FAKTOR PENYEBAB DAN PROSES LIKUIDASI BANK
A. PENGERTIAN LIKUIDASI BANK
Pengertian Likuidasi Bank menurut Pasal 1 angka 13 Peraturan Lembaga
Penjamin Simpanan Nomor 1/PLPS/2011 adalah tindakan penyelesaian seluruh asset
dan kewajiban bank sebagai akibat pencabutan izin usaha dan pembubaran badan
hukum bank.
Likuidasi bank merupakan tindakan penyelesaian seluruh hak dan kewajiban
bank sebagai akibat pencabutan izin usaha dan pembubaran badan hukum bank. Jadi
likuidasi bank bukanlah sekedar pencabutan izin usaha dan pembubaran badan hukum
bank, tetapi berkaitan dengan proses penyelesaian segala hak dan kewajiban dari suatu
bank yang dicabut izin usahanya. Setelah suatu bank dicabut izin usahanya, dilanjutkan
lagi dengan proses pembubaran badan hukum bank yang bersangkutan, dan seterusnya
dilakukan proses pemberesan berupa penyelesaian seluruh hak dan kewajiban (piutang
dan utang) bank sebagai akibat dari pencabutan izin usaha dan pembubaran badan
hukum bank.1
Likuidasi adalah kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban
hutang-hutangnya, dapat membayar kembali semua deposannya, serta dapat memenuhi
permintaan kredit yang diajukan para debitur tanpa terjadi penangguhan.” Menurut
pengertian ini bank dikatakan likuid apabila:2
1. Bank tersebut memiliki cash assets sebesar kebutuhan yang akan digunakan
1 Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman , Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 532
2 Hotma Sautma Ronny, 2005, Hubungan Bank Dengan Nasabah Produk Tabungan dan Deposito: Suatu Tinjauan Hukum Terhadap Perlindungan Deposan di Indonesia, CitraAditya Bandung, Hal. 7
Nama : Mohamad Deni Silmi
untuk memenuhi likuiditasnya;
2. Bank tersebut memiliki cash assets yang lebih kecil dari yang tersebut diatas,
tetapi yang bersangkutan juga memiliki asset lainnya (khususnya surat-surat berharga) yang dapat dicairkan sewaktu-waktu tanpa mengalami penurunan nilai
pasarnya;
3. Bank tersebut mempunyai kemampuan untuk menciptakan cash assets baru melalui berbagai bentuk hutang.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan tidak memberikan rumusan pengertian dari
istilah Likuidasi Bank sebagaimana yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 37 ayat (2)
dan ayat (3). Namun jika diteliti secara cermat ketentuan Pasal 37 ayat (2) dan ayat (3)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan maka pengertian dari Likuidasi Bank ini tidak
terbatas pada pencabutan izin usaha bank saja, tetapi lebih luas lagi, termasuk tindakan
B. DASAR HUKUM LIKUIDASI BANK
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang merupakan dasar hukum yang
dipakai sebagai landasan bagi likuidasi suatu bank yang bermasalah dalam sistem
perekonomian nasional adalah sebagai berikut:
1. Ketentuan likuidasi menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, yaitu
terdapat dalam:
a. Pasal 37 ayat (1) menyatakan bahwa “Dalam hal suatu bank mengalami
kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank Indonesia
dapat melakukan tindakan agar:
1) pemegang saham menambah modal;
2) pemegang saham mengganti .Dewan Komisaris dan atau Direksi bank;
3) bank menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah yang macet dan memperhitungkan kerugian bank dengan
modalnya;
4) bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;
5) bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh
kewajiban;
6) bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank
7) bank menjual sebagian atau seluruh harta dan atau kewajiban bank
kepada bank atau pihak lain.
b. Pasal 37 ayat (2) yang menyatakan bahwa dalam hal suatu bank mengalami
kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, apabila:
1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum cukup untuk
mengatasi kesulitan yang dihadapi bank, dan/atau,
2) Menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat
membahayakan sistem perbankan, pimpinan Bank Indonesia dapat
mencabut izin usaha bank dan memerintahkan direksi bank untuk segera
menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham guna membubarkan
badan hukum bank dan membentuk tim likuidasi.
c. Pasal 37 ayat (3) yang menyatakan bahwa dalam hal direksi bank tidak
menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), Pimpinan Bank Indonesia meminta kepada pengadilan untuk
mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaran badan hukum bank,
penunjukan tim likuidasi, dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Ketentuan likuidasi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999,
tanggal 3 Mei 1999 tentang Pencabutan izin usaha, Pembubaran dan Likuidasi
Bank, Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut, pencabutan izin usaha bank
a. Pasal 3 ayat (2) huruf b dan Pasal 4 ayat (1) Pasal 3 ayat (2) huruf b
menyatakan bahwa apabila :
1) tindakan sebagaimana dimaksud ayat (1) belum cukup untuk mengatasi
kesulitan yang dihadapi bank, dan/atau,
2) menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat
membahayakan sistem perbankan, Pimpinan Bank Indonesia dapat
mencabut izin usaha bank dan memerintahkan direksi bank untuk segera
menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham. Pasal 4 ayat (1)
menyatakan bahwa pencabutan izin usaha bank dilakukan oleh Pimpinan
Bank Indonesia.
b. Pasal 25 ayat (1) menyatakan bahwa pelaksanaan likuidasi bank oleh Bank
Indonesia ditetapkan dan diserahkan kepada Badan Khusus yang bersifat
sementara dalam rangka penyehatan perbankan berdasarkan ketentuan Pasal
37 A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, tetap mengikuti
ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
c. Pasal 26 ayat (1) menyatakan bahwa dalam hal para pemegang saham akan
membubarkan badan hukum bank atas keinginan sendiri, pembubaran
tersebut hanya dapat dilakukan setelah pencabutan izin usaha oleh Bank
3. Ketentuan likuidasi menurut Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
32/53/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang Tata Cara Pencabutan Izin Usaha,
Pembubaran dan Likuidasi Bank umum dan Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 32/54/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang Tata Cara
Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank Perkreditan Rakyat:
a. Pasal 2 dari kedua Surat Keputusan tersebut menyatakan bahwa pencabutan
izin usaha Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dilakukan oleh
Direksi Bank Indonesia apabila:
1) Tindakan penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 belum cukup untuk mengatasi
kesulitan yang dihadapi Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat;
dan/atau
2) Menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu Bank Umum atau Bank
Perkreditan Rakyat dapat membahayakan sistem perbankan; atau
3) Terdapat permintaan dari pemilik atau pemegang saham Bank Umum
atau Bank Perkreditan Rakyat.
b. Pasal 3 dari surat keputusan tersebut di atas menyebutkan bahwa pencabutan
izin usaha kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri
dilakukan oleh direksi Bank Indonesia berdasarkan alasan tindakan
atau membahayakan sistem perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf a atau huruf b:
1) Terdapat permintaan kantor pusat bank yang berkedudukan di luar
negeri; atau
2) Izin usaha kantor pusat bank yang berkedudukan di luar negeri dicabut
dan/atau kantor pusat dimaksud dilikuidasi oleh otoritas yang
berwenang di negara setempat.
Dalam perkembangannya, sebagai tindak lanjut pengaturan mengenai
penjaminan dana masyarakat khususnya dalam rangka mewujudkan apa yang telah
diamanatkan dalam ketentuan Pasal 37 B Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
yaitu tentang perlunya pembentukan Lembaga Penjaminan Simpanan, pada tahun 2004
pemerintah membentuk suatu badan khusus yang disebut Lembaga Penjamin
Simpanan. Dengan telah dibentuknya Lembaga Penjamin Simpanan tersebut, ketentuan
mengenai likuidasi diatur pula di dalam :
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Sentral sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 sebagaimana telah ditetapkan dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2009;
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
Undang Nomor 3 Tahun 2008 sebagaimana telah ditetapkan dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009;
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/9/PBI/2004 tentang Tindak Lanjut
Pengawasan dan Penetapan Status Bank sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/38/PBI/2005;
4. Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 2/PLPS/2005 tentang Likuidasi
Bank, yang kemudian diganti dan disempurnakan dengan Peraturan Lembaga
Penjamin Simpanan Nomor 2/PLPS/2008 tentang Likuidasi Bank;
Walaupun telah terbentuk Lembaga Penjamin Simpanan, dalam ketentuan Pasal
98 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan,
menyebutkan bahwa proses likuidasi yang dimulai sebelum berlakunya
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, tetap
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan mengenai likuidasi bank sebagaimana diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha,
Pembubaran dan Likuidasi Bank. Selain memperhatikan peraturan khusus dalam
pencabutan izin usaha, pembubaran dan likuidasi bank dalam proses tersebut, maka
sepanjang tidak diatur secara khusus dalam ketentuan perbankan perlu juga
memperhatikan peraturan yang bersifat umum seperti:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang terakhir
diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, bagi pembubaran bank
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian, bagi
pembubaran bank yang berbentuk hukum koperasi;
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah, bagi
C. FAKTOR PENYEBAB LIKUIDASI BANK
Pada saat suatu perusahaan mengalami resiko likuidasi ada beberapa sebab yang
melatarbelakanginya, yaitu:
1. Utang perusahaan yang berada pada posisi extreme leverage. Extreme leverage
artinya utang perusahaan sudah berada dalam kategori yang membahayakan
perusahaan itu sendiri.
2. Jumlah utang dan berbagai tagihan yang datang disaat jatuh tempo sudah begitu
besar, baik utang di perbankan,leasing, mitra bisnis, utang dagang,termasuk
utang dalam bentuk bunga obligasiyang sudah jauh tempo yang secepatnya
dibayar, dan berbagai bentuk tagihan lainnya.
3. Perusahaan telah melakukan kebijakan strategi yang salah sehingga memberi
pengaruh pada kerugian yang bersifat jangka pendek dan jangka panjang.
4. Kepemilikan aset perusahaan tidak lagi mencukupi untuk menstabilkan
perusahaan, yaitu sudah terlalu banyak asset yang dijual sehingga jika asset
yang tersisa tersebut masih ingin dijual maka itu juga tidak mencukupi untuk
menstabilkan perusahaan.
5. Perusahaan sering melakukan kebijakan gali lubang dan tutup lubang pada
kewajiban atau menyelesaikan persoalan likuidasi di pakai dari dana untuk
membayar utang yang sudah jatuh tempo namun dipakai untuk membayar gaji
karyawan, listrik, dan sejenisnya yang termasuk kategori short term liquidity.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/2/PBI/2013
tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum Konvensional
terdapat 3 kategori bank bermasalah yaitu bank yang masuk dalam kategori bank
dalam pengawasan normal, bank dalam pengawasan intensif dan bank dalam
pengawasan khusus. Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor
15/2/PBI/2013 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum
Konvensional menyatakan bahwa “Dalam hal bank dalam pengawasan normal namun
dinilai memiliki permasalahan yang signifikan maka direksi, dewan komisaris,
dan/atau pemegang saham pengendali Bank wajib menyampaikan rencana tindak
(action plan) kepada Bank Indonesia.”
Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/2/PBI/2013
tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum Konvensional
yang mengatur mengenai kategori bank dalam pengawasan intensif menyatakan bahwa
“Bank dinilai memiliki potensi kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika memenuhi satu atau lebih kriteria sebagai
berikut:
1. rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) sama dengan atau lebih
besar dari 8% (delapan persen) namun kurang dari rasio KPMM sesuai profil
2. rasio modal inti (tier 1) kurang dari persentase tertentu yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia;
3. rasio Giro Wajib Minimum (GWM) dalam rupiah sama dengan atau lebih besar
dari 5% (lima persen) namun kurang dari rasio yang ditetapkan untuk GWM
rupiah yang wajib dipenuhi oleh Bank, dan berdasarkan penilaian Bank
Indonesia, Bank memiliki permasalahan likuiditas mendasar;
4. rasio kredit bermasalah (non performing loan) secara neto lebih dari 5% (lima persen) dari total kredit;
5. tingkat kesehatan Bank dengan peringkat komposit 4 (empat)atau 5 (lima);
6. tingkat kesehatan Bank dengan peringkat komposit 3 (tiga) dan GoodCorporate Governance (GCG) dengan peringkat 4 (empat).
Kemudian dalam Pasal 14 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor
15/2/PBI/2013 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum
Konvensional yang mengatur kategori bank dalam pengawasan khusus menyatakan
bahwa Bank dinilai mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila memenuhi satu atau lebih kriteria sebagai
berikut:
1. rasio KPMM kurang dari 8% (delapan persen);
2. rasio GWM dalam rupiah kurang dari 5% (lima persen) dan berdasarkan
penilaian Bank Indonesia:
a. Bank mengalami permasalahan likuiditas mendasar; atau
b. Bank mengalami perkembangan yang memburuk dalam waktu singkat. Selain itu dalam Pasal Pasal 17 ayat (1) Bank dalam pengawasan khusus wajib
minimum dan/atau kewajiban pemenuhan giro wajib minimum sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Dalam ketentuan Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
menetapkan 2 (dua) alasan hukum yang memungkinkan suatu bank dicabut izin
usahanya oleh Bank Indonesia, yaitu apabila menurut penilaian Bank Indonesia: 1. Keadaan suatu bank membahayakan sistem perbankan,; atau
2. Suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya
dan tindakan untuk mengatasinya belum cukup untuk mengatasi kesulitan yang
dihadapi bank.
Seperti diketahui Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha suatu
bank berdasarkan alasan apabila menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank
dapat membahayakan sistem perbankan, sebagaimana kriterianya dijelaskan dalam
penjelasan atas Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
sebagai berikut:
1. Kriteria yang membahayakan sistem perbankan adalah apabila tingkat kesulitan
yang dialami dalam melakukan kegiatan usaha, suatu bank tidak mampu
memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada bank lain, sehingga pada gilirannya
akan menimbulkan dampak berantai kepada bank-bank lainnya (Penjelasan atas
Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan).
2. Suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya
adalah apabila berdasarkan penilaian dari Bank Indonesia, kondisi usaha bank
semakin memburuk, antara lain ditandai dengan menurunnya permodalan,
dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian (Prudential banking) dan asas
perbankan yang sehat. (Penjelasan atas Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan).
Selain itu, salah satu cara untuk mengukur kesehatan suatu lembaga perbankan
adalah dengan mempergunakan metode CAMEL. CAMEL atau Capital Assets
Management Earning Liquidity merupakan salah satu metode penilaian kesehatan
perbankan. Metode CAMEL berisikan langkah-langkah yang dimulai dengan
menghitung besarnya masing-masing rasio pada komponen-komponen berikut:3
1. C : Capital (Untuk Rasio Kecukupan Modal) 2. A : Assets (Untuk rasio-rasio kualitas aktiva)
3. M : Management (Untuk menilai kualitas manajemen) 4. E : Earning (Untuk rasio-rasio rentabilitas bank) 5. L : Liquidity (Untuk rasio-rasio likuiditas bank).
Dalam Pasal 29 ayat (2) Undag-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan
menyatakan bahwa “Bank Indonesia menetapkan ketentuan tentang kesehatan bank
dengan memperhatikan aspek permodalan, kualitas asset, kuaitas manajemen, rentabilitas, likuiditas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha
bank.”
Penilaian kesehatan bank dinilai berdasarkan pada peringkatnya, dan setiap
peringkat itu menjelaskan posisi setiap bank. Termasuk ketika sebuah bank dari posisi
tidak sehat menjadi sehat menjadi sehat maka disini ada acuannya yang harus
dipahami. Dalam tata cara penilaian tingkat kesehatan bank umum (Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia No. 30/11/kep/Dir Tanggal 30 April 1997) Direksi Bank
Indonesia di Pasal 6 disebutkan, yaitu:
Predikat tingkat kesehatan bank yng sehat atau cukup sehat atau kurang sehat akan
diturunkan menjadi sehat apabila terdapat;
1. Perselisihan intern yang diperkirakan akan menimbulkan kesulitan dalam bank
yang bersangkutan;
2. Campur tangan pihak-pihak di luar bank dalm kepengurusan (manajemen) bank,
termasuk di dalamnya kerja sama yang tidak wajar yang mengakibatkan salah
satu atau beberapa kantornya berdiri sendiri;
3. “window dressing” dalam pembukuan dan atau laporan bank yang secara
materiil dapat berpengaruh terhadap kadaan keuangan bank sehingga
mengakibatkan penilaian yang keliru terhadap bank;
4. Praktik “bank dalam bank” atau melakukan usaha bank di luar pembukuan
bank;
5. Kesulitan keuangan yang mengakibatkan penghentian sementara atau
pengunduran diri dari keikutsertaan dalam kliring; atau
6. Praktik perbankan lain yang dapat membayangkan kelangsungan usaha bank
dan/atau menurunkan kesehatan bank.
D. PROSES LIKUIDASI BANK
Saat terjadinya krisis perbankan di Indonesia pada pertengahan tahun 1997,
Undang-undang perbankan yang berlaku pada saat itu adalah Undang-Undang Nomor
pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia. Dalam rangka
melaksanakan tugas pembinaan dan pengawasan ini, Bank Indonesia menetapkan
langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap bank yang
mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya sebelum dilakukan
pencabutan izin usahanya dan/atau tindakan likuidasi. Dalam hal ini, Bank Indonesia
melaporkan suatu bank yang diperkirakan mengalami kesulitan yang membahayakan
kelangsungan usahanya kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan langkah-langkah
penyelamatan yang dianggap perlu atau pencabutan izin usaha bank.
Selain itu, terkait dengan pelaksanaan fungsi pembinaan dan pengawasan bank
tersebut, dalam hal suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan
kelangsungan usahanya, Bank Indonesia dapat mengusulkan kepada Menteri Keuangan
untuk melakukan pencabutan izin usaha bank yang bersangkutan. Menghadapi krisis
tersebut, salah satu kebijakan yang akhirnya di ambil oleh Pemerintah adalah mencabut
izin usaha dan melikuidasi 16 bank swasta. Landasan hukum yang digunakan oleh
Pemerintah dalam pencabutan izin usaha dan likuidasi bank pada saat itu adalah
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Dan peraturan pelaksanaan
dari ketentuan likuidasi dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 adalah Peraturan
Pemerintah Nomor 68 Tahun 1996 Tentang Ketentuan Tata Cara Pencabutan Izin
Usaha, Pembubaran Dan Likuidasi Bank. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1996
tersebut kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1997 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1996 Tentang Ketentuan Dan
Alasan likuidasi (pembubaran) yang terdapat dalam Undang-Undang Perbankan
tersebut diatas sangatlah erat kaitannya dengan kepentingan umum. Likuidasi dalam
hal ini merupakan sanksi administratif/publik terhadap bank, sebagai akibat
pelanggaran yang dilakukan oleh perseroan terhadap Undang-Undang Perbankan
(Pasal 29-36), yang berkaitan dengan kepentingan umum. Pelanggaran itu dilakukan
sedemikian rupa sehingga membahayakan bagi kelangsungan usahanya, dan
membahayakan sistem perbankan. Mencermati ketentuan Pasal 37 Undang-Undang
Perbankan jo. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 jo. SK Direksi BI No.
32/53/KEP/DIR tersebut, maka likuidasi bank dapat dipilah dalam 2 (dua) besaran
pokok:
1. Pertama, likuidasi bank karena upaya penyelamatan tidak cukup mengatasi
masalah atau bank tersebut dinilai oleh Bank Indonesia membahayakan sistem
perbankan, dimana hal ini sering disebut juga dengan compulsory liquidation.
Pada likuidasi ini, Otoritas Pengawas Bank (Bank Indonesia) mencabut izin
usaha bank menggunakan kekuatan Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang
Perbankan.
2. Kedua, likuidasi bank karena adanya permintaan sendiri dari pemegang saham
atau pemilik bank, termasuk dalam kategori ini adanya permintaan dari kantor
pusat bank di luar negeri yang akan menutup kantor cabangnya di Indonesia
(self liquidation atau sering disebut juga dengan voluntary liquidation). Secara
proses, likuidasi jenis ini relatif sederhana karena memang dikehendaki sendiri
unsur “dipaksa” oleh otoritas sebagaimana tipe pertama karena keadaan yang
memburuk dari bank yang bersangkutan. Sebabnya dapat beraneka ragam,
antara lain mungkin dari segi bisnis oleh pemilik dipandang tidak prospektif
lagi. Hal yang paling harus dicermati oleh otoritas pada proses self liquidation
adalah seluruh kewajiban kepada kreditur termasuk nasabah penyimpan dana
harus terbayarkan secara lunas, tidak boleh ada yang dirugikan guna
melindungi kepentingan masyarakat, utamanya penyimpan dana. Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 memungkinkan proses self liquidation ini,
namun harus mendapat izin dari Bank Indonesia. Terkait hal tersebut, di dalam
Pasal 26 Peraturan Pemerintah dimaksud mengatur:
a. Dalam hal pada pemegang saham akan membubarkan badan hukum bank
atas keinginannya sendiri, pembubaran tersebut hanya dapat dilakukan
setelah pencabutan izin usaha oleh Bank Indonesia.
b. Pencabutan izin usaha hanya dapat dilakukan oleh Bank Indonesia apabila
bank yang bersangkutan telah menyelesaikan kewajibannya kepada seluruh
kreditor.
c. Pembubaran badan hukum bank wajib didaftarkan dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Dalam hal ini, bank yang bersangkutan wajib terlebih dahulu menyelesaikan
semua kewajiban kepada seluruh kreditur termasuk nasabah penyimpan dana
Dari uraian di atas, memberi suatu pengertian bahwa likuidasi yang terjadi pada
suatu bank tidak sama halnya dengan likuidasi perusahaan, dalam likuidasi perusahaan
biasanya yang melakukan likuidasi didasarkan pada usul kreditur yang menyatakan
perusahaan itu pailit maupun oleh kehendak para pemegang saham. Sedangkan dalam
likuidasi bank lebih bersifat dipaksakan, Bank Indonesia yang menilai
ketidakmampuan bank berhak untuk menjaga keselamatan usaha perbankan nasional
dengan jalan melikuidasi bank-bank yang tidak dapat disehatkan lagi.
Tindakan pencabutan izin usaha bank merupakan suatu langkah akhir dari usaha
untuk menyehatkan bank yang terkena kesulitan tersebut. Sebelum dilakukan tindakan
pencabutan izin usaha bank, Bank Indonesia telah menempuh tindakantindakan atau
langkah-langkah permulaan. Usaha penyelamatan bank melalui tindakan-tindakan
permulaan tersebut merupakan salah satu bentuk dari tugas Bank Indonesia sebagai
Bank Sentral dan pengawas serta pembina bank-bank di Indonesia.
Pelaksanaan pengawasan bank oleh Bank Indonesia dilakukan sesuai dengan
peraturan perbankan yang berlaku. Berdasarkan ketentuan pasal 37 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 Tentang Perbankan, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan-tindakan
permulaan baik secara langsung maupun tidak langsung, juga tidak dapat dilakukan
secara alternatif maupun kumulatif sesuai dengan kondisi bank yang bersangkutan,
yang meliputi langkah-langkah saran dan langkah-langkah yang lebih aktif, berupa :
1. Langkah-langkah saran, yang ditujukan kepada pemegang saham dan pengurus,
a. pemegang saham menambah modal;
b. pemegang saham mengganti dewan komisaris dan/atau direksi bank;
c. bank menghapusbukukan kredit yang macet, dan memperhitungkan kerugian
bank dengan modalnya;
d. bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;
e. bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban.
2. Langkah aktif dengan tindakan lain yang sesuai dengan peraturan
perundangundangan yang berlaku, seperti :
a. menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak
lain;
b. menjual sebagian harta atau seluruh harta dan atau kewajiban bank kepadabank
lain
Khusus terkait dengan kewenangan melakukan pencabutan izin usaha suatu
bank, dalam perkembangan sistem perbankan Indonesia, cakupan dan ruang lingkup
kewenangan serta peranan Bank Indonesia mengalami dua fase yang berbeda. Tahap
pertama, yaitu pada saat sebelum terjadinya krisis perbankan, kewenangan yang
dimiliki oleh Bank Indonesia dalam rangka pencabutan izin suatu bank hanya
merupakan kewenangan relatif karena kewenangan Bank Indonesia hanya terbatas
melaporkan suatu bank yang diperkirakan mengalami kesulitan yang membahayakan
kelangsungan usahanya kepada Menteri Keuangan dan mengusulkan kepada Menteri
kedua, yaitu sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Amandemen Undang-Undang No. 7 Tahun 1992, pencabutan izin usaha bank
sepenuhnya menjadi kewenangan Bank Indonesia.
Pemberian kewenangan yang penuh kepada Bank Indonesia tersebut, selain lebih
memberikan kepastian hukum sebagai alternatif solusi yang cukup efektif dalam
penanganan bank-bank bermasalah yang tidak mungkin untuk dipertahankan lagi
keberadaannya; juga mencegah terjadinya duplikasi dan tumpang tindih pengambilan
kebijakan, secara khusus dalam konteks pencabutan izin dan likuidasi bank-bank milik
pemerintah, dapat meminimalkan terjadinya conflict of interest.
Tindakan-tindakan permulaan Bank Indonesia tersebut diatur dalam Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/76/KEP/DIR tertanggal 3 Oktober 1995
tentang Tindakan Penguasaan Sementara Terhadap Bank oleh Bank Indonesia, dan
diatur pula dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin
Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank. Tindakan Bank Indonesia tidak dimaksudkan
untuk dan tidak dapat diartikan sebagai pengambilalihan tanggung jawab
perbuatan-perbuatan menyimpang atau pelanggaran yang dilakukan oleh dewan komisaris dan
atau direksi lama dan juga bukan berarti mengambil alih hak dan kewajiban bank.
Menurut Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo.
UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998, apabila tindakan-tindakan permulaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum cukup untuk mengatasi kesulitan yang
dihadapi oleh bank, dan atau menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank
usaha bank dan memerintahkan Direksi Bank untuk segera menyelenggarakan Rapat
Umum Pemegang Saham guna membubarkan badan hukum bank dan membentuk tim
likuidasi. Pasal 37 ayat (3) menyatakan bahwa dalam hal Direksi bank tidak
menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2), Pimpinan Bank Indonesia meminta kepada pengadilan untuk mengeluarkan
penetapan yang berisi pembubaran badan hukum bank, penunjukan tim likuidasi, dan
perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Ketentuan senada diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor
25 Tahun 1999 Tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank. Pasal
5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 menyatakan bahwa Direksi
Bank yang dicabut izin usahanya wajib menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang
Saham untuk memutuskan pembubaran badan hukum bank dan pembentukan Tim
Likuidasi, selambat-lambatnya dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal
pencabutan izin usaha. Adapun calon dari Tim Likuidasi wajib terlebih dahulu
memperoleh persetujuan Bank Indonesia. Kemudian pasal 6 Peraturan Pemerintah
Nomor 25 Tahun 1999 menyatakan bahwa apabila Rapat Umum Pemegang Saham
tidak dapat diselenggarakan dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal
pencabutan izin usaha, atau dapat diselenggarakan namun tidak berhasil memutuskan
pembubaran badan hukum bank dan pembentukan Tim Likuidasi, Pimpinan Bank
Indonesia meminta kepada Pengadilan untuk mengeluarkan penetapan yang berisi:
2. penunjukan Tim Likuidasi;
3. perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini;
4. perintah agar Tim Likuidasi mempertanggungjawabkan pelaksanaan likuidasi
kepada Bank Indonesia.
Dari ketentuan Pasal 37 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 serta Pasal 5 dan Pasal 6 Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tersebut, dapat dikemukakan bahwa pembubaran
badan hukum bank terjadi setelah adanya pencabutan izin usaha bank tersebut oleh
Pimpinan Bank Indonesia, dan likuidasi bank yang dicabut izin usahanya dilakukan
setelah badan hukum bank dibubarkan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa likuidasi
suatu bank merupakan kelanjutan dari pelaksanaan pencabutan izin usaha dari bank
tersebut. Likuidasi bank juga bisa dikatakan sebagai akibat dari adanya pencabutan izin
usaha bank yang karena salah satu atau keduanya dari alasan yang tercantum dalam
Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 telah terpenuhi.
Likuidasi bank sesuai dengan Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun
1999 dilakukan dengan cara pencairan harta dan atau penagihan piutang kepada para
debitur, diikuti dengan pembayaran kewajiban bank kepada para kreditur dari hasil
pencairan dan atau penagihan tersebut atau pengalihan seluruh harta dan kewajiban
Pencairan harta kekayaan BDL dapat dilakukan dengan penjualan di bawah
tangan atau lelang biasa tanpa melalui Kantor Lelang Negara. Hal ini dimaksudkan
agar dapat diperoleh harga jual yang relatif baik sesuai dengan harga yang wajar.
Setelah dilakukannya pencairan harta kekayaan BDL, hasil pencairan disetorkan ke
bank yang ditunjuk oleh Tim Likuidasi dengan sepengetahuan Bank Indonesia. Hasil
pencairan aset bank inilah yang digunakan untuk membayar kewajiban Bank Dalam
Likuidasi kepada para nasabah dan kreditur. Pelaksana dari likuidasi adalah Tim
Likuidasi. Dengan telah dibentuknya Tim Likuidasi sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, maka seluruh beban tanggung jawab atas kepengurusan bank dalam likuidasi
berada di tangan Tim Likuidasi.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999, Tim likuidasi
mempunyai kewenangan:
1. Mewakili bank dalam likuidasi dalam segala hal yang berkaitan dengan
penyelesaian hak dan kewajiban bank tersebut (Pasal 19 ayat (3)
2. Dapat meminta pembatalan kepada pengadilan mengenai segala perbuatan hukum
yang merugikan harta bank apabila perbuatan hukum tersebut dilakukan dalam
kurun waktu 1 (satu) tahun sebelum pencabutan izin usaha (Pasal 14 ayat (1).
Sedangkan yang menjadi tugas atau kewajiban dari Tim Likuidasi di antaranya adalah :
1. Mendaftarkan dalam Daftar Perusahaan dan di Panitera Pengadilan Negeri yang
meliputi tempat kedudukan bank yang bersangkutan mengenai pembubaran badan
Republik Indonesia dan 2 (dua) surat kabar harian yang mempunyai peredaran luas
dan diberitahukan kepada instansi yang berwenang dalam jangka waktu 7 (tujuh)
hari terhitung sejak tanggal pembentukan Tim Likuidasi;
2. Melakukan kepengurusan bank;
3. Melakukan inventarisasi kekayaan dan kewajiban bank dalam likuidasi serta
bertanggung jawab terhadap kekayaan bank tersebut;
4. Melakukan likuidasi aset melalui pencairan harta dan atau penagihan piutang
kepada para debitur;
5. Membuat perencanaan serta melakukan pembayaran ataupun pemenuhan
kewajiban bank kepada kreditur maupun pihak ketiga lainnya dari hasil pencairan
dan atau penagihan piutang bank tersebut;
6. Meminta akuntan publik independen untuk melakukan audit atas neraca penutupan
pertanggal pencabutan izin usaha yang belum diaudit;
7. Menyusun neraca verifikasi;
8. Melakukan pengalihan seluruh harta dan kewajiban bank kepada pihak lain apabila
disetujui oleh Bank Indonesia;
9. Menyusun Neraca Akhir Likuidasi;
10. Membagikan sisa harta kepada para pemegang saham;
11. Menitipkan bagian yang belum diambil oleh kreditur kepada bank yang disetujui
12. Menyelenggarakan dan melaporkan Neraca Akhir Likuidasi kepada Bank
Indonesia serta mempertanggungjawabkannya kepada Rapat Umum Pemegang
Saham
13. Mengumumkan berakhirnya likuidasi dan menempatkannya pada Berita Negara
Republik Indonesia, memberitahukan kepada instansi berwenang, dan
memberitahukan kepada Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag)
agar nama badan hukum bank tersebut dicoret dari Daftar Perusahaan apabila
Neraca Akhir Likuidasi telah disetujui oleh Bank Indonesia dan
pertanggungjawabannya telah diterima oleh Rapat Umum Pemegang Saham;
14. Melakukan tugas-tugas lain yang dianggap perlu dalam pelaksanaan likuidasi
bank;
15. Membubarkan Tim Likuidasi apabila telah selesai menjalankan tugasnya.
Selain kewenangan dan tugas/kewajiban dari Tim Likuidasi, terdapat juga
larangan bagi mereka, yaitu di dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Tim
Likuidasi dilarang memperoleh keuntungan untuk diri sendiri, apabila melanggar
larangan tersebut mereka secara pribadi bertanggung jawab atas perbuatannya tersebut
(Pasal 13) Untuk susunan dari anggota Tim Likuidasi terdiri atas:
1. Pihak lain yang bukan anggota direksi, dewan komisaris atau pemegang saham;
atau
2. Campuran antara pihak lain yang bukan anggota direksi, dewan komisaris atau
pemegang saham sepanjang jumlah anggota direksi, dewan komisaris atau
pemegang saham tersebut tidak melebihi 1/3 (satu pertiga) dari jumlah anggota
Tim Likuidasi.
Pihak lain yang dapat ditunjuk sebagai anggota Tim Likuidasi dapat merupakan
akuntan, ahli hukum, ahli komputer dan atau ahli di bidang lainnya yang erat kaitannya
dengan pelaksanaan likuidasi bank. Pembatasan jumlah anggota direksi, dewan
komisaris dan pemegang saham yang boleh menjadi anggota Tim Likuidasi,
dimaksudkan untuk menjaga obyektifitas dalam pelaksanaan likuidasi. Sejak tanggal
pencabutan izin usaha, direksi dan dewan komisaris dilarang melakukan perbuatan
hukum berkaitan dengan aset dan kewajiban bank, kecuali atas persetujuan bank dan
atau penugasan Bank Indonesia dan untuk:
1. pembayaran gaji karyawan yang terutang;
2. pembayaran biaya kantor;
3. pembayaran kewajiban bank kepada nasabah penyimpan dana dengan
menggunakan dana lembaga pinjaman simpanan.
Sementara untuk direksi dan dewan komisaris BDL, sejak terbentuknya Tim
Likuidasi menjadi non aktif, akan tetapi mempunyai kewajiban untuk setiap saat
membantu memberikan segala data dan informasi yang diperlukan oleh Tim Likuidasi.
Dan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Tim Likuidasi diawasi oleh Bank
Indonesia selaku otoritas pengawas perbankan. Bank Indonesia mempunyai
memberhentikan dan mengganti anggota Tim Likuidasi. Dan sebelum likuidasi selesai,
anggota direksi dan anggota dewan komisaris bank yang bersangkutan tidak
diperkenankan mengundurkan diri, kecuali dengan persetujuan Bank Indonesia dan
dilarang melakukan perbuatan hukum yang berkaitan dengan aset dan kewajiban bank,
kecuali atas persetujuan dan atau penugasan dari Bank Indonesia.
Dalam rangka memberi kepastian hukum mengenai kewajiban bank dan
kejelasan tanggung jawab Tim Likuidasi, maka ditetapkan bahwa pelaksanaan likuidasi
bank wajib diselesaikan dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) tahun terhitung
sejak tanggal dibentuknya tim likuidasi. Dalam hal likuidasi bank tidak dapat
diselesaikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, penjualan harta bank dalam
likuidasi dilakukan secara lelang dalam waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak
berakhirnya jangka waktu likuidasi tersebut. Mengenai status badan hukum bank yang
dilikuidasi hapus sejak tanggal pengumuman berakhirnya likuidasi dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Pengaturan mengenai pencabutan izin usaha, pembubaran dan likuidasi bank
menganut beberapa prinsip:4
1. Bersifat lex specialis, Undang-Undang Perbankan yang mendasari segala
ketentuan tentang perbankan, tidak membahas mengenai pencabutan izin usaha,
pembubaran dan likuidasi bank secara khusus. Hal ini menyebabkan perlunya
pengaturan mengenai pencabutan izin usaha, pembubaran dan likuidasi bank
secara khusus.
2. Memperkuat kedudukan nasabah penyimpan dana sebagai kreditur Usaha bank
amat terkait dengan masyarakat, terutama dengan dana masyarakat yang menjadi
penyimpan dana. Karena itu, dalam hal dilakukannya pencabutan izin usaha yang
diikuti dengan likuidasi pada suatu bank menyebabkan kewajiban pembayaran
terhadap nasabah penyimpan dana lebih diutamakan dibanding kreditur-kreditur
lainnya. Namun tanpa mengabaikan kewajiban kepada kreditur-kreditur yang
memiliki hak istimewa berdasarkan peraturan perundang-udangan yang berlaku
seperti kreditur dengan hak tanggungan.
3. Pencabutan Izin Usaha dan Likuidasi merupakan usaha terakhir Pencabutan izin
usaha, pembubaran dan likuidasi bank dapat mempengaruhi kepercayaan
masyarakat pada perbankan. Oleh karena itu, sebelum melakukan pencabutan izin
usaha, pembubaran dan likuidasi terhadap bank, maka Bank Indonesia terlebih
dahulu akan melakukan upaya-upaya penyelamatan terhadap bank tersebut. Akan
tetapi, jika upaya-upaya penyelamatan yang dilakukan ternyata tidak dapat
mengatasi masalah yang dihadapi bank tersebut, dan keadaan bank tersebut
membahayakan sistem perbankan maka Bank Indonesia dapat melakukan
pencabutan izin usaha, pembubaran dan likuidasi terhadap bank tersebut.
4. Status, Kewajiban dan Tanggung Jawab Direksi, Dewan Komisaris dan Pemegang
Saham. Dengan dibentuknya tim likuidasi, status direksi dan dewan komisaris
menjadi non aktif, dan direksi serta komisaris berkewajiban untuk setiap saat
membantu memberikan segala data dan informasi yang dapat diperlukan oleh Tim
komisaris bank yang bersangkutan tidak diperkenankan untuk mengundurkan diri,
kecuali dengan persetujuan Bank Indonesia. Dalam hal harta kekayaan bank dalam
likuidasi tidak cukup untuk memenuhi seluruh kewajiban bank dalam likuidasi
tersebut maka kekurangannya wajib dipenuhi oleh anggota direksi dan anggota
dewan komisaris serta pemegang saham yang turut serta menjadi penyebab
kegagalan bank, dalam hal ini merupakan tanggung jawab yang harus dilakukan
oleh Direksi, Dewan Komisaris dan pemegang saham.
5. Pengawasan Likuidasi dilakukan oleh Bank Indonesia. Dengan demikian selain
pelaksanaan likuidasi dilakukan oleh lembaga yang benar-benar memahami
tentang kegiatan usaha perbankan juga adanya kesinambungan pengawasan dari
lahirnya suatu bank tersebut sampai pembubaran dan likuidasi bank.
Status hukum badan yang dilikuidasi hapus sejak tanggal pengumuman
berakhirnya likuidasi dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana hal ini di
atur pada Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999. Mengacu pada
ketentuan ini, maka status hukum dari BDL adalah masih tetap berbadan hukum hingga
berakhirnya likuidasi. Namun meskipun masih berbadan hukum, akan tetapi BDL