• Tidak ada hasil yang ditemukan

(-) SU (-)

glukosa

(+)

VDCC

sekresi

insulin

Depolarisasi membran repolarisasi Ca2+ (+) (+) (+) (-)

K

V

Gambar 12 Ilustrasi tahapan proses fisiologik sekresi insulin oleh sel β pankreas. Terlihat terjadinya aktivasi VDCC dan KV akibat depolarisasi secara bersamaan. Aktivasi KV terjadi sedikit lebih lambat dibanding aktivasi VDCC (MacDonald & Wheeler, 2003)

4. Tahap 4: Aktivasi VDCC tipe-L. Depolarisasi membran sel yang meningkatkan potensial membran sekitar -40 mV akan diikuti dengan aktivasi atau terbukanya kanal kalsium VDCC tipe-L yang memungkinkan masuknya ion kalsium (Ca2+) ke dalam sitosol. Bersamaan dengan aktivasi VDCC tipe-L, depolarisasi juga mengakibatkan aktivasi atau terbukanya voltage dependent potassium channels (KV), tetapi proses ini terjadi sedikit

lebih lambat dibanding dengan aktivasi VDCC. Aktivasi KV ini akan

memungkinkan masuknya kembali ion kalium ke dalam sitosol, sehingga terjadi repolarisasi kembali tegangan listrik membran sel (gambar 12).

5. Perubahan konsentrasi ion kalsium intraselular [Ca2+]i selanjutnya mencetuskan proses eksositosis atau sekresi insulin dari sekitar 50 granul insulin yang sudah dalam posisi RRP dalam waktu yang bersamaan dan terjadilah sekresi insulin fase cepat.

6. Posisi RRP yang sudah mengalami eksositosis akan digantikan oleh granul cadangan, dengan kecepatan eksositosis sekitar 5 granul tiap menit. Proses pergeseran granul insulin ini mutlak memerlukan energi yang berasal dari metabolisme glukosa, tanpa metabolisme glukosa tidak terjadi pengisian posisi RRP yang sudah kosong tersebut yang berdampak pada tidak terjadinya sekresi insulin fase lambat.

Henquin (2004) menyempurnakan teori tersebut di atas dan ada beberapa perubahan yang mendasar tentang sekresi insulin. Sekresi insulin terjadi karena adanya suatu kompleks alur yang dapat dikelompokkan ke dalam dua alur pokok, yaitu triggering dan amplifying pathway (gambar13). Triggering pathway ditandai dengan terbukanya kanal kalsium VDCC setelah membran sel mengalami depolarisasi, dan secara fisiologis, sekresi insulin baru bisa terjadi bila diperkuat oleh amplifying pathway. Triggering pathway yang didahului penutupan kanal K+ATP, disebut sebagai K+ATP-dependent triggering pathway. Dalam berbagai

penelitian terbukti bahwa sekresi insulin juga dapat dicetuskan oleh berbagai faktor eksternal, seperti asam amino tertentu, berbagai zat yang bekerja sebagai insulin sekretagog, serta aktivitas yang menyebabkan depolarisasi membran sel, seperti asam amino L-arginina yang dimasukkan dalam kelompok stimulan

langsung (Herchuelz et al, 1984, Weinhaus et al, 1997). Karena zat tersebut dapat menyebabkan depolarisasi membran tanpa melalui inhibisi kanal K+ATP, maka alur

tersebut dikenal sebagai K+ATP-independent triggering pathway (Henquin, 2004,

Bratanova-Tochkova et al, 2002). SUR 1 Kir 6.2 SUR 1 Kir 6.2 glukosa metabolisme 1

nutrien

K+

ATP ADP messenger lain Triggering pathway

Ca

2+

Ca

2+ 3

-

+

amplifying pathway amplifying pathway

sekresi insulin

2 4 4

arginin

6

?

?

?

α2-adr GLP-1

+

+

-

-

5

+

-

Henquin, Diabetes (53) Suppl 3; 2004

VGCC

Gambar 13 Skema fisiologi sekresi insulin serta lokasi potensial tempat bekerjanya berbagai obat insulin sekretagog pada sel β pankreas (Henquin, 2004).

Glukosa sebagai stimulan langsung sekresi insulin, tidak hanya berpengaruh baik pada triggering pathway saja, karena secara fisiologis triggering pathway saja, tidak akan cukup untuk mencetuskan sekresi insulin, tetapi juga bekerja pada amplifying pathway melalui alur metabolisme yang menghasilkan penambahan peningkatan rasio ATP/ADP, dan pengaktifan second (2nd) messenger.

Henquin (2004) menjelaskan sangat rinci tentang adanya 6 lokasi potensial tempat bekerjanya berbagai obat golongan insulin sekretagog (gambar 13). Dengan berpedoman pada teori ini, maka penelitian mekanisme kerja obat

golongan insulin sekretagog akan menjadi sangat jelas, dan dapat dipakai untuk mengidentifikasi salah satu dari 6 lokasi tempat bekerja obat tersebut.

Lokasi-1 adalah lokasi yang dapat menstimulasi metabolisme sel β pankreas melalui aktivasi glukokinase, inhibisi glukosa-6-fosfatase, sumber energi alternatif dan inhibisi Na+/Ca2+ exchanger di mitokondria. Lokasi-2 adalah lokasi yang dapat meningkatkan kalsium sitosol [Ca2+]i dengan cara inhibisi kanal K+ATP, baik

melalui interaksi dengan subunit SUR-1 ataupun KIR6.2. Lokasi-3 adalah lokasi

yang juga dapat meningkatkan kalsium sitosol [Ca2+]I, tetapi tidak melalui kanal K+ATP melainkan dengan inhibisi kanal kalium lainnya, aktivasi kanal kalsium,

bekerja pada kanal ion lain dan inhibisi proses yang menurunkan ion kalsium sitosol [Ca2+]i. Lokasi-4 merupakan lokasi terjadinya amplifikasi amplifying pathway melalui aktivasi dari proses amplifikasi yang dimediasi oleh nutrien selain glukosa, inhibisi AMP-kinase, inhibisi 11β-hidroksisteroid dehidrogenase tipe-1, sensitisasi ion kalsium, inhibisi degradasi cAMP dan aktivasi PKC pathway. Lokasi-5 merupakan lokasi yang berhubungan dengan reseptor membran sel, seperti antagonis reseptor inhibitorik ataupun agonis reseptor stimulatorik. Lokasi-6 merupakan lokasi yang berhubungan dengan reseptor pada inti sel.

Henquin (2004) juga sangat jelas memperlihatkan mekanisme kerja Glucagon like peptide-1 (GLP-1) yang bersifat penguat sekresi insulin yang difasilitasi oleh glukosa. GLP-1 bersifat glucose dependent, karena tanpa glukosa tidak akan terjadi inisiasi triggering pathway. Terlihat jelas GLP-1 dapat meningkatkan efisiensi [Ca2+]i yang dicetuskan oleh triggering pathway pada lokasi 3 dan meningkatkan efisiensi amplifying pathway pada lokasi 4. Hal ini memperkuat teori sebelumnya yang mengemukakan bahwa GLP-1 bekerja dengan prinsip mekanisme cross talk pada proses sekresi insulin yaitu dengan memperkuat inhibisi kanal K+ATP dan aktivasi VDCC oleh protein kinase A (PKA)

yang terbentuk setelah GLP-1 berikatan dengan reseptornya di membran sel β pankreas. Inhibisi kanal K+ATP dan aktivasi VDCC oleh PKA tidak secara

langsung, tetapi memperkuat alur yang difasilitasi oleh glukosa sehingga disebut pula sebagai glucose competenceconcept. Teori ini mengemukakan bahwa GLP-1 bekerja sebagai penguat alur K+ATP-dependent triggering pathway dan amplifying

pathway (Habener, 2000). Henquin (2004) memperbaiki teori tersebut di atas, dengan memperjelas mekanisme kerja GLP-1, seperti dalam gambar 13.

Gambar 14 Peran Potassium dependent channel (Kv2.1) dalam mekanisme

glucose compentence concept oleh GLP-1 (MacDonald & Wheeler, 2003).

Pada penjelasan di atas, belum diketahui secara pasti bagaimana PKA dapat memperkuat aktivasi VDCC. McDonald (2003) memperjelas mekanisme ini. Setelah GLP-1 berikatan dengan reseptornya pada membrane sel β, akan terjadi aktivasi protein G oleh GLP-1, selanjutnya akan diikuti aktivasi adenilsiklase (AC) sebagai enzim yang mengaktifkan cAMP. Terbentuknya cAMP akan diikuti oleh aktivasi protein kinase A (PKA) yang bersifat inhibitor kanal Kv2.1 (Voltage dependent potassium channels). Inhibisi ini juga terjadi pada alur metabolisme secara fisiologis akibat terbentuknya NADPH oleh mitokondria yang dapat

meningkatkan rasio NADPH/NADP+. Inhibisi KV2.1 ini, akan memperkuat depolarisasi yang terjadi akibat inhibisi K+ATP oleh metabolisme glukosa, jadi

GLP-1 tidak langsung bekerja pada VDCC. Proses inilah yang dimaksud sebagai kerja GLP-1 dalam memperkuat alur amplifying pathway (gambar 14). Dari penelitian terdahulu, diketemukan adanya penurunan efektifitas, penurunan sekresi GLP-1 pada DM tipe-2 (Nauck et al, 1986). Dengan penjelasan tersebut dapat dimengerti bahwa salah satu sebab terganggunya sekresi insulin fase cepat adalah kurangnya dukungan yang memperkuat alur triggering dan amplifying pathway oleh GLP-1.

BRIN-BD11

BRIN-BD11 adalah salah satu jenis sel lestari penghasil insulin (clonal glucose-responsive insulin-secreting cell) yang cukup stabil, dan mempunyai sifat yang mendekati fisiologi sel β pankreas. BRIN-BD11 dapat dipergunakan untuk berbagai penelitian yang berhubungan dengan sekresi insulin, dan dapat mengatasi beberapa keterbatasan pada penggunaan islet cell yang diisolasi dari pankreas tikus atau mencit seperti kesulitan teknis isolasi islet Langerhans, heterogenisitas selular dan hormonal dari islet, dan penurunan produksi insulin secara cepat dalam kondisi kultur jaringan.

BRIN-BD11 dibentuk dari proses fusi-elektrik (electrofusion) dari RINm5F dan pancreatic islet cells tikus New England Deaconess Hospital (NEDH). Dari proses ini dihasilkan tiga jenis sel lestari penghasil insulin, yaitu BRIN-BG5, BRIN-BG7 dan BRIN-BD11. Di antara ketiga jenis sel tersebut, BRIN-BD11 mempunyai tingkat respons yang paling baik terhadap perbedaan konsentrasi glukosa, karena mempunyai kandungan GLUT-2 dan glukokinase yang terbanyak (McClenaghan & Flatt, 2000, McClenaghan et al, 1996).

Secara morfologi, BRIN-BD11 tumbuh sebagai sel monolayer pada kultur sel dengan sifat epiteloid, yang cukup stabil walaupun sudah mengalami lebih dari 50 passage (McClenaghan et al, 1996).

BRIN-BD11 pernah dicoba untuk ditransplantasikan ke tikus diabetes yang diberi streptosotozin, ternyata memberikan perbaikan glukosa darah hingga mencapai normoglikemia pada hari ke 7 sampai 20. Di samping itu BRIN-BD11

yang diambil kembali dari tempat transplan dan dilakukan kultur ulang, menunjukkan perbaikan respons sekresi insulin dari BRIN-BD11 tersebut (Davies et al, 2001).

Dibanding dengan sel lestari penghasil insulin lain seperti RIN5mF, HIT- T15, dan INS, BRIN-BD 11 mempunyai sifat yang paling mendekati sel β pankreas walaupun INS mempunyai kandungan granul insulin paling banyak. BRIN-BD11 mempunyai sensitivitas terhadap glukosa dengan menunjukkan perbedaan respons sekresi insulin pada berbagai konsentrasi glukosa, sedangkan yang lainnya tidak (Akbarsha et al, 1990). Profil metabolisme BRIN-BD11 juga lebih baik dibanding dengan sel induknya RIN5mF (Rasschaert et al, 1996).

Mekanisme glucose sensing dimiliki oleh BRIN-BD11, karena mempunyai kelengkapan GLUT-2 dan rasio glukokinase/heksokinase yang tinggi, serta kandungan insulin sekitar 77 ng/106 sel, jauh lebih tinggi dibanding dengan sel induknya RINm5F yang hanya mempunyai kandungan insulin sekitar 0,6 ng/106 sel. Secara dinamika, BRIN-BD11 mampu menunjukkan pola sekresi insulin fase cepat dengan puncak sekresi pada menit ke 2 setelah kadar glukosa media ditingkatkan dari 1,1 mM menjadi 16,7 mM. Sekresi insulin akut oleh BRIN- BD11 pada media dengan kadar glukosa 16,7 mM selama 20 menit menunjukkan peningkatan sebesar 1,4 kali dibanding inkubasi pada media dengan kadar glukosa 1,11 mM. Sekresi insulin ini dapat dihambat oleh 0,5 mM diazoxide dan sebaliknya terjadi peningkatan tajam, sekitar 9 kali pada pemberian 25 mM KCl (McClenaghan et al, 1996).

Media terbaik yang dapat dipakai untuk pemeliharaan adalah RPMI 1640, dengan kadar glukosa 11,1 mM, dan sekresi insulin terbaik setelah 10 hari inkubasi (Akbarsha et al, 1990). Jumlah sel berkembang biak menjadi 2 kali lipat dalam kurun waktu 20 jam.

BRIN-BD11 juga telah dipakai di berbagai pusat penelitian, yang berhubungan dengan efek insulinotropik berbagai herbal seperti jamur Agaricus campestris (Gray & Flatt, 1998c), Eucalyptus globulus (Gray & Flatt, 1998c), Medicago sativa (Gray & Flatt, 1997), Agrimony eupatria (Gray & Flatt, 1998a). BRIN-BD11 juga dapat dipakai untuk mempelajari pengaruh berbagai obat pada sel β pankreas (Ball et al, 2004, Ball et al, 2005, McClenaghan et al, 2001,

Kamagate et al, 2002) bahkan dapat pula mempelajari berbagai metabolisme dan fisiologi sel β pankreas (Welters et al, 2004, Rasschaert et al, 1996, McClenaghan et al, 1996)

Gambar 15 BRIN-BD11 pada hari ke 0, sesaat setelah dipindahkan ke botol pada proses subkultur (Pemotretan gambar 16 – 18 dilakukan tanpa skala, dengan inverted microscope).

Gambar 17 BRIN-BD11 pada hari ke-7 dalam proses kultur

Sambiloto (Andrographis paniculata)

Sambiloto adalah nama di daerah Jawa Tengah, Sunda: Ki oray, Melayu : Sambilata, Maluku: pepaitan dan Malaysia: Hempedu Bumi. Sambiloto dalam klasifikasi sistem Engler termasuk dalam divisi : Embryophyta siphonogama, Subdivisi: Angiospermae, Kelas Dicotyledonae, Bangsa Tubiflorae, Suku Acanthaceae serta Marga: Andrographis. Menurut klasifikasi modern (Integrated Sistem of Classification) termasuk divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, anak kelas Asteridae, bangsa Scrophulariales dan suku Acanthaceae. Sambiloto termasuk tanaman Herba, semusim, tinggi + 35 - 90 cm. Batang berkayu, pangkal bulat, masih muda berbentuk segi empat setelah tua bulat, percabangan monopodial, hijau. Daun tunggal bulat telur, bersilang berhadapan pangkal dan ujung runcing, tepi rata, panjang + 5 cm, lebar + 1,5 cm., pertulangan menyirip, panjang tangkai + 30 mm, hijau keputih putihan, hijau.

Gambar 18 Foto tanaman sambiloto (Andrographis paniculata) umur tanam 30 hari (kiri), 60 hari (tengah) dan 90 hari (kanan) setelah dipindahkan dari tempat persemaian. Foto diambil di rumah kaca BALITRO

Daun sambiloto mengandung saponin, flavonoid dan tanin (Hanan, 1996). Kandungan aktif dari sambiloto adalah antara lain andrografolid (AP1) (gambar 19), 14-deoksi-11,12 didehidroandrografolid (AP3) dan neo-andrografolid (AP4) yang rasanya sangat pahit (Pholphana et al, 2004). Kandungan andrografolid mencapai 2,5 – 4,6% dari bobot kering. Andrografolid sangat mudah diabsorbsi melalui saluran cerna, dan hampir seluruhnya diabsorbsi pada pemberian oral pada tikus. Sebagian besar andrografolid (55%) terikat pada albumin dalam sirkulasi, dan sedikit dalam keadaan bebas, sehingga hanya sedikit yang bisa masuk ke dalam sel. Konsentrasi maksimum yang dapat dicapai dalam sirkulasi darah setelah pemberian 20 mg andrografolid peroral pada manusia 393 ng/mL atau sekitar 1,12 μM andrografolid. Konsentrasi tertinggi tercapai dalam 90 sampai 120 menit setelah pemberian andrografolid peroral. Waktu paruh andrografolid sekitar 6,6 jam (Panossian et al, 2000).

Ditinjau dari aspek toksikologi, berdasarkan kriteria Gleason, sambiloto termasuk ke dalam golongan yang Practically Non Toxic, mengingat dosis toksik akut (LD50 ) sebesar 71,27 mg/10 gBB. Efek toksisitas yang terlihat adalah depresi susunan saraf pusat dan anggota gerak (Nuratmi et al, 1996).

Gambar 19 Rumus bangun andrografolid; 3,14,19-trihidroksi-8(17),12-labdadien- 16,15-0lide; C20H30O5 (BM:350.454)

Manfaat klinis sambiloto

Sambiloto berkhasiat sebagai obat berbagai jenis penyakit antara lain demam, penyakit kulit, kencing manis, diuretika, antialergi, antitukak lambung radang telinga dan obat masuk angin.

Berbagai pengaruh sambiloto yang telah dibuktikan antara lain, pemberian 20 mg serbuk kering daun sambiloto ke pada tikus albino selama 60 hari dapat menyebabkan depresi spermatogenesis sebagai dampak dari sifat sambiloto sebagai antiandrogen (Akbarsha et al, 1990).

Pada penelitian yang membandingkan ekstrak sambiloto (A. paniculata nees) dengan minyak ikan, terihat bahwa ekstrak sambiloto tersebut bersifat anti- arteriosklerosis dan mencegah restenosis pasca angioplasti, sedangkan minyak ikan tidak mempunyai sifat tersebut (Inagaki et al, 1996).

Sifat inhibisi kanal kalsium juga terlihat pada penelitian yang menggunakan ekstrak kering daun sambiloto. Pada konsentrasi 0.4 mg/mL dalam media inkubasi vasa deferens tikus, terlihat inhibisi influks ion kalsium secara total (Burgos et al, 2000), fenomena serupa juga terlihat pada penelitian yang menggunakan ekstrak

kering sambiloto dengan konsentrasi 0.4 mg/mL pada media inkubasi uterus tikus (Burgos et al, 2001).

Fraksi etanol dari serbuk kering daun sambiloto ternyata juga bersifat antihistamin, sehingga dapat dipertimbangkan sebagai herbal antialergi (Aldi et al, 1996).

Sambiloto juga mempunyai sifat antimikrobial, termasuk antimalaria. Serbuk daun sambiloto dapat menghilangkan gejala subyektif infeksi saluran nafas bagian atas sederhana (Coon & Ernst, 2004). Empat jenis Xanthones yang dihasilkan dari ekstraksi akar sambiloto, ternyata terbukti dapat menurunkan derajat parasitemia Plasmodium berghei pada mencit Swiss Albino sampai sebesar 62% pada pemberian oral dengan konsentrasi 30 mg/kgBB (Dua et al, 2004), sedangkan ekstrak daun sambiloto yang dibuat infus, tidak mempunyai pengaruh sebagai antimalaria (Dzulkarnaen et al, 1996). Dari fakta tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa daun dan akar sambiloto mempunyai perbedaan komponen kandungan bahan aktif sehingga mempunyai manfaat klinis yang berbeda pula.

Manfaat sambiloto dalam dunia diabetes.

Di samping begitu banyak manfaat klinis sambiloto, baik daun maupun akarnya, ternyata daun sambiloto juga mempunyai peranan dalam dunia diabetes. Sudah cukup banyak penelitian-penelitian hewan yang membuktikan bahwa daun sambiloto bermanfaat dalam perbaikan profil glukosa darah.

Pada tahun 1994, Borhanudin mendapatkan bahwa pemberian ekstrak air daun sambiloto dengan konsentrasi 10 mg/kgBB pada kelinci diabetes, dapat mencegah peningkatan glukosa darah pada pemberian 2 mg/kgBB glukosa peroral, tetapi tidak bisa mencegah kenaikan glukosa darah yang diakibatkan oleh adrenalin. Di samping itu pada pemberian jangka panjang sekitar 6 minggu, sambiloto juga tidak menunjukkan pengaruh dalam penurunan glukosa darah puasa. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ektrak air daun sambiloto berperan pada absorbsi glukosa dari saluran cerna (Borhanuddin et al, 1994).

Pemberian peroral ekstrak etanol daun sambiloto dengan konsentrasi 0.1 – 0.4 g/kgBB dapat memperbaiki profil glukosa darah tikus diabetes-STZ sebanding dengan pemberian 0.5 g/kgBB metformin, tetapi tidak terlihat adanya perbedaan kadar insulin darah, baik pada kelompok kontrol, metformin maupun sambiloto. Dari penelitian tersebut diambil simpulan bahwa perbaikan profil glukosa darah disebabkan oleh perbaikan metabolisme glukosa. Pada penelitian ini, juga terlihat keunggulan sambiloto dalam memperbaiki kadar trigliserida darah, di mana pada pemberian sambiloto terjadi penurunan trigliserida sebesar 49.8%, sedangkan metformin hanya menurunkan trigliserida darah sebesar 27.7% (Zhang & Tan, 2000).

Penelitian lanjutan menunjukkan bahwa di samping memperbaiki profil glukosa darah pada tikus diabetes-STZ, ekstrak etanol daun sambiloto juga bersifat antioksidan. Dibanding dengan metformin, perbaikan oksidatif stres bukanlah disebabkan oleh perbaikan glukosa darah semata, tetapi oleh sambiloto, karena perbaikan glukosa darah oleh metformin pada penelitian yang sama tidak menunjukkan perbaikan oksidatif stres tersebut (Nunemaker et al, 2004).

Mafauzy (2002) melanjutkan penelitian tentang manfaat sambiloto pada tikus diabetes-STZ. Secara keseluruhan terlihat adanya penurunan glukosa darah dan penurunan angka kematian tikus diabetes-STZ pada pemberian sambiloto peroral, baik dalam bentuk serbuk kering dengan konsentrasi 1 g/kgBB, maupun ekstrak etanol dengan konsentrasi 2 mg/kgBB (Mafauzy et al, 2002), hasil yang sama juga ditunjukkan penelitian yang serupa, hanya perbedaan konsentrasi serbuk sambiloto sebesar 0.5 mg/kgBB dan konsentrasi ekstrak yang dilakukan dengan metode freez-dried sebesar 6.25 mg/kg BB (Husen et al, 2004). Kedua penelitian ini tidak menjelaskan lebih rinci tentang kesetaraan antara ekstrak dan serbuk kering daun sambiloto, sehingga tidak bisa secara langsung membandingkan kekuatan antidiabetesnya.

Penelitian selanjutnya membuktikan bahwa sambiloto dalam bentuk andrograflid meningkatkan ambilan glukosa oleh jaringan otot melalui peningkatan transkripsi mRNA transporter glukosa isoform-4 (GLUT-4) (Niki et al, 2003), dan aktivasi reseptor adrenergik α-1 (Hsu et al, 2004).

Berdasarkan fakta dari berbagai penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa baik serbuk kering daun sambiloto, ekstrak air, ekstrak etanol serta andrografolid itu sendiri, bermanfaat dalam menurunkan kadar glukosa darah. Seluruh penelitian di atas, membuktikan manfaat sambiloto sebagai herbal yang bersifat menurunkan kadar glukosa darah, sebagai perbaikan metabolisme dan ambilan glukosa, tetapi masih belum ada penelitian tentang pengaruh sambiloto pada sel β pankreas.

Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Di samping Radio-Immuno Assay (RIA), ELISA merupakan salah satu metoda yang dipergunakan dalam prosedur uji atau deteksi. ELISA menggunakan prinsip dasar reaksi antigen-antibodi yang bersifat sangat spesifik dan sensitif, sehingga dapat memberikan hasil dengan nilai akurasi yang cukup tinggi. Disebut sebagai immunoassay karena menggunakan pelabelan enzim seperti alkalin- fosfatase, horseradish peroksidase dan β-galaktosidase, yang dapat menghasilkan reaksi warna setelah bereaksi dengan kromogen sebagai substrat dari enzim tersebut. ELISA berkembang dalam berbagai variasi teknik pemeriksaannya dalam upaya meningkatkan akurasi serta sensitivitas pemeriksaan tersebut, bahkan satu zat yang sama dapat diidentifikasi dengan berbagai teknik berbeda. Berbagai sistem ELISA mempunyai tiga parameter dasar yang serupa yaitu:

1. Reaktan yang melekat pada solid phase, yang biasanya berupa lempeng mikrotiter plastik dengan format 8 X 12 sumur.

2. Pemisahan antara reagen yang bebas dan terikat pada reaktan yang sudah dilekatkan pada solid phase dengan teknik pencucian sederhana.

3. Pembacaan hasil didapat melalui terbentuknya warna tertentu.

Walaupun demikian sebetulnya teknik pemeriksaan ELISA ini hanya terdiri atas tiga metoda ELISA dasar, yaitu: direct, indirect dan sandwich ELISA. Sandwich ELISA dapat digolongkan dalam 2 sistem, yaitu direct dan indirect sandwich ELISA (Crowther, 2001).Pada kesempatan ini hanya akan dibahas metoda direct sandwich ELISA yang berhubungan dengan penelitian ini dalam proses deteksi insulin yang disekresikan oleh BRIN-BD11.

ENZ ENZ ENZ ENZ ENZ ENZ ENZ ENZ ENZ ENZ ENZ ENZ ENZ ENZ ENZ (i)

Proses pelekatan antibodi-1 secara pasif pada solid phase.

(ii)

Setelah kelebihan antibodi-1 dibuang dengan proses pencucian, ditambahkan antigen yang akan dideteksi.

(iii)

Setelah inkubasi, kelebihan antigen yang tidak berikatan dengan antibodi-1 pada solid phase dibuang dengan proses pencucian.

(iv)

Dilakukan pemberian antibodi-2 yang sudah diberi label enzim (konjugat), dan diinkubasi untuk memberi kesempatan terjadinya ikatan antigen dengan antibodi-2.

(v)

Kelebihan antibodi-2 dibuang dengan proses pencucian.

(vi)

Setelah terjadi proses katalisis kromogen oleh enzim, maka akan terbentuk warna tertentu yang dapat dibaca intensitasnya dengan alat spektrofotometer.

Gambar 20 Ilustrasi tahapan proses yang terjadi pada metoda direct sandwich ELISA.

Keterangan gambar:

ENZ

Solid phase; Antibodi-1; Antigen; Antibodi-2

Kromogen sebelum terbentuk warna Kromogen setelah terbentuk warna

Direct sandwich ELISA merupakan prosedur pemeriksaan ELISA yang tidak terlalu kompleks untuk mendeteksi antigen. Sistem ini terbatas hanya untuk antigen yang mempunyai paling tidak dua epitop antigenik yang berbeda baik jenis maupun posisi dalam molekul antigen tersebut, karena sistem ini memerlukan tempat terikat yang berbeda antara antibodi yang dilekatkan pada solid phase dan antibodi yang diberi label enzim. Dengan demikian, ukuran dan topografi dari epitop sangat menentukan keberhasilan dari cara ini.

Prosedur ini diawali dengan menempelkan antibodi secara pasif pada permukaan solid phase pada dasar sumur lempeng mikrotiter plastik. Bila menggunakan kit komersial, antibodi spesifik sudah dilekatkan pada solid phase, dengan demikian sudah siap pakai. Antigen yang akan dideteksi ditambahkan ke dalam sumur dan diinkubasi selama kurun waktu tertentu untuk memberikan kesempatan terjadinya reaksi antigen dan antibodi yang sudah ada di solid phase dasar sumur. Kelebihan antigen yang tidak terikat dengan antibodi dibuang dengan proses pencucian sederhana, bisa secara manual atau menggunakan alat pencuci otomatis.

Langkah berikutnya adalah penambahan antibodi yang sudah diberi label enzim tertentu dan spesifik (konjugat) terhadap antigen tetapi pada epitop yang berbeda. Setelah masa inkubasi tertentu, diharapkan terjadi proses antigen- antibodi yang ke dua pada epitop yang berbeda dengan yang pertama.. Kelebihan konjugat dibuang dengan melakukan pencucian sederhana, bisa secara manual ataupun dengan alat pencuci otomatis. Dengan demikian pada dasar sumur mikrotiter plastik akan tertinggal suatu kompleks antibodi-antigen-konjugat (antibodi ke dua dengan label enzim). Enzim tersebut akan menimbulkan warna tertentu bila ditambahkan kromogen yang cocok. Intensitas warna yang ditimbulkan dapat diukur secara kuantitatif dengan alat spektrofotometer, peningkatan intensitas warna tersebut sebanding dengan jumlah antigen yang dimaksud.

Dokumen terkait