• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Suhu Tinggi terhadap Respons Fisiologi, Profil Darah dan Performa Produksi Dua Bangsa Ayam Berbeda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak Suhu Tinggi terhadap Respons Fisiologi, Profil Darah dan Performa Produksi Dua Bangsa Ayam Berbeda"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK SUHU TINGGI TERHADAP RESPONS FISIOLOGI,

PROFIL DARAH DAN PERFORMA PRODUKSI

DUA BANGSA AYAM BERBEDA

LAELI KOMALASARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dampak Suhu Tinggi terhadap Respons Fisiologi, Profil Darah dan Performa Produksi Dua Bangsa Ayam Berbeda adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

LAELI KOMALASARI. Dampak Suhu Tinggi terhadap Respons Fisiologi, Profil Darah dan Performa Produksi Dua Bangsa Ayam Berbeda. Dibimbing oleh MULADNO dan RUDI AFNAN.

Ayam kampung merupakan salah satu ayam lokal Indonesia dengan produksi telur yang rendah. Di sisi lain, ayam kampung telah terbiasa dengan suhu lingkungan Indonesia dan berbeda dengan ayam ras yang merupakan breed sintetis yang didatangkan dari negara beriklim empat musim. Selama ini belum ada laporan kematian ayam kampung karena suhu lingkungan tinggi. Perbedaan respons terhadap suhu tinggi antara ayam kampung dan ayam ras petelur dapat terjadi.

Ayam memiliki mekanisme untuk menjaga suhu tubuhnya tetap stabil dengan menjaga keseimbangan antara panas yang diproduksi tubuh dengan panas yang dilepaskan ke lingkungan. Pengeluaran panas tubuh pada ayam dapat melalui radiasi, konduksi dan konveksi. Radiasi, konduksi dan konveksi tidak mampu melepaskan panas yang diproduksi tubuh pada saat suhu lingkungan tinggi, sehingga mekanisme berikutnya yang digunakan adalah panting.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji respons ayam kampung betina maupun ayam ras petelur terhadap suhu lingkungan tinggi berdasarkan respons fisiologi, profil darah dan performa produksi. Sebanyak masing-masing 36 ekor ayam kampung betina dan ayam ras petelur umur 22 minggu ditempatkan secara acak dalam 3 unit kandang tertutup selama 4 minggu pada suhu 22 °C, 28 °C dan 34 °C. Rentang suhu diatur selama lima jam setiap hari mulai pukul 10.00 sampai 15.00 WIB.

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah respons fisiologi (suhu rektal, suhu permukaan tubuh dan panting), performa produksi (konsumsi pakan, produksi telur, berat telur, konversi pakan, mortalitas dan kualitas telur) serta profil darah (eritrosit, hemoglobin, hematokrit, leukosit dan rasio heterofil limfosit (H/L)). Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial dengan perlakuan suhu kandang dan bangsa ayam dan dilakukan uji least square means apabila terdapat perbedaan yang nyata.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bangsa ayam dan suhu kandang berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap suhu permukaan tubuh. Pelepasan panas dari tubuh ke lingkungan pada ayam kampung lebih tinggi dibandingkan ayam ras petelur sehingga waktu mulai terjadinya panting pada ayam kampung lebih lama. Perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap profil darah dan performa produksi. Suhu tinggi menurunkan tinggi albumen, haugh unit dan ketebalan kerabang telur ayam ras tetapi tidak terjadi pada ayam kampung.

(5)

SUMMARY

LAELI KOMALASARI. Effect of High Ambient Temperature on Physiological Responses, Blood Profil and Productive Performance of Two Different Chicken Breeds. Supervised by MULADNO and RUDI AFNAN.

Kampung hens belong to Indonesian native chicken that produce low number of egg but well adapted to tropical climate of Indonesia. High mortality rate of kampung hens caused by high temperature is not reported. These conditions are contradicted with commercial laying hens which are synthetic breed originated from temperate region.

The chicken has certain mechanism to arrange stable body temperature by maintaining the equilibrium between heat production in the body and heat dissipation to the environment. Heat is dissipated through radiation, conduction and convection. These sensible heat loss method are not adequate to release heat from the body to the environment when the ambient temperature is high. Therefore, insensible heat loss method such as panting mechanism becomes a major avenue.

This research aimed to study the influence of high ambient temperature on the physiological response, blood profile and production performance of kampung hens and commercial laying hens. A total of 36 hens of 22 weeks old from each breed were randomly allocated to separate house with different ambient temperatute of 22 °C, 28 °C and 34 °C. Temperature treatment was applied for 4 weeks and set up for 5 hours a day starting from 10.00 until 15.00 west Indonesian time.

Traits measured were physiological responses (rectal as well as body surface temperature and latency to panting), productive performances (feed intake, henday production, egg weight, feed conversion, mortality and egg quality) and blood profiles (erythrocyte, hemoglobin, hematocrite value, leukocyte and heterophile-lymphocyte ratio (H/L). The factorial completely randomized design was applied. Differences between treaments were subjected to least square mean test.

The research showed that chicken breed and the housing temperature have significantly affected (p<0.05) surface of the chicken body temperature. Heat loss was higher in kampung hens than commercial layer hens, therefore the longer latency to panting was occurred in kampung chicken hens. However, there were no significant differences in blood profiles and productive performances. High temperature decreased albumen height, haugh unit and shell thickness of commercial layer eggs but not to kampung eggs.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

DAMPAK SUHU TINGGI TERHADAP RESPONS FISIOLOGI,

PROFIL DARAH DAN PERFORMA PRODUKSI

DUA BANGSA AYAM BERBEDA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(8)
(9)

Judul Tesis : Dampak Suhu Tinggi terhadap Respons Fisiologi, Profil Darah dan Performa Produksi Dua Bangsa Ayam Berbeda

Nama : Laeli Komalasari NIM : D151110081

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Muladno, MSA Ketua

Dr Rudi Afnan, SPt MScAgr Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Dr Ir Salundik, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2013 ini ialah suhu tinggi, dengan judul Dampak Suhu Tinggi terhadap Respons Fisiologi, Profil Darah dan Performa Produksi Dua Bangsa Ayam Berbeda.

Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Muladno, MSA dan Bapak Dr Rudi Afnan, SPt MScAgr selaku pembimbing yang telah membimbing, memberikan pengarahan dan dorongan semangat yang sangat berarti mulai dari penyusunan proposal sampai penulisan tesis. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Dr Ir Rita Mutia, MAgr selaku penguji ujian tesis atas saran dan masukannya.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas Peternakan IPB, Bapak Prof Dr Luki Abdullah, MScAgr atas dorongan semangat selama penulis studi. Kepada Ibu Dr Drh Damiana atas bimbingan yang intensif. Disamping itu terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Salundik, MSi selaku Ketua Program Studi ITP beserta jajarannya (Ibu Ade Sulastri dan Ibu Okta) atas pelayanan prima selama penulis studi.

Kepada Ibu Dr Ir Rukmiasih, MS, Bapak Bramada Winiar Putra, SPt MSi, Muhammad Ismail, SPt MSi dan Tia Irmayanty, SPt Msi, penulis menyampaikan terima kasih atas bantuannya selama penulis penelitian. Kepada Ibu Sri dan Ibu Ida (Teknisi Laboratorium Fisiologi, FKH IPB), penulis mengucapkan terima kasih atas pendampingannya selama pelaksanaan penelitian di laboratorium.

Kepada Bapak Sendhy Monanta, SKom, penulis mengucapkan terima kasih atas dorongan semangat dan bantuan fasilitas yang diberikan selama penelitian. Kepada rekan-rekan pascasarjana angkatan 2011 dan 2012 terima kasih atas kebersamaannya selama ini. Terima kasih penulis sampaikan kepada staf pengajar dan penunjang Bagian Teknologi Produksi Ternak Unggas atas kebersamaan dan dorongannya.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami, kedua buah hati tercinta (Fauzan Nabil dan Alandra Rafi Farisi), kedua orang tua, kakak serta adik yang selalu memberikan kasih sayang, dorongan, motivasi, doa serta pengertiannya selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

2 MATERI DAN METODE 2

Lokasi dan Waktu Penelitian 2

Materi Penelitian 2

Metode Penelitian 3

Peubah yang Diamati dan Prosedur Pengukuran 4

Analisis Data 6

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Kondisi Umum Penelitian 6

Respons Fisiologi 7

Profil Darah 11

Performa Produksi 13

Kualitas Telur 15

4 SIMPULAN DAN SARAN 18

Simpulan 18

Saran 18

DAFTAR PUSTAKA 18

LAMPIRAN 21

(12)

DAFTAR TABEL

1 Suhu jengger ayam kampung dan ras petelur (°C) pada suhu kandang

berbeda (rataan ± SD) 7

5 Suhu rektal ayam kampung dan ras petelur (°C) pada suhu kandang

berbeda (rataan ± SD) 10

6 Persentase jumlah ayam dan waktu mulai panting pada ayam kampung maupun ras petelur pada suhu kandang berbeda 11 7 Jumlah hemoglobin (g%) ayam kampung dan ras petelur pada suhu

kandang berbeda (rataan ± SD) 12

8 Jumlah eritrosit (106/mm3) ayam kampung dan ras petelur pada suhu

kandang berbeda (rataan ± SD) 12

9 Jumlah leukosit (103/mm3) ayam kampung dan ras petelur pada

suhu kandang berbeda (rataan ± SD) 12

10 Rasio H/L ayam kampung dan ras petelur pada suhu kandang

berbeda (rataan ± SD) 13

11 Rata-rata nilai hematokrit (%) pada ayam kampung dan ras petelur

pada suhu kandang berbeda (rataan ± SE) 13

12 Konsumsi pakan, produksi telur, berat telur, konversi pakan serta

mortalitas ayam kampung dan ras petelur 14

13 Tinggi putih telur, haugh unit dan tebal kerabang telur ayam kampung dan ras petelur pada suhu kandang berbeda (rataan ± SE) 16 14 Berat kerabang telur ayam kampung dan ras petelur pada suhu

kandang berbeda (rataan ± SD) 17

15 Persentase berat kerabang terhadap berat telur ayam kampung dan ras petelur pada suhu kandang berbeda (rataan ± SD) 18

DAFTAR GAMBAR

1 Alur pelaksanaan penelitian 3

2 Pengukuran distribusi panas pada bagian jengger dengan kisaran suhu 25.9-34.9 °C dengan rataan 30.7± 2.4 °C (AR01) dan pial dengan kisaran suhu 26.6-36.7 °C dengan rataan 32.8±3.1 °C (AR02) 8 3 Pengukuran distribusi panas pada bagian kaki dengan kisaran suhu

25.8-39.0 °C dengan rataan 33.9±3.3 °C 8

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil analisis ragam suhu permukaan tubuh ayam kampung dan ras

petelur 21

2 Hasil analisis ragam suhu rektal ayam kampung dan ras petelur 21 3 Hasil analisis ragam profil darah ayam kampung dan ras petelur 22 4 Hasil analisis ragam konsumsi pakan, produksi telur, berat telur, serta

konversi pakan ayam kampung dan ras petelur 23

(14)
(15)

15

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ayam merupakan ternak yang memiliki populasi tertinggi dan tersebar di wilayah tanah air dibandingkan dengan ternak-ternak lainnya. Pada tahun 2011 populasi ayam (ayam ras dan buras) sebesar 93.14 persen dari seluruh populasi ternak yang ada di Indonesia (Ditjennakkeswan 2013). Keberadaan ternak yang besar ini merupakan potensi sehingga bila didukung dengan lingkungan yang sesuai akan menghasilkan produksi yang optimum.

Ayam kampung merupakan salah satu plasma nutfah ayam lokal Indonesia yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang perlu dikembangkan potensinya dan dijaga kelestariannya. Ayam kampung sebagian besar berada di pedesaan dengan pemeliharan seadanya. Selama ini perlakuan terhadap ayam kampung tidak seperti pada ayam ras yang sangat diperhatikan manajemen pemeliharaannya. Produksi telur ayam kampung masih rendah yaitu 36.10% pada umur 14 bulan (Nataamijaya 2006), 43.08% pada umur 22 sampai 42 minggu (Hidayat et al. 2011). Di sisi lain, ayam kampung telah terbiasa dengan suhu lingkungan Indonesia dan berbeda dengan ayam ras yang merupakan breed sintetis yang didatangkan dari negara beriklim empat musim.

Lingkungan adalah faktor penting yang mempengaruhi produktivitas ternak. Salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh besar dalam budi daya ternak adalah suhu. Perubahan suhu dari kondisi nyaman menjadi kondisi tidak nyaman, atau sebaliknya akan langsung direspons oleh ternak. Suhu lingkungan yang ideal untuk ternak unggas adalah 20 sampai 24 °C (Bell and Weaver 2002). Kisaran suhu tersebut merupakan suhu nyaman dan ayam tidak memproduksi banyak panas tubuh sehingga penggunaan energi menjadi lebih efisien.

Ayam memiliki mekanisme untuk menjaga suhu tubuhnya tetap stabil dengan menjaga keseimbangan antara panas yang diproduksi tubuh dengan panas yang dilepaskan ke lingkungan. Keberadaan bulu yang menutupi tubuhnya dan tidak memiliki kelenjar keringat mengakibatkan pelepasan panas menjadi terbatas. Pengeluaran panas tubuh pada ayam terjadi melalui radiasi, konduksi dan konveksi. Ayam akan menggunakan energi lebih banyak sebagai upaya untuk menstabilkan suhu tubuhnya pada saat suhu lingkungan tinggi. Radiasi, konduksi dan konveksi tidak mampu melepaskan panas yang diproduksi tubuh pada kondisi ini, sehingga mekanisme berikutnya yang digunakan adalah panting, dikenal sebagai insensible heat loss dan ayam terlihat megap-megap (North dan Bell 1990). Laju pernafasan meningkat sampai 200 kali per menit pada saat panting (Cunningham and Klein 2007).

Perumusan Masalah

(16)

2

antara ayam kampung dan ayam ras petelur dapat terjadi. Penelitian dan kajian lebih lanjut diperlukan untuk mempelajari hal tersebut.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji respons ayam kampung betina maupun ayam ras petelur terhadap suhu lingkungan tinggi berdasarkan respons fisiologi, profil darah dan performa produksi.

Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan diperoleh informasi mengenai respons ayam kampung betina dan ayam ras petelur pada suhu tinggi sehingga upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam menanggulangi suhu tinggi lebih mudah dilakukan.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada ayam kampung betina dan ayam ras petelur umur 22 minggu selama 4 minggu pemeliharaan. Penelitian difokuskan pada pengamatan respons fisiologi (suhu rektal, suhu permukaan tubuh dan panting), profil darah (eritrosit, hemoglobin, hematokrit, leukosit dan rasio heterofil-limfosit (H/L)) serta performa produksi.

2

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Blok B Bagian Produksi Unggas, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Analisis profil darah dilakukan di Laboratorium Fisiologi, FKH IPB. Penelitian dilakukan pada bulan Juni sampai dengan September 2013.

Materi Penelitian

Penelitian ini menggunakan 72 ekor ayam berproduksi umur 22 minggu terdiri dari 36 ekor ayam kampung betina dan 36 ekor ayam ras petelur strain Lohmann. Ayam kampung maupun ayam ras petelur masing-masing ditempatkan dalam 3 unit kandang tertutup dengan suhu sebagai perlakuan. Pakan yang diberikan adalah pakan ayam petelur komersial periode produksi dengan kandungan protein kasar minimal 17% dan energi metabolis 2800-2900 kkal/kg.

(17)

3 Penelitian ini menggunakan tiga perlakuan suhu yang berbeda, yaitu 22 °C, 28 °C dan 34 °C. Rentang suhu diatur selama lima jam setiap hari mulai pukul 10.00 sampai 15.00 WIB. Pengaturan suhu 34 °C dan 28 °C, menggunakan heater listrik sedangkan suhu 22 °C menggunakan pendingin ruangan. Pengukuran suhu dan kelembaban menggunakan termometer dan hygrometer digital. Pengamatan suhu dan kelembaban dilakukan setiap jam mulai pukul 08.00 sampai 17.00 WIB. Setiap unit kandang dipasang exhaust fan untuk sirkulasi udara dan lampu berdaya 18 watt sebagai penerangan pada malam hari.

Metode Penelitian

Ayam kampung maupun ayam ras petelur masing-masing dipelihara dalam kandang dengan alas litter selama satu minggu sebelum mulai perlakuan untuk adaptasi. Pakan diberikan sesuai rekomendasi standar ayam petelur.

Ayam kampung maupun ayam ras petelur masa produksi masing-masing sebanyak 36 ekor diberi nomor pada bagian sayap dan ditimbang berat badannya serta dilakukan pengukuran tulang pubis. Ayam ditempatkan secara acak dalam 3 unit kandang yaitu kandang dengan suhu 22 °C, 28 °C dan 34 °C sebagai perlakuan. Setiap perlakuan terdiri dari 4 ulangan dan setiap ulangan terdiri dari 3 ekor ayam. Ayam dipelihara selama 4 minggu. Pakan diberikan sesuai rekomendasi standar ayam petelur (120 g/ekor/hari). Alur penelitian disajikan pada Gambar 1.

Penelitian ini dilakukan pada ayam kampung betina dan ayam ras petelur. Setiap minggu dilakukan pengukuran terhadap performa produksi ayam, meliputi

(18)

4

konsumsi pakan, produksi telur, berat telur, konversi pakan dan kualitas telur (tinggi putih telur, haugh unit, tebal kerabang serta berat kerabang). Pengukuran respons fisiologi dan profil darah dilakukan pada minggu ke-4.

Peubah yang Diamati dan Prosedur Pengukuran

Peubah yang diamati dalam penelitian ini meliputi : Respons Fisiologi

Suhu rektal. Suhu diukur pada bagian rektal sedalam 1-2 cm selama 5 sampai 10 detik menggunakan termometer digital APPA 55 II. Pengukuran suhu dilakukan pada pukul 13.00 WIB pada minggu ke-4.

Suhu permukaan tubuh. Suhu permukaan tubuh yang diukur meliputi suhu jengger, pial, kaki dan bulu pada bagian punggung. Pengukuran suhu menggunakan thermovison FLIR dengan merekam melalui kamera pada jarak 30 cm. Hasil pengamatan ditampilkan pada layar monitor komputer. Pengukuran suhu dilakukan pada pukul 13.00 WIB pada minggu ke- 4.

Panting. Pengamatan panting dilakukan dengan merekam melalui kamera selama lima menit kemudian menghitung jumlah ayam yang panting dan waktu mulai terjadinya panting. Pengukuran panting dilakukan pada pukul 13.00 WIB pada minggu ke-4.

Profil Darah

Profil darah yang diamati meliputi eritrosit, hemoglobin, hematokrit, leukosit dan rasio heterofil-limfosit (H/L). Sampel darah diambil dari vena brachialis pada bagian sayap. Setiap ulangan, diambil satu ekor. Analisis profil darah mengacu pada Sastradipradja et al. (1989).

Hemoglobin. Penentuan nilai hemoglobin menggunakan metode sianmethemoglobin. Darah yang telah dicampur dengan antikoagulan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang sebelumnya telah diisi reagen dan dibiarkan selama 10 menit agar terbentuk sianmethemoglobin. Larutan dipindahkan ke dalam kuvet dan dimasukkan ke dalam alat spektrofotometer. Pembacaan transmittance pada panjang gelombang 540 nm.

Eritrosit dan leukosit. Darah dicampur dengan larutan pengencer (Rees dan Ecker). Penghitungan banyaknya butir darah per mm3 menggunakan hemositometer (kamar hitung) di bawah mikroskop.

Hematokrit. Penentuan nilai hematokrit menggunakan metode mikrohematokrit. Darah dicampur dengan antikoagulan dan disentrifugasi sehingga terbentuk lapisan. Lapisan atau kolom terdiri atas eritrosit atau butir darah merah. Jumlah hematokrit ditentukan dengan mengukur persentase volume eritrosit dari keseluruhan darah.

(19)

5 tipis. Sediaan apus darah yang sudah dikeringkan udara difiksasi dalam metil alkohol selama lima menit kemudian dilakukan pewarnaan dalam larutan Giemsa selama 30 menit. Macam butir-butir darah diidentifikasi dan dihitung persentase jenis leukosit di bawah mikroskop.

Performa ayam

Performa ayam yang diamati meliputi konsumsi pakan, produksi telur, berat telur, konversi pakan dan mortalitas serta kualitas telur. Pengukuran dilakukan setiap minggu.

Konsumsi pakan (g/ekor). Konsumsi pakan dihitung dari selisih pakan yang diberikan dengan sisa pakan setiap minggu.

Produksi telur (%). Produksi telur dihitung berdasarkan hen day production, yaitu jumlah produksi telur yang dihasilkan berdasarkan jumlah ayam yang hidup setiap saat selama periode tertentu atau dapat dirumuskan sebagai berikut (North dan Bell 1990).

Berat telur (gram). Pengukuran berat telur dilakukan setiap hari menggunakan timbangan digital.

Konversi pakan, Konversi pakan ditentukan berdasarkan perbandingan antara pakan yang dikonsumsi dengan massa telur yang dihasilkan (gram) atau dirumuskan sebagai berikut :

Mortalitas (ekor). Mortalitas dihitung berdasarkan jumlah ayam yang mati selama empat minggu pemeliharaan.

Kualitas telur

Pengamatan kualitas telur dilakukan setiap minggu, meliputi :

Tinggi albumen. Tinggi albumen diukur menggunakan Tripod micrometer.

Tebal kerabang. Tebal kerabang diukur pada bagian tumpul, tengah dan runcing menggunakan Mitutoyo micrometer.

Berat kerabang. Berat kerabang ditimbang menggunakan timbangan digital.

Nilai haugh unit. Kualitas telur ditentukan dari nilai haugh unit dengan rumus (Raji et al. 2009):

Jumlah ayam yang hidup pada periode tersebut

(20)

6

Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial 3 x 2 dengan 4 ulangan. Masing-masing ulangan terdiri dari 3 ekor.

Faktor A adalah perlakuan suhu A1 : suhu 22 °C

A2 : suhu 28 ºC A2 : suhu 34 °C

Faktor B adalah perlakuan bangsa ayam B1 : ayam kampung betina

B2 : ayam ras petelur

Model matematika yang digunakan adalah sebagai berikut (Mattjik dan Sumertajaya 2006).

Yijk = µ + αi+ βj+ (αβ)ij+ €ij Keterangan :

Yijk = nilai pengamatan pada faktor perlakuan suhu taraf ke-i faktor perlakuan bangsa ayam taraf ke-j dan ulangan ke-k

µ = rataan umum

αi = pengaruh faktor perlakuan suhu ke-i

βj = pengaruh faktor perlakuan bangsa ayam ke-j (αβ)ij = interaksi

€ij = gallat perlakuan

Data yang diperoleh dianalisis ragam dan jika ada perbedaan nyata antar perlakuan diuji lanjut dengan least square means (SAS User’s Guide 1985).

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Penelitian

(21)

7 Respons Fisiologi

Suhu Permukaan Tubuh dan Suhu Rektal

Ayam tidak memiliki kelenjar keringat, sehingga upaya mempertahankan suhu tubuh dilakukan melalui pelepasan panas ke lingkungan. Suhu permukaan tubuh ayam lebih rendah dibandingkan suhu rektal karena permukaan tubuh berhubungan langsung dengan lingkungan. Bangsa ayam dan suhu kandang berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap suhu permukaan tubuh (Tabel 1, 2 dan 3). Tabel 1 Suhu jengger ayam kampung dan ras petelur (°C) pada suhu kandang

berbeda (rataan ± SD)

Bangsa ayam Suhu kandang Rataan

22 °C 28 °C 34 °C

Kampung 32.55±1.59 (4) 36.98±0.71 (4) 38.93±0.72 (4) 36.15±2.95a Ras petelur 30.60±1.40 (4) 36.68±0.99 (4) 37.73±1.05 (4) 35.00±3.44b Rataan 31.58±1.73c 36.83±0.81b 38.33±1.05a

Keterangan : huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama, menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)

(...) : jumlah sampel

Tabel 2 Suhu pial ayam kampung dan ras petelur (°C) pada suhu kandang berbeda (rataan ± SD)

Bangsa ayam Suhu kandang Rataan

22 °C 28 °C 34 °C

Kampung 33.90±0.96 (4) 38.05±0.31 (4) 39.83±0.73 (4) 37.26±2.67a Ras petelur 33.30±1.90 (4) 37.55±0.78 (4) 37.55±0.78 (4) 36.13±2.38b Rataan 33.60±1.43b 37.80±0.61a 38.69±1.40a

Keterangan : huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama, menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)

(...) : jumlah sampel

Tabel 3 Suhu bulu ayam kampung dan ras petelur (°C) pada suhu kandang berbeda (rataan ± SD)

Bangsa ayam Suhu kandang Rataan

22 °C 28 °C 34 °C

Kampung 29.45±0.47 (4) 34.00±0.23 (4) 37.38±0.67 (4) 33.61±3.42a Ras petelur 27.83±0.68 (4) 33.40±0.64 (4) 35.05±0.99 (4) 32.09±3.31b Rataan 28.64±1.02c 33.70±0.55b 36.21±1.47a

Keterangan : huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama, menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)

(...) : jumlah sampel

(22)

8

respons termoregulasi pada saat suhu tinggi pada genotipe ayam yang berbeda, menghasilkan perbedaan dalam mekanisme pelepasan panas.

Suhu kandang memberikan pengaruh yang berbeda terhadap suhu permukaan tubuh. Ayam yang dipelihara pada suhu kandang 34 °C memiliki suhu permukaan tubuh tertinggi. Pada saat ternak terpapar suhu tinggi, termoreseptor yang ada di kulit akan merespons dan memberikan informasi ke hipotalamus untuk membuat mekanisme pelepasan panas. Pelebaran pembuluh darah perifer (vasodilatasi) terjadi sehingga meningkatkan aliran darah pada jaringan perifer tubuh. Hal ini menyebabkan panas dalam tubuh akan dibawa ke permukaan (Bauchama and Knochel 2002).

Pelepasan panas ke lingkungan merupakan mekanisme ternak untuk mempertahankan suhu tubuhnya. Ketika ternak terpapar oleh perubahan suhu, pelepasan atau perolehan panas dapat terjadi sebelum terjadi perubahan pada suhu inti (Cunningham and Klein 2007).

Pada penelitian ini pengukuran suhu bagian permukaan tubuh (jengger, pial, kaki dan bulu punggung) menggunakan Thermovison FLIR. Rata-rata suhu bagian permukaan merupakan distribusi panas yang terjadi pada bagian permukaan tersebut (Gambar 2, 3 dan 4).

26,5 °C suhu 25.8-39.0 °C dengan rataan 33.9±3.3 °C

(23)

9

Bulu merupakan bagian tubuh yang melepaskan panas paling rendah dibandingkan bagian tubuh yang lain. Hasil penelitian ini sejalan dengan Lin et al. (2005); Latipuddin dan Mushawwir (2011), bahwa bulu kontur merupakan bagian permukaan tubuh yang paling tidak efektif mengevaporasikan panas. Bulu berfungsi sebagai insulator dan merupakan penghambat yang efektif dalam pelepasan panas dari permukaan kulit ke lingkungan (Sturkie 1976).

Terdapat interaksi antara bangsa ayam dan suhu kandang terhadap suhu kaki. Ayam kampung yang dipelihara pada suhu 22 °C memperlihatkan suhu kaki yang paling rendah (Tabel 4). Pada suhu kandang yang tinggi, terjadi pelebaran pembuluh darah perifer sehingga meningkatkan aliran darah yang membawa panas ke bagian perifer tubuh diantaranya kaki. Sebaliknya, pada suhu kandang yang lebih rendah terjadi penyempitan pembuluh darah perifer sehingga mengurangi aliran darah ke jaringan perifer tubuh.

Pengukuran suhu pada bagian rektal mencerminkan suhu tubuh. Bangsa ayam dan suhu kandang tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap suhu rektal. Suhu rektal pada semua perlakuan bangsa dan suhu kandang masih berada dalam kisaran normal, termasuk ayam yang dipelihara pada suhu 34 °C. Hal ini terjadi karena pada suhu 34 °C memiliki kelembaban rendah sebesar 67.89%. Suhu tinggi dengan kelembaban yang tinggi pula lebih mengganggu daripada suhu tinggi dengan kelembaban rendah (Ajakaiye et al. 2011). Suhu rektal yang tinggi di atas kisaran suhu tubuh normal terjadi saat kelembaban tinggi pada suhu 35 °C, tetapi hal ini tidak terjadi pada pemeliharaan suhu sedang (30 °C) (Lin et al. 2005). Suhu tubuh ayam dijaga dalam kisaran 40.5 sampai 41.5 °C (Daghir 2008), 40.6 sampai 41.7 °C (North and Bell 1990).

(24)

10

Tabel 5 Suhu rektal ayam kampung dan ras petelur (°C) pada suhu kandang berbeda (rataan ± SD)

Bangsa ayam Suhu kandang Rataan

22 °C 28 °C 34 °C

Kampung 40.78±0.28 (4) 40.65±0.59 (4) 40.85±0.24 (4) 40.76±0.38a Ras petelur 40.93±0.05 (4) 40.70±0.26 (4) 40.98±0.26 (4) 40.87±0.23a Rataan 40.85±0.20a 40.68±0.43a 40.91±0.24a

Keterangan : huruf yang berbeda pada baris dan kolom dan yang sama, menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)

(...) : jumlah sampel

Panting

Perpindahan panas pada tubuh ternak terjadi secara sensible heat loss dan insensible (latent) heat loss. Pada suhu lingkungan 21 °C, sebanyak 75% dari panas yang dihasilkan tubuh akan dikeluarkan dengan cara sensible heat loss melalui radiasi, konduksi dan konveksi. Pada suhu lingkungan tinggi, ayam berusaha menjaga suhu tubuhnya dengan menyeimbangkan produksi panas dengan pelepasan panas. Saat radiasi, konduksi dan konveksi tidak mampu melepaskan panas yang diproduksi tubuh, maka mekanisme berikutnya yang berfungsi adalah insensible heat loss. Salah satunya melalui panting (hiperventilasi). Ayam mulai panting ketika suhu lingkungan 29.4 °C (North and Bell 1990), pada ayam broiler pembibit jantan panting mulai terjadi ketika suhu lingkungan mencapai 33 °C (Hussain et al. 2011).

Jumlah ayam yang mengalami panting dan mulai terjadinya panting dianalisis secara deskriptif. Tabel 6 menunjukkan semua ayam pada suhu kandang 34 °C mengalami panting baik pada ayam kampung maupun ras petelur. Hal ini erat kaitannya dengan suhu permukaan tubuh yang lebih tinggi pada suhu kandang 34 °C. Ayam akan berupaya melepaskan panas ke lingkungan secara sensibel. Pelepasan panas dalam tubuh ayam ke lingkungan secara sensibel pada suhu kandang 34 °C, tidak mampu mengeluarkan kelebihan beban panas sehingga ayam akan meningkatkan kehilangan panas dengan cara panting.

Pada suhu kandang 28 °C, ayam yang lebih banyak mengalami panting adalah ayam ras petelur. Hal ini menandakan bahwa pelepasan panas secara sensibel pada ayam kampung lebih tinggi yang ditandai dari suhu permukaan lebih tinggi sebagai tempat pelepasan panas.

(25)

11

Pada saat panting, ayam tampak megap-megap sebagai upaya mengeluarkan panas dari saluran pernafasan. Panting merupakan proses pengeluaran panas secara evaporasi melalui saluran pernafasan dan merupakan mekanisme utama pelepasan panas pada saat suhu lingkungan tinggi. Pada saat panting, laju pernafasan meningkat sampai 150 kali per menit (Yousef 1985), bahkan sampai 200 kali per menit (Cunningham and Klein 2007). Ayam yang mengalami panting, rentan terhadap respirasi alkalosis. Peningkatan laju respirasi akan meningkatkan pelepasan CO2 dari paru-paru yang akan menyebabkan penurunan tekanan parsial CO2 sehingga konsentrasi HCO3 dalam darah turun yang pada gilirannya akan meningkatkan pH darah dan mengakibatkan alkalosis (Daghir 2008; Yousef 1985).

Profil Darah

Bangsa ayam dan suhu kandang tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap jumlah leukosit dan eritrosit. Bangsa ayam berpengaruh pada kadar hemoglobin (Hb) dan rasio antara heterofil dan limfosit (H/L). Suhu kandang tidak berpengaruh nyata terhadap profil darah. Hal ini terjadi diduga karena pemaparan suhu yang dilakukan di penelitian ini singkat sehingga belum menunjukkan pengaruh yang nyata.

Hemoglobin adalah protein yang terdiri dari empat rantai polipeptida yang masing masing mengandung heme, yaitu pigmen porphyrin merah yang di dalamnya terkandung ion besi yang berfungsi untuk mengangkut oksigen (Akers and Denbow 2008; Frandson et al. 2009). Kadar Hb ayam kampung (10.23) lebih tinggi dibandingkan ayam ras petelur (8.57). Kadar Hb yang diperoleh dalam penelitian ini pada semua perlakuan masih dalam kisaran normal. Kadar normal Hb pada ayam umur 126 sampai 180 hari adalah 8.9 sampai 11.7 (Sturkie 1976). Kadar Hb pada ayam broiler pembibit umur 154 hari yang dipelihara pada suhu kandang 30 sampai 37 °C adalah 8.3 (Hussain et al. 2011).

Jumlah eritrosit adalah jumlah sel eritrosit per mikroliter keseluruhan darah (Frandson et al. 2009). Menurut Swenson (1993), jumlah eritrosit pada ayam berkisar antara 2.5-3.2 x 106/mm3. Eritrosit yang diperoleh pada penelitian ini masih dalam kisaran normal. Eritrosit berisi hemoglobin yang berfungsi mengangkut oksigen (Akers and Denbow 2008).

Tabel 6 Persentase jumlah ayam dan waktu mulai panting pada ayam kampung maupun ras petelur pada suhu kandang berbeda

Peubah Bangsa ayam Suhu kandang

22 °C 28 °C 34 °C

(26)

12

Tabel 7 Jumlah hemoglobin (g%) ayam kampung dan ras petelur pada suhu kandang berbeda (rataan ± SD)

Bangsa ayam Suhu kandang Rataan

22 °C 28 °C 34 °C

Kampung 9.51±1.68 (4) 11.19±0.85 (4) 10.01±1.59 (4) 10.23±1.48a Ras petelur 8.97±0.49 (3) 8.11±1.59 (4) 8.72±0.57 (4) 8.57±1.02b Rataan 9.28±1.26a 9.65±2.03a 9.37±1.30a

Keterangan : huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)

(...) : jumlah sampel

Tabel 8 Jumlah eritrosit (106/mm3) ayam kampung dan ras petelur pada suhu kandang berbeda (rataan ± SD)

Bangsa ayam Suhu kandang Rataan

22 °C 28 °C 34 °C

Kampung 2.43±0.50 (4) 3.19±0.44 (4) 2.61±0.16 (4) 2.75±0.51a Ras petelur 2.75±0.52 (3) 2.49±0.41 (4) 2.26±0.34 (4) 2.48±0.43a Rataan 2.57±0.50a 2.84±0.55a 2.41±0.31a

Keterangan : huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)

(...) : jumlah sampel

Jumlah leukosit yang diperoleh pada penelitian ini berada dalam kisaran normal. Jumlah leukosit pada ayam berkisar antara 12-30 x 103/mm3 (Jain 1993). Menurut Mashaly et al. (2004), jumlah leukosit lebih rendah pada ayam yang dipelihara suhu 35 °C setelah 4 minggu terpapar.

Tabel 9 Jumlah leukosit (103/mm3) ayam kampung dan ras petelur pada suhu kandang berbeda (rataan ± SD)

Bangsa ayam Suhu kandang Rataan

22 °C 28 °C 34 °C

Kampung 15.45±7.35 (4) 14.65±6.74 (4) 14.55±8.20 (4) 14.88±6.76a Ras petelur 17.60±2.51 (3) 13.95±6.20 (4) 17.65±3.29 (4) 16.29±4.41a Rataan 16.37±5.52a 14.30±6.01a 16.10±6.02a

Keterangan : huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)

(...) : jumlah sampel

(27)

13 yaitu ayam liar yang telah didomestikasi di Thailand dan sudah terbiasa dengan suhu panas, memiliki nilai rasio H/L yang lebih rendah dibanding ayam broiler yang merupakan breed sintetis.

Tabel 10 Rasio H/L ayam kampung dan ras petelur pada suhu kandang berbeda (rataan ± SD)

Bangsa ayam Suhu kandang Rataan

22 °C 28 °C 34 °C

Kampung 0.85±0.46 (4) 0.92±1.24 (4) 0.83±0.33 (4) 0.87±0.71b Ras petelur 2.32±0.36 (3) 1.29±0.70 (4) 1.77±0.27 (4) 1.75±0.61a Rataan 1.48±0.88a 1.10±0.95a 1.30±0.58a

Keterangan : huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)

(...) : jumlah sampel

Pengaruh bangsa ayam dan suhu kandang terhadap nilai hematokrit disajikan pada Tabel 11. Uji statistik menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara bangsa ayam dan suhu kandang terhadap nilai hematokrit. Hematokritmerupakan persentase eritrosit dari seluruh volume darah (Campbell 1995; Frandson et al. 2009). Hematokrit kadang-kadang disebut juga packed cell volume (Cunningham and Klein 2007).

Ayam kampung yang terpapar suhu 28 °C selama 5 jam per hari memiliki hematokrit tertinggi (31.08%). Nilai hematokrit pada ayam berkisar 26 sampai 30% (Powell 2000); 22 sampai 35% (Jain 1993).

Nilai hematokrit pada semua perlakuan masih berada dalam kisaran normal. Berbeda dengan hasil penelitian Altan et al. (2000) yang menyatakan bahwa suhu lingkungan tinggi akan menurunkan nilai hematokrit. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan paparan suhu yang dilakukan pada penelitian ini singkat sehingga belum menunjukkan pengaruh yang nyata.

Performa Produksi

Pengaruh suhu dan bangsa ayam pada performa produksi disajikan pada Tabel 12. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa bangsa ayam berpengaruh nyata terhadap nilai konsumsi pakan, produksi dan berat telur, serta konversi pakan. Perlakuan suhu kandang tidak berpengaruh pada masing-masing peubah tersebut. Tabel 11 Nilai hematokrit (%) ayam kampung dan ras petelur pada suhu kandang

(28)

15

Tabel 12 Konsumsi pakan, produksi telur, berat telur, konversi pakan serta mortalitas ayam kampung dan ras petelur Rataan ± SD)

Peubah Bangsa

ayam

Suhu kandang

Rataan 22 °C 28 °C 34 °C

Konsumsi pakan Kampung 93.08±10.74 (12) 81.04±13.36 (12) 85.24±6.26 (12) 86.45±10.86b (g/ekor/hari) Ras petelur 116.49± 5.86 (12) 118.69± 2.36 (12) 109.07±5.91 (12) 114.75± 6.23a Produksi telur Kampung 35.49±11.64 (12) 28.09±14.76 (12) 43.21±11.84 (12) 35.60±13.27b (%) Ras petelur 79.01±15.12 (12) 85.50± 7.50 (12) 80.87± 9.04 (12) 81.79±10.40a Berat telur (g) Kampung 40.18±1.53 (12) 41.01±3.70 (12)

38.55±1.93 (12) 39.91± 2.55b Ras petelur 65.54±1.26 (12) 62.43±1.28 (12) 62.19±2.93 (12) 63.39± 2.40a Konversi pakan Kampung 7.08±2.42 (12) 9.91±7.37 (12) 5.38±1.32 (12) 7.46±4.55a Ras petelur 2.33±0.54 (12) 2.24±0.18 (12) 2.20±0.34 (12) 2.25±0.35b

Mortalitas (ekor) Kampung 0 (12) 0 (12) 0 (12)

Ras petelur 0 (12) 0 (12) 1 (12)

Keterangan : huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)

(29)

15 Bila dibandingkan standar Lohmann, konsumsi dan konversi pakan ayam ras petelur yang diperoleh pada penelitian ini hampir sama. Konsumsi pakan ayam ras petelur yang diperoleh sebesar 114.75±6.23 gram/ekor/hari sedangkan standar Lohmann pada umur 23 sampai 26 minggu yaitu rata-rata 115 gram/ekor/hari. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan diantaranya tingkat energi pakan, suhu lingkungan, ukuran tubuh dan laju pertumbuhan atau produksi telur (Gillespie and Flanders 2010).

Konversi pakan yang diperoleh pada penelitian ini pun (2.25) hampir sama dengan standar Lohmann yaitu rata-rata 2.30. Konversi pakan menunjukkan banyaknya pakan yang dikonsumsi untuk menghasilkan sejumlah telur. Semakin kecil nilai konversi, semakin efisien dalam penggunaan pakan.

Rataan produksi telur ayam ras yang dihasilkan pada penelitian ini (81.79±10.40%) lebih rendah dibandingkan standar Lohmann (91.83%), meskipun konversi pakan yang diperoleh sesuai standar. Berat telur ayam ras petelur yang diperoleh pada penelitian (63.39 gram) lebih besar dibandingkan standar (57 gram). Menurut Stadelman and Cotterill (1995), berat telur berkorelasi negatif terhadap tingkat produksi telur. Berat telur cenderung menurun dengan peningkatan tingkat produksi telur. Menurut standar Lohmann, rataan berat telur pada penelitian masuk dalam kategori besar.

Rataan produksi telur ayam kampung yang diperoleh pada penelitian ini sebesar 35.60±13.27%. Hasil tersebut hampir sama dengan penelitian yang dilakukan Nataamijaya (2006) yaitu sebesar 36.10±4.20% dan lebih besar dibanding yang dilaporkan Darwati (2000) yaitu 33.80±7.49%. Berat telur yang dihasilkan pada penelitian ini (39.91 gram) hampir sama dengan Nasution dan Adrizal (2009) yang menyatakan bahwa berat telur ayam kampung umur 24 sampai 27 minggu adalah 39.98 gram.

Faktor yang mempengaruhi berat telur adalah faktor genetik, umur ayam, umur masak kelamin, suhu lingkungan, jumlah telur dalam setahun dan pakan (North and Bell 1990; Scanes et al. 2004). Pada awal produksi, ayam akan memproduksi telur yang kecil dan perlahan-lahan telur menjadi besar sekitar umur ayam 12 sampai 14 bulan dan setelah itu berat telur akan berkurang (Scane et al. 2004).

Pada ayam ras petelur ada satu ekor ayam yang mati pada akhir minggu keempat perlakuan suhu 34 °C. Hasil pemeriksaan patologi anatomi menyatakan ayam mati karena egg yolk peritonitis. Ayam mengalami peritonitis fibrinosa akibat ova robek.

Kualitas Telur

Kualitas adalah sekumpulan ciri yang mempengaruhi penilaian suatu produk (Stadelmen and Cotterill 1995). Hasil pengujian kualitas telur secara visual menunjukkan terdapat interaksi antara perlakuan terhadap tinggi putih telur, haugh unit dan tebal kerabang.

(30)

16

Tinggi albumen tertinggi dicapai pada ayam ras petelur yang dipelihara pada suhu 22 °C. Tinggi albumen menurun signifikan pada ayam ras petelur dibandingkan pada suhu kandang 22 °C. Kenaikan suhu 6 °C dari 22 °C pada ayam ras petelur mengakibatkan penurunan tinggi albumen sebesar 0.71 mm. Perlakuan suhu kandang pada ayam kampung tidak berpengaruh terhadap tinggi albumen. Tinggi albumen ayam kampung yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan penelitian Nataamijaya (2006) yaitu 4.71±0.92 mm. Perbedaan hasil ini dapat terjadi karena ayam kampung yang digunakan pada penelitian Nataamijaya berumur 14 bulan.

Haugh unit (HU) merupakan satuan kualitas telur korelasi antara berat telur dan tinggi albumen. Semakin tinggi nilai HU menunjukkan semakin tinggi kualitas telur dan semakin baik kualitas albumennya. Dua telur yang memiliki tinggi albumen yang sama, pada berat telur yang lebih kecil menunjukkan kualitas yang lebih baik (North and Bell 1990).

Tabel 13 Tinggi putih telur, haugh unit dan tebal kerabang telur ayam kampung dan ras petelur pada suhu kandang berbeda (rataan ± SE)

Peubah Bangsa

ayam

Suhu kandang

22 °C 28 °C 34 °C

Tinggi putih telur Kampung 5.38±0.28d (17) 5.09±0.33d (13) 5.20±0.24d (24)

(mm) Ras petelur 7.72±0.18a (43) 7.01±0.17b (45) 6.25±0.18c (41)

Haugh unit Kampung 73.52±1.91d (17) 71.13±2.19d (13) 71.36±1.61d (24)

Ras petelur 87.92±1.20a (43) 83.52±1.18b (45) 78.49±1.23c (41)

Tebal kerabang Kampung 0.30±0.01c (17) 0.32±0.01bc(13) 0.31±0.01c (24)

(mm) Ras petelur 0.35±0.00a (43) 0.33±0.00b (45) 0.33±0.00b (41)

Keterangan : huruf yang berbeda pada baris dan kolom menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)

(...) : jumlah sampel

Kalsium yang diperlukan dalam pembentukan kerabang berasal dari pakan dan tulang meduler. Kalsium yang dibutuhkan tinggi pada saat ayam berproduksi, yaitu berkisar 3 sampai 4%. Sebagian besar kalsium untuk pembentukan kerabang berasal dari pakan (North and Bell 1990). Apabila asupan kalsium dari pakan berkurang sehingga tingkat kalsium dalam darah menurun maka kelenjar paratiroid akan mensekresi hormon paratiroid untuk memobilisasi kalsium tubuh dengan jalan merangsang pengeluaran kalsium dari tulang meduler (Scanes et al. 2004). Menurut Alkers and Denbow (2008), ayam betina yang sedang berproduksi memiliki tulang meduler sebagai tempat cadangan kalsium yang diperlukan pada saat produksi kerabang telur.

(31)

17 menyebabkan kualitas kerabang menjadi rendah diantaranya lamanya umur produksi, suhu lingkungan, telur yang ditelurkan pada pagi hari dan penyakit.

Tebal kerabang ayam kampung tidak dipengaruhi suhu kandang. Rataan tebal kerabang ayam kampung yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan Witantri et al. (2013) yaitu 0.28 mm. Rataan tebal kerabang ayam ras petelur yang dipelihara pada suhu 22 °C hampir sama dengan yang dilaporkan Mashaly et al. (2004) yaitu sebesar 0.348 mm. Tebal kerabang optimum sebesar 0.31 mm (Stadelman and Cotterill 1995).

Suhu kandang tidak berpengaruh terhadap berat kerabang tetapi berat kerabang antara ayam kampung dan ayam ras petelur berbeda. Hal ini terkait dengan berat telur yang berbeda antara ayam kampung dan ayam ras petelur. Rataan berat kerabang ayam ras petelur pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan Mashaly et al. (2004) yaitu 5.06 gram dikarenakan umur ayam ras pada penelitian Mashaly tersebut berumur 31 minggu. Rataan berat kerabang ayam kampung yang diperoleh pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan Nataamijaya (2006) sebesar 5.76±0.27 gram.

Tabel 14 Berat kerabang telur ayam kampung dan ras petelur pada suhu kandang berbeda (rataan ± SD)

Bangsa ayam Suhu kandang Rataan

22 °C 28 °C 34 °C

Kampung 4.54±0.54 (17) 4.74±0.38 (13) 4.76±0.75 (24) 4.68±0.61b Ras petelur 7.24±0.67 (43) 6.96±0.73 (45) 7.19±0.64 (41) 7.12±0.69a Rataan 6.48±1.38a 6.46±1.15a 6.29±1.36a

Keterangan : huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)

(...) : jumlah sampel

Persentase berat kerabang terhadap berat telur menunjukkan proporsi kerabang terhadap total berat telur. Persentase berat kerabang terhadap berat telur dianalisis secara deskriptif. Meskipun berat kerabang telur ayam ras petelur lebih berat (P<0.05) dibandingkan dengan berat kerabang telur ayam kampung, tetapi persentase berat kerabang terhadap berat telur ayam ras petelur lebih rendah dibandingkan dengan ayam kampung. Semakin besar telur seharusnya membutuhkan kerabang dengan luasan dan ketebalan yang lebih besar namun ternyata telur ayam kampung memiliki persentase kerabang terhadap berat telur yang lebih besar dibandingkan ayam ras petelur.

(32)

18

4

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Ayam kampung lebih toleran terhadap suhu tinggi, sedangkan ayam ras lebih sensitif terhadap perubahan suhu. Hal tersebut ditunjukkan dengan terjadinya penurunan kualitas pada telur ayam ras.

Saran

Perlu kajian lebih lanjut respons ayam kampung betina maupun ras petelur pada waktu pengamatan lebih panjang (lama) dan pengukuran konsumsi air minum serta kekuatan kerabang.

DAFTAR PUSTAKA

Aengwanich W. 2007. Comparative ability to tolerate heat between thai indigenous chickens, thai indigenous chickens crossbred and broiler by using heterofil/lymphocyte ratio. Pakist J of Biol Sci. 10(11): 1840-1844.

Akers RM, Denbow DM. 2008. Anatomy and Physiology of Domestic Animals. 1st Ed. State Avenue, Ames, Iowa, USA.

Ajakaiye J, Perez A, Mollineda A. 2011. Effects of high temperature on production in layer chickens supplemented with vitamin C and E. Rev.MVZ Cordoba 16(1):2283-2291.

Altan O, Altan A, Cabuk M, Bayraktar H. 2000. Effects of heat stress on some blood parameters in broiler. J Vet Anim Sci. 24: 145-148.

Bouchama A dan Knochel JP. 2002. Heat stroke. N Engl J Med 346:1978-1988. Bell DD, Weaver WD. 2002. Commercial Chicken Meat and Egg Production. 5th

Ed. New York. USA. Springer Science and Business Media Inc.

Campbell TW. 1995. Avian Hematology and Cytology. 2nd Ed. Ames, Iowa State University Press.

Tabel 15 Persentase berat kerabang terhadap berat telur ayam kampung dan ras petelur pada suhu kandang berbeda (rataan ± SD)

Bangsa ayam Suhu kandang Rataan

22 °C 28 °C 34 °C

Kampung 11.35±1.25 (17) 11.91±0.64 (13) 12.03±0.65 (24) 11.79±0.92

Ras petelur 11.02±0.70 (43) 11.09±1.15 (45) 11.63±0.81 (41) 11.24±0.95

Rataan 11.11±0.89 11.27±1.11 11.78±0.78

Keterangan : huruf yang berbeda pada kolom yang sama, menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)

(33)

19 Cunningham JG, Klein BG. 2007. Textbook of Veterinary Physiology. 4th Ed. St.

Louis Missouri. WB Saunders Company.

Daghir NJ. 2008. Poultry Production in Hot Climates. 2th Ed. CABI Publishing. London, UK.

Darwati S. 2000. Produktivitas ayam kampung, pelung dan resiprokalnya. Media Petern 23(2): 32-35.

[Ditjennakkeswan] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2013. Statistik Peternakan. Departemen Pertanian, Jakarta.

Etches RJ. 1996. Reproduction in Poultry. CAB International. Oxon, UK.

Frandson RD, Wike WL, Fails AD. 2009. Anatomy and Physiology of Farm Animals. 7th Ed. Wiley-Blackwell, Ames, Iowa.

Gillespie JR, Flanders FB. 2010. Modern Livestock and Poultry Production. 8th Ed. Delmar Cengage Lerarning, USA.

Hidayat C, Iskandar S, Sartika T. 2011. Respon kinerja perteluran ayam Kampung Unggul Balitnak (KUB) terhadap perlakuan protein ransum pada masa pertumbuhan. JITV 16(2):83-89.

Hussain A, Khan MZ, Khan A, Saleemi MK, Javed I. 2011. Testicular development and hematological parameters of male broiler breeders under subtropical environment. Pakist J Zool. 43(6):1033-1040.

Jain NC. 1993. Essential of Veterinary Hematology. Philadelphia. Lea & Febiger.

Latipudin D, Mushawwir A. 2011. Regulasi panas tubuh ayam ras petelur fase grower dan layer. J Sains Pet Ind 6(2):77-82.

Lin H, Zhang HF, Du R, Gu H, Zhang ZY, Buyse J, Decuypere E. 2005. Thermoregulation responses of broiler chickens to humidity at different ambient temperature four weeks of age. J Poult Sci. 84:1173-1178.

Lohmann Tierzucht GMBH. Layer Management Guide Lohmann Brown. Cuxhaven (GE). [diunduh 2014 Jan 2]. Tersedia pada: htpp://www.morrischatchery.com/ mngmt_guides/ Lohman_ Brown_ Classic_ Commercials.pdf.

Mashaly MM, Hendricks GL, Kalama MA, Gehad AE, Abbas AO, Patterson PH. 2004. Effect of heat stress on production parameters and immune responses of commercial laying hens. J Poult Sci. 83: 889-894.

Mattjik AA, Sumertajaya M. 2013. Rancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Jilid 1. IPB Press. Bogor.

Melesse A, Maak S, Pingel H, Lengerken GV. 2013. Assessing the thermo-tolerance potentials of five commercial layer chicken genotypes under long-term heat stress environment as measured by their performance traits. J Anim Prod Adv. 3(8):254-264.

Nasution S, Adrizal. 2009. Pengaruh pemberian level protein-energi ransum yang berbeda terhadap kualitas telur ayam buras. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.

Nataamijaya AG. 2006. Egg production and quality of kampung chicken fed commercial diet mixed with and supplemented with forages. J Anim Product 8(3):206-210.

(34)

20

Powell FL. 2000. Respiration. In Sturkie’s Avian Physiology. 5th Ed. GC Whittow Editor. San Diego. Academic Press.

Raji AO, Aliyu J, Igwebuike JU, Chiroma S. 2009. Effect of storage methods and time on egg quality traits of laying hens in a hot dry climate. ARPN Journ of Agr and Biol Sci. 4(4):1-7.

SAS User’s. 1985. Guide: Statistics. Ed. Joyner SP. SAS Institute Inc.

Sastradipraja D, Sikar SHS, Widjayakusuma R, Ungerer T, Maad A, Nasution H, Sunawinata R, Hamzah R. 1989. Penuntun Praktikum Veteriner. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat IPB. Bogor.

Scanes CG, Brant G, Ensminger ME. 2004. Poultry Science. 4th Ed. Pearson Education, Inc. Upper Saddle River, New Jersey.

Stadelmen WJ, Cotterill OJ. 1995. Egg Science and Technology. 4th Ed. New York. Food Products Press.

Sturkie PD. 1976. Avian Physiology. 3th Ed. New York. Springer-Verlag Inc. Swenson MJ. 1993. Physiological Properties and Cellular and Chemical

Constituents of Blood. In Dukes Physiology of Domestic Animals. 11th Ed. London. Cornell University Press.

Witantri H, Suprijatna E, Sarengat W. 2013. Pengaruh Penambahan tepung jahe merah (zingiber officinale var rubrum) dalam ransum terhadap kualitas telur ayam kampung periode layer. J Anim Agricul 2(1):377-384.

(35)

21 Lampiran 1 Hasil analisis ragam suhu permukaan tubuh ayam kampung dan ras

petelur

Peubah Sumber

Keragaman

db JK KT F P

Suhu jengger Ayam 1 7.935 7.935 6.27 0.0221 Kandang 2 201.000 100.500 79.41 <.0001 Interaksi 2 2.730 1.365 1.08 0.3611

Galat 18 22.780 1.265

Total 25 234.445

Suhu pial Ayam 1 7.594 7.593 7.17 0.0153

Kandang 2 118.161 59.080 55.80 <.0001 Interaksi 2 3.977 1.988 1.88 0.1816

Galat 18 19.057 1.058

Total 23 148.790

Suhu bulu Ayam 1 13.801 13.801 32.37 <.0001 Kandang 2 238.192 119.096 279.31 <.0001 Interaksi 2 3.010 1.505 3.53 0.0509

Galat 18 7.657 0.426

Total 23 262.680

Suhu kaki Ayam 1 0.326 0.326 0.27 0.6128

Kandang 2 153.576 76.788 62.34 <.0001 Interaksi 2 10.460 5.230 4.25 0.0308

Galat 18 22.170 1.232

Total 23 186.533

Lampiran 2 Hasil analisis ragam suhu rektal ayam kampung dan ras petelur Sumber

Keragaman

db JK KT F P

Ayam 1 0.0704 0.0704 0.67 0.4226

Kandang 2 0.2425 0.1212 1.16 0.3360

Interaksi 2 0.0108 0.0054 0.05 0.9497

Galat 18 1.8825 0.1045

(36)

22

Lampiran 3 Hasil analisis ragam profil darah ayam kampung dan ras petelur

Peubah Sumber

Keragaman

db JK KT F P

Eritrosit Ayam 1 0.314 0.314 1.80 0.1982

Kandang 2 0.630 0.315 1.81 0.1961 Interaksi 2 0.988 0.494 2.84 0.0883

Galat 16 2.787 0.174

Total 21 4.877

Hemoglobin Ayam 1 15.180 15.180 9.48 0.0068

Kandang 2 0.566 0.328 0.20 0.8168 Interaksi 2 6.475 3.237 2.02 0.1630

Galat 17 27.216 1.601

Total 22 50.563

Leukosit Ayam 1 13.075 13.075 0.34 0.5694

Kandang 2 21.387 10.693 0.28 0.7627 Interaksi 2 15.523 7.761 0.20 0.8208 Galat 17 660.470 38.851

Total 22 708.236

Hematokrit Ayam 1 70.630 70.630 8.86 0.0085

Kandang 2 51.396 25.698 3.22 0.0650 Interaksi 2 68.428 34.214 4.29 0.0309 Galat 17 135.471 7.969

Total 22 329.984

Rasio H/L Ayam 1 4.889 4.889 11.09 0.0040

Kandang 2 0.866 0.433 0.98 0.3946 Interaksi 2 1.130 0.565 1.28 0.3030

Galat 17 7.498 0.441

(37)

23 Lampiran 4 Hasil analisis ragam konsumsi pakan, produksi telur, berat telur, serta

konversi pakan ayam kampung dan ras petelur

Peubah Sumber

Keragaan

db JK KT F P

Konsumsi pakan Ayam 1 4804.49 4804.49 70.68 <.0001 Kandang 2 239.030 119.515 1.76 0.2007 Interaksi 2 262.448 131.224 1.93 0.1740 Galat 18 1223.56 67.976

Total 23 6529.53

Produksi telur Ayam 1 12803.9 12803.9 89.30 <.0001 Kandang 2 135.057 67.528 0.47 0.6319 Interaksi 2 411.726 205.863 1.44 0.2639 Galat 18 2580.98 143.388

Total 23 15931.6

Berat telur Ayam 1 3306.92 3306.92 628.51 <.0001 Kandang 2 24.855 12.427 2.36 0.1228 Interaksi 2 15.665 7.832 1.49 0.2552

Galat 18 94.707 5.261

Total 23 3442.15

Konversi pakan Ayam 1 162.448 162.448 15.64 0.0009

Kandang 2 21.097 10.548 1.02 0.3820

Interaksi 2 20.747 10.374 1.00 0.3878 Galat 18 186.940 10.385

(38)

24

Lampiran 5 Hasil analisis ragam kualitas telur ayam kampung dan ras petelur

Peubah Sumber

Keragaman

db JK KT F P

Tinggi putih telur Ayam 1 113.175 113.175 82.16 <.0001 Kandang 2 18.238 9.119 6.62 0.0017 Interaksi 2 12.019 6.010 4.36 0.0141

Galat 117 243.830 1.377

Total 182 408.687

Haugh unit Ayam 1 4650.089 4650.089 74.74 <.0001 Kandang 2 906.967 453.484 7.29 0.0009 Interaksi 2 386.420 193.210 3.11 0.0473 Galat 177 11012.95 62.2201

Total 182 17884.08

Tebal kerabang Ayam 1 0.028 0.028 30.78 <.0001 Kandang 2 0.001 0.0002 0.28 0.7571 Interaksi 2 0.008 0.004 4.51 0.0123

Galat 117 0.161 0.001

Total 182 0.203

Berat kerabang Ayam 1 218.440 218.440 495.47 <.0001

Kandang 2 0.425 0.212 0.48 0.6183

Interaksi 2 1.328 0.664 1.51 0.2246

Galat 117 78.035 0.441

(39)

25

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 21 Mei 1970, sebagai anak keenam dari tujuh bersaudara pasangan Bapak H.M Soekirno dan Ibu Hj. Siti Juhanah. Gelar sarjana penulis peroleh dari Program Studi Manajemen Agribisnis Fakultas Pertanian IPB. Tahun 2011 penulis terdaftar sebagai mahasiswa program pascasarjana pada mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB. Selama studi S2, penulis memperoleh Beasiswa Unggulan Kementerian Pendidikan Nasional. Mulai tahun 1994 sampai sekarang penulis bekerja sebagai tenaga kependidikan di Fakultas Peternakan IPB.

Gambar

Gambar 1 Alur pelaksanaan penelitian
Gambar 2   Pengukuran distribusi panas pada bagian jengger dengan kisaran
Gambar 4  Pengukuran distribusi panas pada bagian bulu punggung dengan
Tabel 7 Jumlah hemoglobin (g%) ayam  kampung dan ras petelur pada suhu kandang berbeda (rataan ± SD)
+4

Referensi

Dokumen terkait