untuk berperan sebagai guru bagi teman-temannya (Suprijono, 2011:110).Dalam penerapannya metode ini bisa

Penggunaan metode ini dalam pencarian rute terpendek dapat dilakukan dengan mudah tahap demi tahap sehingga jika terjadi kesalahan pada proses maka dapat dengan mudah diketahui

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peningkatan keterampilan mengajar guru, mendeskripsikan peningkatan dan mendeskripsikan peningkatan hasil belajar siswa