• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekstraksi Komponen Antibakteri dan Antioksidan dari Biji Teratai (Nymphaea pubescens)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ekstraksi Komponen Antibakteri dan Antioksidan dari Biji Teratai (Nymphaea pubescens)"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

EKSTRAKSI KOMPONEN ANTIBAKTERI DAN ANTIOKSIDAN DARI BIJI TERATAI (Nymphaea pubescens Willd)

Oleh :

ANNISA DIAN NURAINI F 24103121

2007

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

(2)

Annisa Dian Nuraini. F24103121. Ekstraksi Komponen Antibakteri dan Antioksidan dari Biji Teratai (Nymphaea pubescens). Di bawah bimbingan : Made Astawan.

RINGKASAN

Areal rawa merupakan salah satu lahan yang belum banyak mendapatkan perhatian khusus, padahal lahan rawa di Indonesia mencapai 33,4 juta hektar dari luas lahan 162,4 juta hektar. Potensi rawa terbesar berada di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Salah satu potensi rawa yang belum luas pemanfaatannya adalah teratai. Teratai (Nymphaea pubescens) merupakan salah satu tanaman yang berhabitat di daerah perairan tawar, seperti rawa-rawa atau sungai dan danau yang tidak begitu dalam dan berair tenang. Hingga saat ini pemanfaatan umum teratai hanya sebatas sebagai tanaman hias. Sedangkan penduduk yang bermukim di sekitar rawa memanfaatkan biji teratai sebagai bahan pangan bahkan sebagai obat. Oleh karena itu, perlu penelitian yang mendalam mengenai biji teratai, khususnya sebagai antibakteri dan antioksidan.

Dalam penelitian ini, dilakukan ekstraksi biji teratai dalam kondisi mentah dan dikukus dengan tiga pelarut yang berbeda kepolarannya (heksana, etilasetat, dan etanol) dengan metode maserasi bertingkat dimulai dengan pelarut yang paling tidak polar, kemudian dilakukan uji aktivitas antibakteri dan antioksidan. Uji aktivitas antibakteri ekstrak dilakukan terhadap empat jenis bakteri uji, yaitu Escherichia coli, Bacillus cereus, Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus dengan metode uji difusi sumur. Sedangkan uji aktivitas antioksidan dilakukan dengan metode ransimat terhadap semua jenis ekstrak biji teratai, untuk mendapatkan ekstrak terpilih yaitu ekstrak yang memiliki kandungan antioksidan tertinggi. Kemudian dilakukan uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH free radical scavenging activity.

Hasil ekstraksi biji teratai, baik mentah maupun kukus, dengan berbagai pelarut dihasilkan rendemen yang berbeda-beda. Berdasarkan uji T, perlakuan pemanasan biji tidak berpengaruh nyata (p>0.05) pada hasil rendemen ekstrak dari masing-masing pelarut. Secara umum aktivitas antibakteri ekstrak biji mentah lebih besar dari biji kukusnya. Analisis ragam terhadap nilai rendemen ekstrak biji teratai mentah antar pelarut menunjukkan bahwa jenis pelarut antar ekstrak pada biji teratai mentah berpengaruh nyata terhadap nilai rendemen (p<0.05). Dan berdasarkan uji LSD, nilai rendemen ekstrak etanol biji teratai mentah memiliki nilai yang paling tinggi dan berbeda nyata dari ekstrak biji teratai mentah dengan pelarut lainnya, yaitu sebesar 4.23%.

(3)

12.83±0.16 mm, dan P. aeruginosa 12.85±0.25 mm. Berdasarkan uji T, perlakuan pemanasan biji teratai berpengaruh nyata (p<0.05) pada aktivitas antibakteri terhadap keempat bakteri uji.

Uji aktivitas antioksidan pada metode ransimat menunjukkan bahwa ekstrak etilasetat biji teratai mentah merupakan ekstrak yang paling tinggi kandungan antioksidannya, yaitu dengan nilai protection factor 29.91±1.49 % terhadap tokoferol. Berdasarkan uji LSD, ekstrak biji teratai mentah dengan pelarut etilasetat berbeda nyata (p<0.05) dengan ekstrak biji mentah dengan pelarut lainnya dan memiliki nilai protection factor yang terbesar. Sehingga ekstrak etilasetat biji mentah dipilih untuk dilakukan uji antioksidan metode DPPH free radical scavenging activity. Uji aktivitas antioksidan metode DPPH free radical scavenging activity ditunjukkan dengan nilai IC50 dengan asam

askorbat sebagai pembanding. Nilai IC50 ekstrak etilasetat biji teratai mentah

(4)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

EKSTRAKSI KOMPONEN ANTIBAKTERI DAN ANTIOKSIDAN DARI BIJI TERATAI (Nymphaea pubescens Willd)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

ANNISA DIAN NURAINI F24103121

Dilahirkan pada tanggal 4 September1985 Di Cirebon, Jawa Barat

Tanggal lulus: 7 Agustus 2007

Bogor, Agustus 2007 Menyetujui,

Prof. Dr. Made Astawan, MS Dosen Pembimbing Akademik

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc

(5)

EKSTRAKSI KOMPONEN ANTIBAKTERI DAN ANTIOKSIDAN DARI BIJI TERATAI (Nymphaea pubescens Willd)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

ANNISA DIAN NURAINI F 24103121

2007

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

(6)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah subhanallahuwata’ala atas karunia yang tak terhingga dengan selesainya penyusunan skripsi yang berjudul “EKSTRAKSI KOMPONEN ANTIBAKTERI DAN ANTIOKSIDAN DARI BIJI TERATAI (Nymphaea pubescens Willd)”. Melalui penelitian ini, penulis berharap dapat berpartisipasi dalam membangun kemajuan ilmu pengetahuan bangsa dan dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan yang sangat berharga dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis sangat berterima kasih, terutama kepada :

1. Orang tua tercinta H. Sadik dan Hj. Masanah atas cinta dan kasih sayang yang tak terhingga, bakti seumur hidupku tak akan pernah cukup untuk membalas ketulusanmu, serta kakak-kakakku tercinta atas segala dukungan dan doa yang kalian berikan.

2. Prof. Dr. Made Astawan, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan waktu, pikiran, dan tenaga dalam membimbing penulis selama ini. Semoga Bapak selalu mendapat rahmat dan lindungan Allah SWT.

3. Dra. Suliantari, MS dan Dr. Ir. Sukarno selaku dosen penguji, atas masukan, saran serta kritik yang telah diberikan demi kesempurnaan skripsi.

4. Ibu Yuspihana Fitrial, mahasiswa S3 IPN IPB, atas segala bantuan (terutama dalam penyediaan biji teratai) , dukungan, serta masukan mengenai penelitian. 5. Teza Permana, atas perhatian dan dorongan yang tulus.

6. Andreas Leomitro, atas kerja sama yang baik selama penelitian dan segala bantuan selama menyusun tugas akhir.

7. Sahabat-sahabat setiaku, Citra, Ikoq, Ocha, Ephen, Abdy, Bohay, Dini, Iin, Indach, Wati, dan Dian atas kasih sayang, dukungan, bantuan, kebersamaan, dan gosip. Jangan pernah lukai persahabatan kita dengan permasalahan apapun meski luka hati seringkali tak terhindari.

(7)

9. Cristine (ITP’40), Nene (ITP’39), Agnes (ITP’40), dan Meiko (ITP’40) yang telah banyak membantu penulis dalam analisis antioksidan. Serta teman-teman seperjuangan Onet, Tatan, Steph, Acha, Nooy, Tuti, dan Gol D.

10.Teman-teman ITP’40, ITP’39, dan ITP’41 atas bantuan dan dukungannya. 11.Kardhita Crew, Mba Zenab, Mas Aga, Mba Nanin, Mba Meirina, Selly, Wati,

Lina, Yuli, Cici, Fitri, Anna atas dukungan moril kepada penulis.

12.Laboran-laboran yang telah membantu selama penelitian terutama Pak Sob, Pak Koko, Pak Rojak, Pak Mul, Pak Yahya, Mbak Darsih, Mbak Yane, Mba Ari, Teh Ida serta pustakawan Perpustakaan PAU dan PITP.

13.Pihak-pihak yang tak sempat disebutkan, atas bantuan dan dukungan yang tak terhingga, mohon maaf atas kekhilafan penulis.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kemajuan riset di bidang pangan khususnya dan bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Penulis menyadari akan kekurangan yang tak dapat dihindari pada skripsi ini, sehingga masukan kiritik dan saran sangat diharapkan untuk menyempurnakan skripsi ini.

Bogor, Agustus 2007

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... Error! Bookmark not defined. B. Tujuan dan Manfaat ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teratai ... 4

B. Kandungan Zat Gizi Biji Teratai ... 6

C. Teknik Ekstraksi ... 7

D. Senyawa Antimikroba ... 8

E. Bakteri Patogen dan Perusak Pangan ... 9

F. Antioksidan ... 13

G. Fitokimia ... 16

III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat ... 22

B. Metode Penelitian ... 22

C. Metode Analisis ... 26

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Rendemen dan Proksimat Ekstrak Biji Teratai ... 35

B. Karakteristik Ekstrak ... 37

C. Persiapan Kultur Bakteri Uji ... 39

D. Aktivitas Antimikroba ... 40

E. Aktivitas Senyawa antioksidan ... 51

(9)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 61

B. Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 63

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Kandungan Gizi Tepung Biji Teratai... 6

Tabel 2 Hasil Uji Proksimat Terhadap Tepung Biji Teratai... 37

Tabel 3 Karakteristik Berbagai Ekstrak Biji Teratai... 38

Tabel 4 Total Mikroba Kultur Bakteri Uji... 40

Tabel 5 Aktivitas Antibakteri Berbagai Ekstrak Biji Teratai Pada Konsentrasi 30% terhadap Bakteri Uji... 42

Tabel 6 Perbandingan Aktivitas Antibakteri Ekstrak Biji Mentah... 45

(11)

SKRIPSI

EKSTRAKSI KOMPONEN ANTIBAKTERI DAN ANTIOKSIDAN DARI BIJI TERATAI (Nymphaea pubescens Willd)

Oleh :

ANNISA DIAN NURAINI F 24103121

2007

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

(12)

Annisa Dian Nuraini. F24103121. Ekstraksi Komponen Antibakteri dan Antioksidan dari Biji Teratai (Nymphaea pubescens). Di bawah bimbingan : Made Astawan.

RINGKASAN

Areal rawa merupakan salah satu lahan yang belum banyak mendapatkan perhatian khusus, padahal lahan rawa di Indonesia mencapai 33,4 juta hektar dari luas lahan 162,4 juta hektar. Potensi rawa terbesar berada di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Salah satu potensi rawa yang belum luas pemanfaatannya adalah teratai. Teratai (Nymphaea pubescens) merupakan salah satu tanaman yang berhabitat di daerah perairan tawar, seperti rawa-rawa atau sungai dan danau yang tidak begitu dalam dan berair tenang. Hingga saat ini pemanfaatan umum teratai hanya sebatas sebagai tanaman hias. Sedangkan penduduk yang bermukim di sekitar rawa memanfaatkan biji teratai sebagai bahan pangan bahkan sebagai obat. Oleh karena itu, perlu penelitian yang mendalam mengenai biji teratai, khususnya sebagai antibakteri dan antioksidan.

Dalam penelitian ini, dilakukan ekstraksi biji teratai dalam kondisi mentah dan dikukus dengan tiga pelarut yang berbeda kepolarannya (heksana, etilasetat, dan etanol) dengan metode maserasi bertingkat dimulai dengan pelarut yang paling tidak polar, kemudian dilakukan uji aktivitas antibakteri dan antioksidan. Uji aktivitas antibakteri ekstrak dilakukan terhadap empat jenis bakteri uji, yaitu Escherichia coli, Bacillus cereus, Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus dengan metode uji difusi sumur. Sedangkan uji aktivitas antioksidan dilakukan dengan metode ransimat terhadap semua jenis ekstrak biji teratai, untuk mendapatkan ekstrak terpilih yaitu ekstrak yang memiliki kandungan antioksidan tertinggi. Kemudian dilakukan uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH free radical scavenging activity.

Hasil ekstraksi biji teratai, baik mentah maupun kukus, dengan berbagai pelarut dihasilkan rendemen yang berbeda-beda. Berdasarkan uji T, perlakuan pemanasan biji tidak berpengaruh nyata (p>0.05) pada hasil rendemen ekstrak dari masing-masing pelarut. Secara umum aktivitas antibakteri ekstrak biji mentah lebih besar dari biji kukusnya. Analisis ragam terhadap nilai rendemen ekstrak biji teratai mentah antar pelarut menunjukkan bahwa jenis pelarut antar ekstrak pada biji teratai mentah berpengaruh nyata terhadap nilai rendemen (p<0.05). Dan berdasarkan uji LSD, nilai rendemen ekstrak etanol biji teratai mentah memiliki nilai yang paling tinggi dan berbeda nyata dari ekstrak biji teratai mentah dengan pelarut lainnya, yaitu sebesar 4.23%.

(13)

12.83±0.16 mm, dan P. aeruginosa 12.85±0.25 mm. Berdasarkan uji T, perlakuan pemanasan biji teratai berpengaruh nyata (p<0.05) pada aktivitas antibakteri terhadap keempat bakteri uji.

Uji aktivitas antioksidan pada metode ransimat menunjukkan bahwa ekstrak etilasetat biji teratai mentah merupakan ekstrak yang paling tinggi kandungan antioksidannya, yaitu dengan nilai protection factor 29.91±1.49 % terhadap tokoferol. Berdasarkan uji LSD, ekstrak biji teratai mentah dengan pelarut etilasetat berbeda nyata (p<0.05) dengan ekstrak biji mentah dengan pelarut lainnya dan memiliki nilai protection factor yang terbesar. Sehingga ekstrak etilasetat biji mentah dipilih untuk dilakukan uji antioksidan metode DPPH free radical scavenging activity. Uji aktivitas antioksidan metode DPPH free radical scavenging activity ditunjukkan dengan nilai IC50 dengan asam

askorbat sebagai pembanding. Nilai IC50 ekstrak etilasetat biji teratai mentah

(14)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

EKSTRAKSI KOMPONEN ANTIBAKTERI DAN ANTIOKSIDAN DARI BIJI TERATAI (Nymphaea pubescens Willd)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

ANNISA DIAN NURAINI F24103121

Dilahirkan pada tanggal 4 September1985 Di Cirebon, Jawa Barat

Tanggal lulus: 7 Agustus 2007

Bogor, Agustus 2007 Menyetujui,

Prof. Dr. Made Astawan, MS Dosen Pembimbing Akademik

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc

(15)

EKSTRAKSI KOMPONEN ANTIBAKTERI DAN ANTIOKSIDAN DARI BIJI TERATAI (Nymphaea pubescens Willd)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

ANNISA DIAN NURAINI F 24103121

2007

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

(16)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah subhanallahuwata’ala atas karunia yang tak terhingga dengan selesainya penyusunan skripsi yang berjudul “EKSTRAKSI KOMPONEN ANTIBAKTERI DAN ANTIOKSIDAN DARI BIJI TERATAI (Nymphaea pubescens Willd)”. Melalui penelitian ini, penulis berharap dapat berpartisipasi dalam membangun kemajuan ilmu pengetahuan bangsa dan dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan yang sangat berharga dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis sangat berterima kasih, terutama kepada :

1. Orang tua tercinta H. Sadik dan Hj. Masanah atas cinta dan kasih sayang yang tak terhingga, bakti seumur hidupku tak akan pernah cukup untuk membalas ketulusanmu, serta kakak-kakakku tercinta atas segala dukungan dan doa yang kalian berikan.

2. Prof. Dr. Made Astawan, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan waktu, pikiran, dan tenaga dalam membimbing penulis selama ini. Semoga Bapak selalu mendapat rahmat dan lindungan Allah SWT.

3. Dra. Suliantari, MS dan Dr. Ir. Sukarno selaku dosen penguji, atas masukan, saran serta kritik yang telah diberikan demi kesempurnaan skripsi.

4. Ibu Yuspihana Fitrial, mahasiswa S3 IPN IPB, atas segala bantuan (terutama dalam penyediaan biji teratai) , dukungan, serta masukan mengenai penelitian. 5. Teza Permana, atas perhatian dan dorongan yang tulus.

6. Andreas Leomitro, atas kerja sama yang baik selama penelitian dan segala bantuan selama menyusun tugas akhir.

7. Sahabat-sahabat setiaku, Citra, Ikoq, Ocha, Ephen, Abdy, Bohay, Dini, Iin, Indach, Wati, dan Dian atas kasih sayang, dukungan, bantuan, kebersamaan, dan gosip. Jangan pernah lukai persahabatan kita dengan permasalahan apapun meski luka hati seringkali tak terhindari.

(17)

9. Cristine (ITP’40), Nene (ITP’39), Agnes (ITP’40), dan Meiko (ITP’40) yang telah banyak membantu penulis dalam analisis antioksidan. Serta teman-teman seperjuangan Onet, Tatan, Steph, Acha, Nooy, Tuti, dan Gol D.

10.Teman-teman ITP’40, ITP’39, dan ITP’41 atas bantuan dan dukungannya. 11.Kardhita Crew, Mba Zenab, Mas Aga, Mba Nanin, Mba Meirina, Selly, Wati,

Lina, Yuli, Cici, Fitri, Anna atas dukungan moril kepada penulis.

12.Laboran-laboran yang telah membantu selama penelitian terutama Pak Sob, Pak Koko, Pak Rojak, Pak Mul, Pak Yahya, Mbak Darsih, Mbak Yane, Mba Ari, Teh Ida serta pustakawan Perpustakaan PAU dan PITP.

13.Pihak-pihak yang tak sempat disebutkan, atas bantuan dan dukungan yang tak terhingga, mohon maaf atas kekhilafan penulis.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kemajuan riset di bidang pangan khususnya dan bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Penulis menyadari akan kekurangan yang tak dapat dihindari pada skripsi ini, sehingga masukan kiritik dan saran sangat diharapkan untuk menyempurnakan skripsi ini.

Bogor, Agustus 2007

(18)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... Error! Bookmark not defined. B. Tujuan dan Manfaat ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teratai ... 4

B. Kandungan Zat Gizi Biji Teratai ... 6

C. Teknik Ekstraksi ... 7

D. Senyawa Antimikroba ... 8

E. Bakteri Patogen dan Perusak Pangan ... 9

F. Antioksidan ... 13

G. Fitokimia ... 16

III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat ... 22

B. Metode Penelitian ... 22

C. Metode Analisis ... 26

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Rendemen dan Proksimat Ekstrak Biji Teratai ... 35

B. Karakteristik Ekstrak ... 37

C. Persiapan Kultur Bakteri Uji ... 39

D. Aktivitas Antimikroba ... 40

E. Aktivitas Senyawa antioksidan ... 51

(19)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 61

B. Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 63

(20)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Kandungan Gizi Tepung Biji Teratai... 6

Tabel 2 Hasil Uji Proksimat Terhadap Tepung Biji Teratai... 37

Tabel 3 Karakteristik Berbagai Ekstrak Biji Teratai... 38

Tabel 4 Total Mikroba Kultur Bakteri Uji... 40

Tabel 5 Aktivitas Antibakteri Berbagai Ekstrak Biji Teratai Pada Konsentrasi 30% terhadap Bakteri Uji... 42

Tabel 6 Perbandingan Aktivitas Antibakteri Ekstrak Biji Mentah... 45

(21)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Biji Teratai Nympheae pubescens Willd... 5

Gambar 2 Reaksi Penghambatan Antioksidan Primer terhadap Radikal Lipida... 14 Gambar 3 Antioksidan Bertindak Sebagai Prooksidan pada Konsentrasi Tinggi... 15 Gambar 4 Diagram Alir Penelitian... 23

Gambar 5 Diagran Alir Ekstraksi Biji Teratai... 24

Gambar 6 Rendemen Berbagai Ekstrak Biji Teratai... 36

Gambar 7 Ekstrak Biji Teratai Mentah Dalam Berbagai Pelarut... 39

Gambar 8 Penghambatan Ekstrak Heksan Biji Teratai Mentah... 43

Gambar 9 Penghambatan Ekstrak Etilasetat Biji Teratai Mentah... 44

Gambar 10 Penghambatan Ekstrak Etanol Biji Teratai Mentah... 46

Gambar 11 Perbandingan Penghambatan Ekstrak Pada Jenis Bakteri Uji… 48 Gambar 12 Nilai Protection Factor Berbagai Ekstrak Biji Teratai... 54

Gambar 13 Reaksi Penangkapan Radikal Bebas Stabil Oleh Antioksidan.... 56

(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Nilai Rendemen Ekstrak Biji Teratai dan Contoh Perhitungan...

68

Lampiran 2 Analisis Statistik Rendemen Berbagai Ekstrak Biji Teratai... 69 Lampiran 3 Analisis Sidik Ragam Ekstrak Biji Teratai Mentah... 70 Lampiran 4 Contoh Perhitungan Diameter Penghambatan Ekstrak Uji

Difusi Sumur... 71

Lampiran 5 Diameter Penghambatan Ekstrak Terhadap Bakteri Uji... 72 Lampiran 6 Analisis Statistik Diameter Penghambatan Oleh Ekstrak

Etilsetat... 73

Lampiran 7 Analisis Sidik Ragam Aktivitas Antibakteri Ekstrak Biji Mentah...

74

Lampiran 8 Analisis Statistik Diameter Penghambatan Oleh Ekstrak Etanol...

76

Lampiran 9 Hasil Uji Ransimat Terhadap α-tokoferol... 77 Lampiran 10 Hasil Uji Ransimat Terhadap Ekstrak... 78 Lampiran 11 Hasil Uji Ransimat Terhadap Kontrol... 90 Lampiran 12 Nilai Protection Factor Ekstrak Biji Teratai Pada Uji

Ransimat... 99

Lampiran 13 Analisis Statistik Aktivitas Antioksidan Berbagai Ekstrak Biji Teratai...

100

Lampiran 14 Analisis Sidik Ragam Aktivitas Antioksidan Ekstrak Biji Teratai Mentah...

101

(23)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Wilayah Indonesia memiliki potensi alam yang beragam dan sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Akan tetapi, hingga saat ini banyak potensi alam di Indonesia yang belum sepenuhnya digali dan dimanfaatkan secara maksimal. Menurut Pradono et al. (2006), Indonesia memiliki kekayaan sumber daya hayati terbesar kedua setelah Brazil dengan lebih dari 28000 spesies tanaman. Meskipun demikian, baru sekitar 1000 spesies tanaman yang terdaftar dalam Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yang telah digunakan untuk memproduksi pangan fungsional, terutama jamu.

Wilayah Indonesia terdiri dari daratan dan perairan yang masing-masing memiliki aneka ragam kekayaan alam yang sangat bermanfaat. Wilayah perairannya sendiri mencapai dua per tiga dari keseluruhan luas wilayah Indonesia. Wilayah perairan di Indonesia dibedakan menjadi wilayah laut dan perairan tawar. Potensi laut telah banyak memberikan manfaat bagi masyarakat Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan pangan. Selain laut, potensi dari perairan tawar juga dapat dimanfaatkan oleh manusia. Akan tetapi, saat ini potensi dari perairan tawar belum dimanfaatkan secara maksimal.

(24)

Sedangkan di Sulawesi, rawa pasang surutnya mencapai 1,2 juta hektar sedangkan rawa non pasang surutnya mencapai 645 ribu hektar. Di Papua, rawa pasang surutnya 4,2 juta hektar sedangkan rawa non pasang surutnya 6,3 juta hektar.

Data-data tersebut menunjukkan bahwa wilayah perairan tawar di Indonesia sangat luas, terutama daerah rawa. Hal ini tentu harus dimanfaatkan secara maksimal. Salah satu potensi rawa yang saat ini banyak dikembangkan adalah tanaman teratai (Nymphaea). Tanaman ini tumbuh subur di tanah berawa. Sentral tanaman ini banyak terdapat di Kalimantan, terutama Kalimantan Selatan. Biji bunga teratai bagi masyarakat Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan, merupakan salah satu bahan pangan yang banyak dikonsumsi. Selain karena khasiatnya sebagai obat diare, biji bunga teratai ini dipercaya dapat mengobati berbagai penyakit hingga obat awet muda. Sehingga diperkirakan biji teratai mengandung komponen yang memiliki aktivitas antibakteri dan antioksidan.

Melihat manfaatnya, biji teratai seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber bahan antibakteri dan antioksidan alami secara luas, mengingat pemanfaatannya hingga saat ini masih di sekitar daerah yang letaknya dekat dengan rawa. Padahal saat ini masyarakat Indonesia sangat membutuhkan sumber antibakteri maupun antioksidan alami. Senyawa antimikroba digunakan untuk membunuh mikroorganisme yang tidak diinginkan dalam pangan atau untuk mencegah dan menghambat pertumbuhannya (Ray, 2001). Antimikroba alami dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengawet pangan alami yang kini sangat dibutuhkan untuk menggantikan bahan pengawet kimia yang memiliki resiko bagi kesehatan. Menurut Thongson et al (2004), salah satu strategi mengurangi jumlah kasus food borne-illness dapat dilakukan dengan mengaplikasikan antimikroba pada saat proses pengolahan pangan untuk menginaktifkan ataupun untuk mencegah pertumbuhan mikroba.

(25)

penyakit-penyakit degeneratif yang sangat berbahaya. Menurut Mukhopadhiay (2000), senyawa antioksidan memiliki kemampuan untuk berikatan dengan metabolit lain seperti protein, lemak, dan karbohidrat membentuk senyawa kompleks yang stabil sehingga menghambat mutagenesis dan karsinogenesis. Selain itu, senyawa antioksidan berfungsi menghambat reaksi oksidasi lemak pada bahan pangan. Berbagai kerusakan seperti ketengikan, perubahan nilai gizi, perubahan warna dan rasa, serta kerusakan fisik lain pada produk pangan karena oksidasi dapat dihambat oleh antioksidan. Oleh karena itu, eksplorasi sumber-sumber antioksidan alami sangat dibutuhkan oleh masyarakat mengingat bahaya radikal bebas semakin tidak dapat dihindari dalam kehidupan sehari-hari.

B. Tujuan dan Manfaat

Tujuan umum penelitian ini adalah mengekstrak komponene antibakteri dan antioksidan dari biji teratai (Nymphaea pubescens Willd). Sedangkan tujuan khusus penelitian antara lain adalah mendapatkan ekstrak dengan kandungan komponen antibakteri dan antioksidan terbaik, mengevaluasi pengaruh pemanasan biji teratai untuk ekstraksi komponen antibakteri dan antioksidan, serta menguji aktivitas ekstrak sebagai antibakteri dan antioksidan.

(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Teratai

1. Botani Teratai

Teratai termasuk tanaman keluarga Nymphaceae dan tergolong jenis tanaman yang berbunga sepanjang tahun. Famili Nymphaceae terdiri dari tujuh genus yaitu : Nymphae (teratai), Nelumbo (lotus), Victoria (teratai raksasa), Euryale, Barclaya, dan Ondinea. Menurut Marianto (2001), secara taksonomi (pembagian kelas berdasarkan sifat tumbuhan), teratai diklasifikasikan sebagai berikut :

Divisio : Spermathophyta (tumbuhan berbiji) Kelas : Monocotyl (tumbuhan berbiji tunggal) Ordo : Nymphales

Familia : Nymphaceae Genus : Nymphae

Spesies : Nymphae alba, Nymphae odorata, Nymphae tuberosa, Nymphae pubescense, Nymphae stellata, Nymphae nouchali, dll.

Hingga saat ini tanaman teratai yang tersebar di seluruh dunia diperkirakan ada 40 sampai 200 varietas. Teratai-teratai tersebut tersebar luas dan merata di seluruh dunia, mulai dari daerah yang gersang seperti Afrika hingga daerah yang dingin di Eropa. Teratai merupakan salah satu tanaman yang berhabitat di daerah perairan tawar, seperti rawa-rawa atau sungai dan danau yang tidak begitu dalam dan berair tenang. Perkembangbiakan tanaman teratai dibantu oleh peristiwa alam seperti angin, air, ataupun serangga (Don et al. 2000).

(27)

mengapung di atas air, bagian atas daun berwarna hijau tua, sedangkan bagian bawahnya berwarna ungu kemerahan. Bentuk daun bundar dengan diameter antara 9 - 12 cm, bagian tepi daun melipat, dan daunnya mempunyai tangkai yang disebut petiola.

Seorang ahli botani berkebangsaan Belanda, Van Steenis, menemukan tiga jenis spesies teratai asli Indonesia yang banyak tersebar di daerah rawa-rawa dan sungai di Pulau Jawa dan Kalimantan. Spesies lokal tersebut adalah Nymphae pubescens, Nymphae stellata, dan Nymphae nouchali (Marianto, 2001).

2. Biji Teratai (Nympheae pubescens)

Teratai dapat berbunga beberapa kali dalam setahun. Bunga muncul di permukaan air, mekar sekitar pukul 18.00-19.00, dan menutup kembali keesokan harinya sebelum tengah hari. Bunga akan menghasilkan buah yang bundar berdiameter sekitar 4–12 cm. Biji buah berwarna coklat kehitaman, dan tersimpan dalam daging buah serta memiliki kulit ari yang keras. Biji yang tua dan kering dapat diolah menjadi tepung atau dimasak seperti menanak nasi (Khairina dan Fitrial, 2002). Biji teratai putih (Nymphae pubescens Willd) sering disebut ghol dan memiliki beberapa manfaat terutama sebagai bahan makanan dan obat.

(a) (b)

(28)

Biji teratai memiliki kandungan gizi yang tinggi terutama pati, lemak, dan protein (Marianto, 2001). Hal ini memungkinkan apabila biji teratai dicampur dengan serealia atau tanaman biji-bijian lain dapat dijadikan sebagai bahan pembuat kue dan makanan ringan. Di Filipina dan India, biji teratai diaplikasikan dalam bentuk tepung untuk bahan pembuatan roti (Sastrapradja dan Bimantoro 1981).

B. Kandungan Zat Gizi Biji Teratai

Kandungan zat gizi biji teratai bervariasi, tergantung pada spesies, tempat tumbuh serta musim. Menurut Fuaddi (1996), biji teratai mengandung karbohidrat sebesar 87,67 %. Angka tersebut hampir setara dengan kandungan karbohidrat pada beras dan tepung terigu. Selain mengandung karbohidrat, kandungan gizi biji teratai yang lainnya seperti pati, lemak dan proteinnya juga tinggi. Menurut Khairina dan Fitrial (2002), tepung biji teratai juga mengandung asam amino dan asam lemak esensial yang lengkap.

Tabel 1. Kandungan gizi tepung biji teratai

Komposisi (%b/k) Tepung biji teratai

a b

Karbohidrat 87,67 87,67

Protein 10,66 10,55

Lemak 1,11 0,99

Fosfor 0,032 -

Besi 0,0126 -

Serat Kasar - 2,75

Gula Pereduksi - 7,36

Abu - 0,79

Sumber : (a) Fuaddi (1996)

(29)

C. Teknik Ekstraksi

Menurut Nur dan Adijuwana (1989), ekstraksi merupakan peristiwa pemindahan zat terlarut (solut) antara dua pelarut yang tidak saling bercampur. Proses ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung komponen-komponen aktif. Teknik ekstraksi yang tepat berbeda untuk masing-masing bahan. Hal ini dipengaruhi oleh tekstur kandungan bahan dan jenis senyawa yang ingin didapat (Nielsen, 2003).

Penggunaan metode ekstraksi yang dilakukan bergantung pada beberapa faktor, yaitu tujuan dilakukan ekstraksi, skala ekstraksi, sifat-sifat komponen yang akan diekstraksi, dan sifat-sifat pelarut yang akan digunakan (Hougton dan Raman, 1998). Beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan adalah ekstraksi dengan pelarut, distilasi, super critical fluid extraction (SFE), pengepresan mekanik, dan sublimasi. Metode ekstraksi yang banyak digunakan adalah distilasi dan ekstraksi dengan pelarut. Proses ekstraksi dipengaruhi oleh lama ekstraksi, suhu, dan jenis pelarut yang digunakan. Semakin lama waktu yang digunakan dan semakin tinggi suhu yang digunakan maka semakin sempurna proses ekstraksi. Semakin dekat tingkat kepolaran pelarut dengan komponen yang diekstrak, semakin sempurna proses ekstraksi.

Teknik ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini adalah ekstraksi dengan pelarut organik secara bertingkat. Ekstraksi secara bertingkat dilakukan dengan menggunakan beberapa pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda. Hal-hal yang perlu diperhatikan mengenai pelarut adalah : (1) pelarut polar akan melarutkan senyawa polar, (2) pelarut organik akan cenderung melarutkan senyawa organik, dan (3) pelarut air cenderung melarutkan senyawa anorganik dan garam dari asam ataupun basa (Achmadi, 1992). Prinsip ekstraksi menggunakan pelarut organik adalah bahan yang akan diekstrak dikontakkan langsung dengan pelarut selama selang waktu tertentu, sehingga komponen yang akan diekstrak terlarut dalam pelarut kemudian diikuti dengan pemisahan pelarut dari bahan yang telah diekstrak.

(30)

merupakan proses ekstraksi dengan penghancuran sampel menggunakan pelarut, perendaman beberapa hari dan dilakukan pengadukan, kemudian dilakukan penyaringan atau pengepresan sehingga diperoleh cairan. Digestion adalah ekstraksi yang dilakukan dengan bantuan pemanasan sekitar 60°C dan lamanya ekstraksi dapat berlangsung selama 24 jam. Perkolasi merupakan teknik ekstraksi komponen terlarut dari suatu sampel menggunakan aliran pelarut dengan pemanasan atau tanpa pemanasan.

Pada penelitian ini, pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi adalah heksan, etil asetat, dan etanol yang ketiganya berturut-turut merupakan senyawa nonpolar, semi polar, dan polar. Heksan merupakan pelarut yang bersifat nonpolar dan berfungsi melarutkan lemak. Heksan terdiri dari hidrokarbon alkana dengan rumus molekul C6H14. Heksan yang digunakan

sebagai pelarut berupa cairan tak berwarna dan memiliki titik didih 69°C serta larut dalam air. Sedangkan etil asetat merupakan komponen organik semi polar dengan rumus molekul C4H8O2. Etil asetat bersifat volatil, nontoksik,

dan tidak higroskopis. Pelarut ketiga adalah etanol dengan rumus molekul C2H5OH bersifat volatil.

D. Senyawa Antimikroba

Zat antimikroba adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Menurut Fardiaz (1989), zat antimikroba dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), bakteristatik (menghambat pertumbuhan bakteri), fungisidal, fungistatik atau menghambat germinasi spora bakteri. Kemampuan suatu zat antimikroba dalam menghambat pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu : (1) konsentrasi zat antimikroba, (2) suhu lingkungan, (3) waktu penyimpanan, (4) sifat-sifat mikroba, meliputi jenis, jumlah, umur, dan keadaan mikroba, (5) sifat-sifat fisik dan kimia makanan termasuk kadar air, pH, jenis, dan jumlah senyawa di dalamnya (Frazier dan Westhoff, 1988).

(31)

adanya komponen makanan, tidak menyebabkan timbulnya galur resisten, sebaiknya bersifat membunuh daripada hanya menghambat pertumbuhan mikroba (Ray, 2001). Penghambatan aktivitas antimikroba oleh komponen bioaktif tanaman dapat disebabakan oleh beberapa faktor, antara lain : (1) gangguan pada senyawa penyusun dinding sel, (2) peningkatan permeabilitas membran sel yang menyebabkan kehilangan komponen penyusun sel, (3) menginaktifasi enzim metabolik, dan (4) destruksi atau kerusakan fungsi material genetik (Branen dan davidson, 1993).

Senyawa antimikroba yang berasal dari tanaman sebagian besar diketahui merupakan metabolit sekunder tanaman, terutama dari golongan fenolik dan terpen dalam minyak atsiri. Sebagian besar metabolit sekunder dibiosintesis dari banyak metabolit primer seperti asam-asam amino, asetil ko-A, asam mevalonat, dan metbolit antara. Selain itu, beberapa senyawa yang bersifat antimikroba alami berasal dari tanaman di antaranya adalah fitoaleksin, asam organik, minyak esensial (atsiri), fenolik dan beberapa kelompok pigmen tanaman atau senyawa sejenis (Nychas dan Tassou, 2000)

E. Bakteri Patogen dan Perusak Pangan

(32)

Bakteri yang yang akan diuji dalam penelitian ini mewakili bakteri patogen dan bakteri pembusuk pangan. Bakteri yang mewakili bakteri patogen adalah Escherichia coli, Bacillus cereus, dan Staphylococcus aureus. Sedangkan bakteri yang mewakili bakteri perusak pangan adalah Pseudomonas aeruginosa.

1. Bacillus cereus

Bacillus cereus merupakan bakteri Gram positif yang mempunyai ukuran sel yang besar, yaitu sekitar 1.0-1.2 µm dengan panjang 3.0-5.0 µm, bersifat anaerobik fakultatif dan dapat membentuk spora. Spora yang terbentuk tidak membengkak, berbentuk elips dan terletak di tengah atau agak di tengah sel (Fardiaz, 1989). Umumnya terdapat di dalam tanah dan pada tanaman, juga telah diisolasi dari berbagai makanan. Bakteri ini menyebabkan kebusukan makanan, tumbuh pada suhu 10-14°C dan pH 4.9-9.3. Suhu optimum untuk pertumbuhan adalah 28-35°C dengan pH optimum 7.0-7.5 (Fardiaz, 1989).

B. cereus dapat menyebabkan intoksikasi. Jenis toksin yang dihasilkan dapat digolongkan menjadi toksin emetik dan toksin diargenik (Fardiaz, 1989). Makanan yang berhubungan dengan gejala emetik adalah produk pangan berkarbohidrat seperti nasi dan pasta, sedangkan makanan yang berhubungan dengan diargenik adalah produk daging, sup, sayuran, puding, dan saus (Adam dan Moss, 1995). Untuk mencegah dampak buruk B. cereus, makanan harus dijaga agar tingkat kontaminasinya tidak tinggi. Batas aman konsumsi B. cereus adalah 1x 106 (Granum, 1994). Hal ini dapat dilakukan dengan pemasakan yang dapat membunuh sel vegetatif dan mencegah germinasi spora; pemanasan kemudian pendinginan secepatnya sehingga memberikan shok; dan penyimpanan pada suhu refrigerator.

2. Staphylococcus aureus

(33)

S. aureus hidup secara aerobik ataupun anaerobik fakultatif. Sifat lainnya adalah nonmotil dan tidak membentuk spora (Parker, 2000). S. aureus tahan garam dan tumbuh baik pada medium yang mengandung 7.5% NaCl, serta dapat memfermentasi manitol.

Pada umunya S. aureus mampu memproduksi pigmen kuning keemasan dan koagulase, sehingga dapat dibedakan atas beberapa grup berdasarkan sifat imunitas koagulasenya, yaitu koagulase tipe I sampai VIII. Suhu optimum pertumbuhan S. aureus adalah 35-37°C, dengan suhu minimum 6.7 dan suhu maksimum 45.5°C. S. aureus dapat tumbuh pada pH 4.0-9.8 dengan pH optimum sekitar 7.0-7.5. Pertumbuhan pada pH mendekati 9.8 hanya mungkin bila substratnya mempunyai komponen yang baik untuk pertumbuhannya.

Keracunan oleh S. aureus disebabkan tumbuhnya bakteri ini di dalam bahan pangan dan membentuk enterotoksin sebagai produk metabolitnya. Keberadaan S. aureus tidak wajar dalam makanan. Makanan yang terkontaminasi S. aureus biasanya berasal dari kulit manusia yang kontak dengan makanan (Adam dan Moss, 1995). Pada bahan pangan yang telah dimasak, S. aureus dapat terus berkembang mencapai tingkat yang membahayakan padahal bakteri lain akan terhambat.

Hampir seluruh strain S. aureus bersifat patogen dan dapat memproduksi 6 jenis enterotoksin (A, B, C1, C2, D, dan E) dengan tingkat toksisitas yang berbeda yang tahan panas, dimana ketahanan panasnya melebihi sel vegetatifnya. Sebagian besar kasus keracunan makanan disebabkan oleh enterotoksin tipe A. S. aureus sering menyebabkan orang yang mengkonsumsi susu dari sapi yang menderita mastitis stapilokoki menjadi sakit (Parker, 2000).

3. Escherichia coli

(34)

dan bersifat fakultatif anaerob. Nilai pH optimum untuk pertumbuhannya adalah 7.0-7.5, sedangakan kisaran suhu pertumbuhannya 10-40°C dengan suhu optimum 37°C. E. coli relatif sangat sensitif terhadap panas dan dapat diinaktifkan pada suhu pasteurisasi makanan atau selama pemasakan makanan (Fardiaz, 1989).

E. coli disebut juga koliform fekal karena ditemukan pada saluran usus hewan dan manusia. Bakteri ini sering digunakan sebagai indikator kontaminasi kotoran (Fardiaz, 1992). Bakteri ini merupakan bakteri yang pertama dikenal sebagai penyebab gastroenteritis pada pekerja di Inggris dan penyebabnya adalah childhood diarrhoea di beberapa negara berkembang (Adams dan Moss, 1995). Tidak semua E. coli mampu memproduksi toksin yang dapat menyebabkan penyakit, tetapi hanya galur Enteropatogenik E. coli (EEC) saja. EEC menghasilkan dua enterotoksin, yaitu toksin yang tidak tahan panas yang hancur oleh pemanasan 60°C selama 15 menit, dan toksin yang tahan panas dan tetap aktif meskipun dipanaskan selama 30 menit pada suhu 100°C. Makanan yang sering terkontaminasi adalah daging ayam, daging sapi, ikan, dan makanan hasil laut, telur dan produk telur, sayuran, buah-buahan dan sari buah (Fardiaz, 1989).

4. Pseudomonas aeruginosa

Bakteri ini termasuk ke dalam famili Pseudomonadaceae, bersifat Gram negatif, berbentuk batang, tidak membentuk spora, dapat bergerak, umumnya mempunyai flagella polar tunggal dan tipe metabolismenya bersifat oksidatif. Pseudomonas aeruginosa tumbuh baik pada suhu rendah tapi dapat pula tumbuh pada suhu 37°C. Bakteri ini banyak ditemukan dalam air, tanah, tumbuhan, saluran usus manusia dan hewan. Pseudomonas aeruginosa tidak tahan terhadap kondisi panas dan keadaan kering, sehingga dengan perlakuan pemanasan dan pengeringan, bakteri jenis ini mudah untuk dicegah pertumbuhannya.

(35)

kerusakan pada berbagai jenis makanan (Fardiaz, 1989). Kerusakan makanan yang ditimbulkan oleh bakteri ini sebagian besar berhubungan dengan kemampuannya dalam memproduksi enzim yang dapat memecahkan komponen lemak dan protein dalam makanan. Pseudomonas dapat berkembang dengan cepat pada suhu rendah dan sering mengakibatkan terbentuknya lendir dan pigmen pada permukaan daging yang didinginkan.

E. Antioksidan

Antioksidan adalah senyawa-senyawa yang dapat mendonorkan satu atau lebih atom hidrogen. Menurut Schuler (1990), antioksidan merupakan senyawa yang mampu menghambat atau mencegah terjadinya oksidasi. Senyawa antioksidan biasanya digunakan untuk mencegah kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh senyawa radikal bebas. Zat oksidan atau lebih dikenal senyawa radikal bebas merupakan atom atau molekul yang sifatnya sangat tidak stabil (mempunyai satu atau lebih elektron tanpa pasangan), sehingga untuk memperoleh pasangan elektron senyawa ini sangat reaktif dan merusak jaringan. Dengan adanya senyawa antioksidan, oksidan atau senyawa radikal bebas yang tadinya sangat tidak stabil dan bersifat merusak sel tubuh dapat menjadi stabil dan kerusakan sel tubuh dapat dicegah.

(36)

pada inti sel, kerusakan membran sel, kerusakan protein, kerusakan lipid peroksida, dan dapat menimbulkan autoimun (Karyadi, 1997).

Gordon (1990) menjelaskan sesuai mekanisme kerjanya, antioksidan memiliki dua fungsi. Fungsi pertama merupakan fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai pemberi atom hidrogen. Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sering disebut sebagai antioksiden primer. Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal lipida (R*, ROO*) atau mengubahnya ke bentuk yang lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan (A*) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal lipida. Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder antioksidan, yaitu memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme diluar mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal lipida ke bentuk yang lebih stabil.

Inisiasi : R* + AH RH + A*

[image:36.612.152.486.349.389.2]

Propagasi : ROO* + AH ROOH + A*

Gambar 2. Reaksi penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipida (Gordon, 1990)

Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah pada lipida dapat menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi lemak dan minyak. Penambahan tersebut dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi maupun propagasi (Gambar 2). Radikal-radikal antioksidan (A*) yang terbentuk pada reaksi tersebut relatif stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat bereaksi dengan molekul lipida lain membentuk radikal lipida baru (Gordon, 1990).

(37)

AH + O2 A* + HOO*

[image:37.612.150.483.77.116.2]

AH + ROOH RO* + H2O + A

Gambar 3. Antioksidan bertindak sebagai prooksidan pada konsentrasi tinggi (Gordon, 1990)

Berdasarkan sumbernya antioksidan dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami). Antioksidan sintetik yang umumnya digunakan dalam produk pangan antara lain PG (propil galat), TBHQ (tert-butylhydroxyquinone), BHA (butylated hydroxyanisole), BHT (butylated hydroxytoluene).

Antioksidan alami banyak terdapat dalam tanaman pada seluruh bagian dari tanaman seperti akar, daun, bunga, biji, batang dan sebagainya. Menurut Pratt dan Hudson (1990), senyawa-senyawa yang umumnya terkandung dalam antioksidan alami adalah fenol, polifenol, dan yang paling umum adalah flavonoid (flavonol, isoflavon, flavon, katekin, flavonon), turunan asam sinamat, tokoferol, dan asam organik polifungsi. Saat ini tokoferol sudah diproduksi secara sintetik untuk tujuan komersial.

Beberapa metode pengukuran aktivitas antioksidan yang dapat digunakan antara lain metode ß-karoten/linoleat, metode terkonjugasi, metode Ransimat, metode DPPH free radical scavenging activity, dan metode tiosianat. Pada penelitian ini, pengukuran antioksidan difokuskan pada metode Ransimat dan metode DPPH free radical scavenging activity.

(38)

Pada metode DPPH free radical scavenging activity, DPPH (1,1– diphenyl–2–picrylhydrazil) digunakan sebagai model radikal bebas (Hatano et al, 1988). Jika senyawa ini masuk dalam tubuh manusia dan tidak terkendalikan dapat menyebabkan kerusakan fungsi sel. Dalam uji ini metanol digunakan sebagai pelarut, sedangkan inkubasi pada suhu 370C dimaksudkan untuk mengoptimalkan aktivitas DPPH.

Aktivitas antioksidan pada metode DPPH dinyatakan dengan IC50

(Inhibition Concentration). IC50 adalah bilangan yang menunjukkan

konsentrasi ekstrak yang mampu menghambat aktivitas DPPH sebesar 50%. Semakin kecil nilai IC50 berarti semakin tinggi aktivitas antioksidan. Secara

spesifik, suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat jika nilai IC50 kurang dari 0.05 mg/ml, kuat untuk IC50 antara 0.05-0.1 mg/ml, sedang

jika IC50 bernilai 0.101–0.150 mg/ml, dan lemah jika IC50 bernilai 0.151 –

0.200 mg/ml.

F. Fitokimia

Senyawa fitokimia merupakan senyawa-senyawa yang dihasilkan dari sintesis tanaman yang kebanyakan merupakan senyawa aktif yang memiliki fungsi fisiologis bagi tubuh (Lin, 1994). Senyawa fitokimia berpotensi mencegah berbagai penyakit seperti penyakit degeneratif dan kardiovaskuler. Senyawa yang termasuk fitokimia antara lain senyawa fenol, flavonoid, tanin, alkaloid, steroid, dan triterpenoid (Harborne, 1987).

Uji fitokimia memiliki kegunaan dalam fisiologi tumbuhan, patologi tumbuhan, ekologi tumbuhan (interaksi antara tumbuhan dengan lingkungan), paleobotani (tumbuhan berperan dalam menguji hipotesis tentang fosil), dan genetika tumbuhan (Harborne, 1996). Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui metabolit sekunder dari tumbuhan. Beberapa jenis metabolit sekunder memiliki aktivitas antimikroba (Naidu, 2000).

1. Fenol

(39)

cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil. Suradikusumah (1989), menambahkan fenol dan turunannya memiliki sifat cenderung larut dalam air. Senyawa fenol diantaranya adalah senyawa fenol sederhana seperti monofenol dengan satu cincin benzena (3-etilfenol, 3,4-dimetilfenol) yang banyak ditemukan pada kacang-kacangan, grup asam hidroksi sinamat (asam ferulat dan kafeat), flavonoid dan glikosidanya (katekin, proantosianin, antosianidin, dan flavonol) dan tanin yang merupakan senyawa fenol yang kompleks dengan berat molekul yang tinggi (Johnson, 2001).

Menurut Mukhopadhiay (2000), polifenol memiliki kemampuan untuk berikatan dengan metabolit lain seperti protein, lemak, dan karbohidrat membentuk senyawa kompleks yang stabil sehingga menghambat mutagenesis dan karsinogenesis. Polifenol memiliki sifat antioksidatif dan antitumor. Sedangkan menurut Bidlack dan Wang (2000), polifenol dapat digunakan sebagai pencegah penyakit kardiovaskuler dan kanker. Senyawa fenol terbukti sebagai sumber antioksidan yang efektif, penangkap radikal bebas dan pengkelat ioin-ion logam (Shahidi dan Wanasundara didalam Bidlack dan Wang, 2000).

Menurut Meskin et al. (2002), aktivitas antioksidan dari senyawa fenol berhubungan dengan struktur senyawa fenol. Keberadaan grup hidroksil atau metoksi pada posisi orto atau para dari turunan asam benzoat, penilpropanoid atau flavonoid (isoflavon) diketahui dapat meningkatkan aktivitas antioksidan dari senyawa fenol. Sementara keberadaan dua grup hidroksil pada posisi orto atau para dapat menghasilkan struktur quinoid yang stabil, dan grup metoksi pada posisi orto atau para adalah elektron donor yang efektif dalam menstabilkan radikal bebas yang terbentuk, sehingga meningkatkan aktivitas dari senyawa fenol.

(40)

diantaranya adalah mengganggu transpor aktif dan kekuatan proton (Davidson, 1993).

2. Flavonoid

Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa fenol. Flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan, dalam bentuk aglikon maupun terikat pada gula sebagai glikosida (Harborne, 1987). Jenis utama flavonoid yang terdapat dalam tanaman antara lain dihidrokalkon, kalkon, flavan, katekin (flavan-3-ol), leukoantosianidin (flavan-3,4-diol), flavanon, flavanonol (dihidroflavonol), flavon, flavonol, garam flavilium, antosianidin, dan auron. Berdasarkan struktur, flavonoid dapat diklasifikasikan menjadi flavoid (1,3-diaril propan), isoflavon (1,2-diarilpropan) dan neoflavonoid (1,1-(1,2-diarilpropan).

Menurut Middleton dan Kandaswami (1994), flavonoid memegang peranan penting dalam biokimia dan fisiologi tanaman, diantaranya berfungsi sebagai antioksidan, penghambat enzim, dan prekursor bagi komponen toksik. Flavonoid pada tumbuhan berfungsi untuk mengatur pertumbuhan, mengatur fotosintesis, mengatur kerja antimikroba dan antivirus, dan mengatur kerja anti-serangga (Robinson, 1995). Menurut Johnson (2001), flavonoid sangat efektif digunakan sebagai antioksidan. Senyawa flavonoid dapat mencegah penyakit kardiovaskuler dengan menurunkan oksidasi Low Density Lipid (LDL). Choi et al. (1991) menyatakan bahwa flavonoid dapat menurunkan hiperlipidemia pada manusia.

(41)

3. Tanin

Tanin merupakan salah satu senyawa fenol kompleks yang terdapat pada kacang-kacangan (Meskin et al., 2002). Senyawa yang tergolong tanin adalah senyawa polifenol yang mengandung gugus hidroksil dan gugus lainnya (misalnya karboksil), sehingga mampu membentuk kompleks kuat dengan protein. Tanin terkondensasi dihasilkan melalui polimerisasi flavonoid dan banyak terdapat pada tanaman kayu yaitu pada lapisan biji. Tanin dapat bersifat sebagai antioksida karena kemampuannya dalam menstabilkan fraksi lipid dan keaktifannya dalam penghambatan lipoksigenase (Zeeuthen dan Sorensen, 2003).

Tanin mempunyai rasa sepat dan mempunyai kemampuan menyamak kulit. Tanin terdiri dari berbagai asam fenolat. Beberapa tanin dapat mempunyai aktivitas antioksidan, menghambat pertumbuhan tumor, dan menghambat enzim seperti reverse transkripitase dan DNA topoisomerase (Robinson, 1995).

4. Alkaloid

Alkaloid adalah senyawa alami amina, baik pada tanaman, hewan, ataupun jamur. Senyawa alkaloid umumnya mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen sebagai bagian dari sistem siklik (Harborne, 1987). Berdasarkan cincin heterosiklik nitrogen, alkaloid dapat diklasifikasikan antara lain pirolidin, piperidin, isokuinolin, indol, kuinolin.

(42)

5. Triterpenoid

Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena (Harborne, 1987). Penggolongan terpenoid didasarkan pada adanya molekul isopren. Secara kimiawi, terpenoid bersifat larut dalam lemak dan terdapat dalam sel tumbuhan (Suradikusumah, 1989). Senyawa triterpenoid yang terdapat pada tumbuhan tingkat tinggi adalah fitosterol yang terdiri dari sitosterol (β -sitosterol), stigmasterol dan kampesterol. Senyawa terpenoid dapat digunakan untuk pengobatan dan terapi (Goldberg, 2003). Triterpenoid merupakan golongan terpenoid yang berpotensi sebagai antimikroba. Selain itu senyawa ini banyak digunakan untuk menyembuhkan penyakit gangguan kulit. Triterpenoid memiliki sifat antijamur, insektisida, antibakteri, dan antivirus (Robinson, 1995).

6. Steroid

Steroid merupakan golongan dari senyawa triterpenoid (Harborne, 1987). Senyawa steroid dapat diklasifikasikan menjadi steroid dengan atom karbon tidak lebih dari 21 (steroid sederhana) dan steroid dengan atom karbon lebih dari 21 seperti sterol, sapogenin, alkaloid steroid, glikosida jantung dan vitamin D. Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dua triterpen yaitu lanosterol dan sikloartenol. Pada umumnya, steroid tumbuhan berasal dari sikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat (Hogiono dan Dangi, 1994).

7. Saponin

(43)
(44)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Bahan dan Alat

Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah biji teratai (Nymphae pubescens), pelarut teknis heksana, pelarut teknis etil asetat, pelarut teknis etanol, akuades, kertas saring Whatman no. 1, aluminium foil, spiritus, gas N2, minyak kedelai murni, α-tokoferol, asam askorbat, metanol, DPPH, air demineralisasi, minyak kedelai “Happy Salad Oil”, kultur Pseudomonas aeruginosa, kultur Bacillus cereus, kultur Escerichia coli, kultur Staphylococcus aerus, media Nutrien Broth (NB), dan media Nutrient Agar.

Alat yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah blender kering, shaker, rotary evaporator, penyaring vakum, cawan petri, ose, gelas pengaduk, sudip, bunsen, tabung reaksi bertutup, gelas ukur, labu Erlenmeyer, gelas piala, pipet volumetrik, micropipet, botol gelap, vortex, alat ransimat, spektrofotometer, dan inkubator.

B. Metode Penelitian

(45)

Biji teratai

Mentah Kukus

Tepung biji teratai

Ekstrak

[image:45.612.226.543.78.438.2]

Ekstrak terpilih Ekstrak terpilih

Gambar 4. Diagram alir penelitian

1. Penelitian Pendahuluan a. Proses Ekstrasi

Pada penelitian pendahuluan dilakukan ekstraksi biji teratai yang kemudian akan diuji aktivitas antimikroba dan antioksidannya. Ekstraksi dilakukan menggunakan metode maserasi bertingkat dengan tiga pelarut yang berbeda kepolarannya, yaitu heksana, etil asetat, dan etanol. Perbandingan antara bahan dan pelarut adalah 1:4 (w/v) dan proses ekstraksi dilakukan selama 24 jam dengan alat shaker. Ekstraksi biji teratai dilakukan terhadap biji yang masih mentah dan biji kukus berupa tepung biji. Tahapan ekstraksi biji teratai dapat dilihat pada Gambar 5.

Ekstraksi bertingkat

(heksana etil asetat etanol)

Uji aktivitas antioksidan (metode rancimat) Uji aktivitas antimikroba

(metode uji sumur)

Uji aktivitas antioksidan (metode DPPH)

(46)

Mentah Kukus

Diblender kering

Diekstrak dengan heksana, 24 jam

Disaring vakum

Diekstrak dengan etilasetat, 24 jam Dievaporasi, 550C

Disaring vakum Dihembus N2

Diekstrak dengan etanol, 24 jam Dievaporasi

Disaring vakum Dihembus N2

Dievaporasi, 550C

Dihembus N2

[image:46.612.163.488.69.686.2]

Gambar 5. Diagram alir ekstraksi biji teratai Padatan

Ekstrak etanol

Biji teratai

Tepung biji teratai

Padatan

Ekstrak etilasetat

Padatan Filtrat

Filtrat

(47)

b. Persiapan Kultur Bakteri Uji

Persiapan kultur bakteri uji perlu dilakukan untuk mengetahui jumlah total mikroba awal dari seluruh kultur bakteri uji, sehigga dapat diketahui pengenceran yang dibutuhkan untuk mendapatkan jumlah total mikroba yang diinginkan dalam metode uji difusi sumur, yaitu 1x105. Penghitungan total mikroba pada tahap ini menggunakan metode hitungan cawan.

Tahap pertama dalam penghitungan total mikroba (Total plate count) ini adalah menyiapkan kultur murni bakteri uji. Kultur murni bakteri uji yang berupa padatan (agar) diambil satu ose dan dimasukkan ke dalam tabung berisi 10 ml media pertumbuhan NB secara aseptis. Tabung tersebut diinkubasikan dalam suhu 37ºC selama 24 jam. Kemudian dari tabung tersebut, diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam larutan pengencer (larutan fisiologis 0.85%) sampai pengenceran ke-8. Pada pengenceran ke-5 sampai ke-8, diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril. Cawan petri yang telah berisi kultur bakteri uji tersebut diberi media pertumbuhan NA dengan metode tuang. Cawan diinkubasi pada suhu 37ºC selama 24 jam.

Cawan petri yang telah diinkubasi, diamati pertumbuhan bakteri uji. Kemudian dilakukan penghitungan mikroba dengan metode hitungan cawan. Setelah diketahui total mikroba awal pada bakteri uji, maka dapat diketahui pengenceran yang diperlukan untuk digunakan dalam uji aktivitas antimikroba dengan metode difusi sumur.

2. Penelitian Lanjutan

1. Uji aktivitas antimikroba (Metode Garriga et al., 1993)

(48)

pertumbuhan bakteri uji oleh senyawa antimikroba (ekstrak biji teratai). Hasilnya kemudian diolah secara statistik.

Sesuai dengan hasil perhitungan total mikroba pada tahap persiapan kultur bakteri uji, maka untuk mendapatkan total mikroba yang seragam didalam cawan uji difusi sumur yaitu 1x105, maka kultur harus diencerkan. Pengenceran dilakukan sesuai dengan jumlah total mikroba awal.

2. Uji aktivitas antioksidan (Modifikasi Metode Beirao dan Bernardo-Gil, 2005)

Selain dilakukan pengujian aktivitas antimikroba terhadap sampel ekstrak biji teratai, dilakukan pula pengujian kemungkinan adanya aktivitas antioksidan. Pengujian aktivitas antioksidan dilakukan dengan dua metode, yaitu metode rancimat dan metode DPPH.

Metode ransimat merupakan metode pengujian aktivitas antioksidan dengan cara mengukur waktu induksi sampel, semakin lama waktu induksi maka semakin baik kapasitas antioksidan yang terdapat dalam sampel. Sebagai faktor pembanding, dilakukan pula pengujian dengan metode ini terhadap tokoferol atau vitamin E yang kaya akan antioksidan.

Setelah dilakukan pengujian kapasitas antioksidan terhadap seluruh sampel, maka akan diketahui sampel ekstrak yang memiliki kapasitas antioksidan yang terbesar. Sampel ekstrak yang terpilih tersebut kemudian di uji dengan metode DPPH untuk mengetahui aktivitas antioksidan secara kuantitatif.

C. Metode Analisis

(49)

1. Perhitungan Nilai Rendemen

Sebanyak 60 gram bubuk biji teratai (mentah mapun kukus) di ekstrak dengan tiga pelarut secara bertingkat (heksanaa, etilasetat, dan etanol) dengan metode maserasi. Kemudian dilakukan penyaringan sehingga didapatkan filtrat dari masing-masing pelarut yang selanjutnya dilakukan penghilangan pelarut dengan alat rotary evaporator dan dihembus dengan N2 sehingga didapatkan ekstrak biji teratai dari masing-masing pelarut yang bebas pelarut. Ekstrak murni tersebut ditimbang untuk perhitungan rendemen. Nilai rendemen dihitung dengan rumus berikut.

Dimana :

W = bobot ekstrak murni (g) W0 = bobot bahan yang diekstrak (g)

2. Uji Difusi Sumur (Metode Garriga et al., 1993)

Pengujian aktivitas antimikroba dilakukan dengan menggunakan metode difusi sumur. Mikroba yang digunakan dalam pengujian adalah kultur mikroba pembusuk dan mikroba patogen yaitu B.cereus, E.coli, S. Typhimurium, dan S. aureus.

Untuk melakukan analisis, kultur mikroba yang akan diuji harus disegarkan terlebih dahulu dengan menginokulasikan satu ose kultur murni dari agar miring Nutrien Agar (NA) ke dalam medium cair Nutrien Broth (NB) sebanyak 10 ml secara aseptik. Kultur uji kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C.

Media NA steril dipersiapkan dan didinginkan sampai suhu 50°C. Kultur uji diinokulasikan ke dalam media NA dengan pengenceran yang telah dilakukan sebelumnya sehingga didapatkan jumlah total mikroba yang ditumbuhkan sebanyak 1x105 cfu. Setelah campuran media dan kultur uji membeku, dibuat lubang-lubang sumur (4 sumur per cawan) dengan diameter 6 mm dan ke dalam lubang sumur masing-masing diteteskan ekstrak biji teratai dengan konsentrasi yang berbeda (10%, 20%,

(50)

30%), sumur lainnya kontrol negatif (pelarut murni). Cawan tersebut diinkubasikan pada suhu 37°C selama 24 jam. Areal penghambatan diukur berdasarkan diameter areal bening yang terbentuk di sekitar sumur, yaitu selisih antara diameter areal bening dengan diameter sumur.

3. Uji Aktivitas Antioksidan Metode Ransimat (Modifikasi Metode Beirao dan Bernardo-Gil, 2005)

Sebanyak 200 mg sampel antioksidan (ekstrak biji teratai) dimasukkan ke dalam gelas piala berisi 4 gram minyak yang mempunyai ikatan rangkap banyak seperti minyak jagung atau minyak kedelai. Minyak yang dipakai harus berada dalam keadaan murni. Larutan tersebut diaduk sampai homogen. Masing-masing dari larutan diambil sebanyak 3 gram dan dimasukkan ke dalam alat Rancimat dengan suhu 120oC. Kontrol yang digunakan adalah minyak murni. Selain itu, antioksidan tokoferol juga ditambahkan ke dalam minyak dengan prosedur yang sama sebagai faktor pembanding.

4. Uji Aktivitas Antioksidan Metode DPPH free radical scavenging activity (Hatano et al, 1988)

Pada tahap ini dilakukan uji aktivitas antioksidan terhadap ekstrak biji teratai terpilih (berdasarkan hasil uji antioksidan metode ransimat). Pengujian aktivitas antioksidan lanjut ini dengan menggunakan metode DPPH (Hatano et al., 1988). Pengukuran aktivitas antioksidan dengan metode ini berdasarkan pada DPPH free radical scavanging activity. Sebagai pembanding digunakan vitamin C (asam askorbat).

Sebanyak 2 ml buffer asetat dicampur dengan 3.75 ml metanol dan 200 μl DPPH, kemudian divortex. Larutan ditambah dengan 50 μl sampel. Pada kontrol negatif, diganti dengan 50 μl metanol, sedangkan pada pembuatan kurva standar diganti dengan asam askorbat dengan beberapa tingkat konsentrasi. Larutan kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 20 menit dan diukur absorbansi dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 517 nm.

Aktivitas antioksidan dinyatakan dengan IC50. Presentase

(51)

absorbansi sampel. Persamaan garis diperoleh dari hubungan antara konsentrasi dengan aktivitas penghambatan. Sehingga nilai IC50 dapat

dihitung :

Persamaan regresi linier : Y * = Bx + A

Catatan : Nilai Y = 50 (penghamabtan 50 %), nilai A dan B diketahui sehingga nilai IC 50 (x) dapat dihitung.

5. Analisis Proksimat

Analisis proksimat meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat.

a. Analisis kadar air metode oven (AOAC, 1995)

Kadar air diukur dengan metode oven biasa karena kandungan bahan volatil pada sampel rendah dan sampel tidak terdegradasi pada suhu 100ºC. Cawan alumunium kosong dikeringkan dalam oven suhu 105°C selama 15 menit lalu didinginkan dalam desikator selama 5 menit atau sampai tidak panas lagi. Cawan ditimbang dan dicatat beratnya. Lalu ditimbang sampel sebanyak 5 gram di dalam cawan tersebut. Dikeringkan sampel dalam oven sampai beratnya konstan (perubahan berat tidak lebih dari 0.003 gram). Setelah itu didinginkan cawan yang berisi sampel kering di dalam desikator. Ditimbang berat akhirnya. Dihitung kadar air dengan persamaan sebagai berikut:

Kadar air (% b/b) 100% a)

-(x

y) -(x

× =

Keterangan:

x = berat cawan dan sampel sebelum dikeringkan (g) y = berat cawan dan sampel setelah dikeringkan (g) a = berat cawan kosong (g)

b. Analisis kadar protein, metode Kjeldahl (AOAC, 1995)

(52)

batu didih. Sampel didekstruksi (dididihkan) selama 1-1.5 jam hingga jernih, lalu didinginkan. Lalu ditambahkan 2 ml air secara perlahan dan didinginkan kembali. Cairan hasil dekstruksi (cairan x) dipindahkan ke dalam alat destilasi dan bilas labu dengan air. Air bilasan juga dipindahkan ke dalam alat destilasi. Erlenmeyer 125 ml berisi 5 ml H3BO3 dan 2 tetes indikator (Methylen red : Methylen blue

= 2:1) diletakkan di ujung kondensor alat destilasi dengan ujung selang kondensor terendam dalam larutan H3BO3. Cairan X ditambahkan 10

ml NaOH-Na2S2O3 dan destilasi dilakukan hingga larutan dalam

erlenmeyer ± 50 ml. Kemudian larutan dalam erlenmeyer dititrasi dengan HCl 0.02 N. Titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna larutan dari hijau menjadi abu-abu. Prosedur yang sama dilakukan juga untuk penetapan blanko.

Perhitungan:

Kadar N (%) 100%

W

14,007 C

Vb) -(Vs

× ×

× =

Kadar protein (%) = % N x faktor konversi

Keterangan:

Vs = Volume HCl untuk titrasi sampel (ml) Vb = Volume untuk titrasi blanko (ml) C = Konsentrasi HCl (N)

W = Berat sampel (mg)

c. Analisis kadar abu (AOAC, 1995)

(53)

Perhitungan:

Kadar Abu (% b/b) 100% W

W

1

2 ×

=

Keterangan:

W1 = Berat sampel (g)

W2 = Berat abu (g)

d. Analisis kadar lemak metode Soxhlet (AOAC, 1995)

Labu lemak yang telah bebas lemak dikeringkan di dalam oven kemudian ditimbang setelah dingin. Sampel sebanyak 5 g dibungkus dalam kertas saring kemudian ditutup kapas yang bebas lemak. Sampel dimasukkan ke dalam alat ekstraksi soxhlet, kemudian pasang kondensor dan labu pada ujung-ujungnya. Pelarut heksanaa dimasukkan ke dalam alat lalu sampel direfluks selama 5 jam. Setelah itu pelarut didestilasi dan ditampung pada wadah lain. Labu lemak dikeringkan di dalam oven pada suhu 105°C sampai diperoleh berat tetap. Kemudian labu lemak dipindahkan ke desikator, lalu didinginkan dan ditimbang.

Perhitungan:

Kadar Lemak (% b/b) 100% W

W

1

2 ×

=

Keterangan:

W1 = Berat sampel (g)

W2 = Berat lemak (g)

e. Analisis kadar karbohidrat by difference (AOAC, 1995)

Pengukuran kadar karbohidrat menggunakan metode by difference dilakukan dengan cara:

(54)

6. Uji fitokimia (Tim Materi Medika Indonesia, 1995) a. Pengujian golongan terpenoid dan steroid

Sebanyak 0.5 gram sampel dicampur dengan 2 ml etanol. Sampel kemdian dipanaskan sessat dan disaring. Filtrat yang dihasilkan kemudian diuapkan hingga kental da ditambah dengan eter dan tiga tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes H2SO4 pekat. Sampel

positif mengandung triterpenoid bila terbentuk warna merah atau ungu. Sampel postif mengandung steroid bila terbentuk warna hijau.

b. Pengujian golongan saponin

Sebanyak 0.5 gram sampel dicampur dengan 10 ml air panas. Kemudian dinginkan dan kocok hingga muncul buih. Larutan didiamkan selama 2 menit, kemudian diteteskan HCL 2 N. Bila terdapat senyawa saponin dalam ekstrak maka akan terbentuk buih mantap selama 10 menit.

c. Pengujian golongan alkaloid

Sampel sebanyak 0.5 gram dicampur dengan 1 ml HCL 2 N dan 9 ml akuades panas. Larutan kemudian dipanaskan selama 2 menit, kemudian dinginkan dan disaring filtratnya dan dibagi ke dalam 4 tabung.

(55)

d. Pengujian golongan tanin

Satu gram sampel dicampur dengan 10 ml akuades panas dan dipanaskan kurang lebih 1 jam. Larutan kemudian didinginkan, disaring, dan filtratnya diolesi dengan FeCl3 1 %. Bila sampel

mengandung tanin maka akan terbentuk warna biru tua atau hitam kehijauan.

e. Pengujian golongan fenolik

Sampel sebanyak 0.5 gram sampel ditambah dengan 2 ml metanol. Larutan kemudian didinginkan dan disaring. Filtrat yang dihasilkan dan dicampur dengan NaOH 10% dan dipanaskan. Bila mengandung komponen fenolik pada sampel maka akan timbul warna merah.

f. Pengujian golongan flavonoid

Sampel sebanyak 0.5 gram dalam labu colf 50 ml dicampur dengan 10 ml metanol p.a. sampel kemudian dipanaskan dan biarkan hingga mendidih selama 10 menit. Larutan kemudian disaring dalam kedaan panas ke dalam corong pemisah dan ditambah 5 ml petroleum bensin. Pada lapisan bawahnya dimasukkan ke dalam pinggan penguap dan dipanaskan pada suhu 40 °C hingga terbentuk larutan kental. Larutan tersebut kemudian ditambahkan etilasetat dan dibagi menjadi 2 tabung.

Tabung pertama ditambah Zn dan 1 ml HCl 2 N dan HCl pekat. Bila terdapat flavonoid maka akan terbentuk warna merah. Tabung kedua ditambah Mg dan HCl pekat. Bila terdapat flavonoid maka akan terbentuk warna merah.

g. Pengujian golongan glikosida

(56)

yang dihasilkan kemudian ditambahkan 2 ml Pb asetat sebesar 5 % dan isopropanol. Lapisan bawah dimasukkan ke dalam cawan pinggan penguap dan dipanaskan hingga 400 C. Setelah cairan kental ditambah 2 ml metanol ke dalam tabung reaksi menjadi 5 bagian.

Tabung pertama diuapkan hingga kering dan ditambahkan dengan 10 tetes H2SO4 dan 5 ml asam asetat anhidrat. Bila terbentuk

warna biru hijau, maka sampel tersebut mengandung glikosida

Tabung kedua diuapkan hingga kering dan ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes molish dan 2 ml H2SO4. Bila terbentuk cincin ungu

maka sampel positif mengandung glikosida

Tabung ketiga ditambah dengan 2.9 ml metanol dan baljet. Bila terbentuk warna merah jingga, maka sampel positif mengandung glikosida jantung

(57)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Rendemen dan Proksimat Ekstrak Biji Teratai

Ekstraksi bubuk atau tepung biji teratai baik dalam kondisi mentah maupun dikukus dilakukan dengan proses maserasi dengan tiga pelarut secara bertingkat. Pelarut tersebut dibedakan berdasarkan kepolarannya, yaitu heksanaa yang mewakili pelarut nonpolar, etilasetat mewakili pelarut semi polar, dan etanol yang bersifat pelarut polar. Pemilihan ketiga pelarut tersebut didasarkan pada tujuan identifikasi komponen aktif dari ekstrak biji teratai yang masih belum diketahui sifat-sifatnya, terutama sifat kepolarannya.

Pelarut-pelarut yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pelarut yang bersifat teknis. Pemilihan pelarut teknis ini terkait dengan dasar pertimbangan ekonomis jika akan diaplikasikan pada industri. Selain harganya yang jauh lebih murah juga lebih mudah diperoleh dibandingkan dengan pelarut yang bersifat absolut.

Proses ekstraksi dari biji teratai baik mentah maupun kukus dilakukan dengan cara maserasi bertingkat, masing-masing tahapan ekstraksi dibutuhkan waktu 24 jam. Kemudian dilakukan penyaringan dengan alat penyaring vakum. Filtrat yang dihasilkan selanjutnya dipekatkan untuk menghilangkan pelarut dengan alat rotary evaporator. Pada proses ini, pelarut yang berada dalam filtrat ekstrak diuapkan pada suhu tertentu. Penentuan suhu yang digunakan dalam proses ini sangat mempengaruhi komponen aktif yang terdapat dalam filtrat. Suhu yang terlalu tinggi akan mengakibatkan kerusakan komponen-komponen bioaktif dalam ekstrak, sehingga suhu 45-55ºC dianggap sesuai dan diharapkan kerusakan senyawa aktif dalam ekstrak dapat dihindari. Setelah dipekatkan dengan rotary evaporator, ekstrak dihembus dengan N2 untuk menghilangkan sisa pelarut yang mungkin masih ada dalam

ekstrak sehingga ekstrak tersebut yang dihasilkan benar-benar murni dan bebas dari pelarutnya.

(58)
[image:58.612.195.457.319.500.2]

bersifat nonpolar seperti lilin, lemak, dan minyak atsiri, sedangkan ekstrak etilasetat (semipolar) sebagian besar mengandung senyawa-senyawa alkaloid, aglikon-aglikon, dan glikosida. Ekstraksi dengan etanol dapat mengekstrak fenolik, steroid, terpenoid, alkaloid, dan glikosida.

Gambar 6 menunjukkan nilai rendemen berbagai ekstrak biji teratai. Rendemen ekstrak biji teratai mentah dan kukus dari pelarut heksana berturut-turut adalah 2.04 ± 0.4% dan 1.53 ± 0.29%. Sedangkan pengukuran rendemen terhadap ekstrak biji teratai mentah dan kukus dengan pelarut etilasatat adalah 1.06 ± 0.12% dan 0.70 ± 0.09%. Dan rendemen ekstrak biji teratai mentah dan kukus dengan pelarut polar (etanol) adalah 4.23 ± 0.03% dan 2.25 ± 0.62%. Perhitungan rendemen dapat dilihat pada Lampiran 1.

Gambar

Tabel 1 Kandungan Gizi Tepung Biji Teratai..........................................
Tabel 1 Kandungan Gizi Tepung Biji Teratai..........................................
Gambar 1. Biji teratai Nympheae pubescens Willd (a), Tepung biji teratai Nympheae pubescens Willd (b)
Gambar 2. Reaksi penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipida (Gordon, 1990)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam menghadirkan kota Makassar menuju kota dunia, diperlukan perhatian dan fokus pada beberapa hal yang dominan bernilai di atas 100 responden skala penilaian dari total

4.. penyelidik perfu merekabentuk kenderaan bawah-airnya sendiri. Oleh itu, sebuah kenderaan bawah-air yang diberi nama USM-AUV tetah direkabentuk. Rekabentuk kenderaan ini

PRENADAMEDIA GROUP.. regresi, uji ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah persamaan re- gresi yang dihasilkan cocok untuk keadaan, sehingga dapat digunakan sebagai alat

Dalam penelitian Anniza Hanum (2012) menjelaskan tentang Strategi Promosi Sedangkan dalam peneltian ini mengacu pada Promosi ke pasar benua Amerika. Sumber:

Penye- babnya adalah: pertama , semakin banyaknya orang-orang Ahli Kitab yang masuk Islam; dan kedua , adanya keinginan dari umat muslim pada saat itu untuk

mampu mengajukan dugaan (Conjecture) dari soal yang diberikan.. tidak bisa memperkirakan cara/ rumus untuk menyelesaikan soal nomor tiga. Meskipun dalam lembar jawabanya ia

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam penerapan Kode Etik Pustakawan informan atau pustakawan di Perpustakaan Utsman Bin Affan Universitas Muslim Indonesia