PENGARUH HUBUNGAN ANTAR SAUDARA KANDUNG
TERHADAP KECENDERUNGAN MUNCULNYA PERILAKU
DELINKUENSI PADA REMAJA
SKRIPSI
Guna Memenuhi Persyaratan Sarjana Psikologi
Oleh :
AST RI SU SI LOWAT I
031301005
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2007
Intisari
Astri Susilowati dan Dra. Elvi Andriani, M.Psi
Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh hubungan antar saudara kandung terhadap kecenderungan munculnya perilaku delinkuensi pada remaja. Berdasarkan fenomena yang ada perilaku delinkuensi yang terjadi di kalangan remaja semakin meningkat. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku delinkuensi pada remaja cukup beragam, salah satunya yakni keharmonisan antar anggota keluarga, dimana hubungan antar saudara kandung termasuk di dalamnya. Secara konseptual hubungan antar saudara kandung adalah interaksi fisik serta komunikasi verbal dan nonverbal, individu dengan saudara kandungnya, mencakup sikap, persepsi, keyakinan dan perasaan terhadap satu sama lain. Sedangkan perilaku delinkuensi adalah suatu perbuatan anti sosial, melawan hukum negara, norma-norma masyarakat dan agama serta perbuatan yang tergolong anti susila yang menimbulkan keresahan masyarakat, sekolah maupun keluarga, yang dilakukan oleh orang yang belum dewasa.
Subjek dalam penelitian ini adalah remaja madya di kota Medan yang berusia 15 – 18 tahun, berjumlah 199 orang dengan spesifikasi pada try out
berjumlah 108 orang dan setelah try out sebanyak 91 orang. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan multi stage random cluster sampling. Dimana pemilihan sekolah dengan menggunakan cluster sampling dan pemilihan subjek penelitian menggunakan teknik random sampling. Teknik pengolahan data menggunakan analisis regresi untuk melihat pengaruh hubungan antar saudara kandung (independent variabel) terhadap kecenderungan munculnya perilaku delinkuensi (dependent variabel). Alat ukur yang digunakan adalah Skala Hubungan Antar Saudara Kandung yang didasarkan pada Adult Siblings Relationship Questionnaire (ASRQ) yang disusun oleh Stocker, Lanthier dan Furman (1995) dan Furman dan Buhrmester (dalam Criss & Shaw, 2005). Dan Skala Perilaku Delinkuensi yang didasarkan pada pengidentifikasian oleh United Stated Department of Justice’s Office of Juvenile Justice and Delinquency Prevention (OJJDP) dalam dua kategori utama (dalam Hund, 1998).
Hasil penelitian menunjukkan persamaan regresi Y = -0.322 X, R-Square = 0.111 dengan nilai p = 0.001. Artinya ada pengaruh hubungan antar saudara kandung terhadap kecenderungan munculnya perilaku delinkuensi sebesar 11.1 %. Dimana setiap pengurangan skor hubungan antar saudara kandung sebanyak satu satuan akan mengakibatkan peningkatan skor kecenderungan munculnya perilaku delinkuensi sebesar 0.332.
DAFTAR ISI
ABSTRAK
KATA PENGANTAR……….. i
DAFTAR ISI………. v
DAFTAR TABEL………. ix
DAFTAR LAMPIRAN………. xii
BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah….………...1
I.B. Tujuan Penelitian….………...11
I.C. Manfaat Penelitian….………...11
I.D. Sistematika Penulisan….………...12
BAB II LANDASAN TEORI II.A. Perilaku Delinkuensi ….………...14
II.A.1. Pengertian Perilaku Delinkuensi Sosial….…………...14
II.A.2. Tipe-tipe Perilaku Delinkuensi ….………....…...19
II.A.3. Bentuk-bentuk Perilaku Delinkuensi ….………...20
II.A.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Perilaku Delinkuensi ….………...25
II.B. Hubungan Antar Saudara Kandung ………... ...29
II.B.1. Pengertian Hubungan Antar Saudara Kandung …...29
II.B.2. Dimensi Hubungan Antar Saudara Kandung …...31
Hubungan Antar Saudara Kandung …………...34
II.C. Remaja………...37
II.C.1. Pengertian Remaja…………...37
II. C. 2. Ciri-ciri Masa Remaja Madya...39
II. C. 3. Tugas Perkembangan Masa Remaja Tengah...42
II.D. Dinamika Hubungan Antar Saudara Kandung dan Perilaku Delinkuensi ……….43
II.E. Hipotesa Penelitian………...……….46
BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.A. Identifikasi Variabel Penelitian……….49
III.B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ………..49
III.C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel …….52
III.D. Metode Pengumpulan Data…………..……….…..55
III.E. Validitas dan Reabilitas………...63
III.E.1 Validitas Alat Ukur. ………..63
III.E.2. Reabilitas Alat Ukur………...………..64
III.E.3. Hasil Uji Coba………..64
III.F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ….………...71
III.G. Metode Analisa Data….………...74
BAB IV ANALISA DAN INTERPRETASI DATA IV. A. Gambaran Umum Subjek Penelitian………...76
IV. B. Hasil Penelitian ……..………...77
IV.B.1.1. Uji Normalitas Sebaran………...78
IV.B.1.2. Uji Linearitas………...78
IV.B.2. Hasil Utama Penelitian………...79
IV.B.3. Hasil Tambahan Penelitian………...81
IV.B.3.1. Kategorisasi Data Penelitian………...81
IV.B.3.2. Variabel Perilaku Delinkuensi BerdasarkanJenis Kelamin………...85
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN V.A. Kesimpulan……….…...86
V.B. Diskusi………...88
V.C. Saran………...93
V.C.1. Saran Metodologis……….…...94
V.C.1. Saran Bagi Remaja……….…...94
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2007
Intisari
Astri Susilowati dan Dra. Elvi Andriani, M.Psi
Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh hubungan antar saudara kandung terhadap kecenderungan munculnya perilaku delinkuensi pada remaja. Berdasarkan fenomena yang ada perilaku delinkuensi yang terjadi di kalangan remaja semakin meningkat. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku delinkuensi pada remaja cukup beragam, salah satunya yakni keharmonisan antar anggota keluarga, dimana hubungan antar saudara kandung termasuk di dalamnya. Secara konseptual hubungan antar saudara kandung adalah interaksi fisik serta komunikasi verbal dan nonverbal, individu dengan saudara kandungnya, mencakup sikap, persepsi, keyakinan dan perasaan terhadap satu sama lain. Sedangkan perilaku delinkuensi adalah suatu perbuatan anti sosial, melawan hukum negara, norma-norma masyarakat dan agama serta perbuatan yang tergolong anti susila yang menimbulkan keresahan masyarakat, sekolah maupun keluarga, yang dilakukan oleh orang yang belum dewasa.
Subjek dalam penelitian ini adalah remaja madya di kota Medan yang berusia 15 – 18 tahun, berjumlah 199 orang dengan spesifikasi pada try out
berjumlah 108 orang dan setelah try out sebanyak 91 orang. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan multi stage random cluster sampling. Dimana pemilihan sekolah dengan menggunakan cluster sampling dan pemilihan subjek penelitian menggunakan teknik random sampling. Teknik pengolahan data menggunakan analisis regresi untuk melihat pengaruh hubungan antar saudara kandung (independent variabel) terhadap kecenderungan munculnya perilaku delinkuensi (dependent variabel). Alat ukur yang digunakan adalah Skala Hubungan Antar Saudara Kandung yang didasarkan pada Adult Siblings Relationship Questionnaire (ASRQ) yang disusun oleh Stocker, Lanthier dan Furman (1995) dan Furman dan Buhrmester (dalam Criss & Shaw, 2005). Dan Skala Perilaku Delinkuensi yang didasarkan pada pengidentifikasian oleh United Stated Department of Justice’s Office of Juvenile Justice and Delinquency Prevention (OJJDP) dalam dua kategori utama (dalam Hund, 1998).
Hasil penelitian menunjukkan persamaan regresi Y = -0.322 X, R-Square = 0.111 dengan nilai p = 0.001. Artinya ada pengaruh hubungan antar saudara kandung terhadap kecenderungan munculnya perilaku delinkuensi sebesar 11.1 %. Dimana setiap pengurangan skor hubungan antar saudara kandung sebanyak satu satuan akan mengakibatkan peningkatan skor kecenderungan munculnya perilaku delinkuensi sebesar 0.332.
BAB I PENDAHULUAN
I.A. Latar Belakang Masalah
Keluarga merupakan fondasi primer bagi perkembangan kemampuan
sosial seseorang, perkembangan anak akan tergantung pada keberfungsian
keluarganya. Keluarga menjadi model dan pembimbing dalam mengajarkan
pola-pola perilaku yang dapat diterima secara sosial (Hurlock, 1999). Santrock (2002),
menyatakan bahwa keluarga merupakan bagian yang penting dari ”jaringan
sosial” setiap orang, sebab anggota keluarga merupakan lingkungan sosial
pertama dalam perkembangan kehidupan. Hubungan dengan anggota keluarga,
menjadi landasan sikap terhadap orang lain, benda dan kehidupan secara umum.
Semakin meluasnya lingkup sosial dan adanya kontak dengan teman sebaya dan
orang dewasa di luar rumah, landasan tersebut mungkin berubah dan dimodifikasi,
namun tidak pernah akan hilang sama sekali. Sebaliknya, landasan tersebut
mempengaruhi pola sikap dan perilaku kemudian hari.
Dinamika dalam keluarga meliputi pola disiplin, ukuran keluarga, kualitas
hubungan keluarga, perhatian, pengabaian dan kasih sayang dalam interaksi antar
anggota keluarga (Furman & Lanthier, 1996). Setiap anggota keluarga memiliki
pengaruh yang berbeda pada diri individu. Besarnya pengaruh seorang anggota
keluarga sebagian besar bergantung pada hubungan emosional yang terdapat
Keluarga inti terdiri dari ayah/suami, ibu/istri dan sedikitnya satu anak.
Hampir sebagian besar keluarga di Indonesia memiliki lebih dari satu anak.
Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan tahun 2002-2003 oleh BKKBN,
saat ini per wanita di Indonesia rata-rata melahirkan minimal dua orang anak
(”Penduduk,”2007). Sebagian besar penelitian lebih menekankan pentingnya
peran orang tua dalam perkembangan individu. Namun demikian, hubungan
dengan anggota keluarga lain yaitu hubungan antar saudara kandung juga
memiliki pengaruh yang cukup besar dalam perkembangan individu (Cicirelli,
1996).
Hubungan antar saudara kandung adalah fenomena alami yang tumbuh
dan berkembang dalam kehidupan sebuah keluarga, yang biasanya muncul dalam
sebuah keluarga yang memiliki lebih dari satu anak. Penelitian yang dilakukan
oleh Gracia, dkk.(2000), menemukan bahwa hubungan antar saudara kandung
dapat menjadi dasar untuk mengukur perkembangan kemampuan sosial seseorang.
Berdasarkan ”attachment theory” yang dikemukakan oleh Bowlby (dalam Yeh &
Lempers, 2004), kelekatan antar saudara kandung dan hubungan antar saudara
kandung yang kuat memberikan sumbangan dalam kesuksesan perkembangan
sosial dan penyesuaian diri yang sehat.
Semenjak masa kanak-kanak, kehadiran saudara kandung merupakan
bagian pokok dari kehidupan sosial individu. Memiliki saudara kandung dapat
merupakan suatu kebahagiaan, dapat juga menjadi ancaman, atau bahkan
keduanya. Hubungan antar saudara kandung dapat berubah-ubah, perasaan yang
Observasi yang dilakukan oleh Basket dan Johnson (dalam Santrock, 2002),
menunjukkan bahwa anak-anak berinteraksi lebih positif dan lebih bervariasi
dengan orang tuanya daripada dengan saudara kandungnya. Contoh, seorang anak
akan lebih mematuhi perintah orang tuanya meskipun terkadang menunjukkan
ketidakpatuhan daripada perintah saudara kandungnya. Sebaliknya, anak-anak
lebih berperilaku negatif dan menghukum terhadap saudara kandungnya daripada
terhadap orang tuanya. Relasi hubungan antar saudara kandung meliputi
menolong, berbagi, mengajarkan, berkelahi dan bermain. Hal ini diperkuat oleh
Cicirelli (dalam Santrock, 2002) yang mengungkapkan, dalam banyak hal,
pengaruh saudara kandung dalam proses sosialisasi dapat lebih kuat dibandingkan
orang tua. Kehadiran saudara kandung dapat bertindak sebagai pendukung secara
emosional, kawan berkomunikasi, bahkan sebagai saingan.
Cicirelli (1996), menyatakan bahwa hubungan antat saudara kandung
(sibling relationships) merupakan interaksi total (fisik maupun komunikasi verbal
dan nonverbal) dari dua atau lebih individu yang berasal dari orangtua biologis
yang sama, mencakup sikap, persepsi, keyakinan dan perasaan terhadap satu sama
lain sejak mereka menyadari keberadaan saudara kandung mereka. Furhman dan
Buhrmester (dalam Criss & Shaw, 2005 ), mengkarakteristikan hubungan antar
saudara kandung dalam empat dimensi, yaitu kedekatan (warmth/closeness),
dominansi (relative status/power), konflik (conflict) dan persaingan (rivalry).
Berdasarkan penelitian Criss dan Shaw (2005), ditemukan bahwa konflik
dan kehangatan/kedekatan memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap
Stormshak (dalam Volling & Blandon, 2003), menyatakan bahwa kedua dimensi
hubungan saudara kandung kehangatan/kedekatan dan konflik sangat perlu
dipertimbangkan secara bersama-sama untuk memahami pengaruhnya yang penuh
terhadap perkembangan sosial seseorang. Konflik antar saudara kandung tanpa
adanya kehangatan/kedekatan sedikitpun memiliki pengaruh yang berbeda, salah
satunya membuat seseorang kesulitan dalam menjalin hubungan yang baik dengan
orang lain, tetapi konflik dapat melatih kemampuan untuk menyelesaikan
masalah.
Cicirelli (1996) mengemukakan ada lima karakteristik unik dari hubungan
antar saudara kandung. Pertama, hubungan saudara kandung merupakan
hubungan sosial yang paling lama dialami oleh individu sepanjang hidupnya.
Kedua, hubungan antar saudara kandung lebih bersifat bawaan daripada proses
dari lingkungan. Ketiga, hubungan antar saudara kandung tetap dipertahankan
agar kedekatan dapat terjalin dengan melakukan komunikasi setiap hari di rumah,
khususnya selama masa anak-anak dan remaja. Keempat, hubungan antar saudara
kandung lebih bersifat sederajat. Kelima hubungan antar saudara kandung
merupakan pengalaman individu dalam berbagi kasih sayang dan perhatian dari
orangtua, serta sumber-sumber yang ada dalam keluarga dengan saudara
kandungnya dalam jangka waktu yang lama.
Hubungan antar saudara kandung memiliki peranan yang penting dalam
perkembangan perilaku-perilaku prososial dan perkembangan perilaku antisosial.
Rinaldi dan Howe (1998), meneliti mengenai strategi penyelesaian masalah dan
berkorelasi positif dengan penyelesaian masalah secara destruktif, dan kehangatan
berkorelasi positif dengan perilaku prososial dan kemampuan menyelesaikan
masalah secara konstruktif. Kehangatan dan kedekatan dengan saudara kandung
memiliki peranan yang penting dalam perkembangan kemampuan sosial
seseorang dengan teman-temannya serta kemampuan memecahkan masalah yang
bersifat konstruktif atau destruktif serta perkembangan emosionalnya (Dunn &
Munn; Howe; Herrera & Dunn, dalam Volling & Blandon, 2003). Hal ini
didukung oleh penelitian Ingoldsby, Shaw dan Gracia (dalam Criss & Shaw,
2005), tingkat konflik yang tinggi dan tingkat kehangatan/kedekatan yang rendah
berhubungan secara signifikan dengan tingginya tingkat perilaku antisosial dan
rendahnya kompetensi sosial.
Patterson (dalam Volling & Blandon, 2003), menyatakan bahwa interaksi
agresif antar saudara kandung di rumah melatih anak untuk agresif, dimana
kemudian anak akan lebih sering berperilaku agresif di mana saja, seperti di
sekolah. Beberapa penelitian menemukan hubungan antara perkembangan
perilaku agresifitas, sikap bermusuhan anak dengan interaksi ”coercive” atau
sikap pemaksaan antar saudara kandung (MacKinnon-Bierman, Starnes, Volling,
& Johnson; Stormshak, Bellanti, Bierman, The Conduct Problems Prevention
Research Group, dalam Volling & Blandon, 2003).
Patterson (dalam Sigelman & Rider, 2003), menjelaskan ”coercive cycles”
terjadi bila anggota keluarga mengatur dengan kekuatan yang besar, mencoba
mengontrol anak atau saudara yang lain melalui taktik pemaksaan, seperti
membuat orang tua dan anak belajar untuk melakukan taktik pemaksaan
terus-menerus sepanjang hidup anak, sampai akhirnya kehilangan kontrol terhadap
perilaku anak, dimana pemukulan dan teriakan tidak lagi memberikan efek dalam
mengontrol perilaku nakal anak. Perbedaan perlakuan orang tua terhadap saudara
kandung juga dapat mempengaruhi munculnya pertentangan dan permusuhan
dalam hubungan antar saudara kandung.
Jika pada usia anak-anak sering terjadi konflik maka dapat menimbulkan
kurang berkembangnya pengendalian diri, berperilaku agresif dan pola pikir yang
tidak matang dalam diri individu. Hal itu akan terus berkembang selama rentang
kehidupannya, akan tetapi konflik tersebut juga dapat memberikan kesempatan
pada individu untuk belajar menjadi fleksibel, bernegosiasi, dan bertindak adil
(Bank, 1996). Anak-anak menunjukkan perilaku yang lebih konsisten ketika
berinteraksi dengan saudara kandungnya, sedangkan hubungan antar saudara
kandung pada remaja dilaporkan lebih bervariasi, sebagian ditemukan memiliki
tingkat konflik yang lebih tinggi dengan saudara kandung mereka dibandingkan
pada masa anak-anak (Furman & Buhrnester, dalam Santrock, 2003). Namun,
remaja juga mulai berusaha dan belajar bagaimana saling berhubungan lebih
sejajar dengan saudara kandungnya, dan dengan demikian lebih memecahkan
perbedaan-perbedaan mereka dibandingkan di masa kanak-kanak.
Hurlock (1999), menjelaskan saudara kandung merupakan dunia sosial
pertama individu, maka bagaimana perasaan dan perlakuan diantara mereka
merupakan faktor penting dalam pembentukkan konsep diri, yang merupakan inti
konsep diri yang kurang baik, yang dapat disebabkan karena adanya pemikiran
dan harapan-harapan yang tidak realistis sehingga muncul perasaan dan
pandangan gagal terhadap diri sendiri. Pandangan individu tentang diri sendiri
merupakan cerminan langsung dari apa yang dinilai dari cara individu tersebut
diperlakukan.
Perkembangan kepribadian yang buruk pada masa kanak-kanak akan lebih
berbahaya pada masa remaja karena pada saat ini remaja mengalami masa puber,
yang merupakan ”fase negatif”, dimana emosinya cenderung tidak stabil,
khawatir, gelisah, cepat marah serta kehilangan rasa percaya diri (Hurlock, 1999).
Data dari Annual Review of Psychology (dalam Scharf, Shulman & Spitz, 2005),
menemukan bahwa kualitas hubungan dengan saudara kandung akan cenderung
stabil dari masa kanak-kanak hingga remaja, yang dapat mempengaruhi
perkembangan karakteristik kepribadian yang akan mengarahkan terbentuknya
perilaku. Perkembangan karakteristik kepribadian yang buruk mengarah pada
perilaku menyimpang dan tidak mampu berfungsi secara maksimal dalam
menjalin hubungan dengan orang lain. Perilaku delinkuensi merupakan perilaku
yang mayoritas terjadi pada anak dan remaja di bawah usia 21 tahun. Usia remaja
merupakan usia sekolah, yang cukup rentan dengan munculnya masalah perilaku
(Sarwono, 2006).
Perilaku kenakalan dapat diprediksi sejak masa kanak-kanak, berikut yang
menjadi prediktor perilaku kenakalan pada remaja antara lain, agresi, karakteristik
keluarga dan faktor biososial. Agresi didefinisikan sebagai perilaku yang tidak
keluarga, khususnya pola hubungan antar anggota keluarga, saudara kandung,
sanak saudara serta pola disiplin dan kekonsistenan orang tua dalam mendidik
berkorelasi dengan perilaku delinkuensi. Faktor lingkungan tempat individu
tinggal juga menjadi faktor yang menyebabkan munculnya perilaku menyimpang.
Selain itu, pola kepribadian kriminal, bermusuhan atau psikopat yang sudah
terbentuk sejak masa kanak-kanak merupakan faktor signifikan yang
memunculkan perilaku delinkuensi pada usia remaja dan dewasa (Short, 1987).
Istilah yang sering terdengar dan lazim dipergunakan adalah kenakalan
remaja. Namun, istilah kenakalan remaja juga sering disalahtafsirkan secara
sempit, sedangkan istilah perilaku delinkuensi mengandung makna yang lebih
luas dalam menunjukkan perilaku kenakalan. Walgito (dalam Sudarsono, 1997)
merumuskan bahwa istilah delinkuensi lebih ditekankan pada perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh anak dan remaja, jika perbuatan tersebut dilakukan
oleh orang dewasa, maka perbuatan itu merupakan kejahatan.
Bynum dan Thompson (1996), perilaku kenakalan atau juga dikenal
dengan ”delinkuensi” sebagai perilaku ilegal serta pelanggaran yang berat,
perilaku pelanggaran dinilai oleh masyarakat sebagai suatu penyimpangan
(deviant) yang sangat serius. Perilaku menyimpang tersebut diartikan sebagai
perilaku yang diterima oleh orang lain sebagai ancaman terhadap harapan orang
banyak atau merugikan orang lain. Selain itu, Bynum dan Thompson (1996), juga
mengartikan perilaku delinkuensi berdasarkan pada ”role definition”, yaitu
individu yang mempertahankan bentuk perilaku delinkuensi dalam periode waktu
menyimpang (deviant). Hal ini menunjukkan bagaimana konsep diri yang sudah
menetap dalam diri seseorang akan tumbuh menjadi kepribadian yang menetap,
dimana konsep diri serta kepribadian tersebut merupakan hasil dari pengalaman,
yaitu berupa interaksi seseorang dengan lingkungannya, khususnya lingkungan
sosial pada awal masa perkembangan seseorang (Atkinson, Atkinson, & Hilgard,
1999).
Bynum dan Thompson (1996) berdasarkan laporan Federal Bureau of
Investigation (FBI), mengkategorikan perilaku delinkuensi dalam dua bentuk,
yaitu status offenses dan index offenses. Status offenses diberlakukan pada
anak-anak di bawah usia 18 tahun, atau anak-anak-anak-anak yang masih berada di bawah
tanggung jawab orang tua, antara lain lari dari rumah, membolos, mengkonsumsi
minuman keras dan pelanggaran jam malam. Index offenses merupakan bentuk
pelanggaran lebih serius, yang terdiri dari dua kategori yaitu pelanggaran
kekerasan terhadap orang dan pelanggaran kekerasan terhadap barang/properti.
Antara lain pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, penyerangan, perampokan,
pencurian kendaraan bermotor, dan pembakaran.
Berdasarkan hasil survei transisi moralitas survei yang berlangsung
Juni-Agustus 2003, yang diadakan di 10 kota besar di Indonesia, yaitu di Medan,
Padang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Banjarmasin,
Denpasar, dan Ujung Pandang, menunjukkan 54 persen remaja mengaku pernah
berkelahi, 87 persen berbohong, 8,9 persen pernah mencoba narkoba, dan 28
persen merasa kekerasan sebagai hal yang biasa. Hasil survei lain berkaitan
persen tak mempedulikan peraturan sekolah (“Perilaku,”2003). Survei lain yang
diadakan Indonesia bersama Global Youth Tobacco Suvey (GYTS), menemukan
bahwa di Medan, sebanyak 34,9 persen murid sekolah usia SMP pernah merokok
dan sebanyak 20,9 persen perilaku merokoknya masih berlanjut dan menetap
hingga SMU (Waraou, 2006).
Berdasarkan data statistik juga ditemukan bahwa jumlah anak laki-laki
yang melakukan kejahatan dan perilaku delinkuensi lebih banyak daripada
perempuan, kecuali dalam hal prostitusi dan lari dari rumah (Bynum &
Thompson, 1996). Kartono (1998), mengungkapkan perbandingan perilaku
delinkuensi anak laki-laki dengan perempuan diperkirakan 50 : 1. Anak laki-laki
pada umumnya melakukan perilaku delinkuensi dengan jalan kekerasan,
perkelahian, penyerangan, perusakan, pengacauan, perampasan dan agresifitas.
Anak perempuan lebih banyak melakukan pelanggaran seks dan lari dari rumah.
Keenan dan Shaw (dalam Gracia, dkk., 2000), menyatakan bahwa remaja,
khususnya remaja laki-laki memiliki risiko yang lebih besar untuk munculnya
perilaku kenakalan. Namun, demikian perilaku pelanggaran seperti prostitusi dan
lari dari rumah lebih banyak dilakukan oleh remaja perempuan.
Berdasarkan beberapa fenomena yang telah dikemukakan di atas,
menunjukkan bahwa tingkat pelanggaran yang dilakukan remaja Indonesia saat ini
semakin meningkat, mulai dari pelanggaran yang ringan hingga pelanggaran yang
berat. Hingga saat ini faktor penyebab kenakalan yang sesungguhnya masih belum
diketahui. Pada kenyataannya banyak sekali faktor yang menyebabkan kenakalan
Melalui uraian di atas yang mengungkapkan mengenai perkembangan
perilaku sosial remaja, khususnya kecenderungan munculnya perilaku delinkuensi
pada remaja, sebagai salah satu bentuk perilaku sosial yang menyimpang, serta
pengaruh pola hubungan antar saudara kandung, khususnya kehangatan/kedekatan
(warmth/closeness) dan konflik (conflict) sebagai salah satu dasar untuk
mengukur terbentuknya hubungan antar saudara kandung, dimana kedua pola
tersebut memberikan pengaruh yang besar terhadap terbentuknya perilaku
menyimpang. Peneliti ingin mengetahui sejauh mana pengaruh pola hubungan
antar saudara kandung terhadap kecenderungan munculnya perilaku delinkuensi
pada remaja di kota Medan.
Bertolak dari latar belakang masalah tersebut di atas, maka permasalahan
yang akan diteliti, apakah pola hubungan antar saudara kandung dapat
mempengaruhi kecenderungan munculnya perilaku delinkuensi pada remaja,
khususnya di kota Medan.
I.B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari pola
hubungan antar saudara kandung terhadap kecenderungan munculnya perilaku
delinkuensi pada remaja.
I.C. Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh manfaat mengenai
pengaruh pola hubungan antar saudara kandung terhadap kecenderungan
munculnya perilaku delinkuensi pada remaja, baik manfaat secara teoritis maupun
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan dan
wacana dalam pengetahuan ilmu psikologi, khususnya dalam bidang psikologi
perkembangan. Hasil penelitian pengaruh dari pola hubungan antar saudara
kandung terhadap kecenderungan munculnya perilaku delinkuensi pada remaja ini
kiranya dapat memberikan informasi dalam kajian psikologi dan
penelitian-penelitian sejenis di bidang psikologi perkembangan, khususnya mengenai peran
anggota keluarga khususnya saudara kandung dalam perkembangan remaja.
b. Manfaat Praktis
Manfaat secara praktis, penelitian ini ditujukan pada perkembangan
kehidupan manusia, khususnya dalam bidang perkembangan anak dan remaja.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan menambah
wawasan dalam mendidik anak dan remaja yang ditujukan dalam perkembangan
sosialnya, baik emosi maupun perilakunya. Juga kiranya penelitian ini dapat
menambah minat dalam melakukan riset mengenai hubungan antar saudara
kandungdan pengaruhnya terhadap perkembangan perilaku seseorang.
I.D. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan
Dalam bab ini akan dijelaskan latar belakang penelitian tentang pengaruh
hubungan antar saudara kandung terhadap kecenderungan munculnya perilaku
delinkuensi pada remaja, serta tujuan dan manfaat penelitian ini.
Dalam bab ini, akan dijelaskan mengenai perilaku delinkuensi, definisi
perilaku delinkuensi, tipe-tipe perilaku delinkuensi, dan wujud perilaku
delinkuensi. Serta penjelasan mengenai hubungan antar saudara kandung,
dimensi hubungan antar saudara kandung, faktor-faktor yang mempengaruhi,
definisi remaja, pembagian masa remaja, ciri-ciri remaja, tugas-tugas remaja,
serta mengenai dinamika pola hubungan antar saudara kandung dengan
perilaku delinkuensi. Akan dijelaskan pula mengenai hipotesis penelitian yang
diajukan dalam penelitian ini.
Bab III Metodologi Penelitian
Dalam bab ini, akan membahas mengenai identifikasi variabel-variabel
penelitian, definisi operasional dari masing-masing variabel penelitian,
karakteristik sampel dan teknik pengambilan sampel, metode pengumpulan
data serta metode analisis data.
BAB IV Analisis Data
Dalam bab ini akan menjelaskan hasil analisis data penelitian utama, dan hasil
penelitian tambahan.
BAB V Kesimpulan dan Saran
Dalam bab ini, akan menjelaskan mengenai hasil diskusi, kesimpulan dan
BAB II
LANDASAN TEORI
II.A. Perilaku Delinkuensi
II.A.1. Pengertian Perilaku Delinkuensi
Delinkuensi (delinquency) berasal dari bahasa Latin “delinquere”, yang
diartikan terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas menjadi jahat, anti
sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror dan tidak
dapat diatur. Kartono (1998), dalam mengartikan delinkuensi lebih mengacu pada
suatu bentuk perilaku menyimpang, yang merupakan hasil dari pergolakan mental
serta emosi yang sangat labil dan defektif.
Bynum dan Thompson (1996), mengartikan perilaku delinkuensi dalam
tiga kategori, yaitu the legal definition, the role definition, dan the societal
response definition. Ketiga kategori tersebut memiliki pengertian masing-masing,
yaitu :
1. The Legal Definition
Secara legal perilaku delinkuensi diartikan sebagai segala perilaku yang
dapat menjadi kejahatan jika dilakukan oleh orang dewasa atau perilaku yang oleh
pengadilan anak dianggap tidak sesuai dengan usianya, sehingga anak tersebut
dipertimbangkan melakukan perilaku delinkuensi berdasarkan larangan yang
diberlakukan dalam undang-undang status perilaku kriminal dari pemerintah
pusat, negara dan pemerintah daerah. Namun, tidak semua perilaku pelanggaran
yang dilakukan remaja, yaitu meliputi pelanggaran peraturan yang diberlakukan
bagi anak seusianya, seperti membolos sekolah, atau mengkonsumsi alkohol
dimana perilaku tersebut ilegal.
2. The Role Definition
Segi peran memfokuskan arti perilaku delinkuensi pada pelaku antisosial
daripada perilaku antisosial, pengertian ini mengungkap, ”Siapakah yang
melakukan perilaku delinkuensi?”. Pengertian mengacu pada individu yang
mempertahankan bentuk perilaku delinkuensi dalam periode waktu yang cukup
lama, sehingga kehidupan serta identitas kepribadiannya terbentuk dari perilaku
menyimpang (deviant). Konsep sosiologis yang berhubungan dengan pengertian
peran dalam mendeskripsikan perilaku delinkuensi, yaitu status sosial dan peran
sosial. Status sosial merupakan pengaruh posisi seseorang dalam hubungannnya
dengan orang lain dalam kelompok sosial atau masyarakat. Peran sosial diartikan
sebagai perilaku yang diharapkan untuk ditunjukkan dari seseorang yang memiliki
status dalam suatu kelompok sosial atau masyarakat.
3. The Societal Response Definition
Pengertian dari segi societal response, menekankan pada konsekuensi
sebagai akibat dari suatu tindakan dan/atau seorang pelaku yang dianggap
melakukan suatu perilaku menyimpang atau delinkuensi, dimana audience yang
mengamati dan memberi penilaian terhadap perilaku tersebut. Audience adalah
Berdasarkan ketiga kategori pengertian di atas, Bynum dan Thompson
(1996), mengartikan perilaku delinkuensi dengan mengkombinasikan ketiga
kategori tersebut :
“Delinquency reffering to illegal conduct by a juvenile that reflects a persistent delinquent role and results in society regarding the offender as seriously deviant. Deviant is conduct that is perceived by others as violating institutionalized expectations that are widely shared and recognized as legitimate within the society.” (Bynum & Thompson, 1996)
Perilaku delinkuensi merupakan suatu bentuk perilaku ilegal yang mencerminkan
peran kenakalan yang terus-menerus, dimana perilaku tersebut oleh masyarakat
dianggap sebagai penyimpangan yang sangat serius. Perilaku menyimpang
tersebut diartikan oleh orang lain sebagai ancaman terhadap norma legitimasi
masyarakat.
Walgito (dalam Sudarsono, 1997) merumuskan bahwa istilah delinkuensi
lebih ditekankan pada perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh anak dan
remaja, jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang dewasa, maka perbuatan itu
merupakan kejahatan. Fuad Hasan (dalam Hadisuprapto, 1997), merumuskan
perilaku delinkuensi sebagai perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh anak dan
remaja yang bila dilakukan orang dewasa dikualifikasikan sebagai tindak
kejahatan.
Suatu perilaku dianggap ilegal hanya karena status usia si pelaku yang
masih muda (bukan usia dewasa), atau yang sering disebut status offenses.
Perilaku antisosial dapat berupa menggertak, agresi fisik dan perilaku kejam
terhadap teman sebaya, sikap bermusuhan, lancang, negativistik terhadap orang
Simanjuntak (dalam Sudarsono, 1997), memberi tinjauan bahwa suatu
perbuatan disebut delinkuensi apabila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan
dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat di mana seseorang tinggal atau
suatu perbuatan anti sosial di mana di dalamnya terkandung unsur-unsur anti
normatif. Suatu perbuatan dikatakan sebagai delinkuensi atau tidak, ditinjau dari
dua faktor, yaitu hukum pidana serta norma-norma dalam masyarakat. Sudarsono
(1997), merumuskan bahwa perilaku delinkuensi memiliki arti yang luas, yaitu
perbuatan yang menimbulkan keresahan masyarakat, sekolah maupun keluarga,
akan tetapi tidak tergolong pidana umum maupun khusus. Antara lain, perbuatan
yang bersifat anti susila, yaitu durhaka kepada orang tua, membantah, melawan,
tidak patuh, tidak sopan, berbohong, memusuhi orang tua, saudara-saudaranya,
masyarakat dan lain-lain. Serta dikatakan delinkuensi, jika perbuatan tersebut
bertentangan dengan norma-norma agama yang dianut.
Farrington (dalam Quay, 1987), mengartikan delinkuensi sebagai perilaku
yang meliputi pencurian, perampokan, sifat suka merusak (vandalism), kekerasan
terhadap orang lain, dan penggunaan obat, pengkategorian delinkuensi juga
meliputi perilaku status offenses (status bersalah) seperti minum-minuman
beralkohol dan pelanggaran jam malam yang dilakukan oleh remaja. Seperti yang
dikemukakan Lewis (dalam Short, 1987), perilaku delinkuensi merupakan
perilaku ilegal yang dilakukan oleh remaja meliputi, membolos, diasosiasikan
dengan remaja yang suka melanggar peraturan, dan melanggar jam malam.
Sedangkan Sunarwiyati (dalam Masngudin, 2004), merumuskan perilaku
membolos sekolah, pergi dari rumah tanpa pamit, kenakalan yang menjurus pada
pelanggaran dan kejahatan, seperti mengendarai mobil tanpa SIM, mengambil
barang miliki orang tua/orang lain tanpa izin, serta kenakalan khusus seperti
penyalahgunaan narkotika, hubungan seks diluar nikah, pemerkosaan,
penganiayaan, penyiksaan, pembunuhan dan lain-lain
Seiring perkembangannya Papalia (2003), mengartikan perilaku
delinkuensi mengacu pada suatu rentang perilaku yang luas, mulai dari perilaku
yang tidak dapat diterima secara sosial (seperti bertindak berlebihan di sekolah,
yakni melanggar tata tertib, berkelahi), pelanggaran (seperti melarikan diri dari
rumah) hingga tindakan-tindakan kriminal (seperti mencuri), yang dilakukan oleh
anak dan remaja. Perilaku delinkuensi merupakan suatu bentuk pelanggaran,
kesalahan, serangan atau kejahatan yang relatif minor melawan undang-undang
legal atau tidak terlalu berat dalam pelanggaran terhadap undang-undang, yang
khususnya dilakukan oleh anak-anak muda yang belum dewasa (Chaplin, 2004).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku delinkuensi merupakan suatu bentuk perbuatan anti sosial, melawan hukum negara, norma-norma masyarakat dan norma-norma agama serta perbuatan yang tergolong anti sosial yang menimbulkan keresahan masyarakat, sekolah maupun keluarga, akan tetapi tidak tergolong pidana umum maupun khusus, yang dilakukan oleh orang yang belum dewasa (anak dan remaja).
II.A.2. Tipe-tipe Perilaku Delinkuensi
Masyarakat memandang beberapa perilaku sebagai negatif, misalnya
perilaku tersebut ilegal karena status usia si pelaku yang masih muda, inilah yang
minuman keras, ketidakpatuhan dengan aturan orang tua, berteman dengan
orang-orang yang suka melanggar peraturan, lari dari rumah dan melanggar jam malam.
Sedangkan index offenses, digunakan dalam pengkategorian perilaku yang lebih
serius, meliputi pembunuhan, pemerkosaan, perampokkan dan penyerangan yang
masuk dalam ”violent crimes”, yang merupakan suatu tindakan atau perilaku yang
ditujukan langsung pada orang lain, sedangkan maling, pencuri kendaraan
bermotor dan pembakaran, dimasukkan dalam ”property crimes”, yaitu kejahatan
yang tanpa kekerasan tetapi berhubungan langsung dengan properti (Bynum &
Thompson, 1996).
Department of Justice in the National Crime (dalam Kelley, Loeber,
Keenan, & DeLamatre, 1997), membagi perilaku delinkuensi dalam dua kategori.
Pertama, ”index offenses” perilaku delinkuensi sebagai perilaku yang melibatkan
tindakan pengrusakan dan pencurian barang-barang milik orang lain, kekerasan
terhadap orang lain, mengkonsumsi dan memperjualbelikan alkohol dan
obat-obatan, dan kepemilikan senjata api. Kedua, ”status offenses”, dimana tidak
merupakan suatu pelanggaran bila dilakukan oleh orang dewasa, antara lain
membolos, lari dari rumah, memiliki atau mengkonsumsi alkohol dan
obat-obatan, pelanggaran jam malam.
Papalia (2003) membedakan perilaku delinkuensi dalam dua kategori yaitu
index offenses dan status offenses. Index offenses, merupakan tindakan kriminal,
baik yang dilakukan remaja maupun orang dewasa. Tindakan-tindakan itu
meliputi perampokan, penyerangan dengan kekerasan, pemerkosaan, dan
serius seperti lari dari rumah, bolos dari sekolah, mengkonsumsi minuman keras
yang melanggar ketentuan usia, pelacuran, dan ketidakmampuan mengendalikan
diri sehingga menimbulkan perkelahian. Tindakan-tindakan itu dilakukan oleh
anak-anak muda di bawah usia tertentu, sehingga pelanggaran-pelanggaran itu
disebut pelanggaran-pelanggaran remaja.
Berdasarkan uraian diatas, dapat kita lihat bahwa perilaku delinkuensi
mencakup dua kategori yaitu pertama, ”index offenses” sebagai perilaku
kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain dan kenakalan yang
menimbulkan korban materi atau properti. Kedua, ”status offenses”, sebagai
perilaku kenakalan yang tidak terlalu serius, yang merupakan
pelanggaran-pelanggaran remaja seperti membolos, lari dari rumah, perkelahian, dan
pelanggaran-pelanggaran lain melanggar status usia remaja.
II.A.3. Bentuk-bentuk Perilaku Delinkuensi
Bynum dan Thompson (1996), mengkategorikan bentuk-bentuk perilaku
delinkuensi yang termasuk dalam status offenses meliputi running away, truancy,
ungovernable behaviour dan liquor law violations, sedangkan yang termasuk
dalam kategori index offenses, pembunuhan, pemerkosaan, perampokkan,
penyerangan, mencuri, pencuri kendaraan bermotor, merampok dan pembakaran.
Steinhart (1996), seorang pengacara ahli dalam sistem peradilan anak,
menyatakan bahwa status offenses merupakan perilaku yang tidak legal bagi
anak-anak, tetapi itu merupakan perilaku yang legal bagi orang dewasa. Bentuk-bentuk
away from home), menentang perintah dan aturan orang tua (incorrigibility:
disobeying parents), melanggar jam malam bagi anak dan remaja (curfew
violations), dan mengkonsumsi alkohol (alcohol possession by minors).
Sementara itu, index offenses meliputi bentuk pelanggaran lebih serius, yang
terdiri dari dua kategori yaitu pelanggaran kekerasan terhadap orang dan
pelanggaran kekerasan terhadap barang/properti. Antara lain pembunuhan,
pemerkosaan, pencurian, penyerangan, perampokan, pencurian kendaraan
bermotor, dan pembakaran.
United Stated Department of Justice’s Office of Juvenile Justice and
Delinquency Prevention (OJJDP) mengindentifikasi index offenses dalam empat
kategori utama (dalam Hund, 1998), yaitu :
a. Pelanggaran kekerasan (violent offenses), yaitu perbuatan-perbuatan
yang menimbulkan korban fisik, meliputi kekerasan fisik baik
menyebabkan kematian ataupun tidak, pemerkosaan, menyerang,
dan merampok dengan senjata.
b. Pelanggaran properti (property offenses), yaitu perbuatan-perbuatan
yang menimbulkan kerusakan property milik orang lain, meliputi
pengrusakan, pencurian, pembakaran.
c. Pelanggaran hukum negara (public offenses), yaitu segala perbuatan
yang melanggar undang-undang Negara selain dari violent offenses
dan property offenses.
d. Penyalahgunaan obat-obatan dan minuman keras (drug and liquor
minuman keras, meliputi mengkonsumsi dan memperjualbelikan
obat-obatan serta minuman keras.
United Stated Department of Justice’s Office of Juvenile Justice and
Delinquency Prevention (OJJDP) mengindentifikasi status offenses dalam empat
kategori utama (dalam Hund, 1998), yaitu :
a. Lari dari rumah (runaway), termasuk pergi keluar rumah tanpa pamit.
b. Membolos (truancy) dari sekolah tanpa alasan jelas, dan berkeliaran di
tempat-tempat umum atau tempat bermain.
c. Melanggar aturan atau tata tertib sekolah dan aturan orang tua
(ungovernability).
d. Mengkonsumsi alkohol (underage liquor violations)
e. Pelanggaran lainnya (miscellaneous category), meliputi pelanggaran jam
malam, merokok, berkelahi dan lain-lain.
Sementara itu peneliti di Indonesia, Sunarwiyati (dalam Masngudin,
2004), merumuskan bentuk-bentuk perilaku delinkuensi dalam tiga kategori.
Pertama, kenakalan biasa, seperti suka berkelahi, suka keluyuran, membolos
sekolah, pergi dari rumah tanpa pamit. Kedua, kenakalan yang menjurus pada
pelanggaran dan kejahatan, seperti mengendarai mobil tanpa SIM, mengambil
barang miliki orang lain tanpa izin. Ketiga, kenakalan khusus seperti
penyalahgunaan narkotika, hubungan seks diluar nikah, pemerkosaan,
penganiayaan, penyiksaan, pembunuhan dan lain-lain. Berdasarkan penelitiannya
berjudul ”Pengukuran Sikap Masyarakat terhadap Kenakalan Remaja di DKI
lain : berbohong, pergi keluar rumah tanpa pamit, keluyuran, begadang di luar
rumah hingga larut malam, membolos sekolah, buang sampah sembarangan,
membaca buku porno, melihat gambar porno, menonton film porno, mengendarai
kendaraan tanpa SIM, kebut-kebutan, minum-minuman keras, penyalahgunaan
obat, berkelahi, hubungan seks diluar nikah, mencuri, mengompas,
mengancam/menganiaya, berjudi/taruhan, sedangkan membunuh dan memperkosa
termasuk dalam jumlah yang sangat sedikit pada remaja.
Jensen (dalam Sarwono, 2006), meengkategorikan bentuk-bentuk perilaku
delikuensi menjadi empat kategori. Pertama, kenakalan yang menimbulkan
korban fisik pada orang lain, antara lain perkelahian, perkosaan, perampokan,
pembunuhan, dan lain-lain. Kedua, kenakalan yang menimbulkan korban materi,
antara lain perusakan, pencurian, pecopetan, pemerasan, dan lain-lain. Ketiga,
kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain, antara lain
pelacuran, penyalahgunaan obat, merokok dan minuman keras. Keempat,
kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status sebagai pelajar,
dengan cara membolos dan melanggar peraturan sekolah, mengingkari status
orang tua, dengan cara minggat dari rumah, melawan orang tua, memusuhi
keluarga, dan sebagainya. Bagi remaja, perilaku-perilaku tersebut merupakan
suatu pelanggaran, memang belum melanggar hukum dalam arti sesungguhnya,
karena merupakan pelanggaran dalam lingkungan keluarga dan sekolah.
United Nations Children's Fund, sebuah lembaga internasional di bawah
naungan PBB bekerja sama dengan Pemerintah Kota Surakarta melakukan
Perilaku kenakalan remaja yang umum dilakukan antara lain, mulai dari bolos
sekolah, keluyuran di tempat wisata, halte, terlibat tawuran, mabuk, pelanggaran
lalu lintas, melakukan tindakan pemerasan, hamil di luar nikah, menjadi pekerja
seks komersial hingga melakukan tindakan kriminal. Data remaja yang terlibat
kenakalan dalam satu tahun mencapai angka 6.664 orang dengan presentase
terbesar bolos sekolah/keluyuran di tempat wisata, bioskop, halte dan sebagainya
sejumlah 3.485 orang (Syamsiah dan Wiyono, 2001).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dimensi-dimensi
perilaku delinkuensi sebagai berikut : Pertama, index offenses meliputi kenakalan
yang menimbulkan korban fisik pada orang lain (violent offenses), antara lain
perkelahian, penganiayaan, pengancaman dan perampokan; kenakalan yang
menimbulkan korban materi (property crimes), antara lain perusakan, pencurian,
dan pemerasan; kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang
lain (drug/ liquor and public), antara lain pelacuran, penyalahgunaan dan
memperjualbelikan obat/minuman keras dan berjudi/taruhan. Kedua, status
offenses yaitu kenakalan yang melawan status, antara lain mengingkari status
sebagai pelajar dan mengingkari status orang tua, meliputi lari dari rumah
(runaway), termasuk pergi keluar rumah tanpa pamit; membolos sekolah
(truancy) dan keluyuran; melanggar aturan atau tata tertib sekolah dan aturan
orang tua (ungovernability), seperti melawan orang tua, berbohong, pakaian
seragam tidak lengkap, dan lain-lain; mengkonsumsi alkohol (underage liquor
violations); dan pelanggaran lainnya (miscellaneous category), meliputi
II.A.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Perilaku Delinkuensi
Perilaku delinkuensi merupakan perilaku yang mayoritas dilakukan oleh anak
dan remaja di bawah usia 21 tahun. Banyak peneliti yang berusaha
mengungkapkan faktor-faktor penyebab munculnya perilaku delinkuensi pada
masa remaja. Salah satunya Bynum dan Thompson (1996) yang membahas latar
belakang timbulnya perilaku delinkuensisi berdasarkan berbagai teori.
a. Teori differential association, teori yang dikemukakan oleh Sutherland
ini melandaskan pada proses belajar. Teori ini mengungkapkan bahwa
perilaku delinkuensi adalah perilaku yang dipelajari secara negatif,
berarti perilaku tersebut tidak diwarisi. Perilaku delinkuensi ini
dipelajari dalam interaksi dengan orang lain, khususnya orang-orang
dari kelompok terdekat seperti orang tua, saudara kandung, sanak
saudara atau masyarakat di sekitar tempat tinggal. Keluarga sebagai unit
sosial yang memberi pengaruh besar terhadap perkembangan anak,
seperti interaksi negatif antar saudara kandung dapat menjadi dasar
munculnya perilaku negatif pada anak.
b. Teori Anomie, teori ini diajukan oleh Robert Merton, yang berorientasi
pada kelas, berbagai struktur sosial yang mungkin terdapat di
masyarakat dalam realitasnya telah mendorong orang-orang cenderung
Philip Graham (dalam Sarwono, 2006), membagi faktor-faktor penyebab
perilaku delinkuensi lebih mendasarkan pada sudut kesehatan mental remaja,
yaitu :
1. a. Faktor lingkungan, meliputi malnutrisi (kekurangan gizi), kemiskinan,
gangguan lingkungan (polusi, kecelakaan lalu lintas, bencana alam,
dan lain-lain), migrasi (urbanisasi, pengungsian, dan lain-lain).
b. Faktor sekolah (kesalahan mendidik, faktor kurikulum, dan lain-lain).
c. Keluarga yang tercerai berai (perceraian, perpisahan yang terlalu lama,
dan lain-lain).
d. Gangguan dalam pengasuhan, meliputi kematian orang tua, orang tua
sakit atau cacat, hubungan antar anggota keluarga, antar saudara
kandung, sanak saudara yang tidak harmonis serta pola asuh yang
salah. Hubungan antar anggota yang tidak haarmonis dapat
menghambat perkembangan individu, khususnya perkembangan
mental dan perilakunya.
2. Faktor pribadi, seperti faktor bawaan yang mempengaruhi temperamen
(menjadi pemarah, hiperaktif, dan lain-lain), cacat tubuh, serta
ketidakmampuan menyesuaikan diri.
Santrock (2003), berdasarkan teori perkembangan identitas Erikson
mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku delinkuensi pada
remaja:
1. Identitas negatif, Erikson yakin bahwa perilaku delinkuensi muncul karena
2. Kontrol diri rendah, beberapa anak dan remaja gagal memperoleh kontrol
yang esensial yang sudah dimiliki orang lain selama proses pertumbuhan.
3. Usia, munculnya tingkah laku antisosial di usia dini (anak-anak)
berhubungan dengan perilaku delinkuensi yang lebih serius nantinya di
masa remaja. Namun demikian, tidak semua anak bertingkah laku seperti
ini nantinya akan menjadi pelaku delinkuensi.
4. Jenis kelamin (laki-laki), anak laki-laki lebih banyak melakukan tingkah
laku antisosial daripada anak perempuan. Keenan dan Shaw (dalam
Gracia, et al., 2000), menyatakan anak laki-laki memiliki risiko yang lebih
besar untuk munculnya perilaku (conduct) merusak. Namun, demikian
perilaku pelanggaran seperti prostitusi dan lari dari rumah lebih banyak
dilakukan oleh remaja perempuan.
5. Harapan dan nilai-nilai yang rendah terhadap pendidikan. Remaja menjadi
pelaku kenakalan seringkali diikuti karena memiliki harapan yang rendah
terhadap pendidikan dan juga nilai-nilai yang rendah di sekolah.
6. Pengaruh orang tua dan keluarga. Seseorang berperilaku nakal seringkali
berasal dari keluarga, di mana orang tua menerapkan pola disiplin secara
tidak efektif, memberikan mereka sedikit dukungan, dan jarang
mengawasi anak-anaknya sehingga terjadi hubungan yang kurang
harmonis antar anggota keluarga, antara lain hubungan dengan saudara
kandung dan sanak saudara. Hubungan yang buruk dengan saudara
kandung di rumah akan cenderung menjadi pola dasar dalam menjalin
7. Pengaruh teman sebaya. Memiliki teman-teman sebaya yang melakukan
kenakalan meningkatkan resiko untuk menjadi pelaku kenakalan.
8. Status ekonomi sosial. Penyerangan serius lebih sering dilakukan oleh
anak-anak yang berasal dari kelas sosial ekonomi yang lebih rendah.
9. Kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal. Tempat dimana individu
tinggal dapat membentuk perilaku individu tersebut, masyarakat dan
lingkungan yang membentuk kecenderungan kita untuk berperilaku ”baik”
atau ”jahat”.
Berdasarkan uraian yang dipaparkan di atas, dapat dilihat bahwa salah satu
faktor yang paling mempengaruhi terbentuknya perilaku delinkuensi, yaitu faktor
keluarga, hubungan antar anggota keluarga yang tidak harmonis, seperti hubungan
antar saudara kandung yang buruk, akan memberikan kesempatan pada anak
untuk belajar dari pengalamannya berinteraksi secara negatif dengan saudara
kandungnya di rumah, yang kemudian akan menjadi dasar dalam berperilaku di
luar rumah.
II.B. Hubungan Antar Saudara Kandung
II.B.1. Pengertian Hubungan Antar Saudara Kandung
Cicirelli (1996) mengemukakan pengertian dari hubungan antar saudara
kandung (sibling relationship), sebagai berikut :
Hubungan saudara kandung merupakan interaksi total (fisik maupun komunikasi
verbal dan nonverbal) dari dua atau lebih individu yang berasal dari orangtua
biologis yang sama, mencakup sikap, persepsi, keyakinan dan perasaan terhadap
satu sama lain sejak mereka menyadari keberadaan saudara kandung mereka.
Furman dan Buhrmester (dalam Criss & Shaw, 2005) mengartikan
hubungan antar saudara kandung sebagai hubungan yang dikarakteristikkan
dengan empat dimensi, yaitu relative status/power, rivalry (persaingan),
warmth/closeness (kedekatan) dan conflict (konflik). Berdasarkan penelitian Criss
dan Shaw (2005), ditemukan bahwa dimensi konflik dan kehangatan/kedekatan
memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan perilaku seseorang,
dibandingkan dengan dua dimensi yang lainnya.
Hubungan antar saudara kandung memiliki pengaruh yang besar pada
suasana rumah dan seluruh anggota keluarga. Bila hubungan antar saudara
kandung baik, suasana di rumah menyenangkan dan bebas dari perselisihan.
Sebaliknya, bila hubungan antar saudara kandung penuh perselisihan dan ditandai
rasa iri, permusuhan dan gejala ketidakharmonisan lainnya, hubungan ini merusak
hubungan keluarga dan suasana rumah (Hurlock, 1999).
Patterson (dalam Parke, 1996), mengungkapkan bagi kebanyakan anak,
saudara yang lebih tua merupakan seseorang yang memiliki pengaruh yang besar
dalam kehidupan mereka, khususnya dalam memberikan dukungan, kerjasama
dan petunjuk, tetapi juga menjadi sumber dari konflik dan model peran yang
negatif. Cicirelli (1996), menyatakan bahwa hubungan antar saudara kandung
meliputi rasa kasih sayang, melindungi dan saling membantu. Perasaan negatif
meliputi rasa iri, benci, marah sehingga dapat menimbulkan persaingan dan
permusuhan. Ikatan emosional yang positif atau negatif akan memunculkan reaksi
perilaku yang berbeda terhadap saudara kandungnya. Kehadiran saudara kandung
dapat bertindak sebagai pendukung secara emosional, saingan dan kawan
komunikasi. Ikatan emosional antar saudara kandung memiliki pengaruh yang
sangat besar, dapat positif dan negatif (Furman & Giberson, dalam Scharf,
Shulman & Spitz, 2005).
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan hubungan antar
saudara kandung merupakan interaksi total (fisik maupun komunikasi verbal dan
nonverbal) dari dua atau lebih individu yang berasal dari orangtua biologis yang
sama. Mencakup sikap, persepsi, keyakinan dan perasaan terhadap satu sama lain,
yang dapat mengarah ke positif maupun negatif, dan dikarakteristikkan dari empat
dimensi, yaitu yaitu relative status/power, rivalry (persaingan), warmth/closeness
(kedekatan) dan conflict (konflik). Dimensi warmth/closeness (kedekatan) dan
conflict (konflik) merupakan dua dimensi yang memiliki pengaruh besar dengan
terbentuknya perkembangan perilaku sosial pada anak, khususnya perilaku
delinkuensi yang terkait dengan penelitian ini.
II.B.2. Dimensi Hubungan Antar Saudara Kandung
Furman dan Buhrmester (dalam Criss & Shaw, 2005) menyatakan bahwa
dimensi hubungan antar saudara kandung meliputi yaitu relative status/power,
rivalry (persaingan), warmth/closeness (kedekatan) dan conflict (konflik). Namun,
yaitu dimensi warmth/closeness (kedekatan) dan conflict (konflik) (Criss &
Shaw, 2005). Penelitian Criss dan Shaw (2005), menemukan bahwa dua dimensi
hubungan antar saudara kandung kehangatan/kedekatan dan konflik memiliki
kaitan yang terbesar dibandingkan dengan dua dimensi lainnya terhadap
terbentuknya perilaku merusak. Penelitian lain yang dilakukan oleh Rinaldi dan
Howe (1998), menemukan konflik berkorelasi positif dengan kemampuan
menyelesaikan masalah secara destruktif, sedangkan kehangatan/kedekatan
berkorelasi positif dengan perilaku prososial dan kemampuan menyelesaikan
masalah secara konstruktif.
Stormshak (dalam Volling & Blandon, 2003), menemukan bahwa kedua
dimensi hubungan antar saudara kandung, yaitu kehangatan/kedekatan dan konflik
merupakan dimensi yang sangat perlu diperhitungkan bersama-sama dalam
memahami pengaruhnya secara utuh terhadap perkembangan perilaku sosial.
Konflik yang terjadi antar saudara kandung tanpa adanya kehangatan/kedekatan
sedikitpun memiliki pengaruh yang berbeda, salah satunya membuat seseorang
kesulitan dalam menjalin hubungan yang baik dengan orang lain.
Furman dan Buhrmester (dalam Criss & Shaw, 2005), mengungkapkan
bahwa setiap dimensi hubungan antar saudara kandung memiliki
indikator-indikator masing-masing. Indikator-indikator-indikator dimensi warmth/closeness
(kedekatan) dan conflict (konflik), antara lain :
1. Dimensi kehangatan/kedekatan (warmth/closeness), meliputi :
a. Kedekatan (intimacy), meliputi sikap keterbukaan dan kedekatan dalam
b. Dukungan emosional (emotional support), berhubungan dengan pemberian
dukungan perasaan dan perhatian.
c. Afeksi (affection), berhubungan dengan perasaan kasih sayang dan cinta
yang mendalam.
d. Informasi (knowledge), berhubungan dengan cakupan informasi yang
diketahui mengenai satu sama lain.
e. Dukungan instrumental (instrumental support), berhubungan dengan
dukungan bantuan dan pertolongan yang berbentuk non-emosional, seperti
keuangan, barang, dan lain-lain.
f. Kesamaan (similarity), berhubungan dengan kesamaan atau kemiripan
dalam kepribadian, sifat, gaya hidup, pendapat, keyakinan, kebiasaan dan
persepsi.
g. Kekaguman (admiration), berhubungan dengan rasa kagum dan bangga
yang dirasakan satu sama lain, baik prestasi, penampilan maupun
kepribadian.
h. Penerimaan (acceptance), berhubungan dengan rasa penerimaan terhadap
kehadiran, kepribadian, pendapat.
2. Dimensi konflik (conflict), meliputi :
a. Dominansi (dominance), berhubungan dengan sikap menekan, mengatur
dan menguasai antara satu dan yang lainnya.
b. Kompetisi/persaingan (competition), berhubungan dengan sikap saling
mengungguli, memperebutkan posisi yang paling menonjol yang diikuti
c. Permusuhan (antagonism), berhubungan dengan sikap bermusuhan, tidak
bersahabat.
d. Pertengkaran (quarreling), berhubungan dengan perkelahian baik secara
fisik maupun verbal.
Persaingan dalam hubungan antar saudara kandung dapat memberikan
pengaruh negatif dan positif. Persaingan yang diikuti dengan adanya konflik dapat
mempengaruhi terbentuknya perilaku agresi, perilaku merusak dan perilaku
bermusuhan yang akan mengarah pada perilaku kenakalan atau delinkuensi.
Sebaliknya, persaingan tanpa adanya konflik, akan dapat mempengaruhi
perkembangan perilaku prososial, selain itu juga dapat meningkatkan motivasi
untuk menjadi yang terbaik dan menyelesaikan masalah secara konstruktif
(Volling & Blandon, 2003).
Berdasarkan uraian di atas, mengenai dimensi-dimensi hubungan antar
saudara kandung, maka dapat disimpulkan bahwa dimensi hubungan
kehangatan/kedekatan dan konflik memiliki pengaruh yang lebih besar dalam
perkembangan perilaku merusak dan menyimpang serta terbentuknya perilaku
menyelesaikan masalah secara destruktif. Dimensi kehangatan/kedekatan
mengungkap mengenai kedekatan (intimacy), dukungan emosional (emotional
support, afeksi (affection), informasi (knowledge), dukungan intrumental
(instrumental support), kesamaan (similarity), kekaguman (admiration), dan
(dominance), kompetisi/persaingan (competition), permusuhan (antagonism), dan
pertengkaran (quarreling).
II.B.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hubungan Antar Saudara Kandung
Terdapat banyak kondisi yang menentukan kualitas hubungan antar
saudara kandung. Dalam banyak hal, beberapa di antaranya muncul pada waktu
yang bersamaan. Kombinasi faktor inilah yang menyulitkan pengendalian
hubungan antar saudara kandung. Hurlock (1999) mengemukakan faktor-faktor
yang mempengaruhi hubungan antar saudara kandung, sebagai berikut :
a. Sikap orang tua. Sikap orang tua terhadap anak dipengaruhi sejauh mana
anak mendekati keinginan dan harapan orang tua. Sikap orang tua juga
dipengaruhi oleh sikap dan perilaku anak terhadap anak yang lain dan
terhadap orang tuanya.
b. Urutan kelahiran. Semua anak diberi peran menurut urutan kelahiran dan
mereka diharapkan memerankan peran tersebut. Jika anak menyukai peran
yang diberikan padanya, semua berjalan dengan baik. Tetapi, peran yang
diberikan itu bukanlah peran yang dipilih sendiri, maka kemungkinan
terjadi perselisihan besar sekali.
c. Jenis kelamin saudara kandung. Perbedaan jenis kelamin mempengaruhi
kualitas hubungan antar suadara kandung dalam hal kedekatan dan
konflik. Saudara kandung berjenis kelamin yang sama menunjukkan
kedekatan yang lebih besar dan konflik yang lebih kecil dibandingkan
d. Perbedaan usia. Jika perbedaan usia antar saudara besar, hubungan antara
orang tua dan anak secara keseluruhan berbeda dari hubungan dengan
anak-anak berdekatan usia. Bila perbedaan usia antar saudara besar, baik
jika berjenis kelamin sama maupun berlawanan, hubungan lebih ramah,
kooperatif dan kasih-mengasihi terjalin daripada bila usia mereka
berdekatan. Cicirelli (1996) menyatakan bahwa jarak usia 1-4 tahun
berpengaruh negatif pada kedekatan dengan saudara kandung dan
berpengaruh positif pada konflik dan persaingan.
e. Jumlah saudara. Jumlah saudara yang kecil cenderung menghasilkan
hubungan yang lebih banyak perselisihan daripada jumlah saudara yang
besar. Bila hanya ada dua orang atau tiga anak dalam keluarga, mereka
lebih sering bersama daripada jika jumlahnya besar. Keluarga yang
mempunyai keluarga berukuran sedang, yaitu dengan anak lebih dari tiga
anak atau lima anak, tentunya akan menunjukkan perilaku yang berbeda
terhadap masing-masing anggota keluarga jika dibandingkan dengan
keluarga yang berukuran besar yaitu keluarga dengan yang memiliki lebih
dari lima anak.
f. Jenis disiplin. Hubungan antar saudara kandung tampak lebih rukun dalam
keluarga yang menggunakan disiplin otoriter dibandingkan dengan
keluarga yang mengikuti pola permisif. Orang tua yang bersifat
autoritarian membuat batasan dan kendali yang tegas terhadap remaja.
Bila anak dibiarkan bertindak sesuka hati, hubungan antar saudara
g. Pengaruh orang lain. Kehadiran orang luar di rumah, tekanan orang luar
pada anggota keluarga dan perbandingan anak dengan saudara
kandungnya oleh orang luar akan mempengaruhi hubungan mereka. Orang
lain, baik anggota keluarga maupun teman orang tua atau guru dapat
menimbulkan atau memperhebat ketegangan yang telah ada dalam
hubungan antar saudara kandung dengan membandingkan anak yang satu
dengan anak yang lain.
Penelitian Minnet (dalam Foster, 1987), menemukan konflik banyak
ditemukan pada saudara kandung yang memiliki jarak usia yang lebih kecil.
Meskipun jarak usia tidak terlalu besar, namun orang tua dan sanak keluarga tetap
cenderung mengharapkan anak yang lebih tua menjadi model yang baik dan
mengecamnya bila gagal melakukannya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi hubungan saudara kandung yang berhubungan secara langsung
dengan ciri-ciri saudara kandung itu sendiri antara lain, jarak usia diantara saudara
kandung, urutan kelahiran dalam keluarga, jumlah saudara kandung serta jenis
kelamin saudara kandung, Sedangkan faktor-faktor yang lain lebih berhubungan
langsung dengan orang tua, seperti pola disiplin dan sikap orang tua, serta faktor
II.C. Remaja
II.C.1. Pengertian Remaja
Istilah adolesence atau remaja berasal dari bahasa Latin adolescere yang
berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”, dalam perkembangan menuju
dewasa (Monks, 2001).
Menurut Piaget (dalam Hurlock, 1999) secara psikologis masa remaja
merupakan usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat. Lazimnya masa
remaja dimulai pada saat anak matang secara seksual dan berakhir sampai ia
matang secara hukum. Penelitian tentang perubahan perilaku, sikap dan nilai-nilai
sepanjang masa remaja menunjukkan bahwa perilaku, sikap dan nilai-nilai pada
awal masa remaja berbeda dengan pada akhir masa remaja (Hurlock, 1999), oleh
sebab itu masa remaja masih dibedakan dalam fase-fase tertentu.
Hurlock (1999), membagi masa remaja menjadi dua bagian, yaitu masa
remaja awal dan masa remaja akhir. Awal masa remaja berlangsung kira-kira dari
usia 13–16 tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia 17 tahun sampai 18
tahun, yaitu usia yang dianggap matang secara hukum.
Monks, dkk. (2001), batasan usia remaja adalah antara usia 12 tahun
hingga usia 21 tahun. Monks membagi masa remaja menjadi tiga fase, yaitu:
1. Fase remaja awal dalam rentang usia 12–15 tahun,
2. Fase remaja madya dalam rentang usia 15–18 tahun,
3. Fase remaja akhir dalam rentang usia 18–21 tahun.
Sementara di Indonesia, masa remaja masih merupakan masa belajar di
Menengah Atas atau Perguruan Tinggi (Monks, dkk., 2001). Negara Indonesia,
menetapkan batasan remaja mendekati batasan usia remaja (youth) yang
ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yaitu, usia 14-24 tahun. Usia 24
tahun merupakan batas maksimal untuk individu yang belum dapat memenuhi
persyaratan kedewasaan secara sosial maupun psikologis. Hukum Indonesia hanya
mengenal anak-anak dan dewasa, berdasarkan Undang-undang Kesejateraan Anak
(UU No. 4/1979) menganggap semua orang di bawah usia 21 tahun dan belum
menikah sebagai anak-anak (dalam Sarwono, 2006).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa masa remaja dimulai pada saat anak matang secara seksual dan berakhir sampai ia matang secara hukum, rata-rata batasan usia remaja berkisar antara usia 12 hingga 24 tahun, dengan pembagian fase remaja awal berkisar antara usia 12 -15 tahun, fase remaja madya berkisar antara usia 15 – 18 tahun dan fase remaja akhir berkisar antara usia 18 – 21 tahun. Batasan maksimum usia 24 tahun, untuk individu yang belum dapat memenuhi persyaratan kedewasaan secara sosial maupun psikologis dan belum menikah.
II. C. 2. Ciri-ciri Masa Remaja Madya
Periode masa remaja memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya. Monks (2001), menyatakan masa remaja merupakan periode peralihan, peralihan ini lebih dirasakan pada masa awal remaja. Masa awal remaja juga dirasakan sebagai masa perubahan, Hurlock (1980), mengemukakan perubahan-perubahan yang terjadi pada masa ini antara lain meningginya emosi yang pada masa awal remaja biasanya terjadi lebih cepat.
Masa remaja merupakan masa yang tumpang tindih dengan masa pubertas,
dimana remaja mengalami ketidakstabilan sebagai dampak dari
meledak-ledak, serta tidak berusaha untuk mengendalikan perasaannya.
Sementara remaja usia enam belas tahun, yang merupakan masa remaja madya,
sudah mulai stabil dalam menghadapi perubahan serta tekanan sosial yang
dihadapinya (Monks, dkk., 2001). Hal yang sama dikemukakan oleh Gessel
(dalam Monks, dkk., 2001), bahwa masa usia sebelas tahun lebih tegang
dibandingkan dengan usia enam belas tahunan, dimana pada usia enam belas ini
remaja sudah mulai lebih bebas dari rasa keprihatinan.
Usia enam belasan, remaja sudah memasuki tahap berpikir operasional
formal, dimana remaja sudah mampu berpikir secara sistematis mengenai hal-hal
yang abstrak serta sudah mampu menganalisis secara lebih mendalam mengenai
sesuatu hal (Hurlock, 1999). Pada usia awal remaja, remaja masih berada dalam
tahap peralihan dimana remaja lebih menunjukkan ketidakstabilannya. Namun,
pada remaja usia lima belasan, ketidakstabilan tersebut mulai menurun, sehingga
kemampuan berpikirnya sudah lebih matang dibandingkan usia sebelumnya
(Sarwono, 2006).
Piaget (dalam Satrock, 2003), menyatakan bahwa tahap operasional formal
muncul sekitar usia 11 sampai 15 tahun. Pemikiran operasional formal ini tumbuh
pada tahun-tahun remaja madya. Pada usia ini akomodasi terhadap pemikiran
operasional formal sudah mulai ditandai adanya pemantapan yang lebih lanjut.
Pemikiran operasional formal bersifat lebih abstrak dan idealitis, serta lebih
berpikir logis. Remaja usia ini mulai berpikir seperti ilmuwan, menyusun rencana
pemecahan masalah dan secara sistematis menguji cara-cara pemecahan yang