• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANGGUNG JAWAB RUMAH SAKIT DALAM TRANSAKSI TERAPEUTIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TANGGUNG JAWAB RUMAH SAKIT DALAM TRANSAKSI TERAPEUTIK"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

TANGGUNG JAWAB RUMAH SAKIT DALAM TRANSAKSI TERAPEUTIK

Oleh

MERLI YUNITA SARI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

TANGGUNG JAWAB RUMAH SAKIT DALAM TRANSAKSI TERAPEUTIK

Oleh

MERLI YUNITA SARI

Rumah sakit adalah instisusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna, dalam kaitanya dengan tanggung jawab hukum, pada prinsipnya rumah sakit bertanggung jawab secara perdata atas perbuatan melawan hukum dan wanprestasi terhadap semua kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan tenaga kesehatan di rumah sakit. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, hubungan hukum antara pasien dan dokter dalam transaksi terapeutik di rumah sakit, hubungan hukum antara pasien dan rumah sakit dalam transaksi terapeutik dan tanggung jawab rumah sakit dalam transaksi terapeutik.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, pendekakatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), dengan tipe penelitian deskriptif. Data yang digunakan adalah data skunder yang terdiri dari bahan hukum primer, dan bahan hukum sekunder, serta pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan. Pengolaan data dilakukan dengan cara pemeriksaan data, penandaan data, rekonstruksi data, dan sistematisasi data.

(3)

wanprestasi (Pasal 1239 KUHPerdata) dan perbuatan melawan hukum (Pasal 1367 KUHPerdata).

(4)
(5)
(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

HALAMAN JUDUL ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

RIWAYAT HIDUP... vi

MOTO... vii

PERSEMBAHAN ... viii

SANWACANA ... ix

DAFTAR ISI ... xiii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup ... 6

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA A.Tanggung Jawab ... 8

1. Pengertian Tanggung Jawab Hukum ... 8

2. Teori Tanggung Jawab Hukum.. ... 10

3. Perbuatan Melawan hukum... ... 10

B.Perjanjian pada Umumnya ... ... 12

1. Pengertian Perjanjian ... 12

2. Asas-asas Hukum Perjanjian ... 13

3. Syarat Sahnya Perjanjian ... 16

C.Perjanjian Terapeutik... ... 17

1. Pengertian Transaksi Terapeutik... ... 17

2. Hubungan Hukum antara Pasien dan Dokter... ... 20

3. Hak dan Kewajiban Pasien ... 23

4. Hak dan Kewajiban Dokter... ... 24

5. Informed Consent... ... 25

D.Rumah Sakit ... 27

1. Pengertian Rumah Sakit ... 27

2. Jenis dan Klasifikasi Rumah Sakit ... 29

3. Hak dan Kewajiban Rumah saki ... 31

(7)

A. Jenis Penelitian ... 36

B. Tipe Penelitian ... 37

C. Pendekatan Masalah ... 37

D. Sumber Data ... 38

E. Metode Pengumpulan Data ... 39

F. Pengolahan Data ... 39

H. Analisi Data ... 40

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hubungan Hukum antara Pasien dan Dokter dalam Transaksi Terapeutik di Rumah Sakit ... 41

1. Transaksi Terapeutik ... 41

2. Syarat Sahnya Transaksi Terapeutik ... 44

3. Akibat Hukum Transaksi Terapeutik ... 50

B. Hubungan Hukum antara Pasien dan Rumah Sakit dalam Transaksi Terapeutik ... 58

1. Rumah Sakit Sebagai Badan Hukum ... 58

2. Hubungan Hukum antara Pasien dan Rumah Sakit ... 68

C. Tanggung Jawab Rumah Sakit dalamTransaksi Terapeutik ... 74

V. PENUTUP A. Kesimpulan ... 83

B. Saran ... 85

(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini profesi kesehatan merupakan salah satu profesi yang banyak mendapatkan sorotan dari masyarakat, karena sifat pengabdianya kepada masyarakat yang sangat kompleks. Etik profesi yang semula mampu menjaga citra tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas profesinya, kelihatanya semakin memudar sehingga perlu didukung oleh peraturan perundang-undangan yang lebih meningkat bagi para tenaga kesehatan dan lebih memperdayakan pasien serta keluarganya sebagai pengguna jasa profesi kesehatan. Meningkatnya sorotan masyarakat terhadap profesi kesehatan disebabkan oleh berbagai perubahan, antara lain adanya kemajuan bidang ilmu dan teknologi kesehatan, perubahan karakteristik tenaga kesehatan sebagai pemberi jasa, dan juga perubahan masyarakat pengguna jasa kesehatan yang lebih sadar akan hak-haknya. Apabila perubahan tersebut tidak disertai dengan peningkatan komunikasi antara tenaga kesehatan dengan penerima jasa kesehatan dalam hal ini adalah pasien maka hal tersebut dapat menyebabkan kesalahpahaman, ketidakpuasan dan perselisihan antara para pihak.

(9)

memperoleh kesehatan, kemudian Pasal 34 ayat (3) menyebutkan negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup prokduktif secara sosial dan ekonomi.

Rumah Sakit merupakan penyedia jasa pelayanan kesehatan sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan. Menurut Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Rumah Sakit bukan (persoon) yang terdiri dari manusia sebagai (naturlinjk persoon) melainkan rumah sakit diberikan kedudukan hukum sebagai (persoon) yang merupakan (rechtspersoon) sehingga rumah sakit diberikan hak dan kewajiban menurut hukum.1

Hak dan kewajiban rumah sakit diatur pada Pasal 29 dan Pasal 30 Undang-Undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, salah satu hak dan kewajiban rumah sakit adalah memberikan pelayanan yang aman, bermutu, anti diskriminasi dan efektif dengan mengutamakan kepentingan rumah sakit sesuai dengan standar pelayanan rumah saki serta berhak atas perlindungan hukum dalam pelayanan kesehatan. Namun, praktik terdapat gejala sosial das sein yang tidak sesuai

1

(10)

dengan unsur-unsur hukum yang ideal das sollen.2 Hal tersebut dapat dilihat

dalam kasus, pada tahun 2012 terdapat pasien yang bernama Hilyadi yang mengalami sakit kepala yang dibawa ke Rumah Sakit Harapan Bunda Gunung Sugih Lampung Tengah setelah tiba di rumah sakit pasien ditangani oleh sorang dokter, kemudian pasien diinfus dan disuntik obat penenang selang beberapa detik pasien mengalami kejang dan meninggal dunia. Kemudian keluarga pasien mengadukan dugaan kelalaian medik tersebut ke Polres Lampung Tengah dan menuntut pertanggungjawaban dari pihah rumah sakit. Namun, tidak ada proses lebih lanjut dari pihak kepolisian dan respos dan rumah sakit. 3

Hubungan hukum antara pasien dan dokter pada prinsipnya terdiri dari hubungan pelayanan kesehatan (medical service) atau istilah lain tindakan medik antara pemberi pelayanana kesehatan (health provider), dan penerima pelayanan kesehatan (health receiver). Dahulu hubungan antara pasien dengan dokter, pasien hanya dianggap sebagai objek semata karena dokter dianggap paling tahu segalanya yang terbaik bagi pasien atau (father know best), maka hubungan ini berpola vertikal.4

Kemudian semakin lama hubungan antara pasien dengan dokter tersebut bergeser dalam hubungan yang seimbang karena pasien dan dokter mempunyai hak dan kewajiban masing-masing yang harus dipenuhi. Hubungan ini melahirkan suatu perjanjian yaitu, perjanjian penyembuhan atau lazim disebut dengan transaksi terapeutik.

2

Soerjono Soekamto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta 1988, hlm. 79.

3

http://m.kompasiana.com/post/catatan/2012/10/04/korban-malpraktik-tewas-setelah-disuntik/

4

(11)

Transaksi terapeutik adalah hubungan hukum anatara pasien dan dokter dalam pelayanan medik secara professional didasarkan kompetensi sesuai dengan keahlian dan keterampilan di bidang kedokteran.5 Transaksi terapeutik ini

bertumpu pada hak asasi yaitu, hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self determinations), dan hak untuk mendapatkan informasi (the right to information).6 Ada dua pihak dalam upaya pelayanan kesehatan yang

berhubungan satu sama yang lain, yaitu pihak yang menerima pelayanan

kesehatan atau “pasien” dan pihak yang memberi pelayanan kesehatan yaitu

“dokter”. Sebelum tercapainya kesepakatan atau persesuaian pernyataan kehendak

dalam transaksi terapeutik, diperlukan komunikasi sebagai penyampaian proses informasi timbal. Dengan kata lain perjanjian terjadi karena adanya persetujuan yang didasarkan atas informasi sebelumnya secara timbal balik antar kedua pihak yang disebut informed consent.7

Informed consent atau persetujuan tindakan medik berdasarkan Permenkes RI No. 290/MENKES /PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik pada Pasal 1 merupakan persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kesehatan, Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit belum cukup memadai mengatur mengenai pengaturan transaksi terapeutik.

5

Veronica Komalawati, Peranan Informed Consen Dalam Transaksi Terapeutik Persetujuan `dalam Hubungan Dokter dan Pasien Suatu Tinjauan Yuridis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 84.

6

Ibid, hlm. 149.

7

(12)

Untuk melaksanakan upaya kesehatan, dokter bekerja tidak seorang diri tetapi dibantu oleh tenaga kesehatan lainya sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan yaitu, perawat, apoteker, ahli gizi dan lain sebagainya. Untuk itu hubungan hukum antara dokter dengan tenaga kesehatan, tenaga kesehatan dengan pasien maupun pasien dengan rumah sakit mempunyai tanggung jawab hukum yang berbeda-beda.

Rumah sakit sebagai bagian dari pelayanan kesehatan, dan juga merupakan salah satu pelayanan publik di samping mempunyai kewajiban hukum, rumah sakit mempunyai tanggung jawab secara hukum. Tanggung jawab tersebut diatur pada Pasal 46 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang berbunyi:

“Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian

yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di

rumah sakit”

Selain itu, Pasal 1365 KUHPerdata, wanprestasi pasal 1239 KUHPerdata dan Pasal 1367 KUHPerdata juga merupakan dasar hukum pertanggungjawaban rumah sakit apabila terdapat seorang dokter yang melakukan kelalaian medik yang merugikan pasien teori ini disebut sebagai (respondeat superior) yaitu, pertangungjawaban terhadap orang-orang yang berada di bawah pengawasannya.8

Berdasarkan uraian latar belakang, penulis tertarik untuk mengkaji mengenai

Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit dalam Transaksi terapeutik.

8

(13)

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup

1. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut :

a. Bagaimanakah hubungan hukum antara pasien dan dokter dalam transaksi terapeutik di rumah sakit ?

b. Bagaimanakah hubungan hukum antara pasien dan rumah sakit dalam transaksi terapeutik?

c. Bagaimanakah tanggung jawab hukum rumah sakit dalam transaksi terapeutik ?

2. Ruang Lingkup

a. Ruang lingkup keilmuan

Ruang lingkup kajian penelitian ini adalah dibatasi pada ketentuan hukum mengenai Tanggung Jawab Rumah Sakit dalam Transaksi Terapeutik. Bidang ilmu dalam penelitian ini adalah hukum perdata kususnya hukum perjanjian.

b. Ruang lingkup objek kajian

(14)

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini yaitu, sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui dan mengkaji hubungan hukum antara pasien dan dokter dalam transaksi terapeutik di rumah sakit.

b. Untuk mengetahui dan mengkaji hubungan hukum antara pasien dan rumah sakit dalam transaksi terapeutik.

c. Untuk mengetahui dan mengkaji tanggung jawab rumah sakit dalam transaksi terapeutik.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut :

a. Keguanaan teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dan sumbangan dalam ilmu hukum khususnya, lingkup hukum perdata mengenai Tanggung Jawab Rumah Sakit dalam Transaksi Terapeutik.

(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanggung Jawab Hukum

1. Pengertian Tangung Jawab Hukum

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tanggung jawab adalah kewajiban menanggung segala sesuatunya bila terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, dan diperkarakan. Dalam kamus hukum, tanggung jawab adalah suatu keseharusan bagi seseorang untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan kepadanya.9 Menurut hukum tanggung jawab adalah suatu akibat atas konsekuensi

kebebasan seorang tentang perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau moral dalam melakukan suatu perbuatan.10 Selanjutnya menurut Titik Triwulan

pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan timbulnya hak hukum bagi seorang untuk menuntut orang lain sekaligus berupa hal yang melahirkan kewajiban hukum orang lain untuk memberi pertanggungjawabannya.11

Menurut hukum perdata dasar pertanggungjawaban dibagi menjadi dua macam, yaitu kesalahan dan risiko. Dengan demikian dikenal dengan pertanggungjawaban atas dasar kesalahan (lilability without based on fault) dan pertanggungjawaban

9

Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, 2005.

10

Soekidjo Notoatmojo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm.

11

(16)

tanpa kesalahan yang dikenal (lilability without fault) yang dikenal dengan tanggung jawab risiko atau tanggung jawab mutlak (strick liabiliy).12 Prinsip

dasar pertanggung jawaban atas dasar kesalahan mengandung arti bahwa seseorang harus bertanggung jawab karena ia melakukan kesalahan karena merugikan orang lain. Sebaliknya prinsip tanggung jawab risiko adalah bahwa konsumen penggugat tidak diwajibkan lagi melainkan produsen tergugat langsung bertanggung jawab sebagai risiko usahanya.

2. Teori Tanggung Jawab Hukum

Menurut Abdulkadir Muhammad teori tanggung jawab dalam perbuatan melanggar hukum (tort liability) dibagi menjadi beberapa teori, yaitu :13

a. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan dengan sengaja (intertional tort liability), tergugat harus sudah melakukan perbuatan sedemikian rupa sehingga merugikan penggugat atau mengetahui bahwa apa yang dilakukan tergugat akan mengakibatkan kerugian.

b. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan karena kelalaian (negligence tort lilability), didasarkan pada konsep kesalahan (concept of fault) yang berkaitan dengan moral dan hukum yang sudah bercampur baur (interminglend).

c. Tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa mempersoalkan kesalahan (stirck liability), didasarkan pada perbuatannya baik secara sengaja maupun tidak sengaja, artinya meskipun bukan

12

Ibid. hlm. 49.

13

(17)

kesalahannya tetap bertanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat perbuatannya.

3. Perbuatan Melawan Hukum

Istilah perbuatan melawan hukum berasal dari bahasa Belanda disebut dengan istilah (onrechmatige daad) atau dalam bahasa inggris disebut tort. Kata (tort) berkembang sedemikian rupa sehingga berarti kesalahan perdata yang bukan dari wanprestasi kontrak. Kata (tort) berasal dari bahasa latin (orquer) atau (tortus) dalam bahasa Prancis, seperti kata (wrong) berasal dari bahasa Prancis (wrung) yang berarti kesalahan atau kerugian (injury).

Pada prinsipnya, tujuan dibentuknya sistem hukum yang kemudian dikenal dengan perbutan melawan hukum tersebut adalah untuk dapat tercapai sperti apa yang disebut oleh pribahasa latin, yaitu (juris praecepta sunt haec honeste vivere, alterum non leadere, suum cuque tribune) artinya semboyan hukum adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain dan memberikan orang lain haknya. Sebelum tahun 1919 yang dimaksud perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar peraturan tertulis. Namun sejak tahun 1919 berdasar Arrest HR 31 Januari 1919 dalam perkara Cohen melawan Lindenbaum, maka yang dimaksud perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar hak orang lain, hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, kewajiban hukum serta kepatutan dan kesusilaan yang diterima di masyarakat.14

14

(18)

Perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) diatur dalam Buku III KUHPerdata. Rumusan perbuatan melawan hukum terdapat pada Pasal 1365 KUHPerdata yaitu :

“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada

seorang lain mewajibkan orang yang karena kesalahannya menerbitkan

kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”

Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) katgori perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut : 15

a. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan.

b. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian).

c. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.

Jika ditinjau dari pengaturan KUHPerdata Indonesia tentang perbuatan melawan hukum lainya, sebagaimana juga dengan KUHPerdata di negara sistem Eropa Kontinental, maka model tanggung jawab hukum adalah sebagai berikut :16

a. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian), sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

b. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan, khususnya unsur kelalaian, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1366 KUHPerdata.

15

Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Citra Adiyta Bakti, Bandung, 2010, hlm. 3.

16

(19)

c. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam arti yang sangat terbatas sebgaimana yang diatur dalam Pasal 1367 KUHPerdata.

B. Perjanjian pada Umumnya

1. Pengertian Perjanjian

Pengertian Perjanjian diatur dalam Pasal 1313 yang berbunyi :

“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.

Soebekti mengemukakan pengertian perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.17 Sedangkan menurut Abdulkadir Muhammad

mengemukakan bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal di lingkungan lapangan harta kekayaan.18 Selanjutnya unsur-unsur perjanjian dapat

dikatagorikan sebagai berikut:19

a. Adanya kaidah unsur hukum

Kaidah dalam perjanjian dapat dibagi menjadi dua macam yakni, tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum tertulis adalah kaidah yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan perjanjian tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul, tumbuh, hidup dalam masyarakat seperti, jual beli emas, jual beli tanah dan lain sebagainya.

17

R. Soebekti, Hukum Perjanjian, Intermesa, Jakarta, 2002, hlm. 1.

18

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 76.

19

(20)

b. Subjek hukum

Istilah dari subjek hukum adalah recthpersoon. Recthpersoon diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Dalam hal ini yang menjadi subjek dalam kontrak adalah debitur dan kreditur. Kreditur adalah orang yang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang berutang.

c. Adanya prestasi

Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan apa yang menjadi kewajiban debitur. Suatu prestasi berdasarkan Pasal 1234 KUHPerdata terdiri dari memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu.

d. Kata sepakat

Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata terdapat empat syarat sahnya perjanjian salah satunya adalah kata sepakat konseksus.

e. Akibat hukum

Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban.

2. Asas-Asas Hukum Perjanjian

Keberadaan suatu perjanjian tidak terlepas dari asas-asas yang mengikutinya yang harus dijalankan oleh para pihak untuk menciptakan kepastian hukum. Didalam perjanjian terdapat 5 (lima) asas yang dikenal menurut hukum perdata yaitu:20

20

(21)

a. Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract)

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi :

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang

bagi mereka yang membuatnya.”

Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :

1) Membuat atau tidak membuat perjanjian; 2) Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;

3) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratan serta; 4) Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan;

b. Asas konsesualisme (consensualism)

Asas konsesualis dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. Pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belak pihak.

c. Asas kepastian hukum (pucta sunt servanda)

(22)

para pihak. Asas pucta sunt servanda sebagaimana pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.

d. Asas itikad baik (good faith)

Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang berbunyi:

“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik” asas ini merupakan asas

bahwa para pihak, yaitu debitur dan kreditur harus melaksanakan subtansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemampuan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam yakni, itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan menurut norma-norma objektif.

e. Asas keperibadian (personality)

Asas keperibadian merupakan asas yang menunjukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata menyatakan :

“Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau

perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Kemudian pasal 1340

KUHPerdata menyatakan bahwa “ Perjanjian hanya berlaku antara pihak

(23)

3. Syarat Sahnya Perjanjian

Menurut Pasal1320 KUHPerdata untuk syarat sahnya perjanjian diperlukan empat syarat:

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2) Cakap untuk membuat suatu perjanjian; 3) Mengenai suatu hal tertentu;

4) Suatu sebab yang halal.

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat subjektif karena mengenai orang-orang atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat terahir dinamakan syarat-syarat objektif karena mengenai perjanjian sendiri atau obejeknya dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.21 Menurut Abdulkadir

Muhammad wanprestasi artinya tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan Pasal 1239 KUHPerdata. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu :22

1) Karena alasan debitur, baik sengaja atau tidak dipenuhinya kewajiban maupun karena kelalaian;

2) Karena keadaan memaksa (overmacht) atau (force majeure) diluar kemampuan debitur.

Wanprestasi dan kelalaian seorang debitur dapat berupa tiga keadaan, yaitu : 1) Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali;

2) Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru;

21

Soebekti, Op.cit, hlm. 17.

22

(24)

3) Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat.

Menurut ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

C. Transaksi Terapeutik

1. Pengertian Transaksi Terapeutik

Istilah terapeutik adalah terjemahan dari (therapetic) yang berarti dalam bidang pengobatan ini tidak sama dengan (therapy) atau terapi yang berarti pengobatan. Sedangkan perjanjian terapeutik atau transaksi terapeutik adalah transaksi antara dokter dan pasien untuk mencari atau menemukan terapi sebagai upaya penyembuhan penyakit oleh dokter yang didukung oleh dua macam hak yang sifatnya mendasar dan yang lebih bersifat individual, yaitu hak atas informasi (the right to informations) dan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination).23 Persetujuan yang terjadi diantara dokter dan pasien bukan

dibidang pengobatan saja melainkan lebih luas, mencangkup bidang diagnostik, preventif, rehabilitatif maupun promotif maka persetujuan tersebut disebut dengan transaksi terapeutik.24

Transaksi terapeutik merupakan hubungan hukum antara pasien dan dokter dimana masing-masing harus memenuhi syarat-syarat dalam aturan hukum atau

23

Hermein Haditati Koeswadji, Op.cit, hlm. 99.

24

(25)

syarat sahnya perjanjian sebagaimana Pasal 1320 KUHPerdata perikatan ini juga disebut sebagai inspanningsverbintenis.25 Transaksi terapeutik merupakan

hubungan hukum antara dokter dan pasien, maka berlaku beberapa asas hukum yaitu, sebagai berikut:26

a. Asas legalitas

Berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, secara eksplisit tersirat dalam Pasal 23 bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan kesehatan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenega kesehatan yang bersangkutan. Pelayanan medis hanya dapat terselenggara jika tenaga kesehatan yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan dan perizinan yang diatur dalam perundang-undangan. Persyaratan dan izin praktik kedokteran diatur dalam perundang-undangan, karena di samping menyangkut pemerataan dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan, juga kebijakan pemerintah.

b. Asas keseimbangan

Asas ini terkandung dalam Pasal 2 dalam Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan bahwa penyelengaraan kesehatan harus diselenggarakan secara seimbang antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental serta antara material dan spiritual. Di dalam pelayanan medis dapat diartikan sebagai keseimbangan antara tujuan dan sarana, antara sarana dan hasil serta antara manfaat dan risiko yang ditimbulkan dari upaya medis yang dilakukan.

25

Titik Triwulan dan Shinta Febriana, Op.cit, hlm. 24.

26

(26)

c. Asas tepat waktu

Asas ini sangat diperlukan karena akibat kelalaiannya memberikan pertolongan tepat pada saat diperlukan pasien. Dokter selaku profesional di bidang medis, seharusnya bertindak tepat pada saat dibutuhkan. Berdasarkan asas ini, suatu tindakan yang harus segera dilakukan dalam rangka pelayanan medis, demi kepentingan pasien tidak dapat ditunda-tunda semata-mata demi kepentingan dokter.

d. Asas itikad baik

Di dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, disebutkan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, namun Pasal ini tidak menjelaskan artinya. Akan tetapi jika dilihat dari terjemahan dari kata (bona fides) dalam hukum Romawi berbuat sesuai dengan itikad baik berarti berbuat berdasarkan pengertian yang baik, jujur dan lurus. Arti prinsip tersebut, bahwa setiap orang berkewajiban membantu atau menolong orang lain dalam memajukan kepentingannya, sepanjang tidak menimbulkan risiko bagi dirinya sendiri.

e. Asas kehati-hatian

(27)

2. Hubungan Hukum Pasien dan Dokter

Hubungan hukum antara pasien dan dokter bersumber pada kepercayaan pasien terhadap dokter, sehingga pasien bersedia memberikan persetujuan tindakan medik (informed consent),27 yaitu suatu persetujuan pasien untuk menerima upaya

medis yang akan dilakukan terhadapnya. Hal ini dilakukan setelah mendapatkan informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya, termasuk memperoleh risiko mengenai segala risiko yang mungkin terjadi. Hubungan dokter dan pasien dapat dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu:28

a. Hubungan Medik

Dokter adalah pihak yang mempunyai keahlian di bidang kedokteran, sedangkan pasien adalah orang sakit yang membutuhkan bantuan dokter untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Dalam hubungan medik ini kedudukan dokter dan pasien adalah kedudukan yang tidak seimbang, karena keawamannya menyerahan kepada dokter tentang penyembuhan penyakitnya, dan pasien di harapkan patuh menjalankan semua nasihat dari dokter dan memberikan persetujuan atas tindakan yang dilakukan oleh dokter. Selain itu hubungan medik antara dokter dan pasien adalah atas dasar kepercayaan dari pasien atas kemampuan dokter untuk berupaya semaksimal mungkin menyembuhkan penyakit yang dideritanya.

27

Bander Johan Nasution, Hukum Kesehatan dan Pertanggungjawaban Dokter, Rineka Cipta, Surabaya, 2005, hlm. 28.

28

(28)

b. Hubungan Moral

Hubungan antara dokter dan pasien, terjadi interaksi yaitu hubungan timbal balik dan dalam interaksi sosial itu terjadi kontak dan komunikasi antara pasien dan dokter. Dokter berperan sebagai penyembuh dan pasien berperan sebagai orang yang membutuhkan bantuan penyembuhan. Kewajiban dokter secara umum, antara lain dokter mempunyai kewajiban untuk menjalankan menurut ukuran yang tertinggi.

c. Hubungan Hukum

Hubungan hukum selalu menimbulkan hak dan kewajiban yang timbal balik, hak dokter menjadi kewajiban pasien dan hak pasien menjadi kewajiban dokter. Keadaan itu menempatkan kedudukan dokter pasien pada kedudukan yang sama dan sederajat. Hubungan dokter dan pasien adalah hubungan dalam jasa pemberian pelayanan kesehatan. Dokter sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dan pasien sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan, terdapat hubungan antara dua subjek hukum yang ada di dalam lingkungan hukum perdata layaknya hubungan pemberi jasa yang menjadi hak dan kewajiban yang timbal balik dari penerima jasa.

Mengenai hubungan hukum dokter atau dokter gigi dengan pasien, Lumenta dalam buku Syahrul Mahmud mengutip pendapat JP. Thiraoux memberikan 3 (tiga) pandangan mengenai hubungan tersebut, yaitu (paternalistic), (indualistic), dan (reciroal) atau (collegial).29

29

(29)

a. Hubungan (paternalistic), menunjukan bahwa dokter memiliki peranan layaknya orang tua kepada pasien atau keluarga pasiennya, karena dianggap memiliki pengetahuan yang superior tentang pengobatan, sedangkan pasien tidak boleh campur tangan dalam pengobatan yang ditangani pasien.

b. Hubungan (individualistic), menunjukan bahwa seorang pasien mempunyai hak mutlak asas tubuhnya dan nyawanya sendiri, maka setiap keputusan tentang perawatan dan pengobatan, termasuk mengenai pemberian informasi kesehatannya berada pada tangan pasien karena sepenuhnya pasien yang mempunyai hak atas dirinya sendiri.

c. Hubungan (reciproal) atau (collegial), menunjukan bahwa pasien dan keluarganya merupakan anggota inti dari kelompok, sedangkan dokter dan tenaga medis lainya berkerja sama untuk melakukan yang terbaik bagi pasien dan keluarganya.

Veronica Komalawati mengutip pendapat Solis seorang guru besar dalam bidang hukum kesehatan dan kedoteran dari Philipina memberikan 3 (Tiga) bentuk pola hubungan antara dokter atau dokter gigi dan pasien, yaitu:30

a. Akctivity-passivity relation, pola hubungan yang terjadi dalam keadaan darurat (emergency), ketika kesadaran pasien sudah menghilang dan pasien atau keluarganya sepenuhnya tergantung pada dokter.

b. Guidance-coorporation relation, diperumpamakan sebagai hubungan antara orang tua dan anak-anaknya. Orang tua memberikan nasihat-nasihat dan bimbingan, sedangkan anak-anak mematuhi nasihat dan bimbingan orang tuanya.

30

(30)

c. Multual participation relation, dapat diperumpamakan sebagai hubungan antara sesama orang dewasa. Kedua belah pihak memiliki kedudukan yang sama dan seimbang.

3. Hak dan Kewajiban Pasien

Hubungan hukum antara pasien dan dokter di rumah sakit pasien mempunyai hak-haknya yang diatur dalam Undang-Undang Praktik kedokteran No. 29 Tahun 2004 pada Pasal 52 yaitu, berbunyi:31

a. Mendapat penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);

b. mendapatkan pendapat dokter atau dokter gigi lain; c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis; d. Menolak tindakan medis, dan;

e. Mendapat isi rekaman medis.

Kemudian pada Pasal 56 Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 juga mengatur hak-hak pasien, yaitu :32

a. Pasien berhak menolak tindakan medis. Namun, hak tersebut tidak berlaku pada :

1) Penderita penyakit menular kedalam masyarkat yang luas; 2) Keadaan seorang yang tidak sadakan diri;

3) Ganguan mental berat;

b. Pasien berhak atas rahasia kondisi kesehatannya;

31

Lihat Pasal 42 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik kedokteran.

32

(31)

c. Pasien berhak untuk menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan.

Kewajiban pasien dalam transaksi terapeutik menurut Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Praktik Kedokteran dalam Pasal 53 menyebutkan sebagai berikut :33

a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya; b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;

c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehat, dan memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

4. Hak dan Kewajiban Dokter

Menurut Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 50 dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak untuk :34

a. Memperoleh perlindungan hukum;

b. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;

c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien; d. Menerima imbalan jasa.

Sedangkan dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pada Pasal 51 berkewajiban untuk :35

33

Lihat Pasal 53 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

34

Lihat Pasal 50 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

35

(32)

a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional kebutuhan medis pasien;

b. Merujuk pasien ke dokter lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan pemeriksaan atau pengobatan;

c. Merahasiakan segala sesuatu tentang pasien;

d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan;

e. Menambah ilmu pengetahuan dam mengikuti ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.

5. Informed Consent

Informed consent berarti, consent adalah persetujuan sedangkan informed adalah telah diinformasikan, sehingga (informed consent) merupakan persetujuan atas dasar informasi sebagai alat penenentuan nasib sendiri yang berfungsi dalam praktik dokter. Dalam Perjanjian terapeutik antara pasien dan dokter gigi maka para pihak harus sepakat tentang upaya pengobatan atau pelayanan kesehatan yang diberikan dokter atau dokter gigi.36 Informed consent terjadi setelah hak atas

informasi dan kemudian hak untuk memberikan persetujuan dari pasien atas upaya dokter dalam melakukan pelayanan kesehatan.

Menurut Salgo Leland dikutip dalam buku Guwandi seorang dokter melanggar kewajiban terhadap pasiennya dan bertanggungjawab apabila ia menahan fakta-fakta atas dasar yang sebenarnya pasien akan memberikan persetujuan, dokter

36

(33)

tidak boleh memperkecil suatu bahaya yang diketahui atas suatu prosedur atau operasi agar sang pasien mau memberikan persetujuan.37

Menurut Jusuf Hanafiah dan Amri Amir Persetujuan tindakan medik dibagi menjadi 2 (dua) bentuk yaitu :38

a. Tersirat atau dianggap telah diberikan (implied consent).

Persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat tanpa pernyataan tegas. Isyarat persetujuan ini ditangkap dari sikap dan tindakan dokter. Umumnya tindakan dokter disini adalah tindakan yang biasa dilakukan atau biasa diketahui umum. Misalnya pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium, melakukan suntikan kepada pasien melakukan penjahitan luka dan lain sebagainya. Persetujuan jenis ini tidak termasuk persetujuan dalam keadaan normal karena tidak ada penjelasan sebelumnya.

Bentuk lainnya adalah bila pasien dalam keadaan gawat darurat sedang dokter memerlukan tindakan segera, sementara pasien tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarganya pun tidak ditempat, maka dokter dapat melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter sebagaimana yang diatur dalam Permenkes No. 390/MENKKES/PER/III.2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik. Jenis persetujuan ini disebut dengan presumed consent artinya, bila pasien dalam keadaan sadar, dianggap akan menyetujui tindakan yang akan dilakukan dokter.

37

J. Guwandi, Hukum Medik (Medical Law), 2004, Fakulatas Kedokteran Universitas Jakarta, hlm. 225.

38

(34)

b. Dinyatakan (expressed consent).

Persetujuan yang dinyatakan lisan atas tulisan, bila yang akan dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan tindakan yang biasa. Dalam keadaa demikian sebaiknya disampaikan kepada pasien terlebih dahulu tindakan apa yang akan dilakukan agar tidak terjadi salah pengertian. Apabila tindakan yang akan dilakukan mengandung risiko seperti tindakan pembedahan atau prosedur pemeriksaan dan pengobatan yang infasif, maka dinyatakan dalam persetujuan tindakan medis secara tertulis.

D. Rumah Sakit

1. Pengertian Rumah Sakit

Menurut Pasal 1 butir (1) Undang-Undang No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, pengertian rumah yaitu, sebagai berikut :

“Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan

pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna39 yang menyediakan

pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.”

Rumah sakit merupakan organ yang mempunyai kemandirian untuk melakukan hubungan hukum yang penuh dengan tanggung jawab. Rumah sakit bukan (persoon) yang terdiri dari manusia sebagai (natuurlinjk persoon) melainkan rumah sakit diberikan kedudukan hukum sebagai (persoon) yang merupakan

39

(35)

badan hukum (rechtspersoon) sehingga rumah sakit diberikan hak dan kewajiban menurut hukum.40

Rumah sakit diselenggarakan berasaskan Pascasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan,41 etika, dan profesionalitas,42 manfaat,43 keadilan,44 persamaan hak

dan anti diskriminasi,45 pemerataan,46 perlindungan,47 dan keselamatan pasien,48

serta mempunyai fungsi sosial.49 Rumah harus diselenggarkan oleh suatu badan

hukum yang dapat berupa perkumpulan, yayasan atau perseroan terbatas.

40

Hermien Haditati Koeswadji, Op.cit, hlm. 91.

41 Yang dimaksud dengan ”nilai kemanusiaan” adalah bahwa penyelenggaraan Rumah

Sakit dilakukan dengan memberikan perlakuan yang baik dan manusiawi dengan tidak membedakan suku, bangsa, agama, status sosial, dan ras.

42Yang dimaksud dengan ”nilai etika dan profesionalitas” adalah bahwa penyelenggaraan

rumah sakit dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki etika profesi dan sikap profesional, serta mematuhi etika rumah sakit.

43Yang dimaksud dengan ”nilai manfaat” adalah bahwa penyelenggaraan Rumah Sakit

harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dalam rangka mempertahankan dan meningkatakan derajat kesehatan masyarakat.

44Yang dimaksud dengan ”nilai keadilan” adalah bahwa penyelenggaraan Rumah Sakit

mampu memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada setiap orang dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat serta pelayanan yang bermutu.

45Yang dimaksud dengan ”nilai persamaan hak dan anti diskriminasi” adalah bahwa

penyelenggaraan Rumah Sakit tidak boleh membedakan masyarakat baik secara individu maupun kelompok dari semua lapisan.

46Yang dimaksud dengan “nilai pemerataan” adalah bahwa penyelenggaraan Rumah

Sakit menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

47Yang dimaksud dengan ”nilai perlindungan dan keselamatan pasien” adalah bahwa

penyelenggaraan Rumah Sakit tidak hanya memberikan pelayanan kesehatan semata, tetapi harus mampu memberikan peningkatan derajat kesehatan dengan tetap memperhatikan perlindungan dan keselamatan pasien.

48Yang dimaksud dengan “nilai keselamatan pasien” adalah bahwa penyelenggaraan

rumah sakit selalu mengupayakan peningkatan keselamatan pasien melalui upaya majamenen risiko klinik.

49Yang dimaksud dengan “fungsi sosial rumah sakit” adalah bagian dari tanggung jawab

(36)

2. Klasifikasi Rumah Sakit

Menurut Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pada Pasal 18 bahwa rumah sakit dapat dibagi berdasarkan jenis pelayanan dan pengelolaanya yaitu, sebagai berikut :50

a. Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan rumah sakit dikategorikan dalam rumah sakit umum dan rumah sakit khusus.

1) Rumah sakit umum memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit;

2) Rumah sakit khusus memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya.

b. Sedangkan berdasarkan pengelolaanya rumah sakit dibagi menjadi Rumah Sakit Publik dan Rumah Sakit Privat yaitu sebagai berikut :

1) Rumah sakit publik dapat dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba yang diselenggarakan berdasarkan pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan tidak dapat dialihkan menjadi Rumah Sakit Privat.

2) Rumah sakit privat dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero.

c. Klasifikasi berdasarkan Kepemilikan terdiri atas Rumah Sakit pemerintah, Rumah Sakit yang langsung dikelola oleh Departemen Kesehatann

50

(37)

Klasifikasi berdasarkan kepemilikanterdiri atas Rumah Sakit pemerintah; terdiri dari:

1) Rumah sakit yang langsung dikelola oleh Departemen Kesehatan, Rumah Sakit pemerintah daerah, Rumah Sakit militer, Rumah Sakit BUMN, dan Rumah Sakit swasta yang dikelolaoleh masyarakat.

2) Klasifikasi berdasarkan jenis pelayanan

Klasifikasi berdasarkan jenis pelayanannya, rumah sakit terdiri atas: Rumah Sakit Umum, memberi pelayanan kepada pasien dengan beragam jenis penyakit dan Rumah Sakit Khusus, memberi pelayanan pengobatan khusus untuk pasien dengan kondisi medik tertentu baik bedah maupun non bedah. Contoh: rumah sakit kanker, rumah sakit bersalin.

3) Klasifikasi berdasarkan lama tinggal

Berdasarkan lama tinggal, rumah sakit terdiri atas rumah sakit perawatan jangka pendek yang merawat penderita kurang dari 30 hari dan rumah sakit perawatan jangka panjang yang merawat penderita dalam waktu rata-rata 30 hari.

4) Klasifikasi berdasarkan status akreditasi

(38)

Rumah sakit Umum Pemerintah pusat dan daerah diklasifikasikan menjadi Rumah sakit kelas A, B, C, dan D. Klasifikasi tersebut didasarkan pada unsur pelayanan, ketenagaan, fisik dan peralatan.

a) Rumah sakit umum kelas A, adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik luas dan subspesialistik luas.

b) Rumah sakit umum kelas B, adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik sekurang-kurangnya sebelas spesialistik dan subspesialistik terbatas.

c) Rumah sakit umum kelas C, adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik dasar.

d) Rumah sakit umum kelas D, adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik.

3. Hak dan Kewajiban Rumah Sakit

Rumah sakit mempunyai hak-hak sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pada Pasal 30 antara lain, sebagai berikut :51

a. Menentukan jumlah, jenis, dan kulifikasi sumber daya manusia sesuai dengan klasifikasi rumah sakit;

b. Melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka pengembangan pelayanan;

51

(39)

c. Menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

d. Menggugat pihak yang mengalami kerugian; e. Mendapatkan pelindungan hukum;

f. Mempromosikan layanan kesehatan yang ada di rumah sakit.

Kewajiban rumah sakit menurut Pasal 29 Undang-Undang Rumah Sakit No. 44 Tahun 2009, disebutkan bahwa setiap rumah sakit mempunyai kewajiban sebagai berikut :52

a. Memberikan inforasi yang benar tentang pelayanan rumah sakit kepada masyarakat;

b. Memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, nondiskriminasi dan efektif mengutamakan kepentingan pasien;

c. Memberikan pelyanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya;

d. Menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau miskin;

e. Menyelenggarakan rekam medis;

f. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan kewajiban pasien.

52

(40)

E. Kerangka Pikir

Rumah Sakit

Pasien Tenaga

Kesehatan

Transaknsi Terapeutik Pasal 1313 KUHPdt dan

Pasal 15601 KUHPdt Dokter

Hak dan Kewajiban Pasien Pasal 52

Undang-Undang No. 29 Tahun 2009 tentang prakntik kedokteran

Tanggung jawab Tumah Sakit Pasal 46 Undang-Undang No.44 Tahun 2004 tentang Rumah Sakit

Hak dan kewajiban Dokter Pasal 50 Undang-Undang No. 29 Tahun 2009 tentang

(41)

Berdasarkan skema tersebut dapat dijelaskan bahwa :

Secara teoritis proses terjadinya pelayananan medik diawali dengan keputusan pasien dan keluarganya untuk mendatangi dokter di rumah sakit, kedatangan pasien dapat ditafsirkan untuk mengajukan penawaran (offer, aanbod) kepada dokter untuk meminta pertolongan dalam mengatasi masalah kesehatan yang dideritanya. Selanjutnya dokter akan menyusun (anemnesa) yang merupakan dasar terpenting dalam diagnosa, pada saat dokter menyusun (anemnesa) saat inilah telah terjadi penerimaan oleh dokter. Selanjutnya secara tidak disadari telah terjadi kesepakatan antara pasien dan dokter dalam perjanjian penyembuhan atau transaksi terapeutik. Kesepakatan yang mengandung risiko tinggi dituangkan dalam bentuk informed consent atau persetujuan tindakan medik.

Hubungan hukum antara pasien dan dokter adalah hubungan hukum keperdataan yang mempunyai kedudukan sederajat dalam upaya penyembuhan atau transaksi terapeutik yang melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Transaksi terapeutik adalah hubungan hukum antara pasien dan dokter didasarkan pada keahlian dan pengalaman dokter dalam pelayanan medik. Perjanjian penyembuhan ini tunduk pada ketntuan Pasal 1313 KUHperdata dan mengkibatkan hak dan kewajiban bagi para pihak.

(42)

merujuk pasien ke dokter lain yang mempunyai keahlian yang lebih baik dan melakukan pertolongan darurat atas perikemanusiaan.

Rumah sakit sebagai pelayanan kesehatan, di samping mempunyai kewajiban, rumah sakit mempunyai tanggung jawab secara hukum. Tanggung jawab tersebut diatur pada Pasal 46 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit bahwa rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit.

(43)

III. METODE PENELITIAN

Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran, secara sistematis, metodologis, dan konsisten. Sistematis artinya menggunakan sistem tertentu, metodologis artinya menggunakan metode atau cara tertentu dan konsisten berarti tidak ada hal yang bertentangan dalam kerangka tertentu Penelitian sangat diperlukan untuk memperoleh data yang akurat sehingga dapat menjawab permasalahan sesuai dengan fakta atau data yang ada dan dapat mempertanggungjawabkan kebenaranya.55

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang digunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.56Penelitian

ini akan mengkaji tentang Tanggung Jawab Rumah Sakit dalam Transaksi Terapeutik dengan melihat norma, peraturan perundang-undangan dan literatur yang terkait dengan tanggung jawab rumah sakit dalam transaksi terapeutik.

55

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 2.

56

(44)

B. Tipe penelitian

Tipe penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan dan menguraikan pokok bahasan yang telah disusun dalam penelitian ini adalah tipe deskriptif. Tipe deskriptif bertujuan untuk memperoleh pemaparan (deskripsi) secara lengkap, rinci, jelas, dan sistematis tentang beberapa aspek yang diteliti pada undang-undang, peraturan pemerintah, atau objek kajian lainnya.57 Untuk itu, penelitian

ini akan menggambarkan secara lengkap, rinci, jelas, dan sistematis mengenai Tanggung Jawab Rumah Sakit dalam Transaksi Terapeutik yang didasari pada peraturan perundang-undangan yang terkait.

C. Pendekatan Masalah

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, dengan pendekatan tersebut peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabanya. Metode pendekatan penelitian ini adalah pendekatan peraturan undang-undang (statute approach) suatu penelitian normatif tentu harus harus menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai atauran hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.58 Adapun yang menjadi subtansi hukum pada

penelitian ini yaitu, hubungan hukum antara pasien dan dokter dalam transaksi terapeutik, hubungan hukum antara pasien dan rumah sakit dalam transaksi terapeutik dan tanggung jawab rumah sakit dalam transaksi terapeutik.

57

Abdulkadir Muhammad, Op, cit, hlm.102.

58

(45)

D. Sumber Data

Jenis data dapat dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.59

Adapun dalam mendapatkan data atau jawaban yang tepat dalam membahas penelitian ini, serta sesuai dengan pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini maka jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan, bahan-bahan hukum yang terdiri dari: 60

1. Bahan hukum primer, yaitu data normatif yang bersumber dari perundang-undangan yang menjadi. Bahan hukum primer meliputi:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

b. Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran; c. Undang-Undang No. 44 Tahun 2004 tentang Rumah Sakit;

d. Peraturan Menteri Kesehatan Permenkes RI No.290/MENKES /PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan primer dan dapat membantu dalam menganalisa serta memahami bahan hukum primer, seperti literatur dan norma-norma hukum yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini.

59

Soerjono Soekamto, Op, cit, hlm.11.

60

(46)

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penulisan penelitian ini dilakukan dengan menggunakan cara studi kepustakaan (liberary research). Studi kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan penulisan dengan maksud untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mencatat, dan mengutip dari berbagai literatur, peraturan perundang-undangan, buku-buku, media masa, dan bahan tulisan lainnya yang berhubungannya dengan penelitian yang dilakukan.

F. Pengolahan Data

Data yang diperoleh baik dari hasil studi kepustakaan selanjutnya diolah dengan mengunakan metode:61

a. Pemeriksaan data (editing), yaitu data yang diperoleh diperiksa apakah masih terdapat kekurangan serta apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan. b. Penandaan data (coding), yaitu memberi catatan atau data yang menyatakan

jenis sumber data (buku literatur, dan perundang-undangan).

c. Rekonstruksi data, (reconstructing), yaitu menyusun ulang data secara teratur, berurutan, logis, sehingga mudah dipahami dan diinterprestasikan. d. Sistematisi data (sistematizing), yaitu melakukan penyusunan dan

penempatan data pada tiap pokok bahasan secara sistemasi sehingga memudahkan pembahasan.

61

(47)

G. Analisis Data

(48)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Hubungan hukum antara pasien dan dokter dalam transaksi terapeutik di rumah sakit merupakan hubungan hukum untuk melakukan jasa pelayanan kesehatan sebagaimana pada Pasal 1601 KUHPedata. Keabsahan dari perjanjian penyembuhan ini tunduk pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, kesepakatan dalam perjanjian yang memiliki risiko tinggi dituangkan dalam bentuk (informed consent) atau persetujuan tindakan medik. Perjanjian penyembuhan ini menimbulkan perikatan usaha (inspanningsverbintenis), perikatan yang dilakukan dengan usaha keras dan kehati-hatian yang hasilnya belum pasti bukan perikatan hasil (resultaatverbintenis) sehingga dibutuhkan kerja sama dengan baik bagi para pihak.

(49)

Pasal 1320 KUUHPerdata. Perjanjian antara pasien dan rumah sakit juga menimbulkan perikatan usaha (inspanningsverbintenis) yang harus dilaksanakan dengan usaha keras dan kehati-hatian dalam memberikan fasilitas pelayanan kesehatan dan perawatan kesehatan di rumah sakit.

(50)

kehati-hatian dan usaha keras serta bertentangan dengan standar profesi dan standar operasional prosedur.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat disarankan sebagai berikut:

1. Dokter dalam melakukan upaya kesembuhan terhadap pasien disarankan memberikan informasi secara jelas, lengkap dan mencukupi kepada pasien. Pemberian informasi tersebut harus disesuiakan dengan keadaan, kondisi dan pendidikan pasien agar tidak terjadi kesalahpahaman. Sebaliknya, pasien juga harus memberikan informasi secara jelas, lengkap dan jujur kepada dokter. 2. Dokter dan rumah sakit agar memberikan pengertian kepada pasien bahwa

hubungan hukum antara pasien dan dokter dalam perjanjian penyembuhan merupakan (inspanningsvebintenis) perikatan usaha secara maksimal dan dengan prinsip kehati-hatian sehingga dibutuhkan kerja sama dengan baik antara pasien dan dokter.

(51)

DAFTAR PUSTAKA

a. Buku-buku

Andi Hamzah, Kamus Hukum, 2005, Ghalia Indonesia

Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.

---, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. ---, 2010, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. Endang Kusuma Astuti, Transaksi Terapeutik dalam Pelayanan Medis di Rumah

Sakit, 2009, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Gunawan Widjaja dan Kartini Mulyadi, 2003, Perikatan Yang Lahir dari Undang-Undang, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Hardijan Rusli, 1996, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common law, Sinar Harapan, Jakarta.

Hermien Hadiati Koewadji, 2002, Hukum untuk Perumahsakitan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

---,1998, Hukum Kedokteran, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Hendrojono Soewono, Perlindungan Hak-hak Pasien dalam Transaksi Terapeutik, 2006, Srikandi, Surabaya.

J. Guwandi, Hukum Medik (Medical Law), 2004, Fakultas Kedokteran Indonesia. Johan Bahder Nasution, 2005, Hukum Kesehtan Pertanggungjawaban Dokter, Rineka Cipta, Surabaya.

Munir Fuady, 2010, Perbuatan Melawan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta.

(52)

Dokter yang Diduga Melakukan Malpraktik, Mandar Maju, Bandung. Soerjono Soekanto, 2012, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada,

Jakarta.

---, 2004, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Pers, Jakarta.

Soelidjo Notoatmodjo, Etika dan Hukum Kesehatan, 2010, Rineka Cipta, Jakarta. Subekti, 2002, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta.

---, 2003, Aneka Perjanjian, Citra Adiya Bakti, Bandung.

Titik Triwulan Tautik Shinta Febrina dan, 2010, Perlindungan Hukum Pasien, Prestasi Pustaka, Jakarta.

Veronica Komalawati, 2002, Peranan Informed Consent dalam Perjanjian Terapeutik, Citra Aditya, Bandung.

Wila Chandra Supriadi, Hukum Kedokteran, 2001, Mandar Maju, Bandung

b. Peraturan perundang-undangan

Kitap Undang-Undang Hukum Perdata

Peraturan Menteri Kesehatan No. 390/MENKKES/PER/III/2008 Persetujuan Tindakan Kedokteran

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti untuk kajian tentang realisasi fonologis dan bentuk leksikon dialek bahasa Jawa di Desa Ayamputih Kecamatan

Meskipun angka kelangsungan hidup 5 tahun semakin meningkat dari 61% pada tahun 1977 menjadi 83,6% pada tahun 2010 pada semua kelompok umur 0-19 tahun, neoplasma ganas tetap

Hasil reboisasi melalui GNRHL dan HKm tahun 2003 sampai dengan tahun 2005 pada citra hasil klasifikasi tahun 2004 teridentifikasi sebagai semak belukar dan pertanian

Sedangkan, peserta didik dengan kemampuan tinggi sering merasa bosan karena materi terlalu sering diulang (Putra & Subhan, 2018). Pembelajaran berbasis flipped classroom

(2) Rencana pola ruang wilayah kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1:25.000 sebagaimana tercantum dalam

Antibiotik adalah zat-zat yang dihasilkan dari fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan... toksisitasnya bagi manusia

(1999) pada domba Sungei Putih dan Barbados Blackbelly Cross didapat bahwa total pertambahan bobot hidup anak pra sapih kedua bangsa domba tersebut tidak menunjukkan perbedaan

Hasil observasi pada atlet sepakbola di Sekolah Sepakbola Sport Supaya Sehat Semarang pada tahun 2020, diketahui bahwa saat melakukan pertandingan dan saat latihan terlihat