• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan sarang burung walet di Taman Nasional Betung Kerihun Propinsi Kalimantan Barat studi kasus di Desa Tanjung Lokang, Kecamatan Kedamin, Kabupaten Kapuas Hulu, Propinsi Kalimantan Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengelolaan sarang burung walet di Taman Nasional Betung Kerihun Propinsi Kalimantan Barat studi kasus di Desa Tanjung Lokang, Kecamatan Kedamin, Kabupaten Kapuas Hulu, Propinsi Kalimantan Barat"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN SARANG BURUNG WALET DI

TAMAN NASIONAL BETUNG KERIHUN PROPINSI

KALIMANTAN BARAT

(Studi Kasus di Desa Tanjung Lokang, Kecamatan Kedamin, Kabupaten

Kapuas Hulu, Propinsi Kalimantan Barat)

ADIWICAKSANA

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

PENGELOLAAN SARANG BURUNG WALET DI

TAMAN NASIONAL BETUNG KERIHUN PROPINSI

KALIMANTAN BARAT

(Studi Kasus di Desa Tanjung Lokang, Kecamatan Kedamin, Kabupaten

Kapuas Hulu, Propinsi Kalimantan Barat)

Oleh:

ADIWICAKSANA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(3)

Judul Skripsi : PENGELOLAAN SARANG BURUNG WALET DI TAMAN NASIONAL BETUNG KERIHUN PROPINSI KALIMANTAN BARAT (Studi Kasus di Desa Tanjung Lokang, Kecamatan Kedamin, Kabupaten Kapuas Hulu, Propinsi Kalimantan Barat)

Nama Mahasiswa : ADIWICAKSANA

NRP : E34101032

Departemen : Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas : Kehutanan

Menyetujui :

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

(Ir. Arzyana Sunkar, MSc.) NIP : 132 133 692

(Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MScF) NIP : 131 760 834

Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

(Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS) NIP. 131 430 799

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah mencurahkan Rahmat serta Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan masa studinya pada waktu yang tepat. Shallawat dan salam tak lupa penulis ucapkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menerangi jalan hingga akhir zaman. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Peneletitian mengenai “Pengelolaan Sarang Burung Walet Secara Kolaboratif di Desa Tanjung Lokang Taman Nasional Betung Kerihun Kabupaten Kapuas Hulu Propinsi Kalimantan Barat” yang disajikan dalam skripsi ini memuat tentang pola pengelolaan sarang burung walet oleh masyarakat Desa Tanjung Lokang sebagai pemilik saham sarang burung walet. Pengelolaan dilakukan dengan memanen sarangnya setiap 45 hari sepanjang tahun. Dengan pola pengelolaan yang diterapkan saat ini, tidak dapat dipungkiri bahwa lama kelamaan populasi burung walet akan menurun dan produktivitas sarang akan berkurang. Skripsi ini juga membahas mengenai keterlibatan Taman Nasional Betung Kerihun selaku pengelola kawasan konservasi dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu selaku penguasa daerah, dalam perannya untuk berkolaborasi dengan masyarakat Desa Tanjung Lokang, agar pengelolaan sarang burung walet yang dilakukan dapat lestari.

Penelitian ini merupakan bagian dari proyek “Trade off between biodiversity values and forest exploitation” yang diselenggarakan oleh Tropenbos International-Indonesia Programme (TBI-Indonesia) dan didanai sepenuhnya oleh TBI-Indonesia.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum dapat dikatakan sempurna, maka dari itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan skripsi ini.

Bogor, Maret 2006

(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Ibu Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.ScF yang telah membimbing dan membina penulis selama penelitian serta penulisan skripsi ini.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M.Agr selaku dosen penguji dari Departemen THH dan Ir. Muhdin, M.Sc selaku dosen penguji dari Departemen MNH atas masukan saran dan perbaikan dalam proses penyempurnaan skripsi ini.

3. Papa, Mama, Abang, Bunda, dan Opa atas doa dan kasih sayang yang tiada henti diberikan kepada penulis.

4. Tropenbos International-Indonesia Programme yang telah mendanai penelitian serta penyusunan skripsi ini.

5. Bapak Dr. Dicky Simorangkir, Alfa Ratu Simorangkir, S.Hut, dan Indrawan Suryadi, S.Hut, selaku wakil dari TBI-Indonesia atas bantuan dan bimbingan selama berlangsungnya penelitian.

6. Bapak Ir. Agus S.B. Sutito, M.Sc selaku Kepala Balai Taman Nasional Betung Kerihun, Bapak Drs. Parlindungan MM selaku Kepala Sub Bagian Tata Usaha TNBK, Bapak Ramli Panggabean, S.Hut selaku Kepala Seksi Konservasi II Kapuas TNBK atas fasilitas dan informasi yang telah diberikan.

7. Bapak Antonius Vevri, S.si, Arrafi Nursyahdi, Guruh Nurcahyo, Bang Pai, dan Bang Mustaruddin selaku pegawai TNBK atas bantuan yang diberikan selama penulis melakukan penelitian.

8. Bang Hotten, Anussapati, Bang Agus, Pak Alay, Pak Mering, Pak Arifin dan teman-teman di Desa Tanjung Lokang yang telah membantu penulis selama penelitian di lapangan.

9. Bapak Noerdjito selaku peneliti burung pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atas informasi mengenai burung walet yang diberikan.

(6)

11.Teman-teman FAHUTAN’38 atas persaudaraan yang terjalin selama penulis kuliah.

12.Awak pesawat RAFALE (Erick, Ambang, Wempy, Nanang, Dedet, Ucok, Cahyo, Aji, dan Devis) atas kebersamaan, persaudaraan, pengalaman berharga dan kekeluargaan yang terbangun bersama.

13.Teman-teman MALEA, ALMA, MEGA 2, KOMANDO, RINJANI, dan ALASKA.

14.Bi Marni, Bi Cicih, Bu Evan, Bu Titin, Kang Acu, Kang Yatna, Bu Eti, Bu Tuti dan seluruh staff KPAP serta dosen-dosen KSH yang telah memberikan pelayanan, bimbingan dan pelajaran terbaik dalam proses studi penulis.

15. Nur Maliki Arifiandy atas kesabaran, kasih sayang, perhatian dan pengertian selama penulis menjalani kehidupan di kampus. You’re my most precious jewel in the world.

16.My black Astrea Grand F6664B yang telah menemani kemanapun penulis pergi tanpa mengenal lelah. Hope you get a better owner wherever you are.

17.Serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.

Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak yang membutuhkan.

Bogor, Maret 2006

(7)

RIWAYAT HIDUP

ADIWICAKSANA dilahirkan di Bogor pada tanggal 7 September 1983. Penulis merupakan anak bungsu dari 2 bersaudara keluarga Ismeth Inounu dan Nurhasanah Hidajati. Penulis menempuh jalur pendidikan sejak tahun 1988 pada TK Negeri Mexindo Bogor, dilanjutkan pada tahun 1989 di SDN Papandayan 1 Bogor. Tahun 1995 penulis melanjutkan pendidikan di SLTPN 2 Bogor, dan pada tahun 1998 penulis melanjutkan pendidikan di SMUN 1 Bogor. Pada tahun 2001 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI)

Pada tahun 2004, penulis melakukan kegiatan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Perum Perhutani Unit II Jawa Timur KPH Ngawi, dan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah KPH Banyumas Timur dan Banyumas Barat. Pada tahun yang sama penulis mendapat kesempatan menjadi salah satu delegasi IPB untuk mengikuti International Forestry Students Symposium (IFSS) di Toronto, Kanada. Pada tahun 2005 penulis pernah menjadi Relawan Kita Peduli Indosiar dalam membantu korban bencana tsunami di Meulaboh, Nangroe Aceh Darussalam. Pada tahun yang sama penulis mengikuti Praktek Kerja Lapang Profesi di Taman Nasional Bali Barat. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif di beberapa organisasi kampus antara lain: Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan (HIMAKOVA), International Forestry Student Association (IFSA)-LC IPB, dan UKM Uni Konservasi Fauna (UKF-IPB).

(8)

RINGKASAN

Adiwicaksana. Pengelolaan Sarang Burung Walet Taman Nasional Betung Kerihun Propinsi Kalimantan Barat (Studi Kasus di Desa Tanjung Lokang, Kecamatan Kedamin, Kabupaten Kapuas Hulu, Propinsi Kalimantan Barat). Di bawah bimbingan Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc dan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi M.Sc.F

Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan yaitu sarang burung walet (Aerodramus sp.). Kegiatan pemanenan sarang burung walet telah lama dilakukan oleh masyarakat Desa Tanjung Lokang yang berada di dalam kawasan TNBK. Terjadinya kasus pencurian menyebabkan masyarakat memanen sarang burung walet sebelum masa panen. Hal ini menyebabkan menurunnya jumlah populasi burung walet karena burung walet tidak bisa beregenerasi. Untuk mencegah hal lama Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Kapuas Hulu mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) No. 11/2000 tentang Pengelolaan, Pemanfaatan dan Pelestarian Sarang Burung Walet, dengan tujuan mengatur masa panen serta menetapkan besar retribusi izin pengelolaan dan pengusahaan sarang burung walet. Masyarakat yang mengelola sarang burung walet merasa dirugikan karena mereka harus membayar retribusi, padahal masyarakat telah mengelola sarang burung walet jauh sebelum Perda tersebut dikeluarkan. Untuk mengatasi permasalahan antara masyarakat Desa Tanjung Lokang dan pihak Pemda Kapuas Hulu, diupayakan adanya pengelolaan secara kolaboratif yang difasilitasi oleh TNBK.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu panduan wawancara dan peta kawasan TNBK. Sedangkan alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, kamera, dan tape recorder

Perolehan data berupa hasil pengamatan terhadap setiap stakeholder yaitu masyarakat Desa Tanjung Lokang, Pemda Kabupaten Kapuas Hulu, dan Taman Nasional Betung Kerihun, diklasifikasikan berdasarkan informasi-informasi yang diinginkan seperti: (1) Identifikasi karakter stakeholder, (2) Kepentingan para pihak dalam hubungannya dengan permasalahan yang harus dicari jalan keluarnya, (3) Identifikasi konflik kepentingan antar pihak, (4) Hubungan para pihak yang mungkin untuk dilibatkan dalam kerjasama, (5) Kapasitas stakeholder, (6) Jenis partisipasi yang memungkinakan untuk dilaksanakan.

Kemudian dilakukan Content analysis dengan mengelompokkan peraturan-peraturan tentang sarang burung walet yang ada ke dalam elemen-elemen aspek kajian yang dapat dikaji dan dibandingkan.

Pengelolaan sarang burung walet dimulai sejak tahun 1989-1990 dengan mendapatkan surat izin pengelolaan dari kepala desa. Untuk mengendalikan pengelolaan maka dibentuk peraturan desa yang mengharuskan pemegang saham membayar retribusi sebesar Rp. 25.000,-/kg dan biaya administrasi sebesar Rp. 25.000,- untuk pengembangan dan pembangunan desa. Hal ini menjadi kendala ketika masyarakat enggan membayar uang retribusi karena peraturan tersebut tidak terealisasi dalam pengembangan dan pembangunan desa.

(9)

dari mulai awal penjagaan, pemanenan sampai pengangkutan. Dalam pelaksanaan jadwal trip, para pemilik saham harus mengatur jadwal tripnya sesuai kesepakatan. Penjagaan dilakukan oleh beberapa orang penjaga gua sekaligus pemanen sarang. Biaya yang harus dikeluarkan oleh pemilik saham untuk mengupah penjaga sekaligus pemanen yaitu sebesar Rp. 750.000,- sampai Rp. 1.000.000,- per orang dalam satu trip, ditambah uang perbekalan sebesar Rp. 500.000,-.

Sebanyak 68% pemegang saham sarang burung walet di Desa Tanjung Lokang memiliki surat izin pengelolaan dari Kepala Desa. Pemegang saham yang melakukan kegiatan pelestarian sebanyak 16%, yaitu dengan membiarkan anakan burung walet terbang agar dapat beregenerasi. Pemegang saham yang ingin melakukan kolaborasi sebanyak 44%, yaitu bekerjasama dalam hal penjagaan dan pengaturan jadwal yang permanen. Pemegang saham yang mengetahui adanya peraturan tentang pengelolaan sarang burung walet yaitu Perda, adalah sebanyak 44%.

Kendala dan permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan sarang burung walet yaitu tumpang tindih jadwal serta pengaturan yang belum permanen, penjualan saham kepada pihak lain, Perda dan kebijakan yang belum diterapkan dengan maksimal, jumlah retribusi yang tidak sesuai, pungutan liar, perampokan, dan pemanenan sepanjang tahun.

Stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sarang burung walet di Desa Tanjung Lokang adalah masyarakat pemegang saham, TNBK, dan Pemda Kapuas Hulu, ketiga stakeholder tersebut sama-sama ingin melakukan kolaborasi namun sampai saat ini belum ada bentuk kerjasama

Berdasarkan hasil Content Analysis tentang Perda Kabupaten Kapuas Hulu No.11/2000 dan Kepmenhut No/100/Kpts-II/2003, kedua peraturan tersebut sama-sama memiliki tujuan pengelolaan yang lestari dan untuk kesejahteraan masyarakat. Perbedaan yang terlihat pada kedua peraturan tersebut adalah aspek kajian Kepemilikan Gua, Lokasi, Intensitas Pemanenan, Prosedur Pemanenan, Pengamanan, Perpanjangan dan Pemindah Tanganan Izin, dan Pengawas. Sedangkan aspek kajian yang perlu ditambah adalah kegiatan rehabilitasi, mekanisme kontrol, sanksi berdasarkan bobot pelanggaran, dan biologi perkembangan burung walet.

Peraturan tentang pengelolaan sarang burung walet yang ada belum diterapkan secara maksimal, hal ini dapat terjadi karena belum maksimalnya sosialisasi serta konsultasi publik pada saat penyusunan.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Manfaat ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Hubungan Masyarakat dengan Kawasan Lindung... 4

Taman Nasional ... 4

Manajemen Kolaboratif ... 5

Analisis Stakeholder ... 6

Content Analysis ... 7

Ekosistem Gua ... 8

Burung Walet ... 9

Teknik Pemanenan Sarang Burung Walet ... 11

Sistem Pengelolaan Gua Walet Alam ... 12

Peraturan yang Berkaitan dengan Pengelolaan Sarang Burung Walet ... 13

METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian ... 14

Bahan dan Alat ... 14

Metode Pengumpulan Data ... 14

Analisis Data ... 17

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Sejarah dan Status Kawasan ... 19

Kondisi Fisik ... 19

Biologi dan Ekologi ... 21

Sosial Ekonomi dan Kebudayaan ... 24

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Pengelolaan Sarang Burung Walet di Desa Tanjung Lokang ... 28

Karakteristik Pemegang Saham Sarang Burung Walet di Desa Tanjung Lokang ... 33

Kendala dan Permasalahan Dalam Pengelolaan Sarang Burung Walet di Desa Tanjung Lokang ... 37

Stakeholder yang Terlibat dalam Pengelolaan Sarang Burung Walet ... 43

(11)

Aspek Kajian yang Perlu Ditambah ... 48

Upaya Pengelolaan Kolaboratif Dalam Pengelolaan Sarang Burung Walet ... 58

Strategi Pengelolaan Kolaboratif ... 60

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 64

Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 66

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Kerangka Matriks Pengumpulan Data ... 16 Tabel 2. Data Gua dan Pemilik Saham Sarang Burung Walet

di Desa Tanjung Lokang ... 30 Tabel 3. Harga Sarang Burung Walet ... 32 Tabel 4. Identifikasi Stakeholder dalam Pengelolaan Sarang

Burung Walet ... 44 Tabel 5. Content Analysis Kepmenhut No.100/Kpts-II/2003

dan Perda No.11/2000 ... 50 Tabel 6. Keuntungan dan Kerugian Sistem Pengelolaan

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Diagram Alir Metode Penelitian ... 15

Gambar 2. Diagram Jumlah Penduduk Desa Tanjung Lokang Berdasarkan Usia ... 25

Gambar 3. Ladang Masyarakat di Tepi Sungai... 25

Gambar 4. Hasil Pertanian Masyarakat Desa Tanjung Lokang di Dalam Kawasan TNBK ... 26

Gambar 5. Pola Pengelolaan Sarang Burung Walet di Desa Tanjung Lokang ... 31

Gambar 6. Jadwal Trip ... 32

Gambar 7. Pondok Penjaga Gua ... 32

Gambar 8. Daun Sarang Burung Walet ... 33

Gambar 9. Kaki Sarang Burung Walet ... 33

Gambar 10. Diagram Jumlah Pemegang Saham Sarang Burung Walet Berdasarkan Usia ... 34

Gambar 11. Diagram Jumlah Pemegang Saham Sarang Burung Walet Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 34

Gambar 12. Diagram Karakteristik Pemegang Saham Sarang Burung Walet di Desa Tanjung Lokang ... 35

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Data Penduduk Kecamatan Kedamin Kabupaten

Kapuas Hulu ... 70

Lampiran 2. Data Pemegang Saham Gua Sarang Burung Walet ... 71

Lampiran 3. Perda No.9 tahun 1999 ... 73

Lampiran 4. Perda No.11 thun 2000 ... 86

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bentuk negara kepulauan Indonesia dengan potensi sumberdaya alam yang tinggi memiliki fungsi penting untuk ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya. Salah satu pulau besar dari gugusan kepulauan Indonesia tersebut adalah Pulau Kalimantan. Kalimantan memiliki keanekaragaman hayati flora dan fauna yang tinggi, serta susunan bentang alam dan struktur geologi yang unik. Sejarah pembentukan daratan pulau ini pada masa lampau mendukung terbentuknya suatu ekosistem karst.

Ekosistem karst dapat menyusun sebuah bentukan alami yang dinamakan gua. Pembentukan yang berlangsung lama ini telah membentuk suatu tata ruang dan arsitektur yang indah, serta menyimpan kekayaan yang tinggi dan unik didalamnya. Salah satu fungsi ekologis gua adalah sebagai tempat hidup (habitat) bagi fauna, dimana fauna-fauna gua mampu beradaptasi dengan kondisi yang gelap dan berudara lembab. Salah satu fauna gua yang dapat dimanfaatkan oleh manusia adalah burung walet. Burung ini menghasilkan sarang dari air liurnya yang dimanfaatkan sebagai bahan makanan dan obat-obatan dan memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Hal ini memicu pemanenan sarang tanpa memperhatikan aspek kelestariannya.

Kegiatan pemanenan sarang burung walet telah dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang tinggal disekitar gua-gua tempat walet bersarang. Tidak sedikit dari gua-gua tersebut berada di dalam kawasan lindung dan konservasi sehingga menimbulkan benturan dengan aturan-aturan hukum yang berlaku dalam suatu kawasan yang dilindungi. Peran bersama antara pengelola kawasan dan pihak terkait lainnya sangat diperlukan untuk menyelaraskan kepentingan-kepentingan yang ada, baik dari masyarakat maupun pihak-pihak lain.

(16)

dimana masyarakatnya telah melakukan kegiatan pengambilan sarang burung walet sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai taman nasional.

Upaya masyarakat Desa Tanjung Lokang untuk dapat terus mengambil sarang burung walet sekaligus menjaga kelestarian burung walet mengalami kendala ketika terjadi banyak kasus pencurian sebelum masa panen. Hal tersebut membuat para pengumpul sarang walet mengambil sarang burung walet sebelum masa panen atau sebelum anakan burung menetas. Kondisi seperti ini akan menimbulkan banyak kerugian tidak hanya bagi masyarakat Desa Tanjung Lokang itu sendiri, tapi juga kelestarian burung walet.

Pada saat yang bersamaan, Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Kapuas Hulu mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) No. 11/2000 tentang Pengelolaan, Pemanfaatan dan Pelestarian Sarang Burung Walet. Namun hal tersebut membuat masyarakat justru merasa dirugikan karena harus memiliki izin pengambilan sarang burung walet, padahal sejak dulu masyarakat telah mengelola sarang burung walet sebelum perda tersebut ditetapkan. Dikeluarkannya Perda No.11/2000 telah memicu konflik antara masyarakat dengan pemerintah daerah dalam pengelolaan sarang burung walet. Pemerintah yang dianggap mempunyai otoritas dalam mengelola sumberdaya alam menggambarkan ketidak seimbangan kekuatan.

Paradigma baru dalam pengelolaan kawasan konservasi menuntut masyarakat untuk dilibatkan dalam kegiatan pengelolaan kawasan. Kepentingan-kepentingan masyarakat juga harus dipertimbangkan dalam membuat keputusan maupun tindakan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang ada di dalam kawasan konservasi tersebut.

(17)

Tujuan

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan alternatif solusi yang mampu mengakomodasikan kepentingan masyarakat dan pihak lain yang terlibat, berupa collaborative management dalam pengelolaan, perlindungan, dan pemanfaatan sarang burung walet dalam kawasan Taman Nasional Betung Kerihun. Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai adalah:

1. Mengetahui pola pengelolaan sarang burung walet oleh masyarakat Desa Tanjung Lokang.

2. Mengetahui kendala dan permasalahan yang ada dalam pengelolaan sarang burung walet.

3.Mengidentifikasi stakeholder yang berperan dalam pengelolaan sarang burung walet.

4.Mengidentifikasi peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan sarang burung walet.

5.Menganalisis kebijakan tentang pengelolaan, pemanfaatan, dan pelestarian sarang burung walet.

Manfaat

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Hubungan Masyarakat dengan Kawasan Lindung

Pendayagunaan sumberdaya alam oleh manusia akan menimbulkan perubahan-perubahan ekosistem sehingga mempengaruhi pula sumberdaya-sumberdaya lain beserta lingkungannya. Pengaruh tersebut dapat bersifat langsung maupun tidak langsung (Soerianegara, 1977). Untuk masyarakat desa terutama yang bermukim disekitar hutan, hubungan langsung seperti itu masih berlaku. Pada kondisi seperti ini masyarakat leluasa masuk hutan untuk mencari keperluan sehari-hari tanpa ada batasan. Bila segala kebutuhan dasar masyarakat bisa didapat dari sekitar hutan kawasan konservasi, mereka tidak akan memasuki kawasan konservasi, dan akan ikut melindungi dan memeliharanya (Nasendi, 1986)

Penetapan suatu kawasan yang telah didiami oleh masyarakat lokal menjadi kawasan yang dilindungi, harus memberikan otorita kepada masyarakat setempat untuk mengatur kegiatan kelompoknya sendiri. Beberapa hal pokok yang harus diperhatikan dalam penetapan kawasan dilindungi yang berkaitan dengan masyarakat setempat yaitu :

1. Dalam menetapkan kawasan yang dilindungi, hindari pemindahan pemukiman penduduk asli ke tempat lain.

2. Kawasan yang dilindungi harus cukup luas untuk menampung dwi-fungsi, cagar untuk alam dan cagar bagi penduduk setempat.

3. Perencanaan kawasan yang dilindungi harus dapat mengantisipasi pertambahan penduduk dan perubahan budaya.

4. Pegawai penjaga taman nasional harus diambil dari penduduk setempat (Brownrigg dalam MacKinnon et al., 1990)

Taman Nasional

(19)

nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang luas, baik di darat maupun di laut, yang didalamnya terdapat satu atau lebih ekosistem alam yang utuh tidak terganggu, di dalamnya terdapat jenis-jenis tumbuhan atau satwa beserta habitatnya, juga tempat-tempat yang secara geomorfologis bernilai untuk kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan, budaya, rekreasi dan pariwisata, panorama alam yang menonjol, dimana masyarakat diperbolehkan masuk ke dalam kawasan untuk berbagai kepentingan tersebut.

Menurut Bratamihardja (1979), sistem taman nasional memiliki keunggulan dibandingkan dengan sistem kawasan konservasi lain, diantaranya adalah:

1. Taman nasional dibentuk untuk kepentingan masyarakat karena harus bermanfaat bagi masyarakat dan didukung oleh masyarakat.

2. Konsep pelestarian didasarkan atas perlindungan ekosistem sehingga mampu menjamin eksistensi unsur-unsur pembentuknya.

3. Taman nasional dapat dimasuki oleh pengunjung sehingga pendidikan cinta alam, kegiatan rekreasi dan fungsi-fungsi lainnya dapat dikembangkan secara efektif.

Manajemen Kolaboratif

Manajemen kolaboratif adalah sebuah bentuk manajemenen yang mengakomodasi kepentingan-kepentingan stakeholder secara adil sesuai dengan peran yang dimainkan, memandang harkat setiap stakeholder sebagai entitas yang sederajat sesuai dengan tata nilai yang berlaku, sehingga seluruh stakeholder yang ada memiliki posisi yang setara dalam proses pengambilan keputusan dan dapat mencapai tujuan bersama (Margitawaty, 2004; Tadjudin, 2000). Sedangkan menurut Borrini-Feyerabend (2000), manajemen kolaboratif adalah situasi dimana dua atau lebih pelaku sosial bernegosiasi, mendefinisikan dan menjamin pembagian fungsi pengelolaan, peran dan tanggung jawab secara adil atas daerah kekuasaan atau sumberdaya alam yang diberikan

(20)

sama dengan pihak terkait lainnya. Dalam proses kolaborasi, aspek-aspek yang menjadi objek pertukaran adalah keselarasan pemikiran, keseimbangan kekuasaan, dan pengambilan keputusan.

Menurut Tadjudin (2000), tujuan manajemen kolaboratif adalah:

1. Menyediakan instrumen untuk mengenali stakeholder yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya hutan secara profesional

2. Meningkatkan potensi kerjasama antar stakeholder secara egaliter dengan memperhatikan prinsip sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat dan prinsip kelestarian lingkungan

3. Menciptakan mekanisme pemberdayaan masyarakat agar dapat mengaktualisasikan pengetahuan dan kearifan lokalnya secara baik dan menyumbangkannya dalam wahana manajemen pengelolaan sumberdaya hutan

4. Menciptakan mekanisme pembelajaran yang dialogik untuk memperoleh rumusan tentang bentuk dan pola pendayagunaan sumberdaya hutan yang produktif dan lestari

5. Memperbaiki tindakan-tindakan perlindungan hutan melalui mekanisme internalisasi hal-hal eksternal yang mengancam kelestarian sumberdaya hutan yang bersangkutan

6. Menyediakan sistem manajemen yang membuka kesempatan selebar-lebarnya bagi tindakan perbaikan dalam setiap tahapan manajerialnya.

Analisis Stakeholder

(21)

Menurut Social Development Department (1995), stakeholder adalah seseorang, kelompok, atau institusi yang memiliki ketertarikan dalam sebuah proyek atau program. Stakeholder utama adalah mereka yang sangat berpengaruh baik secara positif (menguntungkan) maupun negatif (tidak membantu). Stakeholder sekunder adalah mereka yang memiliki pengaruh sedang dalam proses penyelesaian proyek.

Menurut Allen dan Kilvington (2001) dan Social Development Department (1995), analisis stakeholder adalah suatu identifikasi pihak-pihak utama, pelaku proyek, analisis kepentingan, dan bagaimana kepentingan tersebut berpengaruh terhadap suatu program serta pengaruh yang ditimbulkan atas kepentingan tersebut terhadap resiko dan keberlangsungan suatu proyek. Analisis stakeholder merupakan suatu tahap yang diperlukan untuk membangun hubungan yang diperlukan untuk kesuksesan suatu program atau kebijakan dan memberikan kontribusi terhadap pola pengelolaan melalui kerangka pemikiran yang logis, dan dengan membantu mengidentifikasi pola partisipasi stakeholder yang tepat. Analisis stakeholder juga dapat membantu inisiator program untuk memperkirakan lingkungan sosial dimana mereka akan bekerja sehingga dapat menyusun sekumpulan langkah yang diperlukan untuk kesuksesan program atau kebijakan yang akan dijalankan.

Analisis stakeholder merupakan suatu ringkasan yang mampu menggambarkan para pihak yang mempengaruhi dan terkena dampak pada suatu sistem pengelolaan (Harding, 2002).

Content Analysis

(22)

Ekosistem Gua

Gua menurut definisi Union Internationale de Speleologie (UIS) dalam Kartiwa (1997) adalah ruangan di bawah tanah yang dapat dimasuki orang. Pengertian gua juga mencakup ruangan-ruangan yang lebih kecil, misalnya rekahan-rekahan, celah-celah yang biasa terdapat dalam batu gamping (Ko dalam Kartiwa, 1997)

Gua menunjang kehidupan binatang yang melimpah dan komunitas fauna yang khas. Binatang-binatang gua dapat dibedakan dalam tiga golongan:

Troglobit, atau jenis-jenis obligat gua, yang hanya dapat mempertahankan hidupnya di dalam lingkungan gua;

Troglofil, jenis-jenis yang hidup dan berkembang biak di dalam gua, tetapi juga ditemukan di habitat mikro di luar gua, yang gelap dan lembab seperti di dalam gua;

Trogloksen, atau jenis-jenis yang secara teratur memasuki gua unuk berlindung, tetapi biasanya mencari makan diluar gua. Burung walet gua dan kelelawar termasuk dalam golongan ini dan menempati pusat jaring-jaring kehidupan gua (MacKinnon et al., 2000)

Pemasok makanan utama bagi fauna gua adalah burung-burung walet dan kelelawar, yang mencari makan di hutan sekeliling gua tetapi bertengger dan bersarang di dalam gua. Binatang-binatang lain dalam komunitas gua secara langsung atau tidak langsung bergantung pada kelelawar dan walet yang menggunakan gua sebagai tempat berlindung (MacKinnon et al., 2000)

Secara fisik, gua merupakan cover bagi burung walet. Menurut Marzuki et al.dalam Kartiwa (1997), gua mempunyai tiga bagian penting yaitu:

1. Area untuk berputar-putar (roving area) 2. Ruangan untuk berputar-putar (roving room) 3. Ruangan untuk beristirahat (resting room)

(23)

dekat mulut gua. Resting room adalah tempat burung walet beristirahat, membangun sarang dan berkembang biak.

Profil dinding gua menentukan lokasi sarang di dalam gua. Profil dinding gua yang disukai adalah yang memiliki tonjolan-tonjolan pendek yang menggantung. Pada dinding gua yang basah, sarang yang terbentuk kurang kuat, lembek, dan lekas berubah warna dari putih menjadi kecoklatan (Soeparmo dalam Kartiwa, 1997)

Menurut Francis dalam Kartiwa (1997), ukuran gua dapat mempengaruhi kelembaban dan kecepatan keringnya sarang sehingga akan berpengaruh terhadap sarang yang dihasilkan. Gua yang kecil (small cave) mempunyai variasi lingkungan internal yang rendah dengan kelembaban tinggi dan suhu relatif tetap sehingga sarang yang dihasilkan tidak mudah kering. Gua yang besar atau lebar (large cave) memiliki fluktuasi lingkungan internal tinggi dengan temperatur tinggi dan kelembaban relatif rendah, sehingga sarang yang dihasilkan cepat kering.

Burung Walet

Walet merupakan pemakan serangga di udara, dan sambil terbang menangkap semua mangsanya. Mereka merupakan penerbang yang efisien dan terbang terus-menerus bila berada di luar gua, sering mencari makan dalam jarak yang cukup jauh. Misalnya kebanyakan walet yang bertengger di Pulau Mantanini, Sabah, terbang ke daratan utama (Kalimantan) untuk mencari makan, menempuh jarak sejauh 20 km sekali terbang (Francis dalam MacKinnon et al., 2000)

(24)

walet Borneo penghuni gua, hanya walet perut putih (Collocalia esculenta) yang tidak dapat berekholokasi. Oleh karena itu burung walet ini biasanya bersarang di jalan masuk gua atau di ruangan dengan penerangan yang relatif baik, sehingga dikebanyakan gua tempat-tempat berkembang biaknya tidak tumpang tindih dengan tempat berkembang biak jenis walet lain (Francis dalam MacKinnon et al., 2000)

Burung walet membuat sarang dari ludah yang dihasilkan sebagai benang-benang halus oleh kelenjar ludah yang terdapat di bawah lidah, kelenjar ini membesar selama musim pembangunan sarang, dan semua jenis pasti menggunakan sejumlah air ludahnya yang lengket untuk pembuatan sarang. Burung walet sarang lumut mempunyai ludah yang paling lunak dan memerlukan semacam penopang yang menonjol untuk menyangga sarangnya. Baik walet sarang hitam maupun walet perut putih mempunyai pengikat sarang yang yang sangat kuat, dan sering membuat sarangnya pada langit-langit gua atau di bawah suatu bagian yang menjorok, sering dengan beberapa sarang yang berlekatan satu sama lain (MacKinnon et al., 2000)

Sarang burung yang dapat dimakan hanya dihasilkan oleh dua jenis di antara burung-burung walet gua, yaitu burung walet sarang hitam Aerodramus maximus dan walet putih Aerodramus fuciphagus. Sarang burung hanya dipanen pada waktu-waktu tertentu dalam musim perkembangbiakan, sekali pada awal musim karena burung akan membangun kembali sarangnya, kemudian sekali lagi pada akhir musim, bila sebagian besar walet muda telah meninggalkan sarang. Meskipun demikian, biasanya tetap terjadi kerugian yang cukup besar karena telur pecah dan anak-anak burung mati (MacKinnon et al., 2000)

(25)

Sarang-sarang burung walet sarang hitam merupakan sarang burung yang lazim dikumpulkan. Di dalam sarang hitam ini terdapat bulu-bulu di dalam ludah dan harus dibersihkan dengan hati-hati sebelum sarang burung itu dimasak. Selain itu, terdapat sarang yang lebih mahal dan lebih jarang yaitu yang terbuat dari ludah murni (MacKinnon et al., 2000)

Melalui cara pengumpulan yang bijaksana, hasil yang berharga ini seharusnya dapat dipanen secara berkelanjutan. Namun di gua-gua yang dipantau dari dekat, seperti Gua Gomantang dan Gua Nipah, populasi burung walet tampaknya mengalami penurunan. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan pencapaian gua yang lebih mudah serta perubahan tataguna lahan, maka tekanan pada sumberdaya yang berharga ini akan meningkat, sehingga strategi pengelolaan yang bijaksana perlu dikembangkan antara lain dengan memperhitungkan biologi perkembangbiakan dan keperluan makanan bagi burung-burung tersebut (MacKinnon et al., 2000)

Teknik Pemanenan Sarang Burung Walet

Pemanenan sarang walet biasanya dibagi ke dalam 3 tahap yaitu tahap persiapan, pelaksanaan dan pengumpulan serta penimbangan sarang. Perlengkapan yang digunakan antara lain lilin yang terbuat dari sarang lebah (bee’s wax), lampu parafin, jala atau matras untuk menadah sarang yang jatuh, tali dan rotan untuk memanjat, serta kantung atau karung. Alat untuk mengunduh sarang berupa galah terbuat dari bambu/kayu yang panjangnya disesuaikan dengan kebutuhan dan dibagian ujungnya dipasangi alat berupa lempengan besi yang diikat dengan rotan (Solihin et al., 1999a)

(26)

dengan tujuan agar sarang tidak terkotori oleh kotoran walet (Solihin et al., 1999a)

Sistem Pengelolaan Gua Walet Alam

Pengelolaan gua walet di Desa Suwaran, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur dibagi kedalam 3 jenis yakni hak milik, paktar atau lelang, dan konservasi (Solihin et al., 1999b). Pengelolaan secara hak milik dilakukan oleh masyarakat yang pertama kali menemukan gua tempat walet bersarang. Pengelolaan cara ini dinilai lebih bijaksana terhadap lingkungan karena didasarkan pada kaidah-kaidah pengelolaan yang diturunkan oleh nenek moyangnya yang didorong oleh rasa memiliki, sehingga populasi walet di alam tidak terlalu terganggu keberadaannya.

Mengingat sarang burung walet merupakan komoditas yang sangat menguntungkan, maka Pemda mengambl alih hak pengelolaan walet dan dijadikan sebagai salah satu sumber PAD. Pengelolaan cara ini memberikan kesempatan kepada masyarakat umum untuk mengelola karena Pemda melelang hak pengelolaannya. Sistem lelang membuat pengelola memanen sarang walet sebanyak-banyaknya dalam periode hak pengelolaan, sehingga populasi walet menurun karena walet tidak diberikan waktu untuk beregenerasi.

Pengelolaan dengan sistem lelang diterapkan di Gua Karangbolong, Gua Pasir, dan Gua Karangduwur, Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen (Kedaulatan-rakyat.com, 2005). Pengelolaan dilakukan dengan memberikan kontrak kepada masyarakat yang memenangkan hak kelola, dengan membayar sejumlah uang kontrak selama satu tahun. Pengelola yang memenangkan hak lelang berhak untuk mengelola sarang burung walet selama satu tahun dan berkewajiban melakukan pelestarian.

(27)

tertanggal 8 Mei 1998 tentang Pengelolaan Sarang Walet secara Konservasi (Bina Kawasan Suaka Alam dan Konservasi Flora Fauna dalam Solihin et al., 1999b)

Menurut James (2003), pengelolaan sarang burung walet yang dilakukan di Gua Niah, Malaysia, mengalami penurunan produksi sebesar 96 persen sejak tahun 1935 sampai 2002. Hal tersebut dikarenakan pengelolaan yang dilakukan tidak memperhatikan aspek kelestarian serta belum adanya peraturan perundangan yang mengatur kegiatan pengelolaan sarang burung walet. Untuk menanggulanginya, pemerintah negara bagian Serawak melarang pemanenan sarang burung walet dari tahun 1989 sampai 1996. Selanjutnya pemerintah mengeluarkan peraturan pengelolaan sarang burung walet dengan ketentuan tidak memanen sarang burung walet selama 4 bulan penuh. Setelah masa pembiakan selama 4 bulan tesebut, pengelolaan dapat dilanjutkan.

Peraturan yang Berkaitan dengan Pengelolaan Sarang Burung Walet

Dalam kegiatan pengelolan

sarang burung walet, terdapat beberapa

peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah baik daerah maupun pusat

untuk mengatur kegiatan pengelolaan sarang burung walet agar kegiatan

pengelolaannya mendapatkan hasil yang lestari dan berkelanjutan.

Perda No. 11/2000 tentang Pedoman dan Pengusahaan Sarang Burung

Walet

Peraturan daerah ini dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten

Kapuas Hulu yang daerahnya terdapat banyak kegiatan pengumpulan

sarang burung walet. Perda ini mengatur kegiatan pengelolaan sarang

burung walet yang dikelola oleh masyarakat dan mengatur besarnya pajak

retribusi yang harus dibayar kepada Pemerintah Daerah.

(28)

Kepmen No.100/2003 tentang Pedoman Pemanfaatan Sarang Burung

Walet

Keputusan

Menteri

Kehutanan ini dikeluarkan untuk memberikan

pedoman kepada pengelola sarang burung walet tentang tata cara

pelaksanaan pengelolaan sarang burung walet. Dalam Kepmen ini juga

dibahas mengenai keterlibatan kepala daerah serta kepala balai Taman

Nasional setempat yang wilayahnya terdapat sarang burung walet yang

(29)

METODOLOGI

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kantor Balai Taman Nasional Betung Kerihun (Balai TNBK), Kompleks Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu, dan Desa Tanjung Lokang, Taman Nasional Betung Kerihun. Penelitian dilakukan selama bulan Oktober 2005.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1. Panduan wawancara

2. Peta kawasan TNBK

Sedangkan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Alat tulis

2. Kamera 3. Tape recorder

Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan metode:

1. Metode pengamatan (observation), yaitu dengan mengamati secara langsung gua sarang walet yang berada di dalam kawasan TNBK dan mengamati pengelolaan berupa pemanenan sarang dan penjagaan gua.

2. Metode wawancara mendalam (in-depth interview), yaitu wawancara kepada informan yaitu pihak Pemda, TNBK, dan masyarakat pengelola sarang walet secara mendalam secara berulang untuk memahami jawaban dari pertanyaan yang diajukan secara luwes, terbuka, tidak baku dan informal.

(30)
[image:30.612.100.508.146.664.2]

Penggambaran mengenai metode penelitian dapat dilihat pada diagram alir metode penelitian (Gambar 1).

Gambar 1. Diagram Alir Metode Penelitian Pengumpulan Data :

Wawancara, Observasi, Studi Pustaka

Pengelompokan Data -penyederhanaan data -penggolongan data

Analisis Stakeholder -Identifikasi Stakeholder -Kepentingan Stakeholder -Konflik Kepentingan

-Hubungan Antar Stakeholder -Kapasitas Stakeholder -Jenis Partisipasi

(Allen & Kilvington, 2001)

Content Analysis -Identifikasi Muatan Kebijakan -Identifikasi Ketimpangan Kebijakan

Penyajian Data - Naratif - Bagan - Deskriptif - Tabel

(31)
[image:31.612.91.504.108.712.2]

Data yang dikumpulkan dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Kerangka Matriks Pengumpulan Data

Parameter Variabel Kompleks

Variabel

sederhana Sumber Teknik

Kebijakan Pengelolaan Sarang Walet Penerapan Kebijakan Sosialisasi, Verifikasi TNBK, Pemda,

Masyarakat Wawancara

Keterlibatan Pembuatan Kebijakan

- TNBK, Pemda,

Masyarakat Wawancara

Peraturan dan Kebijakan tentang Sarang Burung Walet - TNBK, Pemda, dan sumber lainnya Studi Pustaka Kondisi Umum Lokasi Penelitian Luas - TNBK, Pemda dan sumber lainnya Wawancara dan studi pustaka Keadaan sosial dan ekonomi masyarakat - TNBK, Pemda, Masyarakat dan sumber lainnya Wawancara dan studi pustaka Pemilikan

Sejarah - TNBK, Pemda,

Masyarakat Wawancara

Cara

mendapatkan Status

TNBK, Pemda,

Masyarakat Wawancara

Legalitas

Kepemilikan Verifikasi

TNBK, Pemda,

Masyarakat Wawancara

Pengelolaan Sarang Walet

Kendala dan Upaya Penanganan

Konflik TNBK, Pemda,

Masyarakat Wawancara

Pencurian TNBK, Pemda,

Masyarakat Wawancara

Penurunan Populasi Burung Walet Masyarakat Wawancara Upaya Pelestarian Teknik Pemanenan, Pembinaan TNBK, Pemda,

Masyarakat Wawancara

Pembinaan Penyuluhan TNBK, Pemda,

Masyarakat Wawancara

Pengamanan - TNBK, Pemda,

Masyarakat Wawancara

Pemanenan Teknik

Pemanenan Masyarakat

Pengamatan langsung Pasca

Panen/Pengolahan

Perlakuan - Masyarakat Wawancara

Proses - Masyarakat Wawancara

Pemasaran

Produk - Masyarakat Wawancara

Kualitas dan

Kuantitas - Masyarakat Wawancara

Harga - Masyarakat Wawancara

Tataniaga - TNBK, Pemda,

Masyarakat Wawancara

Keuntungan Pembagian

Keuntungan

TNBK, Pemda,

Masyarakat Wawancara

Gua Letak dalam

kawasan

Jarak dari desa Tanjung Lokang, jarak antar gua

- Pengamatan

(32)

Analisis Data

Analisis Deskriptif Kualitatif

Perolehan data berupa catatan-catatan dari hasil pengamatan langsung (observasi) di lapangan, wawancara mendalam dengan responden yang berkompeten dan studi pustaka/literatur akan dianalisis berdasarkan tiga jalur analisis data kualitatif yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Analisis data kualitatif merupakan upaya yang berlanjut, berulang dan terus-menerus.

Reduksi data dilakukan dengan menyederhanakan data yang diperoleh dari lapangan dengan meringkas dan menggolongkannya. Kegiatan ini dilakukan untuk menajamkan dan mengorganisasi data sedemikian rupa sehingga didapat data utama yang menjadi pokok penelitian serta mendapatkan kesimpulan akhir.

Penyajian data dilakukan secara naratif deskriptif serta dapat ditunjang dengan bentuk-bentuk bagan, tabel dan matriks, untuk mempermudah pemahaman mengenai hasil analisis data yang telah diperoleh secara lebih terpadu. Terakhir, penarikan kesimpulan dengan melakukan verifikasi data yaitu melakukan pemikiran ulang dan peninjauan ulang data untuk menarik kesimpulan yang kokoh dan tepat.

Analisis Stakeholder

Perolehan data berupa hasil pengamatan terhadap setiap stakeholder yaitu masyarakat Desa Tanjung Lokang, Pemda Kabupaten Kapuas Hulu, dan Taman Nasional Betung Kerihun, diklasifikasikan berdasarkan informasi-informasi yang diinginkan seperti:

1. Identifikasi karakter stakeholder

2. Kepentingan para pihak dalam hubungannya dengan permasalahan yang harus dicari jalan keluarnya

3. Identifikasi konflik kepentingan antar pihak

4. Hubungan para pihak yang mungkin untuk dilibatkan dalam kerjasama 5. Kapasitas stakeholder

(33)

Content Analysis

Content analysis dilakukan dengan mengelompokkan peraturan-peraturan tentang sarang burung walet yang ada ke dalam elemen-elemen aspek kajian yang dapat dikaji dan dibandingkan. Pembagian ke dalam aspek-aspek kajian dilakukan dengan menggunakan tabulasi aspek kajian dan disajikan dalam bentuk tabel. Hasil dari content analysis merupakan perbandingan antara Kepmen No.100/Kpts-II/2003 tentang Pedoman Pemanfaatan Sarang Burung Walet (Collocalia spp) dan Perda Kabupaten Kapuas Hulu No.11/2000 tentang Pedoman Pengelolaan dan Pengusahaan Sarang Burung Walet.

(34)

KEADAAN UMUM TAMAN NASIONAL BETUNG KERIHUN

(TNBK)

Sejarah dan Status Kawasan

Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) adalah kawasan konservasi terbesar di Propinsi Kalimantan Barat. Kawasan konservasi ini berstatus Taman Nasional melalui surat keputusan Menteri Kehutanan No 467/Kpts-II/1995 pada tanggal 5 September 1995 dan secara administratif termasuk ke dalam wilayah Daerah Tingkat II Kabupaten Kapuas Hulu dengan ibukotanya Putussibau.

Kondisi Fisik Letak dan Luas

Kawasan TNBK berada dalam tiga kecamatan yaitu Kecamatan Embaloh Hulu, Kecamatan Embaloh Hilir dan Kecamatan Putussibau. Wilayahnya terbentang memanjang pada 112° 15' - 114° 10' Bujur Timur dan 0° 40' - 1° 35' Lintang Utara yang meliputi total area 800.000 hektar atau sekitar 5,5% dari luas total daratan Propinsi Kalimantan Barat. TNBK berbentuk sempit memanjang berbatasan dengan negara bagian Sarawak, Malaysia di sebelah utara, propinsi Kalimantan Timur di sebelah timur, di sebelah selatan daerah Banua Martinus dan Putussibau, dan wilayah Lanjak/Nanga Badau di sebelah barat. Berdasarkan peta lampiran SK, total garis perbatasan TNBK sepanjang 812 Km yang terbagi menjadi sepanjang 398 Km berbatasan dengan Malaysia, 146 Km dengan batas Propinsi Kalimantan Timur, dan sepanjang 268 Km dengan batas di dalam propinsi Kalimantan Barat. Garis batas yang sangat panjang ini mempunyai konsekuensi pengelolaan dan pengamanan yang amat berat.

Topografi

(35)

TNBK terbagi berdasarkan kelompok ketinggiannya terbesar pada kisaran 200 - 500 m sebanyak 38,51%, diikuti oleh kisaran 500 - 700 m sebanyak 28,14%, 700 - 1.000 m sebanyak 15,90% , 1.000 - 1.500 m sebanyak 11,19%, lebih rendah dari 200 m sebanyak 5,34%, dan yang berketinggian diatas 1.500 m dari permukaan laut hanya 0,92%. Sebagian besar kawasan ini (61,15%) mempunyai kelerengan yang terjal di atas 45% dan yang berlereng diantara 25% - 45% sebanyak 33,08% dari luas kawasan, serta hanya sebanyak 5,77% yang berlereng dibawah 25%. Jadi TNBK hampir tidak mempunyai daerah landai kecuali pada lembah-lembah sungai yang relatif sempit.

Geologi

Satuan geologi di kawasan TNBK terdiri atas Kelompok Embaloh, Kompleks Kapuas, Batuan Terobosan Sintang, serta Kelompok Selangkai dan Vulkanik Lapung. Satuan geologi yang mendominasi TNBK adalah Kelompok Embaloh (85%) dan lainnya adalah kelompok Kompleks Kapuas, Batu Terobosan Sintang, Selangkai, dan kelompok Vulkanik Lapung. Bagian yang sangat menarik secara geologi adalah bagian timur di DAS Bungan. DAS Bungan mempunyai spesifikasi sejarah geologi yang lebih kompleks yaitu perpaduan antara Batuan Gunung api Nyaan (Ten), Kompleks Kapuas (JKlk), Batuan Gunung api Lapung (Tml), dan Batuan Terobosan Sintang (Toms). Sedangkan Litologinya berupa batusabak, batupasir malih, batulanau malih, filit, serpih, argilit, dan turbidit. Tanah

Secara umum, jenis tanah di kawasan TNBK adalah seragam dan termasuk kedalam kelompok Dystropepts dengan tingkat pelapukan ringan. Tanah ini beriklim panas dengan kelembaban rendah walau ditutupi kanopi hutan yang kondisinya masih baik. Adapun jenis tanah yang terdapat di kawasan TNBK secara garis besar tergolong dalam :

(1) Tanah Organosol, dan Glei humus yang terdapat pada daerah-daerah yang drainasenya kurang baik yaitu pada rawa-rawa dan daerah-daerah yang terpengaruh oleh pasang surutnya air sungai. Tanah jenis ini berwarna kelabu sampai hitam dan tersebar di kecamatan Embaloh Hulu.

(36)

lainnya. Kelompok tanah ini tersebar di sepanjang sungai besar termasuk wilayah dataran Sungai Mendalam, Sungai Sibau, dan Sungai Embaloh. (3) Tanah Podsolik Merah Kuning dan tanah Kompleks Podsolik Merah Kuning

serta Latosol yang mendominasi kawasan TNBK. Jenis tanah ini terdapat pada daerah yang berbukit-bukit dan bergelombang sampai pegunungan dan tersebar di wilayah kecamatan Putussibau dan Embaloh Hulu.

Iklim

Secara garis besar iklim di kawasan TNBK adalah tipikal iklim Kalimantan daerah pedalaman yang sangat basah. Bulan yang kering adalah antara bulan Juni - September walaupun jumlah curah hujannya masih diatas 100 mm setiap bulan. Tahun yang terkering terjadi pada tahun 1976 dengan curah hujan 2.863 mm dan hari hujan 120 per tahun. Sedangkan tahun terbasah terjadi pada tahun 1988 dengan curah hujan 5.517 mm dan hari hujan 184 per tahun. Berdasarkan tipe iklim Schmidt & Ferguson hal seperti ini termasuk iklim selalu basah type A dengan nilai Q = 2,6%.

Hidrologi

Sistem hidrologi di kawasan TNBK cukup unik dengan ratusan jaringan sungai kecil dan besar yang termasuk dalam sistem besar daerah aliran sungai (DAS) Kapuas. DAS Kapuas sendiri meliputi area seluas 9.874.910 hektar atau sekitar 67% dari Propinsi Kalimantan Barat. Secara keseluruhan TNBK mempunyai lima bagian Sub DAS yaitu Sub DAS Embaloh di barat, Sub DAS Sibau-Menjakan dan Sub DAS Mendalam di bagian tengah, serta Sub DAS Hulu Kapuas/Koheng dan Sub DAS Bungan di bagian timur.

Biologi dan Ekologi Ekosistem

(37)

Secondary Forest), Hutan Dipterocarpaceae Bukit (Hill Dipterocarp Forest), Hutan Berkapur (Limestone Forest), Hutan Sub-Gunung (Sub-Montane Forest), dan Hutan Gunung(Montane Forest).

Flora

Tidak kurang dari 1.217 jenis flora telah teridentifikasi yang tergolong dalam 418 marga dan 110 suku. Didalamnya terdapat 75 jenis yang endemik Borneo dan sebanyak 14 jenis merupakan catatan baru. Hutan Dipterocarpaceae Dataran Rendah yang merupakan porsi terbesar dari TNBK mempunyai keanekaragaman jenis pohon yang tinggi dan umumnya dari marga Dipterocarpus, Dryobalanops, Hopea, Parashorea, Shorea, dan Vatica.

Mamalia

Tidak kurang dari 48 jenis mamalia ditemukan di TNBK termasuk didalamnya adalah Harimau dahan (Neofelis nebulosa), Kucing hutan (Felis bengalensis), Beruang madu (Helarctos malayanus), Kijang (Muntiacus muntjak), Kijang emas (Muntiacus atherodes), Rusa Sambar (Cervus sp.), dan Kancil (Tragulus napu). Satu jenis Berang-berang (Lutra sumatrana) yang dinyatakan langka oleh IUCN ternyata masih bisa ditemui di DAS Mendalam.

Primata

TNBK mempunyai 7 jenis primata yaitu Orangutan (Pongo pygmaeus), Kelampiau (Hylobates muelleri), Hout (Presbytis frontata), Kelasi (Presbytis rubicunda), Beruk (Macaca nemestrina), Kera (Macaca fascicularis), dan Tarsius (Tarsius bancanus). Besarnya populasi primata ini menunjukkan bahwa kawasan hutan TNBK sangat baik bagi habitat primata, terutama di Sub DAS Embaloh karena ketersediaan makanan. Sumber pakan melimpah di berbagai tipe hutan yang umumnya dari tumbuhan suku Myrtaceae, Moraceae, Euphorbiaceae, Sapindaceae, dan Sapotaceae.

Aves

(38)

Calyptomena whiteheadi, Chlorocharis emiliae, Cyornis superbus, Dicaeum

monticolum, Harpactes whiteheadi, Lonchura fuscans, Lophura bulweri,

Malacocincla perspicillata, Megalaima eximia, Megalaima monticola,

Megalaima pulcherrima, Napothera atrigularis, Oculacincta squamifrons, Pitta

baudii, Pityriasis gymnocephala, Ptilocichla leucogrammica, Prionochilus

xanthopygius, dan Yuhina everetti.

Sebanyak 15 jenis pendatang yang teramati diantaranya adalah Eudynamis scolopaceae, Ficedula mugimaki, Locustella certhiolata, Locustella laceolata,

Motacilla cinerea, Tringa hypoleucos, dan Egretta garzeta. Khusus untuk burung pendatang Tringa hypoleucos dan Egretta garzeta hanya dijumpai di sungai besar Embaloh. Hal yang sama untuk burung Anhinga melanogaster, hanya dijumpai di Sungai Embaloh dan tidak pernah dijumpai di sungai-sungai kecil cabang Embaloh. Sebanyak 63 jenis burung yang ditemui di TNBK merupakan burung yang dilindungi oleh undang-undang, termasuk didalamnya adalah fauna maskot Propinsi Kalimantan Barat yaitu Enggang Gading (Buceros vigil).

Herpetofauna

Sebanyak 103 jenis telah teridentifikasi dan terdiri atas 51 jenis amfibi, 26 jenis kadal, 2 jenis buaya, 3 jenis kura-kura, dan 21 jenis ular. Salah satu temuan yang sangat menarik adalah salah satu katak terkecil di dunia yaitu Leptobrachella myorbergi yang ukuran dewasanya kurang dari satu centimeter. Beberapa jenis kodok (Bufonidae) dan katak pohon (Rhacophoridae) dari marga Ansonia dan Philautus sangat potensial sebagai jenis baru, disamping kelompok kadal dari marga Sphenomorphus, dan marga Calamaria dari kelompok ular. Satu jenis ular dari Gunung Lawit yang berhasil dikoleksi yaitu Stoliczkia borneensis merupakan specimen yang ketiga di dunia, selain satu jenis baru ular Leptolalax hamidi yang deskripsinya sedang dipublikasikan.

Buaya katak (Crocodilus porosus) dan buaya sumpit (Tomistoma schlegelii) diketahui terdapat di Sungai Sibau bagian tengah, tepatnya di antara Nanga Menjakan dan Nanga Potan.

Ikan

(39)

yang diambil dari 123 stasiun di 36 sungai besar dan kecil, menghasilkan 112 jenis ikan yang tergolong dalam 41 marga dan 12 suku. Ditemukan satu jenis ikan pelekat baru dan diberi nama Gastromyzon embalohensis. Suku yang banyak jenisnya adalah Cyprinidae, Balitoridae dan Cobitidae. Ikan Pelekat (Neogastromyzon nieuwenhuisi) dan ikan Kulung (Lobocheilus sp.) adalah ikan yang jumlahnya cukup banyak, sedangkan ikan yang penyebarannya luas adalah ikan Kemayur (Nemachilus saravacencis), ikan Banta (Osteochilus microcephalus), ikan Seluang (Rasbora bankanensis), dan ikan Buntal (Tetraodon leiurus).

Serangga

Tidak kurang dari 170 jenis serangga teridentifikasi di dalam kawasan TNBK. Terdapat hal-hal yang menarik bahkan ada jenis baru dari Coleoptera yaitu Niasia bukat. Paling sedikit 7 marga dari Chrysomelidae yaitu Apththonoides, Clavicornaltica, Gastrolinoides, Lipromorpha, Micrantipha, Niasia, dan Pachenephorus. Hal yang lebih menarik lagi bagi ilmu pengetahuan adalah ditemukannya masing-masing satu genus dari Dermestidae dan Dryopidae yang belum pernah dideskripsikan sebelumnya. Sedangkan jenis-jenis baru yang sedang dideskripsikan adalah dari marga Bruneixellus, Ischalia, dan Psephenoides. Selain itu, TNBK mempunyai 25 jenis semut yang tergolong dalam marga Hagaiomyrma, Myrma, Myrmhopha dan Polyrhachis.

Sosial Ekonomi dan Kebudayaan

Keadaan Umum Desa Tanjung Lokang

(40)
[image:40.612.145.489.133.287.2]

perempuan sebanyak 230. Komposisi usia masyarakat Desa Tanjung Lokang dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram Jumlah Penduduk Desa Tanjung Lokang Berdasarkan Usia

Masyarakat Desa Tanjung Lokang sebagian besar bermata pencaharian bertani di ladang yang mereka garap. Ladang-ladang yang mereka garap berasal dari lahan-lahan hutan disekitar wilayah Desa Tanjung Lokang, sebagian besar letak ladang tidak jauh dari desa dan terletak memanjang di bantaran sungai (Gambar 3.)

Gambar 3. Ladang Masyarakat di Tepi Sungai Bulit.

Lahan yang mereka gunakan untuk menanam tanaman merupakan lahan di dalam kawasan TNBK. Pemanfaatan lahan oleh masyarakat dilakukan pada zona exploitasi dan hasil dari tanaman tersebut dimanfaatkan untuk keperluan sendiri.

Jumlah Penduduk Desa Tanjung Lokang berdasarkan Usia

0 20 40 60 80 100 120 140

usia 1-10 usia 11-20 usia 21-30

usia 31-40 usia 41-50 usia 51-60 usia 61-70 usia 70 up

[image:40.612.271.403.435.612.2]
(41)

Tanaman-tanaman tersebut antara lain adalah lada hitam, padi ketan, terong, jagung dan lain-lain. (Gambar 4.).

a.. Lada b. Jagung

[image:41.612.106.506.101.487.2]

c. Padi d. Terong Gambar 4. Hasil Pertanian Masyarakat Desa Tanjung Lokang

di Dalam Kawasan TNBK

(42)
(43)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola Pengelolaan Sarang Burung Walet di Desa Tanjung Lokang

Sejarah Pemilikan dan Pengelolaan Gua Walet

Pengelolaan sarang burung walet dilakukan oleh masyarakat Desa Tanjung Lokang sejak tahun 1989-1990. Sejarah pengelolaan bermula dari pencarian/survey gua di sekitar wilayah Desa Tanjung Lokang oleh beberapa masyarakat desa. Masyarakat yang ingin pergi mencari gua harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari kepala desa. Gua-gua yang terdapat sarang burung walet di dalamnya akan diakui sebagai gua milik penemu, dan kemudian pengelolaan akan dilakukan oleh penemu. Masyarakat yang berhasil menemukan gua harus melaporkan gua temuannya kepada kepala desa, dan selanjutnya kepala desa akan mengeluarkan surat kepemilikan gua.

Masyarakat Desa Tanjung Lokang yang mencari gua secara bersama-sama akan menjadikan gua temuannya sebagai milik bersama. Kepemilikan dan pengelolaannya dilakukan secara bergantian sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan sebelumnya. Gua-gua yang ditemukan oleh masyarakat ditandai dengan memberi nama pada gua tersebut dengan cara mencoret/menggores dinding gua agar diketahui oleh masyarakat lain.

Gua-gua yang masih alami pada saat ditemukan, memiliki kapasitas panen yang sangat besar. Masyarakat dapat memanen sarang antara 40 – 50 kg per panen, dengan harga jual Rp 2 juta/kg. Harga sarang walet yang cukup tinggi pada saat itu membuat masyarakat memanen sarang burung walet tanpa pengelolaan jangka panjang yang matang. Mereka memanen tanpa melakukan pelestarian sehingga kapasitas panen turun dari waktu ke waktu.

Peraturan Desa tentang Pengelolaan Sarang Burung Walet

(44)

dibayar setiap kali panen yaitu Rp. 25.000,-/kg. Retribusi ini dimasukkan ke dalam kas desa untuk kepentingan pengembangan Desa Tanjung Lokang sendiri.

Selain retribusi, pengelola juga diwajibkan membayar administrasi sebesar Rp. 25.000,- untuk surat keterangan jaga gua. Surat jaga gua dikeluarkan oleh pemerintah desa sebelum penjaga gua berangkat untuk menjaga gua. Surat ini dikeluarkan dengan tujuan agar penjagaan dan pemanenan gua menjadi terkendali dan diketahui oleh semua pihak dan pemanen melakukan pemanenannya hanya pada gua yang tertera pada surat jaga gua.

Peraturan desa yang dibuat untuk tujuan pelestarian ini tidak disetujui oleh sebagian pengelola sarang burung walet. Pengelola gua yang terdiri lebih dari satu menyebabkan adanya perbedaan kepentingan dalam pengelolaannya. Periode pelestarian yang seharusnya dilakukan satu kali dalam satu tahun tidak dapat dilaksanakan karena berbenturan dengan periode panen pemegang saham yang lain. Dengan tidak adanya pihak yang mau mengalah, maka pelestarian sarang burung walet menjadi terhambat dan tidak lagi dilaksanakan.

Penarikan retribusi setiap kali panen juga tidak berjalan sesuai dengan semestinya. Beberapa pengelola mengeluhkan penarikan retribusi karena tidak ada realisasinya dalam penggunaan uang retribusi tersebut. Uang retribusi yang sekiranya digunakan untuk kepentingan desa tidak terlihat nyata dalam penggunaannya. Beberapa pihak mencurigai aparat desa yang bertugas mengumpulkan uang retribusi telah menggunakannya untuk kepentingan pribadi. Akibat dari itu pada tahun 2002 pembayaran uang retribusi dan administrasi surat jaga tidak lagi dijalankan.

Pengelolaan Sarang Burung Walet di Desa Tanjung Lokang

(45)

Pengelola sarang burung walet yang berada di Desa Tanjung Lokang berjumlah 53 orang dengan jumlah penduduk asli yang tinggal di Desa Tanjung Lokang berjumlah 41 orang dan pembeli saham dari luar desa berjumlah 12 orang. Dari 53 orang pengelola yang terdapat di Desa Tanjung Lokang, penulis mendapat kesempatan untuk mewawancarai 25 orang dari pengelola dan 2 diantaranya merupakan pembeli saham dari luar. Pada waktu pengambilan data di Desa Tanjung Lokang, sebagian besar masyarakat tengah mencari emas di hulu Sungai Bulit, sehingga tidak semua masyarakat yang mengelola sarang burung walet dapat diwawancarai dan dimintai informasi.

Tabel 2. Data Gua dan Pemilik Saham Sarang Burung Walet di Desa Tanjung Lokang

No Nama Gua Pemegang Saham Vol

(Kg basah)

1 Gua Diang Arung Lacik, Uting, Nanyak, Liso, Gani, Dalung, Alay 4

2 Gua Besar Lacik, Moya, Umar, Arifin, Jahun, Antonius 12

3 Gua Uncak Tolok Tius, Alay, Bagong, Mering, Santa 10

4 Gua Ngingit Tolunyu, Dohun 5

5 Gua Luluk Lacik, Moya, Nalau, Awang 3

6 Gua Juk Juk, Piona, Acai, Kuvek 4

7 Gua Petet Owang, Pijar, Selawik, Bonyo 0,8

8 Gua Ulai Ulai, Jahani 5

9 Gua Pohon Pisang Tijung 1,2

10 Gua Utok Umo Said, Jabang 1

11 Gua Sunge Singom Nanyak 1

12 Gua Taran Lujung 1

13 Gua Liang Piang Hidin 0,7

14 Gua Brosong Lujung, Uting, Hajau, Jilang 1,5

15 Gua Bowo Arifin, Agus 8

16 Gua Bowo Uncak Ibung, Alay, Jon 2

17 Gua Bowo Plai Uting, Sinau, Lujung 1,5

18 Gua Tahapun Ibung, Lawing, Timo, Yunida 1,5

19 Gua Liang Lokori Jahun, Timung 0,5

20 Gua Liang Siok Hurung, Alay, Awang 2

21 Gua Diang Kaung Owang, Pijar, Moya, Jabang, Jahun, Tucik 2,5

22 Gua Diang Bawang Loren, Luhat, Selawik, Mijau, Tucik 2,5

23 Gua Uncak Kemurun Tucik 2,5

24 Gua Kemurun Bawah Alay, Ajak 0,8

25 Gua Taran Awang 2

26 Gua Apit Mahang Ponyang 1,5

27 Gua Tolok Nunun, Juk, Hurong, Tucik 2,5

Ket: Nama yang dicetak tebal merupakan pemilik saham dari luar Desa Tanjung Lokang

[image:45.612.110.507.290.631.2]
(46)
[image:46.612.132.507.198.310.2]

pemanenan. Pola pengelolaan sarang burung walet yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tanjung Lokang dapat dilihat pada Gambar 8. Pola pengelolaan seperti ini dapat mengakibatkan berkurangnya populasi burung walet karena burung walet tidak diberikan kesempatan untuk berkembang biak dan beregenerasi.

Gambar 5. Pola Pengelolaan Sarang Burung Walet di Desa Tanjung Lokang

Dalam pengelolaannya terdapat gua yang dimiliki oleh lebih dari satu orang. Orang-orang yang mengelola sarang burung walet secara bersama-sama disebut kelompok pengelola. Masing-masing orang memiliki saham atas sarang burung walet yang terdapat di dalam suatu gua tertentu. Dalam pelaksanaan jadwal trip, para pemilik saham harus mengatur jadwal tripnya sesuai kesepakatan (Gambar 9).

Pengelolaan gua sarang burung walet dilakukan oleh pemilik saham dan dibantu oleh beberapa orang penjaga gua sekaligus pemanen sarang. Biaya yang harus dikeluarkan oleh pemilik saham untuk mengupah penjaga sekaligus pemanen yaitu sebesar Rp. 750.000,- sampai Rp. 1.000.000,- per orang dalam satu trip, ditambah uang perbekalan sebesar Rp. 500.000,-.

Untuk gua-gua yang besar penjagaan dilakukan oleh 2 sampai 3 orang. Penjaga gua akan tinggal dan menetap di gua yang dijaga dengan mendirikan tenda dan mendiaminya sampai tiba waktu panen (Gambar 10).

Setelah panen sarang burung walet dikumpulkan untuk dilakukan perlakuan pasca panen yaitu dipisahkan antara daun dan kaki sarang yang terlepas. Perlakuan lain yaitu dengan membersihkan dari kotoran-kotoran yang menempel pada sarang burung walet sebelum dikemas untuk dibawa ke

R

R R R R R R R

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Bulan

Keterangan :

R : Panen rampasan

(47)
[image:47.612.180.453.137.339.2]

Putussibau untuk dijual. Pengelola yang tidak sempat atau tidak punya cukup uang untuk pergi ke Putussibau dapat menjual sarang burung waletnya kepada penampung di Desa Tanjung Lokang.

Gambar 6. Jadwal Trip

Gambar 7. Pondok penjaga gua

[image:47.612.218.419.389.545.2]
(48)

Tabel 3. Harga Sarang Burung Walet

Spesifikasi Harga Harga per Kg.

Masa Panen

Bulan Bagus (Sep – Apr) Rp. 3.5 – 3.8 juta Bulan Buruk (Mei - Aug) Rp. 2 – 3 juta Jenis

sarang

Daun Rp 3 juta

Kaki Rp 1 juta

Pembelian sarang burung walet di Putussibau dilakukan oleh penampung besar yang mengumpulkan sarang-sarang burung walet dari wilayah Kabupaten Kapuas Hulu. Setelah mengumpulkan cukup sarang, penampung akan membawa sarang-sarang tersebut ke Pontianak dan kemudian akan dilanjutkan pengirimannya ke Malaysia.

[image:48.612.149.495.89.156.2]

a. b.

Gambar 8. Daun Sarang Burung Walet

[image:48.612.87.510.140.743.2]

a. b.

(49)

Karakteristik Pemegang Saham Sarang Burung Walet di Desa Tanjung Lokang

Berdasarkan Usia dan Tingkat Pendidikan

Pengambilan contoh informan sebanyak 25 orang, menggambarkan karakteristik berdasarkan usia dan tingkat pendidikan yang dapat dilihat pada Gambar 13 dan Gambar 14.

[image:49.612.84.511.292.747.2]

Berdasarkan hasil wawancara di lapangan didapatkan usia minimum dari informan yang mengelola sarang burung walet adalah 25 tahun dan usia maksimum adalah 69 tahun. Selang usia yang terbanyak adalah antara usia 41 – 50 tahun. Tingkat pendidikan informan bervariasi antara tidak sekolah sampai tingkat SMA, dengan jumlah terbanyak dari tingkat pendidikan SD dan SMA dengan jumlah masing-masing 8 orang.

Gambar 11. Diagram Jumlah Pemegang Saham Sarang Burung Walet Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Jumlah Pemegang SahamSarang Burung Walet Berdasarkan Tingkat Pendidikan

0 2 4 6 8 10 Tidak Sekolah

SD SMP SMA

Tingkat Pendidikan

Jumlah

Jumlah Pemegang Saham Sarang Burung Walet Berdasarkan Usia 0 2 4 6 8 1 0 21-30 31-40 41-50 51-60 60 up Selang Usia Jumlah

(50)

Berdasarkan Kepemilikan Surat Izin Pengelolaan

Berdasarkan wawancara dengan pemegang saham sarang burung walet di Desa Tanjung Lokang, didapatkan hasil berupa informasi tentang kepemilikan surat izin pengelolaan sarang burung walet, upaya pelestarian, keinginan berkolaborasi, dan pengetahuan tentang Perda yang berlaku (Gambar 15). Pemegang saham yang memiliki surat izin pengelolaan sarang burung walet, masih menyimpan surat izin tersebut untuk keperluan penjualan saham dan bukti yang memperkuat kepemilikan gua. Sedangkan pemilik saham yang tidak memiliki surat kepemilikan gua mengaku pernah membuat surat kepemilikan gua pada awal pengelolaan, namun mereka tidak menganggap surat tersebut sebagai surat yang penting sehingga mereka tidak memilikinya lagi.

0 5 10 15 20 25

Karakteristik Pemegang Saham di Desa Tanjung Lokang

jumlah 17 8 4 21 11 8 6 11 14

Ada Tidak Ada Tidak Ingin Ragu Tidak Tahu Tidak

Surat Kepemilikan

Upaya Pelestarian

[image:50.612.171.465.313.478.2]

Kolaborasi Perda

Gambar 12. Diagram Karakteristik Pemegang Saham Sarang Burung Walet di Desa Tanjung Lokang

Berdasarkan Upaya Pelestarian

(51)

dipanen apabila sudah benar-benar butuh uang dan tidak ada sumber uang yang dimiliki selain memanen sarang dari gua tersebut.

Pemegang saham yang enggan melakukan kegiatan pelestarian lebih disebabkan karena faktor keamanan. Dengan sering terjadinya kasus pencurian sarang burung walet di gua-gua di sekitar Desa Tanjung Lokang, para pemegang saham memilih untuk melakukan pemanenan sebelum masa panen dan tidak melakukan pelestarian. Beberapa pengelola sarang pernah mencoba melakukan upaya pelestarian namun sebelum waktu panen tiba, sarang burung walet yang dimiliki telah dicuri oleh perompak.

Dari beberapa kasus pencurian yang terjadi maka para pemegang saham lebih memilih pengelolaan tanpa pelestarian sehingga terhindar dari upaya perampokan. Kegiatan pengelolaan yang tidak mengindahkan aspek kelestarian akan menyebabkan produksi sarang burung walet berkurang tahun demi tahunnya. Hal ini disadari oleh pemegang saham sarang burung walet di Desa Tanjung Lokang, namun demi menghindari dari upaya perompakan kegiatan pelestarian tidak dilakukan oleh sebagian besar pemegang saham sarang burung walet di Desa Tanjung Lokang.

Berdasarkan Keinginan Berkolaborasi

Beberapa pemegang saham menyatakan keinginannya untuk mengelola gua sarang burung waletnya dengan bekerja sama dengan pihak Pemda dan TNBK. Hal ini berdasarkan karena kegiatan pengelolaan saat ini yang masih tidak teratur baik dari jadwal trip maupun pemegang saham gua sarang burung walet yang sering berganti kepemilikan tanpa pemberitahuan kepada ketua saham.

(52)

Pemegang saham yang ragu-ragu untuk mengadakan kerjasama dengan Pemda dan TNBK belum bisa melihat manfaat dari adanya kerjasama yang akan dijalin. Mereka belum banyak mengetahui dan menyadari manfaat dari keterlibatan pihak Pemda dan TNBK dalam pengelolaan. Keragu-raguan beberapa pemegang saham sarang burung walet untuk bekerjasama juga dikarenakan kekurang tahuan mereka terhadap keberadaan dan fungsi dari taman nasional.

Beberapa pemegang saham yang tidak ingin bekerja sama dengan pihak pemda dan TNBK menyebutkan alasan ketidaksetujuannya dikarenakan mereka lebih ingin mandiri dan tidak mau ada aturan yang mengikat. Keinginan untuk mandiri juga diperkuat dengan keengganannya membayar pajak dari hasil panen sarang burung walet yang terlalu besar seperti yang pernah diterapkan dulu. Mereka merasa pengelolaan yang mereka lakukan saat ini sudah merupakan pola pengelolaan yang terbaik bagi mereka.

Berdasarkan Pengetahuan tentang Perda yang Berlaku

Sebelas orang pemegang saham sarang burung walet mengatakan bahwa mereka mengetahui tentang adanya peraturan yang mengatur tentang pengelolaan sarang burung walet. Peraturan tersebut tertuang dalam Peraturan Daerah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu. Namun pemegang saham yang mengetahui tentang adanya Perda tersebut tidak mampu menyebutkan secara detail tentang Perda yang ada seperti isi serta maksud dan tujuan dari Perda tersebut. Mereka hanya mengetahui bahwa ada peraturan yang mengatur tentang pengelolaan sarang burung walet tanpa mengetahui lebih lanjut mengenai peraturan tersebut.

(53)

Kendala dan Permasalahan Dalam Pengelolaan Sarang Burung Walet di Desa Tanjung Lokang

Kendala dan permasalahan yang terdapat dalam pengelolaan sarang burung walet di Desa Tanjung Lokang dapat menyebabkan terhambatnya pengelolaan serta kerugian yang diderita oleh pengelola. Beberapa kendala dan permasalahan yang terjadi dapat disebabkan karena perselisihan antar pemegang saham maupun dari pihak lain.

Pengaturan Jadwal Trip

Belum adanya jadwal trip yang permanen membuat pemegang saham sarang burung walet berebutan dalam melakukan pemanenan. Pemegang saham yang mendapat jatah trip pada bulan buruk akan mendapat kerugian dibanding yang melakukan pemanenan pada bulan bagus, sehingga terjadi perebutan jadwal trip untuk mengejar keuntungan.

Pada beberapa gua yang memiliki jadwal trip yang telah disepakati sebelumnya, hal ini tidak akan menjadi masalah karena apabila jadwal trip telah berakhir, maka akan dilakukan rotasi jadwal trip sesuai kesepakatan bersama dengan mempertimbangkan bulan baik dan buruk. Namun tidak semua gua memiliki jadwal trip yang telah ditentukan sebelumnya, sehingga tumpang tindih jadwal pemanenan masih terjadi dalam pengelolaan sarang walet.

Dalam pengelolaan sarang burung walet, dapat terjadi perpindahan kepemilikan dengan menjual saham kepemilikan gua kepada pihak lain. Jual beli saham gua terjadi dikarenakan beberapa sebab antara lain:

1. Kebutuhan akan uang yang mendesak karena sakit

2. Kerugian akibat pencurian sarang burung walet yang dimilikinya

(54)

berdasarkan volume panen sarang burung walet per kilogram dikalikan Rp.1.000.000,-. Hal ini bertentangan dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 100/Kpts-II/2003 pada Bab III Pasal 10 ayat 2 yang menyeb

Gambar

Tabel 1. Kerangka Matriks Pengumpulan Data  .................................  16
Gambar 1. Diagram Alir Metode Penelitian
Tabel 1. Kerangka Matriks Pengumpulan Data
Gambar 2. Diagram Jumlah Penduduk Desa Tanjung Lokang Berdasarkan  Usia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Suku Dayak Iban merupakan masyarakat suku Dayak yang tinggal di pedalaman Desa Sungai Mawang, Kecamatan Puring Kencana, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat

Kepada Kepala Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Sosial Kabupaten Kapuas Hulu agar mengevaluasi dan berani secara tegas mengambil alih tanah-tanah transmigrasi yang

Penerapan sistem promosi jabatan di Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu secara umum telah berjalan dengan baik, lancar dan sesuai dengan mekanisme dan prosedur atau tata

Di Kabupaten Kapuas Hulu pasir kuarsa berupa batuan sedimen Formasi Silat dan sisipan pada batuan Kelompok Mandai mempunyai sumber daya hipotetik 30.000.000 ton Dari hasil

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Status dan Konservasi Biodiversitas di Kebun Tembawang Desa Sungai Mawang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat

Dari hasil perhitungan pembobotan dan rating bahwa Kabupaten Kapuas Hulu mempunyai kekuatan lebih besar dibanding kelemahan, serta peluang lebih besar dari pada

- Telah terjadi hujan dengan intensitas lebat - sangat lebat di seluruh wilayah Kabupaten Kapuas Hulu pada tanggal 27 Mei 2018, sementara pada tanggal 28 Mei 2018

Tumbuhan bawah yang terdapat di Taman Nasional Danau Sentarum di areal Dusun Meliau, Desa Melemba, Kecamatan Batang Lumpar Kabupaten Kapuas Hulu sebanyak 60 spesies