• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aktivitas antimikroba pada ekstrak biji teratai diuji melalui metode uji difusi sumur. Pengujian ini dilakukan terhadap empat jenis bakteri uji, yang terdiri dari bakteri Gram negatif, yaitu Eschericia coli dan Pseudomonas aeruginosa sedangkan bakteri Gram positif Bacillus cereus dan Staphilococcus aureus. Metode difusi sumur dilakukan dengan cara memasukkan senyawa antimikroba ke dalam lubang (sumur) yang dibentuk pada cawan berisi media agar yang telah diinokulasikan kultur bakteri uji dan sebagai kontrol negatif digunakan pelarut murni dari masing-masing ekstrak. Kemudian setelah diinkubasi selama 24 jam pada suhu ruang (37°C), dilihat diameter penghambatan pertumbuhan bakteri uji pada media oleh senyawa antimikroba yang diujikan.

Menurut Davidson dan Parish (1989), keseragaman ukuran dan fisiologi bakteri uji bersifat kritis dan karenanya harus dapat dikontrol dengan baik. Oleh karena itu, setiap uji difusi sumur perlu disertai dengan uji konfirmasi. Uji konfirmasi adalah penghitungan total mikroba dengan tujuan mengkonfirmasi bahwa total mikroba di dalam cawan terdapat dalam rentang

1x105 hingga 1x106 dan dalam penelitian ini dilakukan dengan metode hitungan cawan.

Pada penelitian ini, pada cawan yang berisi campuran antara media agar dan kultur bakteri uji tersebut dibuat empat lubang berukuran 6 mm. Tiga lubang (sumur) diisi dengan senyawa antibakteri (ekstrak biji teratai) dengan konsentrasi yang berbeda (10%, 20%, dan 30%) dan lubang lainnya berisi kontrol negatif yaitu pelarut murni dari masing-masing ekstrak.

1. Efektivitas senyawa antimikroba berdasarkan kepolaran pelarut Ekstraksi biji teratai dilakukan dengan metode maserasi bertingkat menggunakan tiga jenis pelarut yang berbeda tingkat kepolarannya. Ekstraksi dengan pelarut nonpolar menggunakan pelarut heksanaa, sedangkan ekstraksi dengan pelarut semi polar dan polar berturut-turut adalah etilasetat dan etanol. Proses ekstraksi dilakukan secara bertahap diawali dengan pelarut yang bersifat nonpolar kemudian berturut-turut hingga dengan pelarut yang bersifat polar.

Proses ekstraksi dengan pelarut yang berbeda sifat kepolarannya dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sifat senyawa antibakteri yang terdapat dalam biji teratai. Hal ini penting dilakukan karena setiap pelarut dengan sifat kepolarannya masing-masing akan melarutkan komponen- komponen yang berbeda termasuk komponen yang aktif sebagai antibakteri. Hasil pengamatan menunjukkan proses ekstraksi secara bertingkat dengan pelarut yang berbeda tingkat kepolarannya tersebut mempengaruhi keefektifan ekstrak dalam menghambat pertumbuhan mikroba. Efektifitas ekstrak dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji ditunjukkan oleh ukuran areal bening yang membentuk lingkaran di sekitar sumur (lubang) sehingga dapat dihitung diameter penghambatannya. Perhitungan diameter penghambatan ekstrak pada keempat bakteri uji dapat dilihat pada Lampiran 4. Aktivitas antibakteri berbagai ekstrak dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Diameter penghambatan berbagai ekstrak biji teratai pada konsentrasi 30% terhadap bakteri uji

Pelarut Bakteri uji Jenis biji Ket.

Mentah Kukus

Heksana E. coli 0.00 0.00 -

B. cereus 0.00 0.00 -

P. aeruginosa 0.00 0.00 -

S. aureus 0.00 0.00 -

Etilasetat E. coli 23.10±0.00 18.20±0.05 Berbeda nyata B. cereus 11.40±0.03 4.63±0.03 Berbeda nyata P. aeruginosa 12.85±0.25 7.38±0.08 Berbeda nyata S. aureus 12.83±0.18 8.75±0.15 Berbeda nyata Etanol E. coli 11.28±0.03 8.2±0.05 Berbeda nyata

B. cereus 7.20±0.50 6.63±0.03 Tidak berbeda nyata P. aeruginosa 8.00±0.15 5.25±0.05 Berbeda nyata S. aureus 7.53±0.13 7.83±0.03 Tidak berbeda nyata Heksana merupakan pelarut yang bersifat paling tidak polar di antara pelarut lain yang digunakan dalam penelitian ini (etilasetat dan etanol), sehingga ekstrak yang dihasilkan pun bersifat nonpolar. Polaritas yang rendah pada ekstrak heksana disebabkan oleh kandungan minyak atsiri, bahan non minyak seperti lilin, sterol sedikit senyawa fenolik. Berdasarkan Tabel 5, ekstrak heksana, baik dari biji teratai mentah maupun kukus, tidak menunjukkan adanya aktivitas antibakteri. Contoh hasil penghambatan pertumbuhan bakteri uji oleh ekstrak heksan dapat dilihat pada Gambar 8 yang menunjukkan aktivitas antibakteri pada metode difusi sumur terhadap P. aeruginosa dan S. aureus.

Ketidakefektifan ekstrak heksana dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji diduga berkaitan dengan sifat heksana yang sangat tidak polar sehingga hanya sedikit komponen bioaktif yang larut di dalamnya. Komponen yang umumnya larut dalam heksana adalah lilin, lemak, dan komponen terpenoid. Menurut Naufalin (2005), ekstrak heksana

mengandung minyak atsiri yang bersifat antimikroba, namun kontak antara senyawa antimikroba dan minyak atsiri dengan sel bakteri terhalang oleh adanya minyak dan lemak dalam ekstrak heksana. Minyak dan lemak lainnya mengganggu proses difusi dan melindungi bakteri dari senyawa antibakteri.

(a) (b)

Gambar 8. Penghambatan ekstrak heksana biji teratai mentah terhadap: (a) P. aeruginosa; (b) S. aureus

Sedangkan hasil penelitian Kanazawa et al. (1995), melaporkan bahwa ekstrak heksana (senyawa minyak atsiri dan lipida lainnya) yang mempunyai ukuran molekul besar tidak dapat masuk berpenetrasi ke dalam dinding sel bakteri. Ukuran molekul besar tersebut akan menjadi penghalang masuknya komponen minyak atsiri maupun senyawa fenolik ke dalam sel akibatnya sel tetap akan tumbuh.

Selain itu, ketidakefektifan ekstrak heksanaa sebagai senyawa antimikroba dapat dijelaskan karena perbedaan sifat kepolaran antara ekstrak dengan media NA yang digunakan dalam metode uji difusi sumur. Menurut Parhusip (2006), media NA yang digunakan dalam metode difusi sumur bersifat polar, sedangkan ekstrak heksana bersifat nonpolar dan lebih dominan mengandung komponen minyak atsiri, dimana ekstrak dalam media NA tidak mampu berdifusi secara baik sehingga tidak menunjukkan aktivitas penghambatan.

Ekstrak yang memiliki tingkat kepolaran yang lebih tinggi selanjutnya adalah ekstrak etilasetat. Berdasarkan hasil pengamatan,

ekstrak etil asetat dari biji teratai menunjukkan keefektifan sebagai senyawa antibakteri karena areal penghambatan pertumbuhan mikroba pada metode uji difusi sumur yang besar dibandingkan dengan ekstrak lain (Tabel 5). Selain itu, ekstrak etilasetat juga memiliki spektrum penghambatan yang luas karena ekstrak etilasetat dapat menghambat pertumbuhan semua bakteri uji. Gambar 9 menunjukkan contoh penghambatan oleh ekstrak etilasetat terhadap P. aeruginosa dan S. aureus pada konsentrasi 30%. Diameter penghambatan berbagai ekstrak pada konsentrasi 30% lebih besar dari konsentrasi lainnya (10% dan 20%) (Lampiran 5)

(a) (b)

Gambar 9. Penghambatan ekstrak etilasetat biji teratai mentah terhadap: (a) P. aeruginosa; (b) S. aureus

Ekstrak etilasetat biji teratai memiliki diameter penghambatan terbesar dibandingkan dengan ekstrak lainnya. Diameter penghambatan pertumbuhan oleh ekstrak etilasetat biji teratai mentah pada konsentrasi 30% terhadap E. coli adalah 23.10±0.00 mm, B. cereus 11.40±0.30 mm, S. aureus 12.83±0.16 mm, dan P. aeruginosa 12.85±0.25 mm. Tabel 5 menunjukkan hasil analisis statistik aktivitas antibakteri berbagai ekstrak biji teratai. Berdasarkan uji T, perlakuan pemanasan biji teratai berpengaruh nyata (p<0.05) pada aktivitas antibakteri terhadap keempat bakteri uji (Lampiran 6).

Etil asetat merupakan pelarut yang bersifat semi polar. Sifat etil asetat yang semi polar menyebabkan ekstrak etil asetat akan memiliki dua sifat kelarutan, yaitu hidrofilik dan lipofilik (Adawiyah, 1998). Menurut Kanazawa et al. (1995), suatu senyawa yang mempunyai polaritas optimum akan mempunyai aktivitas antimikoba maksimum, karena untuk interaksi suatu senyawa antibakteri dengan bakteri diperlukan keseimbangan hidrofilik-lipofilik (HLB : hydrophilic lipophilic balance). Polaritas senyawa merupakan sifat fisik senyawa antimikroba yang penting. Sifat hidrofilik diperlukan untuk menjamin senyawa antimikroba larut dalam fase air yang merupakan tempat hidup mikroba, tetapi senyawa yang bekerja pada membran sel hidrofobik memerlukan pula sifat lipofilik, sehingga senyawa antibakteri memerlukan keseimbangan hidrofilik- lipofilik untuk mencapai aktivitas yang optimal (Branen dan Davidson,

1993).

Tabel 6. Perbandingan aktivitas antibakteri ekstrak biji mentah

Bakteri uji Ekstrak Keterangan

E. coli Pelarut etilasetat Berbeda nyata Pelarut etanol

B. cereus Pelarut etilasetat Berbeda nyata Pelarut etanol

P. aeruginosa Pelarut etilasetat Berbeda nyata Pelarut etanol

S. aureus Pelarut etilasetat Berbeda nyata Pelarut etanol

Senyawa fitokimia yang umum larut dalam etil asetat adalah alkaloid, aglikon, dan glikosida (Houghton dan Raman, 1998). Alkaloid dan glikosida merupakan senyawa yang sudah diketahui memiliki aktivitas antimikroba. Sinergisme dari senyawa fitokimia dalam ekstrak etil asetat diduga lebih mudah berdifusi dan mampu menghambat pertumbuhan bakteri karena memiliki polaritas yang optimum (Naufalin, 2005).

Aktivitas antibakteri ekstrak biji teratai mentah pada masing- masing pelarut lebih baik dari biji kukusnya meskipun secara umum tidak berbeda nyata. Tabel 6, menunjukkan perbandingan aktivitas antibakteri ekstrak biji mentah dari pelarut heksana, etilasetat dan etanol. Berdasarkan analisis ragam, ekstraksi biji teratai mentah dengan pelarut berbeda secara bertingkat menunjukkan pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap aktivitas antibakteri pada keempat bakteri uji. Selanjutnya berdasarkan uji LSD, ekstrak biji teratai mentah dengan pelarut etilasetat berbeda nyata (p<0.05) dengan ekstrak dari pelarut lainnya (Lampiran 7).

(a) (b)

Gambar 10. Penghambatan ekstrak etanol biji teratai mentah terhadap (a) P. aeruginosa; (b) S. aureus

Berdasarkan hasil pengamatan ekstrak etanol menunjukkan aktivitas antimikroba meskipun diameter penghambatannya lebih rendah dari ekstrak etilasetat (Gambar 10). Selain itu, ekstrak etanol biji teratai juga memiliki spektrum yang luas karena dapat menghambat pertumbuhan semua bakteri uji. Diameter penghambatan ekstrak etanol biji teratai mentah pada konsentrasi 30% terhadap Eschericia coli, Bacillus cereus, Staphilococcus aureus, dan Pseudomonas aeruginosa berturut-turut adalah 11.28±0.03 mm, 7.20±0.50 mm, 7.53±0.13 mm, dan 8.00±0.15 mm (Tabel 5). Berdasarkan uji T, perlakuan pemanasan biji teratai terhadap ekstrak etanol tidak berpengaruh nyata (p>0.05) pada aktivitas antibakteri terhadap bakteri uji B. cereus dan S. aureus. Akan tetapi, tidak demikian pada bakteri uji E. coli dan P. aeruginosa, perlakuan pemanasan biji teratai

terhadap ekstrak etanol berpengaruh nyata (p<0.05) dalam menghambat pertumbuhan kedua bakteri uji tersebut (Lampiran 8).

Menurut Ahmad et al. (1998), etanol merupakan pelarut yang lebih baik dibandingkan air dan heksana jika akan mengekstrak komponen antimikroba. Menurut Houghton dan Raman (1998), komponen yang larut dalam etanol adalah glikosida. Diduga aktivitas antibakteri ekstrak etanol disebabkan oleh adanya senyawa glikosida, yaitu saponin. Selain glikosida, senyawa tanin juga larut dalam etanol dan memiliki aktivitas antimikroba.

Etanol merupakan pelarut yang bersifat polar. Menurut Naidu dan Davidson (2000), komponen yang banyak terdapat pada tumbuh-tumbuhan dan bersifat polar antara lain senyawa dari golongan fenolik. Mekanisme komponen antibakteri fenolik umumnya akan berinteraksi dengan protein yang ada pada dinding sel atau sitoplasma melalui ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik. Mekanisme lain kemungkinan adalah dengan mengganggu aktivitas enzim dalam sel.

2. Efektivitas senyawa antimikroba terhadap jenis bakteri uji

Senyawa antimikroba ekstrak biji teratai diuji aktivitasnya menggunakan metode uji difusi sumur terhadap empat jenis bakteri uji. Keempat bakteri uji tersebut adalah Eschericia coli, Bacillus cereus, Staphilococcus aureus, dan Pseudomonas aeruginosa. Dari hasil pengamatan uji difusi sumur ekstrak etilasetat dan etanol, baik biji teratai mentah maupun kukus, memiliki aktivitas antibakteri meskipun dengan diameter penghambatan yang berbeda-beda pada setiap bakteri uji. Akan tetapi ekstrak-ekstrak tersebut memiliki spektrum penghambatan yang luas karena dapat menghambat pertumbuhan keempat bakteri uji yang masing- masing mewakili jenis bakteri Gram positif dan Gram negatif. Menurut Ray (2001), senyawa antimikroba yang memiliki spektrum penghambatan yang luas lebih diinginkan dalam pengawetan bahan pangan, karena senyawa antimikroba dapat secara efektif menghambat semua jenis

mikroorganisme yang bersifat merusak ataupun patogen pada bahan pangan yang biasanya berupa bakteri, kapang, dan khamir.

Gambar 11 menunjukkan diameter penghambatan pada keempat jenis bakteri uji oleh ekstrak teratai pada konsentrasi 30%. Bakteri yang paling sensitif terhadap senyawa antibakteri pada ekstrak adalah Eschericia coli, terutama oleh ekstrak etilasetat mentah. Sedangkan bakteri lainnya memiliki diameter penghambatan yang lebih rendah baik oleh ekstrak biji teratai mentah maupun kukusnya.

23,1 18,2 11,28 8,2 12,85 7,38 8 5,25 11,4 4,63 7,2 6,63 12,83 8,75 7,53 7,83 0 5 10 15 20 25 ekstrak etil asetat biji mentah ekstrak etil asetat biji kukus ekstrak etanol biji mentah ekstrak etanol biji kukus D ia m e te r pe ng ha m ba ta n (m m )

E. coli P.aeruginosa B. cereus S. aureus

Gambar 11. Perbandingan penghambatan ekstrak pada jenis bakteri uji

Eschericia coli merupakan bakteri Gram negatif. Bakteri Gram positif dan Gram negatif memiliki ketahanan yang berbeda terhadap senyawa antimikroba. Bakteri Gram negatif umumnya sensitif terhadap senyawa antimikroba yang bersifat polar karena dinding sel bakteri Gram negatif bersifat polar sehingga lebih mudah dilewati oleh senyawa antibakteri yang bersifat polar. Sebaliknya bakteri Gram positif lebih sensitif terhadap senyawa antibakteri yang bersifat nonpolar. Kesensitifan bakteri Gram positif terhadap senyawa antimikroba yang bersifat nonpolar disebabkan komponen dasar penyusun dinding sel bakteri Gram positif adalah peptidoglikan yang salah satu penyusunnya adalah asam amino

alanin yang bersifat hidrofobik (nonpolar). Senyawa antimikroba dapat bereaksi dengan komponen fosfolipid dari membran sel sehingga mengakibatkan lisis sel (Branen dan Davidson, 1993).

Kesensitifan bakteri uji berdasarkan hasil penelitian ini, berkaitan dengan senyawa aktif antibakteri dari biji teratai yang diduga bersifat semipolar sampai polar. Hal ini ditunjukkan dari penghambatan pertumbuhan bakteri hasil uji difusi sumur hanya terjadi pada ekstrak dengan pelarut yang bersifat semi polar (etilasetat) dan polar (etanol).

Penghambatan pertumbuhan bakteri Gram positif dan Gram negatif oleh ekstrak etil asetat pada uji difusi sumur lebih besar dibandingkan ekstrak etanol. Hal ini disebabkan oleh ekstrak etil asetat yang bersifat semipolar, sehingga memiliki dua sifat kelarutan yaitu hidrofilik dan hidrofobik. Seperti dijelaskan sebelumnya, perbedaan bakteri Gram positif dan Gram negatif terletak pada penyusun dinding selnya, yang masing- masing bersifat nonpolar dan polar. Ekstrak etilasetat mampu berdifusi pada dinding sel kedua jenis bakteri tersebut dengan efektivitas lebih baik dibandingkan ekstrak etanol yang hanya memiliki satu kelarutan (lebih polar).

Naufalin (2005) melaporkan bahwa mekanisme aktivitas antibakteri ekstrak etilasetat bunga kecombrang dalam menghambat bakteri patogen maupun perusak pangan adalah senyawa antimikroba merusak dinding sel dan masuk melewati dinding sel bakteri. Selanjutnya penetrasi dan merusak bagian membran sitoplasma dapat menyebabkan terganggunya permeabilitas, terjadi kebocoran isi sel dan mengganggu pembentukan asam nukleat. Bakteri yang sensitif terhadap ekstrak antibakteri dapat terjadi kerusakan pada dinding sel dan membran sitoplasma, sedangkan bakteri yang resisten kerusakan terjadi pada dinding sel.

Struktur dinding sel bakteri Gram positif berbeda dengan dinding sel Gram negatif. Pada bakteri Gram positif dinding selnya mengandung 90% peptidoglikan serta lapisan tipis asam teikoat dan asam teikuronat yang bermuatan negatif. Pada bakteri gram negatif, lapisan dinding selnya

mengandung 5-10% peptidoglikan, selebihnya terdiri dari protein, lipopolisakarida dan lipoprotein. Lapisan ini merupakan lapisan lipid kedua yang disebut lipopolisakarida (LPS). Lapisan ini tidak tersusun semata-mata oleh fosfolipid saja, seperti yang terdapat pada membran sitoplasma, tetapi juga mengandung polisakarida dan protein (Madigan et al., 2003).

Dinding sel bakteri Gram negatif mengandung tiga polimer yang terletak di luar lapisan peptidoglikan yaitu lipoprotein, porin matriks, dan lipopolisakarida. Menurut Helender (1998), ekstrak etanol dan etilasetat dapat masuk ke dalam membran plasma bakteri Gram negatif melalui protein porin. Bakteri Gram negatif memiliki susunan molekuler membran luar yang mengandung lipopolisakarida dan memiliki selaput khusus berupa molekul protein (porin) yang memudahkan difusi pasif senyawa hidrofilik dengan berat molekul rendah (Parhusip, 2006).

Menurut Moat et al. (2002), porin pada S. typhimurium dan E. coli yaitu OmpC, D, dan F dan PhoE, merupakan protein trimer yang menembus kedua permukaan membran luar. Protein ini membentuk pori- pori yang relatif tidak khusus yang memungkinkan difusi bebas zat-zat hidrofil kecil menembus membran. Porin dari spesies yang berbeda mempunyai batas berdifusi yang berbeda, dari bobot molekul 600 kda pada E. coli sampai lebih dari 3000 kda pada P. aeruginosa. Semakin tinggi berat molekul protein semakin sulit untuk menembus permukaan membran luar (Jawetz et al, 1996).

Berdasarkan Gambar 11, diameter penghambatan berbagai ekstrak biji teratai terhadap P. aeruginosa lebih rendah dibandingkan E. coli. Menurut Robinson (2000), P. aeruginosa memiliki kemampuan untuk memproduksi berbagai jenis enzim ekstraseluler yang dapat melindungi bakteri ini dari beberapa jenis senyawa antimikroba. Salah satu produk ekstraselulernya adalah mucoid exopolysaccharide yang berbahan dasar alginat dan berfungsi sebagai zat proteksi sel dari senyawa antibiotik dan desinfektan. Hal ini diduga menjadi penyebab rendahnya penghambatan berbagai ekstrak biji teratai terhadap Pseudomonas aeruginosa.

Dokumen terkait