• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mekanisme Kerja Sambiloto (Andrographis paniculata) sebagai Antidiabetes

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Mekanisme Kerja Sambiloto (Andrographis paniculata) sebagai Antidiabetes"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

(Andrographis paniculata)

SEBAGAI ANTIDIABETES

ARIS WIBUDI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Mekanisme Kerja Sambiloto

(Andrographis paniculata) Sebagai Antidiabetes adalah karya saya sendiri dan

belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Februari 2006

Aris Wibudi

(3)

sebagai Antidiabetes. Dibimbing oleh BAMBANG KIRANADI, WASMEN MANALU, ADI WINARTO dan SLAMET SUYONO.

Dalam penelitian terdahulu telah dibuktikan bahwa Andrographis paniculata (AP) bersifat menurunkan kadar glukosa darah pada tikus diabetes-STZ dan kelinci diabetes-aloksan, dan semua penelitian tersebut mengarahkan dugaan bahwa AP bekerja pada organ ekstra-pankreas. Sampai saat ini belum ada penelitian yang mempelajari pengaruh AP pada sel β pankreas. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari pengaruh AP pada sel β pankreas.

BRIN-BD11 yang diinkubasi selama satu jam dalam media yang mengandung glukosa 16.7 mM + 0.625-2.5 mg/mL AP, menunjukkan respon sekresi insulin 1.7-3.73 kali lebih tinggi (p = 0.003 – p < 0.001) dibanding dengan glukosa 16.7 mM saja. Respon sekresi insulin meningkat 1.5 kali (p = 0.034) dan 2.3 kali (p = 0.001) dalam media 1.25 dan 2.5 mg/mL AP, dibanding dengan 100 μM glibenklamid. Pada konsentrasi 5 dan 10 mg/mL AP, terjadi penurunan respon insulinotropik BRIN-BD11 hingga 50.7 – 79.5% (p = 0.001) dibanding dengan 2.5 mg/mL AP. BRIN-BD11 yang diinkubasi selama 20 menit dalam media glukosa 16.7 mM + 0.625 – 5 mg/mL AP, menunjukkan respon sekresi insulin 1.4 – 4.7 kali lebih tinggi ( p = 0.002 – p < 0.001) dibanding dengan glukosa 16.7 mM saja. BRIN-BD11 yang diinkubasi selama 20 menit dalam media yang mengandung glukosa 1.11 mM + 0.625 – 10 mg/mL AP, menunjukkan respon sekresi insulin 1.3 – 2.7 kali lebih tinggi (p = 0.019 – p < 0.001) dibanding dengan glukosa 16.7 mM saja.

Pemberian 0.5 mM diazoxide dan 0.1 mM verapamil, dapat menghambat respon insulinotropik 2.5 mg/mL AP pada BRIN-BD11 sebesar 32% (p < 0.001) dan 31% ( p = 0.008). Di samping itu 0.1 mM verapamil menghambat sekresi insulin BRIN-BD11 akibat 25 meq KCL sebesar 64% ( p < 0.001). Dalam kondisi terdepolarisasi oleh 25 meq KCL, 0.625 dan 1.25 mg/mL AP masih dapat meningkatkan sekresi insulin BRIN-BD11 sebesar 14% ( p = 0.017) dan 34% ( p < 0.001).

AP bersifat insulinotropik atau insulin sekretagog yang kuat, yang meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi, dan bisa bekerja tanpa bergantung pada keberadaan glukosa, serta bekerja pada mekanisme sekresi insulin alur triggering pathway, baik K+ATP-dependent maupun - independent

(4)

Antidiabetic. Under the direction of BAMBANG KIRANADI, WASMEN MANALU, ADI WINARTO, and SLAMET SUYONO.

Studies of Andrographis paniculata (AP) had shown hypoglycaemic effect in Streptozotozin Diabetic Rats and Alloxan Diabetic Rabbits, and all of the studies suggested that AP affected extrapancreatic organs. There was no study the effect of AP to pancreatic β cells. The aim of this study is to learn the effect of AP to pancreatic β cells by measuring the insulin release from clonal glucose-responsive insulin secreting cells BRIN-BD11 during acute 20 and 60 minute-incubation (n=3-4).

One hour of incubation with 0.625-2.5 mg/mL AP, BRIN-BD11 evoked 1.7-3.73 fold (p = 0.003 – p <0.001) insulin secretory responses at 16.7 mM glucose. Interestingly the insulin response was elevated by 1.5 fold (p = 0.034) dan 2.3 fold (p = 0.001) at 1.25 mg/ mL and 2.5 mg/mL AP respectively, compared to that folowing administration of 100 μM glibenclamide. The insulinotropic response of BRIN-BD11 were abolished by 50.7%-79.5% (p = 0,001) at 5 and 10 mg/mL AP respectively, compared to 2.5 mg/mL AP. Twenty minutes incubation with 0.625-5 mg/mL AP, BRIN-BD11 also evoked 1.4 - 4.7 fold (p = 0.002 – p < 0.001) insulin secretory responses at 16.7mM glucose. These results showed that the insulinotropic effects of AP exhibited dose- and glucose-dependent pattern, and may suggest that high dose AP possesses a calcium channel blocking activity exerted primarily in a depolarizing condition. Twenty minutes incubation with 1.25 -10 mg/mL AP evoked 1.6 - 2.6 fold (p = 0.03 – p = 0.001) insulin secretory response at 1.11 mM glucosa. These results showed that the insulinotropic effects of AP exhibited dose-dependent and glucose-independent pattern.

Insulin secretory respons at 2.5 mg/mL AP was abolished by 32% (p < 0.001) and 31% (p = 0.008) when 0.5 mM Diazoxide and 0.1 mM Verapamil was administered, respectively. On the other side, 0.1 mM verapamil abolished insulin secretory response by 64% (p < 0,001) in 20 minute-incubation of BRIN-BD11 exerted primarily in a depolarizing conditon (25 meq KCl). In a depolarizing condition by KCl 25 meq, 0.625 and 1.25 mg/mL AP showed an increase of insulin respons by 14% (p = 0.017) and 34% (p < 0.01) respectively.

(5)

© Hak cipta milik Aris Wibudi, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam

(6)

(

Andrographis paniculata

)

SEBAGAI ANTIDIABETES

ARIS WIBUDI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Departemen Biologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

NIM : G426010121

Disetujui

Komisi Pembimbing

Bambang Kiranadi M.Sc.Ph.D Prof.Dr.Ir. Wasmen Manalu Ketua Anggota

drh. Adi Winarto Ph.D Prof.dr.Slamet Suyono Sp.PD,KEMD Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Biologi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr.Ir. Dedi Duryadi Solihin, DEA Prof.Dr.Ir.Syafrida Manuwoto, M.Sc

(8)

segala karunia Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang

dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2005 ini ialah herbal

antidiabetik, dengan judul Mekanisme Kerja Sambiloto (Andrographis

paniculata) sebagai Antidiabetes.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Bambang Kiranadi Ph.D,

Prof.Dr.Ir. Wasmen Manalu, drh. Adi Winarto Ph.D, dan Prof.dr. Slamet Suyono

Sp.PD-KEMD selaku pembimbing, serta Bapak Prof.Dr.dr.Andrè Herchuelz yang

telah memberikan sel lestari penghasil insulin BRIN-BD11, sebagai organ uji dan

pelatihan serta arahan dalam teknik penelitian, sdri Silmi Mariya SSi dan seluruh

staf laboratorium virologi yang tanpa lelah memberikan pelatihan khusus kultur

sel, dan Kepala Laboratorium Virologi, LPPM, PSSP, IPB Bogor yang

memberikan fasilitas laboratorium untuk pelaksanaan penelitian ini. Di samping

itu, terima kasih juga penulis sampaikan kepada Direktur Kesehatan TNI-AD dan

Kepala RSPAD Gatot Soebroto yang telah memberikan kesempatan yang sangat

berharga ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada PT. Aventis Farma

Indonesia yang memberikan bahan aktif glibenklamid, dan PT. Dexa Medika yang

memberikan DMSO dan verapamil. Ungkapan terima kasih juga disampaikan

kepada ayah, ibu serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2006

(9)

sebagai anak sulung dari pasangan Asih Windrojo dan Ishwandari. Pendidikan

sarjana ditempuh di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, lulus pada tahun

1980. Pada tahun 1986, penulis diterima di Program Studi Spesialis 1, pada

Program Pascasarjana UI bidang Ilmu Penyakit Dalam dan menamatkannya pada

tahun 1991. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program

studi Biologi, Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2001, dengan biaya

sendiri.

Pada tahun 1981, penulis mengawali tugasnya sebagai dokter Batalyon

741 di Singaraja, Bali dan selanjutnya pada tahun 1983 dipindahtugaskan sebagai

dokter Batalyon 745 di Baucau, Timor Timur. Pada tahun 1985, penulis

dipindahtugaskan menjadi Wakil Komandan Detasemen Kesehatan 164 di Dili,

Timor Timur. Setelah menyelesaikan pendidikan spesialis, penulis ditugaskan

sebagai dokter spesialis penyakit dalam di RS.Ridwan Meuraksa, Jakarta sampai

tahun1998. Pada tahun 1998 penulis kembali dipindahtugaskan ke RSPAD Gatot

Soebroto. Sejak bulan Oktober tahun 2004 penulis ditugaskan sebagai dokter

pribadi Presiden RI. Di samping tugas pokok tersebut di atas, penulis sempat

ditugaskan sebagai Kepala Seksi Operasi Batalyon Kesehatan, Kontingen Garuda

XIV, Pasukan Penjaga Perdamaian PBB di Bosnia Herzegovina pada tahun 1995

(10)

DAFTAR TABEL... ii

DAFTAR GAMBAR... iii

DAFTAR LAMPIRAN... v

PENDAHULUAN Latar Belakang... 1

Tujuan dan Kegunaan... 7

TINJAUAN PUSTAKA ATP-Dependent Potassium Channel (K+ATP)………. 9

Kanal ion kalsium (Ca2+ channels)……… 13

Ultrastruktur granul insulin... 16

Fisiologi sekresi insulin... 18

BRIN-BD11... 27

Sambiloto (Andrographis paniculata)... 30

Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)... 35

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu... 38

Bahan Penelitian... 38

Penyiapan Ekstraksi Sambiloto... 38

Penyiapan Berbagai Media... 39

Penyiapan BRIN-BD11... 45

Metode Penelitian... 49

HASIL DAN PEMBAHASAN Efek insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11... 54

Pengaruh sambiloto pada sekresi insulin fase cepat……..….. 58

Mekanisme kerja sambiloto sebagai insulin sekretagog…….. 63

SIMPULAN ... 78

DAFTAR PUSTAKA... 79

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Sekresi insulin sebagai respons insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11 dalam media KRB-3 yang mengandung

glukosa 16.7 mM dan diinkubasi selama 60 dan 20 menit... 54

2 Sekresi insulin sebagai respons insulinotropik glibenklamid dan KCL 25 meq pada BRIN-BD11 dalam media KRB-3 yang mengandung glukosa 16.7 mM dan diinkubasi selama

60 dan 20menit... 55

3 Sekresi insulin sebagai respons insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11 dalam media KRB yang mengan

dung glukosa 1.11 mM dan diinkubasi selama 20 menit... 60

4 Inhibisi efek insulinotropik 2.5 mg/mL sambiloto pada BRIN-BD11 oleh diazoxide dan verapamil dalam media dengan kandungan glukosa 1.11 mM yang diinkubasi

selama 20 menit... 69

5 Inhibisi diazoxide dan verapamil pada sekresi insulin

BRIN-BD11 pada media yang mengandung glukosa 1.11 mM

dan KCL 25 meq... 70

6 Efek insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11 dalam

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Ilustrasi pola sekresi insulin pada pulau Langerhans

pankreas yang diinkubasi dalam larutan glukosa 11.1 mM... 8

2 Ilustrasi ATP-dependent K+ channel... 10

3 Ilustrasi kompleks ATP-dependent K+ channel……….. 11

4 Aktivitas elektrik sel β pankreas………. 12

5 Aktivitas elektrik sel β pankreas pada pemberian gliburid dan diazoxide... 13

6 Ilustrasi kanal kalsium VDCC... 14

7 Ultrastruktur sel β pankreas tikus... 16

8 Ilustrasi pola sekresi insulin dan pool granul... 17

9 Ilustrasi protein SNARE, granul insulin dan VDCC... 18

10 Ilustrasi berbagai faktor yang dapat mempengaruhi sekresi insulin... 20

11 Skema tiga sumber pembentukan ATP... 21

12 Ilustrasi tahapan proses fisiologik sekresi insulin ……… 22

13 Skema fisiologi sekresi insulin………. 24

14 Peran Potassium-dependent channel (KV2.1) dalam mekanisme Glucose competence concept oleh GLP-1……… 26

15 BRIN-BD11 pada hari ke 0……… 29

16 BRIN-BD11 pada hari ke-3... 29

17 BRIN-BD11 pada hari ke-7... 30

18 Foto tanaman sambiloto... 31

19 Rumus bangun andrografolid... 32

(13)

Halaman

20 Ilustrasi tahapan proses yang terjadi pada metode direct

Sandwich ELISA………..… 36

21 Sekresi insulin sebagai respons insulinotropik berbagai

kondisi pada BRIN-BD11 dalam media KRB-3…………... 56

22 Sekresi insulin sebagai respons insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11 dalam media glukosa 16.7 mM dan

diinkubasi 20 menit... 59

23 Efek insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11 dalam

media glukosa 1.11 mM dan diinkubasi selama 20 menit……….. 61

24 Efek insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11dalam media glukosa 16.7 mM dan 1.11 mM dan diinkubasi selama

20 menit... 62

25 Grafik sekresi insulin BRIN-BD 11 selama inkubasi 20 menit

dalam media KRB-1 dengan pemberian sambiloto... 64

26 Grafik double reciprocal plot dari respons insulinotropik

sambiloto pada BRIN-BD11 selama inkubasi 20 menit……..…. 65

27 Inhibisi respons insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11 oleh diazoxide dan verapamil dalam media glukosa 1.11 mM

dan inkubasi 20 menit... 69

28 Sekresi insulin BRIN-BD11 pada berbagai kondisi dalam

media glukosa 1.11 mM... 71

29 Efek insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11 pada

kondisi terdepolarisasi oleh KCl 25 meq dalam media KRB-1

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

(15)

Latar Belakang

Satu dari empat pilar penatalaksanaan diabetes melitus (DM), khususnya

DM tipe-2 adalah terapi medikamentosa, termasuk terapi herbal. Obat antidiabetes

oral (OAD) termasuk herbal, sebaiknya tidak hanya diketahui manfaat dalam

kendali glikemiknya saja, tetapi sangat penting diketahui target organ serta

mekanisme kerja obat tersebut. Anjuran ini didasarkan pada kenyataan bahwa

tidak semua OAD bersifat hipoglikemik, hanya golongan insulin sekretagog saja

yang dikenal sebagai bahan yang bersifat hipoglikemik. Suatu bahan yang

bermanfaat sebagai antidiabetes haruslah bersifat paling tidak salah satu dari

mekanisme atau termasuk dalam salah satu kategori di bawah ini:

1. Insulin sekretagog, yaitu bersifat insulinotropik atau dapat memicu sekresi

insulin terutama fase cepat, seperti yang dimiliki oleh semua jenis

sulfonilurea dan glinid. Obat golongan ini terutama memperbaiki

hiperglikemia prandial, dan sesuai dengan sifatnya yang memperbaiki

sekresi insulin, maka golongan ini, terutama yang termasuk dalam masa

kerja menengah, potensial mencetuskan kejadian hipoglikemia.

2. Menekan produksi glukosa oleh hati (Hepatic Glucose Production) seperti

yang dimiliki oleh biguanid. Golongan ini tidak memperbaiki sekresi insulin,

tetapi lebih bersifat menghambat produksi glukosa hati, sehingga manfaat

yang terlihat adalah perbaikan profil glukosa darah puasa, dan tidak

potensial mencetuskan hipoglikemia. Dengan perbaikan glukosa darah puasa

tentunya akan diikuti perbaikan glukosa prandial, dengan asumsi bahwa

defek sekresi insulin fase cepat masih mampu mengatasi lonjakan beban

glukosa.

3. Menghambat enzim glukosidase α. Aktivitas obat golongan ini menghambat enzim yang memecah polisakarida menjadi di- dan mono-sakarida dalam

lumen usus, sehingga dapat memperlambat absorbsi glukosa dari saluran

cerna. Dengan demikian dapat mengurangi lonjakan kadar glukosa darah

prandial. Sudah tentu obat golongan ini tidak akan bermanfaat sama sekali

(16)

disakarida seperti glukosa, fruktosa ataupun sukrosa. Sampai saat ini baru

ada satu jenis OAD dalam golongan ini yaitu akarbose. Sebetulnya secara

alamiah, kandungan yang tinggi dari serat tidak larut dalam air di dalam

makanan juga mempunyai sifat yang sama dalam menghambat absorbsi

glukosa, tetapi tidak berhubungan dengan mekanisme kerja enzim

glukosidase α.

4. Insulin sensitizer. Golongan ini merupakan golongan OAD terbaru yang

dapat memperbaiki resistensi insulin, terutama di jaringan otot, lemak dan

juga di hati seperti yang dimiliki golongan tiazolidindion. Golongan ini tidak

secara langsung menurunkan gukosa darah seperti yang dimiliki oleh

sulfonilurea, tetapi melalui beberapa alur antara lain:

a. Menurunkan asam lemak bebas (Free Fatty Acid=FFA) dalam

sirkulasi darah, sehingga memperbaiki kinerja insulin pada organ

target.

b. Menurunkan berbagai sitokin inflamasi sekunder, terutama TNFα, akibat penurunan FFA dalam sirkulasi, yang juga berdampak pada

perbaikan kinerja insulin pada organ target, khususnya pada proses

autofosforilasi reseptor insulin. Dengan demikian terjadilah perbaikan

proses translokasi transporter glukosa isoform 4 (GLUT-4) yang

terganggu pada DM tipe-2.

c. Agonis PPAR γ yang dapat memperbaiki transkripsi GLUT-4 di

jaringan otot dan lemak, sehingga dapat memperbaiki gangguan

transport glukosa ke dalam sel yang terjadi pada DM tipe-2.

Semua hal tersebut di atas bersifat memperbaiki kerja insulin, baik di

jaringan lemak, otot dan hati serta pada sel β pankreas itu sendiri. Dengan demikian obat golongan ini bekerja tanpa meningkatkan sekresi insulin,

tetapi memperbaiki kinerja insulin pada organ target seperti otot, lemak dan

hati. Obat golongan ini tidak potensial mencetuskan hipoglikemia, tetapi

karena mekanisme kerjanya secara tidak langsung, maka efek terapetik

penurunan glukosa darah biasanya baru terlihat setelah sekitar 14 hari. Di

(17)

tiasolidindion dapat memperbaiki kapasitas kandungan granul insulin dalam

sel β pankreas, dan efek ini tidak terjadi pada pemberian sulfonilurea maupun metformin.

Sampai saat ini, golongan OAD terbanyak yang beredar di seluruh dunia

adalah golongan insulin sekretagog yang sangat bermanfaat dalam memperbaiki

defek sekresi insulin fase cepat pada DM tipe-2, seperti sulfonilurea turunan dari

sulfonamid. Sifat hipoglikemik dari senyawa ini ditemukan secara tidak sengaja

oleh Janbon dan kawan-kawan di Sekolah Kedokteran Montpelier, Perancis.

Pemberian sulafonamid pada pengobatan demam tifoid secara oral menimbulkan

kematian dan setelah diteliti lebih jauh kematian tersebut diakibatkan oleh

penurunan gula darah yang sangat cepat. Dari situ lahirlah generasi pertama obat

oral antidiabetes turunan sulfanilamid yakni tolbutamid, disusul oleh glibenklamid

dan sampai sekarang masih turunan sulfonilurea akan tetapi lebih canggih dalam

mekanisme penanganan penurunan gula darah seperti glimeperid. Sulfonilurea

bertahan sampai sekarang sejak diketemukannya pada tahun 1942 (Bryan &

Aguilar-Bryan, 2000). Sebelum diketemukannya antidiabetes turunan sulfonilurea,

pengobatan menggunakan herbal juga telah banyak dilakukan. Pengobatan herbal

banyak yang berkhasiat akan tetapi banyak juga yang hanya berupa mitologi, oleh

karena itu penelitian mekanisme kerja antidiabetes herbal perlu dilakukan.

Memahami mekanisme kerja antidiabetes memerlukan pengetahuan tentang

penggolongan OAD, tetapi sangat disayangkan pengetahuan penggolongan OAD

tersebut tidak banyak diketahui oleh tenaga medis, khususnya yang tidak

mendalami diabetes. Ketidaktahuan tentang golongan OAD atau herbal tersebut,

potensial menyebabkan kekurangtepatan dalam perencanaan terapi kombinasi.

Penggunaan kombinasi OAD dan/atau herbal yang mempunyai organ target yang

sama, khususnya golongan insulin sekretagog sudah tentu akan lebih cepat

menurunkan kadar glukosa darah, tetapi juga potensial terjadi hipoglikemia yang

berkepanjangan. Di samping itu, penggunaan golongan insulin sekretagog secara

bersamaan dalam penggunaan kombinasi OAD, tanpa disadari akan meningkatkan

(18)

glukosa darah yang optimal, tanpa harus terjadi peningkatan sekresi insulin secara

berlebihan, sehingga beban sel β pankreas dapat dikurangi. Agar terhindar dari pemberian dua atau lebih OAD dan/atau herbal yang memiliki mekanisme kerja

serta target organ yang sama, perlu diketahui betul mekanisme kerja dan organ

target dari berbagai OAD dan herbal tersebut.

Berbagai tanaman yang berkhasiat obat, khususnya sebagai antidiabetes

telah banyak dipergunakan orang dan diteliti efek hipoglikemiknya (Grover et al,

2002, Yaniv et al, 1987). Pada umumnya penelitian yang dilakukan bersifat

penelitian klinis dengan mengamati pengaruh berbagai bahan tradisional terhadap

penurunan kadar glukosa darah, baik pada tikus DM yang diberi Streptozotosin

(Gray & Flatt, 1998c, Gray & Flatt, 1998a, Babu & Stanely Mainzen Prince, 2004,

Bhattacharya et al, 1997), aloksan (Kar et al, 2003, Noor & Ashcroft, 1989, Noor

et al, 1989), tikus Wistar normal ataupun tikus diabetes Goto-Kakizaki (Hoa et al,

2004), kelinci DM yang diberi aloksan (Andayani YWR, 2002, Hasan, 1993)

ataupun langsung pada penderita DM tipe-2 (Shekhar et al, 2002). Ada pula

penelitian yang menilai pengaruh protektif biji klabet, terhadap kerusakan sel β pankreas akibat pemberian aloksan (Widowati et al, 2005). Minimnya informasi

mekanisme kerja herbal antidiabetes terlihat pada banyaknya kombinasi herbal

antidiabetes yang beredar di pasaran yang hanya mengemukakan kekuatan

kombinasi herbal tersebut sebagai agen hipoglikemik tanpa berpikir pengaruh

jangka panjangnya, seperti potensial hipoglikemia, ataupun beban sel β pankreas yang diperkirakan dapat menimbulkan gagal sekunder yang lebih dini.

Bratawali (Tinospora crispa) telah terbukti bersifat insulinotropik (Noor &

Ashcroft, 1989, Noor & Ashcroft, 1998, Noor et al, 1989, Kiranadi, 1990).

Kiranadi (1990) mendapatkan bahwa bratawali tidak menimbulkan aktivitas

elektrik pada sel β pankreas, sehingga diambil kesimpulan bahwa bratawali tidak bekerja pada kanal K+ATP, tetapi melalui alur yang lain (Kiranadi, 1990). Noor

(1998) pada penelitiannya secara in vitro dengan menggunakan sel lestari

penghasil insulin HIT-T15, memang mendapatkan bahwa selama inkubasi 60

menit, bratawali bersifat insulin sekretagog, tetapi tidak terlihat adanya aktivitas

kanal K+ATP, yang ditunjukkan oleh tidak adanya efluks 86Rb. Pada penelitian

(19)

bratawali. Dengan demikian sangat mungkin bratawali memang bersifat

meningkatkan efisiensi ion kalsium intraselular dalam proses sekresi insulin.

Penelitian klinis di Thailand juga menunjukkan kegagalan terapi bratawali pada

penderita DM tipe-2 yang sudah tidak respons terhadap obat antidiabetes oral

yang menolak suntik insulin, bahkan efek samping perburukan fungsi hati dalam

kurun waktu 6 bulan (Sangsuwan et al, 2004). Ini tidak serta merta menunjukkan

bahwa bratawali tidak bermanfaat sebagai antidiabetes, tetapi lebih tepat

dikatakan bahwa bratawali tidak bermanfaat bagi DM dalam fase gagal sekunder,

mengingat pemilihan sampel adalah kelompok gagal sekunder, yang tentunya

tidak akan terlihat respon perbaikan glukosa darah, bila herbal tersebut bekerja

sebagai insulin sekretagog, jadi tergantung pada ketepatan pemilihan sampelnya

(Darmansyah, 2002). Kegagalan serupa juga beberapa kali terjadi dalam

penelitian klinis herbal antidiabetes di Indonesia, seperti penggunaan serbuk

sambiloto dan pare (unpublished).

Penelitian di Departemen Nutrisi Manusia, Institut Pertanian, Peshawar,

Pakistan (Departmen of Human Nutrition, NWFP Agricultural University)

menunjukkan penurunan glukosa puasa, trigliserida, kolesterol total dan kolesterol

LDL pada penderita DM tipe-2 bila diberi 1, 3 dan 6 gr serbuk kayu manis

(Cinnamomum casia) selama 20 sampai 40 hari (Khan et al, 2003).

Jamur Agaricus campestris (Gray & Flatt, 1998c), dan Viscum album

(mistletoe) (Gray & Flatt, 1999) juga terbukti bersifat insulinotropik pada sel

lestari penghasil insulin BRIN-BD11, yang serupa dengan mekanisme kerja

sulfonilurea sehingga kedua herbal tersebut bisa digolongkan ke dalam insulin

sekretagog, karena mampu meningkatkan sekresi insulin dalam waktu 20 menit.

Pada penelitian ini sangat mungkin kedua jenis herbal tersebut bekerja pada kanal

K+ATP, karena efek insulinotropik yang terjadi terhambat oleh pemberian 0,5 mM

diazoxide sebagai antagonis kanal K+ATP.

Buncis juga sudah terbukti mempunyai pengaruh menurunkan glukosa darah

pada kelinci DM aloksan, tetapi belum diketahui secara pasti mekanisme kerjanya

(Andayani YWR, 2002). Perlu diperhatikan penggunaan aloksan sebagai zat

diabetogenik, karena ada laporan yang mengatakan bahwa aloksan bersifat

(20)

Sambiloto (Andrographis paniculata) sudah terbukti dapat menurunkan

glukosa darah, baik pada tikus DM yang diberi streptozotosin (Mafauzy et al,

2002, Niki et al, 2003, Nunemaker et al, 2004, Zhang & Tan, 2000) maupun pada

kelinci DM yang diberi Streptozotosin (Borhanuddin et al, 1994), akan tetapi pada

penelitian tersebut belum dipelajari lebih lanjut bagaimana mekanisme kerja dari

sambiloto tersebut dalam menurunkan glukosa darah.

Dari penelitian tersebut di atas, ada beberapa dugaan mekanisme kerja

sambiloto sebagai antidiabetes, antara lain:

1. Hambatan absorbsi glukosa dari usus. Kesimpulan ini didapat dari penelitian

yang mengamati pencegahan hiperglikemia pada kelinci nondiabetik yang

diberi beban glukosa 2 mg/kgBB secara oral dan diberi minum ekstrak air

sambiloto dengan dosis 10 mg/kgBB, tetapi pencegahan hiperglikemia tidak

terjadi pada kelinci yang diberi adrenalin (Borhanuddin et al, 1994).

2. Perbaikan metabolisme glukosa. Kesimpulan ini diambil dari penelitian

yang mendapatkan penurunan glukosa darah pada tikus diabetes yang diberi

STZ dengan pemberian ekstrak alkohol sambiloto 0,1 sampai 0,4 g/kgBB.

Penurunan glukosa darah puasa terlihat setelah hari ke 14 dan hal ini serupa

dengan pemberian metformin sebagai pembanding positif. Efek penurunan

glukosa darah tidak terlihat pada tikus normal. Pada penelitian ini juga tidak

menunjukkan perbedaan kadar insulin di antara tikus normal dan DM STZ

yang diberi sambiloto maupun metformin. Di samping itu terlihat penurunan

kadar trigliserida puasa sebesar 49,8% pada tikus yang diberi sambiloto,

dibanding 27,7% pada tikus yang diberi metformin (Zhang & Tan, 2000)

3. Perbaikan resistensi insulin. Kesimpulan ini didapat dari penelitian yang

mengamati penurunan glukosa darah pada tikus diabetik STZ dengan

pemberian sambiloto secara oral. Berbeda dengan penelitian Zhang (2000),

penelitian ini menunjukkan hambatan peningkatan glukosa darah pada test

toleransi glukosa intravena pada tikus normal yang diberi 1,5 mg/kgBB

sambiloto. Di samping itu terlihat peningkatan ambilan glukosa pada otot

(21)

dan peningkatan mRNA transporter glukosa isoform-4 (GLUT-4) (Niki et al,

2003).

Sampai saat ini belum ada penelitian pengaruh sambiloto pada sel β pankreas sebagai herbal antidiabetes. Dengan mengetahui lebih jauh pengaruh

sambiloto pada sel β pankreas, maka penggolongan sambiloto sebagai antidiabetes akan lebih jelas dan memudahkan para dokter apabila merencanakan terapi

kombinasi multifarmasi, termasuk kombinasi dengan herbal, tanpa menambah

beban sel β pankreas, sehingga dapat meminimalisasi kejadian hipoglikemia dan diharapkan dapat menunda terjadinya gagal sekunder yang terjadi secara dini.

Tujuan dan Kegunaan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari:

1. Pengaruh insulinotropik sambiloto pada sel β pankreas, dan bila terbukti, penelitian dilanjutkan dengan

2. Mempelajari pengaruh sambiloto pada sekresi insulin fase akut, dan

bila terbukti, penelitian dilanjutkan dengan

3. Mekanisme kerja sambiloto sebagai insulin sekretagog.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan informasi

pengetahuan kepada kalangan medis dan awam tentang cara penggunaan

sambiloto yang tepat dan aman sebagai herbal antidiabetes yang murah, mudah

didapat dan terjangkau oleh masyarakat luas, untuk mencapai kendali glukosa

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Diabetes melitus tipe-2, merupakan sindroma yang disebabkan oleh

resistensi insulin atau terganggunya sensitivitas insulin pada jaringan otot, lemak

dan hati, serta defek sekresi insulin, terutama defek sekresi insulin fase cepat oleh

sel β pankreas. Dari gangguan tersebut di atas, defek sekresi insulin merupakan penyebab terjadinya hiperglikemia yang berkepanjangan. Gangguan sensitivitas

insulin, atau yang dikenal sebagai resistensi insulin sudah terjadi 1 – 2 dekade

sebelum terjadinya hiperglikemia (DeFronzo et al, 1992, Gerich, 2003). Defek

sekresi insulin sel β pankreas yang dicetuskan oleh asupan glukosa ke dalam sel β pankreas, diduga kuat disebabkan oleh terganggunya fungsi mitokondria sebagai

sumber produksi ATP (Lowell & Shulman, 2005, Maassen et al, 2004)

Sekresi insulin fase lambat Sekresi insulin fase cepat

Waktu (jam)

Insulin

(n

g

/mL/

is

let

)

11.1 mM glukosa

Gambar 1 Ilustrasi pola sekresi insulin pada pulau Langerhans pankreas yang

diinkubasi dalam larutan glukosa 11 mM (Grodsky 2000).

Pada penelitian in vitro, sel β pankreas normal yang diinkubasi dalam media yang mengandung glukosa dengan konsentrasi 11 mM selama 24 jam secara terus

menerus, menunjukkan pola sekresi insulin bifasik (gambar 1), yaitu diawali

dengan sekresi fase cepat yang terjadi pada 5-10 menit pertama setelah terpapar

glukosa dengan konsentrasi 11 mM, yang selanjutnya diikuti oleh sekresi fase

(23)

penurunan sekresi insulin hingga mencapai sekresi minimal, yang dikenal sebagai

sekresi basal (Grodsky, 1989, Rorsman et al., 2000, Grodsky, 2000).

Fenomena ini sangat erat hubungannya dengan interaksi yang sangat kompleks

dari beberapa komponen sel, antara lain:

1. Kompleks ATP-dependent potassium channel (K+ATP), yang berperan dalam

proses depolarisasi membran sel β pankreas secara fisiologis (Aguilar-Bryan & Bryan, 1999).

2. Kanal ion kalsium (Ca2+channel), khususnya VDCC (Voltage Dependent

Calcium Channels) tipe-L, yang berperan dalam proses influks ion kalsium

ke dalam sel β pankreas, sebagai pencetus sekresi insulin, (Nunemaker et al, 2004, Schulla et al, 2003, Garcia-Barrado et al, 1996).

3. Ultra-struktur granul insulin yang menggambarkan distribusi granul insulin

di dalam sitosol, yang berperan dalam terjadinya sekresi insulin dengan pola

bifasik (Daniel et al, 1999, Rorsman & Renstrom, 2003).

ATP-Dependent Potassium Channel (K+ATP)

ATP-Dependent Potassium Channel (K+ATP), merupakan alat yang sangat

penting dalam proses sekresi insulin, karena merupakan penghubung utama antara

proses metabolik dan sekresi insulin, melalui aktivitas elektrik membran, atau

terjadinya depolarisasi membran sel β pankreas (Bryan & Aguilar-Bryan, 1997). Peran K+ATP ini sangat penting dalam proses sekresi insulin, dan bisa dianggap

sebagai inisiator fisiologis dalam rangkaian proses sekresi atau eksositosis granul

insulin, karena proses fisiologis sekresi insulin yang dicetuskan oleh glukosa

selalu diawali inhibisi kanal K+ATP ini. Besarnya peran K+ATP ini juga terlihat dari

begitu besarnya jumlah kanal K+ATP pada sel β pankreas, yaitu sekitar 103 sampai

104 dalam satu sel. Untuk dapat menjalankan fungsi tersebut di atas, K+ATPterletak

pada daerah granul insulin (Geng et al, 2003), bahkan K+ATP sebagai sensor ATP

terletak dalam satu tempat dengan kanal ion kalsium (VDCC), sensor cAMP dan

(24)

Membran plasma

Gambar 2 Ilustrasi ATP-dependent K+ channel (K+ATP)(Bryan & Aguilar-Bryan, 2000).

K+ATP adalah sebuah kompleks protein berbentuk tetramer dari 4 unit, di

mana masing masing unit terdiri atas 2 subunit, yaitu reseptor sulfonilurea

(SUR-X), sebuah protein yang termasuk dalam superfamili ATP-binding cassette (ABC)

dan kanal ion kalium KIR6.x (Potassium inward rectifier) (Aguilar-Bryan et al,

1995, Aguilar-Bryan & Bryan, 1999, Aguilar-Bryan et al, 2001, Aguilar-Bryan et

al, 1998) (gambar 2). Subunit SUR-X mempunyai isoform SUR1 dan SUR2 yang

dibedakan dari afinitasnya terhadap sulfonilurea, sedangkan SUR2A dan SUR2B

dibedakan dari afinitasnya terhadap diazoxide (Aguilar-Bryan & Bryan, 1999,

Babenko et al, 1998, Inagaki et al, 1995, Bryan & Aguilar-Bryan, 2000). K+ATP

ini tidak hanya terdapat pada sel β pankreas saja, tetapi juga tersebar di berbagai jenis sel, dengan perbedaan komponen SUR, termasuk di sel α pankreas dan berfungsi sebagai regulator sekresi glukagon (Gromada et al, 2004).

K+ATP dengan komponen SUR1 dan KIR6.2, mempunyai afinitas tinggi

terhadap sulfonilurea, terutama diketemukan pada sel β pankreas. K+ATP dengan

SUR2A dan KIR6.2, mempunyai afinitas lebih rendah terhadap sulfonilurea,

(25)

SUR2B dan KIR6.1 atau KIR6.2 banyak diketemukan di jaringan otot polos

(Babenko et al, 1998, Aguilar-Bryan et al, 2001, Bryan & Aguilar-Bryan, 2000).

Reseptor ATP terletak pada subunit KIR6.2,sedangkan reseptor sulfonilurea

dan diazoxide terletak pada subunit SUR-1 (gambar 3). Dalam kondisi istirahat,

kanal K+ATP pada sel β pankreas selalu dalam keadaan terbuka, yang

memungkinkan ion kalium keluar menuju ekstraselular untuk mempertahankan

konsentrasi kalium intraselular sekitar 130 mM dan konsentrasi ekstraselular 4 – 5

mM. Berbeda dengan sel otot, khususnya otot jantung, K+ATP dengan komponen

SUR2A dan KIR6.2 selalu dalam keadaan tertutup, dan terbuka bila dalam kondisi

iskemia.

Gambar 3 Ilustrasi kompleks ATP-dependent potassium channel (K+ATP)

(MacDonald & Wheeler, 2003)).

glibenklamid glibenklamid

Dalam keadaan istirahat, atau tanpa adanya peningkatan glukosa, pergeseran

ion kalium menuju kompartemen ekstraselular akan menimbulkan potensial

membran (resting membrane potential) sekitar -70 sampai -60 mV. Bila kadar

glukosa dalam media inkubasi ditingkatkan sampai sekitar 7 mM, maka sudah

akan terlihat peningkatan tegangan listrik membran atau sudah mulai terjadi

depolarisasi, tetapi belum mencapai ambang untuk mencetuskan aktivitas elektrik

membran. Aktivitas elektrik sel β pankreas baru terlihat bila glukosa ditingkatkan lebih tinggi sampai konsentrasi 11 mM, di mana terjadi depolarisasi yang lebih

(26)

yaitu sekitar –50 mV. Depolarisasi membran ini terjadi karena terhentinya

pergeseran ion kalium dari intra-selular menuju ektra-selular, akibat tertutupnya

kanal K+ATP (Mears & Atwater, 2000).

Gambar 4 Aktivitas elektrik sel β pakreas. (Mears & Atwater, 2000)

Peningkatan rasio ATP/ADP akibat metabolisme glukosa akan

menyebabkan terjadinya ikatan antara ATP dengan reseptornya pada subunit

KIR6.2 dan terjadilah inhibisi atau penutupan kanal K+ATP. Inhibisi K+ATP ini

menyebabkan depolarisasi atau terjadinya perubahan potensial membran menjadi

sekitar -30 mV sampai -40 mV yang berdampak pada terbukanya kanal ion

kalsium VDCC (gambar 4). Proses yang sama juga bisa terjadi bila berbagai

golongan sulfonilurea berikatan dengan reseptornya pada subunit SUR-1.

Sebaliknya akan terjadi aktivasi kanal K+ATP bila diazoxide berikatan dengan

reseptornya pada subunit SUR-1 yang mengakibatkan kanal K+ATP tetap terbuka,

sehingga tidak terjadi depolarisasi membran, yang selanjutnya tidak terjadi

aktivitas elektrik membran, dengan demikian tidak terjadi proses sekresi insulin,

(27)

gliburid

Gambar 5 Aktivitas elektrik sel β pankreas pada pemberian sulfonilurea (gliburid) dan diazoxide (Mears & Atwater, 2000)

Kanal ion kalsium (Ca2+ channels)

Ion kalsium sebagai intracellular (2nd) messenger, sangat vital dalam

berbagai fungsi sel, termasuk sekresi insulin oleh sel β pankreas. Untuk menjamin kestabilan konsentrasi ion kalsium intraselular, diperlukan kanal ion kalsium

untuk masuk ke dalam sel, dan transporter ataupun penukar ion kalsium untuk

membawa ion kalsium keluar dari sitosol ke kompartemen ekstraselular

(Belkacemi et al, 2005). Ion kalsium masuk ke dalam sel melalui 3 pintu, yaitu:

1. VDCC, Voltage-Dependent Calcium Channel.

2. Transient Receptor Potential (TRP)-related Ca2+ channel, dan

3. SOC, Store-operated Ca2+ channel.

Sedangkan untuk membawa ion kalsium keluar dari sitosol diperlukan bantuan:

1. PMCA (Plasma membrane Ca2+-ATPase), Kalsium-ATPase membran

plasma

(28)

VDCC (Voltage dependent calcium channels).

VDCC merupakan kanal influks kalsium yang paling banyak dipelajari, dan

mempunyai peran sangat penting dari berbagai sel dengan berbagai fungsi,

termasuk fungsi sekresi insulin sel β pankreas (Nunemaker et al, 2004).

Gambar 6 Ilustrasi kanal kalsium yang bergantung tegangan lsitrik membran

tipe-L (VDCC=voltage-dependent calcium channel; DHP=letak reseptor

dihidropiridin; +++ = voltage-sensor) (MacDonald & Wheeler, 2003))

Sampai saat ini, berdasarkan kekuatan arus listrik yang diperlukan untuk

aktivasi kanal kalsium tersebut, dikenal 3 subfamili (Catterall et al, 2003), yaitu

antara lain:

1. L-type high voltage-activated (HVA) Ca2+ channel, atau VDCC tipe-L, yang

untuk aktivasinya diperlukan depolarisasi kuat, dan aktivasinya cukup lama,

serta dapat dihambat oleh antagonis Tipe-L seperti dihidropiridin,

fenilalkilamin dan benzothiazepine. Tipe-L ini terdiri atas CaV1.1, 1.2, 1.3

dan 1.4, banyak terdapat di jaringan otot dalam fungsi kontraksi dan sel

endokrin dalam fungsi sekresi hormon. Tipe-L, khususnya CaV1.2 inilah

yang sangat berperan pada proses sekresi insulin fase cepat (Schulla et al,

2003). Kanal kalsium tipe ini akan terbuka atau teraktivasi bila ada

peningkatan tegangan listrik membran (depolarisasi), hal ini dimungkinkan

karena VDCC tipe-L mempunyai sensor tegangan listrik (voltage-sensor)

(29)

ini tidak hanya terjadi akibat penutupan kanal K+ATP semata, tetapi bisa juga

dicetuskan oleh kondisi lain, seperti asam amino L-arginina atau kondisi

artifisial dengan menambahkan 25 meq kalium ke dalam media inkubasi.

Asam amino L-arginina yang bermuatan positif dapat menembus membran

sel, sekaligus menyebabkan terjadinya depolarisasi yang cukup kuat untuk

membuka VDCC tipe-L ini. Penambahan 25 meq KCl ke dalam media

inkubasi dapat mengaktivasi VDCC tipe-L karena perubahan konsentrasi ion

kalium ekstraselular akan menyebabkan terjadinya depolarisasi membran

sampai mencapai tegangan listrik sekitar sampai -30 mV, yang mampu

membuka hampir semua VDCC tipe-L. Perhitungan ini didapat dari

persamaan Nernst: E= -58 log [K]o/[K]i. (E=perbedaan tegangan) (Hille,

1984)

2. Non-L-type HVA channel, terdiri atas 3 subfamili, CaV2.1 (tipe-P/Q), CaV2.2

(tipe-N), dan CaV2.3 (Tipe-R), yang untuk aktivasinya juga diperlukan

depolarisasi yang kuat, tetapi tidak terhambat oleh antagonis tipe-L,

terutama terdapat pada jaringan syaraf atau neuron dalam proses

neurotransmisi. CaV2.3 sangat berperan pada proses sekresi insulin fase

lambat, khususnya pada penambahan granul insulin pada posisi RRP (Jing et

al, 2005).

3. Low voltage-activated (LVA) T-type Ca2+ channel (Tipe T), terdiri atas

CaV3.1, 3.2 dan 3.3 yang untuk aktivasinya diperlukan depolarisasi lemah,

dan aktivasinya hanya sesaat saja, serta tidak terhambat oleh antagonis

tipe-L dan Tipe-N, P/Q serta R. Walaupun belum jelas perannya dalam sekresi

insulin, Tipe-T inipun juga terdapat pada sel β pankreas (Zhuang et al, 2000)

Sesuai dengan fungsinya sebagai komponen yang berperan dalam sekresi insulin,

VDCC tipe-L ini berkedudukan sangat berdekatan atau berdampingan dengan

granul insulin yang sudah dalam posisi docked (Eliasson et al, 1996). Jumlah

(30)

insulin, khususnya sekresi fase cepat (Schulla et al, 2003), sedangkan fase ke dua

atau fase lambat dipengaruhi oleh keberadaan CaV2.3 (Jing et al, 2005).

Ultrastruktur granul insulin.

Di dalam sitosol sel β pankreas mencit, tersebar sekitar 9.000 – 10.000 granul insulin. Ditinjau dari jarak antara granul dengan membran sel, posisi granul

insulin yang sudah dekat dengan membran sel, dapat dikelompokkan ke dalam 2

posisi, yaitu granul cadangan dan granul yang siap untuk disekresikan (gambar 7).

Granul insulin cadangan berada dalam posisi hampir menempel pada membran sel

(almost docked), berjumlah sekitar 2000 granul, terletak pada jarak kurang dari

0,2 μm dari membran sel, sedangkan granul yang siap disekresikan berada dalam posisi sudah menempel pada membran sel (docked) berjumlah sekitar 650 granul.

[image:30.595.111.453.408.734.2]

Almost docked docked

(31)

Granul insulin dalam posisi sudah menempel pada membran sel (docked) ini

dikelompokkan lagi ke dalam 2 bagian (Bratanova-Tochkova et al, 2002,

Olofsson et al, 2002, Rorsman & Renstrom, 2003), yaitu:

1. Readily Release Pool (RRP), berjumlah sekitar 50 granul, adalah posisi

granul insulin yang sudah menempel atau lebih tepat dikatakan terkait pada

membran sel, yang betul-betul siap untuk disekresikan dan kelompok RRP

inilah yang bertanggung jawab terjadinya sekresi insulin fase cepat (Barg et

al, 2002) (gambar 8).

Insulin

y

a

ng disekresi / 1

sel

beta

[image:31.595.127.505.268.458.2]

glukosa

Gambar 8 Ilustrasi pola sekresi insulin dan pool granul (Rorsman 2003).

Granul insulin dalam posisi RRP ini terkait pada membran sel akibat

bergabungnya 4 protein SNARE (gambar 9), yang membentuk sebuah

kompleks protein, yaitu:

a. Synaptobrevin-2/VAMP-2 (berada pada dinding granul), dengan

b. Syntaxin, SNAP-25 dan Synaptotagmin (berada pada membran sel)

Kompleks SNARE ini sangat berperan, baik dalam proses penggabungan

granul insulin dengan membran sel maupun terjaminnya influks ion kalsium

(Ca2+) ke dalam suatu area yang sangat dekat dengan granul insulin yang

siap disekresikan. Fungsi ini bisa terlaksana karena Syntaxin, SNAP-25 dan

(32)

kalsium VDCC tipe-L yang berfungsi sebagai pintu gerbang masuknya Ca2+

ke dalam sitosol (gambar 9) (Daniel et al, 1999). Dari berbagai penelitian,

ditunjukkan bahwa gangguan sekresi insulin fase cepat inilah yang

merupakan defek awal pada DM tipe-2 (Fukushima et al, 2004a, Fukushima

[image:32.595.152.500.223.353.2]

et al, 2004b, Hosker et al, 1989, Nesher et al, 1987).

Gambar 9 Ilustrasi protein SNARE, granul insulin dan VDCC tipe-L dalam

posisi docked, dan proses eksositosis insulin (Daniel et al, 1999)

2. Sekitar 600 granul akan bertanggung jawab terhadap terjadinya sekresi

insulin fase lambat selama sekitar 2 jam, dengan kecepatan sekresi sekitar 5

granul tiap menit (Bratanova-Tochkova et al, 2002).

Fisiologi Sekresi Insulin

Untuk mempelajari mekanisme kerja obat atau herbal yang bersifat

insulinotropik atau insulin sekretagog, diperlukan pengenalan fisiologi sekresi

insulin secara lebih mendalam. Regulasi sekresi insulin dipengaruhi oleh berbagai

faktor yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori (Masharani et al, 2004,

(33)

1. Stimulan sekresi insulin secara langsung (direct stimulant insulin release),

seperti glukosa, manosa, asam amino leusin, arginina, stimulasi vagal, dan

obat obat golongan sekretagog insulin sulfonilurea dan glinid, yang dapat

mencetuskan rangkaian proses sehingga terjadi sekresi insulin secara

langsung karena dapat mencetuskan terjadinya depolarisasi membran secara

langsung, baik dengan atau tanpa melibatkan K+ATP (Doyle & Egan, 2003).

2. Penguat sekresi insulin (amplifiers of glucose-induced insulin release),

adalah berbagai zat yang dapat meningkatkan sekresi insulin yang telah

diawali oleh glukosa, jadi tanpa glukosa bahan dalam golongan ini tidak bisa

mencetuskan sekresi insulin. Adapun bahan-bahan yang tergolong dalam

kelompok ini adalah sebagai berikut:

a. Hormon enterik seperti Glucagon-like peptide-1 (GLP-1), Gastric

Inhibitory Peptide (GIP), Cholesistokinin, Sekretin dan Gastrin

b. Neural amplifier : stimulasi adrenergik β dan kolinergik c. Asam amino arginina.

3. Penghambat sekresi insulin (inhibitors of insulin release) (Sieg et al, 2004)

a. neural : pengaruh adrenergik α dari katekolamin b. humoral : somatostatin

c. obat-obat: diazoxide, phenytoin, vinblastin, colchicine.

Sampai sebelum tahun 2004, mekanisme sekresi insulin oleh glukosa secara

fisiologis dapat digambarkan sebagai berikut. Setelah glukosa masuk ke dalam sel β pankreas melalui transporter glukosa isoform-2 (GLUT-2), oleh enzim glukokinase / heksokinase, akan diubah menjadi glukosa-6 fosfat (G6P) dan

selanjutnya terjadilah proses pembentukan ATP. Alam memberikan kemampuan

sel β pankreas dengan sistem transport glukosa yang sangat baik. Sistem transport ini diperankan oleh transporter glukosa isoform-2 (GLUT–2) yang tidak

bergantung pada keberadaan insulin, dan selalu siap dipermukaan membran sel.

Transporter ini aktif dengan Km 5.5 mM/L, dan glukokinase juga mempunyai Km

(34)

dipergunakan untuk menangani peningkatan glukosa dalam sirkulasi dalam

konsentrasi yang tinggi dan perubahan yang cepat seperti yang terjadi pada

keadaan sehabis makan, atau kondisi prandial. Di samping glukokinase, sel juga

mempunyai kelengkapan enzim Heksokinase dengan nilai Km sebesar 0.01 mM/L.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa fungsi heksokinase lebih ke arah pemeliharaan

sel dalam menjaga energi β sel (gambar 11)

SUR

AC

epinefrin norepinefrin syaraf

parasimpatis

AC

galanin somatostatin

GLP-1

leusina

VIP

Ach

PI

IP3 IP3R

DAG

PKC

cAMP

cAMP PKA

GS GS

GI GI

(-)

(+)

Sulfonilurea Diazoxide

K+

GIP

arginina metabolisme

depolarisasi medula adrenal

[image:34.595.100.487.248.559.2]

syaraf simpatis

Gambar 10 Ilustrasi berbagai faktor yang dapat mempengaruhi sekresi insulin,

baik stimulator maupun inhibitor (Weir et al, 2000).

Rangkaian reaksi proses sekresi insulin oleh glukosa ini dapat dikelompokkan

dalam beberapa tahap (Newgard & Johnson, 2000):

1. Tahap 1: tahap peningkatan rasio ATP/ADP, yang dapat terjadi melalui 3

(35)

a. Produksi dari glikolisis dari triose-fosfat menjadi piruvat (sumber ATP

dari alur ini tidak cukup untuk terjadinya inhibisi kanal K+ATP)

b. Proses perubahan reduced nicotinamide dinucleotide phosphate

(NADH) dalam mitokondria, ini merupakan sumber ATP terbesar

dalam rangkaian proses sekresi insulin. Hal ini diperkuat dengan

penelitian yang mendapatkan adanya inhibisi sekresi insulin pada

penggunaan asam bongkrek sebagai inhibitorATP/ADP translokase di

dalam mitokondria (Kiranadi et al, 1991)

[image:35.595.107.486.304.642.2]

c. Oksidasi piruvat dalam mitokondria.

Gambar 11 Skema tiga sumber pembentukan ATP yang berasal dari alur

metabolisme glukosa dalam rangkaian regulasi sekresi insulin yang

difasilitasi oleh glukosa pada sel β pankreas (Newgard & Johnson, 2000)

glukosa

GLUT-2

glukosa

glukokinase / heksokinase

G6P

Triose-P gliserol-P

Piruvat

TCA

NADH

ATP ADP

ATP1

ATP2

ATP3

FADH

Ca2+ Ca2+

K+

(36)

2. Tahap 2: Inhibisi K+ATP. Peningkatan rasio ATP/ADP akan diikuti terikatnya

ATP dengan reseptornya pada subunit KIR6.2 yang mengakibatkan inhibisi

atau penutupan kanal K+ATP.

3. Tahap 3: Penutupan kanal K+ATP akan meningkatkan terhentinya pergeseran

ion kalium dari intra menuju ekstraselular. Kondisi ini menyebabkan

terjadinya depolarisasi membran dan tegangan listrik membran sel akan

meningkat dari sekitar -70 mV menjadi sekitar -40 mV, sehingga melampaui

ambang aktivitas elektrik membran yaitu sekitar – 50 mV.

ATP/ADP

K

+ATP

(-)

SU (-)

glukosa

(+)

VDCC

sekresi

insulin

Depolarisasi

membran

repolarisasi

Ca2+

(+)

(+) (+)

(-)

[image:36.595.99.462.287.663.2]

K

V

Gambar 12 Ilustrasi tahapan proses fisiologik sekresi insulin oleh sel β pankreas. Terlihat terjadinya aktivasi VDCC dan KV akibat depolarisasi secara

bersamaan. Aktivasi KV terjadi sedikit lebih lambat dibanding

(37)

4. Tahap 4: Aktivasi VDCC tipe-L. Depolarisasi membran sel yang

meningkatkan potensial membran sekitar -40 mV akan diikuti dengan

aktivasi atau terbukanya kanal kalsium VDCC tipe-L yang memungkinkan

masuknya ion kalsium (Ca2+) ke dalam sitosol. Bersamaan dengan aktivasi

VDCC tipe-L, depolarisasi juga mengakibatkan aktivasi atau terbukanya

voltage dependent potassium channels (KV), tetapi proses ini terjadi sedikit

lebih lambat dibanding dengan aktivasi VDCC. Aktivasi KV ini akan

memungkinkan masuknya kembali ion kalium ke dalam sitosol, sehingga

terjadi repolarisasi kembali tegangan listrik membran sel (gambar 12).

5. Perubahan konsentrasi ion kalsium intraselular [Ca2+]i selanjutnya

mencetuskan proses eksositosis atau sekresi insulin dari sekitar 50 granul

insulin yang sudah dalam posisi RRP dalam waktu yang bersamaan dan

terjadilah sekresi insulin fase cepat.

6. Posisi RRP yang sudah mengalami eksositosis akan digantikan oleh granul

cadangan, dengan kecepatan eksositosis sekitar 5 granul tiap menit. Proses

pergeseran granul insulin ini mutlak memerlukan energi yang berasal dari

metabolisme glukosa, tanpa metabolisme glukosa tidak terjadi pengisian

posisi RRP yang sudah kosong tersebut yang berdampak pada tidak

terjadinya sekresi insulin fase lambat.

Henquin (2004) menyempurnakan teori tersebut di atas dan ada beberapa

perubahan yang mendasar tentang sekresi insulin. Sekresi insulin terjadi karena

adanya suatu kompleks alur yang dapat dikelompokkan ke dalam dua alur pokok,

yaitu triggering dan amplifying pathway (gambar13). Triggering pathway ditandai

dengan terbukanya kanal kalsium VDCC setelah membran sel mengalami

depolarisasi, dan secara fisiologis, sekresi insulin baru bisa terjadi bila diperkuat

oleh amplifying pathway. Triggering pathway yang didahului penutupan kanal

K+ATP, disebut sebagai K+ATP-dependent triggering pathway. Dalam berbagai

penelitian terbukti bahwa sekresi insulin juga dapat dicetuskan oleh berbagai

faktor eksternal, seperti asam amino tertentu, berbagai zat yang bekerja sebagai

insulin sekretagog, serta aktivitas yang menyebabkan depolarisasi membran sel,

(38)

langsung (Herchuelz et al, 1984, Weinhaus et al, 1997). Karena zat tersebut dapat

menyebabkan depolarisasi membran tanpa melalui inhibisi kanal K+ATP, maka alur

tersebut dikenal sebagai K+ATP-independent triggering pathway (Henquin, 2004,

Bratanova-Tochkova et al, 2002).

SUR 1 Kir 6.2 SUR 1 Kir 6.2 glukosa metabolisme 1

nutrien

K

+

ATP ADP messenger lain Triggering pathway

Ca

2+

Ca

2+ 3

-+

amplifying pathway amplifying pathway

sekresi insulin

2 4 4

arginin

6

?

?

?

α2-adr GLP-1

+

+

-5

+

-Henquin, Diabetes (53) Suppl 3; 2004

[image:38.595.109.516.200.502.2]

VGCC

Gambar 13 Skema fisiologi sekresi insulin serta lokasi potensial tempat bekerjanya berbagai obat insulin sekretagog pada sel β pankreas (Henquin, 2004).

Glukosa sebagai stimulan langsung sekresi insulin, tidak hanya berpengaruh

baik pada triggering pathway saja, karena secara fisiologis triggering pathway

saja, tidak akan cukup untuk mencetuskan sekresi insulin, tetapi juga bekerja pada

amplifying pathway melalui alur metabolisme yang menghasilkan penambahan

peningkatan rasio ATP/ADP, dan pengaktifan second (2nd) messenger.

Henquin (2004) menjelaskan sangat rinci tentang adanya 6 lokasi potensial

tempat bekerjanya berbagai obat golongan insulin sekretagog (gambar 13).

(39)

golongan insulin sekretagog akan menjadi sangat jelas, dan dapat dipakai untuk

mengidentifikasi salah satu dari 6 lokasi tempat bekerja obat tersebut.

Lokasi-1 adalah lokasi yang dapat menstimulasi metabolisme sel β pankreas melalui aktivasi glukokinase, inhibisi glukosa-6-fosfatase, sumber energi alternatif

dan inhibisi Na+/Ca2+ exchanger di mitokondria. Lokasi-2 adalah lokasi yang

dapat meningkatkan kalsium sitosol [Ca2+]i dengan cara inhibisi kanal K+ATP, baik

melalui interaksi dengan subunit SUR-1 ataupun KIR6.2. Lokasi-3 adalah lokasi

yang juga dapat meningkatkan kalsium sitosol [Ca2+]I, tetapi tidak melalui kanal

K+ATP melainkan dengan inhibisi kanal kalium lainnya, aktivasi kanal kalsium,

bekerja pada kanal ion lain dan inhibisi proses yang menurunkan ion kalsium

sitosol [Ca2+]i. Lokasi-4 merupakan lokasi terjadinya amplifikasi amplifying

pathway melalui aktivasi dari proses amplifikasi yang dimediasi oleh nutrien

selain glukosa, inhibisi AMP-kinase, inhibisi 11β-hidroksisteroid dehidrogenase tipe-1, sensitisasi ion kalsium, inhibisi degradasi cAMP dan aktivasi PKC

pathway. Lokasi-5 merupakan lokasi yang berhubungan dengan reseptor membran

sel, seperti antagonis reseptor inhibitorik ataupun agonis reseptor stimulatorik.

Lokasi-6 merupakan lokasi yang berhubungan dengan reseptor pada inti sel.

Henquin (2004) juga sangat jelas memperlihatkan mekanisme kerja

Glucagon like peptide-1 (GLP-1) yang bersifat penguat sekresi insulin yang

difasilitasi oleh glukosa. GLP-1 bersifat glucose dependent, karena tanpa glukosa

tidak akan terjadi inisiasi triggering pathway. Terlihat jelas GLP-1 dapat

meningkatkan efisiensi [Ca2+]i yang dicetuskan oleh triggering pathway pada

lokasi 3 dan meningkatkan efisiensi amplifying pathway pada lokasi 4. Hal ini

memperkuat teori sebelumnya yang mengemukakan bahwa GLP-1 bekerja dengan

prinsip mekanisme cross talk pada proses sekresi insulin yaitu dengan

memperkuat inhibisi kanal K+ATP dan aktivasi VDCC oleh protein kinase A (PKA)

yang terbentuk setelah GLP-1 berikatan dengan reseptornya di membran sel β pankreas. Inhibisi kanal K+ATP dan aktivasi VDCC oleh PKA tidak secara

langsung, tetapi memperkuat alur yang difasilitasi oleh glukosa sehingga disebut

pula sebagai glucose competenceconcept. Teori ini mengemukakan bahwa GLP-1

(40)

pathway (Habener, 2000). Henquin (2004) memperbaiki teori tersebut di atas,

[image:40.595.132.440.172.474.2]

dengan memperjelas mekanisme kerja GLP-1, seperti dalam gambar 13.

Gambar 14 Peran Potassium dependent channel (Kv2.1) dalam mekanisme

glucose compentence concept oleh GLP-1 (MacDonald & Wheeler,

2003).

Pada penjelasan di atas, belum diketahui secara pasti bagaimana PKA dapat

memperkuat aktivasi VDCC. McDonald (2003) memperjelas mekanisme ini.

Setelah GLP-1 berikatan dengan reseptornya pada membrane sel β, akan terjadi aktivasi protein G oleh GLP-1, selanjutnya akan diikuti aktivasi adenilsiklase

(AC) sebagai enzim yang mengaktifkan cAMP. Terbentuknya cAMP akan diikuti

oleh aktivasi protein kinase A (PKA) yang bersifat inhibitor kanal Kv2.1 (Voltage

dependent potassium channels). Inhibisi ini juga terjadi pada alur metabolisme

(41)

meningkatkan rasio NADPH/NADP+. Inhibisi KV2.1 ini, akan memperkuat

depolarisasi yang terjadi akibat inhibisi K+ATP oleh metabolisme glukosa, jadi

GLP-1 tidak langsung bekerja pada VDCC. Proses inilah yang dimaksud sebagai

kerja GLP-1 dalam memperkuat alur amplifying pathway (gambar 14). Dari

penelitian terdahulu, diketemukan adanya penurunan efektifitas, penurunan

sekresi GLP-1 pada DM tipe-2 (Nauck et al, 1986). Dengan penjelasan tersebut

dapat dimengerti bahwa salah satu sebab terganggunya sekresi insulin fase cepat

adalah kurangnya dukungan yang memperkuat alur triggering dan amplifying

pathway oleh GLP-1.

BRIN-BD11

BRIN-BD11 adalah salah satu jenis sel lestari penghasil insulin (clonal

glucose-responsive insulin-secreting cell) yang cukup stabil, dan mempunyai sifat

yang mendekati fisiologi sel β pankreas. BRIN-BD11 dapat dipergunakan untuk berbagai penelitian yang berhubungan dengan sekresi insulin, dan dapat

mengatasi beberapa keterbatasan pada penggunaan islet cell yang diisolasi dari

pankreas tikus atau mencit seperti kesulitan teknis isolasi islet Langerhans,

heterogenisitas selular dan hormonal dari islet, dan penurunan produksi insulin

secara cepat dalam kondisi kultur jaringan.

BRIN-BD11 dibentuk dari proses fusi-elektrik (electrofusion) dari RINm5F

dan pancreatic islet cells tikus New England Deaconess Hospital (NEDH). Dari

proses ini dihasilkan tiga jenis sel lestari penghasil insulin, yaitu BRIN-BG5,

BRIN-BG7 dan BRIN-BD11. Di antara ketiga jenis sel tersebut, BRIN-BD11

mempunyai tingkat respons yang paling baik terhadap perbedaan konsentrasi

glukosa, karena mempunyai kandungan GLUT-2 dan glukokinase yang terbanyak

(McClenaghan & Flatt, 2000, McClenaghan et al, 1996).

Secara morfologi, BRIN-BD11 tumbuh sebagai sel monolayer pada kultur

sel dengan sifat epiteloid, yang cukup stabil walaupun sudah mengalami lebih dari

50 passage (McClenaghan et al, 1996).

BRIN-BD11 pernah dicoba untuk ditransplantasikan ke tikus diabetes yang

diberi streptosotozin, ternyata memberikan perbaikan glukosa darah hingga

(42)

yang diambil kembali dari tempat transplan dan dilakukan kultur ulang,

menunjukkan perbaikan respons sekresi insulin dari BRIN-BD11 tersebut (Davies

et al, 2001).

Dibanding dengan sel lestari penghasil insulin lain seperti RIN5mF,

HIT-T15, dan INS, BRIN-BD 11 mempunyai sifat yang paling mendekati sel β pankreas walaupun INS mempunyai kandungan granul insulin paling banyak.

BRIN-BD11 mempunyai sensitivitas terhadap glukosa dengan menunjukkan

perbedaan respons sekresi insulin pada berbagai konsentrasi glukosa, sedangkan

yang lainnya tidak (Akbarsha et al, 1990). Profil metabolisme BRIN-BD11 juga

lebih baik dibanding dengan sel induknya RIN5mF (Rasschaert et al, 1996).

Mekanisme glucose sensing dimiliki oleh BRIN-BD11, karena mempunyai

kelengkapan GLUT-2 dan rasio glukokinase/heksokinase yang tinggi, serta

kandungan insulin sekitar 77 ng/106 sel, jauh lebih tinggi dibanding dengan sel

induknya RINm5F yang hanya mempunyai kandungan insulin sekitar 0,6 ng/106

sel. Secara dinamika, BRIN-BD11 mampu menunjukkan pola sekresi insulin fase

cepat dengan puncak sekresi pada menit ke 2 setelah kadar glukosa media

ditingkatkan dari 1,1 mM menjadi 16,7 mM. Sekresi insulin akut oleh

BRIN-BD11 pada media dengan kadar glukosa 16,7 mM selama 20 menit menunjukkan

peningkatan sebesar 1,4 kali dibanding inkubasi pada media dengan kadar glukosa

1,11 mM. Sekresi insulin ini dapat dihambat oleh 0,5 mM diazoxide dan

sebaliknya terjadi peningkatan tajam, sekitar 9 kali pada pemberian 25 mM KCl

(McClenaghan et al, 1996).

Media terbaik yang dapat dipakai untuk pemeliharaan adalah RPMI 1640,

dengan kadar glukosa 11,1 mM, dan sekresi insulin terbaik setelah 10 hari

inkubasi (Akbarsha et al, 1990). Jumlah sel berkembang biak menjadi 2 kali lipat

dalam kurun waktu 20 jam.

BRIN-BD11 juga telah dipakai di berbagai pusat penelitian, yang

berhubungan dengan efek insulinotropik berbagai herbal seperti jamur Agaricus

campestris (Gray & Flatt, 1998c), Eucalyptus globulus (Gray & Flatt, 1998c),

Medicago sativa (Gray & Flatt, 1997), Agrimony eupatria (Gray & Flatt, 1998a).

BRIN-BD11 juga dapat dipakai untuk mempelajari pengaruh berbagai obat pada

(43)

Kamagate et al, 2002) bahkan dapat pula mempelajari berbagai metabolisme dan

fisiologi sel β pankreas (Welters et al, 2004, Rasschaert et al, 1996, McClenaghan et al, 1996)

[image:43.595.147.474.155.397.2]

Gambar 15 BRIN-BD11 pada hari ke 0, sesaat setelah dipindahkan ke botol pada proses subkultur (Pemotretan gambar 16 – 18 dilakukan tanpa skala, dengan inverted microscope).

[image:43.595.148.474.472.720.2]
(44)
[image:44.595.148.476.98.350.2]

Gambar 17 BRIN-BD11 pada hari ke-7 dalam proses kultur

Sambiloto (Andrographis paniculata)

Sambiloto adalah nama di daerah Jawa Tengah, Sunda: Ki oray, Melayu :

Sambilata, Maluku: pepaitan dan Malaysia: Hempedu Bumi. Sambiloto dalam

klasifikasi sistem Engler termasuk dalam divisi : Embryophyta siphonogama,

Subdivisi: Angiospermae, Kelas Dicotyledonae, Bangsa Tubiflorae, Suku

Acanthaceae serta Marga: Andrographis. Menurut klasifikasi modern (Integrated

Sistem of Classification) termasuk divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida,

anak kelas Asteridae, bangsa Scrophulariales dan suku Acanthaceae. Sambiloto

termasuk tanaman Herba, semusim, tinggi + 35 - 90 cm. Batang berkayu, pangkal

bulat, masih muda berbentuk segi empat setelah tua bulat, percabangan

monopodial, hijau. Daun tunggal bulat telur, bersilang berhadapan pangkal dan

ujung runcing, tepi rata, panjang + 5 cm, lebar + 1,5 cm., pertulangan menyirip,

(45)
[image:45.595.122.503.83.258.2]

Gambar 18 Foto tanaman sambiloto (Andrographis paniculata) umur tanam 30

hari (kiri), 60 hari (tengah) dan 90 hari (kanan) setelah dipindahkan

dari tempat persemaian. Foto diambil di rumah kaca BALITRO

Daun sambiloto mengandung saponin, flavonoid dan tanin (Hanan, 1996).

Kandungan aktif dari sambiloto adalah antara lain andrografolid (AP1) (gambar

19), 14-deoksi-11,12 didehidroandrografolid (AP3) dan neo-andrografolid (AP4)

yang rasanya sangat pahit (Pholphana et al, 2004). Kandungan andrografolid

mencapai 2,5 – 4,6% dari bobot kering. Andrografolid sangat mudah diabsorbsi

melalui saluran cerna, dan hampir seluruhnya diabsorbsi pada pemberian oral

pada tikus. Sebagian besar andrografolid (55%) terikat pada albumin dalam

sirkulasi, dan sedikit dalam keadaan bebas, sehingga hanya sedikit yang bisa

masuk ke dalam sel. Konsentrasi maksimum yang dapat dicapai dalam sirkulasi

darah setelah pemberian 20 mg andrografolid peroral pada manusia 393 ng/mL

atau sekitar 1,12 μM andrografolid. Konsentrasi tertinggi tercapai dalam 90 sampai 120 menit setelah pemberian andrografolid peroral. Waktu paruh

andrografolid sekitar 6,6 jam (Panossian et al, 2000).

Ditinjau dari aspek toksikologi, berdasarkan kriteria Gleason, sambiloto

termasuk ke dalam golongan yang Practically Non Toxic, mengingat dosis toksik

akut (LD50 ) sebesar 71,27 mg/10 gBB. Efek toksisitas yang terlihat adalah

(46)
[image:46.595.190.374.120.328.2]

Gambar 19 Rumus bangun andrografolid;

3,14,19-trihidroksi-8(17),12-labdadien-16,15-0lide; C20H30O5 (BM:350.454)

Manfaat klinis sambiloto

Sambiloto berkhasiat sebagai obat berbagai jenis penyakit antara lain

demam, penyakit kulit, kencing manis, diuretika, antialergi, antitukak lambung

radang telinga dan obat masuk angin.

Berbagai pengaruh sambiloto yang telah dibuktikan antara lain, pemberian

20 mg serbuk kering daun sambiloto ke pada tikus albino selama 60 hari dapat

menyebabkan depresi spermatogenesis sebagai dampak dari sifat sambiloto

sebagai antiandrogen (Akbarsha et al, 1990).

Pada penelitian yang membandingkan ekstrak sambiloto (A. paniculata

nees) dengan minyak ikan, terihat bahwa ekstrak sambiloto tersebut bersifat

anti-arteriosklerosis dan mencegah restenosis pasca angioplasti, sedangkan minyak

ikan tidak mempunyai sifat tersebut (Inagaki et al, 1996).

Sifat inhibisi kanal kalsium juga terlihat pada penelitian yang menggunakan

ekstrak kering daun sambiloto. Pada konsentrasi 0.4 mg/mL dalam media inkubasi

vasa deferens tikus, terlihat inhibisi influks ion kalsium secara total (Burgos et al,

(47)

kering sambiloto dengan konsentrasi 0.4 mg/mL pada media inkubasi uterus tikus

(Burgos et al, 2001).

Fraksi etanol dari serbuk kering daun sambiloto ternyata juga bersifat

antihistamin, sehingga dapat dipertimbangkan sebagai herbal antialergi (Aldi et al,

1996).

Sambiloto juga mempunyai sifat antimikrobial, termasuk antimalaria.

Serbuk daun sambiloto dapat menghilangkan gejala subyektif infeksi saluran

nafas bagian atas sederhana (Coon & Ernst, 2004). Empat jenis Xanthones yang

dihasilkan dari ekstraksi akar sambiloto, ternyata terbukti dapat menurunkan

derajat parasitemia Plasmodium berghei pada mencit Swiss Albino sampai

sebesar 62% pada pemberian oral dengan konsentrasi 30 mg/kgBB (Dua et al,

2004), sedangkan ekstrak daun sambiloto yang dibuat infus, tidak mempunyai

pengaruh sebagai antimalaria (Dzulkarnaen et al, 1996). Dari fakta tersebut di atas,

dapat disimpulkan bahwa daun dan akar sambiloto mempunyai perbedaan

komponen kandungan bahan aktif sehingga mempunyai manfaat klinis yang

berbeda pula.

Manfaat sambiloto dalam dunia diabetes.

Di samping begitu banyak manfaat klinis sambiloto, baik daun maupun

akarnya, ternyata daun sambiloto juga mempunyai peranan dalam dunia diabetes.

Sudah cukup banyak penelitian-penelitian hewan yang membuktikan bahwa daun

sambiloto bermanfaat dalam perbaikan profil glukosa darah.

Pada tahun 1994, Borhanudin mendapatkan bahwa pemberian ekstrak air

daun sambiloto dengan konsentrasi 10 mg/kgBB pada kelinci diabetes, dapat

mencegah peningkatan glukosa darah pada pemberian 2 mg/kgBB glukosa peroral,

tetapi tidak bisa mencegah kenaikan glukosa darah yang diakibatkan oleh

adrenalin. Di samping itu pada pemberian jangka panjang sekitar 6 minggu,

sambiloto juga tidak menunjukkan pengaruh dalam penurunan glukosa darah

puasa. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ektrak air daun sambiloto berperan

(48)

Pemberian peroral ekstrak etanol daun sambiloto dengan konsentrasi 0.1 –

0.4 g/kgBB dapat memperbaiki profil glukosa darah tikus diabetes-STZ sebanding

dengan pemberian 0.5 g/kgBB metformin, tetapi tidak terlihat adanya perbedaan

kadar insulin darah, baik pada kelompok kontrol, metformin maupun sambiloto.

Dari penelitian tersebut diambil simpulan bahwa perbaikan profil glukosa darah

disebabkan oleh perbaikan metabolisme glukosa. Pada penelitian ini, juga terlihat

keunggulan sambiloto dalam memperbaiki kadar trigliserida darah, di mana pada

pemberian sambiloto terjadi penurunan trigliserida sebesar 49.8%, sedangkan

metformin hanya menurunkan trigliserida darah sebesar 27.7% (Zhang & Tan,

2000).

Penelitian lanjutan menunjukkan bahwa di samping memperbaiki profil

glukosa darah pada tikus diabetes-STZ, ekstrak etanol daun sambiloto juga

bersifat antioksidan. Dibanding dengan metformin, perbaikan oksidatif stres

bukanlah disebabkan oleh perbaikan glukosa darah semata, tetapi oleh sambiloto,

karena perbaikan glukosa darah oleh metformin pada penelitian yang sama tidak

menunjukkan perbaikan oksidatif stres tersebut (Nunemaker et al, 2004).

Mafauzy (2002) melanjutkan penelitian tentang manfaat sambiloto pada

tikus diabetes-STZ. Secara keseluruhan terlihat adanya penurunan glukosa darah

dan penurunan angka kematian tikus diabetes-STZ pada pemberian sambiloto

peroral, baik dalam bentuk serbuk kering dengan konsentrasi 1 g/kgBB, maupun

ekstrak etanol dengan konsentrasi 2 mg/kgBB (Mafauzy et al, 2002), hasil yang

sama juga ditunjukkan penelitian yang serupa, hanya perbedaan konsentrasi

serbuk sambiloto sebesar 0.5 mg/kgBB dan konsentrasi ekstrak yang dilakukan

dengan metode freez-dried sebesar 6.25 mg/kg BB (Husen et al, 2004). Kedua

penelitian ini tidak menjelaskan lebih rinci tentang kesetaraan antara ekstra

Gambar

Gambar 1   Ilustrasi pola sekresi insulin pada pulau Langerhans pankreas yang
Gambar 2  Ilustrasi ATP-dependent K+ channel (K+ATP) (Bryan & Aguilar-Bryan, 2000).
Gambar 4   Aktivitas elektrik sel β pakreas.    (Mears & Atwater, 2000)
Gambar 5  Aktivitas elektrik sel β pankreas pada pemberian sulfonilurea
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan variasi konsentrasi PVP terhadap sifat fisik granul dan tablet ekstrak etanolik sambiloto. Ekstrak sambiloto

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kenaikkan konsentrasi bahan pengikat PGA berpengaruh terhadap sifat fisik tablet ekstrak etanolik daun sambiloto antara lain kekerasan tablet