• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laut Lepas High Seas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Laut Lepas High Seas"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas segala nikmat dan kesempatan yang diberikan-Nya, kami dapat berkumpul dan mengerjakan makalah yang berjudul “Laut Lepas (High Seas)” dengan tepat waktu dan sebaik mungkin.

Makalah ini disusun guna menyelesaikan tugas Hukum Kemaritiman yang akan dikumpulkan dalam waktu dekat ini. Makalah ini juga dikerjakan untuk memberi pengetahuan kepada pembaca serta pada khususnya untuk memenuhi nilai tugas dan mendapatkan nilai yang sebaik mungkin seperti yang kami harapkan.

Terima kasih ditujukan kepada ibu Hj. Rabiah Z. Harahap, SH., MH., selaku dosen Hukum Kemaritiman atas waktu yang diberikan kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Terima kasih kepada teman-teman kelompok III yang sudah menyisihkan waktunya untuk mencari bahan sebanyak mungkin dan bersama-sama mengerjakan makalah ini.

Dalam penyusunan makalah ini, kami selaku penyusun masih merasa banyak kekurangan yang harus diperbaiki di makalah ini. Oleh karena itu, kami dengan senang hati menerima masukan-masukan positif ataupun kritik yang membangun dari para pembaca. Kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

(2)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...1

BAB I

:

PENDAHULUAN...3

A. LATAR BELAKANG...3

B. RUMUSAN MASALAH...4

BAB II: PEMBAHASAN...5

A. TINJAUAN PUSTAKA...5

B. PEMBAHASAN...6

1. PENGERTIAN LAUT LEPAS...6

2. PRINSIP KEBEBASAN DI LAUT LEPAS...7

3. STATUS HUKUM KAPAL DI LAUT LEPAS...10

4. PENGAWASAN DI LAUT LEPAS...13

BAB III: PENUTUP...17

A. KESIMPULAN...17

B. SARAN...18

(3)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Melalui penelitian yang dilakukan oleh sejumlah ahli diketahui bahwa lebih dari 70% permukaan bumi ditutupi air, sedangkan sisanya terdiri dari benua dan pulau-pulau. Begitu kontrasnya perbandingan laut dan daratan di bumi, sehingga meskipun pada hakikatnya manusia hidup di darat, akan tetapi manusia juga tak jarang mencari sumber penghidupan melalui laut, karena laut merupakan salah satu keindahan alam yang didalamnya terdapat begitu banyak sumber kehidupan, seperti ikan dan hewan-hewan laut lain beserta kekayaan alam yang tertimbun didalamnya yang dapat dimanfaatkan oleh manusia.

Seiring dengan perkembangan zaman, manusia pun berlomba-lomba menciptakan kapal untuk mengarungi laut yang terbentang luas di bumi. Dengan begitu banyaknya kapal yang berlayar, muncul pula konflik dari masing-masing negara yang ingin meraup kekayaan di laut karena mereka yang pada awalnya menganggap laut itu milik semua negara mulai menuntut wilayah lautnya sendiri untuk dieksploitasi secara pribadi. Untuk itu dibentuklah sebuah aturan hukum yang mengatur bagian-bagian laut dari masing-masing negara untuk menghindari konflik, dimana pada tahun 1958 ditetapkan laut teritorial negara adalah 3 mil dari garis pangkal, sehingga tiap-tiap wilayah laut yang tidak termasuk ke dalam jarak tersebut disebut dengan laut lepas. Di laut lepas setiap negara bebas memanfaatkan segala kekayaan alam yang terdapat di dalamnya.

(4)

terjadinya pembajakan kapal. Semua hal itu terjadi karena adanya anggapan bahwa di laut lepas bebas dilakukan kegiatan apapun oleh setiap negara.

Untuk meluruskan anggapan yang selama ini melenceng, dibentuklah Konvensi Hukum Laut pada tahun 1982 yang mempersempit luas laut lepas dan memperketat pengawasan-pengawasan di laut lepas sehingga timbul suatu keamanan dan ketertiban di laut lepas sehingga dengan otomatis kepetingan-kepentingan khusus negara pantai bisa terlindungi. Dengan adanya konvensi tersebut, diharapkan semua negara bisa bekerja sama dalam menjaga kelestarian ekosistem laut sekaligus menjaga keamanan pelayaran di laut sehingga dapat tercipta suatu hubungan internasional yang baik antar negara, khususnya di bidang kemaritiman.

B. RUMUSAN MASALAH

(5)

BAB II

PEMBAHASAN

A. TINJAUAN PUSTAKA

Berdasarkan perjanjian internasional dan custom, terdapat salah satu kawasan laut yang tidak masuk ke dalam kawasan wilayah laut suatu negara, yaitu laut lepas (high seas). Di kawasan tersebut, diberikan kebebasan bagi negara-negara untuk memanfaatkan berbagai kekayaan alam yang terkandung didalamnya, dengan ketentuan tiap-tiap negara tersebut harus mengambil manfaat untuk tujuan dan dengan cara-cara yang damai, serta tanpa ada maksud untuk menjadikan kawasan bebas itu sebagai wilayah kedaulatan negaranya.

Terdapat beberapa orang yang telah mengkaji tentang laut lepas, antara lain adalah sebagai berikut:

Wira Hipatios (2014). Judul makalah Hukum Laut Internasional. Di dalam makalah ini melalui subjudul laut lepas, ia menjelaskan mengenai tentang bagaimana pengertian laut lepas di mata perjanjian internasional, bentuk-bentuk kebebasan yang berlaku di laut lepas terhadap kapal-kapal yang melintasinya, beserta bagaimana pengawasan-pengawasan terhadap kebebasan yang diberikan.

Boer Mauna (2005). Judul buku Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global (Edisi Kedua). Di dalam buku ini di salah satu bab pembahasannya mengenai laut lepas, ia menjelaskan bagaimana pengertian dan perbandingan laut lepas sebelum dan sesudah hadirnya Konvensi Hukum Laut 1982, bagaimana status hukum kapal-kapal di laut lepas, dan pengawasan di laut lepas.

(6)

B. PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN LAUT LEPAS

Laut lepas (high seas) memiliki beberapa definisi tersendiri apabila ditinjau dari beberapa sumber. Pengaturan laut lepas terdapat dalam Konvensi-Konvensi Jenewa yang merupakan hasil dari Konferensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) I tanggal 24 Februari-27 April 1958. Pasal 1 Konvensi Jenewa 1958 tersebut memberikan pengertian laut lepas yang berbunyi:

Laut lepas adalah semua bagian laut yang tidak termasuk laut teritorial atau perairan pedalaman suatu negara.”1

Dimana yang dimaksud dengan laut teritorial adalah laut yang terletak pada sisi luar dari garis pangkal dan tidak melebihi dari 12 mil laut.2 Sedangkan yang dimaksud dengan perairan pedalaman adalah perairan yang berada pada sisi darat (dalam) garis pangkal.3

Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman pengertian laut lepas diperbaharui dengan lahirnya Konvensi Hukum Laut 1982, dimana setelah lahir Konvensi tersebut Konvensi Jenewa 1958 sudah tidak berlaku lagi. Konvensi Hukum Laut 1982 dalam Pasal 86 menyatakan pengertian laut lepas sebagai berikut:

Laut lepas merupakan semua bagian laut yang tidak termasuk zona ekonomi eksklusif, laut teritorial atau perairan pedalaman suatu negara dan perairan kepulauan dalam negara kepulauan.” Jadi sesuai dengan definisi ini, laut lepas terletak jauh dari pantai yaitu bagian luar dari zona ekonomi eksklusif.4

Pengertian laut lepas menurut Konvensi Hukum Laut 1982 ini sangat jauh statusnya dengan pengertian laut lepas menurut Konvensi Jenewa 1958.

1 Abdul Alim Salam. 2008. Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Hukum Laut Internasional (Unclos 1982) Di Indonesia. Cet. 1. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan, halaman 45

2 Sefriani. 2014. Hukum Internasional: Suatu Pengantar. Cet. 4. Jakarta: Rajawali Pers, halaman 213

3 Ibid.

(7)

Laut lepas menurut Konvensi Jenewa 1958 adalah hanya 3 mil dari laut territorial, sedangkan laut lepas menurut Konvensi Hukum Laut 1982 adalah dimulai dari zona ekonomi eksklusif yang berarti dimulai dari 200 mil.5 Siapapun dapat melihat dari Pasal 86 Konvensi Hukum Laut 1982 telah merombak konsep tradisional laut lepas.6 Dibandingkan dengan keadaan pada waktu sebelum dihasilkannya Konvensi Hukum Laut 1982, luas perairan laut lepas kini menjadi berkurang karena Konvensi telah mengakui batas terluar laut teritorial menjadi 12 mil7, oleh karena itu wilayah laut lepas benar-benar telah mengalami penyusutan ribuan mil persegi.8

2. PRINSIP KEBEBASAN DI LAUT LEPAS

Pada abad pertengahan terjadi tuntutan-tuntutan kedaulatan terhadap laut dikarenakan adanya prinsip kebebasan pelayaran di laut, salah satunya tuntutan dari Paus-Alexander VI tahun 1493 yang membagi dunia baru atas 2 bagian, yaitu:

- Portugal memperoleh seluruh Samudera Hindia dan Laut Atlantic di sebelah Maroko;

- Spanyol memperoleh lautan Pasific dan Teluk Mexico.9

Hal tersebut mengundang protes dari berbagai pihak, khususnya sejak abad XVI dan XVII dimana pada abad itu karakteristiknya adalah penemuan-penemuan daerah baru, karena tuntutan tersebut akan menjadi halangan bagi negara-negara yang ingin bebas berlayar kemana saja untuk mendapatkan daerah-daerah baru dengan segala kekayaan alamnya. Selain itu, tuntutan juga datang dari negara-negara di bawah ini, yaitu:

- Inggris

Inggris merupakan salah satu negara besar yang mengajukan protes keras terhadap tuntutan kedaulatan di laut sejak tahun 1602 dikarenakan

5 Abdul Alim Salam. Loc. Cit.

6 J.G. Starke. Introduction To International Law (Pengantar Hukum Internasional). Diterjemahkan oleh Bambang Iriana Djajaatmadja. Jakarta: Sinar Grafika, halaman 360

7 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes. 2003. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: PT Alumni, halaman 188

8 J.G. Starke. Loc. Cit.

(8)

Inggris sudah mulai tertarik dengan ekspedisi-ekspedisi yang jauh untuk menemukan daerah-daerah baru. Jadi, pada intinya Inggris mempertahankan prinsip kebebasan berlayar karena prinsip tersebut sesuai dengan kepentingannya.

Akan tetapi pada tahun 1609 Inggris mengubah sikapnya dengan melarang orang-orang asing untuk menangkap ikan di Laut Utara yang dianggap Inggris sebagai lautan Inggris, kecuali kalau mendapatkan izin sebelumnya.10 Hal ini dilakukan Inggris karena Inggris ingin mengeruk kekayaan laut untuk dirinya sendiri, jadi ia pun menuntut kedaulatan terhadap wilayah laut tertentu dan tidak mendukung prinsip kebebasan berlayar di laut.

Selanjutnya pada abad ke XVIII, melalui perintah Ratu Anne yang menduduki tahta kerajaan Inggris pada masa itu, Inggris kembali mengakui prinsip kebebasan berlayar di laut.

- Belanda

Pada saat itu kapal-kapal VOC milik Belanda sering dihalang-halangi oleh kapal-kapal Spanyol dan Portugis. Oleh karena itu melalui Grotius yang merupakan ahli hukum, pada tahun 1868 keluarlah alasan-alasan untuk mempertahankan prinsip kebebasan di laut, yaitu laut tidak bisa ditinggali secara tetap akan tetapi orang-orang dapat tinggal di darat maka laut tak dapat berada di bawah kedaulatan negara manapun dan karena itu pula laut menjadi bebas untuk dilayari oleh siapapun, selain itu Grotius juga mengungkapkan berdasarkan falsafah hukum alam bahwa angin berhembus dari segala jurusan dan membawa kapal-kapal ke seluruh pantai maka laut itu bebas dan dapat digunakan oleh siapapun.

Terlepas dari sejarah mulai berkembangnya prinsip kebebasan berlayar di laut, prinsip kebebasan di laut lepas sendiri berdasarkan Pasal 87 Konvensi Hukum Laut 1982 berarti laut lepas dapat digunakan oleh negara manapun. Semua negara mempunyai kebebasan di laut lepas (freedom of the high seas), yaitu sebagai berikut:

(9)

a. Kebebasan pelayaran (freedom of navigation); b. Kebebasan penerbangan (freedom of overflight);

c. Kebebasan memasang kabel dan pipa bawah laut (freedom to lay submarine cables and pipelines);

d. Kebebasan membangun instalasi lainnya (freedom to construct other installations permitted under international law);

e. Kebebasan penangkapan ikan (freedom of fishing); dan

f. Kebebasan riset ilmiah kelautan (freedom of scientific research).

Kebebasan di laut lepas tersebut harus memperhatikan kepentingan negara lain dalam melaksanakan kebebasan yang sama karena pelaksanaan kebebasan tersebut harus dilaksanakan untuk tujuan-tujuan damai (peaceful purposes) dan negara tidak boleh menundukkan laut lepas di bawah kedaulatannya sebagaimana yang ditegaskan oleh Pasal 88-89 Konvensi Hukum Laut 1982.11

Adapun teori mengenai natur yuridik (sifat hukum) laut lepas terdiri atas:

a. Res Nullius, yang menyatakan bahwa laut lepas adalah bebas karena tidak ada yang memilikinya. Namun teori ini dapat menimbulkan persepsi bahwa suatu negara dapat memiliki laut lepas atau setidak-tidaknya berbuat semaunya disana seolah-olah laut lepas itu merupakan miliknya.12 b. Res Communis, yang menyatakan bahwa laut adalah milik bersama, karena

itu negara-negara bebas menggunakannya. Jika laut milik bersama maka itu berarti laut lepas itu berada di bawah kedaulatan bersama negara-negara, ini berarti negara-negara tersebut dapat menggunakan semaunya kebebasan-kebebasan di laut sehingga mengganggu negara-negara lain.

c. Domaine Publik Internasional, yang merupakan satu-satunya solusi terbaik dimana melalui teori ini, laut digunakan untuk kepentingan bersama masyarakat internasional. Jadi, laut lepas itu tidak dapat dimiliki oleh siapapun tetapi dapat digunakan bersama untuk kepentingan anggota-anggota masyarakat internasional. Teori ini dikatakan sebagai solusi

(10)

terbaik karena ia dapat menjamin penggunaan kebebasan-kebebasan di laut bagi semua negara besar atau kecil.13

3. STATUS HUKUM KAPAL DI LAUT LEPAS

Dalam mempelajari status hukum kapal-kapal yang berlayar di laut, sebaiknya terlebih dahulu dipelajari jenis-jenis kapal, yaitu:

a. Kapal publik, yang terdiri dari: - Kapal perang

Kapal perang adalah kapal yang karena tugas dan perlengkapan senjatanya dapt secara efektif ikut dalam operasi-operasi militer. Pasal 29 Konvensi Hukum Laut 1982 memberikan definisi yang lebih lengkap mengenai kapal perang yaitu:

Kapal yang dimiliki oleh angkatan bersenjata suatu negara yang memakai tanda-tanda luar yang menunjukan ciri khusus kebangsaan kapal tersebut dibawah komando seoarang perwira yang diangkat untuk itu oleh pemerintah negaranya dan yang namanya terdapat didalam daftar dinas militer atau daftar serupa dan yang diawaki oleh awal kapal yang tunduk pada disiplin angkatan bersenjata regular.

- Kapal-kapal publik non militer, yaitu kapal-kapal pemerintah yang mempunyai kegiatan-kegiatan non militer, seperti kapal-kapal logistik pemerintah, kapal-kapal riset ilmiah, dan lain sebagainya.14

- Kapal organisasi-organisasi internasional, yaitu kapal-kapal yang digunakan oleh organisasi-organisasi internasional untuk kepentingan masyarakat internasional, seperti PBB atau badan-badan khusus dari PBB.

b. Kapal swasta, yaitu kapal bukan milik pemerintah yang melakukan kegiatan bertujuan komersil.

Setiap kapal di laut lepas maupun di laut manapun wajib mengibarkan bendera negaranya. Bendera negara menunjukkan asal negara kapal. Hal tersebut menandakan bahwa kapal tunduk pada hukum dari negara yang benderanya dikibarkan di atas kapal. Kapal-kapal yang ada di laut lepas

(11)

sepenuhnya tunduk pada peraturan-peraturan atau ketentuan negara bendera (Pasal 92 Konvensi Hukum Laut 1982). Ketentuan ini dibuat agar terdapat kesatuan hukum untuk menjamin ketertiban dan disiplin di atas kapal. Undang-Undang negara bendera berlaku bagi semua perbuatan hukum yang terjadi di atas kapal. Dasar dari ketentuan ini adalah adanya anggapan bahwa kapal dianggap sebagai floating portion of the flag state, yaitu bagian terapung wilayah negara bendera. Oleh karena negara mempunyai wewenang absolut terhadap wilayah, maka negara tesebut berwenang pula terhadap kapal-kapalnya yang berlayar di laut lepas.15

Khusus untuk kapal swasta, selain bendera negara perlu dilengkapi dengan bukti-bukti yang dinamakan papiers de bord yang terdiri dari 2 macam yaitu:

1. Mengenai kapal dan anak buahnya, misalnya: kebangsaan, identitas kapal, surat jalan, dan lain sebagainya.

2. Mengenai muatan kapal, misalnya: manifest, connaissement, dan lain sebagainya.16

Bagi kapal-kapal swasta yang telah meninggalkan laut lepas dan masuk ke laut wilayah suatu negara, terhadapnya tidak lagi berlaku wewenang khusus negara bendera tetapi negara pantai.17 Jadi, apabila kapal swasta telah masuk ke laut wilayah negara lain, maka kapal tersebut harus tunduk pada ketentuan-ketentuan negara pantai.

Terhadap kapal swasta, melalui Konvensi Hukum Laut 1982 diatur bahwa hanya diberikan wewenang eksklusif kepada negara bendera untuk mengambil tindakan administratif atau hukum kepada warga negaranya yang bertanggung jawab terhadap terjadinya suatu tubrukan. Tetapi Konvensi tersebut juga menambahkan, bila tubrukan tersebut terjadi di suatu pelabuhan atau laut wilayah suatu negara asing, maka yuridiksi negara asing inilah yang

15 Wira Hipatios. 2014. Hukum Laut Internasional. Makalah yang dipublikasikan melalui

https://www.academia.edu/ tanggal 22 Oktober 2014

16 Mahendra. 2012. Hukum Kewilayahan Negara (Bagian 1). Materi kuliah Hukum Internasional yang disampaikan tanggal 9 Februari 2012 di Universitas Mulawarman Samarinda dan dipublikasikan melalui https://mahendraputra.net/ bulan Februari 2012

(12)

akan berlaku. Prinsip ini kemudian ditegaskan oleh Pasal 97 ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982 yang berbunyi:

Bila terjadi suatu tubrukan atau insiden pelayaran lain apapun yang menyangkut suatu kapal di laut lepas, berkaitan dengan tanggung jawab pidana atau disiplin nahkoda atau setiap orang lainnya dalam dinas kapal, tidak boleh diadakan penuntutan pidana atau disiplin terhadap orang-orang tersebut kecuali di hadapan pejabat-pejabat hukum atau administratif negara bendera atau di negara dari mana orang-orang itu berkebangsaan.”18

(13)

4. PENGAWASAN DI LAUT LEPAS

Pengawasan di laut lepas diperlukan untuk menjamin keamanan dan kebebasan penggunaan laut di laut lepas. Pengawasan tersbut dilakukan oleh kapal perang dari negara pantai yang dekat dari wilayah laut lepas yang bersangkutan. Pengawasan terbagi dua, yaitu:

a. Pengawasan Umum

Tiap-tiap kapal perang mempunyai wewenang untuk mengetahui kebangsaan suatu kapal dengan meminta supaya kapal tersebut mengibarkan benderanya apabila kapal tersebut tidak mengibarkannya. Permintaan tersebut dapat dilakukan dengan kode-kode lampu atau apabila cara ini tidak berhasil maka kapal perang dapat menembakkan peluru-peluru kosong ke arah kapal tersebut.19

Apabila kapal perang menaruh kecurigaan pada kapal tersebut, maka dalam rangka menyelenggarakan pengawasan, kapal perang dapat menghentikan kapal yang bersangkutan. Kapal perang dapat memeriksa surat-surat kapal beserta memeriksa muatannya. Hal tersebut 1815, ada banyak upaya yang dilakukan oleh negara-negara di dunia untuk memberantas perdagangan budak belian, salah satunya melalui Konvensi Hukum Laut 1982 yang memberikan kekuasaan yang luas pada kapal perang semua negara untuk mengawasi dan memberantas perdagangan budak belian.

Prinsip tersebut ditegaskan oleh Pasal 110 (b) Konvensi Hukum Laut 1982 yang mengizinkan kapal-kapal perang

(14)

untuk menahan kapal-kapal yang dicurigai terlibat perdagangan budak.20

2) Pemberantasan Bajak Laut

Wewenang yang diberikan pada kapal-kapal perang semua negara untuk memberantas bajak laut sangat luas. Kapal-kapal perang dapat menahan dan menangkap Kapal-kapal-Kapal-kapal bajak laut. Selanjutnya negara bendera kapal-kapal perang tersebut berhak mengadili dan menghukum pembajak-pembajak yang ditangkap. Mengenai pembajak-pembajakan ini hukum internasional mengizinkan negara-negara secara langsung mengambil tindakan-tindakan untuk menghukum para pembajak, karena pembajakan dianggap sebagai kejahatan terhadap umat manusia (homo homini lupus).

Prinsip pemberantasan bajak laut ini ditegaskan oleh Pasal 100 Konvensi Hukum Laut 1982 yang meminta supaya negara-negara bekerjasama sepenuhnya dalam pemberantasan pembajakan di laut lepas atau tempat lain manapun di luar yurisdikdi suatu negara.21

3) Pengawasan Penangkapan Ikan

Pada dasarnya pengawasan ini bertujuan untuk memelihara sumber-sumber biologis di laut dengan cara melarang penggunaan alat-alat yang dapat membahayakan kelangsungan eksosistem biota laut.

4) Pengawasan Untuk Melindungi Kabel-Kabel dan Pipa Bawah Laut

Tiap-tiap kapal yang kedapatan merusak kabel-kabel dan pipa bawah laut yang ada di laut lepas tanpa alasan yang sah harus membayar ganti rugi kepada negara pemilik kabel-kabel dan pipa bawah laut yang bersangkutan.

5) Pemberantasan Pencemaran Laut

Negara-negara pantai diberikan wewenang oleh hukum internasional untuk mengambil tindakan-tindakan terhadap

(15)

semua kapal di laut lepas yang melakukan pencemaran laut, seperti meminta negara bendera kapal tersebut untuk memulihkan kondisi laut yang telah tercemar.

6) Pengawasan Untuk Kepentingan Sendiri Negara-Negara

Pengawasan ini dilakukan oleh negara pantai untuk melindungi kepentingan nasionalnya, yang terdiri dari:

- Hak pengejaran seketika (right of hot pursuit), yaitu hak suatu negara di laut lepas untuk mengejar, menangkap dan membawa ke pelabuhannya suatu kapal swasta asing yang diduga telah melakukan suatu perbuatan melanggar hukum di laut wilayah atau di perairan pendalamannya.22 Pengejaran tersebut harus terus-menerus dan tidak boleh berhenti. Pengejaran harus dihentikan, segera setelah kapal yang dikejar memasuki laut wilayahnya atau laut wilayah negara lain.23

- Hak bela diri (right of self-defence), yaitu hak negara pantai untuk menahan kapal beserta awaknya yang diduga akan mengancam keamanan nasional negara pantai tersebut, dengan ketentuan:

 Ancaman terhadap negara tersebut harus bersifat segera;

 Harus diberitahukan sgera kepada negara bendera;

 Orang-orang yang dianggap berbahaya yang terdapat di kapal tersebut harus diserahkan ke negara bendera untuk diadili menurut Undang-Undangnya;

(16)

 Tindakan-tindakan yang diambil harus bersifat tindakan-tindakan proteksi dan bukan represi; dan

 Harus dibayar ganti kerugian bila kecurigaan tidak beralasan.24

Itulah kesemua bentuk-bentuk pengawasan di laut lepas, baik yang berbentuk umum maupun khusus. Kesemua pengawasan tersebut ditujukan untuk menjaga ketertiban dan keamanan di laut lepas serta menjaga kepentingan-kepentingan khusus negara-negara pantai.

(17)

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Pengertian laut lepas (high seas) menurut Konvensi Hukum Laut 1982 adalahsemua bagian laut yang tidak termasuk zona ekonomi eksklusif, laut teritorial atau perairan pedalaman suatu negara dan perairan kepulauan dalam negara kepulauan.

2. Prinsip kebebasan di laut lepas yang benar mulai berkembang di abad ke VIX setelah keluarnya Konvensi Hukum Laut 1982 dimana kebebasan tersebut terdiri dari kebebasan pelayaran, penerbangan, memasang kabel dan pipa bawah laut, membangun instalasi lainnya, penangkapan ikan, dan riset ilmiah kelautan. Kebebasan tersebut harus dilaksanakan untuk tujuan-tujuan damai (peaceful purposes) dan negara tidak boleh menundukkan laut lepas di bawah kedaulatannya sebagaimana yang ditegaskan oleh Pasal 88-89 Konvensi Hukum Laut 1982.

3. Setiap kapal di laut lepas maupun di laut manapun wajib mengibarkan bendera negaranya. Bendera negara menunjukkan asal negara kapal. Hal tersebut menandakan bahwa kapal tunduk pada hukum dari negara yang benderanya dikibarkan di atas kapal. Kapal-kapal yang ada di laut lepas sepenuhnya tunduk pada peraturan-peraturan atau ketentuan negara bendera (Pasal 92 Konvensi Hukum Laut 1982).

(18)

B. SARAN

1. Saran kami kepada pembaca agar lebih banyak membaca dan mencari tau referensi di buku dan internet untuk memperluas wawasan mengenai pengertian laut lepas apabila ditinjau pada saat sebelum ataupun sesudah berlakunya Konvensi Hukum Laut 1982.

2. Saran kami terhadap negara-negara yang kerap berlayar di laut lepas lebih memahami bahwa laut lepas adalah milik bersama jadi penggunaannya harus dilakukan secara damai dan tidak mengganggu kepentingan negara lain.

3. Saran kami terhadap dunia internasional agar menerapkan Konvensi tersendiri yang mengatur kewajiban kapal untuk mengibarkan bendera di kapalnya, beserta menerapkan sanksi bagi kapal yang tidak melaksanakan hal tersebut agar aturannya lebih mengikat.

(19)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Kusumaatmadja, M., dan Etty R. Agoes., 2003. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: PT Alumni

Mauna, B., 2005. Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global (Edisi Kedua). Cet. 1. Bandung: PT Alumni

Salam, A. A., 2008. Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Hukum Laut Internasional (Unclos 1982) Di Indonesia. Cet. 1. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan

Sefriani., 2014. Hukum Internasional: Suatu Pengantar. Cet. 4. Jakarta: Rajawali Pers

Starke, J.G., Introduction To International Law (Pengantar Hukum Internasional). Diterjemahkan oleh Bambang Iriana Djajaatmadja. Jakarta: Sinar Grafika

B. Lain-lain

Mahendra. 2012. Hukum Kewilayahan Negara (Bagian 1). Materi kuliah Hukum Internasional yang disampaikan tanggal 9 Februari 2012 di Universitas

Mulawarman Samarinda dan dipublikasikan melalui

https://mahendraputra.net/ bulan Februari 2012

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Konvensi Hukum Laut 1982 (KHL1982) yang menjadi dasar hukum bagi negara peserta konvensi dalam menetapkan baseline tidak dapat menjawab permasalahan yang terjadi, dikerenakan

Emanuel Dewanto Bagus Nugroho, 1999, Ketentuan-Ketetuan Konvensi Hukum Laut 1982 Tentang Perlindungan Dan Pelestarian Sumber Daya Alam Hayati Di Zona Ekonomi

koordinat geografis titik-titik garis pangkal perairan kepulauan yang sejalan dengan. ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, sesuai dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982, juga mengandung ketentuan bahwa

Kewajiban pembentukan lembaga &RDVW *XDUG dalam konvensi SOLAS tersebut sebenarnya merupakan penjabaran ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 Pasal Pasal 217, pasal 218 dan

Innocent Passage atau Lintas damai sebagaimana yang telah diatur dalam hukum laut internasional, khususnya dalam Konvensi Hukum Laut tahun 1982 atau UNCLOS 1982,

Untuk UNCLOS 1982 Ketentuan yang terpenting dari konvensi yang menyangkut pencemaran laut, di tetapkan oleh Pasal 24 UNCLOS I yang menyatakan setiap negara wajib mengadakan

Volume 6, Nomor 2, Tahun 2023 521 Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 UNCLOS 1982, kepemilikan suatu negara atas wilayah laut telah diatur yang kemudian menghasilkan delapan zonasi