BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian
1. Kebijakan otonomi khusus Papua dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
Indonesia sebagai negara yang besar memberikan implikasi perdebatan dalam
menaruh letak pijakan bentuk negara ini berjalan. Negara kesatuan atau negara federal,
secara geografis dan historis bentuk keduanya secara bersamaan memiliki kekhasan yang
seimbang dengan keadaan serta kondisi Indonesia. Disebut sebagai negara seribu pulau,
mengarahkan Indonesia untuk membentuk negara federal dalam sistem pemerintahannya.
Kerajaan-kerajaan yang ada saat Indonesia belum terbentuk dan masih dinamai dengan
Nusantara, mendukung bentuk federal hidup dengan melihat secara historis setiap
wilayah telah memiliki otonominya sendiri.
Pendapat untuk menjadikan Indonesia sebagai negara kesatuan juga bukan tanpa
dasar dicetuskan dalam sidang perumusan UUD 1945, secara historis keinginan
mempersatukan Nusantara telah dicetuskan oleh Patih Amangkubhumi Gadja Mada, yang
dikenal dengan nama Sumpah Palapa.1 Perjuangan persatuan yang ditunjukan bangsa
Indonesia untuk melawan penjajah adalah bukti sejarah bahwa persatuan bukanlah
ketidakmungkinan untuk menjadikan Indonesia berbentuk negara kesatuan.
1 Sumpah Palapa adalah suatu pernyataan atau sumpah yang dikemukakan oleh Gajah Mada pada upacara
Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen dalam perumusannya telah
memasukkan BAB VI Pasal 18 yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah berbunyi,
Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.
Penjelasan dari Pasal 18 tersebut,2
I. Oleh karena negara Indonesia itu suatu “een heidsstaat”, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat “Staat” juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil.
Daerah-daerah itu bersifat otonom (Streek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang.
Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan berwakilan daerah, oleh karena di daerahpun pemerintah akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
II. Dalam territorial negara Indonesia terdapat -/+ 250 “Zelfbesturende landschappen” dan Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenannya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingat hak-hak asal-usul daerah tersebut.
Soekarno yang berada pada argumentasi negara kesatuan dapat memberikan
pengertian dan rasionalisasi kepada pihak yang setuju akan negara federal yakni Moh.
Hatta dan cendikiawan lainnya. Terdapat kesadaran dari para perumus UUD 1945 dengan
keberagaman bangsa Indonesia, walaupun negara kesatuan disetujui sebagai bentuk
negara, para perumus sepakat terhadap penghormatan kepada wilayah-wilayah di
Indonesia yang masih berada pada keistimewaan budaya, pemerintahan dan lain
sebagainya. Setelah disepakati bentuk negara kesatuan terjadi perdebatan pemikiran atas
daerah-daerah khusus atau istimewa pada masa perumusan UUD 1945 melalui sidang
BPUPKI tahun 1945, antara Soepomo dengan Soerjohamidjojo. Soepomo yang ditunjuk
oleh Presiden Soekarno sebagai Ketua Panitia Kecil Perancang UUD 1945 menegaskan
bahwa pada Pasal 16 rancangan UUD kedua, Indonesia yang memilih bentuk negara
kesatuan senyatanya tetap menghormati daerah-daerah tertentu seperti Kooti (Kerajaan) dengan memberikan hak istimewa. Konsepsi yang diangkat oleh Soepomo adalah Negara
Kesatuan yang menghormati satuan wilayah Kooti (Kerajaan) yang masih hidup di Indonesia. Konsep tersebut mendapat pertentangan dari Soerjohamidjojo karena terdapat
sebuah ketidaktegasan dari konsep negara kesatuan yang masih membagi kewenangan,
dalam pendapatnya Soerjohamidjojo menegaskan bahwa jika dikehendaki sebuah
penghormatan atas daerah-daerah tertentu maka harus dibedakan pengaturannya sehingga
diperlukan bagian tersendiri untuk mengatur Kooti (Kerajaan) agar memperkokoh kedudukan daerah tersebut.3 Perdebatan tersebut terselesaikan dengan suara mayoritas
anggota sidang BPUPKI untuk tidak menambahkan ketentuan khusus terhadap
pengaturan Kooti (Kerajaan).
Hasil perumusan tersebut dibentuklah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945
tentang penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari oleh Komite Nasional Daerah. Konsep
yang dibentuk, Indonesia dibagi atas dua daerah tingkat atas dinamai Provinsi yang
dipimpin oleh Gubernur dan daerah tingkat bawah dinamai Karesidenan yang dipimpin
oleh Residen Gubernur. Tugas Gubernur dan Residen Gubernur dibantu oleh Komite
Nasional (Indonesia) Daerah yang selanjutnya disebut dengan KNID. Terdapat pula
Komite Nasional (Indonesia) Pusat yang selanjutnya disebut dengan KNIP,4 sedangkan
3 Perdebatan dalam Naskah Komperhensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Buku
IV Kekuasaan Pemerintah Negara Jilid I. Mahkamah Konstitusi, 2010. Halaman 45.
wilayah kooti berada di bawah pemerintahan pusat baik secara langsung maupun melalui
perwakilan yang disebut dengan komisaris.
Daerah yang mendapat predikat kooti pada saat itu hanya dua yakni Yogyakarta dan Surakarta, wilayah Irian Barat belum bergabung dengan NKRI dan masih menjadi
wilayah sengketa Indonesia dan Belanda. Terdapat beberapa perundingan yang
mempengaruhi keberadaan wilayah Irian Barat untuk berintegrasi dengan Indonesia,
antara lain;5
1. Perjanjian Linggarjati (15 November 1946 s/d 25 Maret 1947)
a. Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949;
b. Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam
membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia; dan
c. Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk
Uni Indonesia - Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
2. Perjanjian Renville (8 Desember 1947 s/d 17 Januari 1948)
a. Belanda hanya mengakui Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia;
b. Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda; dan
c. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur Indonesia di Yogyakarta.
3. Perjanjian Roem-Roijen (14 April 1949 - 7 Mei 1949)
a. Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya; b. Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar; c. Pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta; dan
d. Angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan membebaskan semua tawanan perang.
4. Konferensi Meja Bundar (23 Agustus 1949 - 2 November 1949)
a. Serah terima kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, kecuali Papua bagian barat. (Indonesia ingin agar semua bekas daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua bagian barat negara terpisah karena perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini. Karena itu pasal 2 menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan bagian dari serah terima, dan bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun);
b. Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan monarch Belanda sebagai kepala negara; dan
c. Pengambil alihan hutang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat.
Pada tanggal 1 Mei 1963 melalui Penetapan Presiden atau selanjutnya disebut
Penpres Nomor 1 Tahun 1963 untuk Provinsi Papua yang berkedudukan di Jayapura,
enam tahun setelahnya melalui Pepera Dibawah pemerintahan Presiden Soeharto Provinsi
Irian Barat berganti nama menjadi Provinsi Irian Jaya dan resmi menjadi provinsi ke-26
di Indonesia. Gejolak sosial, politik, ekonomi dan keamanan hingga pada gerakan
separatis terus bermunculan setelah terintegrasinya Papua dengan NKRI.
Mempertahankan tanah Papua adalah perjuangan yang telah lama dilakukan oleh
pejuang bangsa, keyakinan untuk bersatu dan mempersatukan senyatanya telah menjadi
cita sejak masa kerajaan sebelum Indonesia terbentuk. Fase penjajahan yang melahirkan
banyaknya cendikiawan dan pemikir bangsa, konsep negara kesatuan juga diyakini
sebagai pijakan berjalannya Indonesia. Kebijakan otonomi khusus Papua dalam sistem
ketatanegaraan di Indonesia menjadi kajian dalam penelitian ini untuk menganalisis
keberadaan otonomi khusus yang memiliki makna untuk mengurus secara mandiri
daerahnya, dengan merelevansikan dengan konsep negara kesatuan dan kesesuaian pada
sistem ketatanegaraan merupakan suatu permasalahan yang akan diurai dalam hal ini.
Negara Indonesia adalah negara yang menganut bentuk negara kesatuan
memberikan pengaturan terkait pemerintahan daerah terlebih pada otonomi khusus dalan
negara Indonesia. Pemberian otonomi ini seringkali dikaitkan pada prinsip negara federal,
dimana pada umumnya dipahami bahwa dalam sistem federal, konsep kekuasaan asli atau
kekuasaan sisa (residual power) berada di daerah atau bagian, sedangkan dalam sistem negara kesatuan (unitary), kekuasaan asli atau kekuasaan sisa itu berada di pusat sehingga terdapat pengalihan kekuasaan pemerintah dari pusat ke daerah padahal dalam
negara kesatuan idealnya semua kebijakan terdapat ditangan pemerintah pusat.6
Amien Rais7 mengajukan tiga fundamental yang harus ditegakkan untuk
membagun negara federal, yaitu:
1. Keadilan (al-‘adalah);
2. As-syuro dalam arti negara harus dibangun dan dikembangkan dengan mekanisme musyawarah; dan
3. Penegakkan prinsip persamaan (almusaawah) sebagaimana Islam dan agamaagama samawi tidak pernah membeda-bedakan manusia berdasarkan perbedaan jenis kelamin
(sex), warna kulit (race), status sosial (class) suku bangsa dan lain-lain. Begitu pula dengan prinsip otonomi harus memiliki ketiga aspek itu.
Federalisme untuk Indonesia masih relevan namun sudah “kebablasan” yaitu otonomi yang melebihi federalisme. Karena desentralisasi saat ini memberikan otonomi sampai
ketingkat kabupaten/kota bukan pada provinsi. Jadi merupakan suatu hal yang kuno
membicarakan federal jika ditempatkan dalam konteks saat ini di Indonesia, karena
jika berbicara federal berarti yang mendapatkan otonomi hanya sampai propinsi.
6 Jimly Asshiddiqie, Otonomi Daerah dan Parlemen di Daerah, www.legalitas.org, 2012, makalah disampaikan dalam
“Lokakarya tentang Peraturan Daerah dan Budget bagi Anggota DPRD se-Propinsi (baru) Banten” yang diselenggarakan oleh Institute for the Advancement of Strategies and Sciences (IASS), di Anyer, Banten.
7 La Ode Gantara Izhar Malim, Pemikiran Politik Amien Rais Tentang Federalisme Untuk Indonesia, Universitas Dayanu
Indonesia pernah mengalami menganut konsep negara federal pada tahun 1950
saat menggunakan konstitusi Republik Indonesia Serikat atau RIS. Wilayah Indonesia
masih terbatas belum secara berdaulat memilki seluruh wilayah dari Sabang hingga
Marouke. Kondisi demikian tetap dijadikan prinsip membagi wilayah Indonesia kedalam
beberapa negara federal yang diatur dalam Konstitusi RIS 1950. Terdapat juga Konstitusi
UUD Sementara, UUD 1945 sebelum dan sesudah amandemen.
Konstitusi yang memiliki empat bentuk tersebut memiliki beberapa pengaturan,
seperti halnya UUD RIS yang secara tegas mengamanahkan pembagian daerah pada
prinsip negara federal, sedangkan UUDS yang menjadi konstitusi yang mengevaluasi
pelaksanaan UUD RIS telah menunjukan kebijakan untuk mengatur pemerintahan daerah
di Indonesia, dan masterpeace dari UUD 1945 seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa memiliki keaslian maksud untuk tetap menghormati daerah atau wilayah kooti. Setelah amandemen konstitusi tertulis Indonesia semakin tegas tidak hanya berada dalam
tataran pemerintahan daerah secara luas, namun juga konsep daerah khusus dan istimewa,
yang menjadi awalan munculnya kesempatan daerah-daerah yang memiliki keistimewaan
dan latarbelakang khusus untuk diberikan otonomi yang bersifat lebih besar daripada
Pemberian otonomi khusus pada Papua merupakan sebuah kebijakan yang
dipersepsikan win-win solution oleh pemerintah, pergerakan saparatis dapat diperlemah dengan otonomi khusus yang diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan rakyat
Papua.8 Kehadiran otonomi khusus pun dikritisi sebagai wujud memperlemah pemerintah
pusat, hubungan daerah dan pusat sebatas dalam tataran perimbangan keuangan, latar
belakang politik kebijakan dan kepentingan menjadikan terus bergesekkannya
kewenangan pusat dan daerah.9 Dapat terlihat dari beberapa perkara yang masuk di
Mahkamah Konstitusi terkait Sengketa Kewenangan Lembaga Negara atau SKLN antara
KPUD Aceh dan pusat yang didapati sebuah konflik kewenangan, dan permasalahan ini
dapat memberikan gambaran pada pelaksanaan otonomi khusus pada Papua. Hal ini
dimaknani sebagai penghambat stabilitas negara dalam memperlancar peningkatan
pembangunan.
1.1 Integrasi Papua
Papua memiliki sejarah panjang dalam proses terintgrasinya dengan Indonesia,
berada pada letak pulau tertimur Indonesia dan memiliki heterogenitas lebih dari 250
suku membuat wilayah Papua sulit terakses dalam setiap implikasi kebijakan pemerintah
pusat. Perundingan integrasi Provinsi Irian Barat terjadi pada tanggal 15 Agustus 1962
melalui perjanjian New York dan pada tanggal 1 Oktober 1962 Administrasi Nederlands
New Guinea dialihkan kepada Pemerintahan sementara PBB United Nation Temporary Excecutive Authority (UNTEA). Perundingan tersebut menjadi dasar Indonesia menyepakati metode integrasi Irian Barat melalui pemberian Hak Penentuan Nasib
Sendiri atau Self Determination kepada rakyat penduduk asli Papua. Hak Penentuan
Nasib Sendiri Papua dibuat dengan metode Penentuan Pendapat Rakyat yang selanjutnya
disebut dengan Pepera pada tahun 1969 dengan lebih dahulu membentuk Dewan
Musyawarah Penentuan Pendapat Rakyat atau selanjutnya disebut DPM. Hasil resmi
yang disiarkan secara internasional, bahwa terdapat 1.024 wakil-wakil orang Irian
memilih bergabung dengan Indonesia.10 Hasil Pepera tersebut mengakibatkan
terintegrasinya Provinsi Irian Barat dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
disahkan dalam Laporan Utusan PBB Resolusi 2504 tentang Hasil Pepera 1969. Dibawah
pemerintahan Presiden Soeharto Provinsi Irian Barat berganti nama menjadi Provinsi
Irian Jaya dan resmi menjadi provinsi ke-26 di Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963
melalui Penetapan Presiden atau selanjutnya disebut Penpres Nomor 1 Tahun 1963 untuk
Provinsi Papua yang berkedudukan di Jayapura. Perspektif politik yang ditulis dalam
kajian kedinamikaan sejarah Papua merasakan ketidakvalitan suara 1.024 wakil orang
Irian dari lebih dari 1.024 penduduk Irian, pemerintah Indonesia menggunakan metode
perwakilan yang dipilih dengan alasan wilayah yang luas dengan penduduk yang masih
bersifat primitif pada saat itu dan menyulitkan mengintegrasi seluruhnya.
Integrasi nasional pada hakikatnya adalah Pengertian bersatunya suatu bangsa
yang menempati wilayah tertentu integrasi dalam sebuah negara yang berdaulat. Realitas
nasional integrasi nasional dapat dilihat dari aspek politik, lazim disebut integrasi politik,
aspek ekonomi (integrasi ekonomi, saling ketergantungan ekonomi antardaerah yang
bekerjasarna secara sinergjs), dan aspek sosial budaya (integrasi sosial budaya, hubungan
antara suku, lapisan dan golongan).11 Risalah sidang UU Otsus yang diterbitkan oleh DPR
RI, dalam dialektika tim khusus Papua menyebutkan untuk memberikan ruang
10 Widjojo dkk, Op.,cit. Halaman 3.
11 Agustina Magdalena Djuliati Suroyo, Integrasi Nasional dalam Perspektif Sejarah Indonesia Sebuah Proses yang Belum
pembenaran sejarah integrasi yang belum selesai dalam UU Otsus sebagai kerangka
pengetahuan. Hal tersebut ditolak oleh dewan karena dianggap akan memunculkan
konflik dikemudian hari dan tidak memiliki relevansi dengan konsep otonomi khusus.
Agustina Magdalena Djuliati Suroyo12 membagi integrasi nasional di Indonesia ke
dalam tiga tahap, yakni :
1. Integrasi Imperium Majapahit
Secara historis sebenarnya Indonesia pernah Model memiliki model integrasi
nasional yang meliputi wilayah integrasi hampir seluas Negara Republik Indonesia
(RI). Pertama adalah kemaharajaan XIV-XV). Struktur kemaharajaan yang begitu
luas diperkirakan berbentuk mirip kerajaan Mataram Islam, yaitu struktur
konsentris13. Dimulai dengan konsentris pertama yaitu wilayah inti kerajaan
(nagaragung): pulau Jawa dan Madura yang diperintah langsung oleh raja dan
saudara-saudaranya, menerapkan sistem pemungutan pajak langsung untuk biaya
hidup keluarga raja. Konsentris kedua adalah wilayah di luar Jawa (mancanegara dan pasisiran) yang merupakan kerajaan-kerajaan otonom atau kerajaan tertakluk yang
mengakui hegemoni Majapahit, dengan kebebasan penuh mengatur negeri mereka
masing-masing. Kewajiban terhadap negara pusat hanya menghadap maharaja
Majapahit dua kali setahun dengan membawa upeti sebagai pajak. Konsentris ketiga
(tanah saberang) adalah negara-negara sahabat dimana Majapahit menjalin hubungan
diplomatik dan hubungan dagang, antara lain dengan Champa, Kamboja, Ayudyapura
12Ibid
13Teori ini menyatakan bahwa Daerah Pusat Kota (DPK) atau Central Business District (CBD) adalah pusat kota yang
(Thailand). Integrasi vertikal dibangun melalui penguasaan maritim, hubungan pusat
dan daerah dibina melalui hubungan perdagangan dan kunjungan pejabat. Ekspedisi
angkatan laut digunakan apabila terjadi pembangkangan, seperti yang diceritakan
dalam Hikayat Raja-raja Pasai. Disintegrasi Majapahit terjadi karena pertama,
kelemahan di pusat kekuasaan (konflik perebutan takhta). Kedua, saling pengaruh
antara faktor ekonomi, kemakmuran kota-kota pelabuhan, dan faktor budaya,
berkembangnya agama Islam, yang membentuk solidaritas dan integrasi horizontal
kerajaan-kerajaan pesisir di daerah melawan kekuasaan majapahit di pusat.
2. Integrasi Kolonial
Integrasi kolonial atas wilayah Hindia Belanda baru kolonial sepenuhnya
dicapai pada dekade kedua abad XX dengan wilayah yang terbentang dari Sabang
sampai Merauke. Pemerintah kolonial mampu membangun integrasi wilayah juga
dengan menguasai maritim, sedang integrasi vertikal antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dibina melalui jaringan birokrasi kolonial, yang terdiri dari
ambtenaar-ambtenaar (pegawai) Belanda non pribumi yang tidak memiliki jaringan
dengan massa rakyat. Dengan kata lain pemerintah tidak memiliki dukungan massa
yang berarti. Masyarakat kolonial yang pluralistik dan segregatif memisahkan
golongan kulit putih, Cina dan pribumi yang membawa kelemahan pada integrasi
sosial budaya. Dengan demikian ketika menghadapi serbuan tentara Jepang pada
masa perang Dunia II, integrasi kolonial Hindia Belanda ini langsung runtuh, tanpa
massa rakyat yang menopangnya.
Hingga akhir abad XIX berbagai kerajaan kesukuan Proses di wilayah yang
kini bemama Indonesia berjuang melawan integrasi kekuasaan kolonial Belanda
dengan menggunakan cara nasional perlawanan bersenjata. Perlawanan yang
dipimpin oleh penguasa kerajaan atau elit lokal bersama rakyat mereka berakhir
dengan kekalahan, hingga seluruh kerajaan-kerajaan tersebut dikuasai pemerintah
kolonial dan menjadi wilayah taklukkan Hindia Belanda (kecuali Aceh yang baru
ditaklukkan tahun 1913). Menginjak abad XX, seiring dengan perubahan politik
kolonial di dalam negeri untuk memajukan rakyat jajahan sebagai "balas budi"
(Ethische Politiek), maupun pengaruh perkembangan nasionalisme di luar negeri,
perjuangan melawan penjajahan mengalami babak baru, yaitu menggunakan
bentuk-bentuk perjuangan politik dan kultural melalui organisasi-organisasi modern yang
dikenal sebagai pergerakan nasional. Pada awal abad XX "Bangsa Indonesia" masih
merupakan kawula (subject) dari negara kolonial Hindia Belanda. Dalam arti ini perlu
dikemukakan bahwa pengertian bangsa (nation) sebagai konsep politik masih relatif
baru. Secara historis lahir sebagai anak revolusi rakyat yang membebaskan diri dari
kekuasaan absolut dan mendirikan negara merdeka yang berkonstitusi.
Integrasi vertikal telah diperlihatkan Indonesia pasca proklamasi, yang dapat
ditegaskan dalam berbagai pergolakan senjata di daerah atas mempertahankan
kemerdekaan, namun hal tersebut belum termasuk Irian yang masih dalam sengketa
politik. Setelah Pepera barulah Irian resmi menjadi provinsi ke-26 di Indonesia.
Proses integrasi Papua ke Indonesia yang dikenal dengan Penetuan Pendapat
Rakyat atau Pepera tahun 1969 diawali dengan proses panjang sebelum pelaksanaan.
Rapat Musyawarah Pimpinan Daerah atau Muspida seluruh Irian Barat, yang meliputi
Muspida dari 8 Kabupaten, rapat tersebut bertujuan memberikan penjelasan umum
tentang kebijakan umum dalam menghadapi pelaksanaan Pepera. Dilanjutkan tanggal 24
Maret s/d 11 April 1969 diadakan Konsultasi antara Pemerintah Pusat dengan DPRD
Kabupaten se-Irian Barat. Tim Pemerintah Pusat didampingi oleh Tim Pemerintah
Provinsi, Tim PBB atau dikenal dengan nama Misi Ortiz Sanz, rapat konsultasi tersebut dilaksanakan dalam bentuk sidang-sidang pleno istimewa DPRD Kabupaten se-Irian
Barat.
Pelaksanaan Pepera dibentuk lebih dahulu Dewan Musyawarah (Demus) Pepera
di 8 kabupaten, Demus Pepera tersebut mencerminkan unsur daerah, unsur partai dan
organisasi masyarakat. unsur kepala suku dan adat, yang akan mewakili seluruh
penduduk Irian Barat, yaitu sebanyak 1024 orang mewakili 809.327 orang penduduk
yang terdiri dari:14
1. Kabupaten Jayapura 110 orang mewakili 83.750 orang penduduk;
2. Kabupaten Merauke 175 orang mewakili 144.171 orang penduduk;
3. Kabupaten Jayawijaya 175 orang mewakili 165.000 orang penduduk;
4. Kabupaten Paniai 175 orang mewakili 156.000 orang penduduk;
5. Kabupaten Teluk Cenderawasih 130 orang mewakili 91.870 orang penduduk;
6. Kabupaten Manokwari 75 orang mewakili 49.875 orang penduduk;
7. Kabupaten Sorong 110 orang mewakili 75.474 orang penduduk;
8. Kabupaten Fak-Fak 75 orang mewakili 43.187 orang penduduk.
14 Tim Pusat Kajian Demokrasi, Menata Ulang Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah dalam Negara Kesatuan
Pelaksanaan Sidang Pepera diselenggarakan secara bergantian di 8 kabupaten, mulai dari
tanggal 14 Juli s/d 2 Agustus 1969 yaitu dengan urutan sebagai berikut:
1. Kabupaten Merauke pada 14 Juli 1969;
2. Kabupaten Jayawijaya pada 16 Juli 1969;
3. Kabupaten Paniai pada 19 Juli 1969;
4. Kabupaten Fak-Fak pada 23 Juli 1969;
5. Kabupaten Sorong pada 26 Juli 1969;
6. Kabupaten Manokwari pada 29 Juli 1969;
7. Kabupaten Teluk Cenderawasih (di Biak) pada 31 Juli 1969;
8. Kabupaten Jayapura pada 2 Agustus 1969.
Hasil resmi yang diumumkan setelah Sidang Dewan Musyawarah Pepera atau
selanjutnya disebut dengan DMP Kabupaten Jayapura pada 2 Agustus 1969 dan tanggal 5
Agustus 1969 Menteri Dalam Negeri tentang Hasil Pepera kepada Sidang Istimewa
DPRGR/Pemerintah Daerah Provinsi Irian Barat di Jayapura, pemerintah Indonesia yang
disaksikan oleh dunia internasional dimana PBB menjadi saksi di dalamnya, memutuskan
bahwa Irian sepakat bergabung dengan Indonesia. Hasil Pepera tersebut ditindaklanjuti
dengan Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966, maka pada tanggal 5 Juli 1969 telah
diundangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 yang antara lain menetapkan
Penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1962 dan penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1963
menjadi undang-undang dengan ketentuan bahwa harus diadakan penyempurnaan. Pada
tanggal 10 november 1969 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan
Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat
1.2Landasan Hukum
Perkembangan peraturan perundang-undangan di Indonesia mengenai dasar
pijakan dari pemerintahan daerah dan otonomi khusus bagi Papua mengalami banyak
dinamika terhitung sejak kemerdekaan. Perubahan hasil legislasi mengalami kuantitas
signifikan saat reformasi menjadi tuntutan bangsa Indonesia dan terlebih Papua yang
pada saat itu telah mengagendakan otonomi khusus untuk daerah yang jauh dari Ibukota.
Konstitusi Indonesia yang mengatur konsepsi pemerintahan daerah dan otonomi
khusus antara lain:
1. UUD RIS 1949-1950
UUD RIS
BAB II
REPUBLIK INDONESIA SERIKAT DAN DAERAH-DAERAH BAGIAN Pasal 43
Dalam penyelesaian susunan federasi Republik Indonesia Serikat maka berlakulah asas pedoman, bahwa kehendak rakyatlah didaerah-daerah bersangkutan yang dinyatakan dengan merdeka menurut jalan demokrasi, memutuskan status yang kesudahannya akan diduduki oleh daerah-daerah tersebut dalam federasi.
2. UUD 1950
BAB IV
PEMERINTAH DAERAH DAN DAERAH-DAERAH SWAPRAJA
Pasal 131
(1) Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri (otonom), dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dan dasar perwakilan dalam sistem pemerintahan negara.
(2) Kepada daerah-daerah diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganya sendiri.
3. UUD 1945
Pasal 18
Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahnya ditetapkan dengan Undang-Undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat isstimewa.
4. UUD 1945 Amandemen
Pasal 18 B
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Terdapat empat konstitusi yang menjadi dasar sejarah konsep pemerintahan
daerah di Indonesia dan lahirnya konsep otonomi khusus Papua. Perbedaan yang terlihat
jelas terdapat dalam konstitusi RIS yang telah memberikan kesempatan Indonesia
merasakan menjadi negara federal. Hal ini ditegaskan dalam pasal a qua tersebut bahwa pada saat berlakunya UUD RIS Indonesia mengakui pembagian negara federal, yang
memberikan kewenangan besar kepada daerah dalam melaksanakan penyelenggaraan
pemerintahan. Konstitusi lainnya terlebih dalam UUD 1945 sebelum amandemen
original intent dari Pasal 18 dijelaskan sebagai sebuah bentuk penghormatan sehingga terdapat pengakuan konsep keistimewaan untuk wilayah kooti, dan lainnya telah memberikan ruang terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Periode tahun 1999 s/d 2002 telah merubah konstitusi tertulis Indonesia dengan
empat kali tahapan, perumusan Pasal 18 telah dilakukan diawal amandemen sejak
perubahan pertama, namun baru pada perubahan kedua Pasal 18 disahkan tahun 2000
dengan dilatarbelakangi oleh semangat penerapan otonomi daerah yang seluas-luasnya
Pasal tersebut sebagai pembuka keberadaan penghormatan wilayah yang berstatus
khusus serta istimewa dan melalui undang-undang diatur mengenai kekhususan serta
keistimewaannya. Valina Sinka Subekti dalam bukunya memperlihatkan perdebatan antar
fraksi yang menjadi titik berat adalah sebuah argumentasi dari Anthonius Rahail,
Akar dari persoalan munculnya wacana negara federal sesungguhnya bukanlah kerena bentuk negara kesatuan, tetapi lebih karena daerah sebagai inti dan unsur pokok dan pemegang saham terbesar dalam negara bangsa ini ternyata tidak diuwongke dalam sistem kehidupan bernegara. Harus ada pembagian kekuasaan ekonomi dan politik yang adil antara pusat dan daerah.15
Terdapat kronologis sejarah pembentukan peraturan perundang-undangan di
Indonesia yang memberikan kebijakan terkait pemerintahan daerah dan wilayah Papua
oleh pemerintah sebagai relevensi kesesuaian regulasi amanah UUD 1945 dan
keberadaan pemerintahan daerah dan otonomi khusus papua dalan sistem ketatanegaraan
di Indonesia, antara lain:
A. Pemerintahan Daerah
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 yang mengatur mengenai penyelenggaraan
pemerintahan sehari-hari oleh Komite Nasional Daerah
Undang-undang ini memberlakukan pertama suatu badan perwakilan di
daerah setelah kemerdekaan, yang bertujuan sebagai penghubung pemerintahan
pusat dengan daerah yang pada saat itu daerah masih dibagi dalam wilayah yang
cukup luas dan tidak termasuk Irian Barat yang masih menjadi wilayah sengketa
politik dan kebijakan internasional.
2. Undang-Undang Pokok Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan yang mengatur pertama tentang susunan kedaerahan, pada saat
itu Indonesia telah menjabarkan dua konsep daerah otonom, yakni daerah otonom
biasa dan daerah otonom khusus yang bermakna suatu daerah kooti yang bersifat istimewa.
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah yang disebut juga Undang-Undang tentang Pokok Pemerintahan 1956
Merupakan peraturan yang mempertegas susunan kedudukan daerah
otonom biasa yang dinamakan dengan daerah Swatantra, dengan segenap
pelengkap instrument badan eksekutif atau kepala daerah dalam susunan
administrasi kedaerahan.
4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
Daerah. Undang-Undang ini menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1957, Penetapan Presiden Nomor 6 tahun 1959; Penetapan Presiden Nomor 2
tahun 1960; Penetapan Presiden Nomor 5 tahun 1960 jo Penetapan Presiden
Nomor 7 tahun 1965
Pada tahun 1965 daerah otonom khusus atau swasta di hapuskan dan
digabung satu kesatuan dalam daerah otonom biasa dengan tiga tingkatan.
Pemerintahan mempersiapkan pembentukan daerah otonom tingkat III dengan
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja Sebagai
Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di seluruh
Wilayah Indonesia.
5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Peraturan yang dibentuk lebih tegas saat zaman pemerintahan Presiden
Soeharto ini, menetapkan satu daerah otonom sebagi pelaksana desentralisasi
yang dibentuk dengan wilayah administrasi.
6. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Menurut Undang-Undang ini Indonesia dibagi menjadi satu macam daerah
otonom dengan mengakui kekhususan yang ada pada tiga daerah yaitu Aceh,
Jakarta, dan Yogyakarta dan satu tingkat wilayah administratif.
7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang pertama yang dikeluarkan pemerintah setelah reformasi,
yang mengatur daerah di Indonesia dengan membaginya menjadi satu jenis daerah
otonom dengan perincian atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu
dibagi atas daerah kabupaten dan daerah kota. Selain itu Negara mengakui
kekhususan dan atau keistimewaan yang ada pada empat daerah yaitu Aceh,
Jakarta, Papua, dan Yogyakarta. Negara juga mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat (Desa atau nama lain) beserta hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan.
B. Otonomi Khusus Papua
1. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom
Provinsi Irian Barat (Memori Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara
Merupakan undang-undang yang disahkan pada tanggal 16 agustus 1956
sebagai dead lock perundingan Konferensi Meja Bundara tau KMB, undang-undang ini menjadi kajian terpenting secara hukum nasional,
Menimbang: bahwa setelah ditetapkan Undang-undang Pembatalan Persetujuan Konperensi Meja Bundar, maka tidak ada rintangan-rintangan lagi untuk melaksanakan cita-cita untuk membentuk Irian Barat menjadi Propinsi Otonom, sesuai dengan isi dan jiwa Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Mengingat:
a. Undang-undang Pembatalan Persetujuan Konperensi Meja Bundar; b. Pasal 2, 89, 131 dan 142 Undang-undang Dasar Sementara Republik
Indonesia; 2.Undang-undang No. 22 tahun 1948 Republik Indonesia dan Undang-undang tersebut dalam Staatsblad Indonesia Timur no. 44 tahun 1950; 3.Peraturan-Pemerintah Republik Indonesia Serikat No. 21 tahun 1950.
c. Piagam Persetujuan Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah Republik Indonesia tanggal 19 Mei 1950 dan Pernyataan Bersama tanggal 19 dan 20 Juli 1950.
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat:
Undang-undang tentang pembentukan Daerah Otonom Propinsi Irian Barat.
Bab I
Ketentuan Umum Pasal 1
Propinsi Maluku sebagai dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Serikat No. 21 tahun 1950, dibagi menjadi dua, yaitu:
a.Propinsi Maluku, b.Propinsi Irian Barat.
Pasal 2
1) Propinsi Irian Barat dimaksud pasal 1 sub b meliputi:
b. Wilayah Irian Barat yang pada saat pembatalan Persetujuan Konperensi Meja Bundar pada tanggal 21 April 1956 masih berada di dalam kekuasaan de facto Kerajaan Belanda tanpa persetujuan Pemerintah Republik Indonesia;
Undang-undang ini menjadi regulasi pertama Indonesia terhadap tanah
Papua, yang masih menjadi wilayah sengketa hingga 1963-1969. Ketentuan ini
ditegaskan dalam Pasal 12 yang mengkuatkan posisi Irian Barat merupakan
wilayah Indonesia. Pasal 2 menegaskan secara de jure bahwa wilayah Irian Barat masuk ke dalam wilayah Indonesia, undang-undang ini hanya berlaku satu tahun
setelah tanggal 9 Agustus 1957 diterbitkan kembali undang-undang
perubahannya.
2. Undang Darurat Nomor 20 Tahun 1957 tentang Perubahan
Undang-Undang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Irian Barat (Penjelasan Dalam
Tambahan Lembaran Negara Nomor 1360)
Peraturan yang disahkan pada tanggal 9 Agustus 1957 ini mengubah
aturan distrik atau wilayah Maba yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (2), dengan
alasan yang terdapat dalam konsideran yakni,
Bahwa berhubung dengan tugas utama dari Pemerintah Daerah Propinsi Irian Barat sebagaimana termaktub dalam Pasal 7 Undang-undang tersebut, distrik Maba mempunyai kedudukan yang penting, sehingga distrik itu perlu dimasukkan dalam wilayah Daerah Otonom Propinsi Irian Barat dan Undang-undang yang bersangkutan perlu diubah karenanya.
Diubah dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) angka 2 Undang-Undang Nomor
15 Tahun 1956 tentang pembentukan Daerah Otonom Provinsi Irian Barat diubah
hingga berbunyi :
a. Kewedanan Tidore yang meliputi distrik-distrik Tidore, Oba dan Wasile, dan;
b. Kewedanan Weda yang meliputi distrik-distrik Weba, Maba dan Patani/Gebe.
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1958 tentang Penetapan Undang-Undang
Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I Irian Barat (Lembaran Negara tahun
1957, Nomor 76)
Undang-undang yang disahkan tanggal 17 Juni 1958 ini mengesahkan
undang-undang darurat sebelumnya dan mempertegas Irian Barat sebagai daerah
otonom. Wilayah dan distrik Kewedanan yang meliputi distrik Maba, Tidore,
Weba dan lain sebagainya, menjadi satu kesatuan dengan wilayah otonom di Irian
Barat.
4. Penetapan Presiden (PNPS) Nomor 1 Tahun 1962 Menetapkan Pembentukan
Provinsi Irian Barat Bentuk Baru. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2372)
Ketentuan Pasal 1 ayat (1) Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1962
disebutkan bahwa Provinsi Irian Barat Bentuk Baru sebagaimana dimaksud
berwilayah Residentie Nieuw Guinea dulu menurut konstruksi Van Mook, yang sekarang masih diduduki oleh penjajahan Belanda, peta daerah Provinsi Irian
Barat Bentuk Baru itu dilampirkan pada Penetapan Presiden ini. Sedangkan pada
ayat (2) Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1962 ditegaskan bahwa daerah yang
dahulu masuk Provinsi Irian Barat menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1958 tentang penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 20 tahun 1957 tentang
perubahan Undang-undang Pembentukan Daerah Swatantra tingkat I Irian Barat
(Lembaran Negara 1957 Nomor 76) sebagai undang-undang, kini dikembalikan
ke dalam wilayah Provinsi Maluku. Adapun ibukota Provinsi Irian Barat Bentuk
Baru sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 Penetapan Presiden Nomor 1
5. Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 Tentang Peninjauan Kembali
Produk-Produk Legislatif Negara Diluar Produk-Produk MPRS Yang Tidak Sesuai Dengan
Undang Undang Dasar 1945
Berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966, maka pada
tanggal 5 Juli 1969 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969
yang antara lain menetapkan Penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1962 dan
penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1963 menjadi undang-undang dengan
ketentuan bahwa harus diadakan penyempurnaan. Menindaklanjuti amanat
Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966, maka kemudian pada tanggal 10
Nopember 1969 disahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang
Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di
Provinsi Irian Barat.
6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Provinsi Otonom
Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat
Undang-undang ini sehari setelah Pepera dilaksanakan, peraturan pertama
terkait Irian Barat yang juga memiliki legitimasi internasional dan penetapan serta
pengakuan dunia, bahwa wilayah Irian Barat merupakan wilayah yang termasuk
ke dalam Indonesia dan resmi menjadi provinsi ke- 26 di Indonesia. Dilanjutkan
dengan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan Papua
dikeluarkan oleh pemerintah.
7. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 174 Tahun 1986, yang melegitimasi
Jayapura, Wilayah II berkedudukan di Manokwari, dan Wilayah III berkedudukan
di Merauke
8. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1993 tentang Pembentukan Kotamadya
Jayapura
9. Sepanjang tahun 1996 Pemerintah telah mengeluarkan :
a. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1996 tentang Pembentukan Kota
Administratif Sorong;
b. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 1996 tentang Pembentukan Kabupaten
Administratif Puncak Jaya;
c. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 1996 tentang Pembentukan Kabupaten
Administratif Paniai; dan
d. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 1996 tentang Pembentukan kabupaten
Administratif Mimika.
10 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya
Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika,
Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong
11 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua
12 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2002 tentang Pembentukan sejumlah
Kabupaten di Provinsi Papua (Kabupaten Sarmi, Kabupaten Keerom, Kabupaten
Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Pegunungan Bintang,
Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Waropen, Kabupaten
Kaimana, Kabupaten Boven Digoel, Kabupaten Mappi, Kabupaten Asmat,
13 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah,
Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten
Puncak Jaya dan Kota Sorong pada tanggal 27 Januari 2003
14 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Supiori
15 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten
Mamberamo Raya
16 Tahun 2008 Pemerintah telah menetapkan:
a. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Lani
Jaya;
b. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten
Nduga;
c. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten
Dogiyai;
d. Undang-Undang Nomor 4 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten
Puncak;
e. Undang-Undang Nomor 5 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten
Mamberamo Tengah;
f. Undang-Undang Nomor 6 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten
Yalimo;
g. Undang-Undang Nomor 54 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Intan
h. Undang-Undang Nomor 55 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten
Deiyai.
17. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua
Merupakan undang-undang yang merubah UU Otsus tahun 2001 yang
berisi tentang dasar hukum pemberlakuaan provinsi Papua Barat dan Papua,
sekaligus dasar hukum pemberlakuan otonomi khusus di wilayah Papua dan
Papua Barat.
1.3 Perumusan Undang-Undang Otsus Papua
Pembentukan undang-undang merupakan salah satu fungsi legislatif yakni
legislasi dan yang lainnya adalah fungsi budgeting dan pengawasan. Hal ini tertuang
dalam Pasal 20 A ayat (1) Perubahan Pertama UUD Negara RI tahun 1945 Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Fungsi ini sendiri semakin kuat dengan adanya perubahan paradigma dalam pembentukan
undang-undang, yang selama ini kekuasaan pembentukan UU berada di tangan
presiden (eksekutif), tetapi sejak adanya Perubahan UUD 1945, kekuasaan
membentuk (rancangan) UU dibahas bersama DPR (Pasal 20 ayat (2) UUD Tahun
1945) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
UU Otsus Papua dirumuskan dan dibahasa dalam kurun waktu 2000 s/d 2001,
yang pada saat itu masuk ke dalam Program Legislasi Nasional atau selanjutnya
disebut Prolegnas tahun 2000 s/d 2004 dan sesuai dengan Program Pembangunan
merupakan bagian dari implikasi perubahan UUD 1945 dalam peningkatan
pembangunan hukum nasional dalam program pembentukan undang-undang yang
disusun secara berencana, terpadu dan sistematis. Ketetapan MPR RI Nomor
IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara atau GBHN tahun 1999-2004
yang ditetapkan MPR pada Rapat Paripurna ke-12, sidang umum MPR tanggal 19
Oktober 1999, yang mengamanatkan dalam pelaksanaannya dituangkan dalam
Propenas lima tahun, yang memuat kebijakan secara terperinci dan terukur dengan
tujuan penguatan pembangunan (hukum) nasional.
Propenas diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004. Propenas adalah rencana
pembangunan yang berskala nasional serta merupakan konsensus dan komitmen
bersama masyarakat Indonesia mengenai pencapaian visi dan misi bangsa. Fungsi
Propenas adalah untuk menyatukan pandangan dan derap langkah seluruh lapisan
masyarakat dalam melaksanakan prioritas pembangunan selama lima tahun ke
depan.16 Propenas diperinci dalam Rencana Pembangunan Tahunan atau selanjutnya
disebut Repeta, yang memuat anggaran pendapatan dan belanja negara atau disebut
dengan APBN yang ditetapkan oleh Presiden bersama DPR.
Otonomi khusus Papua telah dimuat secara eksplisit dalam Propenas sebagai
agenda utama yang dapat ditegaskan dalam penjelasan UU Propenas terkait
pokok-pokok permasalahan:
1. Merebaknya Konflik Sosial dan Munculnya Gejala Disintegrasi Bangsa;
2. Lemahnya Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia;
3. Lambatnya Pemulihan Ekonomi;
4. Rendahnya Kesejahteraan Rakyat, Meningkatnya Penyakit Sosial, dan Lemahnya
Ketahanan Budaya Nasional; dan
5. Kurang Berkembangnya Kapasitas Pembangunan Daerah dan Masyarakat;
Program pembangunan daerah dirincikan ke dalam kebijakan khusus
pembangunan daerah yang mengagendakan salah satunya adalah Program
Penanganan Khusus Irian Jaya:17
Program ini bertujuan mempercepat keberdayaan masyarakat setempat agar dapat berperan serta aktif dalam proses pembangunan, meningkatkan kapasitas kelembagaan pemerintahan daerah yang demokratis, mempercepat penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia, serta mempercepat penerapan otonomi khusus. Sasarannya adalah terwujudnya sumber daya manusia setempat yang berkualitas, terwujudnya fungsi pelayanan pemerintahan daerah yang optimal, terwujudnya kedamaian, kesejahteraan dan keadilan, mantapnya rasa cinta bangsa dan tanah air serta persatuan dan kesatuan dan terselesaikannya kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia.
Kegiatan pokok yang dilakukan adalah (1) percepatan pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan formal dan informal dengan pendekatan khusus yang memperhatikan budaya masyarakat lokal, peningkatan insentif dan fasilitas khusus dalam pelayanan sosial dasar di bidang pendidikan, kesehatan, gizi, maupun penyediaan hunian; penerapan otonomi khusus melalui penyusunan perangkat peraturan pendukung otonomi khusus; (2) penyediaan akses bagi masyarakat lokal dalam memperoleh sumber daya ekonomi; pengembangan kelembagaan ekonomi masyarakat lokal dengan sistem pendampingan yang konsisten; dan (3) peningkatan penyediaan prasarana dan sarana untuk mendukung percepatan pengembangan wilayah. Di samping itu terdapat kegiatan pokok guna peningkatan kapasitas pemerintahan adalah (1) pengembangan dan penataan kelembagaan pemerintahan daerah; pemberdayaan kecamatan sebagai ujung tombak pembangunan; (2) pemekaran desa, kecamatan, kabupaten dan kota serta peningkatan kapasitas kelembagaannya; (3) penataan dan peningkatan pengelolaan keuangan daerah; (4) peningkatan kapasitas dan akses lembaga adat dan lembaga keagamaan; serta (5) peningkatan komunikasi dan penataan hubungan kelembagaan politik Irian Jaya, baik lembaga legislatif, pemerintah daerah, maupun lembaga masyarakat adat.
Selain itu terdapat kegiatan pokok yang dilakukan guna penyelesaian kasus pelanggaran hukum dan hak asasi manusia, adalah (1) pelaksanaan peradilan yang jujur, adil dan bermartabat, pengakuan dan penghormatan wilayah hak
ulayat masyarakat adat agar dapat mengelola dan menikmati sumber daya alam di wilayah ulayatnya; (2) peninjauan kembali kontrak-kontrak pengelolaan sumber daya alam yang merugikan masyarakat adat; dan (3) peningkatan jaringan komunikasi dan dialog dengan seluruh komponen masyarakat dalam memecahkan permasalahan hak asasi manusia dan pelaksanaan pembangunan daerah.
Sejak tahun 2000 Prolegnas dikaitkan dengan Propenas, sehingga peran
Prolegnas lebih kuat dengan mendasarkan pada Propenas yang telah diatur dengan
undang-undang. UU Otsus Papua diundangkan pada tanggal 21 November 2001
dengan RUU Usul Inisiatif tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dalam
Bentuk Wilayah Berpemerintahan Sendiri, yang disampaikan pada tanggal 15 April
2001 berdasarkan pada UUD 1945 Pasal 21 ayat (1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang. Berikut daftar pengusul inisiatif mengenai RUU Otsus Papua:18
DAFTAR NAMA ANGGOTA DPR RI PENGUSUL HAK INISIATIF
MENGENAI
RUU OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA DALAM BENTUK WILAYAH BERPEMERINTAHAN SENDIRI
No Nama Anggota
1 Drs. Simon Patrice Morin
2 Lukas Karl Degey
3 Marthina Mehue Wally
4 Alexander· Litaay 5 Drs. Anthonius Rahail 6 Prof. Dr. Astrid S. Susanto 7 Ir. S.M. Tampubolon 8 Pdt. Lukas Sabarofak 9 KH. Fathoni, BA
10 Drs. Moh. Yamin Tawary 11 Drs. H. Faehri Andi Leluasa 12 Drs. H. Bambang W. Soeprapto
13 Dr. Hj. Marwah Daud Ibrahim, M.A 14 Hj. Gunarijah R.M. Kartasasmita, Ph.D 15 Drs. Immanuel E. Blegur
16 Muhammad Sofyan Mile, S.H. 17 Drs. Ibrahim Ambong, M.A 18 Drs. Djelailtik Mokodompit 19 Drs. Ridwan Mukti, Ak., M.B.A 20 Prof. Dr. H. Anwar Arifm
21 Marthin Bria Seran, B.Se 22 Dr. Charles Jones Mesang 23 Nurhayati Yasin Limpo 24 Dra. Hj. Chairunnisa 25 Dra. Iris Indira Murti, M.A 26 Drs. Ferry Mursyidan Baldan 27 Prof. Dr. H. Paturungi Parawansa 28 M. Akil Mochtar, S.H.
29 Hamka Yandu YR
30 Drs. H. Ibnu Munzir 31 Drs. T.M. Nurlif 32 H. Hardisoesilo
33 Ir. Teuku Saiful Ahmad 34 Ariady Achmad, B .Ac 35 Hj. Nurdahri Ibrahim Nain 36 Drs. H. AR. Rasyidi
37 Drs. Rusli Ibrahim
38 H. Karimun Usman
39 Prof. Dr. Ing. K. Tunggul Sirait 40 Dr. Achmad Farhan Hamid 41 Drs. Jasin B. Idango Co no
42 H.M. Laode Djeni Hasmar, S. Sos
43 Pedy Tandawuya, B.A
44 Natercia Do Menino Jesus Osorio Soares 45 Drs. Berny Tamara
Sumber : Risalah sidang pembahasan RUU Otsus DPR-RI
DAFTAR NAMA ANGGOTA DPR RI PENGUSUL HAK INISIATIF
Sumber : Risalah sidang pembahasan RUU Otsus DPR-RI
Menurut Yusril Izha Mahendra19 yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri
Kehakiman dan HAM Republik Indonesia, dalam usulan rancangan yang masuk
Prolegnas diperlukan hal-hal sebagai berikut :
1. Penyusunan peraturan perundang-undangan diawali dengan penelitian hukum dan
penelitian kebijakan sebagai bagian hulu proses perencanaan peraturan
perundang-undangan.
19 Tim BPHN http://bphn.go.id/prolegnas/index.php?action=info&info=prolegnas_history, tanpa tahun diakses 8 Febuari
2014
No Nama Anggota
1 Drs. Paul S. Baut Smf
2 Daniel Yoku
3 Endang Karman S.
4 Drs. Jacobus Kamarlo Mavang Padang 5 Drs. Utovo
6 Ir. Mindo Sianipar
7 Willem M. Tutuarim S.H. 8 Paulus Widiyanto
9 Matheos Pormes
10 Tjandra Widiaia 11 Panda Nababan 12 Ng. Sembiring 13 Dra. Budiningsih 14 lahar Harahap
15 Gunawan Wirosaroyo
16 Imam Soeroso
17 Dra. Sri Oetari Ratna Dewi 18 Drs. Marsudi Fandi Negara 19 H. Haryanto Taslam
20 Tjahjo Kumolo. S.H. 21 Ramson S., M.B.A
22 Rusman Lumbantoruan, B.Th 23 Firman Jaya Daely, S.H.
2. Proses pembuatan peraturan perundang-undangan di dahului dengan pembuatan
naskah akademik yang merupakan hasil penelitian pada point 1 memuat konsep,
teori, falsafah juga visi misi mengidentifikasi suatu rancangan undang-undang.
3. Peningkatan mekanisme partisipasi publik dalam proses penyusunan peraturan
perundang-undangan dalam kaitan pembahasan rencana legislasi nasional baik
pusat maupun daerah.
4. Kerjasama antar isntansi atau antar lembaga terkait perlu ditingkatkan.
Rancangan Undang-Undang Otsus memiliki draft terlebih dahulu sebelum
diusul dalam Prolegnas, hal ini ditegaskan dalam rangkaian pengaturan dengan
Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
dan Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam
Penyelenggaraan Otonomi Daerah, di jawab dengan inisiatif yang berasal dari
Gubernur dan DPRD Irian Jaya atas nama aspirasi rakyat Papua untuk mengajukan
otonomi khusus.
Rapat Paripurna dimulai tanggal 19 Juli 2001 dengan agenda penjelasan usul
inisiatif RUU Otsus Papua dan pengesahan pembentukan Panitia Khusus terhadap
RUU Otsus Papua. Rapat tersebut dihadiri oleh pemerintah yakni Mentri Dalam
Negeri Hari Sabarno dengan 249 dari 495 anggota DPR RI. Rapat paripurna tersebut
dipimpin oleh Soetardjo Soerjogoeritno, dan penjelasan RUU Otsus diwakili oleh
Simon Patrice Morin. Terdapat tiga hal pokok yang disampaikan dalam penjelasan
RUU Otsus, Landasan Filosofi lahirnya Rancangan Undang-Undang Otonomi
Sistematika dan lsi Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua
dalam Bentuk Wilayah Berpemerintahan Sendiri.
Proses pembahasan terangkai dalam empat kali rapat paripurna, enam kali
rapat Badan Musyawarah atau BAMUS, dan empat kali pertemuan konsultasi antara
DPR RI dengan pihak pemerintah. RUU tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Papua dalam Bentuk Wilayah Berpemerintahan Sendiri terdiri atas 23 Bab dan 76
Pasal. Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dirumuskan dengan
dilandaskan pada nilai dasar yang tetap bersumber pada pancasila dan UUD 1945,
nilai-nilai yang dimaksud adalah;20
1. Perlindungan terhadap hak-hak dasar
penduduk asli Papua;
2. Demokrasi dan implementasi;
3. Penghargaan terhadap etika dan moral;
4. Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia;
5. Supermasi hukum;
6. Penghargaan terhadap pluralisme; dan
7. Persamaan kedudukan, hak dan kewajiban
sebagai warga negara.
Terdapat pokok-pokok yang dibahas dalam RUU Otsus Papua,
1. Pembagian kewenangan Pusat dan Provinsi;
2. Tanggung jawab untuk men gurus diri sendiri;
3. Identitas provinsi Papua di dalam NKRI;
4. Perlindungan hak-hak penduduk asli;
5. Komitmen untuk melindungi, menegakkan dan menyelesaikan pelanggaran HAM
serta mencegahnya di kemudian hari;
6. Penataan kembali pembangunan Papua dalam rangka meningkatkan
mutu SDM Papua dan kesejahteraan rakyat pada umumnya;
7. Pemberdayaan rakyat; dan
8. Aktualisasi, pengawasan dan penegakan hukum dan demokrasi.
Nilai-nilai tersebutlah yang menjadi dasar pembahasan dan perumusan
Undang-Undang Otsus Papua, seperti halnya yang di jawab oleh DPR bahwa,
Dalam merespon kondisi di Irian Jaya/Papua, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah bertindak arif dengan menetapkan Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004, Bab IV huruf G. Pembangunan Daerah, angka 2, yang antara lain menyebutkan bahwa, "... mempertahankan integrasi bangsa di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Irian Jaya melalui penetapan Daerah Otonomi Khusus yang diatur dengan undang-undang dan menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia di Irian Jaya melalui proses pengadilan yang jujur dan bermartabat ... ". Melalui Ketetapan MPR RI Nomor IV /MPR/2000, tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Bagian III. Rekamendasi, angka 1, ditegaskan bahwa; ... "Undang-undang tentang Otanomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya, sesuai amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPRI/999 tentang GBHN Tahun 1999-2004, agar dikeluarkan selambat-Iambatnya 1 Mei 2001 dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan".21
Sidang Paripurna tersebut menetapkan 50 anggota Panitia Khusus atau
selanjutnya disebut dengan Pansus yang akan menangani pembahasan RUU Otsus
Papua dengan Sabam Sirat yang terpilih sebagai ketua Pansus, Ferry Mursyidan
Baldan, H.M Thahir Saimima dan Effendy Choirie sebagai wakil ketua Pansus RUU
Otsus Papua, melalui Keputusan Pimpinan DPR RI Nomor 112/PIMP/IV/2000-2001
tentang Penetapan Pimpinan Panitia Khusus DPR RI Mengenai Rancangan
Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Irian Jaya dan Keputusan DPR RI
Nomor: 60/DPRRI/IV/2000-2001 tentang Pembentukan Panitia Khusus DPR RI
mengenai Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Daerah Irian Jaya
antara lain:
DAFTAR NAMA-NAMA ANGGOTA PANITIA KHUSUS
RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI IRIAN JAYA
Fraksi No Nama
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
1 R.K. Sembiring Meliala 2 Sabam Sirait
3 Alexander Litaay
4 Prof. Dr. Dimyati Hartono. S.H. 5 Drs. Paul Baut
6 Pdt. Lukas Sabarofak
7 Daniel Yoku
8 Lukas Karl Degey
9 Pataniari Siahaan
10 Hj. Tumbu Saraswati. S.H. 11 Drs. Marsudi Fandinegara 12 lrmadi Lubis
13 Peter Sutanlo
14 Matheos Pormes
15 Paulus M. Saul De Ornay
Partai Golongan Karya
16 Drs. Ferry Mursyidan Baldan 17 Drs. T.M. Nurlif
18 GBPH. H. Joyokusumo
19 M. Akil Mochtar, S.H. 20 Drs. J.M. Nailiu
21 Prof. Dr. H. Paturungi Parawansa 22 Drs. Jasin Baruadi Idango Cono 23 Ny. Marthina Mehue Wally, S.E. 24 Ir. S.M. Tampubolon
25 Alex Hesegem
26 Drs. Ruben Gobay
Partai Persatuan Pembangunan
28 H. Syafriansyah. B.A. 29 H.M. Thahir Saimima, S.H. 30 Ny. Hj. Nurdahri Ibrahim Nain 31 H.M. Syaiful Rachman, S.H. 32 H. Chairul Anwar Lubis 33 H. Alimarwan Hanan, S.H.
Kebangkitan Bangsa
34 Dr. K.H. Ma'ruf Amin 35 KH. Hanif Muslih, LC. 36 Effendy Choirie, S.Ag. 37 H. Rodjil Ghufron AH, S.H. 38 Drs. Susono Yusuf
Reformasi
39 Dr. Ahmad Farhan Hamid, MS
40 Drs. H. Rahman Sulaiman, M.B.A 41 H. Mutammimul U'la, S.H.
42 Drs. Ir. H.T. Syaiful Ahmad, BMuE
TNI/POLRI
43 Drs. P.L. Tobing 44 Yahya Sacaawirya
45 Bachrum Rasir
46 Christina M. Rentetana. S.K.M. M.P.H
Partai Bulan Bintang 47 Hamdan Zoelva, S.H.
Kesatuan Kebangsaan
Indonesia 48 Drs. Anthonius Rahail
Perserikatan Daulatul Ummah 49 Sayuti Rahawarin Partai Demokrasi Kasih
Bangsa 50 Prof. Dr. Ing. K. Tunggul Sirait
Sumber : Risalah sidang pembahasan RUU Otsus DPR-RI
Agenda tersebut dilanjutkan dengan surat ketua DPR RI Akbar Tandjung kepada
Presiden terkait RUU Otsus tertanggal 21 September 2001, beserta dengan draft RUU
Otsus Papua dan penjelasan. Perumus RUU Otsus Papua dilakukan dalam forum
kerja berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat atau LSM, kalangan cendikiawan dan
intelektual juga Kongres II Papua. Pergolakan internal wilayah Papua juga terus
bergejolak dikarenakan hal ini tetap menjadi sensitif kelompok yang masih
pembahasan RUU Otsus bagi Papua dengan agenda Rapat Dengar Pendapat Umum
ke-1 s/d ke-5 tanggal 27 Juli s/d 26 September 2001 yang diantaranya;
1. Rapat Dengar Pendapat Umum Ke-1 Tanggal 27 Juli 2001
Terdapat dua agenda dalam Rapat ini yakni mendengar keterangan Tim Asistensi
Papua dan pengesahan jadwal acara serta mekanisme pembahasan Rancangan
Undang-Undang Otsus Papua. Perwakilan Papua diwakili oleh berbagai elemen
dan menjelaskan urgensi serta konsep otonomi khusus yang diinginkan rakyat
Papua seperti yang ditegaskan oleh perwakilan Papua seperti berikut:
Pak Rektor kita melihat bahwa pada saat ini ada juga sekelompok masyarakat Papua yang tidak menerima otonomi khusus dan mereka menyampaikan aspirasi untuk merdeka, ini bagaimana?
Definisi otonomi itu yang benar, definisinya yang salah di sini. Definisi yang di sini itu pro adalah ikut Republik Indonesia, menolak adalah pisah dari Republik Indonesia. Definisi itu keliru. Definisi yang benar mengenai otonomi menurut ilmu pengetahuan definisi adalah kebebasan untuk mengurus diri sendiri, itulah otonomi. Jadi rakyat di sini memang dari awal bertolak dari definisi yang salah.
Masyarakat memahami arti pentingnya otonomi khusus ini dalam rangka memperjuangkan hak-hak mereka. Masalahnya adalah ada salah pengertian, ada p,ersepsi-persepsi yang keliru terhadap pola pikir yang keliru yang harus kita luruskan, pertama sekali pada masyarakat di tingkat bawah, di tingkat desa - desa, kampong - kampung dan mudah-mudahan melalui penjelasan-penjelasan baik secara umum di gedung pertemuan maupun secara khusus di pertemuan yang lebih kecil untuk Saudara-saudara yang agak keras.
Rancangan Undang-Undang Otsus bagi Papua muncul dengan dilatarbelakangi
oleh permasalahan serta konflik berkepanjangan antara Papua dengan pemerintah
pusat (pihak Papua), sehingga diperlukan metode khusus untuk menjalin
hubungan yang saling komunikatif dan menjaga setiap aspirasi rakyat Papua.
bahwa sesungguhnya masyarakat adat di seluruh tanah air termasuk di tanah Papua telah mengenal cara-cara berdemokrasi yang baik. Dan masalahnya adalah bagaimana demokrasi yang hidup dalam masyarakat itu dapat berkembang ke arah yang lebih dewasa dan ini juga menjadi salah satu pemahaman dasar kami dalam men coba merumuskan hal-hal yang menyangkut kepentingan di daerah itu. Kemudian penghargaan terhadap etika dan moral, seperti saya katakan tadi bahwa pada akhirnya masyarakat Papua sesungguhnya melihat para pemimpin formal tidak lagi atau kurang memperlihatkan etika dan moral kepemimpinannya sehingga sebagaimana kita ketahui kami di sana menyaksikan masyarakat Papua justru lebih percaya pada pemirnpin informal, pirnpinan lernbaga adat dan juga pirnpinan-pirnpinan dari lembaga keagamaan. Dan ini justru akan merugikan apabila kepercayaan itu tidak dikernbalikan kepada Pemerintah. Penghormatan terhadap HAM merupakan salah satu hal yang sangat didambakan dan ini juga merupakan suatu hasil dari Kongres II Papua, tentu saja dari seluruh lapisan masyarakat karena berdasarkan pengalaman sebelumnya sejak daerah itu dan masyarakat Papua kembali berintegrasi dalam NKRI. Penegakan hukum dan supremasi hukum
sebagaimana juga dialami di daerah lain mungkin secara khusus merupakan salah satu keperluan utama di daerah kami di tanah Papua.
Penghargaan terhadap pluralisme juga merupakan salah satu aspek yang penting karena pada akhirnya secara nasional sebagai suatu bangsa rnernang pluralisrne itu penting kita jadikan salah satu pegangan dalam berbangsa, bemegara, dan bermasyarakat. Berdasarkan nilai-nilai filosofis tadi, maka tim kami berupaya untuk menjabarkan di dalam bab-bab dan pasal yang termuat di dalam RUU ini, ada 23 bab dan 76 pasal. Pokok-pokok ini meliputi pengaturan dan pembagian kewenangan Pusat dan Provinsi, identitas Provinsi Papua, perlindungan hak-hak penduduk asli, penyelesaian pelanggaran HAM, pelaksanaan pembangunan Papua. Pembagian kewenangan Pusat dan Provinsi terutama dalam pasal yang berkaitan sesuai dengan tujuan dari otonomi khusus ini maka ada kewenangan-kewenangan Pemerintah Pusat dan kewenangan-kewenangan Pemerintah Provinsi dan ada kewenangan-kewenangan Pemerintah Kabupaten dan Kota. Pasal-pasal yang menyangkut kewenangan-kewenangan ini juga jelas menunjukkan tentang pembagian Pusat dan Daerah itu. Penataan kembali Papua dalam rangka peningkatan mutu SDM dan kesejahteraan rakyat bagi kami dari tim perumus sesungguhnya ini adalah salah satu yang merupakan fokus utama dari RUU ini. Ketertinggalan masyarakat Papua, ketertinggalan daerah Irian
Keputusan dari Rapat Dengar Pendapat Umum Ke-1 oleh para anggota
1. Pansus memutuskan menyetujui Rancangan Jadwal Acara Rapat Pansus,
dengan catatan sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan kesepakatan.
2. Pansus memutuskan bahwa pada setiap pelaksanaan rapat, diharapkan
perwakilan Tim Asistensi Otonomi Khusus Papua untuk menghadirinya.
3. Berkaitan dengan saran anggota Pansus tentang permasalahan yang timbul di
salah satu Kecamatan, Kabupaten Manokwari, Pansus memutuskan
menugaskan kepada salah satu Anggota Pansus dari PDI Perjuangan (R.K
Sembiring Meliala) untuk menyampaikan masalah tersebut kepada Menteri
Koordinator Politik, Sosial dan Keamanan agar dapat segera diselesaikan.
2. Rapat Dengar Pendapat Umum Ke-2 Tanggal 28 Juli 2001
Rapat ini dianggendakan untuk mendengar pendapat umum dari para pakar, yakni
Professor Selo Soemardjan (Pakar Sosiologi), Professor Ryaas Rasyid (Pakar
Otonomi Daerah), Dr. Todung Mulya Lubis (Pakar Hukum) dan Professor Mubyarto
(Pakar Ekonomi Kerakyatan). Selo Soemardjan membacakan lebih dahulu
pandangannya terkait RUU Otsus Papua, yang dalam hal ini Ia lebih banyak
mengarahkan pembicaraan pada latarbelakang munculnya keinginan otonomi khusus
dan permasalahan mendasar yang belum terselesaikan, seperti dikutip dalam risalah
rapat dengan pendapat yakni:
rasa keadilan,belum memungkinkan tercapainya kesejahteraan seluruh rakyat, belum mendukung terwujudnya penegakan hukum, belum menampakkan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia Papua.
(Motivasi Kedua) Selanjutnya tadi disebut hasil pelurusan sejarah pada Pasal 43. Pasal 43 itu mengatakan, dalam rangka penyelesaian secara tuntas dan menyeluruh perbedaan pendapat mengenai sejarah integrasi Papua ke dalam Republik Indonesia dibentuk Komisi Pelurusan Sejarah Papua (KPSP). Pengaturan pelaksanaan tugas dan pembiayaan komisi tersebut di atas diatur dengan Peraturan Provinsi. Jadi yang bikin ini provinsi
sendiri. Nah kalau saya menangkap apa yang diterangkan kepada saya oleh mereka yang membawa ini kepada saya, maka mereka itu mengakui bahwa integrasi Papua ke dalam Republik Indonesia itu didasarkan atas keputusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) setelah mendengarkan laporan tentang Pepera di Indonesia, kalau tidak salah tahun 1969.
(Motivasi Ketiga) Selain daripada itu motivasi yang ketiga itu adalah pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh ABRI, waktu ABRI di daerah Irian Jaya dulu harus menanggapi kegiatan-kegiatan, operasi-operasi bersenjata oleh OPM. Nah ini tampaknya dari pembicaraan-pembicaraan saya dengan, tokoh-tokoh di Irian Jaya tampaknya ini di dalam kalangan rakyat sana itu mendalam sekali pelanggaran-pelanggaran HAM itu. Oleh karen apa, oleh karen a mereka itukehilangan bapaknya, kehilangan saudaranya, kehiIangan kawannya, kehilangan rumahnya selama ada operasi bersenjata antara ABRI dan OPM itu tadi. Ini rasa dendam ini selalu harus diperhatikan, tidak bisabegitu saja kita anggap sepi.
(Motivasi Keempat) Selanjutnya yang keempat, yang menjadi motivasi adalah adanya kesenjangan sosial antara p<l;ra penduduk setempat,
pen~uduk asli, penduduk Papua dan para penduduk pendatang. Nah jadi
gampangnya begini bahwa banyak penduduk pendatang yang menempatkan diri di Irian Jaya, banyak itu dari Buton dan dari Makasar, dan daerah Sulawesi Selatan, itu disana banyak yang masuk di dalam ekonomi di bagian rendah, di pasar-pasar atau sebagai buruh kasar, begitulah. Nah itu merupakan suatu kongkurensi, persaingan dengan tenaga-tenaga kerja di daerah sendiri atau di dalam ekonomi kerakyatan di daerah sendiri. Dan kalau dilihat kenyataannya penduduk daerah setempat itu terdesak atau kalah dalam. saingan ekonomi. Nah ini menimbulkan suatu kesenjangan sosial yang di dalam ini disebut bahwa mereka jtu merasa amat tidak senang dengan keadaan yang demikian itu. Akan tetapi, mereka juga, mengakui bahwa kalau dibanding pengalaman hidup atau pendidikan atau ketrampilan di dalam urusan-urusan yang moderen itu mereka masih kekurangan tenaga yang trampil atau kekurangan tenaga yang berpendidikan.
Selanjutnya Pakar ekonomi kerakyatan memberikan pandangannya terkait
tanah Papua, Murbyanto pun memberikan beberapa gagasan terkait hal tersebut yang
terangkum dalam pembacaan keterangan pendapat umum dari para pakar sebagai
berikut:
Apa yang dimaksud pendekatan partisipatif, kegiatan kaji-tindak
empat kecamatan di Jayawijaya yang sudah berjalan 16 bulan pada tahun 1998 itu dimaksudkan untuk meningkatkan kesiapan masyarakat desa tertinggal untuk memacu kegiatan ekonorni mereka untuk tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan baik di dalam pertaniannya, dalam peternakannya dalam perikanannya maupun di dalam kerajinannya