• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN PEMBAJAKAN KAPAL DI LAUT MENURUT KETENTUAN HUKUM LAUT INTERNASIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENGATURAN PEMBAJAKAN KAPAL DI LAUT MENURUT KETENTUAN HUKUM LAUT INTERNASIONAL"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN PEMBAJAKAN KAPAL DI LAUT MENURUT KETENTUAN HUKUM LAUT INTERNASIONAL

A. Sejarah Pembajakan Kapal di Laut

Sejarah menunjukkan bahwa pembajakan di laut lepas sudah ada sejak awal

manusia melakukan perjalanan melalui laut. Pembajakan di laut lepas memiliki

umur yang sama dengan kapal dan kodrat manusia. Para pembajak laut lepas pada

awalnya hanya memiliki tujuan untuk memperkaya diri.16

Dalam berbagai situasi pembajakan juga melakukan pembunuhan,

penculikan dan meminta tebusan. Sejarah tercatat menunjukkan bahwa sejak

zaman Yunani Kuno dan Kekaisaran Romawi, pembajakan di laut lepas menjadi

beban dari perdagangan maritim. Salah satu tindakan pembajakan di laut lepas

yang disertai dengan penculikan terjadi sejak tahun 75 S.M, dimana kapal Julius

Caesar diserang dan sang Kaisar itu sendiri diculik dan dimintai tebusan. Para

pembajak kemudian mendapatkan tebusan atas penyanderaan terhadap Julius

Caesar, namun kemudian mereka ditangkap dan dihukum.17

Pada abad ke-16 pembajakan digunakan oleh Negara-negara untuk

menambah kekuatan maritim mereka. Para pembajakan ini disebut sebagai

16

Alfred S., Bradford, Flying the Black Flag- A Brief History of Piracy, Westport, Connecticut: Praeger, 2007, hlm 4.

17

Thaine Lennox Gentele, Piracy, Sea Robbery and Terrorism: Enforcing Laws to Deter Ransom Payments and Hijacking, Transportation law Journal, Vol. 37:199, 2010, hlm 202-203

(2)

privateer, yaitu “Pembajakan” yang diizinkan atau disahkan oleh Negara untuk

bertindak atas nama negara tersebut melalui surat yang disebut Surat Marquee.

Tujuan utama para privateers ini adalah merusak sumber daya negara musuh,

melatih kapten angkatan laut yang baru, bahkan menyulut peperangan. Ratu

Elizabeth sendiri bahkan menyatakan bahwa penggunaan negara disponsori

terorisme seperti privateering merupakan cara ideal untuk memukul mundur

musuh dan kemudian menyembunyikan diri.18

Setelah perang Spanyol usai, Inggris dan Spanyol menyimpulkan bahwa

tidak diperlukan lagi para privateers. Raja James kemudian mencabut seluruh

Letter of Marquee dan mengkriminalisasikan pembajak di Laut Lepas. Tindakan

ini menyebabkan ratusan privateer kehilangan pekerjaan dan mencari pekerjaan

sebagai pembajak secara penuh. Tanpa adanya negara yang mengasuh atau

menyewa privateers ini, maka mereka melakukan tindakannya berupa menyerang

dan membajak semua negara-negara tanpa diskriminasi.19

Pada tahun 1856 mayoritas negara-negara yang memiliki kekuatan maritim

besar menandatangani Deklarasi Paris 1856 menyatakan penghapusan terhadap

pembajakan di laut lepas dalam bentuk apapun, termasuk privateering dan

pembajakan di laut lepas yang disponsori oleh negara. Sejak Deklarari Paris 1856

18

Ari triwibowo Yudhoatmojo, skripsi tentang : Penerapan Yuridiksi universal untuk menanggulangi dan mengadili pembajakan di laut berdasarkan resolusi dewan keamanan perserikatan bangsa-bangsa dalam kasus pembajakan di Teluk Aden, Fakultas Hukum Program Ilmu Hukum, Universitas Indonesia, jakarta: Tesis tidak diduplikasikan, 2010

19

(3)

ini, timbul konsep bahwa pembajakan di laut lepas merupakan hostis humani

generis atau musuh dari seluruh umat manusia.20

Pembajakan laut lepas dalam wilayah barat tidak hanya mempengaruhi

Yunani, Spanyol dan Inggris. Tercatat pula berbagai pembajakan di laut lepas

dalam kawasan Eropa Utara dan Amerika. Dalam kawasan Asia, pembajakan di

Laut Lepas terjadi pada kawasan Timur dan Tenggara. Pada wilayah Asia Timur,

pembajakan di Laut Lepas paling awal tercatat terjadi pada masa Dinasti Han (106

SM -220 M), namun pembajakan di Laut Lepas diyakini sudah ada sebelum

zaman ini. Pembajakan di Laut Lepas pada masa ini timbul saat ada kesempatan.

Pada awal abad ke 17, pembajakan di Laut Lepas kembali meningkat yakni pada

masa peperangan Dinasti Ming dan Qing. Hal ini terjadi karena lemahnya

pengawasan di pantai, dan pemberontakan yang dilakukan oleh Taiwan dan

Vietnam, serta disusul terjadinya Perang Opium pada tahun 1839-1842. Pada abad

ke 20, terjadi perang saudara di China antara penganut paham nasionalis dengan

komunis, sehingga kembali memberikan kesempatan yang baik bagi pembajak

untuk beraksi.

21

Pada wilayah Asia tenggara pembajakan di laut lepas marak terjadi pada

abad ke 19 dimana para pembajak mencoba membajak kapal-kapal perdagangan

milik Eropa. Pembajakan di laut lepas dalam kawasan ini dilakukan berdasarkan

komunitas yang terorganisasi dan bahkan melibatkan elit-elit lokal. Para pembajak

20

Ibid

21

(4)

ini mayoritas beraksi di perairan selat Malaka dan perairan Riau Lingga dan

tercatat pula hingga sampai Kalimantan Utara.22

Pembajakan di Laut Lepas dalam kawasan Asia Pasifik bukanlah

merupakan fenomena yang baru. Wilayah timur Puntland di Somalia sejak dahulu

merupakan wilayah maritim yang strategis, sehingga kegiatan pelayaran dan

perdagangan telah beroperasi di wilayah ini. Pada abad ke-18, Eropa mengunjungi

wilayah ini dan merekrut para pelaut setempat yang dikenal dengan nama pelaut

laut merah dan kelompok marjerteen dan Hyobo.23

1. Low level armed robbery, yakni kegiatan pembajakan di Laut Lepas

berskala kecil yang biasanya beroperasi di pelabuhan dan dermaga akibat

lemahnya pengawasan oleh petugas keamanan pelabuhan. Para pembajak

umumnya tertarik pada harta kekayaan para awak atau perlengkapan yang

ada di kapal.

Sehubungan dengan

pembajakan di Laut Lepas, Internasional Maritime Bureau (IMB)

menggolongkan kegiatan pembajakan di Laut Lepas dalam tiga kelompok yaitu :

24

22

Ger Tetlier, Piracy in Southeast Asia A Historical Comparasion, hlm 70-71

23

Lucas Bento, “Toward and International Law of Piracy Sui Generis: How the Dual Nature of Maritime Piracy to Flourish”, Berkeley Journal of International Law, Vol.29.2,2011, hlm 405.

24

Ilias Bantekas and Susan Nash, Internasional Criminal Law, london : Penerbit Cavendish Publishing, 2003, hlm 94

(5)

2. Medium level armed assault and robbery, yakni tipe bajak laut berskala

menengah yang beroperasi di perairan laut lepas maupun territorial.

Biasanya mereka sudah terorganisasi (organized piracy).

3. Major criminal hijack atau yang sering dikenal sebagai fenomena “kapal

siluman” (phantom ship). Mereka biasanya sudah berskala besar karena

sangat terorganisasi, memiliki kekerasan yang tinggi, dan bahkan telah

melibatkan jaringan organisasi kejahatan internasional dengan

anggota-anggotanya yang telah terlatih untuk menggunakan senjata api. Modus

operandi dilakukan dengan cara menguasai kapal, awaknya dibunuh atau

diceburkan ke laut, kemudian kapal di cat ulang, dimodifikasi, diganti nama

dan diregistrasi ulang. Kargo atau muatan kapal di jual di pasar bebas

kepada penadah. Sertifikat registrasi sementara diperoleh melalui kantor

konsulat. Mereka mendapatkannya baik melalui penyuapan atau

dokumen-dokumen yang dipalsukan. Motif dari pembajakan di laut lepas ini

umumnya tidak hanya sekedar motif ekonomi, dapat juga berlatar motif

politis atau terorisme. 25

Menurut black’s law dictionary pembajakan (piracy) adalah perampokan,

penculikan dan kejahatan lain yang dilakukan di laut. Oppenheim memberikan

pengertian bahwa yang dimaksud dengan pembajakan laut adalah perbuatan

kekerasan atau penyerangan dengan melanggar hukum yang dilakukan oleh suatu

kapal partikelir ( bukan kepunyaan suatu negara ) di samudera raya terhadap suatu

25

Melda Kamil Ariadno, Hukum Internasional Hukum yang hidup, jakarta : Penerbit Diadit Media, 2007, hlm 169.

(6)

kapal lain dengan maksud untuk merampok atau mencuri barang-barang dengan

kekerasan.

Dalam Hukum internasional dibedakan antara pembajakan (piracy) dengan

perompakan ( Armed robbery) diantaranya adalah :

I. Pembajakan ( Piracy)

1. Robbery commited at sea;

2. An act of robbery especially on the high seas, specifically: an illegal act of

violence, detention, or plunder committed for private ends by crew or passangers of a private ship or aircraft againts another ship or aircraft on the high seas or in place outside the jurisdiction of any stat;

3. Robbery on the high seas; taking a ship away from the control of those

who are legally entitled to it.26

1. Pembajakan menurut High Seas Convention 1958

Piracy consists of any of the following acts:

1. Any illegal acts of violence, detention or any act of depredation, committed for private ends by the crew or the passengers of a private ship or a private aircraft, and directed:

(a) On board such ship or aircraft;

(b) Againts a ship, aircraft, persons or property in a place outside the jurisdiction of any State;

26

(7)

2. Any act of voluntary participation in the operation of a ship or of an aircraft with knowladge of facts making it a pirate ship or aircraft;

3. Any act of inciting or of intentionally facilitating an act decsribed in subparagraph 1 or 2 of this article.

Pengertian pembajakan yang ada pada high seas convention 1958

mensyaratkan bahwa tindakan dapat dikatakan pembajakan apabila kejahatan di

lakukan terhadap kapal atau pesawat, atau orang atau barang atas tujuan

kepentingan pribadi dan terjadi di laut lepas dan di luar yurisdiksi suatu negara.

2. Pembajakan dilihat dari United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982

Dalam ketentuan pasal 101 UNCLOS bahwa pembajakan terjadi hanya di

luar laut teritorial dari negara pantai. Ada empat elemen yang harus dipenuhi

untuk dapat dikatakan sebagai pembajakan, yaitu :

1. Tindakan kejahatan yang melibatkan kekerasan, penahanan, dan perbuatan

pembinasaan;

2. Dilakukan untuk kepentingan pribadi;

3. Melibatkan dua kapal ( pesawat); dan

4. Terjadi di laut lepas.

Namun demikian, terdapat suatu batasan terkait defenisi mengenai

pembajakan yang diatur oleh UNCLOS. Defenisi tersebut dianggap lebih sempit

karena hanya diterapkan terhadap kegiatan pembajakan yang terjadi di laut lepas

dan hanya dapat dilakukan oleh suatu kapal terhadap kapal lainnya. Selanjutnya

(8)

seperti contohnya kekerasan mengambil kendali sebuah kapal yang dilakukan oleh

awak kapal atau penumpang, bahkan apabila tindakan tersebut terdiri dari

menahan orang untuk meminta uang tebusan maka tidak dikategorikan sebagai

pembajakan sebagaimana diatur oleh UNCLOS. Terhadap suatu kapal perang,

kapal atau pesawat udara pemerintah yang awak kapalnya telah memberontak atau

dan telah mengambil alih pengendalian atas kapal atau pesawat udara dapat

disamakan dengan tindakan tindakan yang dilakukan oleh suatu kapal atau

pesawat udara perompak. Akibatnya kapal perang pemerintah yang awak

kapalnya telah melakukan pemberontakan maka tindakan-tindakannya tersebut

dikategorikan sebagai pembajakan.

3. Pembajakan menurut IMB ( International Maritime Bureau)

Sudah menjadi kenyataan bahwa rezim pembajakan yang terdapat di

UNCLOS tidak mencakup pada kegiatan perompakan yang terjadi di laut

teritorial, perairan pedalaman atau perairan kepulauan dari suatu negara. Kesulitan

muncul ketika kebanyakan penyerangan terhadap kapal terjadi pada batas dua

belas mil dari laut teritorial atau perairan kepulauan dari suatu negara kepulauan

dan bukan di laut lepas. Dengan demikian, lazimnya insiden tersebut secara

hukum tidak dianggap sebagai pembajakan, akan tetapi insiden ini dikategorikan

sebagai perompakan.27

27

Ibid., hal.22

Mengatasi masalah tersebut IMB mengadopsi defenisi

(9)

“ piracy is an act of boarding any vessel with the intent to

commit theft or any other crime and with the intent or capability to use force in the furtherance of that act,”

IMB mendefenisikan pembajakan mencakup kejahatan mulai dari pencurian

di pelabuhan sampai pembajakan, lebih lanjut defenisi yang luas ini dapat

menyebabkan peningkatan jumlah insiden pembajakan yang terjadi.28

a. Diakui oleh masyarakat internasional sebagai kejahatan jure gentium

karena dianggap sebagai hostis humani generic (musuh bersama umat

manusia);

Pembajakan di laut memiliki karakteristik sebagai berikut:

b. Tindakan yang memiliki dampak atas lebih dari satu negara;

c. Melibatkan lebih dari satu kewarganegaraan;

d. Penggunaaan sarana dan prasarana yang cukup canggih;

e. Merupakan golongan tindak pidana internasional yang berasal dari

kebiasaan hukum internasional.

Pada awal abad ke-19 kejahatan pembajakan sempat dianggap telah lenyap

yang disebabkan oleh alasan-alasan berikut:

a. Teknologi, peningkatan ukuran dan kecepatan kapal pada abad ke-18 dan

abad ke-19 tidak menguntungkan bagi para pembajak karena tidak mudah

untuk dikejar oleh para pembajak;

28

(10)

b. Peningkatan kekuatan Angkatan Laut, pada abad ke-18 dan abad ke-19

memperlihatkan adanya peningkatan patroli angkatan laut internasional di

sepanjang jalur lalu lintas laut;

c. Peningkatan kualitas administrasi pemerintahan, abad ke-18 dan ke-19

ditandai dengan administrasi tetap terhadap sebagian besar pulau dan

wilayah daratan oleh pemerintah kolonial atau negara-negara yang

mempunyai kepentingan langsung untuk melindungi kapal-kapal mereka29

Walaupun peraturan pembajakan beragam, akan tetapi terdapat pengakuan

umum yang menyatakan pembajakan sebagai kejahatan internasional yang tidak

akan ditoleransi oleh negara manapun untuk melindungi armada kapal mereka.

Setelah berakhirnya perang dunia kedua pengaruh faktor-faktor diatas menjadi

hambatan bagi perkembangan kejahatan pembajakan sehingga kejahatan

pembajakan tersebut mulai berkurang. Namun seiring dengan perkembangan

zaman, keempat faktor diatas justru berbalik arah menjadi faktor pendukung

lahirnya pembajakan laut modern. Faktor-faktor tersebut antara lain:

a. Teknologi, kapal-kapal modern memiliki kecepatan tinggi dan peralatan

canggih untuk melindungi kapal tersebut. Selain memberikan dampak

positif, teknologi mengurangi jumlah awak kapal yang dipekerjakan

sehingga meningkatkan jumlah awak kapal yang tidak bekerja yang

akhirnya banyak diantara mereka menjadi bajak laut karena mereka tidak

memiliki keterampilan lain. Para bajak laut juga memanfaatkan kecanggihan

teknologi yang meningkatkan kecepatan kapal pembajak, kecanggihan

29

(11)

senjata dan memudahkan untuk melarikan diri.

b. Menurunnya frekuensi patroli Angkatan Laut, perubahan politik dunia

internasional mempengaruhi bentuk Angkatan Laut di dunia. Setelah perang

dunia kedua berakhir, negara-negara tidak lagi membangun Angkatan Laut

yang besar dan kuat. Negara-negara lebih memilih mempunyai Angkatan

Laut yang lebih kecil dan efisien. Hal ini menyebabkan penurunan patroli di

laut internasional sehingga kapal-kapal tidak lagi terlindungi.

c. Perubahan administrasi pemerintahan di wilayah kolonial. Pengaturan yang

telah dibuat oleh pemerintahan kolonial tidak diterima oleh negara-negara

jajahan yang menerapkan aturan-aturan baru. Namun pengaturan yang

dilakukan oleh negara-negara merdeka tidak dapat berjalan efektif karena

kekurangan dana. Pemerintahan baru khususnya Angkatan Laut

negara-negara jajahan yang kekurangan dana, sarana dan prasarana tidak mampu

mengamankan wilayah laut mereka. Hal ini menyebabkan pembajakan

berkembang pesat.

d. Kurangnya peraturan yang berkaitan dengan pembajakan dan perampokan

bersenjata hal ini dipengaruhi karena pembajakan dan perampokan

bersenjata tidak lagi dianggap sebagai kejahatan internasional serius yang

perlu mendapat perhatian dari masyarakat internasional.

II. Perompakan di Laut ( Armed Robbery at the Sea)

Bertambah luasnya batas suatu negara membuat kesulitan lain yang lebih

(12)

laut. Menurut hukum internasional, perompakan merupakan serangan yang tidak

termasuk kedalam tindakan pembajakan yang murni tetapi kejahatan yang terjadi

di laut teritorial sama halnya dengan perompakan bersenjata yang terjadi di

daratan dan seharusnya ditangani oleh polisi negara pantai tempat terjadinya

kejadian.

Variasi modren dari penyerangan ini tidak terlepas dari adanya tipu muslihat

di mana orang yang melakukan kejahatan berpura-pura menjadi penjaga pantai

atau pengawas pajak. 30 Perompakan merupakan terminologi hukum yang

digunakan untuk mendeskripsikan serangan terhadap kapal dagang di pelabuhan

atau laut teritorial. Berbeda dengan kegiatan pembajakan yang biasa dilakukan di

laut lepas di luar yurisdiksi salah satu negara. Menurut hukum internasional,

serangan yang terjadi di dekat pantai tersebut bukan suatu tindakan yang

dikategorikan sebagai pembajakan tetapi lebih kepada serangan serangan

kejahatan pada kapal atau awak kapal, sama jenisnya seperti perampokan

bersenjata yang mungkin terjadi di laut teritorial atau pelabuhan.31

Menurut IMO perompakan merupakan suatu hal yang sering terjadi namun

tidak ada satu pasal pun dalam UNCLOS 1982 yang mengatur bahkan

menyinggung mengenai hal ini. UNCLOS hanya mengenal defenisi pembajakan Dengan

demikian, perompakan seharusnya ditangani oleh aparat negara pantai.

1. Perompakan Menurut IMO

30

Ibid

31

(13)

konvensional yang terjadi di laut lepas di luar yurisdiksi dari suatu negara. Oleh

karena perompakan tidak terjadi di laut lepas maka sudah sepatutnya ada defenisi

yang lebih lanjut mengenai hal ini. Organisasi Maritim Internasional atau

International Marite Organization ( IMO) sebagai salah satu organ yang bernaung

dibawah Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB) memberikan defenisi mengenai apa

yang dimaksud dengan perompakan.

Menurut IMO yang dimaksud dengan Perompakan adalah :

1. Any illegal act of violence detention or any act of depredation, or theat thereof, other than act of piracy, commited for private and directed a ship or againts persons or property on board such a ship, within a states’s internal waters archipelagic waters and territorial sea;

2. Any act of inciting or of intentionally facilitaring an act described above.

Pada dasarnya defenisi mengenai perompakan yang dibuat oleh IMO masih

dijiwai oleh defenisi pembajakan yang ada dalam UNCLOS. Hal ini dapat dilihat

dari pengertian yang diberikan hanya saja terdapat pembeda mengenai tempat

terjadinya perompakan itu, yaitu pada perairan pedalaman, laut teritorial, dan

perairan kepulauan.

Banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya kegiatan aksi-aksi

kejahatan di laut. Faktor-faktor ini sangat kompleks karena saling berkaitan satu

sama lain dan melibatkan banyak pihak. Adapun faktor-faktor utama yang

memicu terjadinya pembajakan atau perampokan bersenjata di laut adalah sebagai

(14)

1. Situasi ekonomi di kawasan sekitar.

Situasi ekonomi di suatu kawasan, terutama kawasan pesisir dapat

berpengaruh terhadap perilaku kelompok-kelompok masyarakat tersebut,

terutama dalam hal mempertahankan hidup. Masyarakat pesisir hidupnya

sangat tergantung dengan kondisi alam karena rata-rata mereka hidup

dengan memanfaatkan hasil laut.

2. Lemahnya kontrol pemerintah terhadap permasalahan di dalam negeri.

Pemerintah adalah badan hukum publik yang bertugas melayani dan

melindungi rakyatnya. Masalah-masalah seperti pemenuhan kebutuhan

pokok rakyat merupakan tugas pemerintah. Ketidakmampuan pemerintah

untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya untuk melindungi

kepentingan umum secara bijaksana dapat mendorong sekelompok

masyarakat tertentu untuk melakukan tindakan demi kepentingan

kelompoknya. Sehingga dalam hal ini, diperlukan perhatian dan peranan

yang besar dari pemerintah untuk dapat memberikan jalan keluar yang lebih

baik kepada masyarakatnya.

3. Rendahnya kemampuan para penegak hukum

Penegakan hukum di bidang maritim terdiri dari penegakan hukum di laut,

di kapal dan di pelabuhan. Semua unsur tersebut seyogyanya saling terkait

satu sama lain. Lemahnya salah satu dari unsur penegakan hukum tersebut

dapat melemahkan sistem penegakan hukum di laut secara keseluruhan,

sehingga berakibat memberi kesempatan atau peluang terhadap aksi

(15)

4. Lemahnya sistem hukum di bidang maritim;

Selama ini persoalan penegakan hukum dan peraturan di laut senantiasa

tumpang tindih dan cenderung menciptakan konflik antar institusi dan

aparat pemerintah, serta konflik horizontal antar masyarakat. Oleh

karenanya dibutuhkan perangkat hukum dan peraturan yang dapat menjamin

interaksi antar sektor yang saling menguntungkan dan menciptakan

hubungan yang optimal. Selain itu, sistem hukum yang harus ditegakkan

saat ini semestinya tidak lagi memandang kejahatan di laut sebagai tindakan

kriminal biasa, mengingat dampak yang diakibatkan dari aksi-aksinya

tersebut semakin luas.

B. Pengaturan Pembajakan Kapal di Laut berdasarkan Hukum Laut Internasional

1. United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS)

Ketentuan mengenai pembajakan kapal di laut telah diatur berdasarkan

hukum kebiasaan internasional, karena dianggap telah mengganggu kelancaran

pelayaran dan negara memiliki hak untuk melaksanakan yurisdiksi berdasarkan

hukum yang berlaku di negaranya apabila tindakan tersebut dilakukan di dalam

wilayah teritorial suatu negara pantai.

Ketentuan Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982 yang mengatur tentang

(16)

dalam Konvensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958 tentang Laut Lepas.

Pengaturannya sebagai berikut:32

a. Pasal 101 KHL 1982, menjelaskan tentang definisi dan ruang lingkup

pembajakan di laut sebagai berikut:

Pembajakan di laut terdiri atas salah satu di antara tindakan berikut ini:

1) setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak sah, atau setiap

tindakan memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak

kapal atau penumpang dari suatu kapal atau pesawat udara swasta, dan

dilakukan:

(a) di Laut Lepas, terhadap kapal atau pesawat udara lain atau terhadap

orang atau barang yang ada di atas kapal atau pesawat udara;

(b) terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang di suatu

tempat di luar yurisdiksi negara manapun.

2) setiap tindakan turut serta secara sukarela dalam pengoperasian suatu kapal

atau pesawat udara dengan mengetahui fakta yang membuatnya menjadi

suatu kapal atau pesawat udara pembajak;

3) setiap tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu tindakan

sebagaimana

disebutkan dalam sub (a) atau (b).

b. Pasal 100 KHL 1982 menyatakan bahwa, “ dalam hal pembajakan di laut,

semua negara harus bekerjasama sepenuhnya untuk memberantas pembajakan

di laut lepas atau di tempat lain diluar yurisdiksi suatu negara”.

32

Abdul Muthalib Tahar, skripsi tentang : “Hukum Internasional dan Perkembangannya” Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2012, hlm 58

(17)

c. Pasal 102 KHL 1982 menyatakan bahwa, “ Apabila pembajakan dilakukan

oleh suatu kapal perang, kapal atau pesawat udara pemerintah dimana awak

kapalnya telah memberontak dan mengambil alih kapal atau pesawat udara

tersebut, maka tindakan-tindakan yang dilakukan oleh orang-orang tersebut

dapat disamakan dengan pembajakan”.

d. Pasal 103 KHL 1982 mengatur mengenai batasan kapal atau pesawat udara

pembajak sebagai berikut :

“ suatu kapal atau pesawat udara dianggap sebagai kapal atau pesawat

pembajak apabila ia dimaksudkan oleh orang yang mengendalikannya

digunakan untuk tujuan melakukan salah satu tindakan sebagaimana yang

dimaksud dalam Pasal 101 KHL .

e. Pasal 104 KHL 1982 menyatakan bahwa, “ suatu kapal atau pesawat udara

dapat tetap memilki kebangsaannya walaupun telah menjadi kapal atau

pesawat perompak. Kapal ataupun pesawat itu akan kehilangan kebangsaannya

apabila telah mendapat ketentuan dari negara yang memberikan

kebangsaannya”.

f. Pasal 105 KHL 1982, ditentukan bahwa, Di laut lepas atau di setiap tempat di

luar yurisdiksi negara manapun, setiap negara dapat:

1) menyita suatu kapal atau pesawat udara pembajak;

2) menyita suatu kapal atau pesawat udara yang telah diambil oleh pembajak

dan berada di bawah pengendalian pembajak;

3) menangkap orang-orang (pelakunya) serta menyita barang-barang yang ada

(18)

4) mengadili dan menghukum pelaku-pelaku pembajakan tersebut, serta

menetapkan tindakan yang akan diambil berkenaan dengan kapal-kapal,

pesawat udara atau barang-barang tersebut dengan memperhatikan

kepentingan pihak ketiga.

g. Pasal 107 KHL 1982 mengatur tentang “Tindakan penyitaan terhadap kapal

atau pesawat udara pembajak (termasuk kapal atau pesawat hasil pembajakan)

dan menangkap pelaku pembajakan, hanya dapat dilakukan oleh kapal perang

atau pesawat udara militer, atau kapal atau pesawat udara lain yang secara jelas

diberi tanda dan dapat dikenal sedang dalam dinas pemerintah.”

h. Pasal 106 KHL 1982 mengatur bahwa, “Apabila tindakan penyitaan terhadap

suatu kapal atau pesawat udara yang dicurigai melakukan pembajakan ini tanpa

bukti yang cukup, maka negara yang telah melakukan penyitaan tersebut harus

bertanggung jawab atas kerugian atau kerusakan yang timbul akibat penyitaan

tersebut kepada negara yang kebangsaannya dimiliki oleh kapal atau pesawat

udara tersebut.33

33

Yudi Trianantha, skripsi tentang : “Pembajakan Kapal di Laut Lepas Ditinjau dari Hukum Internasiona” Medan: universitas sumatera utara, 2012

Pembajakan merupakan kejahatan yang dikecam oleh hukum

internasional. Konvensi Hukum Laut ( UNCLOS ) dalam salah satu pasalnya

menyebutkan :

“ All States shall cooperate to the fullest possible extent in the repression

of piracy on the high seas or in any other place outside the jurisdiction of any state”.

(19)

Sudah menjadi tugas semua negara untuk bekerjasama dalam menekan

kegiatan pembajakan di laut. Tugas untuk kerjasama ini diatur dengan persyaratan

bahwa setiap negara harus bertindak berdasarkan pada asas itikad baik sesuai

dengan ketentuan pasal 300 UNCLOS.

2.Convention for the Supression of Unlawful Acts againts the Safety of Maritime Navigation ( the SUA Convention)

Selain UNCLOS ada traktat tambahan yang mengatur mengenai

pembajakan, yaitu Convention for the Supression of Unlawful Acts againts the

Safety of Maritime Navigation ( the SUA Convention) tahun 1988 dan

protokolnya. Konvensi ini mengatur tentang pembajakan terhadap kapal.

Munculnya konvensi ini disebabkan terjadinya pembajakan yang dialami oleh

kapal Achille Lauro pada tahun 1985.

Lebih lanjut konvensi ini meliputi tindakan ilegal yang tidak tergantung

pada motif, baik politis ataupun pribadi, yang mendorong seseorang melakukan

tindak kejahatan. Tujuan dari konvensi ini adalah menghukum siapa saja yang

melakukan penyerangan dengan secara ilegal dan sengaja menahan atau

menggunakan kendali terhadap kapal dengan kekuatan atau ancaman, atau

melakukan tindakan yang kejam terhadap orang di dalam kapal dan jika tindakan

tersebut dapat membahayakan keselamatan pelayaran dari kapal tersebut; atau

merusak kapal yang menyebabkan timbulnya kerusakan terhadap barang maupun

kapal yang dapat membahayakan pelayaran tersebut.

Selanjutnya setiap negara peserta dapat mengambil tindakan yang dianggap

(20)

mengekstradisi orang yang diduga sebagai pelaku penyerangan tersebut. Konvensi

ini berlaku juga terhadap serangan yang dilakukan di kapal yang sedang berlayar

atau dijadwalkan berlayar menuju, melalui atau dari perairan diluar batas laut

teritorial negara pantai; atau berlaku juga ketika pelaku penyerangan atau yang

diduga sebagai pelaku penyerangan ditemukan di dalam wilayah dari negara

peserta.

Selanjutnya terdapat protokol tambahan dari konvensi ini yang merupakan

dokumen pelengkap konvensi yakni protokol SUA Convention . Protokol ini

muncul karena adanya kelemahan dari SUA Convention yang tidak mencakup

seluruh tindak kekerasan yang membahayakan keselamatan laut. Kekurangan dari

konvensi ini mendorong dibentuknya protokol untuk mencakup hal yang belum

diatur di dalam konvensi. Protokol ini selesai pada tanggal 14 oktober 2005 dan

mulai berlaku setelah sembilan puluh hari sejak ditandatanganinya protokol ini

oleh dua belas negara peserta. Pasal 3 bis menyatakan bahwa seseorang dapat

dikategorikan melakukan serangan apabila orang tersebut melawan hukum dan

secara sengaja untuk mengintimidasi populasi, menggunakan kapal untuk

membawa bahan peledak yang digunakan untuk tujuan sebagaimana dimaksud

dalam pasal ini. Pasal 18 bis mencakup kerja sama dan prosedur yang harus

dipatuhi jika sebuah negara pihak berkeinginan untuk menaiki kapal yang

berbendera salah satu negara pihak apabila pihak yang meminta memiliki alasan

yang cukup untuk mencurigai bahwa kapal tersebut atau orang yang berada di

dalam kapal tersebut telah atau akan terlibat dalam tindakan yang dalam konvensi

(21)

3. Resolusi Dewan Keamanan PBB mengenai perlawanan terhadap piracy

Dewan keamana PBB ( DK PBB ) sebagai salah satu organ dari PBB yang

mempunyai tugas untuk menjaga dan dan memelihara perdamaian dan keamanan

internasional khusunya kawasan laut tidak bisa menutup mata terhadap peristiwa

pembajakan yang terjadi di lautan. Untuk itu DK PBB mengeluarkan beberapa

resolusi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Diantaranya adalah:

a. Resolusi Dewan Keamanan PBB 1816

Dalam resolusi ini Dewan Keamanan PBB bertindak berdasarkan chapter

VII piagam PBB mendesak setiap kapal-kapal dan pesawat militer negara

untuk waspada terhadap kegiatan pembajakan dan perompokan, serta

berkoordinasi dalam mencegah kegiatan pembajakan dan perompakan di

laut.

b. Resolusi 1838

Resolusi ini pada dasarnya sama dengan resolusi 1816. Pada resolusi ini

Dewan Keamanan PBB bertindak berdasarkan Chapter VII Piagam PBB di

DK PBB dalam paragraf dua meminta negara-negara yang memiliki

kepentingan dalam keamanan maritim untuk mengambil bagian melawan

bajak laut di lepas pantai somalia khususnya dengan mengirimkan kapal

angkatan laut.

c. Resolusi 1846

Dewa Keamanan PBB pada resolusi ini menegaskan kembali pernyataan

terkait pembajakan laut yang terjadi di lepas pantai somalia dan mengecam

(22)

laut terhadap kapal di laut teritorial dan laut lepas dari pantai somalia.

Memanggil Negara-negara dan organisasi regional untuk berkoordinasi,

termasuk berbagi informasi melalui jalur bilateral atau melalui PBB dalam

upaya untuk menghalangi kegiatan bajak laut dan perompakan di laut lepas

somalia.

Resolusi Dewan Keamanan PBB mempunyai kekuatan mengikat terhadap

negara-negara anggota PBB. Dengan demikian, setiap keputusan yang diambil

oleh Dewan Keamanan PBB harus diterima dan dijalankan oleh negara-negara

anggota sesuai dengan piagam PBB. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan

pembajakan dilaut merupakana suatu hal yang serius yang dapat mengancam

keamanan dan perdamaian internasional. Namun demikian, resolusi yang

dikeluarkan oleh dewan Keamanan PBB tidak serta merta dapat menjadi suatu

hukum kebiasaan internasional. Resolusi ini hanya berlaku terhadap situasi yang

terjadi di somalia. 34

C. Pengaturan Hukum Pembajakan Kapal Berbendera Indonesia Berdasarkan Ketentuan Hukum Nasional

Penerapan istilah nationality tidak hanya diberikan kepada orang tetapi

dalam konsep hukum kemaritiman istilah tersebut juga diberikan terhadap kapal

34

Supriyanto Ginting, Skripsi tentang : “Kerja sama Regional dalam Memberantas Piracy dan Armed Robbery di Laut Cina Selatan dan Selat Malaka” Jakarta : Universitas Indonesia, 2012

(23)

sebagai acuan untuk menentukan hubungan hukum antara sebuah kapal dengan

negara benderanya.

Konsep kebangsaan diperluas terhadap kapal- kapal karena :

a. adanya hak kebebasan dari laut dan pelayaran, di bawah hukum

internasional. Hal ini dikarenakan setiap negara baik yang berpantai ataupun

tidak ( Land Lock ) mempunyai hak untuk melayarkan kapal dengan

menggunakan benderanya

b. kenyataan bahwa tidak suatu negara yang mempunyai kedaulatan diluar laut

wilayahnya. Sehingga jelas bahwa kapal akan di pisahkan tidak hanya dari

pengawasan suatu negara tetapi juga di laut terlepas dari pelaksanaan

peraturan. Itulah sebabnya kapal harus punya kebangsaan.35

Lingkup berlakunya hukum nasional terhadap kapal-kapal ditandai dengan

adanya kebangsaan suatu kapal. Hal ini menandai bahwa kapal juga diartikan

sebagai subjek hukum yang harus dilindungi layaknya subjek hukum lain pada

umumnya. Oleh karena itu terhadap setiap tindakan hukum yang berlaku diatas

kapal haruslah mengikuti segala ketentuan perundang-undangan yang ada. Hukum

Nasional sebagai ruang berlakunya hukum terhadap kapal didasarkan pada :

a. Asas Legalitas

Asas legalitas merupakan salah satu asas yang penting dan sentral dalam

ilmu hukum. Dalam asas ini di kenal doktrin nullum delictum nulla poena sine

praevia rege poenali, yang memiliki arti bahwa segala sesuatu tindakan tidak

35

Jurnal kemaritiman, pengertian hukum – sumber hukum – pembidangan hukum . diakses pada tanggal 9 mei 2017

(24)

dapat dijatuhkan pidana tanpa sebelumnya ditetapkan dalam suatu

undang-undang.

Doktrin tersebut sejalan pula dengan ajaran lex certa yang menyatakan

bahwa segala peraturan perundang-undangan jangan diartikan lain selain daripada

maksud diadakannya substansi peraturan undang-undang tersebut. Asas legalitas

merupakan salah satu pilar utama bagi setiap negara yang menghargai hukum

sebagai supremasi, akan tetapi terhadap kejahatan seperti criminal extra ordinary

sering digunakan oleh penguasa untuk memnfaatkan hukum pidana secara

sewenang-wenang yakni pemanfaatan implementasi asas retroaktif untuk

memenuhi kebutuhan politis. Padahal makna yang terkandung dalam asas

legalitas yang universalitas sifatnya adalah (1) tiada pidana tanpa peraturan

perundang-undangan sebelumnya, (2) larangan adanya analogi hukum, dan (3)

larangan berlaku surut suatu undang-undang atau yang dikenal sebagai larangan

berlakunya asas retroaktif.36

b. Asas Teritorial

Asas ini diatur dalam pasal 3 KUHP dan diperluas dengan asas

extra-teritorial yang ada di dalam ketentuan pasal 4 ayat (4) KUHP ( dalam kendaraan

air atau pesawat udara Indonesia ) diluar wilayah Indonesia. Asas teritorial ini

merupakan asas yang mendapatkan prioritas pertama sebab setiap wilayah

memiliki kedaulatan di wilayahnya masing-masing. Disamping itu, apabila

36

Indriyanto Seno Adji,“Perspektif Mahkamah Konstitusi Terhadap Perkembangan Hukum Pidana” dalam Mardjono Reksodiputro, Pengabdian Seorang Guru Besar Hukum Pidana, Jakarta, Bidang Studi Hukum Pidana Sentra HAM FHUI Badan Penerbit FHUI 2007, hlm. 235

(25)

dihubungkan dengan hukum acara pidana maka untuk kepentingan pengadilan,

asas wilayah penting guna menemukan alat bukti dengan mudah sehingga akan

menjamin adanya fair trial. Ruang lingkup wilayah meliputi darat, laut, dan udara

yang ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya

secara tuntas, baik secara geografis berdasarkan wawasan nusantara maupun

berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang diakui.37

c. Asas Nasional Aktif

Asas ini merupakan asas yang penting untuk dipertahankan, hal ini

maksudkan untuk menumbuhkan rasa patuh hukum bagi setiap warga negara

Indonesia dimana pun ia berada, dengan batasan batasan asas kejahatan rangkap (

double criminality) untuk tindak pidana pada umumnya. Bagi tindak pidana yang

yang berkaitan dengan atau terhadap keamanan negara Indonesia dikecualikan

dari asas double criminality, sebab tindak pidana sejenis ini biasanya tidak

merupakan tindak pidana di luar negeri, maka demi pengamanan kepentingan

negara, terutama apabila dilakukan oleh warga negara Indonesia, maka

perbuatan-perbuatannya itu wajib dipidana dimanapun pidana itu dilakukannya.

Tindak pidana perompakan dan pembajakan di laut baik yang dilakukan

oleh kapal-kapal asing maupun kapal-kapal domestik telah menimbulkan

keresahan bagi pelayaran domestik maupun internasional. Penindakan kejahatan

perompakan dan pembajakan laut tersebut, didasarkan pada berlakunya

37

Lucky Rezeky. Skripsi tentang “Kajian Hukum Terhadap Tindak pidana Pembajakan Kapal Asing di Perairan teritorial Indonesia” Kendari : Universitas Hale Uleo,2017, hlm.47

(26)

delik KUHP yang berkaitan dengan “ Kejahatan Pelayaran” dengan menggunakan

suatu istilah yang sama yaitu sebagai delik “ pembajakan”.

Selama ini persepsi secara umum mengenai tindak kekerasan di laut selalu

di identikkan dengan istilah pembajakan laut ( piracy ), meskipun dalam dalam

kenyataannya terdapat beberapa kasus yang merupakan tindak kejahatan

perompakan di laut ( sea robbery ). Kedua istilah tersebut dapat dikatakan sama

hakekatnya, dan kadang secara bersamaan digunakan untuk menyebutkan suatu

peristiwa tindak kekerasan di laut, tetapi sebenarnya mempunyai perbedaan

mengenai wilayah yurisdiksi tempat terjadinya ( locus delicti ) tindak kekerasan di

laut tersebut.

Pembajakan di laut mempunyai dimensi internasional karena biasa

digunakan untuk menyebutkan tindak kekerasan yang dilakukan di laut lepas.

Sedangkan perompakan di laut lebih berdimensi nasional karena merupakan

tindak kekerasan di laut yang dilakukan di bawah yurisdiksi suatu negara, dengan

tujuan yang berbeda pula, meskipun juga dapat mencakup lingkup transnasional.

Bagi negara kepulauan seperti indonesia, tindak kekerasan di laut baik

berupa pembajakan maupun perompakan sudah merupakan bagian dari dinamika

kehidupan di laut yang perlu untuk mendapatkan pengangan sebab menjadi

ancaman yang serius bagi keamanan dan kelancaran pelayaran baik antar daerah (

domestik) maupun antar negara ( tansnasional).

Pengaturan mengenai perompakan dan pembajakan di laut diatur dalam

(27)

Pasal 439 KUHP

(1) Diancam karena melakukan pembajakan di pantai dengan pidana penjara

paling lama lima belas tahun, barang siapa dengan memakai kapal

melakukan perbuatan kekerasan terhadap kapal lain atau terhadap orang

atau barang diatasnya, di dalam wilayah laut Indonesia.

(2) Wilayah laut Indonesia yaitu wilayah “ teritorial zee en maritime kringen

Ordonantie ” 1939.

Pasal 440 KUHP

Diancam karena melakukan pembajakan dipantai dengan pidana penjara

paling lama lima belas tahun, barangsiapa yang didarat maupun diair sekitar

pantai atau muara sungai, melakukan perbuatan kekerasan terhadap orang atau

barang disitu, setelah lebih dahulu menyeberangi lautan seluruhnya atau

sebagiannya untuk tujuan tersebut.

Pasal 441 KUHP

Diancam karena melakukan pembajakan disungai, dengan pidana penjara

paling lama lima belas tahun, barang siapa dengan memakai kapal melakukan

perbuatan kekerasan disungai terhadap kapal lain atau terhadap orang atau barang

diatasnya, setelah datang ketempat dan untuk tujuan tersebut kapal dari tempat

lain.

Pasal 438 KUHP

(1) Diancam karena melakukan pembajakan dilaut :

Ke-1 : dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, barang

(28)

sebuah kapal, padahal diketahui bahwa kapal itu diperuntukkan untuk

digunakan melakukan perbuatan kekerasan dilaut bebas terhadap kapal

lain atau terhadap orang lain dan barang diatasnya, tanpa mendapat

kuasa untuk itu dari sebuah negara yang berperang atau tanpa masuk

angkatan laut negara yang diakui.

Ke-2 : dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, barang siapa

mengetahui tentang tujuan atau penggunaan kapal itu, masuk kerja

menjadi kelasi kapal tersebut, atau dengan sukarela terus menjalankan

pekerjaan tersebut setelah diketahui hal itu olehnya, ataupun termasuk

anak buah kapal tersebut.38

Dalam kenyataannya, ketentuan dalam KUHP tersebut menggunakan istilah

“ pembajakan”, untuk menyebutkan tindak kekerasan yang dilakukan di laut

lepas, maupun tindak kekerasan yang dilakukan di wilayah perairan Indonesia.

Sebagai produk perundang-undangan yang berasal dari jaman kolonial yang

sampai saat ini masih berlaku, pengaturan pembajakan dalam KUHP Indonesia

tersebut dapat dikatakan telah tertinggal jauh dengan perkembangan pengaturan

secara internasional dan perkembangan kebutuhan untuk kondisi dan situasi saat

ini.39

Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi konvensi

UNCLOS dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 17 tahun 1985 tentang

Ratifikasi UNCLOS 1982. Proses ratifikasi merupakan salah satu cara untuk

memasukkan hukum internasional menjadi hukum nasional. Dengan

38

Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia

39

(29)

diratifikasinya suatu konvensi maka isi dari konvensi tersebut akan mengikat

negara pihak dari konvensi itu. Akan tetapi pengecualian dapat dilakukan dengan

melakukan reservasi atau deklarasi terhadap suatu pasal. Oleh karena itu, dengan

diratifikasinya UNCLOS sebagai Undang-undang maka Indonesia terikat pada

setiap ketentuan yang ada dalam UNCLOS 1982 termasuk ketentuan yang

Referensi

Dokumen terkait

Dari hal yang menarik tersebut, maka kitab Jāmi‘ al-Bayān karya Muhammad bin Sulaiman akan dikaji lebih mendalam lagi dengan mengungkap empat aspek penting yaitu penamaan

Triple account ( bagi provinsi yang tidak ada PG) adalah rekening kelompok tani penerima Bansos yang pencairannya ditandatangani oleh 3 orang/lembaga yaitu Kepala

Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah 1) Menghitung dan membandingkan besarnya pendapatan yang diterima oleh petani saat musim hujan dan musim kemarau, 2)

Berdasarkan observasi awal di Pesantren Darul Istiqamah di Desa Timbuseng Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa, diperoleh beberapa informasi tentang beberapa jenis

Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain itu oleh Kitab Undang- Undang Hukum Pidana yang dewasa ini berlaku telah disebut sebagai seuatu pembunuhan. Untuk menghilangkan nyawa

Marilah di akhir tahun kita tingkatkan ketaqwaan kita dengan mengingatkan diri kita akan berbagai kesalahan yang telah kita kerjakan dan bertekad untuk

Dari pernyataan tersebut di atas yang termasuk alasan diperbolehkannya Pengadilan Agama memberikan izin seorang suami beristri lebih dari satu adalah.... Islam masuk ke

 Banyaknya lulusan Fakultas Kedokteran dari perguruan tinggi lain yang dapat menjadi pesaing alumni FKIK UNTAD. No Judul Kekuatan Kelemahan Peluang