• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan fikih terhadap bentuk pemaksaan hubungan seksual suami kepada istri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan fikih terhadap bentuk pemaksaan hubungan seksual suami kepada istri"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy.)

Oleh :

Veratih Iskadi Putri NIM : 107043101798

PROGRAM STUDY PERBANDINGAN MADZHAB HUKUM

KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

Skripsi

Oleh:

Veratih Iskadi Putri NIM : 107043101798

Dibawah Bimbingan

Dosen Pembimbing:

Prof. Dr. H. Hasanuddin, AF NIP. 150050917

KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQH

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

PEMAKSAAN HUBUNGAN SEKSUAL SUAMI KEPADA ISTRI,” telah

diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 26 September 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata satu, yaitu

Sarjana Syari’ah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum

dengan Konsentrasi Perbandingan Madzhab Fiqh.

Jakarta, 27 September 2011

Dekan, Fakultas Syari’ah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP : 195505051982031012

Panitia Ujian Munaqasyah

Ketua : DR. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., NIP : 196511191998031002

Sekretaris : Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si NIP : 197412132003121002

Pembimbing : Prof. Prof. Dr. H. Hasanuddin, AF NIP. 150050917

Penguji I : Dr. H. Ahmad Mukri Aji, M.A. NIP : 195703121985031003

(4)

Dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap pengembangan keilmuan,

penulis menyatakan bahwa skripsi dengan judul:

TINJAUAN FIKIH TERHADAP BENTUK PEMAKSAAN HUBUNGAN

SEKSUAL SUAMI KEPADA ISTRI

Benar-benar merupakan karya ilmiah yang disusun sendiri, bukan duplikat atau

memindah data milik orang lain. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini ada

kesamaan, baik isi, logika maupun datanya, secara keseluruhan atau sebagian, maka

skripsi dan gelar sarjana yang diperoleh karenanya otomatis batal demi hukum.

Jakarta, 06 September 2011

Penulis

Veratih Iskadi Putri

(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta : 06 September 2011

(6)

i

Puji Syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan,

kesehatan serta telah melimpahkan Hidayah serta Inayah-Nya sehingga penulis

mampu melangkah kepada hal yang lebih positif serta mampu menyelesaikan skripsi

dengan judul “Tinjauan Fikih Terhadap Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual

Suami Kepada Istri” sebagai syarat guna memperoleh gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)

pada Program Studi Perbandingan Madzhab Fikih (PMF) Jurusan Perbandingan

Madzhab dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Shalawatullah Wasalamuhu, semoga senantiasa terlimpahkan kepada revolusioner

penggagas kedamainan dan kebenaran serta kebajikan yaitu baginda Rasulullah

SAW.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, tentunya tidak terlepas dari beberapa pihak

terkait yang telah banyak memberikan motivasi serta kritikan yang kostruktif. Untuk

itu penulis mempersembahkan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas

Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan pembantu Dekan I, II, III yang telah membimbing dan

(7)

ii

Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pengarahan serta waktu kepada

penulis disela-sela kesibukan beliau.

3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., Sekretaris Program Studi

Perbandingan Mazhab dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga

membimbing, meluangkan waktu dan mengarahkan segenap aktifitas yang

berkenaan dengan jurusan.

4. Bapak Prof. Dr. H. Hasanuddin, AF. MA., selaku pembimbing, atas segala

nasehat, petunjuk serta jerih payah yang dengan sabar dan telaten

membimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Sehingga

skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

5. Seluruh dosen-dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta serta kepada karyawan dan staf perpustakaan yang

telah memfasilitasi penulis dalam menyelesaikan skripsi.

6. Yang sangat penulis cintai dan hormati Ibu (Diah Utami) dan Ayah (H.

Muhammad Ishak), adik (Dwi Elda, Yus Rizal, Muhammad Ali Ridho) yang

selalu memberikan motivasi serta do’a yang tiada henti kepada Allah SWT.

Terima kasih tak lupa penulis ucapkan kepada keluarga yang selalu

memberikan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir

(8)

iii

Semoga atas bantuan dan dorongan yang dicurahkan kepada penulis akan menjadi

amal ibadah yang diterima di sisi Allah SWT. Dan semoga mendapatkan balasan

yang setimpal dari-Nya. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini jauh

dari kesempurnaan, semua itu karena keterbatasan pengetahuan serta ketajaman

analisis yang penulis miliki. Harapan penulis mudah-mudahan karya tulis ilmiah ini

dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, dan para pembaca pada umumnya. Amin.

Jakarta, 16 Agustus 2011

(9)

iv

DAFTAR ISI ... iv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Kegunaan Penelitian ... 6

E. Metode Penelitian ... 7

F. Sistematika Pembahasan ... 9

BAB II : TINJAUAN UMUM A. Sejarah Lahirnya Undang-Undang No.23 Tahun 2004 Tentang P-KDRT ... 11

B. Pengertian KDRT Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2004 ... 16

C. Pasal-Pasal Kekerasan Seksual Dalam Undang-Undang P-KDRT ... 28

D. Relasi Suami Istri Menurut Islam ... 31

BAB III : PENYAJIAN BAHAN HUKUM PENELITIAN A. Bentuk-Bentuk Pemaksaan Seksual Suami Terhadap Isteri Dalam Rumah Tangga Perspektif Fikih ... 43

(10)

v

BAB IV: PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP SALINAN

PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN

TENTANG KEKERASAN SEKSUAL

A. Pandangan Hukum Islam Terhadap Undang-Undang NO.23 Tahun 2004 Tentang P-KDRT Mengenai Bentuk Pemaksaan Hubungan

Seksual Suami Kepada Istri ... 74 B. Relevansi Hukum Islam Dengan Hukum Positif Mengenai Masalah Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual Suami Kepada Istri ... 78 C. Analisis Hukum Islam Dalam Pemaksaan Hubungan Seksual Antara Suami Kepada Istri ... 82

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 85 B. Saran-Saran ... 87

DAFTAR PUSTAKA ... 88

(11)

1 A. Latar Belakang Masalah

Keseimbangan antara hak dan kewajiban suami istri serta hidup damai

dalam rumah tangga ialah sesuatu yang pasti sangat diidamkan oleh setiap

pasangan suami istri. Akan tetapi semua impian itu akan berubah menjadi

kenyataan yang menyakitkan apabila didalamnya ternyata dinodai dengan adanya

tindak kekerasan dalam rumah tangga. Di dalam bukunya, Zainuddin Ali

menyebutkan bahwa perkawinan adalah perbuatan hukum yang mengikat antara

seorang pria dengan seorang wanita (suami-istri) yang mengandung nilai ibadah

kepada Allah di satu pihak dan di pihak lainnya mengandung aspek keperdataan

yang menimbulkan hak dan kewajiban antara suami istri.1 Perkawinan merupakan

suatu jalan utama untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan.

Keeratan dan keharmonisan hubungan keduanya itu akan terwujud jika keduanya

saling menjalankan kewajiban sebagai suami istri.2

Sesuai dengan hadits nabi Muhammad Saw yang berbunyi:

1

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), h.51.

2

(12)

Artinya: “Rasulullah SAW bersabda : Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian

adalah yang paling baik kepada istrinya”. (HR. Tirmidzi)3

Pada prinsipnya, dalam hubungan seksual suami dan istri memiliki hak

yang sama (keseimbangan antara hak dan kewajiban suami istri). Idealnya adalah

persetubuhan yang yang bisa dinikmati oleh kedua belah pihak dengan kepuasan

nafsu “birahi” sebagai manusia yang adil dan merata. Bukan persetubuhan yang

dipaksakan oleh salah satu pasangannya baik dalam hal ini seorang suami,

sementara sang istri dalam keadaan capek, sakit, tidak berselera, bahkan bisa jadi

ketika datang bulan.

Selama ini kekerasan seksual yang dilakukan suami terhadap istri (marital

rape) sangat jarang mendapatkan perhatian dikalangan masyarakat. Suami yang

memaksakan sebuah aktifitas senggama, jarang dimunculkan ke permukaan oleh

istrinya. Lemahnya kedudukan istri dalam keluarga dan masyarakat menjadi salah

satu penyebab. Lebih-lebih peran serta publik, yang berasumsi laki-laki

mempunyai hak otonom di dalam keluarga. Pasalnya membuat laki-laki merasa

berhak melakukan apa saja terhadap perempuan. Parahnya, kebanyakan dari kaum

laki-laki menganggap perkawinan adalah legitimasi resmi atas kekuasaannya

terhadap kaum perempuan.

Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 sudah dijelaskan aturanya

secara jelas, terkait dengan marital rape sebagai pemerkosaan terhadap

3Abu ‟Isa Muhammad Ibn ‟Isa, Ibn Saurah,

(13)

perempuan. Akan tetapi, sangat ironis pelaku kekerasan seksual terhadap istri

yang terjadi di masyarakat hanya dijerat dengan Pasal 351, 353, dan 356 tentang

penganiayaan. Hukuman yang jauh lebih ringan jika digolongkan ke dalam delik

pemerkosaan. Pemerkosaan adalah bentuk kekerasan terberat yang dirasakan oleh

perempuan. Akibatnya tidak hanya berdampak pada rusaknya organ fisik tapi juga

psikis. Pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga jelas telah melanggar

hak istri, karena seks adalah juga haknya. Aktivitas seksual yang didasari oleh

pemaksaan menyebabkan hanya pihak suami saja yang dapat menikmati, sedang

istri tidak sama sekali, bahkan tersakiti. Tanpa kehendak dan komunikasi yang

baik antara suami dan istri, mustahil terjadi keselarasan akses kepuasaan.

Hubungan seks yang dilakukan di bawah tekanan atau pemaksaan sama halnya

dengan penindasan.

Dalam undang-undang KDRT pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa kekerasan

dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama

perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

seksual, psilokogis, dan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum

dalam lingkup rumah tangga. Perempuan yang secara berulang dan berkelanjutan

menjadi korban pemerkosaan suaminya akan terjangkiti beberapa karakter, antara

lain: Pertama, inferior (merasa rendah diri) dan tidak percaya diri. Kedua, kerap

dan selalu merasa bersalah sebab ia membuat suami „kalap”. Ketiga, menderita

gangguan reproduksi akibat perasaan tertekan atau stress, seperti infertilitas

(14)

Berangkat dari problematika sosial inilah di mana seringkali terjadi

bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang suami terhadap

isteri yang semestinya masuk dalam koridor tindakan kriminal, namun selalu

berlindung dalam konsep agama dan adat, peneliti mencoba mengkaji ulang hal

ini dari perspektif UU No. 23 Tahun 2004 dan fiqh Islam agar tidak lagi terdapat

penyimpangan paham masyarakat tentang hukum Islam yang kesannya kurang

memperhatikan bentuk-bentuk kekerasan seksual suami terhadap istri.

Sebagaimana di dalam Hukum Islam, KDRT sama halnya dengan penganiayaan,

dimana hal ini merupakan suatu perbuatan yang dapat menimbulkan cedera atau

cacat pada seseorang,4 sehingga pelaku KDRT dapat dikenakan sanksi tanpa

melihat apakah korbannya laki-laki atau perempuan. Tidak pula melihat apakah

pelakunya laki-laki atau perempuan, tapi yang dilihat apakah dia melanggar

hukum Allah SWT atau tidak.

Dalam Hukum Islam, orang yang melakukan tindakan kekerasan atau

penganiayaan seperti lebam akibat pemukulan dengan benda keras, tidak dapat

diganti dengan diyat karena sulit menetapkan ukuran diyatnya. Dalam hal ini

hukuman penggantinya adalah ta‟zir yang ditetapkan oleh imam atau Negara

melalui badan legislatifnya.5Tapi hukuman ta‟zir bisa menjadi hukuman qishas,

apabila dengan menyebabkan hilangnya nyawa seseorang dengan sengaja. Allah

4

Madjloes, Pengantar Hukum Pidana Islam, (Jakarta : CV. Amalia), 1986, h.35

5

(15)

memerintahkan kepada hamba-hambanya. Apabila terjadi pertengkaran antara

suami dengan istri, maka diselesaikan dengan cara damai. Istri memaafkan suami

dengan tidak meminta imbalan atau istri memaafkan suami dengan menuntut

diyat yaitu denda ganti rugi yang dibayar suami kepada istri dengan proses

pengadilan karena perbuatan yg membuat istri cedera.6

Upaya penggalian bentuk kekerasan tersebut, penulis ingin mengetahui

lebih dalam dengan mengangkat judul penelitian yaitu: “TINJAUAN FIKIH

TERHADAP BENTUK PEMAKSAAN HUBUNGAN SEKSUAL SUAMI

KEPADA ISTRI ”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada problematika sosial di atas, maka mendapatkan rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk-bentuk pemaksaan seksual suami terhadap istri dalam

rumah tangga perspektif Fikih?

2. Bagaimana bentuk-bentuk pemaksaan seksual suami terhadap istri dalam

rumah tangga perspektif Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang

P-KDRT?

3. Bagaimana hukum melakukan pemaksaan hubungan seksual antara suami

terhadap istri menurut fikih?

6

(16)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas maka tujuan

dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk menggambarkan bentuk-bentuk pemaksaan seksual suami terhadap

isteri dalam rumah tangga perspektif Fikih.

2. Untuk menggambarkan bentuk-bentuk pemaksaan seksual suami terhadap

isteri dalam rumah tangga perspektif Undang-Undang No. 23 Tahun 2004

Tentang P-KDRT.

3. Untuk mengetahui hukum melakukan pemaksaan hubungan seksual antara

suami terhadap istri menurut fikih.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian adalah deskripsi tentang pentingnya penelitian

terutama bagi pengembangan ilmu atau pembangunan dalam arti luas, dengan arti

lain, uraian dalam sub bab kegunaan penelitian berisi tentang kelayakan atas

masalah yang diteliti. Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Teoritis: sebagai bentuk usaha dalam mengembangkan khazanah keilmuan,

baik penulis maupun mahasiswa fakultas syariah.

2. Praktis: dapat menghindari pola pikir sempit dan menyimpang tentang hukum

(17)

E. Metode Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif, dikatakan penelitian

deskriptif karena akan memberikan penjelasan atau pemaparan. Hasil

penelitian ini bermaksud memberikan gambaran yang menyeluruh dan

sistematis serta memberikan data yang seteliti mungkin.7 Dikatakan penelitian

deskriptif karena di dalam penjelasan menggunakan metode yuridis normatif.

Dikatakan penelitian yuridis normatif, karena bertujuan untuk menjelaskan

dan menerangkan suatu produk hukum. Penelitian ini juga dapat dikatakan

sebagai penelitian hukum positif, karena penelitian ini akan membahas norma

hukum yang akan diterapkan di dalam masyarakat.

Adapun secara spesifik, maka penelitian ini akan membahas tentang

Pemaksaan hubungan seksual suami terhadap isteri perspektif UU No. 23

tahun 2004 dan beberapa kitab fiqh.

2. Bahan Hukum Penelitian

Adapun bahan hukum di dalam penelitian ini dibagi menjadi dua

kategori

a. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum primer adalah bahan hukum yang isinya mengikat.

Dikatakan mengikat karena dikeluarkan oleh pemerintah. Adapun yang

7

(18)

menjadi data primer di dalam penelitian ini adalah Pemaksaan hubungan

seksual suami terhadap istri perspektif UU No. 23 tahun 2004 dan

beberapa kitab fiqh.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan yang isinya membahas bahan

hukum primer. Adapun yang menjadi bahan hukum sekunder di dalam

penelitian ini adalah buku-buku, atau rujukan semisalnya yang secara

langsung maupun tidak membahas permasalahan yang menjadi rumusan

masalah di dalam penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Penelitian

Dalam rangka pengumpulan bahan hukum untuk penelitian ini,

dilakukan dengan menggunakan metode studi kepustakaan sistematis. Studi

kepustakaan sistematis khusus untuk undang-undang yang dilacak

berdasarkan sumber yang berupa himpunan peraturan perundang-undangan

yang ada. Dengan demikian, tehnik pengumpulan bahan hukum dalam

penelitian ini adalah:

a. Penelusuran terhadap peraturan perundang-undangan dan peraturan yang

berkaitan dengan kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga.

b. Penelusuran bahan kepustakaan yang membahas masalah kekerasan suami

(19)

4. Teknik Analisis Bahan Hukum Penelitian

Analisis terhadap bahan hukum dalam penelitian ini ditujukan untuk

menghasilkan gambaran atau keadaan yang sebenarnya mengenai dasar

hukum tentang kekerasan seksual yang dilakukan oleh suami atas istri dalam

perundang-undangan dan peraturan hukum yang sedang berlaku. Kemudian

bahan yang didapat atau yang sudah terkumpul tersebut dianalisis dengan

menggunakan metode analisis deskriptif-kualitatif, yaitu dengan cara

mengumpulkan bahan yang diperoleh kemudian dianalisis berdasarkan teori

atau ketentuan hukum yang diperoleh dalam studi kepustakaan.8

F. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan merupakan rangkaian urutan dari beberapa uraian

suatu sistem pembahasan dalam suatu karangan ilmiah. Dalam kaitannya dengan

penulisan ini secara keseluruhan terdiri empat bab, yang disusun secara sistematis

sebagai berikut :

BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang didalamnya memuat tentang

latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode

penelitian dan sistematika pembahasan.

BAB II : Merupakan tinjauan umum tentang KDRT. Dalam bab ini akan

dijelaskan beberapa hal yang ada kaitannya dengan sejarah lahirnya

8

(20)

Undang No.23 Tahun 2004 Tentang P-KDRT, Pengertian KDRT menurut

Undang-Undang No.23 Tahun 2004, Pasal-Pasal kekerasan seksual dalam

Undang-Undang P-KDRT, Relasi suami istri menurut Fikih.

BAB III : Merupakan penyajian data yang memuat (1) bentuk-bentuk

tindakan kekerasan seksual seorang suami terhadap isteri dalam rumah tangga

perspektif fikih. (2) bentuk-bentuk tindakan kekerasan seksual suami terhadap

isteri dalam rumah tangga perspektif Undang-Undang No.23 Tahun 2004 (3)

Hukum melakukan pemaksaan hubungan seksual antara suami terhadap istri

menurut fikih.

BAB IV : Merupakan pandangan hukum islam terhadap salinan putusan

Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang kekerasaan seksual yang memuat (1)

Pandangan Hukum Islam terhadap Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang

P-KDRT mengenai bentuk pemaksaan hubungan seksual suami kepada istri (2)

Relevansi Hukum Islam dengan Hukum Positif (3) Analisis Hukum Islam dalam

pemaksaan hubungan seksual antara suami kepada istri.

BAB V : Penutup, penulis akan mengakhiri seluruh penelitian ini dengan

(21)

11

A. Sejarah Lahirnya Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang P-KDRT

Pada tahun 2001, Rencana Aksi Nasional untuk Penghapusan Kekerasaan

Terhadap Perempuan (RAN-PKTP) dicanangkan oleh kementrian Pemberdayaan

Perempuan. Dan pada tahun 2002, ditandatangani sebuah Surat Kesepakatan

Bersama (SKB) antara Mentri Pemberdayaan Perempuan RI, Mentri Kesehatan

RI, Mentri Sosial RI, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kesepakatan ini menyangkut pelayanan terpadu bagi korban kekerasaan terhadap

perempuan dan anak-anak yang dilaksanakan bersama dalam bentuk pengobatan

dan perawatan fisik, psikis, pelayanan sosial dan hukum.1

Di tingkat daerah, Gubenur Provinsi Bengkulu mengeluarkan Surat

Keputusan (SK) No.751 Tahun 2003 tentang pembentukan tim penanganan

terpadu bagi Perempuan dan Anak korban kekerasan. SK yang ditandatangani

pada tanggal 10 Desember 2003 ini pada intinya membentuk Tim Penanganan

Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan yang mempunyai cakupan

kerja di bidang pencegahan, penanganan dan pemulihan, serta pendidikan dan

1

(22)

advokasi. Tim ini beranggotakan wakil-wakil dari lingkungan pemerintah, LSM

dan Lembaga profesional lainnya.2

Di tingkat Regional, Menteri Luar Negeri negara-negara ASEAN

menandatangani Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, di

Jakarta pada tanggal 13 juni 2004. Deklarasi ini berisi dorongan kerjasama

regional dalam mengumpulkan dan mendeseminasikan data untuk memerangi

kekerasan terhadap perempuan, promosi pendekar holistik dan terintegrasi dalam

mengeliminasi kekerasan terhadap perempuan, dorongan untuk melakukan

pengarusutamaan gender, dan membuat serta mengubah undang-undang domestik

untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan.3

Adapun yang menjadi gagasan dan latar belakang pentingnya

pembentukkan sebuah UU PKDRT didasarkan atas pengalaman para perempuan

korban kekerasan terjadi di ranah domestik rumah tangga ataupun keluarga. Di

mana kekerasan rumah tangga makin menunjukkan peningkatan yang signifikan

dari hari ke-hari, baik kekerasan dalam bentuk fisik, psikologis, maupun

kekerasan seksual dalam kekerasan ekonomi. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut

sudah menjurus dalam bentuk tindakan pidana penganiyaan dan ancaman kepada

korban yang dapat menimbulkan rasa tidak aman, rasa ketakutan, atau

penderitaan psikis berat bahkan kegilaan pada seseorang.

2

Komnas Perempuan, Lokus Kekerasan Terhadap Perempuan 2004 : rumah pekarangan dan kebun, h.17.

3

(23)

Catatan tahunan komnas perempuan sejak tahun 2001 sampai dengan

2007 menunjukkan peningkatan pelaporan kasus KDRT sebanyak lima kali lipat.

Sebelum UU PKDRT lahir yaitu dalam rentang 2001 – 2004 jumlah kasus yang

dilaporkan sebanyak 9.662 kasus. Sejak diberlakukannya UU PKDRT 2005 –

2007, terhimpun sebanyak 53.704 kasus KDRT yang dilaporkan. Data kekerasan

3.169 tahun 2001, 5.163 tahun 2002, 7.787 tahun 2003, 14.020 tahun 2004,

20.391 tahun 2005, 22.512 tahun 2006, dan 25.522 tahun 2007. Jumlah Kekerasan

terhadap Perempuan (KtP) mulai meningkat dengan cukup tajam sejak tahun

2004 (lebih dari 44% dari tahun 2003) dan tahun-tahun berikut kenaikan angka

KtP berkisar antara 9% – 30% (tahun 2005, 30% tahun 2006), 9% dan tahun 2007

11%.

KTP ini mayoritas ditempati menurut ranah kekerasan. Maka KDRT

cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan lonjakan tajam antara tahun

2004 (4.310 kasus) ke tahun 2005 (16.615 kasus). Dari data 25.522 kasus KtP

pada tahun 2007, KDRT terdapat 20.380 kasus, KtP di komunitas 4.977 kasus,

dan KtP dengan pelaku negara 165 kasus. Dari 215 lembaga dan tersebar dari 111

pulau yang memberikan datanya kepada Komnas Perempuan, data terbanyak

berasal dari Pulau Jawa (2 di Banten, 7 di Yogyakarta, 22 di Jawa Barat, 29 di

Jawa Tengah, dan 31 di Jawa Timur).

Tahun 2002, RUU diajukan ke Komisi VII DPR RI dan diseminarkan di

DPR. Perkembangan penting itu muncul setelah Rapat Paripurna DPR. Lalu

(24)

melalui sidang Paripurna di DPR, RUU anti KDRT yang diusulkan kelompok

perempuan secara resmi menjadi RUU inisiatif DPR.4 Pembahasan RUU anti

KDRT di DPR (Pansus Komisi VII) yang dimulai pada tanggal 22 Agustus 2004

berlangsung cepat, namun cukup alot. Khususnya karena penolakan beberapa

anggota dewan terhadap terobosan hukum yang menjadi dasar munculnya RUU,

seperti ruang lingkup, bentuk/jenis KDRT yang mencakup marital rape, hukum

acara tentang pembuktian dan peran-peran aparat. Selesai sidang pleno, kemudian

RUU tersebut segera dibawa ke sidang paripurna melalui pandangan umum

fraksi-fraksi dalam rangka keputusan akhir DPR apakah menolak atau mensahkan

RUU menjadi Undang-Undang.

Tahun 2004 adalah tahun yang bersejarah bagi perempuan Indonesia, dan

khususnya bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),

karena pada tahun inilah lahir Undang-Undang Penghapusan Kekerasaan Dalam

Rumah Tangga, setelah diperjuangkan selama 8 tahun oleh berbagai organisasi

perempuan.5 Pada tanggal 14 September 2004 dinyatakan sah dalam sidang

paripurna DPR, UU yang semula dinamai UU KDRT ini kemudian pada tanggal

pada 22 September 2004, Presiden Megawati menandatangani Undang-Undang

No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasaan Dalam Rumah Tangga.

Pada hari yang sama, pihak Sekretariat Negara mengundangkannya ke dalam

4

Ratna Batara Munti, Suara Apik : Lahirnya UU Penghapusan dalam Rumah Tangga

“sebuah bentuk terobosan hukum dan implikasinya terhadap hukum nasional”. (LBH-APIK Jakarta, 2005) Edisi ke-2. h.5

5

(25)

Lembaran Negara Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga atau lebih dikenal dengan UU P-KDRT.6

Kecenderungan meningkatnya kasus KDRT yang dilaporkan ini

menunjukkan adanya bangunan kesadaran masyarakat tentang kekerasan

khususnya kekerasan yang terjadi di ranah rumah tangga pada umumnya dan

kesadaran serta keberanian perempuan korban untuk melaporkan kasus KDRT

yang dialaminya, pada khususnya. Banyaknya kasus yang dalam perjalannnya

dicabut oleh pelapor yang sekaligus juga korban, lebih karena banyaknya beban

gender perempuan korban yang seringkali harus ditanggung sendiri, kuatnya

budaya patriarkhi, doktrin agama, dan adat menempatkan perempuan korban

kekerasan dalam rumah tangga dalam situasi yang sulit untuk keluar dari lingkar

kekerasan yang dialaminya, cenderung ragu untuk mengungkap fakta

kekerasannya, bahkan korban sulit mendapat dukungan dari keluarga maupun

komunitas. Keyakinan ‟berdosa‟ jika menceritakan ‟kejelekan, keburukan, atau

aib‟ suami membuat banyak perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga

menyimpan dalam-dalam berbagai bentuk kekerasan yang dialaminya.

Dalam UU. No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT aturan marital

rape diatur dalam pasal yang diistilahkan dengan pemaksaan hubungan seksual,

yang secara tegas diatur pada pasal 8 ayat 1. Dalam penelitian tersebut yang

menjadi pembahasanya yaitu bagaimana tanggapan hukum dalam UU. No. 23

6

(26)

tahun 2004 dan hukum islam tentang pemaksaan hubungan seksual seorang suami

terhadap istri (Marital rape), sedangkan dalam penelitian yang akan saya tulis,

lebih fokus pada bagaimana bentuk-bentuk pemaksaan suami terhadap istri dalam

perspektif UU. No. 23 tahun 2004 dan fiqh Islam.

B. Pengertian KDRT Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004

KDRT terhadap istri adalah segala bentuk tindak kekerasan yang

dilakukan oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis,

seksual dan ekonomi, termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi

dalam rumah tangga atau keluarga. Selain itu, hubungan antara suami dan istri

diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan emosional,

ketidaksetiaan dan menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan istri.

Dalam Undang-Undang No.23 tahun 2004, yang dimaksud dengan KDRT

adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat

timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,

dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan

perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum

dalam lingkup rumah tangga.7

Dijelaskan dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2004, yang dimaksud

dengan kekerasn seksual dalam ketentuan ini adalah setiap perbuatan yang berupa

pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak

7

(27)

wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain

untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu. Berbagai bentuk kekerasan

terhadap perempuan masih sering kita jumpai dimana-mana, di dalam rumah

tangga, di lingkungan kerja, dalam lingkungan sosial, dan dalam kehidupan

bernegara.8 Kekerasan dalam kamus besar Bahasa Indonesia diartikan :9

1. Perihal yang bersifat, berciri khas

2. Perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cidera atau

matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain

3. Paksaan

Kekerasan adalah perilaku yang bersifat menyerang atau bertahan yang

disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain, baik yang bersifat terbuka atau

tertutup.10 Sedangkan kekerasan dalam konteks perempuan adalah tindakan

berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat

kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, dan psikologis

termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan

secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam

8

Abdul Muqsit Ghozali, dkk, Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan (Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda), Jakarta : Rahima, 2002, Cet.1, h.105.

9

Tim Penyusun Kamus Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka), 2005, Cet.3, h.550.

10

(28)

kehidupan pribadi.11 Kekerasan seksual adalah pemaksaan hubungan seksual yang

dilakukan suami terhadap istri tanpa memperdulikan keadaan istri yang mungkin

dalam kondisi lemah, baik fisik maupun non-fisik. Melakukan hubungan seksual

berkali-kali dalam waktu yang sama sementara istri tidak menyanggupi

melakukan hubungan seksual dengan ancaman paksaan.

Hubungan seksual yang dilakukan suami dan istri, yang lebih banyak

menikmati hubungan tersebut adalah suami. Sementara itu, istri hanya bersikap

pasif, hanya melayani. Tidak pernah mengungkapkan perasaan puas atau tidaknya

dalam hubungan seksual itu.12 Hal seperti ini terjadi disebabkan oleh salah satu

pihak melaksanakan kehendak seksual sendiri terhadap pasangannya. Dan

menganggap bahwa hal itu kewajiban perempuan, sehingga para suami

mengabaikan hak istri untuk menikmati hubungan seks.

Banyak pihak berpendapat bahwa masalah kekerasan dalam rumah tangga

(KDRT) perlu diatur tersendiri di luar KUHP, bahkan RUU KUHP yang baru dan

merupakan revisi KUHP yang lama dianggap tidak cukup untuk dapat

mengakomodir keseluruhan masalah KDRT. Karena masalah KDRT mencangkup

beberapa aspek, kepentingan perempuan, sudut pandang yang berbeda khususnya

dalam hal penyidikan dan pembuktiannya. Hingga akhirnya pada tanggal 14

september 2004, DPR akhirnya menyetujui RUU penghapusan kekerasan dalam

11

Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformasi : Perempuan Pembaru Keagamaan, (Bandung : Penerbit Mizan), 2005, Cet.1, h.154.

12

(29)

rumah tangga (KDRT) untuk disahkan menjadi Undang-Undang dalam rapat

paripurna DPR setelah tertunda kurang lebih enam tahun. Dibandingkan

Malaysia, Indonesia terkesan lamban merespon permintaan kaum perempuan

mengenai perlunya payung hukum bagi perempuan agar terhindar dari pelaku

tindak kekerasan.13 Meskipun pada dasarnya UU ini ditujukan untuk melindungi

siapapun, baik laki-laki maupun perempuan khususnya mereka yang berada

dalam posisi subordinat, dan rentan terhadap KDRT akibat adanya relasi sosial

yang timpang di masyarakat, apakah karena jender, jenis kelaminnya, usianya,

status social atau kelas sosial. Nilai strategis UU ini adalah menggeser isu KDRT

dari isu privat menjadi isu public. Karena dulunya masalah kekerasan dalam

rumah tangga dianggap sebagai masalah hubungan suami istri atau masalah

pribadi yang tidak bisa diintervensi orang lain. Bahkan KUHP tidak menganggap

masalah kekerasan dalam rumah tangga sebagai sebuah kejahatan. UU

penghapusan KDRT ini memberi ruang kepada Negara untuk melakukan

intervensi terhadap kejahatan yang terjadi dalam rumah tangga. Adapun asas yang

melandasi UU ini adalah penghormatan terhadap perempuan sebagai manusia

merdeka, kesetaraan dan keadilan gender, diskriminasi dan juga perlindungan

terhadap korban. Sedangkan kata kunci dalam UU KDRT adalah pergaulan yang

baik antara suami dan istri (muasyarah bil ma‟ruf). Sedangkan tujuan UU KDRT

yang terdapat dalam naskah akademik peraturan perundang-undangan tentang

kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagai berikut :

13

(30)

1. Mencegah kejahatan KDRT

2. Melindungi korban dan saksi kasus KDRT secara maksimal

3. Memberikan kemudahan bagi korban maupun saksi kasus KDRT untuk

melaporkan ataupun memperoleh bantuan

4. Menciptakan upaya pemulihan terutama bagi korban, namun tidak menutup

kemungkinan bagi pelaku kasus KDRT

5. Menciptakan sistem penegakkan hukum yang tepatguna oleh aparat hukum

6. Bahwa KDRT merupakan masalah publik, bukan masalah domestik

Dalam pembahasan mengenai UU ini terjadi perdebatan yang cukup

panjang. Kelompok yang tidak setuju pada konsep RUU menghendaki agar UU

nantinya tidak akan semakin menimbulkan perpecahan dalam rumah keluarga,

tidak akan menambah tingginya angka perceraian dimasyarakat. Sebab,

kebanyakan masyarakat beranggapan jika pihak istri diberikan wewenang atau

kebebasan, dikhawatirkan akan menyalahgunakan hak kebebasannya tersebut. UU

kekerasan dalam rumah tangga membagi bentuk kekerasan dalam kategori empat

macam, yaitu : kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan

kekerasan ekonomi. Kekerasan seksual dibagi menjadi dua yaitu kekerasan

seksual berat yang terdiri :

1. Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ

seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang

(31)

2. Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban

tidak menghendaki.

3. Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan

atau menyakitkan.

4. Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan

atau tujuan tertentu.

5. Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi

ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.

6. Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang

menimbulkan sakit, luka atau cedera.

Sedangkan yang termasuk dalam kategori kekerasan seksual ringan berupa

pelecehan seksual secara verbal, gurauan porno, siulan, ejekan, dan julukan dan

atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh ataupun perbuatan

lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat

melecehkan dan atau menghina korban. UU No 23 Tahun 2004 membagi criteria

kekerasan sebagaimana terdapat pada bab III pasal 5 yang berisi : Setiap orang

dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup

rumah tangganya, dengan cara:

1. kekerasan fisik

2. kekerasan psikis

3. kekerasan seksual, atau

(32)

Sedangkan mengenai kekerasan seksual diatur dalam pasal 8 yang

berbunyi : kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf c

meliputi:

1. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap

dalam lingkup rumah tangga tersebut.

2. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah

tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan tertentu.

Secara jelas UU tersebut tidak menyertakan kata-kata perkosaan, akan

tetapi hanya menyertakan pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap

orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga. Sedangkan yang dimaksud

dengan lingkup rumah tangga diatur dalam pasal 2 yang meliputi :

1. Suami, istri, dan anak

2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana

dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan,

pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga

3. Orang-orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam

rumah tangga tersebut

Selain mendefinisikan perkosaan dalam perkawinan UU No 23 tahun 2004

juga mengatur mengenai bukti dan saksi yang diatur dalam pasal 55. Pasal ini

merupakan titik terang untuk para korban marital rape karena pasal ini

meringankan korban dalam hal bukti dan saksi. Selain itu UU ini juga mengatur

(33)

1. Korban berhak mendapatkan perlindungan dari individu, kelompok, atau

lembaga baik pemerintah ataupun swasta.

2. Korban berhak mendapatkan pelayanan darurat dan pelayanan lainya.

3. Korban mendapatkan pelayanan secara rahasia.

4. Korban berhak atas informasi dan terlibat dalam setiap proses pengambilan

keputusan berkaitan dengan pendampingan dan penanganan khusus lainnya.

5. Korban berhak mendapatkan jaminan atas haknya yang berkaitan dengan

statusnya sebagai istri, ibu, anak dan anggota rumah tangga lainnya.

6. Korban berhak mendapatkan pendampingan secara psikologis oleh pekerja

sosial dan bantuan hukum yang dilakukan advokad pada setiap tingkat proses

peradilan.

7. Korban berhak mendapatkan bimbingan rohani.

Pelayanan darurat yang dimaksud mencangkup pelayanan medis,

konseling, informasi hukum, sarana transportasi ke rumah sakit atau ke tempat

penampungan yang aman. Sehingga korban bisa menenangkan diri dan merasa

aman untuk sementara waktu sebelum kasus tersebut ditangani lebih lanjut oleh

pihak kepolisian. Perlindungan merupakan hal baru dalam hukum pidana

Indonesia. Karena selama ini memang belum ada aturan tentang ha-hal tersebut,

sehingga tidak heran kalau dalam UU ini masalah perlindungan diatur sangat

terperinci. Alasannya ialah karena dalam kasus perkosaan dalam perkawinan,

diperlukan untuk menghentikan berlanjutnya tindakan tersebut. Memisahkan

(34)

tinggal atau paling tidak keduanya mempunyai kesempatan untuk dengan mudah

dapat bertemu atau berhubungan. Dalam kerangka perlindungan ini, UU memuat

sejumlah kewajiban pemerintah untuk menjamin terciptanya perlindungan yang

dimaksud, diantaranya ialah memfasilitasi tersedianya pendampingan, pelayanan

darurat, tersedianya pendamping, tersedianya ruang pemeriksaan khusus disetiap

kantor polisi tingkat kabupaten dan kota, dan memberikan perlindungan terhadap

pendamping, saksi-saksi keluarga, anggota komunitas, dan teman korban.

Pemerintah juga memfasilitasi tersedianya aparat, termasuk konselor, pekerja

medis dan pekerja social, dan kesehatan. Masyarakat juga diwajibkan untuk

menyediakan perlindungan yang dimaksud, apabila menyaksikan atau mendengar

terjadinya kasus pemaksaan hubungan seksual suami tehadap istri (marital rape).

Dalam hal ini aparat kepolisian sangat berperan penting, karena kepolisian

diwajibkan memberikan perlindungan sementara kepada korban tanpa

diskriminasi. Kekerasan adalah sebuah fenomena lintas sektoral dan tidak berdiri

sendiri atau terjadi begitu saja. Ada beberapa penyebab yang menjadi asumsi

terjadinya kekerasan terhadap perempuan, yaitu:

1. Adanya persepsi tentang sesuatu dalam benak pelaku, bahkan sering kali yang

mendasari tindak kekerasan ini bukan suatu yang dihadapi secara nyata. Hal

ini dibuktikan dengan realitas dilapangan yang menunjukkan bahwa pelaku

telah melakukan tindakan kekerasan tersebut tanpa suatu alasan yang

mendasar. Alasan yang disampaikan pelaku hampir selalu hanya didasarkan

(35)

tidak jarang dia justru mengingkari telah berbuat jahat dan tidak terhormat.

Lebih lagi jika pelaku menganggap tindakannya tidak dapat dikategorikan

sebagai perbuatan mesum atau perkosaan. Sehingga ketika dihadapkan jasa

dia menolak tuduhan bahwa dia telah melakukan perkosaan.

2. Hukum yang mengatur tindak kekerasan terhadap perempuan bisa gender.

Seringkali hukum tidak berpihak kepada perempuan yang menjadi korban

kekerasan. Ketidak berpihakan tersebut tidak saja berkaitan dengan subtansi

hukum yang kurang memperhatikan kepentingan perempuan atau sikorban,

bahkan justru belum adanya subtansi hukum yang mengatur nasib bagi korban

kekerasan, yang umumnya dialami perempuan. Secara umum ada beberapa

bentuk kekerasan gender terhadap kaum perempuan. Pertama, kekerasan

terhadap pribadi (personal violence). Sering kali kaum perempuan secara

personal menderita dan menjadi korban kekerasan fisik dan mental dalam

kehidupan sehari-hari mereka. Akan tetapi, tidak terdokumentasi secara resmi

dan baik. Hanya beberapa Negara saja yang memiliki angka resmi, seperti

diamerika dan peru. Di amerika serikat misalnya tercatat, pemukulan terhadap

istri adalah penyebab tertinggi kecelakaan perempuan. Di peru juga

menyebutkan, 70 persen kejahatan yang dilaporkan polisi adalah pemukulan

suami terhadap pasangan mereka. Sementara WHO memperkirakan lebih dari

90 juta perempuan afrika menjadi korban penyunatan (genital mutilation).

Padahal, kekerasan terhadap perempuan tersebut mempengaruhi kesehatan

(36)

kepribadian perempuan. Kekerasan yang paling besar adalah dalam bentuk

perkosaan terhadap perempuan, termasuk perkosaan dalam rumah tangga.

Perkosaan terjadi jika seseorang memaksa untuk mendapatkan pelayanan

seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan. Ketidak relaan ini sering kali tidak

bisa terekspresikan disebabkan oleh factor, misalnya ketakutan, malu,

keterpaksaan baik ekonomi, social maupun cultural, atau karena tidak ada

pilihan dan sebagainya.14

Salah satu segi dalam perjuangan keadilan, khususnya bagi perempuan,

adalah mengungkap tindak kekerasan terhadap perempuan, adalah mengungkap

tindak kekerasan terhadap perempuan. Pembicaraan tindak kekerasan terhadap

perempuan secara eksplisit, berarti mengungkap sejumlah perilaku dan

praktik-praktik terhadap perempuan yang selama ini telah menjadi kebiasaan dan

dianggap biasa oleh masyarakat. Kekerasan ini berupa perilaku yang diwujudkan,

seperti penyalahgunaan seks, pelecehan, ancaman, penindasan, intimidasi,

pemerkosaan, dan sejenisnya. Kekerasan yang halus adalah menguasai, mengikat,

mengontrol, dan tidak menghargai. Dalam situasi ini, hampir selalu pelakunya

adalah laki-laki, dengan korbannya dipihak perempuan. Semua itu adalah bukti

dari pranata-pranata yang mengkondisikan laki-laki dominant di masyarakat.

Dalam budaya patriarkhi, dominasi laki-laki dianggap wajar atas perempuan,

sehingga dianggap wajar pula segala perilaku laki-laki atas perempuan, sungguh

pun perilaku tersebut mengakibatkan pihak perempuan teraniaya, terlukai.

14

(37)

Berangkat dari konsep ketidakadilan, tentu sulit diharap melahirkan keadilan.

Konstruksi social yang bisa gender telah memberikan keleluasan pada laki-laki

untuk memposisikan perempuan sedemikian rupa berada dalam penindasan.

Berbagai bentuk praktik pelecehan terhadap perempuan, juga lebih dikarenakan

praktik-praktik itu mendapatkan berbagai legalitas dari kebudayaan, peradaban,

tradisi, kebiasaan, adat istiadat. Semuanya itu, seharusnya dikritisi dan dicermati

karena tidak sedikit dari praktik-praktik dimasyarakat hanya merupakan kedok,

mitos-mitos yang diciptakan sebagai benteng untuk pengesahan berlangsungnya

kekuasaan laki-laki. Dalam kesadaran akan bentuk relasi baru yang menuntut

kesetaraan, keadilan, dan saling menumbuhkan, maka harus dilakukan

reposisioning mengenai berbagai bentuk kebiasaan itu, kemudian dinilai mana

yang merugikan, menindas, menyakiti, dan merampas hak-hak perempuan dan

laki-laki. Perempuan beriman akan merefleksikan keadaan hidupnya yang luka itu

kepada kehendak sang pencipta. Kebebasan menggiring umat manusia untuk bisa

maju dan berjejak pada kebahagiaan. Kebebasan dianggap sebagai salah satu hak

manusia yang paling berharga oleh bangsa yang memahami rahasia

kesuksesannya.15

Kekerasan dalam rumah tangga hingga saat ini tampak kurang mendapat

perhatian serius di kalangan masyarakat. Beberapa alasan bisa dikemukakan.

Pertama, kekerasan dalam rumah tangga cenderung tak kentara dan ditutupi

15Amin, Qasim, Sejarah Penindasan Perempuan “Menggugat Islam Laki

(38)

karena rumah tangga adalah area ”privat”. Kedua, kekerasan dalam rumah tangga

sering dianggap wajar karena memperlakukan istri sekehendak suami masih saja

dianggap bahkan diyakini sebagai hak suami sebagai pemimpin dan kepala rumah

tangga. Ketiga, kekerasan dalam rumah tangga itu terjadi dalam sebuah lembaga

yang sah (legal), yaitu perkawinan. Kenyataan ini selanjutnya membuat

masyarakat abai dan tak sadar, bahkan muncul pandangan yang keliru bahwa

suami sebisanya harus mengendalikan istri.16

C. Pasal-Pasal Kekerasan Seksual Dalam Undang-Undang P-KDRT

Ketentuan Pasal 5 UU-PKDRT menegaskan bahwa “Setiap orang

dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam

lingkup rumah tangganya, dengan cara: a.kekerasan fisik; b.kekerasan psikis;

c.kekerasan seksual; atau penelantaran rumah tangga.”

Kekerasan fisik, psikis, seksual, semakin menegaskan bahwa cakupan

diskriminasi adalah berupa bentuk-bentuk kekerasan fisik, psikis, seksual, dan

ancaman-ancaman lain serupa. “Ancaman lain” yang dimaksud dalam ketentuan

Pasal 1 UU-PKDRT disebut dengan istilah “penelantaran rumah tangga”. Bahkan

UU-PKDRT pun telah menegaskan dalam pengaturan normatifnya sebagaimana

dirumuskan dalam ketentuan Pasal 5 mengenai larangan kekerasan dalam rumah

tangga dengan cara kekerasan: fisik, psikis, seksual, atau penelantaran rumah

(39)

tangga, yang dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 6 mengenai apa yang dimaksud

kekerasan fisik, Pasal 7 tentang kekerasan psikis, Pasal 8 tentang kekerasan

seksual, dan Pasal 9 tentang penelantaran dalam rumah tangga.

a. Kekerasan fisik yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit

atau luka berat.

b. Kekerasan psikis yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya

rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak. Rasa tidak

berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

c. Kekerasan seksual yaitu

(1) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang

menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut

(2) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup

rumahtangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau

tujuan tertentu.

Yang dimaksud dengan “kekerasan seksual” dalam ketentuan ini adalah

setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan

hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan

hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan

tertentu.

d. Penelantaran rumah tangga yaitu

(1) tindakan/perbuatan seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup

(40)

karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,

perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud diatas juga berlaku bagi setiap orang

yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi

dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah

sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Substansi pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal

44-Pasal 49 UU-PKDRT menghambat penghapusan KDRT, karena terdakwa dengan

ekonomi mapan cenderung memilih hukuman denda ketimbang hukuman penjara.

Pada hemat penulis bahwa hal ini sebetulnya akan sangat ditentukan oleh peran

hakim yang akan menentukan berat atau ringannya putusan pidana terhadap

pelaku dalam perkara KDRT. Untuk hal itu sangat diperlukan adanya pelatihan

untuk peningkatan sensitisasi gender di kalangan para hakim termasuk sensitisasi

untuk keberpihakan pada keadilan korban, hal mana korban lebih sering pada

perempuan dan/atau anak.

Bentuk-bentuk kekerasan tersebut secara tegas dilarang dan dikenai sanksi

pidana, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 49. Hal

yang lebih memperkuat bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu

bentuk diskriminasi adalah sebagaimana dilandaskan pada ketentuan Pasal 28G

ayat (1) dan Pasal 18H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, sehingga bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender juga

(41)

D. Relasi Suami Isteri Menurut Fikih

Salah satu fungsi keluarga adalah untuk mengembangkan keturunan

dengan cara legal dan bertanggung jawab secara sosial maupun moral. Kebutuhan

biologis merupakan kebutuhan dasar terdapat pada manusia laki-laki maupun

perempuan. Merupakan hal yang alami atau sunnatullah jika suami istri satu sama

lain saling membutuhkan, dan saling memenuhi kebutuhan ini. Keinginan untuk

memenuhi kebutuhan biologis merupakan karunia Allah yang diberikan kepada

laki-laki maupun perempuan yang perlu disalurkan sesuai dengan petunjuknya.

Seks bukanlah sesuatu yang tabu dalam islam, tetapi dianggap sebagai aktifitas

yang sah dalam perkawinan. Tidak ada konsep dosa yang dilekatkan kepadanya.

Seks dianggap kebutuhan prokreasi, dan penciptaan manusia adalah melalui

aktifitas seksual. Karena prokreasi perlu bagi kelangsungan hidup manusia, maka

perkawinan dalam islam menjadi penting sekalipun belum tentu wajib

hukumnya. 17 Laki-laki dan perempuan memang berbeda struktur alat

reproduksinya, tetapi secara psikologis. Allah memberikan perasaan yang sama

dalam hal kebutuhan reproduksi ini. Oleh karena itu suami maupun istri tidak

diperbolehkan bersifat egois, mengikuti kemauan sendiri dengan mengabaikan

kebutuhan pasangannya. Sebab perkawinan memiliki tujuan yang agung, dan

merupakan suatu hubungan cinta kasih dan saling menghormati. Al Qur‟an suratal

Baqarah: 187 menegaskan:

17

(42)





































)

رقبلا

/

187:2

)

Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamu pun adalah Pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang Telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. (Q.S. Al-Baqarah/2:187)

Suami istri digambarkan seperti baju. Baju berfungsi untuk menutup aurat,

melindungi badan dari teriknya matahari dan dinginnya udara, dan juga untuk

menghias diri. Dalam konteks suami istri memiliki hak untuk melakukan

hubungan seksual pasangannya secara ma‟ruf dalam arti setara, adil dan

demokratis. Aktifitas seksual suami istri diharapkan dapat menumbuhkan

(43)

kepada dzat yang memberi keindahan dan kasih sayang pada manusia. Dalam Q.S

al Baqarah: 223

























)

رقبلا

/

223:2

)

Artinya: “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.”

)Q.S. Al-Baqarah/2:223)

Dalam ayat ini istri diibaratkan seperti ladang atau kebun, suami sebagai

petani pemilik ladang yang bertugas untuk mengelola ladangnya. Secara tekstual

suami seakan-akan memiliki hak dan kewajiban secara aktif dan pemegang peran

dalam mengendalikan kebutuhan seksual untuk dirinya dan istrinya. Pemahaman

tekstual ini berakibat pada cara pandang masyarakat muslim tentang seksualitas,

bahwa laki-lakilah yang memiliki inisiatif, mengatur dan menentukan masalah

hubungan seks, termasuk implikasi lainnya diseputar seksualitas dan hak-hak

reproduksi istri. Lain halnya jika ayat tersebut dipahami dengan memperhatikan

konteks masyarakat pada waktu ayat ini diturunkan. Ayat ini turun pada

masyarakat mengambil latar kehidupan masyarakat arab dengan kondisi

(44)

indah dan hanya berada dalam imajinasi mereka. Perempuan (istri) diibaratkan

seperti ladang/ taman/ kebun yang menurut mereka merupakan barang mewah.

Memiliki istri seperti halnya seseorang yang memiliki kekayaan barang berharga

yang sangat diharapkan pada saat itu. Sebagai petani yang baik, ia akan

memperlakukan ladangnya dengan baik, memilih benih yang unggul, menanami,

membersihkan rumput dan memberantas hama, mengairi, dan memupuknya

dengan rutin. Semua aktifitas pertanian ini dilakukan secara bertahap dan pada

saat yang tepat. Demikian pula suami yang diibaratkan sebagai petani yang baik,

dia akan memperlakukan istrinya dengan perlakuan yang baik. Sebagaimana

Rasulullah saw bersabda :

Artinya: „’Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik di antara kalian terhadap keluarganya (istrinya), dan aku adalah orang yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku”. (HR. Ibnu Majah).

Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa relasi seksual suami istri

merupakan pahala jika dilakukan dengan cara-cara yang ma‟ruf, karena masing

-masing suami atau istri mempunyai hak dan kewajiban terkait dengan relasi

seksual ini diharapkan dapat memelihara komunikasi lahir batin dalam

mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah. Hanya saja ditekankan

bahwa semua itu harus dilakukan dengan memperhatikan etika, tanpa merugikan

satu pihak atas pihak lainnya. Mengingat pentingya mengelola relasi seksual

suami istri dalam rumah tangga, maka diharapkan suami atau istri berpenampilan

(45)

cara yang tepat. Hubungan seks bukan merupakan hal yang tabu dibicarakan

diantara suami istri. Karena itu penting untuk mendiskusikan tema ini demi

kemaslahatan bersama, seperti apa yang disukai dan yang tidak disukai. Apa yang

kurang dari pasangannya yang dapat mengganggu hubungan baik dan sebagainya.

Sebaliknya membicarakan masalah kekurangan atau ketidakpuasan dalam

hubungan suami istri kepada orang lain merupakan tindakan yang tidak

semestinya dilakukan, bahkan akan dapat membuka aib sendiri. Satu hal yang

perlu diperhatikan dalam membangun relasi seksual suami dan istri dalam islam

menghindari adanya kekerasan seksual terhadap istri. Masalah ini menjadi

persoalan serius tetapi banyak orang yang mengabaikannya. Sebagian masyarakat

masih menganggap bahwa laki-laki (suami) lah yang memegang kendali

kebutuhan seksual istrinya. Suami terhadap istri memiliki hak penuh untuk

mengatur dan memperlakukan istri karena konsep nikah yang digunakan masih

berparadigma lama, dimana nikah dipahami sebagai akan tamlik, sehingga istri

berada dibawah kepemilikan suami. Masalah sekspun ditentukan oleh suami,

salah satu bentuknya adalah pemaksaan hubungan seksual pada saat istri tidak

siap untuk melayani. Relasi suami istri yang benar juga berdasar pada

prinsip”muasyarah bi alma‟ruf” (pergaulan suami istri yang baik).

Kehidupan rumah tangga adalah dalam konteks menegakkan syariat islam,

menuju ridho Allah SWT. Suami dan istri harus saling melengkapi dan bekerja

sama dalam membangun rumah tangga yang harmonis menuju derajat takwa.

(46)

















Referensi

Dokumen terkait

penelitian dengan judul ” Hubungan Pengetahuan dan Sikap Suami tentang Aktifitas Seksual pada Istri Menopause di Kelurahan Simalingkar B Kecamatan.. Medan

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan bagaimana gambaran kepercayaan, komitmen pernikahan dan kepuasan hubungan seksual pada istri dengan suami yang bekerja di

Sering tertulis dalam media massa untuk menggambarkan perbuatan keji berbentuk pemaksaan hubungan seksual. Indonesia dengan KUHP nya yang berlaku sejak tahun 1918

melakukan variasi dalam menikmati hubungan seksual bagi suami istri adalah ayat. 222 Surat Al-Baqarah, “istrimu adalah ladangmu (tempat bercocok

Esai ini menyimpulkan bahwa dalam kerangka hukum Islam, konteks hubungan seksual sebagai bagian dari relasi gender perlu dilihat dari perspektif usul ikih yang lebih luas

Pada akhirnya pasal pemaksaan hubungan seksual suami terhadap istri (marital rape) dalam RUU KUHP baru tidak jadi diundangkan, karena pakar hukum yang bergabung

Menurut hukum Islam melarang adanya pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan suami terhadap istri adalah sudah tepat. Karena hal tersebut bertentangan dengan

Analisis Hukum Islam Terhadap Pemberian harta calon Suami Kepada Calon Istri Pascapertunangan di Desa Paka’an Dajah.. Sebagaimana dijelaskan di atas, Desa Paka’an Dajah