• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Prediksi Distribusi Laju Penyebaran Sulfur Dioksida (SO2)dan Debu dari Kawasan Industri (Studi Kasus di Kota Cilegon)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Prediksi Distribusi Laju Penyebaran Sulfur Dioksida (SO2)dan Debu dari Kawasan Industri (Studi Kasus di Kota Cilegon)"

Copied!
297
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL PREDIKSI DISTRIBUSI

LAJU PENYEBARAN SULFUR DIOKSIDA (SO

2

)

DAN DEBU DARI KAWASAN INDUSTRI

(STUDI KASUS DI KOTA CILEGON)

YAYAT RUHIAT

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul:

MODEL PREDIKSI DISTRIBUSI LAJU PENYEBARAN

SULFUR DIOKSIDA (SO

2

) DAN DEBU DARI KAWASAN

INDUSTRI (STUDI KASUS DI KOTA CILEGON)

Merupakan gagasan atau hasil disertasi saya sendiri, dengan bimbingan para Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Mei 2009

(3)

YAYAT RUHIAT. Predictive Distribution Model of Dispersion Sulphur dioxide (SO2) and Dust of Industrial Area (Case Study at Cilegon City). Under

supervision of Ahmad Bey, Imam Santoso and Leopold Oscar Nelwan.

This study aims to examine the characteristics of local air; analyze the concentration of air pollution emitted from factories located in an industrial area; and predict air pollution distribution the city of Cilegon.Several sequential steps of analysis are carried out which include: (1) calculation of high-layer pollutant mixing in the atmosphere (mixing height), (2) analysis of emission of air pollutant from the source point using screen3 model; (3) analysis of distribution of air pollutant from the industrial area using general transport equation of unsteady flow. Based on climatology, Pasquill stability criterian indicate that stability profile in the region ranges from A (very unstable) to E (slightly stable). Pollutant distribution from the industry depends on the height of the chimney. The higher the chimney is, the further the distribution of the pollutant as a result of emission is expected to be. The highest concentration of SO2 is found in the emission of

industry area, with atmosfheric stability class A (very unstable), whereas furthest distance occurred stability E class (slightly stable). The distribution of SO2

extends towards Tamansari village of Pulomerak District. From 24 sampling points, the highest concentration of 55,75 μg/m3 occurred in the ASDP Merak. The levels and patterns of air pollutant distribution in the area need to be taken into account, particularly in the interest of protecting public healthlife from the impacts caused by the pollutant.

Keywords: Prediction model, Sulphur dioxide (SO2), characteristics of local air,

(4)

(SO2) dan Debu dari Kawasan Industri (Studi Kasus di Kota Cilegon). Dibimbing oleh Ahmad Bey, Imam Santoso dan Leopold Oscar Nelwan.

Di Kota Cilegon telah berdiri industri sebanyak 104 perusahaan besar, yang menyebar di tiga zona kawasan. Zona KS 44 perusahaan, zona Pulomerak 39 perusahaan dan zona Ciwandan 21 perusahaan. Bahan bakar yang digunakan oleh pabrik di kawasan industri tersebut adalah High Speed Diesel, Marine Fuel Oil,

Pyrolisis Fuel Oil, solar, residu, bahan bakar gas dan batubara. Bahan bakar dengan kapasitas besar yang digunakan oleh pabrik di kawasan industri adalah batubara. Kapasitas terbesar digunakan oleh Unit Bisnis Pembangkitan (UBP) Suralaya, dengan kisaran 170 – 255 ton/jam. Sementara itu tinggi cerobong yang digunakan oleh pabrik bervariasi antara 10 sampai 275 meter. Beragamnya bahan bakar dan tinggi cerobong yang digunakan, diduga akan berimplikasi pada berbagai jenis dan sebaran polutan yang diemisikan.

Metode yang digunakan untuk menganalisis emisi polutan di kawasan industri menggunakan model screen3. Sementara itu untuk menduga sebaran polutan dari kawasan industri menggunakan persamaan umum transpor untuk aliran unsteady. Pola sebaran dianalisis dalam periode tiga bulanan.

Untuk menjelaskan karakteristik udara Kota Cilegon digunakan data iklim stasiun meteorologi Serang, periode pengamatan Tahun 2001 sampai Tahun 2007. Hasil analisis mawar angin menunjukkan pola yang bervariasi antara pagi, siang, sore dan malam hari. Pada bulan Nopember sampai Maret umumnya angin bergerak dari Barat ke Timur, sedangkan pada bulan April sampai Oktober umumnya angin bergerak dari Utara ke Selatan. Sementara itu kemantapan (stabilitas) atmosfer diperoleh bahwa pada pagi, siang, sore dan malam hari mempunyai variasi antara A (sangat tidak stabil) sampai E (agak stabil). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi udara di Kota Cilegon berada antara labil mantap sampai agak stabil, sesuai dengan kriteria kemantapan udara Pasquill.

Hasil running model screen3 pada berbagai stabilitas atmosfer menunjukaan bahwa: (1) semakin tinggi cerobong yang digunakan, semakin jauh jarak sebaran dengan konsentrasi sulfur dioksida (SO2) dan debu yang diemisikan semakin kecil; dan (2) konsentrasi tertinggi yang diemisikan dari cerobong terjadi pada stabilitas A (sangat tidak stabil), dengan jarak sebaran minimum, sementara pada stabilita E (agak stabil) konsentrasi yang diemisikan minimum, tapi jarak sebarannya maksimum. Hasil analisis untuk setiap kondisi stabilitas atmosfer menunjukkan bahwa umumnya penyebaran SO2 dan debu akan terkumpul di sekitar jarak maksimum dari sumber emisi, kemudian akan menyebar dengan konsentrasi yang menurun sampai jarak yang cukup jauh dari sumbernya.

(5)

pada unit-6 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 1,079 dan pada unit-7 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 0,715. Berdasarkan syarat nilai z-score, untuk pencemar SO2 pada unit-1, unit-2, unit-3, unit-5, unit-6, dan unit-7 aplikasi model termasuk pada kategori ‘hasil yang dapat diterima’ (acceptable performance). Sementara itu pada unit-4 aplikasi model termasuk pada kategori ‘hasil yang diragukan’ (questionable performance). Untuk kawasan Krakatau Steel konsentrasi SO2 yang diemisikan sebagai berikut: pada unit BSP diperoleh rata-rata hasil model sebesar 5,501 μg/m3 dengan simpangan baku 2,075 pada unit

SSP-1 rata-rata hasil model sebesar 5,419 μg/m3 dengan simpangan baku 2,085 pada unit SSP-2 rata-rata hasil model sebesar 5,339 μg/m3 dengan simpangan baku 2,095 pada unit DRP-2 rata-rata hasil model sebesar 56,026 μg/m3 dengan simpangan baku 20,621 dan pada unit HYL rata-rata hasil model sebesar 146,751

μg/m3 dengan simpangan baku 29,230. Pada unit BSP diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 0,610 pada unit SSP-1 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 0,461 pada SSP-2 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 0,342 pada unit DRP-2

diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 5,522 dan pada unit HYL diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 1,435. Berdasarkan syarat nilai z-score, untuk pencemar SO2 pada unit BSP, unit SSP-1, unit SSP-2, dan unit HYL aplikasi model termasuk pada kategori ‘hasil yang dapat diterima’ (acceptable performance). Akan tetapi pada unit DRP-2 aplikasi model termasuk pada ketgori ‘hasil yang diragukan’ (questionable performance). Hasil verifikasi pada berbagai stabilitas atmosfer menunjukkan bahwa emisi pencemar udara SO2 hasil pengukuran pada umumnya masih memenuhi kisaran angka yang dihasilkan model. Secara umum hasil analisis sebaran emisi SO2 di kawasan industri dengan model screen3 termasuk pada kategori hasil yang dapat diterima (acceptable performance).

Konsentrasi debu yang diemisikan dari UBP Suralaya pada unit-1 sampai unit-4 diperoleh rata-rata hasil model sebesar 106,980 μg/m3 dengan simpangan baku 27,446. Pada unit-1 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 1,204 pada unit-2 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 3,887 pada unit-3 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 1,781 dan pada unit-4 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 2,182. Kemudian pada unit-5 sampai unit-7 diperoleh rata-rata hasil model sebesar 106,364 μg/m3 dengan simpangan baku 20,079. Pada unit-5 diperoleh nilai mutlak

z-score sebesar 3,415 pada unit-6 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 1,807 dan pada unit-7 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 5,428. Berdasarkan syarat nilai

z-score, untuk pencemar debu pada unit-1, unit-3, dan unit-6 aplikasi model termasuk pada kategori ‘hasil yang dapat diterima’ (acceptable performance). Kemudian pada unit unit-4 aplikasi model termasuk pada ketgori ‘hasil yang diragukan’ (questionable performance), sedangkan pada unit-5 dan unit-7 aplikasi model termasuk pada kategori ‘hasil yang tidak dapat diterima’ (unacceptbale performance). Sementara itu konsentrasi debu yang diemisikan dari kawasan Krakatau Steel sebagai berikut: pada unit BSP diperoleh rata-rata hasil model sebesar 26,052 μg/m3 dengan simpangan baku 9,533 pada pada unit SSP-1 rata-rata hasil model sebesar 26,025 μg/m3 dengan simpangan baku 9,333 pada unit

(6)

diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 0,893 pada unit DRP-2 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 0,906 dan pada unit HYL diperoleh nilai mutlak z-score

sebesar 2,197. Berdasarkan syarat nilai z-score, untuk emisi pencemar debu pada unit SSP-2, dan unit DRP-2 aplikasi model termasuk pada kategori ‘hasil yang dapat diterima’ (acceptable performance). Sementara itu pada unit HYL aplikasi model termasuk pada ketgori ‘hasil yang diragukan’ (questionable performance) dan pada unit BSP dan SSP-1 aplikasi model termasuk pada kategori ‘hasil yang tidak dapat diterima (unacceptable performance). Secara umum hasil model

screen3 untuk emisi debu di kawasan industri termasuk pada kategori hasil yang diragukan (questionable performance). Berdasarkan hal tersebut, maka polutan yang dikaji dengan menggunakan persamaan umum transpor untuk aliran

unsteady adalah SO2.

Hasil analisis model berdasarkan arah angin dominan bahwa SO2 menyebar dari Barat ke Timur sesuai arah angin, konsentrasi tertinggi terjadi di Desa Tamansari Kecamatan Pulomerak. Lokasi yang menunjukkan konsentrasi SO2 tinggi terjadi di ASDP Merak. Hasil model berada pada kisaran 41,116 – 51,058 μg/m3 sedangkan hasil pengukuran sebesar 55,75 μg/m3. Jarak lokasi tersebut dari UBP Suralaya berkisar 3 km. Sesuai dengan arah penyebaran SO2 tersebut, maka penduduk di sekitar lokasi ASDP Merak paling berpeluang untuk mengalami gangguan kesehatan.

Untuk menilai kehandalan model penyebaran pencemar udara yang telah digunakan, maka hasil dari model dibandingkan dengan hasil pengukuran. Hasil verifikasi menunjukkan bahwa secara umum konsentrasi SO2 di 24 titik sampel di Kota Cilegon hasil model selalu lebih kecil dari hasil pengukuran. Perbedaan hasil model dengan hasil pengukuran, disebabkan model hanya memperhitungkan polutan yang diemisikan dari kawasan industri yang memiliki cerobong di atas 40 meter. Polutan yang diemisikan dari kendaraan bermotor pada studi ini tidak diperhitungkan. Hasil pengukuran SO2 untuk pengukuran 24 jam di semua lokasi secara kualitatif masih jauh berada di bawah baku mutu yang ditetapkan dalam PP 41/1999 sebesar 365 μg/m3.

(7)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB secara wajar.

(8)

MODEL PREDIKSI DISTRIBUSI

LAJU PENYEBARAN SULFUR DIOKSIDA (SO

2

)

DAN DEBU DARI KAWASAN INDUSTRI

(STUDI KASUS DI KOTA CILEGON)

YAYAT RUHIAT

DISERTASI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Klimatologi Terapan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Zainal Alim Mas’ud, DEA Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Mohamad Yani, M.Sc

(10)

Sulfur Dioksida (SO2) dan Debu dari Kawasan Industri (Studi Kasus di Kota Cilegon)

N a m a : Yayat Ruhiat

NRP : G261040011

Disetujui, Komisi Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey, M.Sc Ketua

Dr. Ir. Imam Santoso, M.S Dr. Leopold Oscar Nelwan, STP, M.Si Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Klimatologi Terapan

Prof. Dr. Ir. Handoko, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(11)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., atas segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2005 ini ialah pencemaran udara, dengan judul Model Prediksi Distribusi Laju Penyebaran Sulfur Dioksida (SO2)

dan Debu dari Kawasan Industri (Studi kasus di Kota Cilegon). Tiga perempat dari seluruh kegiatan ekonomi Kota Cilegon berbasis pada sektor sekunder, dengan industri pengolahan sebagai penggerak utama.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey, M.Sc sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Imam Santoso, MS dan Dr. Leopold Oscar Nelwan, STP, M.Si sebagai anggota Komisi Pembimbing, atas bimbingan, arahan, saran dan bantuan sejak dalam persiapan sampai penulisan disertasi ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan Ketua Program Studi Klimatologi Terapan, yang telah menerima penulis untuk mengikuti Program S3 pada Program Studi tersebut pada Tahun 2004. Selanjutnya terimakasih juga penulis sampaikan kepada Rektor, Dekan FKIP dan Ketua Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang telah memberikan kesempatan kepada penulis, untuk studi lanjut pada program S3. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Bapedalda Banten, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pertambangan dan Energi Kota Cilegon beserta staf dan Kepala Bapeda Cilegon beserta staf, Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika Kabupaten Serang, serta Kepala Pusdiklat Krakatau Steel yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, istri dan anak serta seluruh keluarga, atas segala do’a dan kasih sayangnya.

Akhirnya, penulis mohon maaf apabila terdapat kekurangan dalam penulisan disertasi ini. Perhatian dan bimbingan serta dorongan yang telah diberikan, sangat berarti bagi penulis. Semoga penelitian ini, menjadi sesuatu yang berguna.

(12)

Tasikmalaya, Jawa Barat pada tanggal 11 Agustus 1964 sebagai anak ketujuh dari ayah bernama Rukandi dan ibu bernama Urminah. Pendidikan sarjana ditempuh di jurusan pendidikan Fisika, Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FPMIPA) Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Muhammadiyah Jakarta, lulus pada Tahun 1991. Pada Tahun 1998, penulis mengikuti pendidikan pra S2 selama satu tahun dan diterima sebagai mahasiswa S2 Fisika pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia dan memperoleh gelas Magister Sains (MSi) pada Tahun 2002. Kesempatan untuk melanjutkan ke progam doktor pada program studi Agroklimatologi (sekarang: Klimatologi Terapan) Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh Tahun 2004 dan menamatkannya pada Tahun 2009. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada jurusan pendidikan Fisika IKIP Muhammadiyah Jakarta (sekarang Universitas Muhammadiyah Hamka) sejak Tahun 1991. Pada Tahun 2002 sampai sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar pada program studi Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta).

(13)

DAFTAR TABEL ………... xii

DAFTAR GAMBAR ………... xii

DAFTAR LAMPIRAN ………... xvii

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ………... 1

1.2 Kerangka Pemikiran ………... 2

1.3 Tujuan Penelitian ……… 4

1.4 Luaran Penelitian ……… 4

1.5 Kebaruan (novelty) ...………... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer ……….. 6

2.2 Pencemar Udara ………. 7

2.2.1 Partikulat ………. 8

2.2.2 Senyawa Sulfur ….………... 9

2.3 Sumber Pencemar Udara ……… 11

2.4 Pencemaran Udara ……….. 13

2.5 Penyebaran Pencemar Udara ……… 16

2.6 Faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Polutan ……….. 17

2.6.1 Stabilitas Atmosfer ………. 19

2.6.2 Turbulensi ………... 21

2.6.3 Sirkulasi Angin Lokal ………. 23

2.6.4 Kondisi Topografi ………... 27

2.7 Model Prediksi ………... 27

2.7.1 Model Dispersi ……… 27

2.7.2 Sistem Peramalan Kualitas Udara ……….. 30

2.7.3 Pengembangan Model ……… 31

2.7.4 Aplikasi Model untuk Mengevaluasi Konsentrasi Polutan …. 34 III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ……… 39

3.2 Prosedur Penelitian ………. 39

3.3 Data dan Peralatan ……….. 41

(14)

3.4 Analisa Data ………... 42

3.4.1 Analisis Karakteristik cuaca di Kota Cilegon ……….. 42

3.4.2 Analisis Sebaran Polutan di Kawasan Industri ……… 44

3.4.3 Prediksi Sebaran Polutan pada suatu Wilayah ... 46

3.5 Pemantauan Kualitas Udara ……… 49

3.6 Pembandingan Hasil Program dengan Hasil Pengukuran ………….. 51

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Cuaca di Kota Cilegon ……… 52

4.2 Pencemaran Udara di Kawasan Industri ………. 56

4.2.1 Kawasan Industri ... 56

4.2.2 Aplikasi Model Screen3 ……….. 60

4.2.3 Sebaran Polutan di Kawasan Industri ... 62

4.3 Hasil Pengukuran Emisi di Kawasan Industri ………... 68

4.3.1 Iklim ... 68

4.3.2 Emisi Pencemar Udara ...……….. 69

4.4 Validasi Model Emisi ………... 75

4.5 Prediksi Sebaran Polutan di Kota Cilegon ………... 81

4.5.1 Pemecahan Model Prediksi ……… 81

4.5.2 Aplikasi Model di Kota Cilegon ………... 84

4.5.3 Sebaran SO2 di Kota Cilegon ………... 91

4.6 Prediksi Sebaran SO2 di Kota Cilegon ………... 96

4.7 Validasi Model Sebaran SO2 ... 98

4.8 Laju Penyebaran SO2 di Kota Cilegon ………... 101

V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ………. 107

5.2 Saran ………... 110

DAFTAR PUSTAKA ……….. 112

(15)

1. 2. 3. 4.

Gas-gas tidak tetap dalam atmosfer ……… Susunan gas di atmosfer pada suhu dan tekanan udara baku ... Jenis industri dan bahan pencemar udara yang diemisikan ... Beberapa jenis pencemar udara dan pengaruhnya terhadap manusia

6 7 8 15 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.

Ukuran cerobong pabrik pengolahan besi dan peleburan baja di PT Krakatau Steel ………. Kondisi stabilitas berdasarkan Richardson Number (Ri) ... Nilai p untuk model profil angin sebagai pengaruh kekasapan permukaan ... Hubungan antara parameter n dengan kondisi stabilitas atmosfer ... Jenis dan macam data yang diperlukan ………... Kondisi atmosfer dalam berbagai stabilitas ... Hubungan antara kondisi stabilitas dan nilai konstanta n ... Nama pabrik yang menyebarkan polutan di kawasan industri …….... Variasi suhu tahunan ………... Kemantapan udara (stabilitas) Pasquill ………... Ketinggian lapisan pencampuran ……….... Data iklim Kota Cilegon ………. Jenis dan alokasi pemakaian bahan bakar ... Jarak sebaran SO2 dan Debu dengan konsentrasi maksimum di zona Pulomerak ... Jarak sebaran SO2 dan Debu dengan konsentrasi maksimum di zona KS ... Jarak sebaran SO2 dan Debu dengan konsentrasi maksimum di zona Ciwandan ... Hasil pengukuran iklim mikro di sekitar UBP Suralaya ... Hasil pengukuran SO2 di cerobong UBP Suralaya ... Hasil pengukuran emisi debu di cerobong UBP Suralaya ... Hasil pengukuran emisi SO2 di lokasi PT KS ...

(16)

27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.

Hasil pengukuran dan model emisi SO2 dan Debu di PT KS ………. Angka hasil pendugaan menurut model screen3 dan pengukuran di UBP Suralaya ... Difusivitas SO2 terhadap udara ……….. Hasil pengukuran dan model sebaran SO2 di Kota Cilegon ………... Penggunaan lahan di Kota Cilegon ... Luas daerah dan pembagian wilayah ... Pabrik di kawasan industri Cilegon ...

77 79 86 100 120 120 121

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. 2. 3. 4. 5.

Kerangka pemikiran model prediksi ………... Konsentrasi TSP dan PM10 dan Debu ………. Konsentrasi SO2 di Kota Cilegon ... Stabilitas atmosfer ditinjau dari laju penurunan suhu ………... Sketsa aliran turbulen di atas permukaan yang halus ………...

3 10 11 20 22 6. Pola dispersi pada permukaan ………. 24 7. Profil kecepatan angin di permukaan kota ………... 25 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.

Model penyebaran polutan dari sumber titik berdasar sebaran Gauss Wilayah studi ………... Diagram alir prosedur penelitian ………... Lokasi pengukuran pencemar udara ……….... Mawar angin (windrose) Cilegon ……… Bentuk cerobong ………. Model input data pada model screen3 ... Konsentrasi maksimum SO2 sebagai fungsi jarak ...

Contour sebaran SO2 dari kawasan industri ... Hasil pengukuran emisi SO2 di Cerobong UBP Suralaya …... Hasil pengukuran emisi Debu di Cerobong UBP Suralaya ... Hasil pengukuran emisi SO2 di PT KS ………...

(17)

22. 23.

24.

25. 26.

27. 28. 29.

30. 31. 32. 33.

Volume kontrol sekitar nodep ……….... Sebaran SO2 dan Debu pada 24 titik sampel di Kota Cilegon periode 2005 – 2007 ... Interval konsentrasi SO2 pada 24 titik sampel di Kota Cilegon periode 2005 – 2007 ... Grid Kota Cilegon ... Sebaran SO2 hasil model dan hasil pengukuran di 24 titik sampel pada kecepatan angin 1 – 3 m/s ... Sebaran SO2 di Kota Cilegon ... Perbedaan hasil model dan hasil pengukuran ... Sebaran SO2 pada periode tiga bulanan saat ada sumber dan tidak ada sumber dengan kecepatan angin 2,5 m/s ... Pola sebaran SO2 di Kota Cilegon ... Sebaran SO2 dari kawasan industri ... Sebaran debu dari kawasan industri ... ... Sebaran SO2 di Kota Cilegon pada berbagai stabilitas atmosfer (skenario ada sumber) ...

82

85

86 88

95 95 99

103 105 128 131

(18)

Singkatan Nama

Pemakaian pertama kali pada

halaman

PT Perusahaan Terbatas ………... 1

KS Krakatau Steel ………. 1

BUMN Badan Usaha Milik Negara ………. 1

DLHPE Dinas Lingkungan Hidup Pertambangan dan Energi 1 UKMO United Kingdom Meteorological Office ... 2

UMPL Unifed Model for Poland Area ... 2

ISCST3 Industrial Source Complex Short-Term3 ………….... 2

HSD High Speed Diesel ……….. 2

MFO Marine Fuel Oil ………... 2

PFO Pyrolisis Fuel Oil ……… 2

UBP Unit Bisnis Pembangkitan ……….. 2

PT-RMS Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer ... 6

AGL Above Ground Level ... 6

KLH Kementrian Lingkungan Hidup ……….. 8

BAPEDALDA Badan Pengendali Dampak Lingkungan Daerah …… 9

PP Peraturan Pemerintah ……….. 11

WHO World Health Organization ……… 12

GEP Good Engineering Practice ………. 16

PLTU Pembangkit Listrik Tenaga Uap ………. 16

CFD Computational Fluid Dynamic ... 17

EDLA Evaluasi Dosis Lepasan Atmosfir ... 18

OSPM Operational Street Pollution Model ... 18

RASS Radio Acoustic Sounding Sistem ………... 19

ELR Environmental Lapse Rate ……….. 20

IBL Internal Boundary Layer ………. 24

NSW-EPA New South Wales Environment Protection Authority 28 TAPM The Air Pollutan Model ... 29

IOA Index of Agreement ... 29

SIP Strongly-Implicit-Procedure ... 29

EPAV Environment Authority of Victoria ……… 30

FVM Finit Volum Method ………... 31

PGT Pasquill-Gifford-Turner ……….. 36

PTM Pasquill-Turner Method ... 36

US-EPA United States-Environmental Protection Agency …... 36

DAUMOD The Atmospheric Dispersion Model ………... 37

(19)

BMG Badan Meteorologi dan Geofisika ………. 40

TDMA Tri-Diagonal Matrix Algorithm ……….. 48

KDL Krakatau Daya Listrik ………. 56

BBG Bahan Bakar Gas ……… 58

CEM Continuous Emitions Monitoring ………... 59

SSP Steel Slab Plant ………... 59

DRP Direct Reduction Plant ……… 59

BSP Billet Steel Plant ………. 59

WRM Wire Rod Mill ………. 59

HSM Hot Strip Mill ……….. 59

PGI Perusahaan Gas Indonesia ……….. 60

CRM Cold Rolling Mill ……… 60

KWH Kilowatt hour ……….. 60

Lambang Nama Pemakaian pertama kali pada halaman SO2 Sulfur dioksida ………... 1

CO Karbon monoksida ………. 1

NO2 Nitrogen dioksida ………... 1

Pb Timbal ……… 1

H2O Air ………... 6

CO2 Karbon dioksida ………. 6

O3 Ozon ………... 6

NH3 Ammonia ………... 7

H2S Hidrogen sulfur ………... 7

N2 Nitrogen ………. 7

O2 Oksigen ………... 7

Ar Argon ………. 7

Ne Neon ………... 7

He Helium ………... 7

Kr Kripton ………... 7

H Hidrogen ……… 7

CH4 Metana ………... 7

NOx Oksida nitrogen ………... 7

(20)

SOx Oksida sulfur ... 9

NOx Nitrogen oksida ……….. 12

CO-Hb Karboksi-hemoglobin ... 14

u Kecepatan angin ... 25

z Ketinggian ... 25

p Fungsi stabilitas atmosfer ... 25

Ф Konsentrasi pencemar ……… 32

Tensor tegangan viskositas ……… 32

μ Viskositas dinamik ………. 33

ρ Kerapatan udara ………. 33

g Percepatan gravitasi ………... 33

v Viskositas kinematis ………. 33

C Konsentrasi polutan ... 35

Q Jumlah emisi ... 35

y, z Parameter penyebaran plume ... 35

uz Kecepatan angin pada ketinggian z ………... 35

Г Difusivitas pencemar ... 46

p Tekanan di suatu tempat ... 47

pc Tekanan kritis pencemar ... 47

T Temperatur di suatu tempat ... 47

Tc Temperatur kritis ... 47

z z-score ... 51

VR Nilai referensi ... 51

Vs Nilai hasil simulasi ... 51

U Nilai penyimpangan yang diterima ... 51

Sh Simpangan baku ... 51

n Jumlah nilai hasil simulasi ... 51

DAFTAR LAPMPIRAN

Halaman 1.

2. 3. 4.

Wilayah dan Kawasan Industri Kota Cilegon ………... Analisis Distribusi Laju Penyebaran Pencemar Udara …………... Hasil Running Screen3 ... Sebaran SO2 di Kota Cilegon ……….

(21)

1.1 Latar belakang

Aktivitas industri dapat memberikan kontribusi kenaikan kadar polutan, seperti gas dan partikulat ke dalam lingkungan udara atmosfer sehingga dapat menurunkan mutu udara ambien. Peningkatan aktivitas industri akan diikuti dengan peningkatan penggunaan bahan bakar, misalnya batubara, minyak bumi ataupun sumber energi lainnya. Beragamnya penggunaan bahan bakar yang digunakan, akan berimplikasi pada jenis penyebaran pencemar udara.

Cilegon dikenal sebagai kota baja karena di wilayah ini berdiri PT Krakatau Steel (KS), yang merupakan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pengolah baja terbesar di Indonesia. Lahan yang digunakan untuk industri seluas 2983.5 km2. Di atas lahan tersebut, telah berdiri industri sebanyak 104 perusahaan besar, yang menyebar di tiga zona kawasan. Zona KS 44 perusahaan, zona Pulomerak 39 perusahaan dan zona Ciwandan 21 perusahaan (Data Kota Cilegon, 2004). Masing-masing industri tersebut, menggunakan bahan bakar dan tinggi cerobong yang berbeda. Banyaknya industri dengan berbagai penggunaan bahan bakar dan tinggi cerobong yang berbeda, akan berimplikasi pada berbagai jenis dan sebaran polutan yang menyebar di Kota Cilegon.

Berdasarkan hasil pengujian udara emisi, yang dilakukan di beberapa pabrik di kawasan industri serta hasil analisis udara ambien di beberapa tempat di wilayah Kota Cilegon, yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Pertambangan dan Energi (DLHPE) diketahui bahwa jenis pencemar udara yang menyebar adalah: nitrogen dioksida (NO2), partikel/debu, sulfur dioksida (SO2),

karbon monoksida (CO), hidrokarbon, dan timbal (Pb).

Upaya untuk mengetahui konsentrasi polutan, dilakukan pengukuran secara periodik pada setiap titik sampel, sedangkan untuk menduga penyebarannya dilakukan dengan model. Model yang dibuat berkaitan dengan penyebaran pencemar udara, merupakan suatu upaya untuk memberikan masukan sekaligus informasi dini mengenai penyebaran pencemar udara pada suatu area. Osrodka, Wojtylak dan Krajny (2001) membuat model prakiraan polusi udara dari industri dan prakiraan cuaca secara numerik. Model untuk prakiraan polusi udara

(22)

dibangun dengan menggunakan UKMO (United Kingdom Meteorological Office), sedangkan prakiraan cuaca menggunakan UMPL (Unifed Model for Poland Area). Model tersebut diaplikasikan untuk memprakirakan sebaran SO2 dan particulate

matter periode 1999 – 2000 pada 24 titik sampel. Hasil penelitian menunjukkan selama pengukuran 24 jam, nilai hasil model berada pada kisaran hasil pengukuran. Berkaitan dengan penyebaran polutan dari kawasan industri Cilegon, Raharjo (1999) melakukan penelitian di PT Krakatau Steel, untuk memprediksi penyebaran SO2 dari beberapa sumber. Model yang digunakan menerapkan

program ISCST3 (Industrial Source Complex Short Term3).

Untuk menduga sebaran polutan di Kota Cilegon, pada kajian ini menggunakan model dispersi untuk aliran unsteady. Model ini dibangun untuk menganalisis sebaran pencemar udara dari kawasan industri. Emisi polutan dari cerobong pabrik dianalisis dengan menggunakan model screen3. Sementara itu analisis angin dominan menggunakan program WrPlot. Pemilihan Kota Cilegon sebagai wilayah kajian untuk aplikasi model, didasarkan pada luasnya kawasan industri di kota tersebut. Secara geografis Kota Cilegon berbatasan dengan laut, hal ini akan berimplikasi pada karakteristik cuaca, sehingga diasumsikan akan berdampak pada pola penyebaran pencemar udara di wilayah tersebut.

1.2 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada sub-bab latar belakang, disusunlah kerangka pemikiran kajian model prediksi distribusi penyebaran pencemar udara seperti yang disajikan pada Gambar 1. Berdasarkan Gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa banyaknya industri dengan berbagai bahan bakar dan tinggi cerobong, akan berimplikasi pada jenis polutan dan jarak sebaran. Proses penyebaran polutan pada suatu wilayah, dipengaruhi oleh stabilitas atmosfer daerah setempat.

Bahan bakar yang digunakan oleh pabrik di kawasan industri Cilegon terdiri dari High Speed Diesel (HSD), Marine Fuel Oil (MFO), Pyrolisis Fuel Oil

(23)

dengan kapasitas pemakaian pada unit 1 sampai 4 masing-masing sebesar 170 ton/jam, sedangkan pada unit 5 sampai 7 masing-masing sebesar 255 ton/jam. Berdasarkan besarnya pemakaian bahan bakar batubara oleh pabrik di kawasan industri, maka polutan yang dikaji dalam penelitian ini adalah SO2 dan debu.

Tinggi cerobong yang digunakan oleh pabrik di kawasan industri Cilegon bervariasi antara 10 sampai 275 meter. UBP Suralaya pada unit 1 sampai 4 menggunakan cerobong masing-masing tingginya 200 meter, sedangkan pada unit 5 sampai 7 masing-masing tingginya 275 meter. Tingginya cerobong yang digunakan, diduga sebaran SO2 dan debu menyebar ke luar kawasan industri.

Aplikasi model untuk menganalisis emisi SO2 dan debu pada setiap pabrik

di kawasan industri menggunakan model screen3, sedangkan untuk menganalisis sebaran polutan di Kota Cilegon menggunakan persamaan umum transpor untuk aliran unsteady. Dalam aplikasi model untuk aliran unsteady, didasarkan pada hasil running model screen3, difusivitas pencemar serta arah angin dominan.

Gambar 1. Kerangka pemikiran model prediksi

Untuk memprediksi penyebaran SO2 dan debu di Kota Cilegon akan

diperoleh melalui studi ini. Beberapa permasalahan yang muncul dalam penelitian ini adalah:

(1)bagaimana mendapatkan karakteristik udara lokal, karena akan berimplikasi pada pola penyebaran SO2 dan debu;

(2)bagaimana sebaran SO2 dan debu yang diemisikan oleh pabrik di

(24)

(3)bagaimana mendapatkan laju penyebaran SO2 dan debu di Kota

Cilegon.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi permasalahan di atas, disusun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Memahami karakteristik udara lokal di Kota Cilegon, yaitu ciri-ciri cuaca dan iklim yang meliputi pola pergerakan angin dominan, dan stabilitas atmosfer;

2. Mendapatkan konsentrasi SO2 dan debu di kawasan industri yang

bersumber dari emisi pabrik, berdasarkan stabilitas atmosfer;

3. Mengestimasi konsentrasi SO2 dan debu pada suatu wilayah di Kota

Cilegon dengan menggunakan model.

1.4 Luaran Penelitian

Adapun output atau luaran yang diharapkan dari penelitian dengan tema model prediksi distribusi laju penyebaran SO2 dan debu dari kawasan industri di

Kota Cilegon, antara lain:

1. Memberikan informasi ciri-ciri cuaca, pola pergerakan angin serta stabilitas atmosfer di Kota Cilegon

2. Memberikan informasi potensi besarnya konsentrasi SO2 dan debu

yang diemisikan oleh pabrik di kawasan industri

3. Masukan bagi pengambil kebijakan dan instansi terkait dalam pengendalian pencemaran udara di Kota Cilegon

1.5 Kebaruan (novelty)

Ada tiga hal sebagai unsur kebaruan (novelty) dalam penelitian ini, sebagai berikut:

(1)dapat diketahui jarak dan konsentrasi SO2 dan debu yang diemisikan

(25)

(2)dapat mengestimasi konsentrasi SO2 dan debu dalam periode tiga

bulanan di suatu wilayah di Kota Cilegon yang diemisikan dari kawasan industri

(3)upaya memberikan informasi dini besarnya konsentrasi SO2 dan debu

pada suatu wilayah di Kota Cilegon, sehingga dapat dilakukan langkah-langkah untuk pengendalian.

(26)

2.1Komposisi Atmosfer

Secara alami atmosfer terdiri dari berbagai gas, jumlahnya ada yang tetap dari waktu ke waktu dan ada yang berfluktuasi, karena adanya masukan yang berasal dari berbagai aktivitas makhluk hidup di permukaan bumi. Fungsi atmosfer adalah untuk mencegah pemanasan dan pendinginan permukaan bumi yang berlebihan dan menyediakan gas-gas tertentu bagi organisme. Atmosfer sendiri merupakan suatu medium yang sangat dinamik, ditandai dengan kemampuan-kemampuan sebagai: penyebaran (dispersion), pengenceran (dilutions), difusi (antar molekul gas atau partikel/aerosol) dan transformasi fisik-kimia dalam proses dan mekanisme kinetik atmosferik. Pergerakan dan dinamika serta kimia atmosferik, merupakan faktor-faktor yang sangat menentukan keberadaan pencemar udara setelah diemisikan dari sumbernya. Schnitzhofer

et.al. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan

PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencampuran polutan terjadi sampai di atas 100 m AGL

(above ground level). Pada ground level meningkat karena kesetimbangan radiasi, kemudian polutan meningkat karena inversi dan pengenceran.

Dalam atmosfer dari permukaan bumi hingga ketinggian 80 – 90 km berbagai gas berada secara tetap dalam bentuk campuran, kecuali pada saat perubahan kecil selama periode yang pendek dan pada wilayah di luar batas ketinggian tersebut. Sementara itu kadar gas di atmosfer yang bersifat tidak tetap, selengkapnya ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Gas-gas tidak tetap dalam atmosfer

Gas Persentase Volume

Air (H2O)

Karbon dioksida (CO2) Ozon (O3)

Sulfur dioksida (SO2) Nitrogen dioksida (NO2)

0 – 7

0,01 – 0,1 (rata-rata = 0,032)

0 – 0,1 (pada ketinggian 20 – 50 km) 0 – 0,0001

0 – 0,00002 Sumber: Anon (1971)

Ada empat macam gas terbanyak di udara yakni: nitrogen (78,08%), oksigen (20,94%), argon (0,90%) dan karbondioksida (0,03%). Di samping

(27)

keempat gas tersebut, udara mengandung gas-gas lain dalam jumlah yang sangat kecil, di antaranya ada yang merupakan pencemar udara yaitu: NH3, SO2, CO dan H2S, selengkapnya ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Susunan gas di atmosfer pada suhu dan tekanan udara baku

Kandungan (μg/Nm3) Jenis Gas Simbol Volume (%)

A B C

Nitrogen Oksigen Argon Karbon dioksida Neon Helium Kripton Hidrogen Ozon Metana Oksida nitrogen Sulfur dioksida Ammonia Karbon monoksida Hidrogen Sulfur N2 O2 Ar CO2 Ne He Kr H O3 CH4 NOx SO2 NH3 CO H2S

78,80 20,94 0,93 0,03

9,75 x 108 2,99 x 108 1,60 x 107 5,90 x 105 1,60 x 107

920 4.100 26-90 10-15 1.080 0-6 2-50 0-15 130 3-30 Sumber: A dan B : Barry and Chorly (1968); Gordon et al (1998), di troposfer

sampai ketinggian 25 km

C : Bowen (1979), sampai ketinggian 100 m

Suhu baku adalah 25oC, tekanan udara baku adalah 1 atmosfer

2.2Pencemar Udara

Pencemar udara adalah substansi di atmosfer yang pada kondisi tertentu akan membahayakan manusia, hewan, tanaman atau kehidupan mikroba atau bahan bangunan (Oke, 1978). Pencemar udara dapat dikelompokkan berdasar caranya menjadi polutan, yaitu polutan primer dan polutan sekunder, dapat juga berdasarkan jumlah yang dihasilkan yaitu pencemar mayor dan pencemar minor, berdasarkan bentuk fisik yaitu gas, cair dan padat (partikel). Pencemar udara dihasilkan oleh alam dan juga terutama oleh kegiatan manusia (man-made pollution). Pencemar udara yang disebabkan oleh kegiatan manusia terutama merupakan hasil dari kegiatan transportasi, industri dan urbanisasi. Stafilov, Bojkovska dan Hirao (2003) mengukur konsentrasi CO, SO2, NO, NO2, suspensi

(28)

meteorologi yang berbeda pada empat stasiun di Skopje Macedonia. Konsentrasi polutan mayor (SO2, NO2, CO dan SPM) meningkat selama proses pemanasan. Konsentrasi tinggi disebabkan oleh gabungan polutan karena pemanasan, kondisi geograpi dan kondisi meteorologi.

Pencemar udara yang dihasilkan dari industri berbeda-beda, tergantung pada bahan bakar yang digunakan oleh industri tersebut. Pemakaian bahan bakar sebagai sumber energi dalam menunjang proses industri masih sangat mendominasi kegiatan industri di Indonesia, akibat belum mencukupinya energi listrik yang ada. Pemakaian bahan bakar fosil akan memberikan emisi pencemar udara konservatif, yang meliputi CO, hidrokarbon, NOx, partikulat (total tersuspensi), dan SOx. Unsur-unsur ini dapat menjadi indikator utama pencemaran udara, di samping oksidan photokimia yang terbentuk akibat adanya unsur-unsur prekursor (hidrokarbon dan NOx) yang bereaksi dengan adanya sinar ultra violet. Kawasan industri Kota Cilegon terdapat berbagai macam pabrik pengolahan dengan berbagai produk yang berbeda-beda. Pelbagai pabrik di kawasan industri tersebut, dapat digolongkan menjadi empat jenis dengan berbagai pencemar udara yang diemisikan, selengkapnya disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Jenis industri dan bahan pencemar udara yang diemisikan

Jenis Industri Pencemar yang dihasilkan Industri besi dan baja

Industri kayu lapis

Industri kimia

Industri logam dan pengecoran logam

debu, senyawa fluorida dan SO2

padatan tersuspensi, fenol dan asam resin

tergantung jenis industri kimia, misalnya HCl, Cl2, NO2, NH3, hidrokarbon aromatik, pestisida dan lain-lain

SO2, sulfida, klor, HCl dan debu Sumber: Hartogensis (1977); Winarso (1991); Strauss dan Mainwaring (1994)

2.2.1Partikulat

(29)

menjadi partikel anorganik dan fly ash (sisa debu dari sistem cerobong industri yang menggunakan bahan bakar fosil).

Partikel yang lebih halus, PM10 dan khususnya PM2,5 yang ultra-halus, adalah yang paling berbahaya. Pada udara ambien, partikel biasanya ada dengan sejumlah zat pencemar lain. Nakaguchi et.al. (2005) melakukan penelitian distribusi partikulat di atmosfer selama 9 bulan di Osaka Jepang. Partikulat yang diteliti PM-1 (> 10 μm), PM-2 (10 – 2,5 μm) dan PM-3 (< 2,5 μm). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio total PM selama 9 bulan adalah 0,880 ± 0,011 untuk 207/206Pb 2,137 ± 0,033 untuk 208/206Pb dan 0,413 ± 0,007 untuk 207/208

Pb. Terdapat hubungan yang signifikan antara rasio PM-1 dengan 207/206Pb dan 208/206Pb dalam PM-1 dan PM-2. Berdasarkan hasil pengukuran Badan pengendalian dampak lingkungan (Bapedal) Indonesia (2000) konsentrasi TSP

mulai Tahun 1996 sampai Tahun 1998 di sebagian besar kota-kota Indonesia meningkat dengan cepat. Konsentrasi TSP tertinggi terjadi di kota Ujung Pandang Tahun 1997. Sementara itu hasil pengukuran Bapedalda Jakarta (2002) menunjukkan bahwa PM10 selama Tahun 2001 terjadi sangat tinggi pada bulan Juni – September. Berkaitan dengan sebaran partikulat dari kawasan industri, Bapedalda Banten (2002) menganalisis jarak sebaran partikulat dari sumber Cilegon yang jatuh pada permukaan tanah adalah 16230 meter dengan konsentrasi sebesar 34,95 μg/m3. Jarak sebaran partikulat dari sumber Serang adalah 5008 meter dengan konsentrasi sebesar 6,9 μg/m3. Jarak sebaran tersebut terjadi pada stabilitas atmosfer E (agak stabil). Sementara itu hasil pemantauan udara ambien pada 24 titik sampel yang dilakukan DLHPE Kota Cilegon (2005) dengan baku mutu 230 μg/m3, menunjukkan bahwa debu yang melebihi baku mutu terjadi pada 9 titik sampel, tertinggi terjadi di lokasi kantor Bea Cukai dengan konsentrasi sebesar 514 μg/m3. Selengkapnya ditampilkan pada Gambar 2.

2.2.2Senyawa Sulfur

(30)

mengiritasi mata, kulit, selaput lendir dan sistem pernafasan serta pada konsentrasi tinggi dapat menyebabkan kematian. Jika membentuk kabut (haze) dari reaksi fotokimia aerosol, SO2, oksida nitrogen dan hidrokarbon di atmosfer. Senyawa sulfur dapat menurunkan jarak pandang, jika bereaksi dengan air hujan akan meningkatkan keasaman air hujan yang dapat menyebabkan asidifikasi sumber air serta penurunan unsur hara tanah, juga menyebabkan korosi logam dan bahan bangunan lain. Emisi sulfur dioksida terutama timbul dari pembakaran bahan bakar fosil yang mengandung sulfur terutama batubara yang digunakan untuk pembangkit tenaga listrik atau pemanasan rumah tangga.

0 100 200 300 400 500 600

Lokasi Pengukuran

K

o

n

sen

tr

asi

(

u

g

/m

Konsentrasi (ug/m3) Baku Mutu (ug/m3)

a)Rata-rata Konsentrasi b) Konsentrasi PM10 c) Konsentrasi debu di Kota

[image:30.612.121.496.59.414.2]

TSP Tahunan di Indonesia di Jakarta, 2001 Cilegon, 2005

Gambar 2. Konsentrasi TSP, PM10 dan debu

(31)

bermotor menurut Bapedal (2001) pada Tahun 1999, 2000 dan 2001 secara berurutan adalah 46.562,7 ton/tahun; 48.482 ton/tahun; 53.401,9 ton/tahun. Tasic

[image:31.612.110.499.31.744.2]

et.al. (2007) mengimplementasikan sistem monitoring kualitas udara, untuk mengestimasi konsentrasi SO2 dengan menggunakan TScreen. Hasil model untuk waktu rata-rata 1 jam pada 8 titik sampel menunjukkan adanya hubungan antara tingkat emisi dengan konsentrasi SO2. Berkaitan dengan sebaran SO2 di Kota Cilegon, DLHPE Tahun 2005 melakukan pemantauan udara ambien pada 24 titik sampel. Hasil pemantauan dengan baku mutu 365 μg/m3, menunjukkan bahwa SO2 tertinggi terjadi di lokasi depan PENI Desa Gerem Kecamatan Grogol dengan konsentrasi sebesar 15,12 μg/m3. Selengkapnya disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Konsentrasi SO2 di 24 titik sampel

0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00 SO2 Lokasi pemnantauan K o n se n tr asi Kelapa Tujuh Kant or Bea Cukai ASDP M erak Pasar M erak Depan PENI Cikuasa Baru Cikuasa Lama Kruwuk

Sumur Wuluh (Jalan Tol) Pabuaran Lor Komp, Arga Baja Pura Polres Palem Hills Perum KS Telkom Warnasari Semangraya Nirmala Optik Pelindo Ramayana PCI Randakari KBS/Sebrang rel Pengabuan Cilodan

2.3Sumber Pencemar Udara

Pencemaran udara terjadi akibat dilepaskannya zat pencemar dari berbagai

sumber ke udara. Sumber-sumber pencemar udara dapat bersifat alami maupun

antropogenik (aktivitas manusia). Peraturan Pemeritah (PP) mengenai pengelolaan

udara yang saat ini berlaku di Indonesia yaitu PP No. 41/1999 mendefinisikan

sumber pencemar sebagai setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan

bahan pencemar ke udara yang menyebabkan udara tidak berfungsi sebagaimana

mestinya. PP ini kemudian menggolongkan sumber pencemar atas lima kelompok,

yaitu: (1) sumber bergerak, sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada

suatu tempat yang berasal dari kendaraan bermotor; (2) sumber bergerak spesifik,

(32)

kapal laut dan kendaraan berat lainnya; (3) sumber tidak bergerak, sumber emisi

yang tetap pada suatu tempat; (4) sumber tidak bergerak spesifik, serupa dengan

sumber tidak bergerak namun berasal dari kebakaran hutan dan pembakaran

sampah; dan (5) sumber gangguan, sumber pencemar yang menggunakan media

udara atau padat untuk penyebarannya. Sumber ini terdiri dari kebisingan, getaran,

dan kebauan.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan sumber pencemar atas sumber tidak bergerak, sumber bergerak dan sumber dalam ruangan. Di kota-kota Besar di Indonesia, sumber bergerak telah mendominasi emisi pencemar udara. Di Jakarta misalnya, kendaraan bermotor telah menyumbangkan 70 % dari pencemar PM10 dan NOx Tahun 1998. Faktor yang mempengaruhi tingginya pencemaran udara dari kendaraan bermotor adalah pesatnya pertambahan jumlah kendaraan bermotor, rendahnya kualitas bahan bakar minyak dan masih digunakannya jenis bahan bakar minyak mengandung Pb, penggunaan teknologi lama (sistem pembakaran) pada sebagian besar kendaraan bermotor di Indonesia dan minimnya budaya perawatan kendaraan secara teratur.

Sumber pencemar udara dari sumber tidak bergerak terdiri dari industri, rumah tangga, dan kebakaran hutan. Sektor industri merupakan penyumbang pencemaran udara setelah kendaraan bermotor, melalui penggunaan bahan bakar fosil untuk pembangkit tenaga. Penggunaan bahan bakar fosil dan kayu di rumah tangga ikut menyumbang pencemaran udara dari sumber tidak bergerak meskipun tidak sebesar kontribusi pencemaran industri. Kemudian asap pekat dari kebakaran hutan menjadi bahan pencemar udara. Hasil dari proses pembakaran, di dalam asap terkandung campuran gas-gas dan partikel-partikel yang mengancam kesehatan manusia dan menambah jumlah gas rumah kaca di atmosfer.

Produksi energi, pengangkutan, konversi serta rumah tangga, industri dan

penggunaan kendaraan bermotor, merupakan penyumbang antropogenik utama

kepada polusi udara. Bahan-bahan pencemar utama yang penting adalah timbal,

partikel halus, karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), hidrokarbon,

sulfur dioksida (SO2), dan karbon diokida (CO2). Menurut Novontny dan

Chlesters (1981) sumber polusi udara global adalah:

(33)

b. Emisi dari pertanian dan hutan: erosi tanah oleh angin, slash burning dari kebakaran hutan, komponen pupuk dan pestisida yang terbawa erosi angin, dekomposisi limbah pertanian dan peternakan;

c. Emisi yang terjadi secara alami dalam skala global: tiupan debu dari daerah kering dan gurun, kebakaran hutan, semak dan rumput, letusan gunung berapi, emisi hidrokarbon dari hutan dan aktivitas budidaya hutan, percikan air laut, serta evaporasi dari tubuh air.

2.4Pencemaran Udara

Pencemaran udara dapat diartikan sebagai adanya satu atau lebih pencemar yang masuk ke dalam udara atmosfer yang terbuka, yang dapat berbentuk sebagai debu, uap, gas, kabut, bau, asap, atau embun yang dicirikan bentuk jumlahnya, sifatnya dan lamanya. Pencemaran udara dibataskan sebagai menurunnya kualitas udara sehingga akibatnya akan mempengaruhi kesehatan manusia yang menghirupnya. Salah satu faktor penyebab meningkatnya pencemaran udara adalah semakin meningkatnya populasi penduduk di suatu tempat, terutama di Kota-kota Besar. Kegiatan transportasi, industri dan aktivitas penduduk menjadi sumber pencemaran udara. Miller (1979) membagi bahan pencemar udara menjadi: karbon oksida (CO, CO2), sulfur oksida (SO2, SO3), nitrogen oksida (N2O, NO, NO2), hidrokarbon (CH4, C4H10, C6H6), fotokimia oksidan (O3, PAN dan aldehida), partikel (asap, debu, jelaga, asbestos, logam, minyak dan garam), senyawa inorganik (asbestos, HF, H2S, NH3, H2SO4, H2NO3), senyawa inorganik lain (pestisida, herbisida, alkohol, asam-asam dan zat kimia lainnya), zat radioaktif, panas, dan kebisingan. Pengaruh yang sangat penting adanya pencemaran udara pada manusia adalah dalam aspek: kesehatan, kenyamanan, keselamatan, estetika dan perekonomian.

(34)

merupakan reaksi kimia yang berjalan cepat dan membebaskan energi cahaya atau panas. Bahan bakar yang umum digunakan ialah kayu, batubara, kokas, minyak, semuanya mengandung karbon, sehingga dalam proses pembakaran dihasilkan senyawa karbon dioksida dan air, disamping arang dan jelaga.

Kriteria dampak pencemaran udara, mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 dan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No. KEP-056/Tahun 1994 sebagai berikut: (1) jumlah manusia yang terkena dampak, (2) luas wilayah persebaran dampak, (3) lamanya dampak berlangsung, (4) intensitas dampak, (5) banyaknya komponen lingkungan lain yang terkena dampak, (6) sifat kumulatif dampak, dan (7) berbalik (reversible) atau tidak berbalik (irreversible) dampak.

Pengaruh pencemaran udara terhadap manusia tergantung pada pencemar yang ada di udara. Pada Tabel 4 dimuat beberapa jenis pencemar udara dan pengaruhnya terhadap manusia. Menurut Adel (1995) dan Hill (1984), CO merupakan gas tidak berwarna dan tidak berbau, mempunyai afinitas yang tinggi dengan hemoglobin, yaitu sekitar 240 kali lebih kuat dibandingkan afinitas O2 terhadap hemoglobin. Apabila CO masuk ke dalam paru-paru akan berikatan dengan hemoglobin membentuk karboksi-hemoglobin (CO-Hb). Chi-Wen (1999) meneliti penyebaran pencemar udara dari industri kimia dan serat di Taiwan, yang dilakukan sebagai tanggapan atas keberatan atau reaksi terhadap bau yang ditimbulkan. Pencemar udara yang diemisikan adalah senyawa sulfur (SO2, H2S, CS2 dan merkaptan) dan beberapa senyawa organik volatif (benzene, toluena,

(35)
[image:35.612.109.495.81.479.2]

Tabel 4 . Beberapa jenis pencemar udara dan pengaruhnya terhadap manusia Jenis pencemar udara Pengaruh terhadap manusia Karbon monoksida (CO)

Sulfur dioksida (SO2)

Nitrogen oksida (NOx)

Hidrokarbon

Oksigen fotokimia (O3)

Debu

Amonia (NH3)

Hidrogen sulfida (H2S)

Logam dan senyawa logam

Menurunkan kemampuan darah membawa oksigen, melemahkan berpikir, penyakit jantung, pusing, kelelahan, sakit kepala dan kematian

Memperberat penyakit saluran pernafasan, melemahkan pernafasan dan iritasi mata

Memperberat penyakit jantung dan pernafasan, dan iritasi paru-paru

Mempengaruhi sistem pernafasan, beberapa jenis dapat menyebabkan kanker

Memperberat penyakit jantung dan pernafasan, iritasi mata, iritasi kerongkongan dan saluran pernafasan

Penyakit kanker, memperberat penyakit jantung dan pernafasan, batuk, iritasi kerongkongan dan dada tak enak

Iritasi saluran pernafasan

Mabuk (pusing), iritasi mata dan kerongkongan dan racun pada kadar tinggi

Menyebabkan penyakit pernafasan, kanker, kerusakan syaraf dan kematian

Sumber: Hartogensis (1977); Fardiaz (1992); Nukman (1998); Holper dan Noonan (2000)

(36)

2.5Penyebaran Pencemar Udara

Penyebaran pencemar udara berhubungan dengan keadaan atmosfer, sedangkan keadaan atmosfer tergantung pada perubahan sistem cuaca, sirkulasi angin regional dan turbulensi, dan efek mikrometeorologi. Parameter-parameter penting yang diperlukan dalam menetapkan potensi penyebaran pencemar udara ialah: ketinggian bercampur, tinggi pembalikan, kecepatan angin tahunan, potensi tinggi pencemar udara yang dapat mempengaruhi suatu area, dan kejadian harian. Adapun efek mikrometeorologi tergantung pada insolasi solar, topografi, kekasapan permukaan, albedo permukaan, lahan yang digunakan dan radiasi panjang gelombang (Mikkelsen, 2003).

Penyebaran pencemar udara, terutama dari industri ditentukan oleh tinggi cerobong (stack). Semakin tinggi stack yang digunakan, semakin jauh jarak sebaran polutan yang diemisikan. Good Engineering Practice (GEP) mengusulkan secara ekstrim, bahwa tinggi stack harus 305 meter (Leonard, 1997). Sebaran polutan dari kegiatan industri dengan ketinggian cerobong di atas lima puluh meter diduga dapat memberikan dampak sebaran polutan sampai dengan jarak yang cukup jauh dari lokasi sumber. Untuk industri dengan daya yang besar, tinggi cerobong asap harus di atas 200 meter (Forsdyke, 1970). Sehubungan dengan hal itu, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya menggunakan cerobong setinggi 200 meter sehingga abu dan gas SO2 yang terbang ke udara dapat terdispersi secara baik, dan tidak mencemari udara di pemukiman sekitarnya (Bapedalda Banten, 2004).

Setiap pabrik di kawasan industri, memiliki ukuran stack yang berbeda. Hal ini dimungkinkan karena kapasitas dan jenis bahan bakar yang digunakan berbeda. Vawda et.al. (2005) mengukur konsentrasi SO2 yang diemisikan dari suatu kawasan. Estimasi emisi SO2 dari masing-masing tinggi stack menggunakan

ADMS-Screen. Dari lima metode yang digunakan, menunjukkan bahwa metode

(37)
[image:37.612.120.501.157.388.2]

kawasan tersebut pada lingkungan di sekitarnya. Keragaman penyebaran polutan yang diemisikan, akan berimplikasi pada perbedaan konsentrasi pada suatu area.

Tabel 5. Ukuran cerobong pabrik pengolahan besi dan peleburan baja di PT Krakatau Steel

NO LOKASI CEROBONG TINGGI NO LOKASI CEROBONG TINGGI

1 DR1 Gas Ref 1 33,5 4 SSP 1 Ladle Furnace 1 32

Gas Ref 2 33,5 Ladle Furnace 2 32

Gas Preh 5 33,2 Dedusting 35

Gas Preh 6 33,2 5 SSP 2 Ladle Furnace 32

Gas Preh 7 33,2 Dedusting 35

Gas Preh 8 33,2 6 BILLET Ladle Furnace 32

Air Preh 2 27,2 Timur Dedusting 1 35

Scrubber 1 10,8 Barat Dedusting 2 35

Scrubber 2 10,8 7 SSP 1 Ladle Furnace 1 32

B Down Stack 30,2 Ladle Furnace 2 32

2 DR2 Gas Ref 1 33,5 Dedusting 35

Gas Ref 2 33,5 8 SSP 2 Ladle Furnace 32

Scrubber 1 10,8 Dedusting 35

Scrubber 2 10,8 9 BILLET Ladle Furnace 32

B Down Stack 30,2 Timur Dedusting 1 35

3 HYL III Gas Heater 1 80 Barat Dedusting 2 35

Gas Heater 2 80

Sumber: Dinas Lingkungan Hidup Pertambangan dan Energi Kota Cilegon (2006)

2.6Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Polutan

Penyebaran polutan di atmosfer dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Stull (2000), penyebaran polutan di atmosfer melibatkan tiga mekanisme utama yaitu gerakan udara secara global, fluktuasi kecepatan turbulensi yang akan menyebarkan polutan ke seluruh arah dan difusi massa akibat perbedaan konsentrasi. Sementara itu penyebaran polutan dari suatu sumber emisi selain dipengaruhi oleh karakteristik sumber emisi juga oleh karakteristik meteorologi dan tofografi setempat (Oke, 1978).

(38)

m/s secara signifikan besarnya menurun karena efek bloking bangunan. Penyebaran polutan searah dengan arah angin. Sementara itu Mayhoub, Essa dan Aly (2003) membangun bentuk analisis dispersi polutan untuk kondisi atmosfer yang berbeda. Hubungan antara jarak peluruhan (downwind dan crosswind) sebanding dengan tinggi inversi. Kecepatan angin dan koefisien difusi berbeda untuk stabilitas atmosfer yang berbeda (stabil dan netral).

Variabel lain yang bertalian dengan meteorologi terdiri dari unsur-unsur radiasi matahari, suhu dan tekanan udara, curah hujan, kelembapan, dan evaporasi. Arah angin akan menentukan arah penyebaran polutan, sedangkan pola penyebaran polutan tergantung pada lokasi sumber pencemar, kondisi meteorologi serta topografi daerah. Cahyana, Umbara dan Lubis (1998) membuat pemodelan isodosis dari dispersi radionuklida di atmosfer di daerah PPTN Serpong. Perangkat lunak yang digunakan adalah EDLA (Evaluasi Dosis Lepasan Atmosfir) dengan menggunakan bahasa pemrograman Delphi 3,0. Penyebaran gas atau partikel radionuklida yang terlepas ke atmosfir menggunakan persamaan Gauss. Klasifikasi kestabilan atmosfir dilakukan berdasarkan kecepatan angin permukaan, insolation (incoming solar radiation) dan radiasi bersih (net radiation) dari tapak. Parameter insolation digunakan jika pengamatan dilakukan pada siang hari, sedangkan radiasi bersih digunakan jika pengamatan dilakukan pada malam hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perangkat lunak EDLA dapat digunakan untuk mensimulasikan dispersi radionuklida di atmosfir sampai pada penghitungan dosis efektif sebagai fungsi jarak dari titik pelepasan yang akan diterima manusia, baik untuk kondisi operasi normal ataupun bila terjadi kecelakaan release (kedaruratan nuklir). Besarnya dosis efektif sebagai fungsi koordinat dapat diketahui dengan cepat dan akurat. Pemanfaatan perangkat lunak EDLA untuk kasus kedaruratan nuklir dapat memberikan informasi dosis efektif kecelakaan, sehingga upaya penanggulangan yang sesuai dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Sementara itu Wang, Bosch dan Kuffer (2008) meneliti sebaran NO2 dan PM10 di jalan raya. Model dispersi yang digunakan adalah

(39)

kecepatan dan arah angin per jam dan temperatur ambien. Output model yang berhubungan dengan database memberikan peringatan pada ketinggian 17 m.

2.6.1Stabilitas Atmosfer

Stabilitas atmosfer menurut Stull (2000) terbagi dua, ada yang statis dan ada yang dinamis. Stabilitas dinamis ditentukan oleh faktor buoyancy (daya apung udara akibat pemanasan oleh radiasi matahari) dan wind shears (gesekan yang terjadi antara dua lapisan atmosfer dengan arah angin berbeda), sedangkan stabilitas statis hanya mempertimbangkan faktor buoyancy. Chung-Chen, Kot dan Tepper (1996) mendeteksi kondisi stabil dan inversi dengan menggunakan Radio Acoustic Sounding Sistem (RASS). Hasil deteksi menunjukkan bahwa tanggal 3 Januari 1996 pukul 11.30am pada kondisi stabil, dan terjadi inversi pada saat fumigasi pada permukaan lapisan. Sementara itu Huser, Nilsen dan Skatun (1997) membangun sebuah prosedur untuk memprediksi kondisi stabil atmosfer pada permukaan yang kompleks dengan model k- dengan program FLOW3D. Angin, temperatur dan kuantitas turbulensi dihitung dengan aliran udara dan transfer panas sampai keadaan steady. k- adalah model turbulensi, dengan k adalah turbulensi energi kinetik dan adalah bouyance pada kondisi stabil. Model diaplikasi untuk memprediksi sebaran konsentrasi NOx di atmosfer. Hasil pembandingan prediksi dengan model menunjukkan bahwa hasil prediksi berada pada kisaran hasil pengukuran.

Karakteristik yang dapat menunjukkan stabilitas atmosfer adalah gradien

suhu potensial (dθ/dZ). Suhu potensial (θ) adalah suhu yang akan dimiliki suatu paket udara kering jika bergerak secara adiabatik dari tekanan tertentu (p) menuju permukaan atau tekanan standar po. Umumnya po digunakan 1000 mb (Wark dan

Warner, 1981) /

d p

R C o

p T

p

θ= ⎜ ⎟⎛ ⎞

⎝ ⎠ ……. 2.1

dengan Rd adalah konstanta gas universal untuk udara kering dan nilai eksponen

untuk udara kering adalah 0,286 (Stull, 2000)

(40)

dari laju penurunan suhu paket udara dan lingkungan serta gradien suhu potensial. Pada gambar tersebut Environmental Lapse Rate (ELR) adalah laju penurunan suhu lingkungan, sedangkan Г adalah laju penurunan suhu paket udara.

Kondisi tidak stabil adalah kondisi ketika laju penurunan suhu paket udara lebih kecil dibandingkan laju penurunan suhu udara lingkungannya, sehingga pada ketinggian yang sama, suhu paket udara lebih tinggi dibanding lingkungannya. Paket udara ini akan cenderung mengembang secara vertikal, pergerakan secara horisontal akan bergantung arah anginnya. Hal ini terjadi biasanya pada siang hari dengan radiasi matahari tinggi. Berkaitan dengan suhu potensial, pada kondisi stabil gradien suhu potensial terhadap ketinggian negatif.

[image:40.612.122.497.133.425.2]

Sumber: Oke (1978) Gambar 4. Stabilitas atmosfer ditinjau dari laju penurunan suhu

Kondisi netral ditunjukkan oleh laju penurunan suhu paket udara yang sama dengan laju penurunan suhu udara lingkungannya, sehingga suhu keduanya akan sama pada ketinggian yang sama. Menurut Stull (2000), pada kondisi ini jika udara tidak jenuh, maka dT/dZ=-Гd, jika udara jenuh uap air dT/dZ=-Гs (laju

penurunan suhu udara jenuh). Apabila diekspresikan dengan suhu potensial, maka kondisi netral ditunjukkan oleh dθ/dZ=0, jika udara tidak jenuh, dan dθ/dZ=Гd-Гs

biasa terjadi siang ataupun malam hari, berangin dan atau berawan.

(41)

Atmosfer dikatakan dalam kondisi inversi jika terjadi kenaikan suhu terhadap ketinggian. Menurut Schnelle dan Dey (2000), inversi suhu dapat terjadi akibat beberapa hal, yaitu: (1) berubahnya keseimbangan radiasi gelombang pendek dan panjang (inversi radiasi) seperti yang terjadi secara alami di permukaan bumi pada malam hingga dini hari, (2) karena evaporasi, sehingga terjadi pendinginan permukaan bumi (evaporation inversion) terutama pada siang hari saat langit cerah tanpa awan, (3) adanya udara hangat bergerak di atas permukaan yang lebih dingin (advection inversion), sehingga dapat membentuk kabut, dan (4) adanya subsidensi udara dingin (udara dingin lebih berat sehingga cenderung turun), sehingga udara yang lebih hangat naik, seperti yang terjadi di sekitar lereng atau lembah pegunungan.

2.6.2Turbulensi

Di atas permukaan, ketika udara bergerak akan mengalami gesekan maupun geseran sehingga akan menimbulkan olakan (eddy), sehingga terjadi turbulensi yang melibatkan pergerakan molekul-molekul antar lapisan udara dikenal pula sebagai konveksi mekanik (forced convection). Di atas ketinggian

planetary boundary layer, pengaruh gesekan diabaikan. Pada Gambar 5 divisualisasikan sketsa aliran turbulen di atas permukaan yang halus. Pada lapisan udara yang paling dekat dengan permukaan, terdapat lapisan tipis yang disebut

(42)

Menurut Schenelle dan Dey (2000), Richardson Number (Ri) dapat digunakan sebagai indikator turbulensi indeks kestabilan atmosfer. Parameter stabilitas dalam hal ini adalah s yang diekspresikan dalam persamaan berikut:

g s

T z

θ

Δ

⎛ ⎞

= ⎜Δ ……. 2.2

dan

g z Ri

du T

dz

θ

Δ

⎛ ⎞

Δ

⎝ ⎠

=

⎛ ⎞

⎜ ⎟

⎝ ⎠

……. 2.3

[image:42.612.107.507.105.738.2]

Sumber: McIntosh dan Thom (1973) Gambar 5. Sketsa aliran turbulen di atas permukaan yang halus

Tabel 6. Kondisi stabilitas berdasar Richardson Number (Ri)

Stabilitas Ri Keterangan

Stabil > 0,25 tidak ada vertical mixing, angin lemah, inversi kuat, turbulensi mekanik diperkecil, penyebaran kepulan asap dapat diabaikan Stabil 0 < Ri < 0,25 turbulensi mekanik ditekan oleh stratifikasi

yang stabil

Netral 0 turbulensi mekanik

Tidak stabil -0,03 < Ri < 0 turbulensi mekanik dan konveksi

Tidak stabil < -0,04 konveksi mendominasi, angin lemah, gerak vertikal kuat, asap menyebar dengan cepat secara vertikal dan horisontal

(43)

2.6.3Sirkulasi Angin Lokal

Kecepatan angin secara horisontal dipengaruhi oleh gradien tekanan di permukaan serta kondisi kekasapan permukaan (surface roughness). Semakin besar beda tekanan akan semakin tinggi kecepatan angin, tetapi semakin kasap permukaan maka angin horisontal akan diperlambat. Angin mempengaruhi penyebaran, pengenceran dan perpindahan polutan (Oke, 1978). Ketika angin bertiup, polutan mengalami penyebaran searah angin dan jika terjadi turbulensi maka penyebaran dapat terjadi searah dan melintas arah angin (crosswind). Kecepatan angin berimplikasi pada proses pengenceran, semakin besar kecepatan angin maka konsentrasi semakin mengecil. Raducan (2008) meneliti level konsentrasi NOx, NO2, NO, CO dan O3 dari urban area dengan menggunakan

OSPM (Operational Street Pollution Model). OSPM digunakan dengan parameter aliran yang sangat simpel dan kondisi dispersi pada street canyon. Aliran angin dan dispersi polutan secara khusus tergantung pada aspek rasio (H/W = 1,16 dengan H adalah tinggi rata-rata bangunan sepanjang jalan dan W adalah lebar jalan). Pembandingan hasil pengukuran dan perhitungan konsentrasi yang ditunjukkan OSPM berhasil untuk memprediksi polusi dari lalulintas di jalan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara lalulintas dan polusi. Sementara itu Cahyono (2005) meneliti sebaran SO2 dan NO2 dari industri di Bandung. Metode yang digunakan adalah semi top-down untuk data

gradien menggunakan MM5. MM5 adalah salah satu model gradien yang merupakan model prediksi cuaca regional. MM5 sendiri merupakan model gradien finite difference. Berdasarkan hasil analisis dengan MapInfo dan ArcView

(44)

mempunyai peran yang sangat utama dalam menentukan kualitas udara di suatu daerah, baik kualitas udara perkotaan, pedesaan maupun alami.

Pola angin pada jenis permukaan berbeda akan menentukan pola dispersi yang terjadi berbeda. Pada Gambar 6.a tampak terjadi perbedaan arah dispersi di permukaan dan lapisan di atasnya. Menurut Klipp dan Mahrt (2003) ketika lapisan pembatas terdapat di atas dua jenis permukaan yang berbeda, maka kesetimbangan dengan permukaan di bawahnya akan terganggu, dan terbentuk lapisan yang disebut Internal Boundary Layer (IBL). Pada Gambar 6.b menggambarkan pola dispersi pada permukaan yang lebih homogen yaitu daratan (perkotaan), pola dispersi akan menyesuaikan dengan pola angin yang terjadi.

Arah dan kecepatan angin selalu berubah-ubah sehingga memerlukan analisis data angin untuk mendapatkan arah dan kecepatan angin rata-rata di suatu tempat pada suatu waktu tertentu. Analisis ini dikenal sebagai windrose (Cooper dan Alley, 1994). Data yang diperlukan untuk analisis ini adalah data kecepatan dan arah angin dari waktu ke waktu, dibuat tabel frekuensi untuk arah angin dan kisaran kecepatan angin tertentu.

(a) Pola dispersi pada permukaan heterogen (b) Pola dispersi pada permukaan homogen

Gambar 6. Pola dispersi pada permukaan

(45)
[image:45.612.112.493.62.774.2]

Sumber: Oke (1978) Gambar 7. Profil kecepatan angin di permukaan kota, suburban dan daerah

terbuka (a), serta pengaruh stabilitas (b, c, d, e)

Pada skala vertikal kecepatan angin meningkat terhadap ketinggian, dan dapat dihitung dengan menggunakan pendekatan Deacon dalam Wark dan Warner (1981) sebagai berikut:

2 2

1 1

p

u z

u z

⎛ ⎞

= ⎜ ⎟

⎝ ⎠ ……. 2.4

dengan : u1, u2 = kecepatan angin pada dua lapisan ketinggian yang berbeda (ms-1)

z1, z2 = ketinggian dua lapisan (m); p = fungsi stabilitas atmosfer

Menurut Geiger, Aron dan Todhunter (1995), variasi angin terhadap ketinggian maksimum terjadi di atas permukaan yang tidak beraturan dan minimum di atas daratan yang datar dan permukaan air. Pada daerah yang penuh bangunan tinggi nilai p sekitar 0,40 kota kecil dan daerah berhutan p = 0,28 sedangkan untuk daerah terbuka dan datar, danau dan laut nilai p = 0,16.

Tabel 7. Nilai p untuk model profil angin sebagai pengaruh kekasapan permukaan Kelas stabilitas p (kota) p (desa)

A B C D E F

0,15 0,15 0,20 0,25 0,40 0,60

[image:45.612.211.404.71.261.2]
(46)

Wark dan Warner (1981) mengemukakan bahwa nilai p pada persamaan 2.4 dapat dihubungkan dengan nilai n (parameter stabilitas):

2

n p

n

=

− ……. 2.5

Pada kondisi netral, persamaan 2.4 menjadi:

* ln o u z u k z ⎛ ⎞ =

⎝ ⎠ ……. 2.6

dengan u* τ

ρ

=

Keterangan : u = kecepatan angin pada ketinggian z

k = konstanta von Karman (0,4 untuk dekat permukaan tanah)

zo= panjang kekasapan permukaan (bidang yang paling aktif

melakukan pertukaran), makin halus permukaan zo makin kecil

diukur dari analisa profil = tegangan geser permukaan ρ= kerapatan atmosfer

[image:46.612.109.495.29.774.2]

u* = kecepatan gesekan (sher velocity) merupakan indikasi turbulensi dan bergantung ketinggian

Tabel 8. Hubungan antara parameter n dengan kondisi stabilitas atmosfer

Kondisi stabilitas n

Laju penurunan suhu besar

Laju penurunan suhu kecil atau nol Inversi moderat Inversi kuat 0,20 0,25 0,33 0,50 Sumber: Suton dalam Wark dan Warner (1981)

Jika u*

k dianggap sebagai suatu konstanta c, maka persamaan 2.6 menjadi :

log o z u c z ⎛ ⎞ =

⎝ ⎠ ……. 2.7

ketika terjadi inversi, udara dingin cenderung bertahan di permukaan, sehingga:

1 du

cz dz

= ……. 2.8

menurut Geiger, Aron dan Todhunter (1995) secara umum persamaan 2.8 ditulis menjadi: du cz dz β −

= ……. 2.9

(47)

2.6.4Kondisi Topografi

Kondisi topografi suatu wilayah akan mempengaruhi angin dan suhu udara di atasnya. Perbedaan penerimaan radiasi matahari antara datar dan berlereng menyebabkan terjadinya pola aliran udara yang mengikuti perbedaan suhu dan tekanan udara di atasnya.

Pengaruh topografi cukup rumit, sehingga menurut Barry (1968), perlu mengenali jenis pegunungan dengan kriterianya. Pada dasarnya perlu dibedakan antara puncak yang terisolasi, yaitu rangkaian pegunungan yang cukup besar untuk memodifikasi aliran udara ke atas maupun ke bawah, dan dataran tinggi yang membentuk penghalang utama untuk gerakan udara dan memiliki iklim sendiri. Puncak yang tinggi mengalami suhu yang hampir sama dengan udara bebas pada ketinggian yang sama, sementara dataran tinggi dipanaskan dan didinginkan oleh proses radiasi. Lembah diantara dataran tinggi memiliki atmosfer ‘tertutup’ yang secara diurnal dimodifikasi oleh pendinginan malam hari, khususnya di musim dingin dan dinaikkan

Gambar

Gambar 2. Konsentrasi TSP, PM10 dan debu
Gambar 3. Konsentrasi SO2 di 24 titik sampel
Tabel 4 . Beberapa jenis pencemar udara dan pengaruhnya terhadap manusia
Tabel 5. Ukuran cerobong pabrik pengolahan besi dan peleburan baja di PT Krakatau Steel
+7

Referensi

Dokumen terkait