• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Naungan Terhadap Produktivitas dan Daya Hidup Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) Asal Purwakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Naungan Terhadap Produktivitas dan Daya Hidup Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) Asal Purwakarta"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH NAUNGAN TERHADAP PRODUKTIVITAS DAN

DAYA HIDUP ULAT SUTERA LIAR (

Attacus atlas

)

ASAL PURWAKARTA

SKRIPSI

DESMAWITA KRISTIN BARUS

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

RINGKASAN

Desmawita Kristin Barus. D14062306. 2010. Pengaruh Naungan Terhadap Produktivitas dan Daya Hidup Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) Asal Purwakarta. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Asnath Maria Fuah, MS. Pembimbing Anggota : Ir. Hotnida C. H. Siregar, M.Si.

Attacus atlas merupakan salah satu serangga yang memiliki potensi besar dalam bidang industri. Hasil olahan kokon dari ulat ini dapat dijadikan barang kerajinan tangan, pakaian dan seni. Kebutuhan akan kokon ulat sutera liar jenis A. atlas untuk dijadikan benang sangat tinggi namun pemenuhannya masih terbatas. Pemenuhan kebutuhan kokon yang masih mengandalkan hasil dari alam menjadi kendala bagi industri pengolahan dalam sekala besar. Pembudidayaan ulat sutera A. atlas merupakan solusi dari keterbatasan komoditi tersebut.

Budidaya A. atlas dapat dilakukan secara ekstensif dan intensif, namun untuk memperoleh hasil yang baik, perlu diketahui pengaruh faktor lingkungan (intensitas cahaya, temperatur, kelembaban, aliran udara, kecepatan angin, curah hujan dan jenis pakan) terhadap produktivitas dan daya hidup ulat sutera liar (A. atlas). Salah satu informasi penting yang perlu dipelajari adalah cahaya karena memiliki pengaruh terhadap aktivitas hormon serangga. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai pengaruh naungan terhadap produktivitas dan daya hidup ulat sutera liar (Attacus atlas) yang berasal dari perkebunan teh di daerah Purwakarta.

Materi yang digunakan adalah 100 ekor ulat sutera liar A. atlas dengan instar yang berbeda-beda yang terdapat di perkebunan teh Purwakarta. Peubah yang diamati meliputi kelembaban (%), suhu (ºC), intensitas cahaya (Klux), pertambahan panjang (mm) , lebar (mm) dan bobot badan (g), mortalitas (%), jumlah pupa (ekor), dan jumlah imago (ekor). Data ditampilkan dalam bentuk tabel, grafik dan diagram batang serta dianalisis secara deskriptif.

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa Kisaran intensitas cahaya pada siang hari di lokasi dengan naungan lebih rendah (4,31-38,50 Klux) dibandingkan lokasi tanpa naungan (14,30-147,00 Klux). Perbedaan intensitas cahaya tersebut dikarenakan tanaman teh pada lokasi dengan naungan dinaunggi oleh pohon yang cukup rindang, sedang tanaman teh di lokasi tanpa naungan tidak dinaungi pohon maka cahaya matahari dapat mengenai tanaman secara langsung. Suhu dan kelembaban di kedua lokasi baik tanpa naungan (26,80-37,20 ºC dengan rataan 31,52 ºC ) maupun dengan naungan (26,70-38,40 ºC dengan rataan 32,23ºC) tidak jauh berbeda, namun suhu sudah mencapai di atas 30 ºC sehingga suhu sudah tidak nyaman bagi ulat, sama halnya dengan kelembaban yang berada dibawah 70% yang merupakan kondisi tidak nyaman bagi pertumbuhan dan daya hidup ulat.

(3)
(4)

ABSTRACT

Effect of Shade To Productivity and Survival Rate of Wild Silkworm (Attacus atlas) From Purwakarta

Barus Desmawita K., A. M. Fuah and H. C. H. Siregar

Attacus atlas is known as an insect which have high economic value. Various products made from cocoons of this wild silkworm, have been widely recognized, such as textile, ornaments, clothes and assecories. Nowdays cocoons were collected from natural environment which limited in numbers and uncountinuous production since it was depending seasons and its availability. Collecting the cocoons for industrial needs in a long period would probably decrease the population of the wild silkworm, therefore, any programmes for domestication and cultivation process is necessary. Environmental factors have significant influences on the survival rate of the insect such as light intensity, temperature, and humidity (Awan, 2007). Information on the effect of environment to the productivity and survival rate of A. atlas become important for handling the animal, one of those was light intensity. The aim of this study was to obtain information on the effect of shade to productivity and survival rate of wild silkworm (A. atlas). The results showed that light intensity in location without shade have a significant effect on productivity and survival rate of wild silkworm, indicated by the data of body-length, body-width and body-weight. The wild silkworm which was long exposed to light had better growth than those on shade location. The results also showed that mortality rate of the silkworm held under the natural environment was quite high of approximately 85%, especially during wet seasons, due to predator, extrime environment and also stress caused by environmental condition.

(5)

PENGARUH NAUNGAN TERHADAP PRODUKTIVITAS DAN

DAYA HIDUP ULAT SUTERA LIAR (

Attacus atlas

)

ASAL PURWAKARTA

DESMAWITA KRISTIN BARUS

D14062306

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(6)

Judul : Pengaruh Naungan Terhadap Produktivitas dan Daya Hidup Ulat

Sutera Liar (Attacus atlas) Asal Purwakarta Nama : Desmawita Kristin Barus

NIM : D14062306

Menyetujui,

Pembimbing Utama,

(Dr. Ir. Asnath M. Fuah, MS) NIP. 19541018 197903 2 001

Pembimbing Anggota,

(Ir. Hotnida C.H. Siregar, M.Si.) NIP. 19620617 199003 2 001

Mengetahui: Ketua Departemen,

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.) NIP. 19591212 198603 1 004

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 4 Desember 1988 di Galang, Kab. Deli Serdang, Sumatera Utara. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Rayat Barus dan Ibu Roberty Ginting.

Penulis menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak pada tahun 1992-1993 di Yayasan Persatuan Perguruan Taman Siswa, Galang. Pendidikan sekolah dasar diselesaikan pada tahun 2000 di SDN 101981 Impres Lama , Galang. Pendidikan lanjutan tingkat pertama diselesaikan pada tahun 2003 di SLTPN 1 Pagar Merbau, Batu Delapan. Pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2006 di SMAN 1 Lubuk Pakam.

(8)

KATA PENGANTAR

Salam sejahtera dalam puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat, nikmat dan karunia-Nya sehingga Penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul

“Pengaruh Naungan Terhadap Produktivitas dan Daya Hidup Ulat Sutra Liar (Attacus atlas) Asal Purwakarta” merupakan salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Penulisan skripsi ini didasari oleh cerahnya prospek budidaya ulat sutera liar Attacus atlas penghasil benang sutera yang bernilai ekonomi tinggi. Pembudidayaan A. atlas secara intensif sering kali terbentur pada masalah lingkungan pemeliharaan yang kurang sesuai, seperti kondisi suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya. Kondisi lingkungan ini mempengaruhi daya hidup dan produktivitas ulat. Produktivitas ulat sutera dinilai dari daya hidup ulat dan jumlah kokon yang dihasilkan.

Penelitian ini dilakukan dengan memelihara ulat dalam 10 kandang yang berisi lima ekor ulat baik di lokasi tanpa naungan maupun dengan naungan. Daya hidup ulat dilihat dari tingkat kematian yang diakibatkan faktor biotik (pakan, predator, parasit dan penyakit) dan abiotik (intensitas cahaya, kelembaban dan suhu). Faktor abiotik diukur tiga kali sehari saat pagi, siang dan sore hari, sedang produktivitas ulat dilihat dari pertambahan panjang, lebar dan bobot badan yang dicatat setiap empat hari sekali. Selama penelitian terdapat beberapa kendala yaitu kondisi curah hujan yang cukup tinggi, banyaknya predator alami ulat serta kondisi kebun teh yang banyak ditumbuhi rumput dan semak.

Pepatah “Tak ada gading yang tak retak” berlaku untuk skripsi ini namun dalam segala kekurangannya, Penulis mengharapkan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi perbaikan ilmu pengetahuan kita bersama. Akhir kata Penulis mengucapkan terimakasih, semoga tulisan ilmiah ini bermanfaat dan menambah ilmu pengetahuan kita, terutama pihak-pihak yang memerlukan informasi memgenai A. atlas. Semoga Tuhan senantiasa melimpahkan kasih-Nya kepada kita semua.

Bogor, November 2010

(9)

DAFTAR ISI

Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Mortalitas A. atlas ... 10

(10)

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

Kondisi Umum Lokasi Penelitian ... 20

Sejarah Lokasi Penelitian ... 20

Topografi dan Klimatologi ... 21

Budidaya Teh ... 21

Pengaruh Faktor Lingkungan ... 22

Populasi dan Mortalitas Attacus atlas ... 24

Populasi ... 24

Mortalitas ... 28

Pertambahan Panjang, Lebar dan Bobot Badan A. atlas ... 31

KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

Kesimpulan ... 41

Saran ... 41

UCAPAN TERIMA KASIH ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 44

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Rataan Suhu, Intensitas Cahaya dan Kelembaban di Lokasi

Tanpa Naungan dan Dengan Naungan ... 22

2. Populasi A. atlas di Lokasi Dengan Naungan danTanpa Naungan ... 25 3. Mortalitas A. atlas di Lokasi Dengan Naungan dan Tanpa Naungan .. 28

(12)

DAFTAR GAMBAR

11. Pertambahan Panjang Badan Per Instar A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (mm/ekor)... 34

12. Persentase Pertambahan Panjang Badan A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (%) ... 35

13. Pertambahan Lebar Badan Per Hari A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (mm/hari) ... 35

14. Pertambahan Lebar Badan Per Instar A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (mm/ekor) ... 36

15. Persentase Pertambahan Lebar Badan A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (%) ... 37

16. Pertambahan Bobot Badan Per Hari A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (g/hari) ... 38

17. Pertambahan Bobot Badan Per Instar A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (g/ekor) ... 39

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Peta Kabupaten Purwakarta ... 47 2. Foto Kandang, Alat Ukur dan Attacus atlas ... 48 3. Sketsa Letak Kandang di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan

Naungan ... 51 4. Data Rataan Panjang dan Pertambahan Panjang, Lebar dan

Bobot Badan A. atlas pada Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan

Naungan ... 52 5. Data Rataan Intensitas Cahaya, Suhu dan Kelembaban di Kedua

Lokasi ... 52

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki beragam jenis plasma nutfah yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi komoditas unggulan. Melalui suatu proses budidaya dan pengolahan yang intensif, sumber hayati unggulan dapat dikembangkan menjadi produk yang memiliki nilai jual di pasar bebas, salah satu sumber antara lain yang berasal dari ulat sutera liar Attacus atlas yang hidupnya masih di alam bebas. A. atlas tersebar hampir diseluruh wilayah Indonesia diantaranya pulau Bali, Papua, Jawa, Sulawesi, Sumatera, Maluku dan Kalimantan.

Serangga ini memiliki potensi besar dalam bidang industri, beragam hasil olahan kokon dapat dijadikan berbagai produk kerajinan tangan, pakaian dan seni. Kebutuhan terhadap ketersediaan kokon bahan pembuat benang sangat tinggi namun pemenuhannya masih terbatas. Harga kokon ulat sutra A. atlas mencapai Rp 600.000 per kg, dengan harga benang Rp 1.500.000 sedang harga kokon ulat sutera murbai (Bombyx mori) hanya Rp. 25.000 per kg dengan harga benang Rp 300.000 per kg (Solihin & Asnath M. F, 2010). Hal ini mengindikasikan bahwa perlu dilakukan domestifikasi ulat sutera jenis A. atlas untuk memenuhi permintaan pasar yang cukup potensial.

Sebagai serangga yang bersifat polifagus, A. atlas dapat memakan banyak jenis tanaman, beberapa diantaranya adalah daun teh, daun cengkeh (Nazar,1990), dan daun sirsak (Awan, 2007). Salah satu tempat yang memiliki populasi A. atlas cukup besar adalah perkebunan teh di daerah Purwakarta, Jawa Barat, yang oleh masyarakat setempat dianggap sebagai hama pohon teh, sehingga selalu disemprot menggunakan pestisida.

(15)

kelembaban maupun cahaya kandang secara optimal, Sedangkan pemeliharaan secara ekstensif adalah pemeliharaan A. atlas di alam melalui proses pengawasan.

Pemeliharaan di alam pada umumnya mengalami mortalitas yang tinggi yaitu mencapai 90% (Situmorang, 1996). Keberhasilan dalam budidaya serangga ini memerlukan informasi yang akurat tentang kondisi lingkungan yang sesuai sehingga dapat mendukung produktivitas dan daya hidup ulat sutera secara optimal. Salah satu faktor penentu keberhasilan budidaya adalah cahaya yang mempengaruhi sistem kerja hormon serangga. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan memperoleh informasi tentang pengaruh naungan terhadap daya hidup dan produktivitas A. atlas yang ditempatkan pada blok tanpa naungan dan blok dengan naungan.

Tujuan

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi Ulat Sutera Liar (Attacus atlas)

Ulat sutera liar (A. atlas) adalah serangga yang berukuran besar dan banyak ditemukan di wilayah Asia. Terutama di wilayah Asia Tenggara, Asia bagian Selatan dan Asia Timur (Peigler, 1989). Penyebarannya hampir diseluruh wilayah Indonesia diantaranya pulau Bali, Papua, Jawa, Sulawesi, Sumatera, Maluku dan Kalimantan (Awan, 2007). Serangga ini mengalami metamorfosis sempurna (Chapman, 1969). Klasifikasi A. atlas menurut Peigler (1989) adalah sebagai berikut:

Filum : Arthropoda

Ulat sutera termasuk hewan polivoltin yang (memiliki lebih dari dua generasi per tahun) dan imago A. atlas mengalami metamorfosis sempurna. Ulat ini adalah pemakan daun seperti daun sirsak, jeruk, dadap, alpokat, teh, cengkeh, mangga dan tanaman dikotil lainnya.

Siklus Hidup

(17)

Gambar 1. Siklus Hidup Attacus atlas Morfologi

Telur

Telur dihasilkan oleh imago betina baik yang telah kawin maupun yang tidak. Telur yang dapat menetas adalah telur yang telah dibuahi. Imago betina yang tidak melakukan perkawinan akan menghasilkan telur yang steril yang tidak menetas menjadi larva. Ukuran telur yang dihasilkan oleh ngengat A. atlas, panjang 2,7 mm, lebar 2,3 mm dan tinggi 2,1 mm, berbentuk oval dan agak datar atau gepeng (Peiger, 1989). Telur memiliki kerabang yang halus dan biasanya diselimuti cairan berwarna

Telur 10-12 hari Instar I: 5-8 hari

Instar II: 5-7 hari

Instar III: 4-6 hari Imago

Instar IV: 4-6 hari Instar V: 6-8 hari

(18)

Gambar 2. Telur Attacus atlas

kemerahan hingga coklat yang berfungsi untuk melekatkan telur pada daun atau ranting (Awan, 2007). Ngengat betina biasanya menghasilkan telur dengan jumlah ratusan yang diletakkan secara individu atau berkelompok yang terdiri atas 3-10 butir dengan masa inkubasi telur antara 7-13 hari (Adria dan Idris, 1997). Telur yang belum menetas dapat disimpan pada suhu ruang, tetapi suhu untuk penyimpanan telur tidak boleh kurang dari 15 ºC (Butterfly Arc, 2003).

Larva

Fase larva dimulai dari instar satu hingga instar enam, dengan sistem pergantian kulit yang biasa disebut molting merupakan tanda dari pergantian masa instar. Larva instar pertama dimulai saat larva menetas dari telur dan memiliki ciri-ciri kepala dan badan berwarna hitam dan seluruh tubuh berbulu kuning yang tumbuh tegak. Bulu pada bagian punggung berupa duri halus, warna coklat kehitaman (Nazar, 1990) dan memiliki panjang rata-rata 0,5-0,9 cm saat baru menetas sedangkan menjelang molting panjangnya 1-1,3 cm (Awan, 2007). Larva instar kedua panjangnya rata-rata 1,31-1,7 cm (Awan, 2007) dan memiliki kepala yang berwarna coklat tua, kaki berwarna hitam, badan ditutupi oleh serbuk putih. Serbuk putih yang menutupi permukaan pungung ulat sutra disekresikan oleh kultikula dengan I-triacontanol sebagai kandungan utamanya (Peigler, 1989).

(19)

terang, tubuhnya berwarna hijau (Peigler, 1989), pada badannya terdapat tonjolan-tonjolan seperti bulu kasar yang jarang pada beberapa ruas abdomen (Nazar, 1990) dan segmen badan panjang bisa mencapai ± 15 cm (Pracaya, 2005). Panjang instar lima berkisar 5,51-8 cm, sedangkan panjang tubuh instar enam mencapai 8,1-12 cm. Pada instar lima pertambahan ukuran tubuh terlihat sangat nyata, seiring dengan kecepatan larva mengkonsumsi pakan daun teh. Daun yang dikonsumsi tidak hanya daun muda melainkan daun yang sudah tua juga dikonsumsi (Awan, 2007). Tuberkel atau duri-duri yang terdapat di sepanjang punggung ulat makin lama akan semakin tebal dan tertutupi oleh serbuk putih. Sejak instar ketiga sampai keenam larva sudah mampu memakan seluruh bagian daun dan tulang daun. Larva pada instar ketiga menjadi lebih aktif sedang menjelang larva instar lima dan keenam larva akan semakin banyak mengkonsumsi makanan (Mulyani, 2008).

Larva yang telah mencapai pertumbuhan maksimal pada setiap tahapan instar, ditandai dengan adanya tingkah laku tidak aktif makan dan lebih banyak diam. Tanda tersebut mengindikasikan bahwa larva akan melakukan pergantian kulit (molting). Pergantian kulit terjadi pada seluruh lapisan kultikula dinding tubuh, mulai dari bagian kepala, trachea , usus depan dan usus belakang yang dilakukan dalam bentuk potongan-potongan melalui anusnya (Borror et al., 1992).

Gambar 3. Larva Attacus atlas Instar I – Instar VI

Menjelang berakhirnya instar keenam tubuh dominan berwarna putih di bagian dorsal, hijau kekuningan di bagian ventral dan latral. Larva menjadi kurang

Instar III Instar II

Instar I

(20)

aktif makan dan cenderung bergerak ke sudut-sudut untuk bersiap mengokon. Pada instar keenam diakhiri saat larva mulai merajut kokon untuk selanjutnya memasuki periode pupa (Awan, 2007).

Kokon dan Pupa

Kokon terbentuk saat instar keenam mulai mengeluarkan cairan sutra, yang dibentuk sesuai dengan ukuran tubuhnya. Cairan sutera yang dikeluarkan oleh instar berfungsi sebagai alat untuk melekatkan kokon pada daun atau ranting. Larva akan meneruskan pembuatan kokon sampai sempurna. Biasanya daun dilipat dibagian ujung dan tepi daun kemudian dihubungkan dengan serat-serat sutera sehingga akan terbentuk suatu rongga tempat pupa. Kokon yang baru terbentuk masih agak basah sehingga lebih lemah, dengan adanya gerakan angin, panas matahari maka kokon akan cepat kering sehingga lebih kuat (Awan, 2007). Panjang kokon mencapai 3,5-4,5 cm dan lebar 0,8-1,2 cm (Nazar, 1990).

(A) (B)

Gambar 4. (A) Kokon dan (B) Pupa Attacus atlas

Imago

(21)

warna coklat kemerahan pada sayap muka dan belakang dengan segitiga yang transparan.

Imago yang baru keluar dari kokonnya masih dalam keadaan basah oleh cairan berwarna putih dan sayap yang belum sempurna. Lubang di ujung anterior kokon merupakan jalur keluarnya imago. Imago yang baru keluar akan segera mencari dahan untuk menggantungkan dirinya dengan posisi bagian abdomen dibagian bawah untuk menggembangkan sayapnya. Sayap akan mengembang setelah beberapa jam dan mengalami penguatan serta pengerasan sehingga imago dapat menerbangkan dirinya (Awan, 2007).

Ngengat jantan memiliki sayap dengan ujung yang lebih runcing, memiliki ukuran panjang antena 23-30 mm, lebar 10-13 mm (Peigler, 1989), betina memiliki panjang antena 17-21 mm dan lebar 3 mm. Imago A. atlas memiliki umur yang singkat, imago jantan berumur 2-4 hari sedangkan imago betina berumur 2-10 hari (Awan, 2007). Ngengat betina mengeluarkan feromon yang dapat dideteksi oleh ngengat jantan dengan kemoreseptor yang terdapat di bagian antena (Wikipedia, 2010). Imago betina yang telah kawin akan bertelur setelah beberapa jam dan akan menghasilkan telur sebanyak 100 sampai 360 butir (Awan, 2007).

(A) (B)

(A) (B)

(22)

Pertumbuhan Ulat Sutera

Terdapat tiga tipe pertumbuhan pada ulat sutera yaitu:

1. Peningkatan jumlah sel dengan ukuran relatif sama seperti sel-sel darah 2. Peningkatan ukuran sel seperti kelenjar sutera, kelenjar ludah

3. Peningkatan jumlah dan ukuran sel, antara lain jaringan lemak dan kulit. Pertumbuhan insekta dari embrio hingga dewasa meliputi dua proses yang berbeda yaitu pertumbuhan yang didasari peningkatan jumlah dan ukuran sel-sel serta diferensiasi yang meliputi perubahan bentuk dan aktivitas metabolisme. Laju pertumbuhan pada tingkat larva sangat cepat, hal ini dapat terlihat pada pertumbuhan setiap instar larva. Perubahan terbesar terlihat pada instar ke lima ulat Bombyx mori, larva akan mencapai bobot maksimal sehari sebelum membentuk kokon Menurut Bursell (1970). Katsumata (1975) menyatakan bahwa pertumbuhan ulat sutera sangat cepat dan dramatis, berbentuk linier dengan pertumbuhannya dapat mencapai 10.000 kali dari berat ulat yang baru menetas. Selama pertumbuhan larva, pakan yang dikonsumsi dikonversikan menjadi lemak dan disimpan dalam bentuk sel lemak tubuh sehingga terjadi penumpukan cadangan energi yang sebagai lemak tubuh. Cadangan energi ini berguna pada periode tidak makan, karena setelah melewati masa larva, tidak ada aktivitas makan sampai larva menjadi ngengat dan untuk sintesa telur bagi betina (Rao, 1994).

(23)

hormon terbesar dalam mempengaruhi pertumbuhan ulat sutera terutama saat moulting (Akai, 1988). Aspek produktivitas ulat sutera adalah pembentukan kokon, berarti produksi dari kelenjar sutera. Kandungan protein kelenjar sutera sangat bervariasi sesuai dengan pola pakan yang dikonsumsi.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Mortalitas A. atlas

Kemampuan A. atlas untuk dapat tumbuh dan berkembang biak sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, yang berasal dari dua unsur utama yakni: biotik dan abiotik, yang termasuk dalam faktor biotik adalah tanaman pakan, penyakit, predator dan parasit sangat mempengaruhi pertumbuhan dan tingkat mortalitas ulat. Kondisi fisiologis, kualitas kokon, produktivitas telur, serta lama siklus perkembangan ulat dipengaruhi oleh kualitas pakan yang diberikan. Tingkat mortalitas tergantung dari penanganan parasit, predator dan penyakit (Awan, 2007).

Faktor Biotik

Tanaman inang atau pakan

Pakan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan bertahan hidupnya ulat sutera A. atlas. A. atlas lebih menyukai pakan yang mengandung tannin yang cukup banyak, selain kandungan tannin yang tinggi kondisi pakan seperti kesegaran dan kebersihannya juga menjadi indikator tingkat kesukaan ulat sutera terhadap pakannya (Guntoro, 1994). Tumbuhan yang dapat dikonsumsi oleh A. atlas cukup banyak jenisnya (daun teh, daun cengkeh, daun sirsak dan daun dadap) karena serangga ini bersifat polifagus yang berarti dapat memakan banyak jenis tanaman. Beberapa jenis tanaman yang dapat dimakan daunnya oleh larva ulat sutera adalah daun teh, cengkeh (Nazar, 1990), daun sirsak juga disukai larva tersebut (Awan, 2007).

(24)

Predator

Predator-predator alami ulat sutera pada umumnya lebih sering menyerang fase telur dan larva yang masih berukuran kecil (instar I-IV). Predator- predator yang biasa menyerang diantaranya golongan semut merah, semut hitam, ulat jenis lain, tawon, capung, dan burung. Larva yang masih dalam fase awal lebih sering diserang karena tubuhnya yang masih sangat lemah dan berukuran kecil, sehingga pada fase ini terjadi mortalitas yang cukup tinggi (Awan, 2007).

Parasit

Parasit yang biasanya menyerang larva A. atlas adalah familia Braconidae (Hymenoptera) misalnya Apanteles dari Familia Ichneumonidae seperti Xanthopimpla konowi Kriger. Parasit-parasit ini lebih sering menyerang tahap larva. Fase telur juga tidak luput dari serangan parasit yang berasal dari anggota famili Chalcidoide (Hymenoptera) yaitu Anastatus menzeli Ferr yang mencapai 80% (Peigler, 1989).

Penyakit

Ulat sutera yang hidup di alam akan lebih rentan diserang oleh berbagai jenis penyakit dibanding ulat yang secara sengaja dibudidayakan pada ruangan. Jenis-jenis penyakit yang banyak menyerang ulat sutra biasanya disebabkan oleh cendawan, protozoa, bakteri dan virus. Penyakit yang ditimbulkan oleh cendawan ditandai dengan munculnya hypha yang berwarna putih dan menutupi permukaan tubuh ulat (Samsijah, 1994).

Faktor Abiotik

(25)

harian serangga tampak nyata pada spesies serangga tertentu, kawin, makan, bergerak dan bertelur yang merupakan fenomena tingkah laku yang terjadi sehari-hari. Aktivitas tersebut telah lama diketahui dan diperkirakan diatur oleh temperatur harian, kelembaban dan intensitas cahaya. Beberapa serangga ( lalat, kumbang dan wereng) bertipe aktif pada siang hari, lainnya seperti kecoak, cendrung aktif pada malam hari (nocturnal) dan yang lain aktif pada pagi atau senja (crepuscular) (Beck, 1980). Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan bahwa voltinisme dari tahap pembentukan kaki sampai tahap pigmentasi kepala dipengaruhi oleh cahaya.

Ulat sutera merupakan hewan yang cendrung aktif pada malam hari (Beck, 1980). Fotoperiode didefeniskan sebagai siklus yang terdiri dari periode bercahaya dan periode gelap. Dijelaskan pula, bahwa fotoperiode tidak memberikan efek yang menguntungkan ataupun merugikan secara langsung seperti halnya faktor fisik dan lingkungan, tetapi hanya bertindak sebagai informasi sementara. Maksudnya, fotoperiode merupakan sinyal waktu yang diperlukan untuk penyesuain harian pada ritme tingkah laku endogenus (Beck, 1980).

(26)

Ulat sutera merupakan salah satu jenis hewan berdarah dingin dan secara alami suhu lingkungan akan mempengaruhi suhu tubuhnya. Suhu tubuh ulat sutera lebih tinggi 1⁰C daripada suhu lingkungan di luar tubuhnya. Temperatur mempengaruhi aktivitas fisiologis ulat sutra, sehingga variasi pertumbuhan dapat terjadi pada ulat sutra tersebut. Suhu yang lebih tinggi dari 30 ºC atau kurang dari 20 ºC dapat menyebabkan tingkat mortalitas yang tingkat kematian yang tinggi karena terganggunya proses fisiologis dan pertumbuhan ulat sutera (Awan, 2007). Stadium larva akan mengalami gangguan kesehatan dan sulit beradaptasi apabila suhu lingkungannya berubah secara ekstrim pada waktu yang cukup lama (Veda et al., 1997).

Populasi merupakan sekumpulan individu organisme yang sama dari spesies yang sama dan menempati area atau wilayah tertentu pada suatu waktu. Parameter fundamental suatu polpulasi adalah densitas. Densitas dalam ekologi hewan biasa disebut dengan kepadatan. Salah satu penyebab berubahnya kepadatan suatu populasi adalah mortalitas (Leksono, 2007). Menurut Katsumata (1964) luas tempat pemeliharaan larva sangat berhubungan dengan kepadatan populasi dari larva yang dipelihara. Semakin padat larva yang dipelihara maka suhu dan kelembaban dapat menyebabakan akan semakin meningkat pula. Meningkatnya suhu dan kelembaban dapat menyebabakan kematian larva. Selain itu kepadatan berhubungan dengan kompetisi dalam memanfaatkan makanan yang tesedia. Mulyani (2008) melaporkan suhu dan kelembaban yang tidak sesuai dapat mengakibatkan stress pada larva, sehingga tidak mau makan, energi menjadi banyak keluar dan kecepatan respirasi bertambah, pakan yang dicerna semakin sedikit sedangkan proses metabolisma meningkat dan pada akhirnya proses pertumbuhan dan perkembangan larva menjadi terganggu.

Daun Teh (Camelia sinensis)

(27)

tanaman hias di halaman. Tanaman teh tersebut diperkenalkan di Indonesia sebagai tanaman budidaya oleh orang Belanda yang datang menjajah.

Di Indonesia tanaman teh banyak ditanam di dataran tinggi dengan pH yang cukup rendah yaitu 4.0-5.5. Selain itu daun teh akan baik bila ditanam pada suhu asam-asam nikotinad, asam-asam pantotenat dan yang cukup penting adalah daun teh mengandung protein dan asam-asam amino (Nasution dan Tjiptadi, 1985). Kandungan nutrien dan kadar air yang terkandung dalam daun teh (69,64%) memberi kecukupan bagi A. atlas menyebabkan tanaman teh menjadi makanan yang sangat disukai serangga tersebut. Daun teh yang diberikan pada ulat sutera liar menunjukkan keberhasilan hidup yang tinggi yaitu mencapai 100% selama daur hidupnya di ruangan dalam selang waktu 56-72 hari (Awan, 2007).

Katsumata (1975) menyatakan bahwa kualitas pakan ulat sutera yang dibutuhkan pada setiap instar berbeda. Ulat kecil (instar I-III) memerlukan daun muda, lemas, kadar air tinggi, protein tinggi, karbohidrat dan mineral, sedangkan ulat besar (instar IV-V) memerlukan daun dengan kandungan air sedikit dan kaya protein. Guntoro (1994) menyatakan bahwa pakan pada fase ulat kecil (instar I-III) 5-8% dari kebutuhan, sedangkan fase ulat besar (instar IV-V) 92-95% dengan pemberian makan 4 kali sehari yaitu pagi, siang, sore dan malam hari.

Reese dan Beck (1978) melaporkan bahwa larva Agros ipsilon yang diberi pakan yang sangat kering konsumsi pakan (bobot basah maupun bobot kering) menurun, dengan efisiensi konversi pakan (ECI) dan pakan yang tercerna (EDC) berbanding terbalik terhadap persen bahan kering pakan, artinya apabila pakan sangat kering larva enggan untuk makan, dan energi banyak terbuang karena kemungkinan larva lebih banyak mondar–mandir, oleh karena itu maka ECI dan EDC rendah.

(28)
(29)

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan mulai dari bulan April sampai Juni 2010, dengan tahapan persiapan pada bulan April 2010 yang terdiri dari survey lapangan, persiapan kandang dan fasilitasnya, tahap penelitian dan pengumpulan data di mulai pada bulan Mei sampai Juni 2010 serta tahapan analisis data dan penulisan hasil penelitian dilakukan pada bulan juli sampai Oktober 2010. Penelitian dilakukan di Perkebunan Teh Nusantara VIII, Jalan Raya Purwakarta KM 4, Kec. Cikalongwetan, Kab. Bandung, Jawa Barat. Pengolahan serta analisis data dilakukan di Laboratorium NRSH (Non Ruminansia dan Satwa Harapan) Fakultas Peternakan IPB.

Materi

Materi yang digunakan pada penelitian ini adalah 100 ekor ulat sutera liar Attacus atlas dengan instar yang berbeda-beda yang terdapat di perkebunan teh Purwakarta, dipilih secara acak dari masing-masing lokasi dengan naungan dan tanpa naungan. Lokasi dengan naungan dapat dikatakan sebagai lokasi teduh dan sebaliknya lokasi tanpa naungan disebut sebagai lokasi terik.

Kegiatan penimbangan bobot badan dan pengukuran tubuh ulat menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,01 g dan jangka sorong digital dengan ketelitian 0,01 mm. Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan menggunakan termohygrometer dan luxmeter dengan selang 0,001-199,9 kilo lux (Klx). Kandang ditutup dengan kain kasa dan dilengkapi dengan fasilitas lain yang terdiri dari pelastik, kardus, spidol, senter, jas hujan, alat dokumentasi dan alat tulis untuk pencatatan data.

Prosedur

Tahap Persiapan

(30)

pohon lain sehingga cahaya matahari secara langsung dapat menyinari pohon teh, sementara lokasi dengan naungan, pohon teh berada dibawah naunggan pohon lain yang lebih besar sehingga terhalang oleh sinar matahari. Pemilihan sampel 10 pohon teh di lokasi dengan naungan dan 10 pohon teh di lokasi tanpa naungan dilakukan secara acak. Panjang, lebar dan tinggi tiap pohon teh diukur untuk penentuan ukuran kerangka kandang yang terbuat dari bambu. Bagian sisi dan atas kerangka kandang ditutupi dengan kain kasa. Kain berfungsi sebagai pelindung bagi ulat dari serangan predator seperti tawon, ulat jenis lain, belalang dan burung. Setiap kandang berisi lima ekor ulat untuk diberikan perlakuan berupa intensitas cahaya.

Tahap Pengumpulan Data

Ulat sutera A. atlas di tiap kandang diamati dan dihitung setiap hari. Data suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya diambil dari lima sampel di tiap ulangan dengan menggunakan thermohygrometer dan lux meter. Pengukuran dilakukan tiga kali sehari, yaitu pada pukul 07.00, 12.00 dan 17.00 WIB. Pengukuran panjang, lebar dan bobot badan semua ulat percobaan dilakukan setiap empat hari dengan hati-hati untuk menghindari stress karena ulat sangat sensitive terhadap gangguan dari luar yang dapat menimbulkan stress. Panjang dan bobot badan ulat diukur dengan jangka sorong digital, sedangkan untuk bobot badan diperoleh dengan menimbang ulat dengan timbangan digital. Cara pengukuran dapat dilihat pada gambar 6.

(A) (B)

(C)

(31)

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yaitu kelompok dengan naungan dan tanpa naungan dengan 10 ulangan per kelompok. Tiap ulangannya terdiri dari lima ulat. Data diolah dengan program Microsoft Excel 2007, lalu ditampilkan dalam bentuk tabel, grafik dan diagram batang serta dianalisis secara deskriptif.

Peubah yang diamati :

Kelembaban merupakan persentasi jumlah uap air yang terkandung dalam udara yang diukur dengan alat thermohygrometer.

Suhu (ºC) adalah tingkat atau derajat kepanasan dari suatu kondisi atau benda yang berkaitan dengan pergerakan molekul, yang diukur menggunakan thermohygrometer.

Intensitas Cahaya (Klux) adalah absorbsi energi matahari per cm2/menit yang diperoleh dengan alat Lux meter.

Pertambahan Panjang, Lebar dan Bobot Badan ; Pertambahan panjang badan (ppb), lebar (plb) dan bobot badan (pbb) diperoleh dengan menghitung selisih panjang, lebar dan bobot badan pada saat mengukur (t) dengan nilai pada pengukuran sebelumnya (t-1). Pertambahan panjang (ppb), lebar (plb) dan bobot (pbb) dihitung dengan tiga cara yaitu :

1. Pertambahan panjang, lebar dan bobot badan per hari (mm/hari, mm/hari,

g/hari) :

2. Pertambahan panjang, lebar dan bobot badan per instar (mm/instar, mm/instar, g/instar) : PB/LB/BBIt– PB/LB/BBIt-1

(32)

Mortalitas yakni angka kematian ulat yang terjadi dalam suatu kelompok kandang. Angka mortalitas merupakan perbandingan antara jumlah ternak mati dan jumlah ternak total yang diplihara. Mortalitas diukur dengan:

×100%

Jumlah pupa diperoleh dengan menghitung pupa secara manual di setiap kandang yang berada pada kondisi bernaungan dan tanpa naungan.

(33)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Sejarah Lokasi Penelitian

Perkebunan Nusantara VIII merupakan perkebunan milik negara, Republik Indonesia, yang sebelumnya dikenal dengan nama Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) Lama. Dalam periode 1960 – 1963 terjadi penggabungan perusahaan dalam lingkup PPN-Lama dan PPN-Baru menjadi : PPN Kesatuan Jawa Barat I, PPN Kesatuan Jawa Barat II, PPN Kesatuan Jawa Barat III, PPN Kesatuan Jawa Barat IV dan PPN Kesatuan Jawa Barat V. Pada periode 1963 – 1968, diadakan reorganisasi dengan tujuan agar pengelolaan perkebunan lebih baik, dengan dibentuknya PPN Aneka Tanaman VII, PPN Aneka Tanaman VIII, PPN Aneka Tanaman IX dan PPN Aneka Tanaman X, yang mengelola tanaman teh dan kina, serta PPN Aneka Tanaman XI dan PPN Aneka Tanaman XII mengelola tanaman karet. Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas perusahaan, pada periode 1968 – 1971, PPN yang ada di Jawa Barat diciutkan menjadi tiga Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) meliputi 68 perkebunan. Perkebunan PNP XI berkedudukan di Jakarta (24 perkebunan), PNP XII berkedudukan di Bandung (24 perkebunan), PNP XIII berkedudukan di Bandung (20 perkebunan). Kondisi ini sangat cocok untuk habitat serangga ulat sutera liar A. atlas.

(34)

jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat, serta mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perseroan dengan menerapkan prinsip-prinsip Perseroan Terbatas (http://www.pn8.co.id).

Tofografi dan Klimatologi

Perkebunan Teh Nusantara VIII terletak di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, sekitar 80 km di sebelah timur Jakarta. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Karawang di bagian Barat dan sebagian wilayah Utara, Kabupaten Subang di bagian Utara dan sebagian wilayah bagian Timur, Kabupaten Bandung di bagian Selatan,

Tanaman teh yang merupakan salah satu komoditi utama perkebunan menjadi perhatian yang penting dalam sistem pemeliharaannya. Pohon teh diberi pupuk akar menggunakan Urea, KCl, dan TSP sebanyak 3-4 kali dalam setahun. Pemupukan daun dilakukan dua bulan setelah pemangkasan dan penyemprotan ZnSO4 1%, satu

bulan sebelum pengambilan stek, dilanjutkan dengan kegiatan penyemprotan bulanan dengan ZnSO4

0-5% sampai pohon induk terbebas dari stek. Kegiatan pemangkasan

(35)

Pengaruh Faktor Lingkungan

Dalam penelitian ini faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap Pertumbuhan dan daya hidup A. atlas antara lain : intensitas cahaya, suhu dan kelembaban udara yang disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Rataan Intensitas Cahaya, Suhu dan Kelembaban di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan

(36)

Gambar 6. Intensitas Cahaya di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (Klux) Gambar di atas memperlihatkan bahwa kisaran intensitas cahaya di lokasi tanpa naungan sangat besar, kisaran yang besar terjadi karena pada siang hari awan sering menutupi sinar matahari dalam beberapa waktu dan kembali terhembus angin. Awan yang muncul terlalu sering dikarenakan saat penelitian merupakan musim penghujan, sehingga cuaca sering mendung. Selama dua bulan penelitian tercatat 21 hari mendung dan 27 hari hujan turun. Cuaca mendung dan terkadang hujan lebih sering terjadi di pagi hari pada awal penelitian, sedangkan memasuki akhir penelitian mendung dan hujan sangat sering terjadi di sore hari namun untuk cuaca di siang hari terkadang mendung sesaat dan kembali cerah karena adanya pergerakan awan oleh angin. Kondisi ini mengakibatkan fluktuasi intensitas cahaya di awal penelitian sangat kecil, berbeda saat di akhir penelitian.

Tabel 1 juga memperlihatkan bahwa meskipun intensitas cahaya sangat berbeda di kedua lokasi, ternyata suhu dan kelembabannya tidak jauh berbeda, baik dalam kisaran maupun rataannya. Hal ini diduga karena pergerakan atau sirkulasi angin yang cukup lancar sehingga intensitas cahaya yang membawa panas dengan cepat dihembus atau dibawa oleh angin.

(37)

Gambar 7. Suhu (ºC) dan Kelembaban (%) di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan

Kedua gambar di atas memperlihatkan bahwa suhu dan kelembaban di lokasi dengan naungan maupun tanpa naungan tidak berbeda nyata baik pada waktu pagi, siang dan sore. Sirkulasi udara yang lancar di lokasi penelitian mempengaruhi intensitas cahaya yang relatif tinggi, tidak berpengaruh terhadap suhu dan kelembaban yang ada di kedua lokasi, begitu juga dengan kelembabannya yang relatif sama.

Populasi dan Mortalitas Attacus atlas

Populasi

(38)

ngengat (8%) di lokasi dengan naungan dan 11 ekor ngengat (22%) di lokasi tanpa naungan. Tabel 2 memperlihatkan jumlah A. atlas pada awal dan akhir penelitian. Tabel 2. Populasi A. atlas di Lokasi Dengan Naungan dan Tanpa Naungan

Stadium Dengan Naungan Tanpa Naungan

Awal Akhir Awal Akhir

Tingkat mortalitas yang sangat tinggi ini disebabkan oleh faktor biotik dan abiotik yang sulit dikendalikan. Situmorang (1996) yang memelihara A. atlas pada tanaman mahoni dan keben mendapatkan tingkat kematian mencapai 90%. Widyarto (2001) juga melaporkan bahwa tingkat keberhasilan A. atlas pada tanaman dadap sampai masa pupasi hanya 19,17% di tanaman dadap dan pada tanaman gempol 4,58%.

Menurut Situmorang (1996) tingkat kematian yang tinggi pada penelitian mereka disebabkan oleh suhu dan kelembaban yang fluktuatif atau di luar kondisi nyaman ulat. Sedangkan dalam penelitian suhu dan kelembaban di kedua lokasi baik tanpa naungan (26,80-37,20 ºC dengan rataan 31,52 ºC ) maupun dengan naungan (26,70-38,40 ºC dengan rataan 32,23ºC) tidak begitu jauh berbeda, namun suhu sudah mencapai di atas 30 ºC sehingga suhu sudah tidak nyaman bagi ulat, hal ini sesuai dengan penelitian (Awan, 2007) yang menyatakan bahwa kondisi suhu nyaman ulat berada pada kisaran 20-30 ºC. Namun apabila suhu lebih tinggi dari 30 ºC atau kurang dari 20 ºC dapat menyebabkan tingkat mortalitas yang tinggi karena terganggunya proses fisiologia dan pertumbuhan ulat sutera.

(39)

92,44% sedang di lokasi tanpa naungan yaitu 88,89, 66,86, 92,66% , nilai tersebut tidak jauh berbeda diantara kedua lokasi namun sudah di luar batas kondisi nyaman ulat, yaitu dibawah 70%. Hal ini sesuai dengan pendapat Veda et al., (1997) yang menyatakan bahwa kelembabab yang baik untuk larva instar I dan II berkisar 80%-95% sedangkan untuk larva instar III, IV dan V adalah 70%, sehingga kuat dugaan bahwa selain intensitas cahaya yang fluktuatif, suhu dan kelembaban yang di luar batas nyaman ulat mengakibatkan tingginya mortalitas di alam.

Predator merupakan faktor biotik yang menyebabkan mortalitas tinggi pada ulat. Dalam penelitian ini kain kasa digunakan untuk mencegah agar predator burung tidak dapat memakan ulat. Berbeda dengan predator semut yang lebih banyak menyerang ulat karena semut masih bisa masuk ke dalam kandang. Biasanya larva yang masih dalam fase awal lebih sering diserang karena tubuhnya masih sangat lemah dan berukuran kecil, sehingga fase ini terjadi mortalitas yang cukup tinggi (Awan, 2007). Sedangkan predator seperti ulat jenis lain lebih memicu terjadinya persaingan makanan.

Tingkat kematian yang tinggi saat pemeliharaan ulat sutera tidak hanya dikarenakan faktor biotik maupun abiotik. Ulat juga akan mengalami stress saat ia merasa terganggu dengan rangsangan dari lingkungannya baik yang dilakukan secara sengaja (perlakuan manusia) mau pun tidak sengaja (gangguan dari predator seperti semut, tawon, belalang). Larva yang merasa terancam atau terganggu akan menggoyang-goyangkan tubuh bagian belakangnya dan mengeluarkan cairan bening seperti keringat dari tubuhnya sampai mengeluarkan kotoran padat atau cair serta memuntahkan cairan berwarna hijau pekat dari mulutnya yang mengakibatkan tubuhnya melemah dan bahkan menyebabkan kematian. Kematian yang disebabkan oleh gangguan predator seperti semut terjadi saat ulat dalam kondisi lemah, maka koloni semut akan menghampiri ulat dan mulai menggigiti ulat sampai ulat mati. Tubuh ulat akan digigiti sampai cairan dalam tubuh ulat habis dan warna tubuh berubah menjadi hijau kekuningan.

(40)

serat kasar dari daun yang mengandung tanin. Tanin disukai dikarenakan selain mengikat karbohidrat, tanin juga mengikat protein dalam proses metabolismenya. Kokon yang terbuat dari protein serat diikat oleh tanin sehingga terlindung dari predator-predator seperti semut yang tidak dapat mengkonsumsi protein yang terlindungi oleh tanin. Selain perlindungan terhadap kokon, kualitas pakan juga berpengaruh terhadap kondisi fisiologis, kualitas kokon, produktivitas telur, serta lamanya siklus perkembangan ulat. Ulat akan lebih memilih pohon teh dengan daun dalam kondisi subur dimana jumlah daun teh yang muda seimbang dengan daun teh tua. Ulat yang hidup pada inang yang kualitas pakannya kurang baik maka larva akan kekurangan gizi serta sakit sehingga hasil yang maksimum sulit dicapai meski pada periode berikutnya larva diberi pakan yang baik (Wangsan-Min,1989). Kondisi teh pada saat penelitian lebih dominan daun tua ketimbang daun muda, sehingga yang lebih mampu bertahan adalah ulat dengan ukuran besar dan hal ini memicu bertambahnya mortalitas diawal instar.

Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan di ruangan/laboratorium yang dapat mencapai keberhasilan 100% seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Awan (2007). Keberhasilan tersebut dikarenakan faktor abiotik (intensitas cahaya, suhu dan kelembaban) ruangan dapat dikondisikan seideal mungkin dan faktor biotik (predator, penyakit dan cendawan) dapat dicegah dan dikontrol.

Hasil pengamatan selama penelitian menunjukkan terdapat beberapa ulat yang mati akibat gagal molting. Pergantian kulit (molting) pada setiap instar akan terjadi apabila larva menjelang tahap akhir instar dan biasanya larva akan memilih tempat yang dirasa cocok untuk melakukan molting. Tempat yang sering dijadikan larva untuk melepas kulitnya adalah di ranting dan daun teh yang letaknya berada dipinggir pohon, dengan tujuan agar proses pengeringan kulit baru dapat berlangsung cepat. Proses molting berlangsung dalam waktu yang cukup singkat yaitu sekitar 1/2 jam namun hal ini tergantung dari ukuran tubuh ulat. Semakin panjang dan lebar ukuran tubuh ulat maka proses molting akan berlangsung lebih lama dan sebaliknya.

(41)

serangan predator. Predator - predator yang biasa menyerang diantaranya golongan semut merah dan semut hitam.

Proses molting yang tidak sempurna atau bahkan gagal terjadi karena kulit lama hanya terkelupas sebagian dan lengket ditubuh larva maka akan menyebabkan larva mati lemas akibat tenaga yang habis untuk bergerak-gerak agar kulit lama terkelupas dan larva ini biasanya menjadi sasaran predator seperti semut. Larva yang mampu melakukan proses pergantian kulit dengan sempurna biasanya akan menggantungkan dirinya pada daun atau ranting dekat kulit lamanya dengan posisi tiga pasang kaki depan dan kepala menggantung sedang lima pasang kaki bagian belakang berpegangan erat pada ranting atau daun. Ulat akan terus dalam posisi menggantung sampai tubuhnya kembali kering dan cukup kuat berjalan untuk mencari daun teh yang akan dikonsumsi.

Mortalitas

Mortalitas dalam penelitian ini tidak terjadi secara serempak. Tabel 3 memperlihatkan pola mortalitas berdasarkan instar.

Tabel 3. Mortalitas A. atlas di Lokasi Dengan Naungan dan Tanpa Naungan

Stadium Dengan Naungan Tanpa Naungan

(42)

sehingga yang tercatat dimulai dari kematian instar III. Kematian ulat kecil di lokasi dengan naungan (92%) lebih tinggi dibandingkan di lokasi tanpa naungan (78%), hal ini dikarenakan ulat kekurangan cahaya dan banyak ditumbuhi jamur saat hujan turun.

Mortalitas pada fase ulat besar sangat rendah, bahkan tidak ada sama sekali pada lokasi dengan naungan. Hal ini merupakan kebalikan dari ulat kecil yang tingkat kematiannya banyak di lokasi tanpa naungan dibanding di lokasi dengan naungan. Ulat kecil (instar III-IV) lebih sensitif terhadap faktor biotik maupun abiotik. Faktor abiotik seperti suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya sangat mempengaruhi daya hidup ulat sutera liar. Hal ini dikarenakan larva yang masih dalam fase awal lebih sering diserang karena tubuhnya yang masih sangat lemah dan berukuran kecil, sehingga pada fase ini terjadi mortalitas yang cukup tinggi (Awan, 2007). Oleh karena itu dalam menejemen pemeliharaan ulat pada instar awal, perlu lebih diperhatikan kondisi biotik dan abiotik untuk menekan tingkat kematian diawal instar. Suhu dan intensitas cahaya yang tinggi secara tiba-tiba akan menghasilkan kelembaban yang rendah, hal ini menjadikan larva stress akibat dehidrasi karena kondisi daun teh yang juga ikut mengering dengan kadar air yang berkurang sehingga ulat akan terlihat lebih sedikit mengkonsumsi makanannya dan tubuhnya menjadi lebih kuning bening. Stadium larva akan mengalami gangguan kesehatan dan sulit beradaptasi apabila suhu lingkungannya berubah secara ekstrim pada waktu yang cukup lama (Veda et al., 1997).

Stadium larva sangat rentan terhadap stress yang diakibatkan oleh perubahan cuaca. Perubahan cuaca seperti fluktuatifnya faktor suhu, kelembaban dan intensitas cahaya mampu menurunkan ketahanan hidup larva. Perubahan kondisi alam secara ekstrim dari cuaca panas menjadi penghujan mengakibatkan kelembaban yang tinggi dan mendukung munculnya jamur, protozoa dan bakteri patogenyang dapat menyebabkan penyakit pada ulat sutra (Veda et al., 1997). Parasit-parasit lebih sering menyerang tahap larva. Fase telur juga tidak luput dari serangan parasit yang berasal dari anggota famili Chalcidoide (Hymenoptera) yaitu Anastatus menzeli Ferr yang mencapai 80% (Peigler,1989).

(43)

kuning sampai putih pucat. Sama halnya dengan kelembaban yang terlalu tinggi, kelembaban yang terlalu rendah juga berdampak negatif bagi pertumbuhan ulat sutera. Ulat sutera yang hidup di alam akan lebih rentan diserang oleh berbagai jenis penyakit dibanding ulat yang secara sengaja dibudidayakan pada ruangan. Jenis-jenis penyakit yang banyak menyerang ulat sutra biasanya disebabkan oleh cendawan, protozoa, bakteri dan virus. Penyakit yang ditimbulkan oleh cendawan ditandai dengan munculnya hypha yang berwarna putih dan menutupi permukaan tubuh ulat (Samsijah,1994).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ulat kecil masih sangat sensitif terhadap lingkungan biotik maupun abiotik karena kondisi tubuh yang masih lemah. Oleh karena itu sebaiknya ulat kecil dipelihara di ruangan atau laboratorium lapang sehingga untuk faktor biotik dan abiotik dapat dikendalikan untuk mencegah kematian di awal instar. Berbeda halnya dengan ulat besar yang lebih nyaman hidup di alam karena tingkah laku ulat suka berjalan-jalan di batang pohon teh. Tingkah laku ini menyebabkan ulat lebih suka berada di bagian bawah pohon yang lebih lembab. Kelembaban mampu memunculkan jamur sehingga untuk mensiasatinya perlu dilakukan pemangkasan yang teratur di bagian bawah pohon terutama rumput-rumput di sekitar pohon. Ukuran tubuh ulat yang besar memampukan ulat untuk bertahan dan menakuti predator lainnya, sehingga tingkat kematian akibat serangan predator lebih kecil.

(44)

Attacus atlas memiliki enam tahap perubahan instar dalam siklus hidupnya yaitu dari instar satu sampai enam, dalam setiap tahap perubahan instar akan ditandai dengan terjadinya pergantian kulit molting (Nazar, 1990). Molting bertujuan untuk mengganti kulit lama dengan kulit baru, sehingga kulit lama yang terbentuk dari kitin dan sudah mengeras akan terkelupas untuk digantikan kulit baru yang sifatnya lebih elastis sehingga pakan yang dikonsumsi dapat ditampung oleh tubuh. Pergantian kulit terjadi pada seluruh lapisan kultikula dinding tubuh, mulai dari bagian kepala, trachea, usus depan dan usus belakang yang dilakukan dalam bentuk potongan-potongan melalui anusnya (Borror et al., 1992). Proses molting menandakan bahwa akan terjadi pertambahan panjang, lebar dan bobot badan ulat ke tahap selanjutnya.

Pertambahan Panjang, Lebar dan Bobot badan A. atlas

Panjang badan merupakan salah satu bagian dari morfologi tubuh hewan, selain lebar dan bobot badan. Panjang, lebar dan bobot badan merupakan morfologi yang bersifat kuantitatif karena dapat dikonversi dalam bentuk angka berdasarkan hasil pengukuran. Di bawah ini merupakan grafik yang menunjukkan perbedaan panjang badan ulat sutera A. atlas di lokasi tanpa naungan dan dengan naungan.

Gambar 8. Panjang Badan Attacus atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (mm)

(45)

naungan. Gambar 5 menunjukkan bahwa ulat dengan instar dua sampai instar lima yang berada pada lokasi dengan naungan rata-rata memilki ukuran yang lebih panjang dibanding ulat yang berada di lokasi tanpa naungan, hanya pada instar enam ukuran panjang badan lebih panjang di lokasi tanpa naungan. Selisih panjang badan antara ulat di tanpa naungan dan dengan naungan tidak terlalu besar. Panjang badan yang terdapat digambar tidak jauh berbeda dengan hasil pengukuran yang dilakukan oleh Awan (2007) yaitu 1,31-1,7 cm untuk instar dua, 3,5-3,8 cm instar tiga, 3,81 cm diawal dan 5,5 cm di akhir instar empat, 5,51-8 cm instar lima dan 8,1-12 cm instar enam.

Ulat pada lokasi dengan naungan lebih panjang dari lokasi tanpa naungan diduga karena faktor pertumbuhan yang lebih mengarah pada perpanjangan tubuh dibanding dengan pertambahan bobot badan. Performa ulat di lokasi dengan naungan terlihat panjang namun lebih kurus dibanding ulat pada lokasi tanpa naungan.

Perhitungan terhadap pertambahan panjang, lebar dan bobot badan dilakukan dengan tiga cara yaitu pertambahan per hari, per instar dan perhitungan persentase pertambahan. Pertambahan per hari mampu memberi gambaran dalam menejemn pemberian pakan tiap harinya pada setiap instar yang pertumbuhannya berbeda-beda. Pertambahan per instar menunjukkan tahapan pertumbuhan yang dapat dikaitkan dengan menejemen pemberian pakan dan luasan kandang. Sedangkan persentase pertambahan memperlihatkan pola pertambahan instar yang terkecil dan terbesar di setiap tahapannya.

(46)

Gambar 9 memperlihatkan bahwa pertambahan panjang badan A. atlas yang terlihat jelas terdapat pada instar tiga dan instar lima, baik di lokasi tanpa naungan maupun dengan naungan. Hal ini dikarenakan saat instar tiga merupakan masa dimana ulat mengalami pertambahan panjang yang diakibatkan pola konsumsi yang lebih banyak, sedang pada instar V pertambahan ukuran tubuh terlihat sangat nyata, seiring dengan kecepatan larva mengkonsumsi pakan daun teh. Daun yang dikonsumsi tidak hanya daun muda melainkan daun yang sudah tua juga dikonsumsi (Awan, 2007). Instar V sudah memiliki pola makan yang teratur, yaitu dengan memakan daun setengah bagian dan bagian kiri serta kanan tulang daun, dari pangkal sampai ke ujung daun.

Pertambahan panjang pada instar II dan IV tidak terlalu nyata. Oleh karena pada periode tersebut pemeliharaannya tidak memerlukan kandang dengan luasan yang besar, menjelang instar III dan V luasan kandang ditambah agar kematian akibat kepadatan dapat dicegah. Selain itu jumlah pakan perlu ditingkatkan saat ulat memasuki instar III dan V.

(47)

Gambar 10. Pertambahan Panjang Badan Per Instar A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (mm/ekor)

(48)

Gambar 11. Persentase Pertambahan Panjang Badan A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (%)

Persentase pertambahan panjang badan A. atlas yang terbesar terdapat pada instar V baik di lokasi tanpa naungan maupun dengan naungan, hasil yang sama terjadi dengan pertambahan panjang badan per hari dan per instar. Persentase yang besar di instar V diduga karena pertambahan panjang dari instar IV ke instar V cukup nyata. Pada instar V ulat sudah memiliki pola makan yang teratur dan mengkonsumsi daun tua dan muda untuk pembentukan organ yang dipersiapkan untuk menyimpan serat-serat sutera, dan selanjutnya instar VI merupakan akhir masa instar, untuk pembentukan kokon.

Gambar 12. Pertambahan Lebar Badan Per Hari A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (mm/hari)

(49)

sangat nyata atau signifikan terjadi pada saat instar III baik di lokasi tanpa naungan mau pun dengan naungan. Hal ini jika dihubungkan pada pertambahan panjang badan per hari juga memeperlihatkan pada instar III terjadi pertambahan panjang yang besar. Maka dapat dikatakan bahwa pada instar III merupakan tahap dimana ulat mengalami pertambahan panjang dan lebar tubuh yang nyata dibandingkan instar lainnya.

Penyebab pertambahan yang nyata pada instar III dikarenakan pada tahap ini merupakan masa dimana ulat mengalami pertambahan lebar yang diakibatkan pola konsumsi yang lebih banyak dan dengan frekuensi teratur dibanding saat instar II. Pertambahan lebar juga diikuti pertambahan panjang badan perhari, sehingga tahap ini performa ulat terlihat secara nyata lebih besar dan panjang dibanding instar II. Ulat di lokasi tanpa naungan mulai dari instar II sampai instar V mengalami pertambahan lebar per hari lebih besar jika dibandingkan dengan ulat yang hidup di lokasi dengan naungan. Perbedaan pertambahan lebar tersebut diduga karena pengaruh faktor cahaya yang menyeimbangkan kadar air pada daun teh yang tidak terlalu banyak atau terlalu sedikit sehingga memicu peningkatan jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ulat yang berada di lokasi tanpa naungan. Ekastuti (1999) melaporkan bahwa kadar air pakan berpengaruh sangat nyata terhadap konsumsi pakan, pakan dengan kadar air 70% atau 75% lebih disukai dibandingkan dengan pakan berkadar air lebih tinggi (80%) atau pun lebih rendah (60% dan 65%).

(50)

Gambar 13 memperlihatkan bahwa pertambahan lebar badan per instar ulat sutera mengalami peningkatan pada instar IV dan V. Pertambahan lebar badan instar II sampai instar V lebih besar saat ulat hidup di lokasi tanpa naungan dibanding ulat yang berada di lokasi dengan naungan. Rataan pertambahan lebar yang lebih tinggi di lokasi tanpa naungan dipengaruhi oleh faktor cahaya. Pertambahan lebar pada instar IV dan V disebabkan oleh ulat yang aktif mengkonsumsi pakan sehingga tubuh membentuk rongga-rongga tubuh menjadi lebih besar, yang digunakan untuk menyimpan kelenjar sutera. Kandungan protein kelenjar sutera sangat bervariasi sesuai dengan pola pakan yang dikonsumsi.

Pertambahan panjang per instar terjadi pada tahap instar V dan pertambahan lebar per instar terjadi pada instar IV dan V, maka terkait dengan sistem pemeliharaan untuk budidaya ulat sutera, penambahan luas kandang dan penambahan jumlah pakan lebih diperhatikan pada saat ulat memasuki instar V dimana panjang dan lebar mengalami peningkatan. Kepadatan berhubungan dengan kompetisi dalam memanfaatkan makanan yang tesedia Katsumata (1964), sehingga tingkat kematian akibat kepadatan (densitas) dan kekurangan pakan dapat dicegah demi peningkatan produktivitas yang diharapkan.

Gambar 14. Persentase Pertambahan Lebar Badan A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (%)

(51)

V pertambahan lebar cendrung terjadi pada ulat di lokasi tanpa naungan. Ulat di lokasi tanpa naungan yang mengalami persentase peningkatan lebar badan terbesar terjadi saat instar III.

Gambar 15. Pertambahan Bobot Badan Per Hari A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (g/hari)

Pertambahan bobot badan per hari pada ulat yang hidup di lokasi tanpa naungan dan dengan naungan berbeda sangat nyata, mulai dari instar II sampai instar IV, namun saat menjelang instar V bobot badan di kedua lokasi terlihat relatif sama, yang erat kaitannya dengan kelembaban, suhu serta perbedaan intensitas cahaya pada kedua lokasi. Ulat di lokasi dengan naungan tidak terlalu banyak mengkonsumsi dau teh, karena kadar air yang tinggi dan kondisi lembab sehingga ulat lebih sering berjalan-jalan untuk memilih daun yang akan dimakan dan energi banyak terbuang yang mengakibatkan bobot badan ulat di lokasi dengan naungan jauh lebih rendah.

(52)

Gambar 16. Pertambahan Bobot Badan Per Instar A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (g/ekor)

Tidak jauh berbeda dengan pola pertambahan bobot badan per hari, pertambahan bobot badan per instar pun memiliki pola yang hampir sama. Pertambahan bobot badan per instar yang tertinggi terlihat pada instar IV dan V untuk ulat yang hidup di lokasi tanpa naungan, sedang untuk ulat di lokasi dengan naungan pertambahan bobot badan per instar meningkat tinggi di instar V. Penyebab hal ini sama dengan pemicu pertambahan bobot badan per hari yaitu adanya penharuh faktor abiotik terutama intensitas cahaya.

Gambar 17. Persentase Pertambahan Bobot Badan A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (%)

(53)
(54)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Intensitas cahaya mempengaruhi pertumbuhan ulat sutera hal ini diindikasikan oleh data pertambahan panjang, lebar dan bobot badan per hari dan per instar. Persentase ukuran tubuh ulat lebih besar di lokasi tanpa naungan dibandingkan ulat yang berada di lokasi dengan naungan.

2. Intensitas cahaya mempengaruhi kerja hormon pertumbuhan dan kualitas pakan sehingga pertumbuhan dan produktivitas ulat di lokasi tanpa naungan lebih baik dibandingkan dengan lokasi dengan naungan.

3. Tingkat mortalitas (85%) yang tinggi berkaitan dengan faktor abiotik antara lain, intensitas cahaya, suhu dan kelembaban di luar batas nyaman ulat dan faktor biotik yakni predator (terutama semut), dan tanaman teh yang tua serta gagalnya proses molting.

Saran

1. Perlu dilakukan pembersihan rumput atau semak di area perkebunan teh tempat ulat A. atlas dipelihara agar predator seperti semut (semut hitam dan semut merah) tidak terlalu banyak sehingga tingkat kematian dapat dikuranggi.

(55)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan kasih karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa selesainya penulisan skripsi ini tidak terlepas dari doa, bantuan, serta dukungan berbagai pihak yang memberi kekuatan kepada Penulis, dan dengan ketulusan hati Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Asnath M. Fuah, MS. selaku pembimbing skripsi utama dan Ir. Hotnida C. H. Siregar, MSi., selaku pembimbing skripsi anggota atas segala waktu, kepercayaan, nasehat, dan arahan yang diberikan dengan penuh kesabaran kepada Penulis dari penyusunan proposal hingga tahap akhir penulisan skripsi. Terima kasih kepada Ir. Anita Sardiana, M.Rur., Sc, kepada Ir. Dwi Joko Setyono, MS., dan Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si, selaku dosen penguji sidang serta Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian MS., selaku penguji seminar yang telah memberikan banyak saran agar skripsi ini menjadi lebih baik.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Perkebunan Teh Nusantara VIII, Kab. Purwakarta, Jawa Barat dan kepada Bapak Nursam sekeluarga yang telah memberikan bantuan selama penelitian berlangsung, serta terima kasih Penulis sampaikan kepada seluruh keluarga besar Laboratorium Non-Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH) (Mas Winarno, Mbak Ani, Mbak Vivin, Mbak Rani dan Mas Muri) atas bantuannya selama ini. Terimaksih kepada Ahmad Yani, STP., MSi selaku pembimbing akademik yang telah memberikan nasehat dan motivasi. Terima kasih Penulis ucapkan kepada Ayahanda tercinta Rayat Barus dan Ibunda tersayang Roberty Br Ginting beserta kakak (Ramaya Sovianty Barus) dan adik (Ewi Mellisa Barus) atas semua doa, motivasi, kasih sayang yang memberi kekuatan kepada Penulis untuk berjuang menggapai ilmu, semoga kasih Tuhan melingkupi keluarga tercinta.

(56)

Debo, Cory, Tika, Septi, Alda, Eci dan Desy) serta teman di Wisma Novia IC, Badoneng. Akhir kata, Penulis sampaikan terima kasih banyak kepada civitas akademika Fakultas Peternakan, khususnya kepada teman-teman IPTP 43 atas segala keceriaan dan persahabatannya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kemajuan pendidikan dan dunia peternakan. Amin. Ahoy!.

(57)

DAFTAR PUSTAKA

Adria & H. Idris. 1997. Aspek biologis hama daun Attacus atlas pada tanaman ylang-ylang. Jurnal Penelitian Tanaman Indusrti. Vol. III (2). Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor.

Akai, H. 1988. Hormonal Regulation of Larvae Development and Its Utilization in Silk Production by Bombyx Silkmoth. JARQ. 22 ; 128-134.

Atmosoedarjo, H., J. Kartasubrata, M. Kaomini, W. Saleh & W. Moerdoko. 2000. Sutera Alam Indonesia. Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta.

Awan, A. 2007. Domestikasi ulat sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) dalam usaha meningkatkan persuteraan nasional. Disertasi. Program Studi Sains Veteriner SPS. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Beck, S. D. 1980. Insect Photoperiodism. 2nd Edit. Academic Press. New York. Borror, D. J., C. A. Triplehorn, & N. F. Jhonson. 1992. Pengenalan Pelajaran

Serangga Terjemahan: S. Partosoedjono & M. D. Brotowidjoyo. Edisi ke-6. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Brusell, E. 1970. An Introduction to Insect Physiology. Academic Press London and New York. 193p.

Butterfly Arc. 2003. Breeding of cobra butterfly (Attacus atlas – Philiphines).

http://www.butterflyarc.it/portal/eng/pg.php?pg=3b.[10 Agustus 2010]. Chapman, R. F. 1969. The Insect Structure and Function. The English Universities

Press Ltd. London.

Cymborowski, B. 1992. Insect Endocrinology. P.W.N. Polish Scientific Publishers. Warsawa.

Dalimartha, S. 2005. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 1. Trubus Agriwidya. Jakarta.

Dolezal, P., Oxana Habustova & Frantisek Sehnal. 2007. Effect of photoperiod and temperature on the rate of larval development, food conversion efficiency, and imaginal diapause in Leptinotarsa decemlineata.J. 849-857.

Ekastuti, D. R. 1999. Pengaruh Kadar Air Pakan Terhadap Katabolisme Nutrien, Pertumbuhan dan Kinerja Produksi Ulat Sutera Bombyx mori L. (Lepidoptera: Bombycidae.) Disertasi S3 Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Gambar

Gambar 1. Siklus Hidup Attacus atlas
Gambar 3. Larva Attacus atlas Instar I – Instar VI
gambar 6.
Tabel 1.  Rataan Intensitas Cahaya, Suhu dan Kelembaban di Lokasi Tanpa Naungan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan: (1) pendekatan problem solving berpengaruh secara signifikan terhadap motivasi belajar dalam pembelajaran IPA di SMPN 2 Mlati Kabupaten

Dengan memanjatkan puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena berkat rahmat-Nyalah skripsi saya ini yang berjudulEKSISTENSI LEMBAGA PERKREDITAN DESA (LPD) DALAM

terhadap fogging insektisida malathion 5% yang digunakan untuk pemberantasan vektor nyamuk di wilayah Kota Denpasar sebagai daerah endemis DBD tahun 2016 ”.. 1.3

Untuk memperjelas penelitian, maka dibatasi hanya mengkaji pengaruh dua variabel saja yaitu strategi dengan ilustrasi model pizza dan kemampuan penalaran

Berdasarkan hasil penelitian maka penulis dapat menyimpulkan bahwa dasar pertimbangan hakim menjatuhkan pidana uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi

Kalau yang dimaksud dengan produk budaya adalah teks/bahasa yang digunakan Allah dalam menyampaikan pesan- pesan-Nya adalah bahasa manusia, sedang bahasa