• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNITED NATIONS DECLARATION ON THE RIGHTS OF INDIGENOUS PEOPLES: RELEVANSI DAN URGENSINYA TERKAIT PEMBENTUKAN REGULASI MENGENAI JAMINAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT ADAT DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "UNITED NATIONS DECLARATION ON THE RIGHTS OF INDIGENOUS PEOPLES: RELEVANSI DAN URGENSINYA TERKAIT PEMBENTUKAN REGULASI MENGENAI JAMINAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT ADAT DI INDONESIA"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Semenjak berakhirnya perang dingin yang ditandai dengan

runtuhnya salah satu negara adi kuasa Uni Soviet, isu global berubah arah

dari masalah pertentangan antar blok dan ideologi menjadi ke

masalah-masalah baru seperti masalah-masalah lingkungan, liberalisme ekonomi dan masalah-masalah

hak asasi manusia (selanjutnya, HAM). Meskipun demikian, masalah HAM

sebenarnya bukanlah merupakan masalah baru bagi masyarakat dunia,

karena isu HAM sudah mulai dilontarkan semenjak lahirnya Magna Charta

di Inggris pada tahun 1215 sampai lahirnya piagam Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB) Universal Declaration of Human Right pada tanggal 10

Desember 1948.1

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of

Human Rights) sejak diadopsi tahun 1948 telah mengafirmasikan betapa

penting dan fundamental terpenuhinya dua macam kebebasan bagi umat

manusia, yaitu freedom of want (hak-hak sipil dan politik) dan freedom from

need (hak-hak ekonomi, sosial dan budaya). Salah satu isu yang berkaitan

dengan hak ekonomi, sosial dan budaya adalah isu mengenai hak-hak

masyarakat adat (indigenous peoples).2

1 Rozali Abdullah S.H & Syamsir S.H.,

Perkemabangan HAM dan Keberadaan Peradilan HAM di Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2001, hal. 35

2

(2)

2

Di kalangan internasional, indigenous peoples diartikan sebagai

kelompok masyarakat atau suku bangsa yang memiliki kelanjutan hubungan

sejarah antara masa sebelum invasi dengan masa sesudah invasi yang

berkembang di wilayah mereka, menganggap diri mereka berbeda dengan

kelompok masyarakat lain atau bagian dari masyarakat yang lebih luas.

Sedangkan di Indonesia indigenous peoples atau masyarakat adat adalah

kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun

temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki nilai, ideoleogi,

ekonomi, politik, budaya dan wilayah sendiri.3

Mencuatnya isu tentang masyarakat adat di kalangan internasional

berawal dari berbagai gerakan protes masyarakat asli di Amerika Utara yang

meminta keadilan pembangunan, setelah kehadiran sejumlah perusahaan

transnasional di bidang pertambangan beroperasi di wilayah kelola mereka,

dan pengembangan sejumlah wilayah konservasi oleh pemerintah Amerika

Serikat (AS) dan Kanada. Komunitas Inuit di Alaska (negara bagian AS di

dekat kutub utara) adalah korban dari ketidak adilan pembangunan industri

pertambangan di Amerika Serikat. Di Kanada, komunitas Inuit yang masuk

dalam wilayah negara tersebut juga memprotes kebijakan pemerintah

Kanada yang memaksa mereka harus meninggalkan wilayah kelola menuju

desa-desa di pinggiran kota, karena perusahaan migas dan batubara akan

mengolah wilayah tersebut. Di negra bagian tengah AS, pembangunan

mengingat perihal adat tidak hanya menyangkut hukum, tetapi mencakup segala aspek dan tingkatan kehidupan. Sedangkan Kementrian Sosial RI seringkali menggunakan kata Komunitas Adat Terpencil (KAT) untuk menyebut masyarakat adat.

3

(3)

3

Taman Nasional Missisipi juga merampas hak kelola komunitas pribumi

Indian lainnya, seperti Mohak. Sedangkan pembangunan Taman Nasional

Rocky Mountain di sebalah barat juga mengancam kehidupan Indian

Apache. Kemudian dari berbagai protes di dataran Amerika Utara pada

tahun 1950-an, memancing reaksi ILO (The International Labour

Organization) sebagai lembaga PBB yang bergerak dalam isu perlindungan

tenaga kerja untuk lebih memperhatikan perlindungan terhadap hak-hak

masyarakat adat.

Langkah serius untuk memperjuangkan hak masyarakat adat ini

dilakukan terus menerus oleh ILO. Berturut-turut pada tahun 1957 dan

tahun 1989 lembaga khusus PBB ini berhasil mengesahkan konvensi

tentang perlindungan dan pengakuan terhadap hak masyarakat adat. Akan

tetapi, sayangnya daya ikat berlakunya konvensi ILO tersebut bergantung

pada apakah konvensi tersebut diratifikasi oleh negara-negara anggota PBB

atau tidak.

Kemudian, dalam dasawarsa 1980-an dalam lingkungan PBB telah

dibentuk pula The U.N Permament Forum for Indigenous Issues, yang

mengkaji masalah-masalah yang berkenaan dengan hak masyarakat hukum

adat ini. Dengan bekerjasama dengan The U.N High Commissioner of

Human Rights serta U.N Development Programme (UNDP), forum ini

mengadakan advokasi tentang hak masyarakat adat. Kemudian suatu

terobosan historis terhadap kebuntuan yang dialami selama berpuluh tahun

dalam perjuangan mengakui,melindungi dan menghormati hak masyarakat

(4)

4

on the Rights of the Indigenous Peoples (UNDRIP), 13 September 2007

dengan resolusi Majelis Umum A/Res/61/295.

Deklarasi yang berisi 46 pasal ini merupakan dokumen yang

non-legally binding, dalam artian lain deklarasi ini tidak memerlukan ratifikasi,

namun norma-norma yang terkandung di dalamnya bermanfaat sebagai

salah satu rujukan hukum internasional yang dapat dipegunakan untuk

membentuk sebuah rancangan undang-undang tentang hak masyarakat

hukum adat di setiap negara anggota PBB.4

Meskipun PBB tidak dapat memberikan sanksi hukum kepada

negara anggotanya yang melakukan pelanggaran hak masyarakat adat,

namun sanksi politis akan memberikan dampak yang besar terhadap negara

tersebut. Sehingga mekanisme PBB ini dapat dijadikan pintu masuk yang

menyediakan berbagai instrument yang memungkinkan masyarakat adat

untuk membawa persoalan-persoalan yang mereka alami.

Banyak poin penting yang terkandung dalam deklarasi ini

menggambarkan pentingnya pengaturan ulang tentang hubungan negara

dengan masyarakat adat dalam rangka pembangunan khususnya mengenai

kepemilikan tanah dan partisipasi masyarakat adat dalam pembangunan itu

sendiri. Seperti yang disebutkan dibawah ini:

Masyarakat adat memiliki hak untuk memiliki, menggunakan, mengembangkan dan mengontrol tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber dayasumber daya yang mereka miliki atas dasar kepemilikan tradisional atau penempatan dan pemanfaatan secara

(5)

5

tradisional lainnya, juga tanahtanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber daya yang dimiliki dengan cara lain.(Pasal 26)

Masyarakat adat memiliki hak untuk menentukan dan

mengembangkan prioritas-prioritas dan strategi-strategi untuk melaksanakan hak-hak mereka atas pembangunan. Terutama, masyarakat adat memiliki hak untuk terlibat secara aktif dalam pengembangan dan menentukan program-program kesehatan, perumahan dan program-program ekonomi dan kemasyarakatan yang mempengaruhi mereka, dan sejauh mungkin mengelola program-program tersebut melalui lembaga-lembaga mereka

sendiri. (Pasal 23)5

Dari deklarasi ini dapat dipahami pula bahwa kondisi dan

permasalahan yang dihadapi masyarakat adat di suatu negara berbeda

dengan di negara lain, bahkan antara satu daerah dengan daerah lainnya di

dalam satu negara. Namun demikian, ada kesamaan yang mendasar di antara

mereka sebagai kelompok penduduk minoritas, yaitu pengalaman hidup

ditindas, dieksploitasi dan disingkirkan dalam waktu sedemikian panjang,

oleh kelompok-kelompok penduduk lainnya yang mendominasi. Masyarakat

adat ini menjadi minoritas bukan semata-mata karena populasi mereka yang

kecil, tetapi lebih banyak bersumber dari kondisi mereka sebagai kelompok

penduduk yang memiliki ideologi, sistem sosial budaya dan sistem politik

yang khas dan bersifat lokal.

Di Indonesia sendiri isu mengenai masyarakat adat mulai menguat

pasca runtuhnya rezim orde baru di akhir tahun 1990-an. Dimana komunitas

masyarakat adat dari berbagai daerah di Indonesia yang kehilangan tanah

mereka untuk kepentingan pertambangan, penebangan hutan dan berbagai

5UN Declaration on The Rights of Indigenous People, (versi Bahasa Indonesia), Published

(6)

6

bentuk „pembangunan‟ lainnya mulai berani berunjuk rasa dan menuntut

kembali tanahnya atau meminta kompensasi (yang lebih adil) atas tanah

tersebut, atas nama hukum adat bukan hukum nasional.6

Pendekatan pembangunan yang bersifat sentralistik dan seragam pada

masa orde baru tidak membawa dampak positif bagi masyarakat adat,

karena umumnya desain pembangunan dibuat berdasarkan aspirasi

kelompok dominan (mainstream), dalam masyarakat. Sebagai satu kesatuan

sosial, masyarakat adat masuk dalam kategori masyarakat yang tidak

diuntungkan dalam struktur masyarakat ketika mereka berbeda dalam arti

budaya, identitas, sistem ekonomi, bahkan sistem politik dari kelompok

dominan lainnya. Masyarakat Adat seringkali tidak terwakili aspirasinya

dalam proses pernbangunan atau mendapatkan keuntungan dari proses itu.

Padahal sebagai warga negara mereka harus pula menikmati hak dan

kewajiban yang adil dan sejajar dengan segmen masyarakat lainnya.

Karenanya, pada puncak kebangkitan masyarakat adat pasca

reformasi yang ditandai dengan penyelenggaraan Kongres Masyarakat Adat

Nusantara (KMAN) di Jakarta pada Maret 1999, peserta kongres

menyampaikan manifesto "Kalau negara tidak mengakui kami, maka kami

tidak mengakui negara". Ungkapan tersebut bukan mengandung unsur

disintegrasi melainkan merupakan reaksi terhadap kebijakan pemerintah

yang cenderung menutup mata terhadap eksistensi masyarakat adat,

persinggungan kepentingan ekonomi sumber daya daerah dan usaha untuk

menggali kembali identitas masyarakat adat. Tuntutan „pengakuan‟ tersebut

6Jamie S. Davidson et al, Adat dalam Politik Indonesia, Pustaka ayasan Obor Indonesia,

(7)

7

menjadi isu utama dalam perjuangan masyarakat adat untuk mendapatkan

kembali penguasaan atas tanah, kehidupan dan nasib mereka sendiri.

pengakuan dalam Undang-Undang Dasar yang juga diturunkan kemudian

dalam Undang-undang dan Peraturan-peraturan Daerah. Semua perangkat

perundangan yang baru ini harus digali dan didalami melalui proses

pembaruan hukum yang partisipatif.7

Bangkitnya masyarakat adat untuk menggali identitas budaya dan

legitimasi kuasa, tak lepas dari wacana indigenisme yang berkembang

sebagai ideologi kultural. Dalam bukunya, Jamie Davidson

mengungkapkan, Indigenisme sebagai sebuah ideologi, dipelopori Amerika

Serikat, Australia, dan Skandinavia. Di negara-negara tersebut, para

pemukim Eropa dan anak keturunannya menggantikan penduduk asli yang

telah ada sebelumnya. Di Indonesia-seperti pada kebanyakan negara-negara

Asia- persoalan membedakan kelompok yang indigenous dari yang

nonindigenous dikatakan lebih rumit. Karena sebagaimana kebanyakan

pemerintah di Asia, Indonesia di bawah Soeharto menggunakan pembenaran

bahwa semua orang Indonesia adalah indigenous sebagai dalih untuk

menolak penggunaan peristilahan dan implikasi-implikasi dari perdebatan

internasional akan hal tersebut.8

Meskipun demikian, sejak permulaan kemerdekaan adanya

kemajemukan sistem budaya telah diakui sebagaimana tercermin dalam

semboyan negara "Bhineka Tunggal Ika". Negara telah berusaha

7Maksud partisipatif di sini adalah mengikutsertakan anggota atau perwakilan dari

masyarakat adat dalam perencanaan pembuatan undang-undang dalam bentuk konsultasi publik yang diadakan oleh pemerintah.

8

(8)

8

merumuskan pengakuan hukum terhadap masyarakat adat dalam UUD 1945

versi sebelum amandemen. Walau ketika itu wacana HAM di tingkat

internasional belum mendiskusikan isu tersebut. UUD 1945 telah membuat

pengakuan terhadap masyarakat adat dengan mengatakan bahwa di

Indonesia terdapat sekitar 250 daerah-daerah dengan susunan asli

(zelfbesturende, volksgemeenschappen), seperti marga, desa, dusun dan

negeri. Pengakuan hukum terhadap masyarakat adat pun telah dirumuskan

seperti dalam Pasal 18 UUD 1945; Pasal 5 UU Pokok Agraria (UU No. 5

Tahun 1960); UU No. 39 tentang HAM dan UU No. 41 tahun 1999.9 Akan

tetapi seakan berbanding lurus dengan usaha terhadap pengakuan hak

masyarakat adat, pelanggaran dan pengurangan hak-hak masyarakat adat

pun terjadi dengan diberlakukannya pasal-pasal tersebut dan program

kebijakan pembangunan lainnya.

Sebut saja UU No. 5/1960 UU Pokok Agraria mengakui keberadaan

masyarakat hukum adat dan hak ulayat.10 Pengakuan terhadap hak ulayat

dilakukan sepanjang menurut kenyataanya masih ada, tidak bertentangan

dengan kepentingan nasional dan tidak boleh bertentangan dengan

undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. 11

9

Hendra Nurtjahjo & Fokky Fuad, Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, Penerbit Salemba Humanika, Jakarta.2010. hal.3

10

Hak ulayat adalah kewenangan, yang dimiliki oleh masyarakat adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya, dimana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya.

11

Rikardo Simarmata, Menyongsong Berakhirnya Abad Masyarakat Adat: Resistensi Pengakuan Bersyarakat, dalam

(9)

9

Gaya bersyarat ini terus berkembang dan telah menjadi standar

pengakuan normatif pada berbagai peraturan perundangan dan instrumen

kebijakan di masa era reformasi. Bila dibuat dalam sebuah rangkuman,

produk perundangan ini mengakui masyarakat adat hanya jika: (1) dalam

kenyataanya masih ada: (2) tidak bertentangan dengan kepentingan

nasional; (3) tidak bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan

yang lebih tinggi; dan (4) ditetapkan dengan peraturan daerah. Gaya itulah

yang membuat pengakuan hukum tersebut sebenarnya bukan bermaksud

memberikan kebebasan dasar pada masyarakat adat melainkan menentukan

batasan-batasan.

Contoh lain adalah program konservasi hutan atau hutan lindung yang

dicetuskan dengan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dalam peraturan ini secara nyata menolak

pengakuan keberadaan masyarakat adat yang tinggal dan hidup di sekitar

atau dalam kawasan hutan dengan tidak dicantumkannya satu pun ketentuan

mengenai masyarakat adat. Peraturan ini juga menempatkan pekerjaan turun

temurun masyarakat adat (seperti berladang, berburu dan mencari kayu)

sebagai ancaman serius atas keutuhan kawasan hutan lindung sehingga patut

dilarang.

Jika kita melihat fenomena tersebut maka sebenarnya penghancuran

sistem adat telah terjadi secara sistematis. Hal ini dapat dilihat dari berbagai

aspek, yaitu; aspek hukum, aspek akses ke sumber daya alam, aspek budaya,

(10)

10

kebijakan negara yang dituangkan atas nama pembangunan nasional pun

seringkali tidak memandang masyarakat adat sebagai satu kesatuan sistem.

Tetapi cenderung mengkotak-kotakkan, sehingga penataan lembaga

masyarakat adat juga dilakukan oleh beberapa sektor yang masing-masing

berjalan sendiri. Sehingga tiap kebijakan yang dibentuk baik di pusat

maupun daerah tidak pernah megikut sertakan masyarakat adat yang

kemudian menimbulkan konflik di wilayah tersebut.

Contohnya saja beberapa kasus yang terjadi di seluruh wilayah

Kalimantan yang melibatkan masyarakat adat Dayak dalam sengketa

bersama perusahaan pertambangan atau perkebunan. Selain itu kasus yang

terjadi di Papua Barat, Sulawesi, bahkan di pulau Jawa. Dimana masyarakat

adat berseteru dengan pemerintah setempat atau pihak swasta yang dianggap

telah memarjinalkan sekaligus sangat merugikan eksistensi dari masyarakat

adat itu sendiri.

Kasus-kasus seperti pencaplokan wilayah adat untuk dijadikan wilayah

pertambangan dan perkebunan sebagai dalih kebijakan pembangunan negara

merupakan contoh kontemporer dari apa yang pernah Marx sebut sebagai

proses enclosure, yaitu sejarah pemisahan produser dari alat produksinya;

ketika sejumlah besar orang tiba-tiba dicabut secara paksa dari caranya

menjalankan hidup dan terlempar menjadi proletariat bebas yang selalu

bergantung pada pasar tenaga kerja. Dalam literatur lain, fenomena ini juga

(11)

11

marjinalisasi dan terbentuknya kemiskinan pada masyarakat adat.12 Oleh

karena itu, dampak yang muncul dari kebijakan pemerintah yang juga

tercermin dalam peraturan perundangan selama ini bukan hanya ancaman

konflik akan tetapi juga kemiskinan yang terbentuk dari konflik tersebut

dimana dominasi negara dalam relasi-relasi agraria telah menyebabkan

tercabutnya hak-hak masyarakat atas tanah dan sumber daya alam lainnya

sebagai penopang hidup mereka.

Berdasarkan fenomena tersebut penulis tertarik untuk mencari

relevansi antara masalah pengakuan, penegakan dan pemenuhan hak-hak

masyarakat adat di Indonesia dengan keberadaan U.N Declaration on Rights

of Indigenous People (UNDRIP). Deklarasi PBB ini mungkin dianggap

tidak secara langsung mengikat setiap negara dan hukum nasional, tetapi isi

dan pengaturan hak dalam deklarasi ini bersumber dan diringkas dari

peraturan dan perjanjian internasional lainnya yang mengikat negara,

seperti: Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial;

Perjanjian Internasional Tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya;

Perjanjian Internasional Tentang Hak Sipil and Politik; Perjanjian Tentang

Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan; Perjanjian tentang Hak

Anak; dan Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati; serta Kerangka Kerja

PBB tentang Perubahan Iklim. Oleh karena itu menurut Patrick Anderson

dari Forest Programme for People (FPP) Inggris, deklarasi ini dapat

mengikat negara yang sudah menandatanganinya, termasuk Indonesia, yang

juga sebelumnya telah meratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik, Kovenan

12M. Shohibuddin, Memahami Dimensi-Dimensi Kemiskinan Masyarakat Adat, AMAN

(12)

12

Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Konvensi Keanekaragaman Hayati dan

Konvensi Perubahan Iklim.13

Indonesia berkewajiban menegakkan isi deklarasi termasuk

implikasinya. Yaitu mengadopsi isi deklaasi dalam membentuk regulasi

dalam program kebijakan berkaitan dengan hak masyarakat adat. Karena

hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada

diri manusia, bersifat universal, dan langgeng. Oleh karena itu harus

dilindungi, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau

dirampas oleh siapa pun sebagaimana yang termuat dalam UU nomor 39

tahun 1999 tentang HAM.

Dalam konteks ini, hak masyarakat adat juga merupakan bagian integral

dari hak asasi warga negara dan hak asasi manusia itu sendiri. Harus diakui

HAM yang semestinya dilindungi dan dihormati itu telah banyak diabaikan,

bahkan dirampas oleh negara. Pengalaman menunjukkan bahwa pengakuan,

penghormatan, dan perlindungan negara terhadap masyarakat adat tidaklah

terjadi secara otomatis, dan harus diperjuangkan secara terencana dan

terorganisasikan. Salah satunya dengan menjadikan UNDRIP sebagai

standar minimum dalam pembentukan regulasi baru dalam rangka

penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat di Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas maka rumusan masalah yang diangkat dalam

penelitian ini adalah:

13Pietsau Amafnini, Melindungi Masa Depan Anggrek Hitam dalam

(13)

13

a. Sejauh mana regulasi yang dibuat oleh pemerintah Indonesia dapat

memberikan jaminan pemenuhan dan perlindungan hak-hak

masyarakat adat di Indonesia?

b. Bagaimana relevansi dan urgensi UNDRIP sebagai acuan/standar di

dalam pembentukan regulasi baru mengenai jaminan perlindungan

terhadap hak-hak masyarakat adat?

1.3.Tujuan Penelitian

1.3.1.Bagi Keilmuan

Hasil penelitian ini diharapkan agar dapat menghasilkan sebuah

wacana baru yang mampu mendukung perkembangan ilmu

Hubungan Internasional.

1.3.2.Bagi Praktek

Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan

kontribusi bagi pembuat kebijakan dalam membuatan kebijakan

selanjutnya berkaitan dengan regulasi mengenai masyarakat adat.

1.4. Studi Terdahulu

Telah ada beberapa tulisan dan penelitian di tingkat nasional

mengenai hak masyarakat adat, akan tetapi yang mengaitkan masalah ini

dengan studi Hunbungan Internasional belum terlalu banyak. Wilayah studi

hukum dan antropologis yang sering kali berkontribusi dalam permasalahan

(14)

14

berjudul “Masyarakat Adat dan Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit di

Kalimantan Barat, Indonesia” oleh Martua T. Sirait.14

Dalam penelitian ini dijelaskan mengenai ekspansi perkebunan kelapa

sawit yang terjadi dengan sangat cepat di Indonesia termasuk Kalimantan

Barat dalam kurun waktu satu dekade terakhir berefek negatif terhadap

keberadaan masyarakat adat di wilayah ekspansi tersebut. Pada tiga studi

kasus yang dilakukan pada pada empat kelompok sub-etnis masyarakat adat

Dayak Bidayuh (Hibun, Sami, Jangkang dan Pompang) menggambarkan

konflik dan kolaborasi antara masyarakat adat di Kalimantan Barat dalam

kaitannya dengan ekspansi perkebunan kelapa sawit atas tanah adat mereka.

Kajian tersebut tidak menyajikan besarnya konflik secara kwantitatif, misal

jumlah orang atau rumah tangga yang terkena akibat konflik dan luasan

tanah yang diambil oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit, tetapi

berusaha menampilkan aspek aspek kwalitas dari konflik berupa perasaan

masyarakat adatnya, usaha usaha penyelesaian konflik dan akibatnya bagi

kelembagaan masyarakat adat dan wilayah adatnya.

Penulis berpendapat bahwa situasi konflik yang serupa telah terjadi di

Sumatera pada tahun 1970-1980s dan sedang atau akan segera terjadi di

Papua, Sulawesi, dan kepulauan kecil di Indonesia Timur, seiring dengan

ekspansi perkebunan kelapa sawit kearah Indonesia Timur. Satu

konsekuensi dari keterlibatan dengan kegiatan perkebunan kelapa sawit

adalah bahwa masyarakat adat menjadi semakin tercerabut dari

14

(15)

15

lingkungannya dan pengelolaan sumberdaya alam berbasis pengetahuan

adat yang mereka miliki. Individu-individu juga menjadi semakin terpisah

dari adat dan budayanya karena individualisasi tanah adat, individualisasi

tanah kelompok keturunan dan individualisasi tanah keluarga. Proses

pembebasan tanah melalui satuan tugas ini menciptakan konflik dan

perasaan tidak nyaman antara keluarga, antar orang dan lain-lain yang

merusak solidaritas dan kelembagaan setempat yang seharusnya berfungsi

sebagai fondasi untuk penyelesaian konflik horizontal. Akan tetapi

perusahaan perkebunan kemudian justru memanfaatkan peluang adanya

konflik horizontal untuk melanjutkan ekspansi operasi mereka.15

Selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Jacqueline K. Carino dengan judul, “Dams, Indigenous People and Vulnerable Ethic

Minorities: A Case Study on the Ibaloy People and the Agno River Basin,

Province of Benguet, Philippines”16. Penelitian tersebut mengulas

permasalahan yang dialami oleh masyarakat adat Ibaloy di provinsi

Benguet, wilayah administratif Cordillera. Diskriminasi terhadap kelompok

ini dinyatakan telah terjadi mulai masa kolonial Spanyol dengan adanya The

Regalian Doctrine yang menyatakan bahwa semua tanah publik sebagai

milik negara, yang diwakili oleh Raja Spanyol. Kemudian doktrin ini

15

Masyarakat Adat dan Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit di KalimantanBarat, Indonesia, Martua T. Sirait dkk, 2009 diakses dari

cordaid.peers.me/api/publications/.../Cordaid_Kalimantan_INDO_-LR.pdf, diakses: 08 Agustus 2011, 05.11 pm

16 Penelitian tersebut dilakukan untuk dilaporkan pada Komisi Bendungan Dunia (World Comission on Dam) dalam rangka pembuatan kerangka pemikian baru mengenai kebijakan negara berkaitan dengan pembangunan khususnya pembangunan bendungan.

(16)

16

dilanjutkan pada masa penjajahan Amerika Serikat hingga masa ini ketika

Filipina telah menjadi negara republik yang berdaulat.

Doktrin tersebut berpengaruh pada pembuatan kebijakan-kebijakan

yang dikeluarkan oleh pemerintah Filipina. Salah satunya berkaitan dengan

kebijakan pembangunan. Atas nama pembangunan, masyrakat Ibaloy

dipaksa untuk berkorban menyerahkan tanah leluhur mereka. Seperti pada

saat pembangunan bendungan Ambuklao dan Binga, sekitar 300 rumah

tangga Ibaloy dipaksa menyerahkan rumah mereka dan tanah mereka untuk

membuat jalan bagi kedua bendungan sepanjang Sungai Agno. Mereka

dijanjikan kompensasi keuangan untuk kerugian mereka, serta relokasi ke

daerah pertanian subur. Akan tetapi mereka tidak pernah menerima

kompensasi dan relokasi tersebut. Selain dari bendungan, mereka telah

menyerahkan tanah dan sumber kehidupan mereka bagi perusahaan

pertambangan di daerah Itogon, untuk operasi penebangan, untuk bangunan

Baguio City, untuk Zona Pengolahan Ekspor, untuk Taman Marcos di

Taloy, untuk lapangan golf dan lain sebagainya.17

Meskipun bendungan-bendungan yang dibangun di wilayah Benguet

memberikan keuntungan untuk negara sebagai pasokan energi nasional

(PLTA), akan tetapi berdampak sangat buruk pada kondisi sosial-ekonomi

dan lingkungan masyarakat adat Ibaloy. Hal ini menurut Carino dikarenakan

tidak diperhitungkannya hak-hak masyarakat adat Ibaloy akan tanah leluhur

dan penetuan nasib sendiri pada saat proses pembangunan dilaksanakan.

Oleh karena itu, menurutnya seluruh proses perencanaan energi nasional

17

(17)

17

nantinya harus dikenakan pengawasan publik yang lebih dekat dan terbuka,

dengan partisipasi penuh oleh masyarakat khususnya yang terkena dampak

langsung proyek-proyek energi tersebut seperti masyarakat adat Ibaloy.

Kedua penelitian tersebut digunakan sebagai pendukung sekaligus

perbandingan terhadap penelitian yang akan dilakukan oleh penulis nantinya

karena mengangkat permasalahan yang sama yaitu mengenai masyarakat

adat. Letak perbedaan dari kedua penelitian tersebut adalah sudut pandang

atau paradigma yang digunakan dalam penelitian, jika kedua penelitian

cenderung memakai sudut pandang antropologis sosial, maka dalam

penelitian ini akan lebih menonjolkan paradigma hubungan

internasionalnya. Dimana akan dilihat sejauh mana komitmen global (dalam

hal ini Deklarasi PBB Hak-Hak Masyarakat Adat) dapat berpengaruh dalam

pembentukan regulasi dan kebijakan nasional Indonesia.18

1.5.Teori dan Konsep

Teori Rejim Internasional

Teori rejim berasal dari tradisi liberal yang berargumen bahwa berbagai

institusi atau rejim internasional memengaruhi perilaku negara-negara

(maupun aktor internasional yang lain. Definisi rejim yang paling lazim

dipakai datang dari Stephen Krasner, ia mengatakan:

“institutions are equated with international regimes that is „sets of

implicit or explicit principles, norms, rules and procedures around

(18)

18

which actors expectations converge in a given area of international

relation”19

Rezim lebih dari sesuatu yang independen dalam politik internasional

yang berperan sebagai fasilitator terciptanya agreement dengan cara

menyediakan seperangkat norma, peraturan dan prinsip sekaligus

menyediakan informasi yang cukup, mengurangi asymmetric information

serta mengurangi ketidakpastian. Rezim lahir guna menciptakan solusi

tersebut untuk menyelesaikan masalah di dalam kompleksitas perilaku

anggotanya secara spesifik. Sebuah rezim diorganisasikan dengan perjanjian

antarnegara, sehingga dapat menjadi sumber utama hukum internasional

formal. Rezim sendiri dapat juga bertindak sebagai subyek dari hukum

internasional. Lebih jauh lagi rezim dapat membentuk perilaku dari

negara-negara penyusunnya..20

Rezim menjalankan fungsi penting yang dibutuhkan dalam hubungan

antarnegara. Rezim ketika dilembagakan akan dijaga keutuhannya sehingga

kehadirannya dapat memberikan pengaruh politik melebihi independensi

negara-negara yang menciptakannya. Teori rezim juga berbicara bagaimana

ketaatan negara anggota terhadap suatu rezim internasional dalam

mewujudkan kepentingan mereka.

Teori ini digunakan oleh penulis untuk menganalisa mengenai rezim

internasional mengenai HAM khususnya hak-hak masyarakat adat yang

mana muncul sebagai reaksi terhadap adanya kebutuhan untuk melakukan

koordinasi perilaku berbagai negara tentang isu tersebut. Dengan berbagai

19

Gerd Oberleitner, Global Human Rights Institutions, Cambridge: Polity Pers, 2007. Hal. 6 20 Andreas Hasenclever et,al,

(19)

19

konvensi dan deklarasi mengenai isu tersebut ini berarti rezim HAM

semakin menguat. U.N. Declaration on Rights of Indigenous People

(UNDRIP) sendiri nantinya digunakan untuk menggambarkan totalitas

standar-standar yang relevan, dan prosedur-prosedur mengenai pengakuan

dan perlindungan terhadap hak-hak masyrakat adat yang harusnya dapat

mempengaruhi perilaku berbagai negara yang masuk ke dalam rejim

tersebut termasuk Indonesia.

Ketiadaan rezim merupakan indikasi tidak adanya kepatuhan. maka

munculnya UNDRIP sebagai salah satu rezim hak masyarakat adat

internasional akan berpengaruh terhadap perilaku Indonesia. Meskipun

berbagai pandangan mengatakan bahwa negara terlihat tidak terlalu terikat

dengan kuat oleh UNDRIP, akan tetapi -di dukung oleh toeri ini-sebagai

negara yang beradab dalam percaturan politik internasional, maka Indonesia

perlu mematuhi dan melaksanakan isi dari deklarasi tersebut.

Konsep Free Prior and Informed Consent (FPIC)

Keputusan dini tanpa paksaan berdasarkan informasi lengkap sejak

awal atau Free Prior and Informed Consent (FPIC) adalah suatu konsep

yang menjelaskan bahwa masyarakat adat berhak untuk menentukan

bentuk-bentuk kegiatan apa yang mereka inginkan pada tanah mereka. Dalam FPIC

dijelaskan pentingnya proses yang memungkinkan masyarakat adat dan atau

masyarakat lokal untuk menjalankan hak-hak fundamentalnya untuk

menyatakan apakah mereka setuju atau tidak setuju terhadap sebuah

(20)

20

kehidupan masyarakat dan berpotensi berdampak kepada tanah, kawasan,

sumberdaya dan perikehidupan masyarakat.21

Secara detail konsep ini dapat dijabarkan sebagai berikut: hak

masyarakat untuk mendapatkan informasi (informed) sebelum (prior)

sebuah program atau proyek pembangunan dilaksanakan dalam wilayah

mereka, dan berdasarkan informasi tersebut, mereka secara bebas tanpa

tekanan (free) menyatakan setuju (consent) atau menolak atau dengan kata

lain sebuah hak masyarakat adat untuk memutuskan jenis kegiatan

pembangunan macam apa yang mereka perbolehkan untuk berlangsung

dalam tanah adat mereka.

Artinya, pihak atau orang luar, yang hendak masuk ke dalam

wilayah-wilayah masyarakat adat, harus berkomunikasi dan berunding dengan

mereka sebagai pemilik yang sah, karena masyarakat dikaruniai dengan hak,

dengan kewenangan yang jelas atas seluruh wilayah adat mereka. Hal ini

berarti pula menghargai sistem pengambilan keputusan masyarakat adat dan

menghormati tata aturan adat dalam menentukan perwakilannya.22

Konsep informed consent semula digunakan untuk melindungi

kepentingan pasien di rumah sakit yang semestinya mengetahui setiap

proses dan jenis pengobatan yang akan dilaluinya secara pribadi. Hal ini

21

http://www.redd-indonesia.org/pdf/FPICIndoversi.pdf, diakses: 08 Agustus 2011, 06.35 pm

22 Marcus Colchester,

(21)

21

dikemukakan pertama kali oleh Paul G.Gebhard, seorang pengacara senior

dalam kasus malpraktik di California, Amerika Serikat.23

Kemudian konsep ini dikembangkan sebagai standar perlakuan

terhadap masyarakat adat oleh beberapa organisasi internasional. Ketika

mulai pertengahan tahun 1980-an masyarakat adat menyatakan tuntutan

mereka mengenai pengakuan atas hak mereka untuk memberi atau tidak

memberi persetujuan tanpa paksaan atas dasar informasi awal atas segala

tindakan yang mempengaruhi tanah, wilayah serta sumber daya alam

mereka menjadi bagian pokok dari perjuangan mereka untuk menentukan

nasib sendiri. Sejak itu, dengan berbagai dukungan dari organisasi seperti

Forest Peoples Programme, hak tersebut, untuk seterusnya disebut sebagai „hak atas FPIC dikenal luas dan mulai dilihat sebagai hal penting bagi

masyarakat adat dalam berhubungan dengan pihak selain negara yang ingin

mengontrol, atau mendapatkan akses, terhadap tanah dan sumber daya alam

mereka, baik atas nama pembangaunan maupun konservasi.24

Dalam rangka pembuatan kebijakan publik serta regulasi nasional yang

demokratis dan menghormati hak-hak asasi manusia, serta keanekaragaman

budaya, sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945, maka

keberadaan, kepentingan dan aspirasi masyarakat adat dan atau masyarakat

lokal yang bermukim di dalam dan di sekitar kawasan hutan, harus

23

Paul G. Gebhard; Lawyer Coined the Phrase 'Informed Consent' dalam

http://articles.latimes.com/1997/aug/27/news/mn-26326, diakses: 10 Agustus 2011, 03.39 pm

24

Marcus Colchester & Maurizio Farhan Ferrari, Menjadikan, FPIC Berjalan: Tantangan dan Peluang bagi Masyarakat Adat dalam

(22)

22

dipertimbangkan secara sungguh-sungguh. Sehingga secara implementatif,

FPIC juga dapat digunakan sebagai acuan perubahan kebijakan

pembangunan sentralistik dan ekonomistik menjadi kebijakan pembangunan

alternatif yang berkeadilan dan berbasis pada masyarakat adat (community

development).

Penulis menggunakan konsep ini sebagai ukuran atau kriteria untuk

menilai kebijakan yang telah dikeluarkan negara melalui beberapa peraturan

perundangan serta program pemerintah berkaitan dengan masyarakat adat.

Konflik pemanfaatan kawasan hutan yang terjadi di hampir semua daerah di

Indonesia serta kemiskinan masyarakat yang bermukim di dalam dan di

sekitar kawasan hutan, hendaknya menjadi bahan refleksi dalam

merencanakan kebijakan publik dan regulasi dimasa depan yang berkaitan

dengan kawasan hutan dan ekosistem hutan pada umumnya. Oleh karena itu

pengadopsian FPIC dalam kerangka hukum nasional dapat menjadi tawaran

terbaik untuk mengutamakan masyarakat adat.

1.6. Metode Penelitian

1.6.1.Tipe Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dimana akan menyajikan satu

gambar yang terperinci atas satu situasi khusus, setting sosial atau

hubungan. Tujuan dari penelitian jenis ini disebutkan oleh Ulber untuk

menggambarkan secara cermat karakteristik dari suatu gejala atau masalah

(23)

23

mendapatkan dan menyampaikan fakta-fakta dengan jelas, teliti dan

lengkap.25

1.6.2.Tingkat Analisa

Ada dua variabel yang dapat ditetapkan di sini yaitu satu variabel

terikat (dependent) dan satu variabel bebas (independent). Dalam disiplin

ilmu Hubungan Internasional, variabel terikat lebih dikenal dengan unit

analisa/subyek penelitian (variabel yang diterangkan) sedangkan variabel

bebas lebih dikenal dengan unit eksplanasi/obyek penelitian (variabel yang

menerangkan). Adapun dalam penelitian ini, Deklarasi PBB tentang

Hak-Hak Masyarakat Adat merupakan variabel independen dan pembentukan

pembentukan regulasi terkait jaminan perlindungan hak-hak masyarakat

adat di Indonesia merupakan variabel dependen.

1.6.3.Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data kualitatif yang

terdiri atas data sekunder. Untuk mengumpulkan data sekunder dilakukan

dengan studi kepustakaan. Bahan-bahan dari data ini berupa buku,

artikel-artikel dalam surat kabar, majalah dan jurnal-jurnal ilmiah, laporan-laporan

atau arsip baik dari pemerintah maupun organisasi yang terkait dalam

masalah penelitian ini. Selain itu, data diperoleh dari informasi dan

analisis-analisis yang dibuat oleh para ahli serta para peneliti terdahulu. Sumber data

lainnya juga didapat dari pengumuman/pernyataan resmi dari pembuat

25

(24)

24

kebijakan, penjelasan dan jawaban-jawaban terhadap pertanyaan dan kritik

yang muncul. Jenis data-data tersebut dapat berupa data material (hardfile)

atau berupa softfile dari berbagai perpustakaan maupun situs-situs internet

resmi untuk menjaga kualitas analisis terhadap fenomena yang sedang dikaji

oleh penulis.

1.6.4.Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan adalah teknik analisis kualitatif.

Hal ini dikarenakan data empiris yang diperoleh berupa data kualitatif.

Menurut Miles dan Hubberman, kegiatan analisis kualitatif terdiri dari tiga

alur kegiatan yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan

kesimpulan.26

26

(25)

25

Bagan Alur Pemikiran

Konsep & Teori

Penelitian Terdahulu

Permasalahan:

Relevansi dan urgensi UNDRIP dalam pembentukan regulasi mengenai jaminan perlindungan hak-hak masyarakat adat di Indonesia

Metode Penelitian:

Kualitatif

Studi Pustaka-Literatur

Lokus:

Pembentukan regulasi tentang jaminan pengakuan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat di Indonsia

Fokus:

Keberadaan

(26)

26 1.6.5.Ruang Lingkup Penelitian

Untuk membuat penelitian ini lebih fokus maka peneliti akan

memberikan ruang lingkup penelitian. Fokus penelitian ini adalah mengenai

hak-hak masyarakat adat baik hak ekonomi, politik, sosial dan budaya

dalam kaitannya dengan kebijakan pembangunan nasional. Adapun hak-hak

tersebut yang dicerminkan pula dalam tiga prinsip di dalam UNDRIP yang

akan menjadi perhatian dari penulis, yaitu hak penentuan nasib sendiri, hak

penguasaan lahan dan sumber daya, serta hak atas ganti rugi dan restitusi.

Sedangkan untuk contoh-contoh kasus diambil secara acak yang dianggap

sangat mewakili keperluan penulisan yang terjadi dalam kisaran waktu

antara tahun 2000-2010.

1.7.Struktur Penulisan

Untuk mempermudah dalam memahami penelitian ini, maka peneliti

menyusun sistematika sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

1.2. Rumusan Masalah

1.3. Tujuan Penelitian

1.4. Studi Terdahulu

1.5. Teori dan Konsep

1.6. Metodelogi

1.6.1. Tipe Penelitian

(27)

27

1.6.3. Teknik Pengumpulan Data

1.6.4. Teknik Analisa Data

1.6.5. Ruang Lingkup Penelitian

1.7. Srtuktur Penulisan

BAB II : Tinjauan Tentang Proses Pembentukan Dan Isi

Deklarasi PBB Mengenai Hak Masyarakat Adat

(UNDRIP)

2.1. Isu Masyarakat Adat Global

2.2. Proses Terbentuknya UNDRIP

2.3. Materi UNDRIP

2.4. Respon dan Posisi Negara Anggota PBB terhadap

UNDRIP

BAB III : MASYARAKAT ADAT DI INDONESIA

3.1.Perkembangan Isu Masyarakat Adat di Indonesia

3.2.Regulasi Tentang Jaminan Pengakuan dan

Perlindungan Hak Masyarakat Adat di Indonesia

3.2.1. Hak atas Self of Determinataion/Penentuan

Nasib Sendiri

3.2.2. Hak atas Penguasaan dan Pengelolaan Lahan

dan Sumber Daya

3.3. Urgensitas UNDRIP sebagai Standar Jaminan

Perlindungan Hak Masyarakat Adat dalam Konteks

(28)

28

BAB IV : PENUTUP

4.1. Kesimpulan

(29)

SKRIPSI

UNITED NATIONS DECLARATION ON THE RIGHTS OF INDIGENOUS PEOPLES:

RELEVANSI DAN URGENSINYA TERKAIT PEMBENTUKAN REGULASI

MENGENAI JAMINAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT ADAT DI

INDONESIA

Disusun Dan Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Politik (S.Ip) Strata-1

Jurusan Hubungan Internasional

Oleh :

SITI KHOTIMAH

07260001

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(30)

LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Siti Khotimah

NIM : 07260001

Jurusan : Hubungan Internasional

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Judul Skripsi : UNITED NATIONS DECLARATION ON THE RIGHTS OF INDIGENOUS PEOPLES: RELEVANSI DAN URGENSINYA TERKAIT PEMBENTUKAN

REGULASI MENGENAI JAMINAN PERLINDUNGAN HAK

MASYARAKAT ADAT DI INDONESIA.

Telah dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jurusan Hubungan Internasional Dan dinyatakan LULUS

Pada hari : Jumat Tanggal : 20 Januari 2012

Tempat : Laboratorium Jurusan Hubungan Internasional

Mengesahkan,

Dekan FISIP – UMM

Dr. Wahyudi M,Si

Dewan Penguji :

1. Drs. Abdullah Masmuh M.Si Penguji 1 ( )

2. Ayusita Sabhita Kusuma Penguji 2 ( )

3. Victory Pradhitama S.Sos, M.Si Penguji 3 ( )

(31)

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI

Nama : Siti Khotimah

NIM : 07260001

Jurusan : Hubungan Internasional

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Judul Skripsi : UNITED NATIONS DECLARATION ON THE RIGHTS OF INDIGENOUS PEOPLES: RELEVANSI DAN URGENSINYA TERKAIT PEMBENTUKAN

REGULASI MENGENAI JAMINAN PERLINDUNGAN HAK

MASYARAKAT ADAT DI INDONESIA.

Disetujui,

DOSEN PEMBIMBING

Pembimbing I Pembimbing II

Victory Pradhitama S.Sos, M.Si Cekli Setya Pratiwi S.H., L.LM

Mengetahui,

Dekan Ketua Jurusan

FISIP UMM Hubungan Internasional

(32)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Syukur Alhamdulillah peneliti panjatkan syukur kehadirat Allah SWT yang selalu

melimpahkan rahmat, hidayah, serta krunianya kepada peneliti sehingga peneliti dapat

menyelesaikan skripsi ini. Peneliti panjatkan pula shalawat serta salam semoga tetap

dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan pengikut beliau.

Penelitian ini berawal dari ketertarikan peneliti mengenai hak-hak masyarakat adat di

Indonesia yang telah lama dilanggar oleh pemerintah. Pelanggaran ini berkaitan dengan proses

pembangunan dan modernisasi yang tidak dibarengi regulasi yang jelas dan menyeluruh yang

mengatur pengakuan dan jaminan perlindungan tentang hak-hak masyarakat adat. Kemudian

masalah ini dikaitkan dengan keberadaan Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Hak

Masyarakat Adat atau United Nations Declaration On The Rights Of Indigenous Peoples

(UNDRIP) yang merupakan standar minimum terhadap perlindungan hak-hak masyarakat adat

internasional.

Membuat karya ilmiah ternyata tidak mudah, setelah sekian lama mengerjakan, puji

syukur peneliti akhirnya dapat menyelesaikannya. Dalam menyelesaikan penelitian ini tidak

lepas dari bantuan, bimbingan orang-orang yang membantu peneliti dan tidak dapat disebutkan

satu persatu di sini.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Malang 12, Januari 2012

(33)

DAFTAR ISI

JUDUL ... i

LEMBAR PENGSAHAN ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

BERITA ACARA BIMBINGAN ... iv

PERNYATAAN ORISINALITAS ... v

ABSTRAKSI ... vi

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I: PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang ... 1

1.2. Rumusan masalah ... 13

1.3. Tujuan Penelitian ... 13

1.4. Studi Terdahulu ... 13

1.5. Teori dan Konsep ... 17

1.6. Metode penelitian ... 22

1.6.1.Tipe Penelitian ... 22

1.6.2.Tingkat Analisa ... 23

1.6.3.Teknik Pengumpulan Data ... 23

1.6.4.Teknik Analisa Data ... 24

1.6.5.Bagan Alur Penelitian ... 25

1.6.6.Ruang Lingkup Penelitian ... 26

1.7. Struktur Penulisan ... 26

BAB II : TINJAUAN TENTANG PROSES PEMBENTUKAN DAN ISI DEKLARASI PBB MENGENAI HAK MASYARAKAT ADAT (UNDRIP) 2.1. Isu Masyarakat Adat Global ... 29

2.2. Proses Terbentuknya UNDRIP ... 36

2.3. Materi UNDRIP ... 41

(34)

BAB III :Respon dan Posisi Negara Anggota PBB terhadap UNDRIP

3.1.Perkembangan Isu Masyarakat Adat di Indonesia ... 59 3.2.Regulasi Tentang Jaminan Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak

Masyarakat Adat di Indonesia ... 68 3.3.Urgensitas UNDRIP sebagai Standar Jaminan Perlindungan Hak

Masyarakat Adat dalam Konteks Pembangunan Indonesia ... 90

BAB IV : PENUTUP

4.1.Kesimpulan ... 98 4.2.Saran ... 102 DAFTAR PUSTAKA

(35)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Rozali & Syamsir, Perkemabangan HAM dan Keberadaan Peradilan HAM di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia. 2001.

Achmaliadi Restu, Masyarakat Adat, Kesejahteraan dan Fakta-Fakta Kemiskinan, AMAN &ICCO Copyright. 2010.

Agus Agustinus & Sentot Setyasiswanto, Setelah Kami Dilarang Masuk Hutan, Jakarta: HuMa. 2010

Amiruddin & Aderito Jesus de Soares, Perjuangan Amungme Antara Freeport dan Militer, Jakarta: ELSAM. 2003.

Charters Claire & Stavenhagen Rodolfo, Making The Declaration Work: The United Nations Declaration On The Rights Of Indigenous Peoples, Denmark: IWGIA, 2009

Colchester Marcus, Panduan Bagi Para Aktifis: Free Prior and Informed Consent (FPIC), Jakarta: Pengurus Besar AMAN. 2006.

Crawford James, The Rights of People, New York: Oxford University Press. 1995. Soepomo R, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: PT Pradnya Paramita. 2000.

Davidson Jamie S. et al, Adat dalam Politik Indonesia, Jakarta: Pustaka Yayasan Obor Indonesia.2010.

Hasenclever Andreas et,al, Theories of International Regime, UK: Cambridge University Press. 1997.

Hastuti Hesty et al, Penelitian Hukum Aspek Hukum Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Dalam Otonomi Daerah, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Dep.Hukum & HAM RI. 2000.

Nurtjahjo Hendra & Fuad Fokky, Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, Jakarta: Penerbit Salemba Humanika. 2010.

Silalahi Ulber, Metode Penelitian Sosial, Bandung: Refika Aditama. 2009.

Shohibuddin M, Memahami Dimensi-Dimensi Kemiskinan Masyarakat Adat, Jakarta: AMAN &ICCO Copyright. 2010.

Oberleitner Gerd, Global Human Rights Institutions, Cambridge: Politiy Press. 2007.

ICRAF, AMAN, FPP, Satu Yang Kami Tuntut: Pengakuan, World Agroforestry Centre

(36)

Amafnini Pietsau, Melindungi Masa Depan Anggrek Hitam dalam http://tabloidjubi.com/index.php/artikel/opini/2404-melindungi-masa-depan-anggrek-hitam.html

Saafroedin Bahar, Kebijakan Negara Dalam Rangka Pengakuan, Penghormatan, Dan Perlindungan Masyarakat [Hukum] Adat Di Indonesia, , 2008, diakses dari pusham.uii.ac.id/upl/article/id_bahar.pdf

Hasan Basri, Masyarakat Adat dalam Isu Global, diakses dari

hasanbasri08.wordpress.com/.../masyarakat-adat-dalam-isu-global/

Ifdhal Kasim,Konvensi ILO 169: Relevansi dan Urgensinya dalam Upaya Perlindungan Masyarakat Adat di Indonesia, , 2007

Sugondo Lies, Masyarakat HukumAdat dalam Kerangka Hukum Nasional dalam

http://pusham.uii.ac.id/upl/article/id_lies_s.pdf

Simarmata Rikardo, Menyongsong Berakhirnya Abad Masyarakat Adat: Resistensi Pengakuan

Bersyarakat, dikutip dari

http://dte.gn.apc.org/AMAN/publikasi/Artikel%20Politik%20Simarmata.htm

Sirait T. Martua dkk Masyarakat Adat dan Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan

Barat, Indonesia, 2009 diakses dari

cordaid.peers.me/api/publications/.../Cordaid_Kalimantan_INDO_-LR.pdf

Azmi Siradjudin AR, Pengakuan Masyarakat Adat Dalam Instrumen Hukum Nasional, http://www.ymp.or.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=107 diakses tgl 17/08/2011 pukul 4.58 pm

Anup Shah, Rights of Indigenous People, http://www.globalissues.org/article/693/rights-of-indigenous-people, diakses 28/09/2011 pukul 1.09 pm

Nasrul Azwar, PT. Harapan Sawit Lestari Dinilai Rampas Hak Buruh dalam

http://id.shvoong.com/law-and-politics/1776896-pt-harapan-sawit-lestari-dinilai/#ixzz1fMjmk7ry, diakses tgl 23/10/2011 pukul 2:48 pm

Harist Abu Ulya, Tuntutan Referendum Papua (Antara Problem Domestik & Kepentingan Asing),dalam http://papuanews.posterous.com/, diakses tgl 10/12/2011 pkl. 3.50 pm

Steven C. Perkins, Researching Indigenous Peoples' Rights Under International Law, intelligent-internet.info/law/ipr2.html, diakses tgl 25/09/2011 pukul 10.39 pm

Perlindungan dan Pengakuan Terhadap Hak-hak Masyarakat Adat, Tim Pengendalian dan

Pengawasan Program Penelitian Komisi Hukum Nasional diakses dari

http://www.komisihukum.go.id/files/penelitian/masyarakatadat.pdf Paul G. Gebhard; Lawyer Coined the Phrase 'Informed Consent' dalam

(37)

Keberadaan Masyarakat Adat Dongi di Sorowako dalam

http://sejarah.kompasiana.com/2010/11/12/keberadaan-masyarakat-adat-dongi-di-sorowako-1/

Kelompok Adat Menyambut Terobosan Deklarasi, http://dte.gn.apc.org/70uni.htm, diakses tgl 19/10/2011 pukul 9.39.pm

Karonsi'e Dongi Position Statement Oct. 2. 2003 dalam

http://www.jatam.org/english/index.php?option=com_content&task=view&id=150&Itemi d=43, diakses tgl 30/06/2011 pukul 1:13 am

Konflik antara Masyarakat dan Perusahaan Inggris di Kalimantan,

http://dte.gn.apc.org/55iOP.htm, diakses tgl 19/10/2011 pukul 2:23 pm Masyarakat Adat sebagai Basis Politik Gerakan Sosial,

http://dte.gn.apc.org/AMAN/gaung/Gaung_Mei_2004/Masyarakat%20Adat%20sebagai%2 0Basis%20Politik%20Gerakan%20Sosial.pdf, diakses tgl 09/10/2011 pukul 1.34 pm Kelompok Diskusi Adat Indonesia/KEDAI, Refleksi Gerakan Masyarakat Adat, World

Agroforestry Centre, 2001,

http://www.worldagroforestrycentre.org/sea/Publications/files/book/BK0025-04.PDF, diakses tgl 09/10/2011, 1.41 pm

TELAPAK, Mengarusutamakan Masyarakat Adat dalam Mitigasi dan Perubahan Iklim

http://www.forestclimatecenter.org/files/2011-08- 18%20Mengarusutamakan%20IP%20dlm%20Adaptasi%20&%20Mitigasi%20CC%20-%20Kertas%20Kebijakan%20oleh%20Telapak.pdf, diakses tgl 30/11/2011 pukul 4:52 pm Komnas HAM, Hak-hak Masyarakat Adat dan Masalahnya,

http://www.trenggalek.com/index.php?view=article&catid=2%3Ageneralnews&id=182%3 Ahak-hak-masyarakat-adat-dan-masalahnya&format=pdf&option=com_content, diakses tgl 28/09/2011 pukul 4:52 pm

United States Finally Endorses Historic United Nation’s Declaration On The Rights Of

Indigenous Peoples, dalam www.narf.org/pubs/nlr/nlr36-1.pdf, diakses tgl 28/06/2011 pukul 5.32 pm

Statement By Ambassador Makarim Wibisono At The Sixty-Second Session Of The Commissio, http://www.mission-indonesia.org/modules/news.php?lang=en&newsid=47 , diakses tgl 08/10/2011 pukul 9.06 pm

Declaration on the rights of indigenous peoples: Explanation of Vote by HE Rosemary Banks, New Zealand Permanent Representative to the United Nations, 13 September 2007, http://www.mfat.govt.nz/Media-and-publications/Media/MFAT-speeches/2007/0-13-September-2007.php

General Assembly Adopts Declaration On Rights Of Indigenous Peoples;‘Major Step Forward’

Towards Human Rights For All, Says President dalam

(38)

Siegfried Wiessner, UN Declaration on the Rights of Indiginous Peoples

http://untreaty.un.org/cod/avl/ha/ga_61-295/ga_61-295.html, diakses tgl 08/10/2011 pukul 10.06 pm

A brief history on the UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples, attachment:/27/a-brief-history.htm diakses tgl 28/09/2011 pukul 4:05 pm

UN Declaration on The Rights of Indigenous People, (versi Bahasa Indonesia), Published by United Nations, 2008

Peraturan Perundangan : UUD 1945 Pasal 18B UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945 Pasal 33 Ayat 2 & 3

UU No. 7/2004 Tentang Sumber Daya Air UU No. 41/1999 Tentang Kehutanan

UU No. 5/1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria UU No.5/1967 Tentang Kehutanan

UU No. 5/1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

Penetapan Presiden No. 1/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama

Referensi

Dokumen terkait

Pada hari ini Kamis tanggal Tiga Belas bulan September Tahun Dua Ribu Dua Belas, kami yang bertanda tangan dibawah ini Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Dinas Bina Marga dan

Dihipotesiskan bahwa dimensi work stressor (role conflict, role ambiguity & role overload), dimensi perceived organiztional support (fairness, supervisor support dan

Berdasarkan pendekatan yang dilakukan di atas, hasil penelitian menunjukan bahwa dalam hal roti buaya yang dilakukan dalam seserahan pernikahan adat Betawi menurut

Apakah anda mempunyai permasalahan dengan lingkungan bergaul anda

Konsep yang digunakan adalah pengambilan region of interest (ROI) dari video, dilakukan background subtraction untuk mendapatkan latar depan, deteksi kendaraan

- UMPER berhak menghubungi dan meminta pertanggungjawaban dari pihak panitia jika terdapat pelanggaran dalam penggunaan ruangan terkait kebersihan, kerapian,

Banjir secara umum selalu menjadi permasalahan, terutama dikawasan permukiman selaras dengan perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin maju.. Disamping banjir mengganggu

Perselisihan yang ada didalamnya nash yang jelas yang menunjukkan akan kebenaran salah satu pendapat dan tidak ada ijtihad didalamnya. Disini kita wajib untuk