ANALlSIS TERHADAP PENERAPAN PEMBUKTIAN TERBALlK DALAM
UNDANG-UNDANG PERLlNDUNGAN KONSUMEN INDONESIA
(Studi Mengenai Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor
1
/
/K
/
PK
/
PDT
/
/2003 Tanggal 24 Pebruari 2004)
.
Hendrik P. Pardede
037005075
ABSTRAK
Aktivitas perekonomian tidak akan berjalan apabila tidak ada konsumen. Dengan demikian aktivitas perekonomian hanya terjadi karena adanya suatu hubungan antar masyarakat, dalam hal ini antara produsen dengan konsumen. Hubungan ini didasarkan atas suatu kebutuhan. Dalam hubungan hukum antara konsumen dan produsen terdapat ketidak seimbangan atau ketidak setaraan kedudukan hukum diantara kedua belah pihak. Suatu sengketa terjadi apabila terdapat perbedaan pandangan atau pendapat antara para pihak tertentu tentang hal tertentu, satu pihak merasa dirugikan hak-haknya oleh pihak lain, sedang yang lain tidak merasa demikian. Sengketa konsumen adalah sengketa berkenaan dengan pelanggaran hak-hak konsumen. Berdasarkan ketentuan Undang-undang Perlindungan Konsumen, maka dalam penyelesaian suatu sengketa konsumen diterapkan sistem pembuktian terbalik, artinya pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi yang diajukan konsumen, merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu memberikan data seteliti mungkin tentang Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen di Indonesia melalui putusan Mahkamah Agung RI No. 1 K/PK/PDT/2003 Tanggal 24 Februari 2004. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti
Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Dalam penyelesaian sengketa di pengadilan, prinsipnya gugatan/ tuntutan perdata yang diajukan ke pengadilan tidak memerlukan persetujuan dari pihak tergugat.
lain halnya dengan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. UndangUndang menentukan bahwa akan dibentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di daerah tingkat untuk penyelesaian sengketa, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 52 butir a UUPK, BPSK dapat menggunakan cara mediasi, arbitrase, atau konsoliasi. Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa terse but biasanya disebut dengan Alternative Dispute Resolution /ADR.
Peraturan perundang-undangan mengatur sistem pembuktian dalam hal sengketa konsumen, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, bahwa beban pembuktian berada pada produsen atau pengusaha, yang berarti bahwa pembuktian dalam sengketa konsumen adalah pembuktian terbalik.
Dalam kasus Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pemerintah Kota Bandung Nomor : 07/Pts/BPSKN/VI/2003, Majelis Hakim telah tepat dalam menerapkan pembuktian terbalik. Dalam kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 240/Pdt/BPSK/2003/PN.Jkt.Utara Tanggal 10 Oktober 2003, Majelis Hakim banding telah keliru dalam menerapkan hukum dengan mengadopsir ketentuan pasal 35 UU No. 23/1997 Pengelolaan Lingkungan hidup (UUPLH). Putusan Mahkamah Agung RI No. 1 K/PK/Pdt/2003, Tanggal 24 Nopember 2004 telah sesuai dengan apa yang diputuskan oleh majelis BPSK yaitu mengenai penerapan azas pembuktian terbalik yaitu pelaku usaha/PT BII telah dapat membuktikan bahwa PT BII tidak bersalah.