• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM PERUSAHAAN PERSYARATAN DAN PROSE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUKUM PERUSAHAAN PERSYARATAN DAN PROSE"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR PENYEBAB DAN PROSES LIKUIDASI BANK

A. PENGERTIAN LIKUIDASI BANK

Pengertian Likuidasi Bank menurut Pasal 1 angka 13 Peraturan Lembaga

Penjamin Simpanan Nomor 1/PLPS/2011 adalah tindakan penyelesaian seluruh asset

dan kewajiban bank sebagai akibat pencabutan izin usaha dan pembubaran badan

hukum bank.

Likuidasi bank merupakan tindakan penyelesaian seluruh hak dan kewajiban

bank sebagai akibat pencabutan izin usaha dan pembubaran badan hukum bank. Jadi

likuidasi bank bukanlah sekedar pencabutan izin usaha dan pembubaran badan hukum

bank, tetapi berkaitan dengan proses penyelesaian segala hak dan kewajiban dari suatu

bank yang dicabut izin usahanya. Setelah suatu bank dicabut izin usahanya, dilanjutkan

lagi dengan proses pembubaran badan hukum bank yang bersangkutan, dan seterusnya

dilakukan proses pemberesan berupa penyelesaian seluruh hak dan kewajiban (piutang

dan utang) bank sebagai akibat dari pencabutan izin usaha dan pembubaran badan

hukum bank.1

Likuidasi adalah kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban

hutang-hutangnya, dapat membayar kembali semua deposannya, serta dapat memenuhi

permintaan kredit yang diajukan para debitur tanpa terjadi penangguhan.” Menurut

pengertian ini bank dikatakan likuid apabila:2

1. Bank tersebut memiliki cash assets sebesar kebutuhan yang akan digunakan

1 Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman , Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 532

2 Hotma Sautma Ronny, 2005, Hubungan Bank Dengan Nasabah Produk Tabungan dan Deposito: Suatu Tinjauan Hukum Terhadap Perlindungan Deposan di Indonesia, CitraAditya Bandung, Hal. 7

Nama : Mohamad Deni Silmi

(2)

untuk memenuhi likuiditasnya;

2. Bank tersebut memiliki cash assets yang lebih kecil dari yang tersebut diatas,

tetapi yang bersangkutan juga memiliki asset lainnya (khususnya surat-surat berharga) yang dapat dicairkan sewaktu-waktu tanpa mengalami penurunan nilai

pasarnya;

3. Bank tersebut mempunyai kemampuan untuk menciptakan cash assets baru melalui berbagai bentuk hutang.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan tidak memberikan rumusan pengertian dari

istilah Likuidasi Bank sebagaimana yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 37 ayat (2)

dan ayat (3). Namun jika diteliti secara cermat ketentuan Pasal 37 ayat (2) dan ayat (3)

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan maka pengertian dari Likuidasi Bank ini tidak

terbatas pada pencabutan izin usaha bank saja, tetapi lebih luas lagi, termasuk tindakan

(3)

B. DASAR HUKUM LIKUIDASI BANK

Ketentuan peraturan perundang-undangan yang merupakan dasar hukum yang

dipakai sebagai landasan bagi likuidasi suatu bank yang bermasalah dalam sistem

perekonomian nasional adalah sebagai berikut:

1. Ketentuan likuidasi menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang

Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, yaitu

terdapat dalam:

a. Pasal 37 ayat (1) menyatakan bahwa “Dalam hal suatu bank mengalami

kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank Indonesia

dapat melakukan tindakan agar:

1) pemegang saham menambah modal;

2) pemegang saham mengganti .Dewan Komisaris dan atau Direksi bank;

3) bank menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip

Syariah yang macet dan memperhitungkan kerugian bank dengan

modalnya;

4) bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;

5) bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh

kewajiban;

6) bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank

(4)

7) bank menjual sebagian atau seluruh harta dan atau kewajiban bank

kepada bank atau pihak lain.

b. Pasal 37 ayat (2) yang menyatakan bahwa dalam hal suatu bank mengalami

kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, apabila:

1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum cukup untuk

mengatasi kesulitan yang dihadapi bank, dan/atau,

2) Menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat

membahayakan sistem perbankan, pimpinan Bank Indonesia dapat

mencabut izin usaha bank dan memerintahkan direksi bank untuk segera

menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham guna membubarkan

badan hukum bank dan membentuk tim likuidasi.

c. Pasal 37 ayat (3) yang menyatakan bahwa dalam hal direksi bank tidak

menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud

dalam ayat (2), Pimpinan Bank Indonesia meminta kepada pengadilan untuk

mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaran badan hukum bank,

penunjukan tim likuidasi, dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Ketentuan likuidasi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999,

tanggal 3 Mei 1999 tentang Pencabutan izin usaha, Pembubaran dan Likuidasi

Bank, Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut, pencabutan izin usaha bank

(5)

a. Pasal 3 ayat (2) huruf b dan Pasal 4 ayat (1) Pasal 3 ayat (2) huruf b

menyatakan bahwa apabila :

1) tindakan sebagaimana dimaksud ayat (1) belum cukup untuk mengatasi

kesulitan yang dihadapi bank, dan/atau,

2) menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat

membahayakan sistem perbankan, Pimpinan Bank Indonesia dapat

mencabut izin usaha bank dan memerintahkan direksi bank untuk segera

menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham. Pasal 4 ayat (1)

menyatakan bahwa pencabutan izin usaha bank dilakukan oleh Pimpinan

Bank Indonesia.

b. Pasal 25 ayat (1) menyatakan bahwa pelaksanaan likuidasi bank oleh Bank

Indonesia ditetapkan dan diserahkan kepada Badan Khusus yang bersifat

sementara dalam rangka penyehatan perbankan berdasarkan ketentuan Pasal

37 A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, tetap mengikuti

ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

c. Pasal 26 ayat (1) menyatakan bahwa dalam hal para pemegang saham akan

membubarkan badan hukum bank atas keinginan sendiri, pembubaran

tersebut hanya dapat dilakukan setelah pencabutan izin usaha oleh Bank

(6)

3. Ketentuan likuidasi menurut Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor

32/53/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang Tata Cara Pencabutan Izin Usaha,

Pembubaran dan Likuidasi Bank umum dan Surat Keputusan Direksi Bank

Indonesia Nomor 32/54/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang Tata Cara

Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank Perkreditan Rakyat:

a. Pasal 2 dari kedua Surat Keputusan tersebut menyatakan bahwa pencabutan

izin usaha Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dilakukan oleh

Direksi Bank Indonesia apabila:

1) Tindakan penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 belum cukup untuk mengatasi

kesulitan yang dihadapi Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat;

dan/atau

2) Menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu Bank Umum atau Bank

Perkreditan Rakyat dapat membahayakan sistem perbankan; atau

3) Terdapat permintaan dari pemilik atau pemegang saham Bank Umum

atau Bank Perkreditan Rakyat.

b. Pasal 3 dari surat keputusan tersebut di atas menyebutkan bahwa pencabutan

izin usaha kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri

dilakukan oleh direksi Bank Indonesia berdasarkan alasan tindakan

(7)

atau membahayakan sistem perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

huruf a atau huruf b:

1) Terdapat permintaan kantor pusat bank yang berkedudukan di luar

negeri; atau

2) Izin usaha kantor pusat bank yang berkedudukan di luar negeri dicabut

dan/atau kantor pusat dimaksud dilikuidasi oleh otoritas yang

berwenang di negara setempat.

Dalam perkembangannya, sebagai tindak lanjut pengaturan mengenai

penjaminan dana masyarakat khususnya dalam rangka mewujudkan apa yang telah

diamanatkan dalam ketentuan Pasal 37 B Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,

yaitu tentang perlunya pembentukan Lembaga Penjaminan Simpanan, pada tahun 2004

pemerintah membentuk suatu badan khusus yang disebut Lembaga Penjamin

Simpanan. Dengan telah dibentuknya Lembaga Penjamin Simpanan tersebut, ketentuan

mengenai likuidasi diatur pula di dalam :

1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Sentral sebagaimana telah

diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2008 sebagaimana telah ditetapkan dengan Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2009;

2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan

(8)

Undang Nomor 3 Tahun 2008 sebagaimana telah ditetapkan dengan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009;

3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/9/PBI/2004 tentang Tindak Lanjut

Pengawasan dan Penetapan Status Bank sebagaimana telah diubah dengan

Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/38/PBI/2005;

4. Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 2/PLPS/2005 tentang Likuidasi

Bank, yang kemudian diganti dan disempurnakan dengan Peraturan Lembaga

Penjamin Simpanan Nomor 2/PLPS/2008 tentang Likuidasi Bank;

Walaupun telah terbentuk Lembaga Penjamin Simpanan, dalam ketentuan Pasal

98 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan,

menyebutkan bahwa proses likuidasi yang dimulai sebelum berlakunya

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, tetap

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan mengenai likuidasi bank sebagaimana diatur

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha,

Pembubaran dan Likuidasi Bank. Selain memperhatikan peraturan khusus dalam

pencabutan izin usaha, pembubaran dan likuidasi bank dalam proses tersebut, maka

sepanjang tidak diatur secara khusus dalam ketentuan perbankan perlu juga

memperhatikan peraturan yang bersifat umum seperti:

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang terakhir

diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, bagi pembubaran bank

(9)

2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian, bagi

pembubaran bank yang berbentuk hukum koperasi;

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah, bagi

(10)

C. FAKTOR PENYEBAB LIKUIDASI BANK

Pada saat suatu perusahaan mengalami resiko likuidasi ada beberapa sebab yang

melatarbelakanginya, yaitu:

1. Utang perusahaan yang berada pada posisi extreme leverage. Extreme leverage

artinya utang perusahaan sudah berada dalam kategori yang membahayakan

perusahaan itu sendiri.

2. Jumlah utang dan berbagai tagihan yang datang disaat jatuh tempo sudah begitu

besar, baik utang di perbankan,leasing, mitra bisnis, utang dagang,termasuk

utang dalam bentuk bunga obligasiyang sudah jauh tempo yang secepatnya

dibayar, dan berbagai bentuk tagihan lainnya.

3. Perusahaan telah melakukan kebijakan strategi yang salah sehingga memberi

pengaruh pada kerugian yang bersifat jangka pendek dan jangka panjang.

4. Kepemilikan aset perusahaan tidak lagi mencukupi untuk menstabilkan

perusahaan, yaitu sudah terlalu banyak asset yang dijual sehingga jika asset

yang tersisa tersebut masih ingin dijual maka itu juga tidak mencukupi untuk

menstabilkan perusahaan.

5. Perusahaan sering melakukan kebijakan gali lubang dan tutup lubang pada

kewajiban atau menyelesaikan persoalan likuidasi di pakai dari dana untuk

(11)

membayar utang yang sudah jatuh tempo namun dipakai untuk membayar gaji

karyawan, listrik, dan sejenisnya yang termasuk kategori short term liquidity.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/2/PBI/2013

tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum Konvensional

terdapat 3 kategori bank bermasalah yaitu bank yang masuk dalam kategori bank

dalam pengawasan normal, bank dalam pengawasan intensif dan bank dalam

pengawasan khusus. Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor

15/2/PBI/2013 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum

Konvensional menyatakan bahwa “Dalam hal bank dalam pengawasan normal namun

dinilai memiliki permasalahan yang signifikan maka direksi, dewan komisaris,

dan/atau pemegang saham pengendali Bank wajib menyampaikan rencana tindak

(action plan) kepada Bank Indonesia.”

Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/2/PBI/2013

tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum Konvensional

yang mengatur mengenai kategori bank dalam pengawasan intensif menyatakan bahwa

“Bank dinilai memiliki potensi kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika memenuhi satu atau lebih kriteria sebagai

berikut:

1. rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) sama dengan atau lebih

besar dari 8% (delapan persen) namun kurang dari rasio KPMM sesuai profil

(12)

2. rasio modal inti (tier 1) kurang dari persentase tertentu yang ditetapkan oleh

Bank Indonesia;

3. rasio Giro Wajib Minimum (GWM) dalam rupiah sama dengan atau lebih besar

dari 5% (lima persen) namun kurang dari rasio yang ditetapkan untuk GWM

rupiah yang wajib dipenuhi oleh Bank, dan berdasarkan penilaian Bank

Indonesia, Bank memiliki permasalahan likuiditas mendasar;

4. rasio kredit bermasalah (non performing loan) secara neto lebih dari 5% (lima persen) dari total kredit;

5. tingkat kesehatan Bank dengan peringkat komposit 4 (empat)atau 5 (lima);

6. tingkat kesehatan Bank dengan peringkat komposit 3 (tiga) dan GoodCorporate Governance (GCG) dengan peringkat 4 (empat).

Kemudian dalam Pasal 14 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor

15/2/PBI/2013 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum

Konvensional yang mengatur kategori bank dalam pengawasan khusus menyatakan

bahwa Bank dinilai mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila memenuhi satu atau lebih kriteria sebagai

berikut:

1. rasio KPMM kurang dari 8% (delapan persen);

2. rasio GWM dalam rupiah kurang dari 5% (lima persen) dan berdasarkan

penilaian Bank Indonesia:

a. Bank mengalami permasalahan likuiditas mendasar; atau

b. Bank mengalami perkembangan yang memburuk dalam waktu singkat. Selain itu dalam Pasal Pasal 17 ayat (1) Bank dalam pengawasan khusus wajib

(13)

minimum dan/atau kewajiban pemenuhan giro wajib minimum sesuai dengan

ketentuan yang berlaku.

Dalam ketentuan Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

menetapkan 2 (dua) alasan hukum yang memungkinkan suatu bank dicabut izin

usahanya oleh Bank Indonesia, yaitu apabila menurut penilaian Bank Indonesia: 1. Keadaan suatu bank membahayakan sistem perbankan,; atau

2. Suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya

dan tindakan untuk mengatasinya belum cukup untuk mengatasi kesulitan yang

dihadapi bank.

Seperti diketahui Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha suatu

bank berdasarkan alasan apabila menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank

dapat membahayakan sistem perbankan, sebagaimana kriterianya dijelaskan dalam

penjelasan atas Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

sebagai berikut:

1. Kriteria yang membahayakan sistem perbankan adalah apabila tingkat kesulitan

yang dialami dalam melakukan kegiatan usaha, suatu bank tidak mampu

memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada bank lain, sehingga pada gilirannya

akan menimbulkan dampak berantai kepada bank-bank lainnya (Penjelasan atas

Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan).

2. Suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya

adalah apabila berdasarkan penilaian dari Bank Indonesia, kondisi usaha bank

semakin memburuk, antara lain ditandai dengan menurunnya permodalan,

(14)

dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian (Prudential banking) dan asas

perbankan yang sehat. (Penjelasan atas Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor

10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992

tentang Perbankan).

Selain itu, salah satu cara untuk mengukur kesehatan suatu lembaga perbankan

adalah dengan mempergunakan metode CAMEL. CAMEL atau Capital Assets

Management Earning Liquidity merupakan salah satu metode penilaian kesehatan

perbankan. Metode CAMEL berisikan langkah-langkah yang dimulai dengan

menghitung besarnya masing-masing rasio pada komponen-komponen berikut:3

1. C : Capital (Untuk Rasio Kecukupan Modal) 2. A : Assets (Untuk rasio-rasio kualitas aktiva)

3. M : Management (Untuk menilai kualitas manajemen) 4. E : Earning (Untuk rasio-rasio rentabilitas bank) 5. L : Liquidity (Untuk rasio-rasio likuiditas bank).

Dalam Pasal 29 ayat (2) Undag-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan

menyatakan bahwa “Bank Indonesia menetapkan ketentuan tentang kesehatan bank

dengan memperhatikan aspek permodalan, kualitas asset, kuaitas manajemen, rentabilitas, likuiditas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha

bank.”

Penilaian kesehatan bank dinilai berdasarkan pada peringkatnya, dan setiap

peringkat itu menjelaskan posisi setiap bank. Termasuk ketika sebuah bank dari posisi

tidak sehat menjadi sehat menjadi sehat maka disini ada acuannya yang harus

dipahami. Dalam tata cara penilaian tingkat kesehatan bank umum (Surat Keputusan

Direksi Bank Indonesia No. 30/11/kep/Dir Tanggal 30 April 1997) Direksi Bank

Indonesia di Pasal 6 disebutkan, yaitu:

(15)

Predikat tingkat kesehatan bank yng sehat atau cukup sehat atau kurang sehat akan

diturunkan menjadi sehat apabila terdapat;

1. Perselisihan intern yang diperkirakan akan menimbulkan kesulitan dalam bank

yang bersangkutan;

2. Campur tangan pihak-pihak di luar bank dalm kepengurusan (manajemen) bank,

termasuk di dalamnya kerja sama yang tidak wajar yang mengakibatkan salah

satu atau beberapa kantornya berdiri sendiri;

3. “window dressing” dalam pembukuan dan atau laporan bank yang secara

materiil dapat berpengaruh terhadap kadaan keuangan bank sehingga

mengakibatkan penilaian yang keliru terhadap bank;

4. Praktik “bank dalam bank” atau melakukan usaha bank di luar pembukuan

bank;

5. Kesulitan keuangan yang mengakibatkan penghentian sementara atau

pengunduran diri dari keikutsertaan dalam kliring; atau

6. Praktik perbankan lain yang dapat membayangkan kelangsungan usaha bank

dan/atau menurunkan kesehatan bank.

D. PROSES LIKUIDASI BANK

Saat terjadinya krisis perbankan di Indonesia pada pertengahan tahun 1997,

Undang-undang perbankan yang berlaku pada saat itu adalah Undang-Undang Nomor

(16)

pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia. Dalam rangka

melaksanakan tugas pembinaan dan pengawasan ini, Bank Indonesia menetapkan

langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap bank yang

mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya sebelum dilakukan

pencabutan izin usahanya dan/atau tindakan likuidasi. Dalam hal ini, Bank Indonesia

melaporkan suatu bank yang diperkirakan mengalami kesulitan yang membahayakan

kelangsungan usahanya kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan langkah-langkah

penyelamatan yang dianggap perlu atau pencabutan izin usaha bank.

Selain itu, terkait dengan pelaksanaan fungsi pembinaan dan pengawasan bank

tersebut, dalam hal suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan

kelangsungan usahanya, Bank Indonesia dapat mengusulkan kepada Menteri Keuangan

untuk melakukan pencabutan izin usaha bank yang bersangkutan. Menghadapi krisis

tersebut, salah satu kebijakan yang akhirnya di ambil oleh Pemerintah adalah mencabut

izin usaha dan melikuidasi 16 bank swasta. Landasan hukum yang digunakan oleh

Pemerintah dalam pencabutan izin usaha dan likuidasi bank pada saat itu adalah

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Dan peraturan pelaksanaan

dari ketentuan likuidasi dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 adalah Peraturan

Pemerintah Nomor 68 Tahun 1996 Tentang Ketentuan Tata Cara Pencabutan Izin

Usaha, Pembubaran Dan Likuidasi Bank. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1996

tersebut kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1997 tentang

Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1996 Tentang Ketentuan Dan

(17)

Alasan likuidasi (pembubaran) yang terdapat dalam Undang-Undang Perbankan

tersebut diatas sangatlah erat kaitannya dengan kepentingan umum. Likuidasi dalam

hal ini merupakan sanksi administratif/publik terhadap bank, sebagai akibat

pelanggaran yang dilakukan oleh perseroan terhadap Undang-Undang Perbankan

(Pasal 29-36), yang berkaitan dengan kepentingan umum. Pelanggaran itu dilakukan

sedemikian rupa sehingga membahayakan bagi kelangsungan usahanya, dan

membahayakan sistem perbankan. Mencermati ketentuan Pasal 37 Undang-Undang

Perbankan jo. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 jo. SK Direksi BI No.

32/53/KEP/DIR tersebut, maka likuidasi bank dapat dipilah dalam 2 (dua) besaran

pokok:

1. Pertama, likuidasi bank karena upaya penyelamatan tidak cukup mengatasi

masalah atau bank tersebut dinilai oleh Bank Indonesia membahayakan sistem

perbankan, dimana hal ini sering disebut juga dengan compulsory liquidation.

Pada likuidasi ini, Otoritas Pengawas Bank (Bank Indonesia) mencabut izin

usaha bank menggunakan kekuatan Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang

Perbankan.

2. Kedua, likuidasi bank karena adanya permintaan sendiri dari pemegang saham

atau pemilik bank, termasuk dalam kategori ini adanya permintaan dari kantor

pusat bank di luar negeri yang akan menutup kantor cabangnya di Indonesia

(self liquidation atau sering disebut juga dengan voluntary liquidation). Secara

proses, likuidasi jenis ini relatif sederhana karena memang dikehendaki sendiri

(18)

unsur “dipaksa” oleh otoritas sebagaimana tipe pertama karena keadaan yang

memburuk dari bank yang bersangkutan. Sebabnya dapat beraneka ragam,

antara lain mungkin dari segi bisnis oleh pemilik dipandang tidak prospektif

lagi. Hal yang paling harus dicermati oleh otoritas pada proses self liquidation

adalah seluruh kewajiban kepada kreditur termasuk nasabah penyimpan dana

harus terbayarkan secara lunas, tidak boleh ada yang dirugikan guna

melindungi kepentingan masyarakat, utamanya penyimpan dana. Peraturan

Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 memungkinkan proses self liquidation ini,

namun harus mendapat izin dari Bank Indonesia. Terkait hal tersebut, di dalam

Pasal 26 Peraturan Pemerintah dimaksud mengatur:

a. Dalam hal pada pemegang saham akan membubarkan badan hukum bank

atas keinginannya sendiri, pembubaran tersebut hanya dapat dilakukan

setelah pencabutan izin usaha oleh Bank Indonesia.

b. Pencabutan izin usaha hanya dapat dilakukan oleh Bank Indonesia apabila

bank yang bersangkutan telah menyelesaikan kewajibannya kepada seluruh

kreditor.

c. Pembubaran badan hukum bank wajib didaftarkan dalam Berita Negara

Republik Indonesia.

Dalam hal ini, bank yang bersangkutan wajib terlebih dahulu menyelesaikan

semua kewajiban kepada seluruh kreditur termasuk nasabah penyimpan dana

(19)

Dari uraian di atas, memberi suatu pengertian bahwa likuidasi yang terjadi pada

suatu bank tidak sama halnya dengan likuidasi perusahaan, dalam likuidasi perusahaan

biasanya yang melakukan likuidasi didasarkan pada usul kreditur yang menyatakan

perusahaan itu pailit maupun oleh kehendak para pemegang saham. Sedangkan dalam

likuidasi bank lebih bersifat dipaksakan, Bank Indonesia yang menilai

ketidakmampuan bank berhak untuk menjaga keselamatan usaha perbankan nasional

dengan jalan melikuidasi bank-bank yang tidak dapat disehatkan lagi.

Tindakan pencabutan izin usaha bank merupakan suatu langkah akhir dari usaha

untuk menyehatkan bank yang terkena kesulitan tersebut. Sebelum dilakukan tindakan

pencabutan izin usaha bank, Bank Indonesia telah menempuh tindakantindakan atau

langkah-langkah permulaan. Usaha penyelamatan bank melalui tindakan-tindakan

permulaan tersebut merupakan salah satu bentuk dari tugas Bank Indonesia sebagai

Bank Sentral dan pengawas serta pembina bank-bank di Indonesia.

Pelaksanaan pengawasan bank oleh Bank Indonesia dilakukan sesuai dengan

peraturan perbankan yang berlaku. Berdasarkan ketentuan pasal 37 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1992 Tentang Perbankan, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan-tindakan

permulaan baik secara langsung maupun tidak langsung, juga tidak dapat dilakukan

secara alternatif maupun kumulatif sesuai dengan kondisi bank yang bersangkutan,

yang meliputi langkah-langkah saran dan langkah-langkah yang lebih aktif, berupa :

1. Langkah-langkah saran, yang ditujukan kepada pemegang saham dan pengurus,

(20)

a. pemegang saham menambah modal;

b. pemegang saham mengganti dewan komisaris dan/atau direksi bank;

c. bank menghapusbukukan kredit yang macet, dan memperhitungkan kerugian

bank dengan modalnya;

d. bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;

e. bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban.

2. Langkah aktif dengan tindakan lain yang sesuai dengan peraturan

perundangundangan yang berlaku, seperti :

a. menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak

lain;

b. menjual sebagian harta atau seluruh harta dan atau kewajiban bank kepadabank

lain

Khusus terkait dengan kewenangan melakukan pencabutan izin usaha suatu

bank, dalam perkembangan sistem perbankan Indonesia, cakupan dan ruang lingkup

kewenangan serta peranan Bank Indonesia mengalami dua fase yang berbeda. Tahap

pertama, yaitu pada saat sebelum terjadinya krisis perbankan, kewenangan yang

dimiliki oleh Bank Indonesia dalam rangka pencabutan izin suatu bank hanya

merupakan kewenangan relatif karena kewenangan Bank Indonesia hanya terbatas

melaporkan suatu bank yang diperkirakan mengalami kesulitan yang membahayakan

kelangsungan usahanya kepada Menteri Keuangan dan mengusulkan kepada Menteri

(21)

kedua, yaitu sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

Amandemen Undang-Undang No. 7 Tahun 1992, pencabutan izin usaha bank

sepenuhnya menjadi kewenangan Bank Indonesia.

Pemberian kewenangan yang penuh kepada Bank Indonesia tersebut, selain lebih

memberikan kepastian hukum sebagai alternatif solusi yang cukup efektif dalam

penanganan bank-bank bermasalah yang tidak mungkin untuk dipertahankan lagi

keberadaannya; juga mencegah terjadinya duplikasi dan tumpang tindih pengambilan

kebijakan, secara khusus dalam konteks pencabutan izin dan likuidasi bank-bank milik

pemerintah, dapat meminimalkan terjadinya conflict of interest.

Tindakan-tindakan permulaan Bank Indonesia tersebut diatur dalam Surat

Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/76/KEP/DIR tertanggal 3 Oktober 1995

tentang Tindakan Penguasaan Sementara Terhadap Bank oleh Bank Indonesia, dan

diatur pula dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin

Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank. Tindakan Bank Indonesia tidak dimaksudkan

untuk dan tidak dapat diartikan sebagai pengambilalihan tanggung jawab

perbuatan-perbuatan menyimpang atau pelanggaran yang dilakukan oleh dewan komisaris dan

atau direksi lama dan juga bukan berarti mengambil alih hak dan kewajiban bank.

Menurut Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo.

UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998, apabila tindakan-tindakan permulaan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum cukup untuk mengatasi kesulitan yang

dihadapi oleh bank, dan atau menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank

(22)

usaha bank dan memerintahkan Direksi Bank untuk segera menyelenggarakan Rapat

Umum Pemegang Saham guna membubarkan badan hukum bank dan membentuk tim

likuidasi. Pasal 37 ayat (3) menyatakan bahwa dalam hal Direksi bank tidak

menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud dalam ayat

(2), Pimpinan Bank Indonesia meminta kepada pengadilan untuk mengeluarkan

penetapan yang berisi pembubaran badan hukum bank, penunjukan tim likuidasi, dan

perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Ketentuan senada diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor

25 Tahun 1999 Tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank. Pasal

5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 menyatakan bahwa Direksi

Bank yang dicabut izin usahanya wajib menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang

Saham untuk memutuskan pembubaran badan hukum bank dan pembentukan Tim

Likuidasi, selambat-lambatnya dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal

pencabutan izin usaha. Adapun calon dari Tim Likuidasi wajib terlebih dahulu

memperoleh persetujuan Bank Indonesia. Kemudian pasal 6 Peraturan Pemerintah

Nomor 25 Tahun 1999 menyatakan bahwa apabila Rapat Umum Pemegang Saham

tidak dapat diselenggarakan dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal

pencabutan izin usaha, atau dapat diselenggarakan namun tidak berhasil memutuskan

pembubaran badan hukum bank dan pembentukan Tim Likuidasi, Pimpinan Bank

Indonesia meminta kepada Pengadilan untuk mengeluarkan penetapan yang berisi:

(23)

2. penunjukan Tim Likuidasi;

3. perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini;

4. perintah agar Tim Likuidasi mempertanggungjawabkan pelaksanaan likuidasi

kepada Bank Indonesia.

Dari ketentuan Pasal 37 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992

jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 serta Pasal 5 dan Pasal 6 Peraturan

Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tersebut, dapat dikemukakan bahwa pembubaran

badan hukum bank terjadi setelah adanya pencabutan izin usaha bank tersebut oleh

Pimpinan Bank Indonesia, dan likuidasi bank yang dicabut izin usahanya dilakukan

setelah badan hukum bank dibubarkan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa likuidasi

suatu bank merupakan kelanjutan dari pelaksanaan pencabutan izin usaha dari bank

tersebut. Likuidasi bank juga bisa dikatakan sebagai akibat dari adanya pencabutan izin

usaha bank yang karena salah satu atau keduanya dari alasan yang tercantum dalam

Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10

Tahun 1998 telah terpenuhi.

Likuidasi bank sesuai dengan Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun

1999 dilakukan dengan cara pencairan harta dan atau penagihan piutang kepada para

debitur, diikuti dengan pembayaran kewajiban bank kepada para kreditur dari hasil

pencairan dan atau penagihan tersebut atau pengalihan seluruh harta dan kewajiban

(24)

Pencairan harta kekayaan BDL dapat dilakukan dengan penjualan di bawah

tangan atau lelang biasa tanpa melalui Kantor Lelang Negara. Hal ini dimaksudkan

agar dapat diperoleh harga jual yang relatif baik sesuai dengan harga yang wajar.

Setelah dilakukannya pencairan harta kekayaan BDL, hasil pencairan disetorkan ke

bank yang ditunjuk oleh Tim Likuidasi dengan sepengetahuan Bank Indonesia. Hasil

pencairan aset bank inilah yang digunakan untuk membayar kewajiban Bank Dalam

Likuidasi kepada para nasabah dan kreditur. Pelaksana dari likuidasi adalah Tim

Likuidasi. Dengan telah dibentuknya Tim Likuidasi sesuai dengan ketentuan yang

berlaku, maka seluruh beban tanggung jawab atas kepengurusan bank dalam likuidasi

berada di tangan Tim Likuidasi.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999, Tim likuidasi

mempunyai kewenangan:

1. Mewakili bank dalam likuidasi dalam segala hal yang berkaitan dengan

penyelesaian hak dan kewajiban bank tersebut (Pasal 19 ayat (3)

2. Dapat meminta pembatalan kepada pengadilan mengenai segala perbuatan hukum

yang merugikan harta bank apabila perbuatan hukum tersebut dilakukan dalam

kurun waktu 1 (satu) tahun sebelum pencabutan izin usaha (Pasal 14 ayat (1).

Sedangkan yang menjadi tugas atau kewajiban dari Tim Likuidasi di antaranya adalah :

1. Mendaftarkan dalam Daftar Perusahaan dan di Panitera Pengadilan Negeri yang

meliputi tempat kedudukan bank yang bersangkutan mengenai pembubaran badan

(25)

Republik Indonesia dan 2 (dua) surat kabar harian yang mempunyai peredaran luas

dan diberitahukan kepada instansi yang berwenang dalam jangka waktu 7 (tujuh)

hari terhitung sejak tanggal pembentukan Tim Likuidasi;

2. Melakukan kepengurusan bank;

3. Melakukan inventarisasi kekayaan dan kewajiban bank dalam likuidasi serta

bertanggung jawab terhadap kekayaan bank tersebut;

4. Melakukan likuidasi aset melalui pencairan harta dan atau penagihan piutang

kepada para debitur;

5. Membuat perencanaan serta melakukan pembayaran ataupun pemenuhan

kewajiban bank kepada kreditur maupun pihak ketiga lainnya dari hasil pencairan

dan atau penagihan piutang bank tersebut;

6. Meminta akuntan publik independen untuk melakukan audit atas neraca penutupan

pertanggal pencabutan izin usaha yang belum diaudit;

7. Menyusun neraca verifikasi;

8. Melakukan pengalihan seluruh harta dan kewajiban bank kepada pihak lain apabila

disetujui oleh Bank Indonesia;

9. Menyusun Neraca Akhir Likuidasi;

10. Membagikan sisa harta kepada para pemegang saham;

11. Menitipkan bagian yang belum diambil oleh kreditur kepada bank yang disetujui

(26)

12. Menyelenggarakan dan melaporkan Neraca Akhir Likuidasi kepada Bank

Indonesia serta mempertanggungjawabkannya kepada Rapat Umum Pemegang

Saham

13. Mengumumkan berakhirnya likuidasi dan menempatkannya pada Berita Negara

Republik Indonesia, memberitahukan kepada instansi berwenang, dan

memberitahukan kepada Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag)

agar nama badan hukum bank tersebut dicoret dari Daftar Perusahaan apabila

Neraca Akhir Likuidasi telah disetujui oleh Bank Indonesia dan

pertanggungjawabannya telah diterima oleh Rapat Umum Pemegang Saham;

14. Melakukan tugas-tugas lain yang dianggap perlu dalam pelaksanaan likuidasi

bank;

15. Membubarkan Tim Likuidasi apabila telah selesai menjalankan tugasnya.

Selain kewenangan dan tugas/kewajiban dari Tim Likuidasi, terdapat juga

larangan bagi mereka, yaitu di dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Tim

Likuidasi dilarang memperoleh keuntungan untuk diri sendiri, apabila melanggar

larangan tersebut mereka secara pribadi bertanggung jawab atas perbuatannya tersebut

(Pasal 13) Untuk susunan dari anggota Tim Likuidasi terdiri atas:

1. Pihak lain yang bukan anggota direksi, dewan komisaris atau pemegang saham;

atau

2. Campuran antara pihak lain yang bukan anggota direksi, dewan komisaris atau

(27)

pemegang saham sepanjang jumlah anggota direksi, dewan komisaris atau

pemegang saham tersebut tidak melebihi 1/3 (satu pertiga) dari jumlah anggota

Tim Likuidasi.

Pihak lain yang dapat ditunjuk sebagai anggota Tim Likuidasi dapat merupakan

akuntan, ahli hukum, ahli komputer dan atau ahli di bidang lainnya yang erat kaitannya

dengan pelaksanaan likuidasi bank. Pembatasan jumlah anggota direksi, dewan

komisaris dan pemegang saham yang boleh menjadi anggota Tim Likuidasi,

dimaksudkan untuk menjaga obyektifitas dalam pelaksanaan likuidasi. Sejak tanggal

pencabutan izin usaha, direksi dan dewan komisaris dilarang melakukan perbuatan

hukum berkaitan dengan aset dan kewajiban bank, kecuali atas persetujuan bank dan

atau penugasan Bank Indonesia dan untuk:

1. pembayaran gaji karyawan yang terutang;

2. pembayaran biaya kantor;

3. pembayaran kewajiban bank kepada nasabah penyimpan dana dengan

menggunakan dana lembaga pinjaman simpanan.

Sementara untuk direksi dan dewan komisaris BDL, sejak terbentuknya Tim

Likuidasi menjadi non aktif, akan tetapi mempunyai kewajiban untuk setiap saat

membantu memberikan segala data dan informasi yang diperlukan oleh Tim Likuidasi.

Dan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Tim Likuidasi diawasi oleh Bank

Indonesia selaku otoritas pengawas perbankan. Bank Indonesia mempunyai

(28)

memberhentikan dan mengganti anggota Tim Likuidasi. Dan sebelum likuidasi selesai,

anggota direksi dan anggota dewan komisaris bank yang bersangkutan tidak

diperkenankan mengundurkan diri, kecuali dengan persetujuan Bank Indonesia dan

dilarang melakukan perbuatan hukum yang berkaitan dengan aset dan kewajiban bank,

kecuali atas persetujuan dan atau penugasan dari Bank Indonesia.

Dalam rangka memberi kepastian hukum mengenai kewajiban bank dan

kejelasan tanggung jawab Tim Likuidasi, maka ditetapkan bahwa pelaksanaan likuidasi

bank wajib diselesaikan dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) tahun terhitung

sejak tanggal dibentuknya tim likuidasi. Dalam hal likuidasi bank tidak dapat

diselesaikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, penjualan harta bank dalam

likuidasi dilakukan secara lelang dalam waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak

berakhirnya jangka waktu likuidasi tersebut. Mengenai status badan hukum bank yang

dilikuidasi hapus sejak tanggal pengumuman berakhirnya likuidasi dalam Berita

Negara Republik Indonesia.

Pengaturan mengenai pencabutan izin usaha, pembubaran dan likuidasi bank

menganut beberapa prinsip:4

1. Bersifat lex specialis, Undang-Undang Perbankan yang mendasari segala

ketentuan tentang perbankan, tidak membahas mengenai pencabutan izin usaha,

pembubaran dan likuidasi bank secara khusus. Hal ini menyebabkan perlunya

pengaturan mengenai pencabutan izin usaha, pembubaran dan likuidasi bank

secara khusus.

(29)

2. Memperkuat kedudukan nasabah penyimpan dana sebagai kreditur Usaha bank

amat terkait dengan masyarakat, terutama dengan dana masyarakat yang menjadi

penyimpan dana. Karena itu, dalam hal dilakukannya pencabutan izin usaha yang

diikuti dengan likuidasi pada suatu bank menyebabkan kewajiban pembayaran

terhadap nasabah penyimpan dana lebih diutamakan dibanding kreditur-kreditur

lainnya. Namun tanpa mengabaikan kewajiban kepada kreditur-kreditur yang

memiliki hak istimewa berdasarkan peraturan perundang-udangan yang berlaku

seperti kreditur dengan hak tanggungan.

3. Pencabutan Izin Usaha dan Likuidasi merupakan usaha terakhir Pencabutan izin

usaha, pembubaran dan likuidasi bank dapat mempengaruhi kepercayaan

masyarakat pada perbankan. Oleh karena itu, sebelum melakukan pencabutan izin

usaha, pembubaran dan likuidasi terhadap bank, maka Bank Indonesia terlebih

dahulu akan melakukan upaya-upaya penyelamatan terhadap bank tersebut. Akan

tetapi, jika upaya-upaya penyelamatan yang dilakukan ternyata tidak dapat

mengatasi masalah yang dihadapi bank tersebut, dan keadaan bank tersebut

membahayakan sistem perbankan maka Bank Indonesia dapat melakukan

pencabutan izin usaha, pembubaran dan likuidasi terhadap bank tersebut.

4. Status, Kewajiban dan Tanggung Jawab Direksi, Dewan Komisaris dan Pemegang

Saham. Dengan dibentuknya tim likuidasi, status direksi dan dewan komisaris

menjadi non aktif, dan direksi serta komisaris berkewajiban untuk setiap saat

membantu memberikan segala data dan informasi yang dapat diperlukan oleh Tim

(30)

komisaris bank yang bersangkutan tidak diperkenankan untuk mengundurkan diri,

kecuali dengan persetujuan Bank Indonesia. Dalam hal harta kekayaan bank dalam

likuidasi tidak cukup untuk memenuhi seluruh kewajiban bank dalam likuidasi

tersebut maka kekurangannya wajib dipenuhi oleh anggota direksi dan anggota

dewan komisaris serta pemegang saham yang turut serta menjadi penyebab

kegagalan bank, dalam hal ini merupakan tanggung jawab yang harus dilakukan

oleh Direksi, Dewan Komisaris dan pemegang saham.

5. Pengawasan Likuidasi dilakukan oleh Bank Indonesia. Dengan demikian selain

pelaksanaan likuidasi dilakukan oleh lembaga yang benar-benar memahami

tentang kegiatan usaha perbankan juga adanya kesinambungan pengawasan dari

lahirnya suatu bank tersebut sampai pembubaran dan likuidasi bank.

Status hukum badan yang dilikuidasi hapus sejak tanggal pengumuman

berakhirnya likuidasi dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana hal ini di

atur pada Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999. Mengacu pada

ketentuan ini, maka status hukum dari BDL adalah masih tetap berbadan hukum hingga

berakhirnya likuidasi. Namun meskipun masih berbadan hukum, akan tetapi BDL

Referensi

Dokumen terkait

 Today, Government bond prices on the secondary market are likely to weaken as negative sentiment from Indonesia Balance of Trade, which projected to be deficit again.. 

Perusahaan Anda akan membayar bonus dengan jumlah yang sama dengan jumlah saham bonus yang pada awalnya diberikan dikalikan dengan harga pembelian dalam mata uang € atas satu

Bahwa berdasarkan alasan-alasan gugatan Penggugat sebagaimana tersebut di atas, maka Penggugat memohon kepada yang terhormat Ketua Pengadilan Agama Surabaya, untuk dapat

Pada penelitian sebelumnya oleh Rachman dan Nugraha (2012) diwilayah segmen sesar Aceh dan segmen Renun yang merupakan bagian dari Sumatra Fault Zone (SFZ)

Menurut Sugiyono (2009:148), pengertian instrumen adalah ”Alat yang digunakan mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati”. Berdasarkan pengertian di atas,

(3) Pengangkatan Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang telah memperoleh persetujuan Bank Indonesiasebagaimana dimaksud pada ayat

Sehubungan dengan itu maka kata tarbīyah dalam pendidikan tampaknya menunjukkan arti yang lebih luas karena pengertiannya di samping bermakna ilmu pengetahuan, juga bermakna

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian lainnya yang menemukan hasil bahwa motivasi kerja, lingkungan kerja dan disiplin kerja berpengaruh positif dan