• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Prakiraan Cuaca Harian Memanfaatkan Luaran NWP dan Data Pengamatan Stasiun Cuaca

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Prakiraan Cuaca Harian Memanfaatkan Luaran NWP dan Data Pengamatan Stasiun Cuaca"

Copied!
194
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL PRAKIRAAN CUACA HARIAN MEMANFAATKAN

LUARAN NWP DAN DATA PENGAMATAN STASIUN

CUACA

URIP HARYOKO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi berjudul “Model Prakiraan Cuaca Harian Memanfaatkan Luaran NWP dan Data Stasiun” adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis ini kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014

(4)
(5)

RINGKASAN

URIP HARYOKO. Model Prakiraan Cuaca Harian Memanfaatkan Luaran NWP dan Data Pengamatan Stasiun Cuaca. Dibimbing oleh HIDAYAT PAWITAN, EDVIN ALDRIAN dan AJI HAMIM WIGENA.

Masyarakat pengguna informasi prakiraan cuaca di Indonesia saat ini menuntut adanya prakiraan cuaca yang cepat, tepat dan dapat menjangkau wilayah yang luas dan detail hingga tingkat kabupaten serta menjangkau beberapa hari ke depan. Informasi prakiraan cuaca di Indonesia saat ini baru menjangkau Kota-kota besar dan kota kabupaten, namun hanya memprakirakan cuaca sampai satu hari ke depan. Tantangan ini yang menjadikan pentingnya pengembangan model prakiraan cuaca harian.

Permasalahan yang dihadapi dalam pemberian informasi prakiraan cuaca harian oleh BMKG adalah belum adanya model prakiraan cuaca obyektif yang dapat dioperasionalkan, terutama dalam pembuatan prakiraan suhu maksimum, suhu minimum dan keadaan cuaca. Prakiraan yang dimaksud adalah prakiraan cuaca di titik stasiun dengan waktu prakiraan sampai beberapa hari ke depan. Untuk itu perlu dikembangkan model prakiraan cuaca obyektif dengan memanfaatkan luaran NWP

Tujuan dari penelitian ini adalah (i) menentukan domain spasial luaran NWP, (ii) membangun model prakiraan suhu maksimum dan suhu minimum, dan (iii) kejadian hujan harian sampai empat hari ke depan di wilayah Jabodetabek. Sebagai prediktor digunakan data luaran NWP Global Forecasting System (GFS), sedangkan sebagai prediktan adalah data suhu maksimum, suhu minimum dan kejadian hujan harian di delapan Stasiun Meteorologi sekitar Jabodetabek.

Model Output Statistics (MOS) adalah salah satu metoda statistical downscaling (SD) pada tahap post processing luaran Numerical Weather Prediction (NWP) untuk mendapatkan nilai prakiraan parameter cuaca di sebuah titik stasiun pengamatan. Metode ini memanfaatkan luaran NWP yang tersedia dari berbagai sumber dan data pengamatan stasiun cuaca. MOS merupakan model yang meghubungkan antara peubah prediktan y (pengamatan stasiun cuaca, seperti temperatur minimum, temperatur maksimum, kejadian hujan) dan peubah prediktor x (parameter NWP, seperti temperatur, angin dan sebagainya pada berbagai grid dan level)

Data luaran NWP meliputi wilayah global yang terbagi menjadi beberapa ukuran persegi (grid). Ukuran grid data GFS yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0,5o×0,5o lintang/bujur, sehingga satu grid mempunyai ukuran sekitar 55×55 km2. Domain spasial atau jumlah grid NWP secara total meliputi 720×360 grid, namun demikian tidak semua grid NWP akan digunakaan sebagai prediktor. Penentuan domain spasial yang optimum dalam MOS merupakan langkah awal yang sangat menentukan hasil prakiraannya.

(6)

yang paling baik. Analisis korelasi spasial menunjukkan luasan dengan korelasi lebih besar dari 0,4 hanya meliputi domain maksimal 3×3. Analisis SVD menunjukkan bahwa keeratan hubungan secara simultan antara data observasi dengan NWP hampir sama, yaitu pada ekspansi pertama. Sedangkan hasil verifikasi analisis PLSR menggunakan korelasi dan root mean square error (RMSE) menunjukkan bahwa grid berukuran 3×3 adalah domain terbaik. Selanjutnya domain spasial berukuran 3×3 digunakan sebagai acuan dalam pembangunan model prakiraan suhu dan kejadian hujan.

Pemodelan prakiraan suhu maksimum dan minimum menggunakan metode PLSR dan Principal Component Regression (PCR), dan keduanya diterapkan dalam dua model yaitu Model I dan Model II. Pada Model I, tahap pengembangan model menggunakan prediktor luaran NWP pada hari ke-1, sedangkan tahap implementasi menggunakan luaran NWP hari ke-1, ke-2, ke-3 dan ke-4. Pada Model II, tahap pengembangan dan implementasi menggunakan luaran NWP pada hari yang sama.

Hasil verifikasi prakiraan suhu maksimum dan minimum menunjukkan bahwa secara umum kedua metode dapat mengeliminasi error yang terbawa oleh NWP, yaitu rata-rata akurasi untuk prakiraan suhu maksimum mampu ditingkatkan sebesar 0,86oC dan suhu minimum 1,35oC. Berdasarkan nilai RMSE dan korelasi hasil prakiraan dengan empat model prakiraan suhu maksimum, dapat disimpulkan bahwa metode PCR Model I merupakan model terbaik. Demikian juga untuk model prakiraan suhu minimum, metode PCR Model I merupakan model yang terbaik. Nilai RMSE prakiraan suhu maksimum hari ke-i cenderung lebih kecil dibandingkan prakiraan hari ke -(i+1). Demikian pula nilai korelai prakiraan dan pengamatan ke-i cenderung lebih besar dibandingkan dengan hari ke-(i+1).

Kejadian hujan harian dikategorikan ke dalam lima kategori, yaitu cerah (tidak hujan), hujan ringan, hujan sedang, hujan lebat dan hujan sangat lebat. Pemodelan dengan prediktan berupa data kategorik dan prediktor berupa data kontinyu digunakan metode Multiple Categorical Logistic Regression (MCLR) dan Principal Component-MCLR (PC-MCLR); keduanya di diterapkan dengan dua model, yaitu Model I dan Model II. Nilai percent correct prakiraan metode PC-MCLR Model II mencapai tertinggi 69,6%. Nilai percent correct di atas 55% tercatat di empat lokasi (Tanjung Priok, Kemayoran, Cengkareng dan Tangerang), namun di empat lokasi lainnya (Pondok Betung, Curug, Bogor dan Curug) kurang dari 55%. Dengan demikian untuk daerah datar sekitar pantai mempunyai akurasi yang lebih baik dibandingkan dengan daerah selatan yang lebih tinggi. Secara umum Metode PC-MCLR Model II lebih baik dari metode dan model lainnya. Keakuratan prakiraan kejadian hujan dari ke hari tidak menunjukkan pola yang jelas. Akurasi prakiraan hari ke-1 sampai hari ke-4 tidak seluruhnya menunjukkan adanya penurunan akurasi pada prakiraan hari yang lebih jauh. Untuk beberapa lokasi, menunjukkan bahwa makin jauh waktu prakiraan justru akurasinya lebih baik.

(7)

SUMMARY

URIP HARYOKO. Daily Weather Forecast Model Using NWP Output and Weather Station Observation Data. Supervised by HIDAYAT PAWITAN, EDVIN ALDRIAN and AJI HAMIM WIGENA.

The user of weather forecast in Indonesia always demands an accurate and fast weather forecast, and reaches in a wide area and detail to the district level as well as reaching the next few days. However, weather forecast nowadays is only reach on big cities and only predict the up to one day ahead. This challenge makes the importance of daily weather forecast development.

The problems faced in the provision of daily weather forecast is the absence of an objective weather forecasting models, especially in creating the forecast of maximum temperature, minimum temperature and weather conditions. The expected forecasts is the weather forecast at the station for several days ahead. So, it is necessary to develop an objective weather forecast model by utilizing the NWP output.

The purpose of this study was : (i) to determine NWP spatial domain, (ii) to develop a forecast model of maximum temperature and minimum temperature and (iii) daily precipitation event up four days ahead around Jabodetabek. The model used NWP Data of Global Forecasting System (GFS) as a predictor, while the maximum temperature, minimum temperature and daily rainfall event of eight Station around Jabodetabek as predictand.

Model Output Statistics (MOS) is one of the statistical downscaling (SD) method in post-processing of Numerical Weather Prediction (NWP) output to get weather forecasts at a point of observation stations. This method uses NWP output which is released by several source and station observation data. MOS is a model which connected predictand y (station observation data i.e. minimum and maximum temperature, precipitation event) and predictor x (NWP output i.e. temperature, wind, etc. in several grid and level).

NWP output which cover global area are divided into several squares (grid). GFS grid size used in this study is 0,5o × 0,5o latitude / longitude, so that the grid has a size of about 55 × 55 km2. Spatial domain or the total number of grid of NWP consist of 720 × 360 grid, however, not all NWP grid will be used as predictors. Determination of optimum spatial domain in MOS development is the important step to get the best forecasts.

(8)

3×3 grid was used as a reference domain in developing forecast of temperature and precipitation event.

PLSR and Principal Component Regression (PCR) was used to develop maximum and minimum temperature forecast model, and both of them were applied in the two models, Model I and Model II. Model I, in development step, used NWP output at 1-st day as predictor, and in the implementation step used NWP output at 2-nd, 3-rd and 4-th day. Model II, in development and implementation step used NWP output at the same days.

Maximum and minimum temperature forecast verification result showed that both methods could eliminate systematic error of NWP, the maximum temperature forecast models were able to increase accuracy up to 0.86° C and for minimum temperature forecast model were 1.35oC. The accuracy of ith- day prediction was better then (i+1)th-day prediction. Based on RMSE and correlation of four maximum temperature forecast models, it can be concluded that the PCR Model I is the best model. Similarly, the minimum temperature forecast model, Model I PCR method is the best model. RMSE value of the maximum temperature forecast at i-th was smaller than the forecast at (i+1)th day. Similarly, the value of correlation between forecasts and observations at i-th day tend to be larger than the (i + 1)th.

Precipitation event are categorized into five categories, namely sunny (no rain), light rain, moderate rain, heavy rain and very heavy rain. In developing model with categorical data as predictand and continual data as predictor, it was used Multiple Logistic Regression (MCLR) and Principal Component-MCLR (PCMCLR). Both methods are implemented in two model, Model I and Model II. Percent correct of PC-MCLR Model II reached 69.6%. Percent correct values above 55% was recorded at four sites (Tanjung Priok, Kemayoran, Cengkareng Tangerang), but in four other locations (Pondok Betung, Curug, Bogor and Citeko) were less than 55%. Thus, for flat areas around the coast has better accuracy than the higher southern regions. In general, PC-MCLR Model Method II is better than other methods and models. The accuracy of rainfall forecasts at day to day did not show a clear pattern. Forecast accuracy at day 1 to day 4 was not entirely showed a decrease in accuracy of forecasts. For some locations, showed the further time forecasts even has better accuracy.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Klimatologi Terapan

MODEL PRAKIRAAN CUACA HARIAN MEMANFAATKAN

LUARAN NWP DAN DATA PENGAMATAN STASIUN

CUACA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

(12)

Ujian Sidang Tertutup : Kamis, 14 Agustus 2014

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr Ardhasena Sopaheluwakan Dr Rahmat Hidayat, MSc.

Ujian Sidang terbuka : Jumat, 12 September 2014

(13)

Judul Disertasi: Model Prakiraan Cuaca Harian Memanfaatkan Luaran NWP dan Data Pengamatan Stasiun Cuaca

Nama : Urip Haryoko NIM : G261090021

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Hidayat Pawitan, MSc. Ketua

Prof Dr Edvin Aldrian, BEng, MSc, APU Anggota

Dr Ir Aji Hamim Wigena, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Klimatologi Terapan

Dr Ir Impron, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 14 Agustus 2014

Tanggal Lulus:

(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga disertasi program Doktor pada program studi Klimatologi Terapan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah prakiraan cuaca, dengan judul Model “Prakiraan Cuaca Harian Memanfaatkan Luaran NWP dan Data Pengamatan Stasiun Cuaca”. Prakiraan cuaca harian merupakan informasi publik yang harus diberikan oleh BMKG kepada pengguna setiap hari. Informasi prakiraan cuaca sangat diharapkan oleh masyarakat luas dalam mempersiapkan kegiatan sehari-hari.

Pada kesempatan ini, dengan selesainya penelitian dan penyusunan Disertasi, penulis ingin menyampaikan penghargaan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan, serta kerja sama yang baik. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga kepada :

1. Prof Dr Ir Hidayat Pawitan MSc. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan atas segala bimbingan, arahan dan kerjasamanya selama proses penyusunan disertasi ini.

2. Prof Dr Edvin Aldrian, BEng, MSc dan Bapak Dr Ir Aji Hamim Wigena, MSc, selaku Anggota Komisi Pembimbing, atas bimbingan dan arahan selama proses pengolahan data dan penyusunan disertasi ini.

3. Ketua Program Studi Klimatologi Terapan Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB, atas bimbingan, kerjasama, dan dorongan semangat selama penulis menjadi mahasiswa.

4. Kepala BMKG, Deputi Bidang Instrumentasi Kalibrasi Rekayasa dan Jaringan Komunikasi, dan Kepala Pusat Database BMKG atas ijin yang diberikan untuk melanjutkan kuliah di jenjang S-3.

5. Ibu Dr. Ir. Sriworo B. Harijono, MSc. atas dorongan dan motivasi sehingga penulis dapat melanjutkan kuliah program Doktor IPB.

6. Dr. Ardhasena Sopaheluwakan, Dr. Rahmat Hidayat, MSc., Dr. Andi Eka Sakya, M.Eng, dan Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey, MSc. atas koreksi dan saran pada pelaksanaan sidang tertutup dan terbuka.

7. Drs. Yunus S. Swarinoto, MSi., Drs. Erwin Makmur, MSi. dan Dr. Ir. Salwati, MSi. atas kekompakan dan kerjasama yang baik selama masa perkuliahan. Tak lupa pula semua staf dan pimpinan Pusat Database, BMKG, saya ucapkan terimakasih.

8. Ibunda tercinta, atas doa dan dukungan moril sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini.

9. Istri tersayang Nelly Nuryana dan ananda tercinta Rizky Arifianto, atas kesabaran dan ketabahannya dalam mendampingi dan mendukung penulis untuk menyelesaikan tugas ini.

Penulis berharap, semoga dukungan, doa dan kerjasama dari semua pihak mendapat ridho dari Allah SWT. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu khususnya prakiraan cuaca.

Bogor, September 2014

(16)
(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iv

DAFTAR LAMPIRAN v

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Kebaruan 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

Kerangka Pemikiran 4

Sistematika Penulisan 6

2 PERKEMBANGAN TEKNIK POST PROCESSING MODEL CUACA

NUMERIK 7

Model cuaca numerik NWP 7

Model Output Statistik (MOS) 8

Perkembangan dan pemanfaatan model MOS 11

3 PENENTUAN DOMAIN SPASIAL NWP 15

Pendahuluan 15

Bahan dan Metode 16

Hasil dan Pembahasan 22

Simpulan 30

4 PRAKIRAAN SUHU MAKSIMUM DAN MINIMUM 31

Pendahuluan 31

Bahan dan Metoda 31

Model prakiraan suhu maksimum 36

Model prakiraan suhu minimum 41

Simpulan 47

5 PRAKIRAAN KEJADIAN HUJAN HARIAN 49

Pendahuluan 49

Multiple Categoric Logistic Regression 50

Bahan dan Metode 52

Hasil dan Pembahasan 55

Simpulan 60

6 PEMBAHASAN UMUM 61

Penentuan domain spasial 61

Reduksi dimensi NWP 62

(18)

Prakiraan kejadian hujan harian 63

7 SIMPULAN DAN SARAN 65

Simpulan 65

Saran 65

DAFTAR PUSTAKA 67

LAMPIRAN 70

(19)

DAFTAR TABEL

1. Beberapa model NWP dari berbagai institusi dilihat dari segi substansi dan

metodologi 8

2. Daftar stasiun lokasi penelitian 17

3. Deskripsi statistik suhu maksimum dan minimum tahun 2010-2012 17 4. Prosentase kejadian hujan per kategori tahun 2010-2012 17

5. Domain spasial data NWP sekitar Jabodetabek 18

6. Nilai fraction of square covariance (SCF) (dalam%) dan korelasi (rho) pada

ekspansi 1 sampai 8 hasil analisis SVD 28

7. Penentuan waktu (UTC) pada prediktan dan prediktor pada dua model I dan II 33 8. Prediktor untuk model prakiraan suhu maksimum dan minimum 34 9. Nilai RMSE antara suhu maksimum pengamatan dan NWP (oC) pada setiap

titik grid domain 3 (hari ke-1) 36

10.Proporsi kumulatif nilai Eigen prediktor NWP jam 06, 30, 54 dan 78 UTC untuk Model I dan II (Model I menggunakan statistik hari ke-1) 37 11.Parameter penyumbang variasi terbesar pada tiga komponen utama 37 12.Persentase kumulatif variasi komponen utama pada pemodelan PLSR 38 13.Nilai R2 (%) pada pemodelan PLSR Model I dan II (Model I hanya

menggunakan statistik hari ke-1) 38

14.Hasil verifikasi prakiraan suhu maksimum PLSR Model I dan Model II 39 15.Hasil verifikasi prakiraan suhu maksimum PCR Model I dan Model II 40 16.Resume nilai RMSE dan korelasi Model I dan II prakiraan suhu maksimum 41 17.Nilai Eeigen prediktor NWP jam 18, 42, 66 dan 90 UTC untuk prakiraan suhu

minimum Model II (Model I menggunakan statistik hari ke-1) 42 18.Parameter penyumbang variasi terbesar pada tiga komponen utama untuk

pemodelan suhu minimum 42

19.Persentase kumulatif variasi komponen utama pada pemodelan PLSR 43 20.Nilai RMSE antara suhu minimum pengamatan dan NWP (oC) pada setiap

titik grid domain 3 (hari ke-1) 43

21.Nilai R2 (%) pada pemodelan PLSR Model I dan II (Model I hanya

menggunakan statistik hari ke-1) 43

22.Hasil verifikasi prakiraan suhu minimum PLSR Model I dan Model II 44 23.Hasil verifikasi prakiraan suhu minimum PCR Model I dan Model II 46 24.Resume nilai RMSE dan korelasi Model I dan II prakiraan suhu minimum 47 25.Penentuan waktu (UTC) pada prediktan dan prediktor pada dua model 53 26.Prediktor untuk model prakiraan kejadian hujan harian 54

27.Tabel kontingensi pengamatan dan prakiraan 55

28.Nilai Akurasi MCLR Model I 56

29.Nilai Akurasi MCLR Model II 56

30.Proporsi kumulatif nilai Eigen prediktor NWP jam 00, 24, 48 dan 72 UTC untuk Model I dan II (Model I hanya menggunakan statistik hari ke-1) 56 31.Parameter penyumbang variasi terbesar pada tiga komponen utama untuk

pemodelan PC-MCLR 57

32.Nilai akurasi PC-MCLR Model I 58

33.Nilai akurasi PC-MCLR Model II 58

34.Verifikasi akurasi (%) dengan selisih satu tingkat model prakiraan kejadian

(20)

DAFTAR GAMBAR

1. Tahapan pemodelan prakiraan suhu maksimum, suhu minimum dan kejadian

hujan harian 5

2. Perbandingan pendekatan Klasik, Perfect Prognosis dan MOS

(dikembangkan dari Wilks, 1995) 10

3. Referensi waktu yang digunakan untuk menentukan prediktor dan prediktan

(sumber : Maini et al. 2003) 13

4. Lokasi stasiun pengamatan cuaca dan domain spasial penelitian 18

5. Domain spasial sekitar Jabodetabek 19

6. Isokorelasi suhu maksimum Stasiun Bogor, Cengkareng, Curug dan Citeko

dengan suhu maksimum NWP GFS jam 06 UTC 24

7. Isokorelasi suhu maksimum Kemayoran, Pondok Betung, Tangerang dan Tanjung Priok dengan suhu maksimum NWP GFS jam 06 UTC 25 8. Isokorelasi suhu maksimum Stasiun Bogor, Cengkareng, Curug dan Citeko

dengan suhu permukaan NWP GFS jam 06 UTC 26

9. Isokorelasi suhu maksimum Kemayoran, Pondok Betung, Tangerang dan Tanjung Priok dengan suhu permukaan NWP GFS jam 06 UTC 27 10. Korelasi suhu maksimum observasi dengan prakiraan (kiri) dan RMSE suhu

maksimum observasi dan prakiraan (kanan) 29

11. Plot nilai korelasi dan RMSE Model PLSR (angka menyatakan nomor

domain) 29

12. Referensi waktu yang digunakan untuk menentukan prediktor dan prediktan

pemodelan prakiraan suhu maksimum dan minimum 32

13. Grafik verifikasi prakiraan suhu maksimum PLSR Model I dan Model II

(r-min : korelasi (r-minimum pada n=90 dan alpha=5%) 39

14. Grafik verifikasi prakiraan suhu maksimum PCR Model I dan II (r-min :

korelasi minimum pada n=90 dan alpha=5%) 40

15. Grafik verifikasi prakiraan suhu minimum PLSR Model I dan II(r-min :

korelasi minimum pada n=90 dan alpha=5%) 45

16. Grafik verifikasi prakiraan suhu minimum PCR Model I dan II (r-min :

korelasi minimum pada n=90 dan alpha=5%) 47

17. Distribusi peubah laten kontinyu dan titik-titik potong yang mendefinisikan

peubah respon ordinal 51

18. Referensi waktu yang digunakan untuk menentukan prediktor dan prediktan

model hujan 53

19. Grafik verifikasi (akurasi) prakiraan hujan dengan metode MCLR dan

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Daftar singkatan 70

2. Beberapa Teknik Model Output Statistics 72

3. Plot suhu maksimum pengamatan dan NWP jam 06 UTC pada grid 39 di

Stasiun Tanjung Priok, Kemayoran 74

4. Plot suhu maksimum pengamatan dan NWP jam 06 UTC pada grid 39 di Stasiun Pondok Betung, Curug, Bogor dan Citeko 75 5. Persamaan regresi pemodelan suhu maksimum metode PLSR (koefisien

b11 sampai b270 tidak dicantumkan) 76

6. Statistik hasil pemodelan T-maks dengan metoda PCR Model I dan II

(Model I hanya menggunakan statistik hari ke 1) 77 7. Plot suhu maksimum pengamatan dan hasil prakiraan di Stasiun Tanjung

Priok, Kemayoran, Cengkareng dan Tangerang 78

8. Plot suhu maksimum pengamatan dan hasil prakiraan di Stasiun Pondok

Betung, Curug, Bogor dan Citeko 79

9. Plot suhu minimum pengamatan dan NWP jam 18 UTC pada grid 36 di

Stasiun Tanjung Priok, Kemayoran 80

10. Plot suhu minimum pengamatan dan NWP jam 18 UTC pada grid 36 di Stasiun Pondok Betung, Curug, Bogor dan Citeko 81 11. Persamaan regresi pemodelan suhu minimum metode PLSR (koefisien

b11 sampai b270 tidak dicantumkan) 82

12. Statistik hasil pengolahan T-min dengan metoda PCR Model I(Model I

hanya menggunakan statistik hari ke-1) 83

13. Plot suhu minimum pengamatan dan hasil prakiraan di Stasiun Tanjung

Priok, Kemayoran, Cengkareng dan Tangerang 84

14. Plot suhu minimum pengamatan dan hasil prakiraan di Stasiun Pondok

Betung, Curug, Bogor dan Citeko 85

15. Statistik pemodelan PC-MCLR Model II hari ke 1 (Model I hanya

menggunakan statistik hari ke 1) 86

(22)
(23)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pada saat ini pengguna informasi cuaca jangka pendek menuntut untuk memperoleh informasi cuaca secara cepat dan tepat. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BKMG) telah membuat prakiraan harian untuk kota-kota besar di Indonesia dengan parameter yang diramalkan adalah suhu maksimum (T-maks), suhu minimum (T-min), kelembapan maksimum (RH-maks), kelembapan minimum (RH-min) dan kondisi cuaca khususnya kejadian hujan harian (RR). Berdasarkan hasil verifikasi Bidang Analisa Meteorologi tahun 2004 melalui kegiatan ”Verifikasi dan jangkauan prakiraan cuaca jangka pendek” bahwa prakiraan yang dibuat khususnya parameter T-maks, T-min, RH-maks, RH-min dan cuaca belum memenuhi harapan atau kurang memuaskan.

Metoda prakiraan cuaca jangka pendek masih bersifat subyektif atau dengan kata lain belum ada satu metoda prakiraan cuaca jangka pendek yang bersifat obyektif. Obyektif yang dimaksud adalah dengan hanya memasukkan data maka secara otomatis diperoleh nilai prakiraannnya, sehingga tidak ada lagi unsur subyektifitas prakirawan.

Mengacu pada kondisi prakiraan cuaca jangka pendek BMKG saat ini, perlu dikembangkan prakiraan cuaca jangka pendek yang tepat dan cepat secara operasional. Dalam mengembangkan prakiraan cuaca jangka pendek memerlukan waktu yang cukup lama mengingat sarana dan prasarana terutama basis data masih belum memenuhi syarat. Sehingga perlu dicari suatu metoda prakiraan yang murah dan mudah; dan penyediaan data yang valid. Metoda prakiraan statistik dapat menjadi alternatif untuk mengatasi permasalahan di atas.

Metoda prakiraan cuaca obyektif dapat dikategorikan menjadi dua yaitu metoda dinamis dan statistik (Epstein 1969; Flemming 1971). Metoda obyektif lainnya adalah metoda dynamical downscaling dan statistical downscaling (SD) (Bernardin et al. 2009). SD dapat digunakan sebagai alat untuk meramal cuaca di suatu titik stasiun berdasarkan luaran model cuaca numerik.

Ada dua metoda yang dapat digunakan dalam meramal parameter cuaca yang tidak dapat secara langsung dihasilkan dari sebuah model numerik (Klein, et al., 1959). Pertama, perfect prog method, metoda ini mencari hubungan antara peubah yang diduga dengan peubah yang dapat diramal oleh model dinamis. Hubungan kedua peubah tersebut diterapkan pada output model numerik pada proyeksi waktu ke depan (misal 36 jam ke depan) untuk menduga prediktan 36 jam ke depan setelah model dijalankan. Metoda yang kedua adalah Model Output Statistics (MOS), metoda ini menentukan hubungan statistik antara prediktan dan peubah dari model numerik pada beberapa proyeksi waktu.

(24)

2

cuaca pada lokasi grid berukuran sampai dengan 0,5o×0,5o (lintang × bujur) atau sekitar (55 × 55) km2 dan pada beberapa ketinggian.

Permasalahan yang dihadapi BMKG adalah belum adanya prakiraan cuaca obyektif yang dapat dioperasionalkan, terutama dalam pembuatan prakiraan suhu maksimum, suhu minimum dan keadaan cuaca. Prakiraan yang dimaksud adalah prakiraan cuaca di titik stasiun dengan waktu prakiraan sampai 4 hari ke depan. Untuk itu perlu dikembangkan model prakiraan cuaca obyektif dengan memanfaatkan luaran NWP. Langkah-langkah pengembangan model yang harus dikaji adalah penentuan domain spasial dari NWP yang optimum untuk pemodelan, pembuatan model prakiraan suhu maksimum dan minimum dan prakiraan kejadian hujan harian dengan lima kategori yaitu tidak hujan, hujan ringan, hujan sedang, hujan lebat dan hujan lebat sekali.

Perumusan Masalah

Kualitas prakiraan cuaca jangka pendek yang dikeluarkan oleh BMKG masih belum akurat. Verifikasi prakiraan kejadian hujan (hujan/tidak hujan) untuk wilayah Janbodetabek mempunyai akurasi sebesar 62% (Gustari et al. 2012), sedangkan prakiraan cuaca secara umum di wilayah Jabodetabek mempunyai tingkat akurasi sekitar 70% (Jatmiko HT 20 Agustus 2014, komunikasi pribadi). Disamping itu cakupan wilayah yang diprakirakan masih pada tingkat Ibu Kota Propinsi dan kota besar lainnya. Tuntutan pengguna prakiraan adalah prakiraan cuaca yang menjangkau tingkat Kabupaten dan Kota dan waktu prakiraan lebih panjang yaitu sampai dengan tujuh hari ke depan.

Prakiraan cuaca jangka pendek yang dihasilkan oleh BMKG saat ini masih menggunakan mengandalkan subyektifitas prakirawan berdasarkan analisis cuaca berbentuk grafik, peta dan interpretasi model numerik. Subyektifitas ini tergantung pada keahlian dan pengalaman prakirawan. Prakirawan dengan pengalaman yang lama dan mempunyai keahlian yang cukup cenderung menghasilkan prakiraan yang lebih baik dibandingkan dengan prakirawan yang belum berpengalaman. Adanya gap tingkat keahlian dan pengalaman ini diperlukan suatu alat bantu yang dapat meminimalkan tingkat subyektifitas prakirawan, sehingga perbedaan hasil prakiraan yang dibuat oleh keduanya dapat diminimalkan, bahkan tidak ada perbedaan hasil.

(25)

3

Beberapa alasan mengapa interpretasi statistik luaran model cuaca numerik diperlukan dalam memprakirakan cuaca permukaan (Wilks 1995), diantaranya adalah sebagai berikut,

1) Terdapat perbedaan antara dunia nyata dengan model NWP. NWP menyederhanakan dan meng-homogen-kan kondisi permukaan dengan merepresentasikan permukaan bumi menjadi rangkaian titik grid. Dengan demikian pengaruh skala lokal (topografi, perairan kecil/danau) yang berpengaruh terhadap cuaca lokal tidak diperhitungkan dalam proses pembuatan NWP.

2) Sirkulasi tropis dan sistem cuaca dipicu oleh proses fisis. Proses fisis, dalam skala subgrid, direpresentasikan dalam model NWP dalam bentuk parameterisasi. Dengan demikian model NWP tidak merepresentasikan lokasi dan peubah yang dibutuhkan. Namun demikian, hubungan statistik dapat dibangun antara informasi yang dihasilkan NWP dan nilai prakiraan yang dimaksud.

3) Model NWP tidak sempurna, dan hasil prakiraannya masih terdapat kesalahan, seperti systematic error. Hal ini menyebabkan timbulnya defisiensi dalam pemodelan fisika. Prakiraan statistik berdasarkan pada NWP dapat menggantikannya dan mengkoreksi beberapa kesalahan prakiraan.

4) Model NWP adalah deterministik dan tidak bisa secara penuh menjelaskan proses stokastik cuaca. Namun, informasi NWP yang digunakan bersamaan dengan metoda statistik memungkinkan untuk mengkuantifikasi dan menjelaskan ketidakpastian dengan menghubungkannya dengan kondisi prakiraan yang berbeda atau prakiraan probabilistik.

Berdasarkan uraian di atas, maka untuk memperoleh hasil prakiraan cuaca obyektif yang dapat mengeluarkan parameter cuaca dan lokasi secara spesifik diperlukan interpretasi statistik terhadap luaran NWP. Penggunaan model statistik dan luaran beberapa model cuaca numerik akan menjadi dasar dalam penelitian ini. Disamping itu pertimbangan lain yang harus digunakan adalah bahwa prakiraan cuaca obyektif ini harus bisa dioperasionalkan. Pertimbangan tersebut adalah waktu yang diperlukan untuk pembacaan data sampai menghasilkan prakiraan, ketersediaan luaran NWP dan kelanjutannya, dukungan perangkat lunak dan keras yang diperlukan.

Kebaruan

Pada penelitian ini ada 3 (tiga) kebaruan (novelty) , yaitu sebagai berikut :

1. Percobaan model prakiraan suhu maksimum, suhu minimum dan kejadian hujan harian pada penelitian ini menggunakan beberapa metode yaitu PLSR, PCR, MCLR dan PC-MCLR, dan dua model yaitu Model I dan II; maka prakiraan untuk setiap lokasi stasiun yang mempunyai karakteristik tertentu dapat ditingkatkan melalui pemilihan metode dan model yang menghasilkan prakiraan paling baik.

(26)

4

3. Luaran NWP pada kenyataannya belum mampu untuk meprakirakan unsur cuaca di sebuah titik stasiun, hal ini dikarenakan pada pemodelan NWP mengasumsikan bahwa wilayah dengan grid mempunyai sifat yang homogen. Pada penelitian ini metode PCR Model I untuk prakiraan suhu dan PC-MCLR untuk prakiraan kejadian hujan harian mampu meningkatkan keakuratan NWP di semua stasiun.

Tujuan Penelitian

Pemodelan MOS untuk pendugaan parameter cuaca di suatu lokasi menggunakan data luaran NWP telah banyak diterapkan di negara-negara sub-tropis seperti Amerika, Eropa, Australia, Jepang dan Korea. Model-model tersebut tentunya didasarkan pada kondisi wilayah sub-tropis. Pada penelitian ini akan dikembangkan pemodelan MOS untuk daerah tropis seperti Indonesia khususnya di daerah Jabodetabek menggunakan data luaran NWP GFS yang diproduk oleh NOAA. Secara umum tujuan penelitian ini adalah mengembangkan prakiraan cuaca lokal dengan memanfaatkan luaran NWP dan data cuaca stasiun di beberapa stasiun di Jabodetabek, sedangkan lebih spesifik tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Menentukan domain spasial dari luaran NWP Global Forecast System (GFS) yang optimum untuk post processing dalam pendugaan parameter cuaca suhu maksimum, suhu minimum dan kejadian hujan harian.

2) Membangun model prakiraan unsur cuaca suhu maksimum dan suhu minimum, empat hari ke depan dengan timestepsatu hari.

3) Membangun model prakiraan kejadian hujan harian dengan lima kategori (cerah, hujan ringan, hujan sedang, hujan lebat dan hujan lebat sekali) empat hari ke depan dengan timestep satu hari.

Manfaat Penelitian

1) Menginformasikan metoda reduksi dimensi luaran model cuaca numerik yang paling tepat sehingga dalam pemanfaatannya dalam pembuatan prakiraan menjadi lebih efisien dari sisi waktu dan kompleksitasnya. Hal ini penting karena data luaran model cuaca numerik mempunyai dimensi yang besar, pada skala spasial mencakup wilayah seluruh dunia, secara temporal mempunyai timestep yang sangat pendek (3 jam), secara vertikal mempunyai kerapatan data yang tinggi (permukaan sampai dengan 10 mb) dan jumlah parameter yang besar.

2) Merupakan upaya awal dalam rangka mengoperasionalkan model prakiraan cuaca jangka pendek dengan memanfaatkan luaran model cuaca numerik. Operasional dalam arti mulai dari teknik download, konversi data, cropping data, reduksi dimensi dan pemodelan statistik.

3) Hasil penelitian ini dapat dioperasionalkan oleh BMKG dalam memberikan prakiraan cuaca jangka pendek sampai hari ke empat dengan timestep satu hari.

Kerangka Pemikiran

(27)

5 pendek dan permasalahan statistik yang sering timbul, penentuan domain spasial (dalam bentuk grid) dari NWP yang secara signifikan mempengaruhi kondisi cuaca lokal, menentukan peubah NWP-GFS yang berpotensi dapat dijadikan sebagai prediktor dalam model prakiraan MOS, pembuatan model prakiraan MOS untuk unsur suhu maksimum, suhu minimum, dan kejadian hujan harian. Lokasi yang dijadikan sebagai sampel penelitian adalah wilayah Jabodetabek di 8 (delapan) Stasiun Meteorologi. Tahapan penelitian seperti tercantum pada Gambar 1.1.

Pemodelan MOS adalah menyusun pola hubungan statistik antara data luaran model NWP dengan peubah cuaca lokal. Data NWP-GFS berskala global yang mempunyai ukuran grid 0,5o×0,5o atau sekitar 55 km × 55 km, dengan demikian diperlukan domain spasial yang tepat untuk menduga parameter cuaca lokal. Data NWP dari domain yang terpilih tersebut menjadi prediktor pemodelan yang menentukan dugaan parameter cuaca lokal. Sehingga penentuan domain spasial dari NWP-GFS menjadi langkah pertama dalam pemodelan MOS.

Gambar 1.1. Tahapan pemodelan prakiraan suhu maksimum, suhu minimum dan kejadian hujan harian

(28)

6

merupakan data katagorik. Data luaran NWP-GFS bersifat curse of dimensionality dan mempunyai korelasi yang tinggi antar paramater, antar grid, antar waktu dan antar level; atau lebih dikenal terdapat multikolinieritas (Wigena 2006). Langkah awal adalah menentukan domain spasial optimum yang tepat untuk menduga parameter cuaca di daerah penelitian. Penentuan domain spasial digunakan metode singular value decomposition (SVD), korelasi spasial dan partial least square regression (PLSR). Untuk menanggulangi kondisi multikolinieritas, maka langkah kedua penelitian ini adalah menghilangkan multikolinieritas atau reduksi dimensi. Multikolinieritas dapat direduksi dengan menggunakan metoda PCA.

Proses selanjutnya adalah pemodelan MOS yaitu pembuatan model statistik antara prediktor terpilih dengan parameter cuaca lokal. Untuk model suhu digunakan metode PLSR dan PCR, dan model prakiraan kejadian hujan harian menggunakan multiple categoric logistic reression (MCLR) dan principal component multiple categoric logistic reression (PC-MCLR). Permasalahan dalam pemodelan MOS adalah penentuan referensi jam yaitu mencocokkan jam data NWP-GFS dan data pengamatan ditinjau dari hubungan secara fisis. Suhu maksimum terjadi sekitar jam 13 – 14 WIB, suhu munimum terjadi sekitar jam 03 – 04 waktu setempat dan curah hujan harian merupakan akumulasi jam 07 sampai jam 07 hari berikutnya. Dengan referensi waktu yang demikian, perlu dipertimbangkan pola hubungan secara fisik dari prediktor terhadap parameter cuaca di atas.

Performance model prakiraan baik pada saat pemodelan maupun implementasi akan dilakukan kalibrasi dan verifikasi. Kalibrasi dan verifikasi diukur berdasarkan nilai root mean square error of prediction (RMSEP) dan nilai korelasi. Model prakiraan yang mempunyai nilai RMSEP relatif kecil dan nilai korelasi mendekati satu adalah model yang mempunyai performance yang baik.

Sistematika Penulisan

Penulisan disertasi ini meliputi 7 bab. Bab 1 berisi latar belakang, perumusan masalah, kebaruan, tujuan sampai dengan manfaaat penelitian. Bab 2 merupakan Bab yang membahas tentang perkembangan teknik post processing model numerik, dimulai dari mengkaji model numerik cuaca NWP, sampai dengan perkembangan dan pemanfaatan MOS dalam operasional pembuatan prakiraan cuaca harian.

Bab 3, 4 dan 5 secara umum merupakan inti dari hasil peneltian ini. Bab 3 membahas reduksi dimensi spasial dari luaran NWP yang secara statistik mempunyai pengaruh terhadap unsur cuaca di stasiun penelitian. Hasil dari Bab 3 ini merupakan dasar untuk membangun model pada Bab 4 dan 5.

Bab 4 membahas tentang model prakiraan suhu maksimum dan suhu minimum menggunakan dua metoda yaitu PLSR dan principal component regression (PCR) dan masing-masing metode diterapkan pada dua model.

Bab 5 membahas tentang model prakiraan kejadian hujan harian dengan lima kategori menggunakan dua metode yaitu (MCLR) dan (PC-MCLR) dan masing-masing diterapkan pada dua model berbeda.

(29)

2

PERKEMBANGAN TEKNIK

POST PROCESSING

MODEL

CUACA NUMERIK

Model cuaca numerik NWP

Model cuaca numerik yang dimaksud adalah NWP yang dikeluarkan oleh beberapa institusi seperti Japan Meteorological Agency (JMA), National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), ECMWF dan lain-lain. NWP menggunakan model-model matematika atmosfer dan laut untuk memprediksi cuaca berdasarkan kondisi cuaca saat ini. Beberapa institusi prakiraan global maupun regional menjalankan model dalam berbagai bentuk menggunakan pengamatan cuaca permukaan, radiosonde, radar dan satelit.

Ide tentang NWP pertama kali dicetuskan oleh Vilhelm Bjerknes pada tahun 1904. Bjerknes mendiskusikan penerapan hukum fisika untuk memecahkan masalah prakiraan cuaca. Beberapa dekade sesudahnya, Lewis Fry Richardson pada tahun 1922 menjelaskan tahapan-tahapan yang diperlukan dalam pengumpulan dan pengolahan data serta mendiseminasikan prakiraan. Prakiraan dengan timestep 6-jam dihitung, namun masih mengindikasikan kegagalan (Shuman, 1989).

Pengolahan NWP untuk menyelesaikan persamaan atmosfer menggunakan kalkulator diperlukan sekitar 64.000 orang yang bekerja bersama untuk memperoleh prakiraan cuaca numerik. Hasil yang diperoleh belum memuaskan, karena untuk menghitung prediksi 6 jam ke depan diperlukan waktu sekitar 6 minggu dan hasil ramalannya tidak sesuai dengan hasil pengamatan yaitu adanya perubahan tekanan sebesar 145 hPa dalam waktu 6 jam (Shuman 1989).

Tahun 1946, ahli fisika dan matematika John von Neumann menyarankan untuk memulai dengan model yang paling sederhana, yaitu persamaan barotropis dari gerakan atmosfer, dimana evolusi aliran dijelaskan oleh efek konservasi vortisitas absolut dari parsel udara. Dikarenakan semua pendekatan memerlukan komputer untuk mengolah dan tersedia, maka model barotropis dibuat dan berhasil sukses, prakiraan 2 – 3 hari ke depan dengan tingkat keterandalan yang tinggi. Bahkan, perkembangannya mulai melihat kemungkinan menggunakan model barokklinik. Sejak tahun 1950-an, dengan perkembangan komputer yang cepat, beberapa negara telah memulai untuk mengoperasionalkan NWP pada level 500 mb untuk tiga hari ke depan menggunakan model barotropik (WMO 1999).

Tahun 1950-an, usaha lebih besar dari beberapa negara mengeksplorasi sifat baroklinik dari atmosfer. Beberapa model quasi-geostropis didisain menggunakan komputer untuk menghitung ketinggian geopotensial, angin dan suhu diturunkan sebagai turunan spasial. Perhitungan ini menyertakan model pemanasan dari bawah, friksi dan faktor orografi. Pada tahun 1960-an, mulai dikembangkan model baroklinik quasi-geostropis untuk memprakirakan hanya sampai 1 – 2 hari ke depan. Sedangkan untuk prakiraan jangka lebih panjang masih digunakan model barotropik. Sampai selanjutnya dikembangkan model persamaan primitif (PE) (WMO 1999).

(30)

8

sulit untuk ditangani dalam model kuasi-geostropis, mudah untuk dimasukkan dalam model, sehingga domain prakiraan dapat dikembangkan ke seluruh wilayah global. Model persamaan PE pertama kali diimplementasikan pada tahun 1966, dengan ukuran grid 300-km dan enam lapisan vertikal. Selama tahun 1970 dan 1980-an, beberapa model PE lainnya diimplementasikan pada level belahan bumi, global atau bahkan model area terbatas (LAM) dengan resolusi tinggi pada area yang lebih sempit (WMO 1999).

[image:30.612.100.487.284.545.2]

Pusat penelitian meteorologi yang berbeda mengembangkan dan mengoperasikan berbagai model NWP. Karena aplikasi dan keterbatasan komputasi, berbagai macam teknik numerik dan penyederhanaan persamaan atmosfir yang digunakan. Tabel 2.1 menunjukkan berbagai model yang digunakan diseluruh dunia (BMG 2007).

Tabel 2.1. Beberapa model NWP dari berbagai institusi dilihat dari segi substansi dan metodologi

Pusat Penelitian Tipe model NWP Resolusi

ECMWF Global spectral 40 km

UK (UKMO) Global grid point 55 km

Regional grid point 12 km

USA (NCEP) Global spectral 60 km

Regional grid point 12 km

Canada (CMC) Global grid point 24 km over North

America

France (Meteo France) Global spectral 20 km over France

Regional spectral 9 km

Germany (DWD) Global grid point 60 km

Regional grid point 7 km

Japan (JMA) Global spectral 60 km

Regional spectral 10 km

China (CMA) Global spectral 60 km

Regional grid point 30 km

HKO Regional spectral 20 km

Model Output Statistik (MOS)

Metoda prakiraan cuaca obyektif dapat dikategorikan menjadi dua yaitu metoda dinamis dan statistik. Perkembangannya menunjukkan bahwa metoda stokastik-dinamik mulai dieksplorasi dan menjanjikan untuk dapat dioperasionalkan di masa yang akan datang (Epstein 1969; Flemming 1971). Metoda prakiraan cuaca obyektif dinamik atau sering dikenal dengan NWP adalah model yang memprakirakan parameter cuaca, namun model ini tidak dapat memprakirakan semua parameter cuaca secara lengkap dan masih menyisakan kesalahan atau ketidakakuratan.

(31)

9

perfect prog method, metoda ini mencari hubungan antara peubah yang diduga dengan peubah yang dapat diramal oleh model dinamis (Klein et al. 1959). Hubungan kedua peubah tersebut diterapkan pada output model numerik pada proyeksi waktu ke depan (misal 36 jam ke depan) untuk menduga prediktan 36 jam ke depan setelah model dijalankan. Metoda yang kedua adalah MOS, metoda ini menentukan hubungan statistik antara prediktan dan peubah dari model numerik pada beberapa proyeksi waktu. Teknik MOS menentukan hubungan statistik antara cuaca sebenarnya dengan model numeris. Sebagai contoh, dapat diketahui berapa kali terjadi hujan jika hasil prediksi kelembapan udara dari model sebesar 80% (Glahn dan Dale 1972).

MOS merupakan model yang meghubungkan antara peubah penjelas y (observasi stasiun cuaca, seperti temperatur minimum, temperatur maksimum, kecepatan angin dan sebagainya) dan peubah prediktor x (parameter NWP, seperti temperatur, angin dan sebagainya pada berbagai grid dan level). Di samping itu peubah prediktor dapat juga berupa parameter geografi seperti lintang, bujur dan waktu (t). Tipe data peubah prediktor dapat digunakan beberapa tipe, diantaranya kontiyu (seperti temperatur), diskret (seperti klasifikasi awan: 0=cerah, 1= tersebar (scattered), 2=patah-patah (broken), dan 3=mendung), binary (seperti 1=terjadi presipitasi, 0= tidak terjadi presipitasi) dan diskontinyu.

MOS direpresentasikan dalam bentuk regresi berganda:

=+ +, = 1,2, … ,

(2.1 )

dimana, β0 adalah konstanta regresi, βi koefisien regresi peubah prediktor x ke-i , k adalah banyaknya peubah prediktor, dan n adalah banyaknya pengamatan. Pendugaan parameter regresi yang seringkali digunakan adalah metode kuadrat terkecil (ordinary least square). Di samping itu digunakan generalized additive models (Vislocky dan Fritch, 1995a), regresi logistik untuk meramalkan fenomena diskrit (Glahn et al. 1991; Hamill et al. 2004), dan jaringan syaraf tiruan (Marzban 2003).

MOS mempunyai dua fungsi utama, yaitu: (1) teknik MOS menghasilkan ramalan cuaca kuantitatif ke depan dan mungkin juga tidak secara eksplisit di peroleh dari model. Seperti ramalan tipe presipitasi dan ramalan peluang presipitasi, thunder, fog dan sebagainya, (2) MOS mereduksi rataan sisaan dari ramalan raw model (NWP) dengan memperkecil bias dan pengkoreksian model secara statistik (Neilley dan Hanson 2004). Pengkoreksian yang dimaksud digunakan jika terdapat sisaan yang sistematik pada luaran model NWP, seperti ramalan temperatur pada kondisi terlalu dingin pada hari mendung dan terlalu panas pada hari cerah.

Perbandingan pendekatan Klasik, Perfect Prognosis dan MOS

(32)

10

implementasi model. Gambar 2.1 adalah diagram yang menunjukkan perbandingan ketiga pendekatan.

Gambar 2.1. Perbandingan pendekatan Klasik, Perfect Prognosis dan MOS (dikembangkan dari Wilks, 1995)

Pendekatan Klasik

Penjelas pada beberapa waktu yang akan datang, t, dijelaskan dalam fungsi regresi fc menggunakan vektor (atau multiple) prediktor xo, dengan persamaan :

௧ ௖଴ (2.2 )

subscript 0 pada prediktor menyatakan bahwa nilai-nilainya merupakan pengamatan pada saat atau sebelum waktu ramalan, yaitu waktu sebelum t (waktu ramalan). Persamaan ini menekankan bahwa time lag dari ramalan dimasukkan dalam membangun persamaan regresi. Persamaan di atas digunakan pada tahap pembangunan model dan implementasi.

Pendekatan Perfect Prognosis (PP)

Pendekatan PP menggunakan persamaan yang berbeda pada tahap pembangunan dan implementasi.

Persamaan tahap pembangunan sebagai berikut :

଴ ௉௉଴ (2.3 )

[image:32.612.101.473.80.425.2]
(33)

11

= () (2.4 )

Fungsi regresi PP, fpp, sama dalam kedua kasus, tetapi dibangun berdasarkan data observasi tanpa lag waktu. Pada tahap implementasi digunakan nilai-nilai ramalan dari prediktor pada waktu ke t, sebagaimana diperoleh dari NWP.

Pendekatan MOS

Pendekatan MOS menggunakan persamaan yang sama pada tahap pembangunan dan implementasi,

= () (2.5 )

Persamaan diturunkan dari prediktor ramalan NWP xt, lag waktu terbawa oleh ramalan NWP, bukan pada persamaan regresi (Wilks 1995).

Perkembangan dan pemanfaatan model MOS

MOS dengan metode regresi stepwise diaplikasikan untuk meramal angin permukaan, peluang hujan, suhu maksimum, jumlah awan, peluang bersyarat hujan es. Data yang digunakan adalah output dari Subsynoptic Advection Model (SAM) dan PE yang diproduk oleh National Weather Service (Amerika). Sebagai prediktan digunakan data pengamatan angin permukaan, peluang hujan, suhu maksimum, jumlah awan, peluang bersyarat hujan. Metoda yang digunakan meliputi metoda regresi stepwise (screening) digunakan untuk membuat model persamaan, root mean square error (RMSE) untuk mengevaluasi hasil prakiraan dan regression estimation of event probability (REEP) atau fungsi prognosis aproksimasi dengan regresi linier digunakan untuk menghitung peluang kejadian untuk peubah biner (0,1). Range dipotong pada <0,1> untuk menghindari peluang di bawah 0 dan di atas 1 (Glahn dan Dale 1972).

Persamaan yang digunakan adalah persamaan regresi musiman (musim kemarau : April-Sept, dingin:Okt-Maret) diupdate dua kali setahun. Prediktan yang digunakan adalah kejadian hujan harian yang didefinisikan jika curah hujan >= 0.01 inch, sedangkan sebagai prediktor digunakan data biner yang diturunkan dari kelembapan lapisan permukaan sampai 400mb, saturation deficit, jumlah hujan dan tekanan permukaan laut. Persamaan dibuat pada dua periode 6-jam yaitu 12-18 dan 18-24 dan periode 12-jam pada jam 12-24 dari hasil running jam 07. Hasil validasi prakiraan terhadap observasi lokal (stasiun) menunjukkan bahwa prakiraan MOS lebih baik daripada lokal pada pengamatan 15 bulan pertama, namun sebaliknya untuk 21 bulan berikutnya. Secara rata-rata, prakiraan MOS lebih baik dari hasil yang dikeluarkan NMC selama 24 bulan (Glahn dan Dale 1972).

(34)

12

dikembangkan dengan pendekatan metoda perfect prognosis (PPM). Untuk menganalisis data ECMWF selama periode 6 tahun (1985 – 1990) digunakan persamaan model PPM. Prediksi suhu maksimum dan minimum harian diperoleh dari persamaan tersebut dengan menggunakan output model T-80. Untuk menguji skill dan kualitas prediksi suhu, dilakukan verifikasi dengan menggunakan distribusi kondisional dan marginal.

Menurut Benestad, 2004 dua pendekatan yang digunakan untuk memanfaatkan GCM dalam pembuatan informasi iklim skala lokal adalah metode dynamical downsaling dan statistical downscaling (SD). MOS merupakan salah satu metode dalam SD. Menurut Zorita dan Storch (1999) SD adalah sebuah teknik analisis menggunakan metoda statsitik yang menghubungkan data iklim dalam skala spasial yang besar (grid) dengan data dalam skala lokal. Hubungan statistik ini selanjutnya digunakan untuk memprakirakan iklim di skala lokal.

Maini et al. (2003) membangun persamaan regresi menggunakan data TOGA berukuran 2,5×2,5o tahun 1985 – 1990 sebagai prediktor dan pengamatan suhu sebagai prediktan. Pada tahap awal ditentukan prediktor yang mungkin dapat digunakan. Untuk menentukan hasil kombinasi linier terbaik dari nilai-nilai prediktor di sembilan grid sekitar lokasi stasiun, dihitung korelasi kanonik antara prediktan (Tmaks dan Tmin) di stasiun dengan prediktor di sembilan grid. Kombinasi linier terbaik yang dihasilkan mempunyai korelasi maksimum dengan prediktan. Untuk mengeliminasi prediktor yang mempunyai informasi redundance digunakan regresi stepwise. Prediktor yang menjelaskan seluruh varian dipilih sebagai prediktor.

Hal penting yang harus dipertimbangkan dalam menentukan prediktor adalah referensi waktu pengamatan prediktan dan waktu prediktor. Gambar 2.2 menunjukkan waktu terjadinya suhu minimum dan maksimum selama 24 jam dengan dasar tanggal kalender. Berdasarkan gambar tersebut, maka penentuan prediktor untuk suhu minimum dipilih suhu minimum model numeris pada jam 00 UTC dan suhu maksimum dipilih pada jam 12 UTC. Selain referensi waktu, hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah pemilihan grid dari data model numerik (Maini et al. 2003). Tapp et al. (1986) dalam Maini (2003) menggunakan sembilan grid yang melingkupi stasiun. Untuk memperoleh kombinasi linier terbaik dari sembilan grid tersebut, Rousseau (1982) dalam Maini et al. (2003) menggunakan korelasi kanonik antara prediktan (suhu minimum dan maksimum) dengan prediktor di sembilan grid tersebut.

(35)

13

Gambar 2.2. Referensi waktu yang digunakan untuk menentukan prediktor dan prediktan (sumber : Maini et al. 2003)

MOS adalah sebuah proses dimana hubungan statistik antara luaran model NWP dengan pengamatan dibangun untuk meningkatkan prakiraan cuaca. Proses ini sering kali digunakan untuk menjawab permasalahan prakiraan jika peubah tertentu tidak diproduk oleh model NWP, atau untuk downscaling jika resolusi spasial dari NWP sangat kasar. Permukaan tanah kasar, jarangnya lokasi pengamatan, dan kurangnya pengetahuan tentang proses fisik merupakan permasalahan lainnya yang dapat mengurangi performance model NWP dan memerlukan proses tambahan yaitu MOS (Yuval dan Hsieh 2003).

Kendala yang dihadapi dalam mengembangkan model MOS adalah adanya modifikasi model NWP. Perbaikan di dalam skema dinamik dan asimilasi data, perubahan dalam sistem pengamatan dan penghalusan resolusi temporal dan spasial berkontribusi dalam perubahan karakteristik model NWP. Sistem cuaca sendiri juga selalu berubah dalam skala waktu yang bervariasi. Tidak ada keraguan bahwa hubungan antara luaran NWP dengan peubah-peubah cuaca misalnya hujan harus berubah pula, dan dengan kata lain skema prakiraan MOS yang dapat beradaptasi dengan sendirinya.

Wilson dan Vallee (2002) menjelaskan updateable MOS yang diterapkan Badan Meteorologi Kanada. Sistem ini didasarkan pada updating set data yang digunakan dalam membangun hubungan empiris MOS linier. Estimasi langsung dan pembaharuan parameter-parameter dari hubungan MOS linier dari data series dapat dilakukan dengan Kalman filter (Grewal dan Angus 1993). Penulis tidak memperhitungkan teknik hubungan non-linier. Metoda alternatif prakiraan hujan non-linier dikenalkan oleh Xia dan Chen (1999). Skema dinamik model output mereka didasarkan pada modifikasi dari model vertical velocity dengan syarat pengamatan hujan terakhir.

(36)

14

waktu yang bersesuaian. Model NN merupakan modifikasi dari sebuah model referensi dilatih menggunakan semua data, di semua stasiun selama periode waktu yang singkat beberapa waktu sebelum waktu yang diprakirakan. Model terupdate dibangun ke model yang tepat dengan data observasi terbaru dan menggunakan prediktor yang mungkin dari model NWP.

Wilks dan Hamill (2007) mengajukan metode post processing ensemble forecast berdasarkan karakteritik kesalahan historis atau yang disebut dengan metode ensemble-model output statistics. Metode regresi logistik dan regresi Gauss nonhomogen lebih cocok untuk prakiraan suhu harian, suhu skala menengah (6-10 hari dan 8-14 hari) dan hujan.

Vannitsem (2008) melakukan koreksi terhadap luaran ECMWF menggunakan MOS di Belgia. Dari hasil prakiraan suhu udara ECMWF menunjukkan bahwa kesalahan yang timbul akibat dari ketidakpastian pada kondisi awal mendominasi kesalahan dari atmosfer bebas, dan suhu udara pada ketinggian 2 meter dapat dikoreksi dengan menggunakan teknik linier MOS.

Sokol (2003) menggunakan dua model statistik, regresi linier berganda dan regresi logistik untuk memproduk prakiraan jumlah hujan dan peluang hujan berdasarkan luaran NWP Aire Limite´e Adaptation Dynamique De´veloppement International/Limited Area Modelling in Central Europe (ALADIN/LACE). Interpretasi statistik ini berhasil meningkatkan performance prakiraan. RMSE dari prakiraan jumlah curah hujan berhasil diturunkan sekitar 10% - 30%.

Cheng dan Steenburgh (2007) menggunakan tiga teknik untuk meningkatkan akurasi prakiraan suhu udara pada ketinggian 2 meter, suhu titik embun pada ketinggian 2 meter dan angin ketinggian 10 meter luaran model Eta/North American meso (NAM). Ketiga model tersebut adalah traditional model output statistics (ETAMOS), Kalman filter (ETAKF) dan 7-day running mean bias removal (ETA7DBR). ETAMOS menghasilkan akurasi terbaik memprakirakan suhu udara, suhu titik embun dan angin; kemudian disusul dengan ETAKAF dan ETA7DBR.

Vislocky dan Fritsch (1995b) menerapkan consensus forecasts dengan cara merata-ratakan beberapa hasil MOS yang didasarkan pada fine-mesh model (LFM) dan nested grid model (NGM) pada periode 1990-1992. Uji model dilakukan terhadap hasil prakiraan suhu maksimum dan minimum, kecepatan angin, peluang jumlah awan dan peluang hujan pada proyeksi empat waktu di 250-350 stasiun. Hasil verifikasi menunjukkan bahwa concensus MOS dapat meningkatkan keakuratan MOS baik untuk LFM maupun NGM.

(37)

3

PENENTUAN DOMAIN SPASIAL NWP

Pendahuluan

Peubah-peubah yang dihasilkan dari NWP mempunyai dimensi yang besar yaitu, dimensi spasial (S), dimensi waktu (T), dimensi vertikal (V) dan dimensi parameter itu sendiri (P). Pada setiap dimensi, peubah NWP tidak saling bebas dan mempunyai korelasi yang cukup tinggi (r>0,5). Pada pemodelan statistik yang melibatkan banyak peubah bebas harus memenuhi persyaratan bahwa peubah bebasnya harus tidak saling berkorelasi.

Permasalahan yang muncul dalam pengembangan MOS adalah multikolinieritas antar peubah terutama bagi output NWP sebagai prediktor. Multikolinieritas yang terjadi meliputi autokorelasi masing-masing peubah, korelasi spasial untuk setiap peubah, korelasi setiap peubah pada satu ketinggian dengan ketinggian lainnya. Dapat disimpulkan bahwa peubah NWP saling berkorelasi menurut dimensi waktu dan ruang. Pada pemodelan regresi, adanya multikolinieritas pada peubah penjelas NWP akan memperbesar nilai variance inflation factor (VIP). Hal ini akan mempengaruhi performa model yang dihasilkan (Haryoko 2004). VIF adalah sebuah ukuran yang digunakan untuk mengukur tingkat multikolinieritas. VIF menunjukkan seberapa besar ragam dari koefisien regresi meningkat akibat adanya multikolinieritas (O’Brien 2009).

Untuk menangani permasalahan multikolinieritas dalam pemodelan downscaling atau MOS dapat dilakukan dengan mereduksi dimensi Ruang Vektor X (peubah bebas). Reduksi dimensi dimaksudkan untuk memperoleh Ruang Vektor X yang lebih kecil namun variasinya masih tetap dipertahankan. Dengan dimensi Vektor X yang lebih kecil akan memudahkan penanganan dalam pemodelan, sehingga hubungan antara Ruang Vektor Y dan Ruang Vektor X menjadi lebih sederhana. Misalkan dim X = n dan dim y = m (n>>>m). Permasalahan dalam pemodelan SD atau MOS adalah mereduksi dim X = n menjadi n* dengan syarat variasi vektor X tetap dipertahankan dan n*<<<n (Haryoko 2004).

Salah satu cara untuk meminimalisasi multikolinieritas adalah reduksi dimensi spasial atau mencari peubah baru yang merupakan kombinasi linier dari peubah aslinya dengan syarat peubah baru tidak saling berkorelasi. Rummukainen (1997) mengemukakan bahwa metoda reduksi dimensi yang sering digunakan diantaranya adalah PCA, transformasi Regresi Fourier (RF), dekomposisi nilai singular (SVD), analisis Wavelets, multidimensional scaling (MS). Review metoda SD yang dilakukan Rummukainen (1997) menyebutkan bahwa metoda yang umumnya digunakan untuk mereduksi peubah bebasnya adalah PCA, sedangkan pemodelan untuk estimasi digunakan metoda regresi dan analisis korelasi kanonik (AKK).

(38)

16

Wigena (2006) menentukan domain Global Circulation Model (GCM) dalam penyusunan model SD dengan mengambil domain spasial berbentuk segi bujur sangkar tepat di atas wilayah Kabupaten Indramayu. Segi bujur sangkar merupakan gabungan dari beberapa grid (satuan spasial GCM). Dalam penelitiannya, Wigena, 2006 menggunakan berbagai ukuran persegi yaitu 8×8 grid (segi 8), 10×10 grid (segi 10), 12×12 grid (segi 12) , 14×14 grid (segi 14) dan 16×16 grid (segi 16) yang posisinya tepat pada daerah penelitian. Disamping itu digunakan pula domain grid pada wilayah di daerah 50oLU-40oLS dan 50o -185oBT terhadap beberapa persegi lokasi target pendugaan. Dari berbagai pilihan tersebut, untuk menentukan grid masih dilakukan secara subyektif (Wigena, 2006).

Sutikno (2008) melakukan tiga percobaan dalam penentuan domain GCM dalam pemodelan SD di daerah sekitar Kabupaten Indramayu, yaitu ukuran 3×3, 8×8 dan 12×12. Disimpulkan bahwa domain dengan ukuran 12×12 mempunyai kinerja yang paling baik untuk daerah dekat laut, sedangkan untuk daerah yang semakin jauh dari laut dengan topografi datar menghasilkan model yang kirang tepat.

Salah satu syarat pemodelan SD adalah adanya hubungan yang erat antara prediktor dan prediktan. Dengan demikian maka penentuan domain spasial dalam pengembangan MOS perlu mempertimbangkan hubungan antara prediktor pada grid tertentu dengan prediktan (Busuioc et al. 2001) dalam (Wigena 2006). Dalam menggunakan teknik SD, penentuan ukuran domain spasial merupakan faktor yang kritis dan akan menentukan hasil prakiraannya (Wilby dan Wigley, 2000)

Prakiraan cuaca jangka pendek mempunyai skala sinoptik yaitu skala waktu yang pendek (sampai dengan 7 hari) dan skala ruang yang cukup sempit (sampai dengan 100 km). Fenomena cuaca harian seperti cloud cluster dan sea land breeze mempunyai dimensi sampai dengan tujuh hari dan skala spasial sampai dengan 100 km (WMO 1999). Berdasarkan kondisi ini, maka pada penelitian ini, sebagai domain awal dalam penentuan domain spasial NWP hanya mengambil sampel grid 8×8 di sekitar wilayah penelitian, dan ukuran tiap gridnya 0,5o×0,5o, sehingga luas wilayah penelitian meliputi 400×400 km. Bab ini bertujuan untuk mendapatkan domain spasial yang tepat dalam pemodelan MOS, yaitu menduga parameter cuaca di suatu titik berdasarkan prediktor NWP.

Bahan dan Metode Bahan

Data NWP yang digunakan dalam tulisan ini adalah Global Forecasting System (GFS) dengan resolusi grid 0,5o selama dua tahun yaitu mulai September 2010 sampai dengan September 2012 (diambil dari situs ftp://nomads.ncdc.noaa.gov/GFS/Grid4/). Jumlah grid yang dianalisis hanya berukuran 8×8 yang berada di sekitar Jawa Barat, Banten dan Jakarta. Jumlah grid ini didasarkan skala berbagai fenomena cuaca harian sampai mingguan yang ditetapkan oleh WMO, 1999 yaitu variasi fenomena cuaca harian sampai mingguan mempunyai skala horizontal antara 10 km sampai dengan 100 km.

(39)

17

diambil beberapa peubah yang secara fisis mempunyai hubungan erat terhadap suhu udara maksimum. Lokasi penelitian dan grid seperti pada Gambar 3.1.

Deskripsi statistik suhu maksimum, suhu minimum dan kejadian hujan harian tersaji pada Tabel 3.2 dan Tabel 3.3. Suhu maksimum tertinggi terjadi di Tanjung Priok yaitu sebesar 37,8oC dan terendah di Citeko sebesar 19,6oC. Suhu miminum tertinggi jugag terjadi di Tanjung Priok sebesar 28oC dan terendah di Citeko sebesar 14,6oC. Prosentase tidak ada hujan (≤0,1) umumnya di atas 50% kecuali di Stasiun Bogor dan Citeko. Dari data ini dapat dijelaskan bahwa Stasiun Citeko mempunyai karakteristik cuaca yang berbeda dengan Stasiun lainnya.

Tabel 3.1. Daftar stasiun lokasi penelitian

No. Nama Stasiun Lintang Bujur Ketinggian

(m) 1 Stasiun Meteorologi Tanjung Priok -6.13 106.89 2 2 Stasiun Meteorologi Kemayoran -6.18 106.85 4 3 Stasiun Meteorologi Cengkareng -6.14 106.70 8 4 Stasiun Geofisika Tangerang -6.18 106.68 14 5 Stasiun Klimatologi Pondokbetung -6.25 106.76 26 6 Stasiun Meteorologi Curug -6.30 106.56 46 7 Stasiun Meteorologi Dermaga Bogor -6.50 106.75 207 8 Stasiun Meteorologi Citeko -6.42 106.85 920

Tabel 3.2. Deskripsi statistik suhu maksimum dan minimum tahun 2010-2012 Parameter Statistik PRI KMO CKG TNG PBT CRG BGR CTK Tmaks Maks 37.8 36.2 35.4 36.6 37.0 35.4 35.4 29.6 Rata-2 32.1 32.6 31.9 32.5 33.1 32.3 31.8 26.0 Min 26.6 25.8 26.4 24.0 25.8 24.0 25.1 19.6 St.Dev 1.3 1.5 1.3 1.4 1.6 1.6 1.5 1.4 Tmain Maks 28.0 27.8 26.5 26.4 27.0 25.5 25.2 21.2 Rata-2 25.9 25.4 24.2 24.1 24.4 23.2 22.7 18.5 Min 20.8 21.8 20.8 19.0 21.0 19.1 17.4 14.6 St.Dev 0.9 0.9 0.8 1.0 0.8 1.0 1.0 0.9

Tabel 3.3. Prosentase kejadian hujan per kategori tahun 2010-2012

Kategori

Hujan PRI KMO CKG TNG PBT CRG BGR CTK

≤0,1 66 61 64 62 52 55 39 37

0,1<hujan≤20 27 32 30 32 39 34 45 50 20<hujan≤50 4.8 5.3 5 4.7 7.1 7.7 12 11 50<hujan≤100 2.4 1.6 0.8 1.1 1.6 2.6 3.6 1.9

(40)

18

Metode

Penentuan domain spasial grid NWP untuk menduga parameter cuaca di titik stasiun pengamatan dilakukan dengan beberapa metode yaitu analisis isokorelasi, single value decomposition (SVD) dan analisis regresi PLSR. Dari ketiga metoda tersebut akan ditentukan domain spasial yang paling tepat berdasarkan kuatnya hubungan melalui isokorelasi, kuatnya hubungan secara serentak dan nilai root mean square error (RMSE) terkecil dari pendugaan menggunakan PLSR.

Gambar 3.1. Lokasi stasiun pengamatan cuaca dan domain spasial penelitian

[image:40.612.113.414.190.435.2]

Sebagai langkah awal penentuan domain spasial adalah grid berukuran (8×8) dan selanjutnya dipilih beberapa ukuran grid yaitu jumlah grid 4 (2×2), 9 (3×3), 12 (3×4), 16 (4×4) dan 25 (5×5) di sekitar lokasi stasiun penelitian. Domain-domain spasial berbentuk persegi panjang dan bujur sangkar yang berada di sekitar wilayah penelitian dengan ukuran seperti pada Tabel 3.4 dan Gambar 3.2.

Tabel 3.4. Domain spasial data NWP sekitar Jabodetabek

Domain Ukuran

(grid) Anggota grid

domain_1 2 x 2 37 38 45 46

domain_2 3 x 3 28 29 30 36 37 38 44 45 46

domain_3 3 x 3 29 30 31 37 38 39 45 46 47

domain_4 3 x 4 20 21 22 23 28 29 30 31 36 37 38 39

domain_5 4 x 4 20 21 22 23 28 29 30 31 36 37 38 39 44 45 46 47

domain_6 5 x 5 19 20 21 22 23 27 28 29 30 31 35 36 37 38 39

43 44 45 46 47 51 52 53 54 55

104.5 105 105.5 106 106.5 107 107.5 108 108.5 -8.5

(41)
[image:41.612.203.462.101.359.2]

19

Gambar 3.2. Domain spasial sekitar Jabodetabek Isokorelasi

Isokorelasi adalah garis yang menghubungkan tempat-tempat yang mempunyai nilai korelasi yang sama. Korelasi dalam analisis ini adalah korelasi antara suhu maksimum di titik stasiun terhadap hasil prakiraan GFS (NWP), yaitu nilai suhu maksimum dan suhu permukaan pada jam 06 UTC (13 WIB) pada tanggal yang sama. Isokorelasi ini dimaksudkan untuk melihat seberapa jauh nilai suhu maksimum di suatu stasiun mempunyai korelasi yang signifikan terhadap NWP.

Parameter suhu maksimum di setiap stasiun dihitung korelasinya terhadap suhu maksimum NWP pada tanggal yang sama; dan suhu maksimum stasiun dengan suhu permukaan jam 06 UTC. Data suhu permukaan NWP diambil jam 06 UTC dengan pertimbangan bahwa suhu maksimum di wilayah Jawa Barat, Banten dan Jakarta terjadi sekitar jam 13 – 14 WIB atau 06 – 07 UTC. Selanjutnya nilai korelasi untuk setiap grid diplot ke peta dan ditarik garis isokorelasinya. Nilai korelasi berkisar antara -1 s/d +1; sehingga dalam analisis ini hanya dilihat pada korelasi yang positif karena nilai prakiraan harus mempunyai korelasi yang positif terhadap nilai yang diprakirakan.

Singular Value Decomposition (SVD)

(42)

20

dua gugus data diperlukan teknik seperti empirical orthogonal function (EOF) yang dapat diaplikasikan pada crosscovariance (peragam silang) antara gugus data yang berbeda. Pengembangan dari analisis EOF terhadap peragam silang didasarkan pada SVD dari peragam silangnya. Algoritma perhitungan nilai akar ciri dapat digunakan, namun perhitungannya cukup rumit. SVD adalah teknis aljabar yang cukup baik untuk dekomposisi sembarang matrik menjadi matrik-matrik ortogonal.

Sanjaya (2010) menggunakan SVD untuk menyeleksi prediktor GCM dalam meprakirakan curah hujan bulanan di Wilayah Indramayu. Jumlah grid yang dipilih adalah 8×8 dengan ukuran tiap grid 2,5o×2,5o.

Misalkan X dan Y adalah matrik data output NWP dan data pengamatan cuaca. Data NWP mencakup sebanyak waktu t dan sebanyak p grid, sehinga X adalah matrik berukuran t×p, sedangkan data pengamatan cuaca diambil sebanyak waktu t dan q lokasi, sehingga matrik Y berukuran t×q. Dekomposisi nilai singular dapat diawali dengan membentuk matrik koragam silang sebagai berikut (Bjornsson dan Venegas 1997).

=∗ (3.1 )

dengan = ⋯ ⋮ ⋱ ⋮ ⋯ − ⋯ ⋮ ⋱ ⋮ ⋯ (3.2 ) = ⋯ ⋮ ⋱ ⋮ ⋯ − ⋯ ⋮ ⋱ ⋮ ⋯ (3.3 )

dengan Z* adalah matriks transpose dari Z.

Selanjutnya dapat dibentuk dekomposisi nilai singular terhadap matrix C dengan menemukan matrik U dan V serta matrik diagonal L sehingga diperoleh hubungan sebagai berikut :

=∗ (3.4 )

dengan :

U : matriks singular berukuran pxm dari matriks C V : matriks singular berukuran mxq dari matriks C V*:matriks tranpose dari V

L : matriks diagonal m : min(p,q).

Vektor-vektor singular untuk X merupakan kolom dari matrik U, dan vektor-vektor singular untuk matrik Y merupakan kolom dari V. Kolom dari U biasanya disebut sebagai left pattern dan kolom V disebut right pattern.

(43)

21

= (3.5 )

dan untuk S dihitung :

= (3.6 )

Kolom-kolom dari matrik A dan B berisi koefisien setiap moda, dan dikaren

Gambar

Tabel 2.1. Beberapa model NWP dari berbagai institusi dilihat dari segi substansi
Gambar 2.1. Perbandingan pendekatan Klasik, Perfect Prognosis dan MOS
Tabel 3.4. Domain spasial data NWP sekitar Jabodetabek
Gambar 3.2. Domain spasial sekitar Jabodetabek
+7

Referensi

Dokumen terkait