ANALISIS EKONOMI SEKTOR INFORMAL DI KOTA
TANGERANG :STRATEGI BERTAHAN HIDUP DAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT
PENDAPATAN MIGRAN
NURJANNAH YUSUF
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRAK
NURJANNAH YUSUF. Analisis Ekonomi Sektor Informal di Kota Tangerang : Strategi Bertahan Hidup dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pendapatan Migran. Dibimbing oleh ISANG GONARSYAH, dan ERNAN RUSTIADI.
Penelitian ini mengungkapkan bahwa luasnya lapangan kerja di sektor informal merupakan faktor penting dalam proses migrasi di kota. Mengkaji tingkat kesejahteraan migran di sektor informal dengan menelaah perilaku migran pelaku ekonomi informal dalam mengupayakan kehidupannya di kota. Tahap awal merupakan periode paling kritis. Strategi yang digunakan adalah pemenuhan kebutuhan dasar. Selanjutnya adalah strategi peningkatan pendapatan. Analisis regresi berganda digunakan untuk melihat faktor-faktor yang mempe ngaruhi tingkat pendapatan migran di sektor informal, dan uji Duncan digunakan untuk mengkaji hubungan antara status pekerjaan dengan pendapatan.
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa dalam tesis saya yang berjudul
ANALISIS EKONOMI SEKTOR INFORMAL DI KOTA TANGERANG : STRATEGI BERTAHAN HIDUP dan FAKTOR-FAKTOR yang MEMPENGARUHI TINGKAT PENDAPATAN MIGRAN
Merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan pembimbingan
Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini
belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di
Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah
dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, 5 Agustus 2005
ANALISIS EKONOMI SEKTOR INFORMAL DI KOTA
TANGERANG : STRATEGI BERTAHAN HIDUP DAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT
PENDAPATAN MIGRAN
NURJANNAH YUSUF
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
Pada
Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis Dilahirkan di Makassar pada tanggal 22 Juli 1967 dari ayah Muh.
Yusuf, BA dan Aisyah Saleh. Penulis merupakan anak ke lima dari delapan
bersaudara.
Tahun 1986 penulis diterima di Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas
Pertanian Universitas Hasanuddin, lulus pada tahun 1991. Pada tahun 2000,
penulis diterima di Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah
dan Perdesaan.
Penulis bekerja sebagai dosen pada Universitas Muslim Indonesia
Makassar dari tahun 1992 sampai tahun 1995. Penulis menikah tahun 1995,
pindah ke Tangerang mengikuti suami, dan bekerja sebagai wiraswasta sampai
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia
-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Desember 2002 ini
adalah sektor informal, dengan judul Analisis Strategi Bertahan Hidup dan Faktor
-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Pendapatan Migran Sektor Informal.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. DR. Ir. Isang
Gonarsyah, Ph.D dan Bapak DR.Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku pembimbing,
yang telah banyak membantu dan mengarahkan penulis selama penyusunan tesis
ini. Disamping itu penghargaan penulis sampaikan kepada dr. Siti Nurhayati
Yusuf, atas bantuan dan dorongan moral dan material sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi dengan baik. Ungkapan terimah kasih juga disampaikan
kepada sahabatku Fatimah Zami, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih
sayangnya.
Akhirnya penulis menyadari bahwa tesis ini banyak kekurangan. Dengan
segala keterbatasan yang ada, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2006
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vi
I. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 5
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9
1.3.1. Tujuan Penelitian... ... 9
1.3.2. Kegunaan Penelitian... II. TINJAUAN PUSTAKA 10
III. METODOLOGI PENELITIAN 14
3.1. Kerangka Pemikiran... 14
3.2. Metode Penelitian... 19
3.2.1. Wilayah Penelitian... 19
3.2.2. Model Analisis ... 20
3.2.3. Pengumpulan Data ... 25
3.2.4. Pengujian Hipotesis... 26
3.2.5. Jenis Peubah dan Pengukuran ... 27
IV. PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN KOTA TANGERANG 29
4.1. Pertumbuhan Penduduk Kota Tangerang... 29
4.2. Penduduk Angkatan Kerja ... 29
4.3. Struktur Perekonomian... 36
4.5. Hubungan Antara Struktur Perekonomian dan Struktur
Ketenagakerjaan... 38
4.6. Migrasi dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Kota Tangerang... 46
4.7. Kesempatan Kerja di Sektor Informal ... 50
4.8. Ekonomi Sektor Informal ... 52
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 55
5.1. Karakteristik Responden ... 55
5.2. Pelaku Ekonomi dalam Industri Daur Ulang... 58
5.3. Pedagang Kaki Lima... 63
5.4. Strategi Bertahan Hidup Migran di sektor Informal... 70
5.4.1. Strategi Pemenuhan Kebutuhan Dasar... 73
5.4.2. Strategi Bergabung dalam Paguyuban... 74
5.4.3. Strategi Mobilitas Horizontal dan Mobilitas Vertikal... 76
5.5. Pengembangan Pekerjaan Migran di Sektor Informal ... 79
5.5.1. Peningkatan Status Pekerjaan... 79
5.5.2. Hubungan Pengembangan Pekerjaan Pekerjaan dengan Pendapatan... 80
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 91
6.1. Kesimpulan... 91
6.2. Implikasi Kebijakan dan Saran... 93
DAFTAR PUSTAKA... 94
ANALISIS EKONOMI SEKTOR INFORMAL DI KOTA
TANGERANG :STRATEGI BERTAHAN HIDUP DAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT
PENDAPATAN MIGRAN
NURJANNAH YUSUF
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRAK
NURJANNAH YUSUF. Analisis Ekonomi Sektor Informal di Kota Tangerang : Strategi Bertahan Hidup dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pendapatan Migran. Dibimbing oleh ISANG GONARSYAH, dan ERNAN RUSTIADI.
Penelitian ini mengungkapkan bahwa luasnya lapangan kerja di sektor informal merupakan faktor penting dalam proses migrasi di kota. Mengkaji tingkat kesejahteraan migran di sektor informal dengan menelaah perilaku migran pelaku ekonomi informal dalam mengupayakan kehidupannya di kota. Tahap awal merupakan periode paling kritis. Strategi yang digunakan adalah pemenuhan kebutuhan dasar. Selanjutnya adalah strategi peningkatan pendapatan. Analisis regresi berganda digunakan untuk melihat faktor-faktor yang mempe ngaruhi tingkat pendapatan migran di sektor informal, dan uji Duncan digunakan untuk mengkaji hubungan antara status pekerjaan dengan pendapatan.
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa dalam tesis saya yang berjudul
ANALISIS EKONOMI SEKTOR INFORMAL DI KOTA TANGERANG : STRATEGI BERTAHAN HIDUP dan FAKTOR-FAKTOR yang MEMPENGARUHI TINGKAT PENDAPATAN MIGRAN
Merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan pembimbingan
Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini
belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di
Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah
dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, 5 Agustus 2005
ANALISIS EKONOMI SEKTOR INFORMAL DI KOTA
TANGERANG : STRATEGI BERTAHAN HIDUP DAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT
PENDAPATAN MIGRAN
NURJANNAH YUSUF
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
Pada
Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis Dilahirkan di Makassar pada tanggal 22 Juli 1967 dari ayah Muh.
Yusuf, BA dan Aisyah Saleh. Penulis merupakan anak ke lima dari delapan
bersaudara.
Tahun 1986 penulis diterima di Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas
Pertanian Universitas Hasanuddin, lulus pada tahun 1991. Pada tahun 2000,
penulis diterima di Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah
dan Perdesaan.
Penulis bekerja sebagai dosen pada Universitas Muslim Indonesia
Makassar dari tahun 1992 sampai tahun 1995. Penulis menikah tahun 1995,
pindah ke Tangerang mengikuti suami, dan bekerja sebagai wiraswasta sampai
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia
-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Desember 2002 ini
adalah sektor informal, dengan judul Analisis Strategi Bertahan Hidup dan Faktor
-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Pendapatan Migran Sektor Informal.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. DR. Ir. Isang
Gonarsyah, Ph.D dan Bapak DR.Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku pembimbing,
yang telah banyak membantu dan mengarahkan penulis selama penyusunan tesis
ini. Disamping itu penghargaan penulis sampaikan kepada dr. Siti Nurhayati
Yusuf, atas bantuan dan dorongan moral dan material sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi dengan baik. Ungkapan terimah kasih juga disampaikan
kepada sahabatku Fatimah Zami, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih
sayangnya.
Akhirnya penulis menyadari bahwa tesis ini banyak kekurangan. Dengan
segala keterbatasan yang ada, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2006
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vi
I. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 5
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9
1.3.1. Tujuan Penelitian... ... 9
1.3.2. Kegunaan Penelitian... II. TINJAUAN PUSTAKA 10
III. METODOLOGI PENELITIAN 14
3.1. Kerangka Pemikiran... 14
3.2. Metode Penelitian... 19
3.2.1. Wilayah Penelitian... 19
3.2.2. Model Analisis ... 20
3.2.3. Pengumpulan Data ... 25
3.2.4. Pengujian Hipotesis... 26
3.2.5. Jenis Peubah dan Pengukuran ... 27
IV. PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN KOTA TANGERANG 29
4.1. Pertumbuhan Penduduk Kota Tangerang... 29
4.2. Penduduk Angkatan Kerja ... 29
4.3. Struktur Perekonomian... 36
4.5. Hubungan Antara Struktur Perekonomian dan Struktur
Ketenagakerjaan... 38
4.6. Migrasi dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Kota Tangerang... 46
4.7. Kesempatan Kerja di Sektor Informal ... 50
4.8. Ekonomi Sektor Informal ... 52
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 55
5.1. Karakteristik Responden ... 55
5.2. Pelaku Ekonomi dalam Industri Daur Ulang... 58
5.3. Pedagang Kaki Lima... 63
5.4. Strategi Bertahan Hidup Migran di sektor Informal... 70
5.4.1. Strategi Pemenuhan Kebutuhan Dasar... 73
5.4.2. Strategi Bergabung dalam Paguyuban... 74
5.4.3. Strategi Mobilitas Horizontal dan Mobilitas Vertikal... 76
5.5. Pengembangan Pekerjaan Migran di Sektor Informal ... 79
5.5.1. Peningkatan Status Pekerjaan... 79
5.5.2. Hubungan Pengembangan Pekerjaan Pekerjaan dengan Pendapatan... 80
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 91
6.1. Kesimpulan... 91
6.2. Implikasi Kebijakan dan Saran... 93
DAFTAR PUSTAKA... 94
15. Pendapatan Pedagang Makan Informal
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Model Pembangunan Ekonomi Kapitalis Marx. ... 15
2. Bagan Mobilitas Sosial Ekonomi Informal... ... 17
3. Model Struktur Peningkatan Pendapatan
Migran Sektor Informal... 22
4. Peta Administrasi Kota Tangerang... ... 31
5. Hubungan antara “Land Value” Dengan
Jarak Pusat Kota ... 33
6. Hubungan antara Struktur Perekonomian
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Data Responden Migran Sektor
Informal di Kota Tangerang... 97
2. Hasil Analisis Korelasi Pearson... ... 101
3. Hasil Analisis Regresi Berganda Tingkat Pendapatan
Dengan Karakteristik Migran Sektor Informal... ... 102
4. Hasil Analisis Uji Duncan Multiple Range Rata-rata Pendapatan Status Pekerjaan
Migran sektor Informal ... 104
5. Analisis Shift-Share Pertumbuhan Lapangan
Kerja di KotaTangerang ... 105
6. Analisis Shift-Share Pertumbuhan
PDRB Kota Tangerang... 106
7. Karakteristik Umum Migran Responden... 107
8. Hasil Analisis Empiris Karakteristik Migran sektor
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Di masa lalu migrasi dari desa ke kota dipandang sebagai sesuatu yang
positif. Migrasi dianggap sebagai proses alami di mana surplus tenaga kerja
sedikit demi sedikit ditarik dari sektor perdesaan untuk memenuhi kebutuhan
tenaga kerja bagi perkembangan industri di daerah perkotaan. Proses tersebut
dianggap menguntungkan secara sosial karena sumberdaya manusia berpindah
dari tempat yang produk marjinal sosial (social marginal product)nya rendah ke
tempat yang produk marjinal sosialnya tinggi, dan bertumbuh secara cepat akibat
adanya akumulasi kapital dan kemajuan teknologi (Todaro, 1998).
Kenyataan yang terjadi di negara berkembang kini bertolak belakang
dengan pandangan tersebut. Todaro (1998), mengungkapkan bahwa tingkat
migrasi dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan, selalu lebih besar daripada
tingkat penciptaan kesempatan kerja di daerah perkotaan. Relatif rendahnya
kemampuan kota untuk menyerap pertambahan angkatan kerja di sektor formal,
karena pengusaha sektor formal, dalam upayanya meraih keuntungan
sebesar-besarnya, cenderung menginvestasikan kembali keuntungan yang diperolehnya
untuk membeli alat-alat produksi atau mesin -mesin canggih (padat modal), yang
sangat hemat tenaga kerja, untuk meningkatkan produktivitas usahanya.
Dalam studi tentang mobilitas, khususnya migrasi desa-kota, McGee
(1977) mengamati fenomena migrasi yang berfokus pada sudut pandang regional
Asia Selatan dan Tenggara. Kawasan ini memiliki masalah serupa seperti yang
dihadapi negara berkembang pada umumnya dengan timbulnya “urban
tenaga kerja dar i desa sekalipun hasil akhirnya sering berupa pemerataan
produktivitas yang rendah dan pemerataan kemiskinan (shared poverty).
Walaupun sesampainya di kota kebanyakan dari migran ini hidup dengan
produktivitas yang rendah, namun proses mobilitas desa-kota tetap terus
berlangsung. Dalam penelitiannya tentang migran di Wonosobo dan Cilacap,
Sutomo (1995), mendapatkan kondisi kehidupan awal migran yang datang ke kota
sangat miskin, namun lambat laun keadaan sosial ekonomi mereka semakin
berkembang.
Di kota-kota negara berkembang setidaknya ada tiga sektor ekonomi yang
terlihat jelas dengan makin derasnya arus migrasi, yaitu sektor “tradisional”, yang
mencakup bentuk-bentuk kegiatan ekonomi pra-industri, sektor “moderen”, yang
meliputi sebagian besar bentuk-bentuk organisasi ekonomi dan fungsi ekonomi
abad XX yang umumnya diimpor dari negara maju, dan sektor “peralihan” atau
“informal”, yang menjadi jembatan antara sektor moderen dan sektor tradisional
(Hauser dan Gardner, 1982).
Oleh karena itulah Widarti (1984), menemukan bahwa di daerah perkotaan
yang kemudian berkembang bukan sektor sekunder, melainkan sektor tersier yang
mengelompok dalam subsektor perdagangan dan jasa pelayanan. Kedua subsektor
ini mencapai 86,9% dari keseluruhan sektor tersier. Hampir separuh (46,1%) dari
kesempatan kerja sektor tersier di perkotaan tertampung dalam berbagai jenis
usaha sektor informal. Karena itu migrasi yang terjadi di negara berkembang
dicirikan oleh mengalirnya tenaga kerja dari perdesaan yang menunjukkan tingkat
produktivitas yang rendah pula. Sehingga dengan demikian migrasi adalah proses
pemerataan produktivitas rendah desa -kota.
Sektor informal di daerah perkotaan memperlihatkan dinamika ekonomi
yang sangat tinggi, baik dalam bentuk dan sifat usahanya, dalam memberikan
kesempatan kerja bagi para migran. Oleh karena itu, untuk dapat memahami
bahwa proses migrasi dari desa ke kota akan terus berlangsung meskipun
kesempatan kerja di sektor formal terbatas, maka dipandang perlu melakukan
penelitian tentang sektor informal dan migran yang bekerja di dalamnya.
Sektor informal1 menjadi salah satu alternatif dalam mencari lapangan
kerja, karena sesuai dengan karakteristik yang dimilikinya, bahwasanya aktivitas
ekonomi lebih didasarkan pada dorongan untuk menciptakan kesempatan kerja
bagi diri sendiri daripada memperoleh kesempatan investasi (penanaman modal)
dalam peningkatan pendapatan. Sebagaimana dipostulatkan oleh Todaro dan
Harris, bahwa motivasi migran desa-kota adalah bukan hanya karena perbedaan
besarnya upah, tetapi juga pada luasnya kesempatan memasuki berbagai macam
segmen ekonomi yang memberikan harapan yang besar untuk dapat mengubah
taraf hidup mereka (Koyano, 1996).
Sektor informal umumnya terpusat di wilayah kota, dimana merupakan
tempat singgah pertama kaum migran baru di kota. Jadi sektor informal yang
sering kali dianggap sebagai golongan “rendah” dalam kehidupan ekonomi dan
sosial itu, sebenarnya merupakan sektor peralihan baik dalam tata ekonomi
maupun tata sosial. Oleh sebab itu sektor peralihan ini dapat dipandang sebagai
bidang yang mengandung kesempatan untuk membangun ekonomi dan
melakukan perubahan sosial menuju kehidupan modern (Hauser dan Gardner,
1982).
Sektor informa l kawasan perkotaan dapat juga dilihat sebagai suatu bagian
dari mekanisme ekonomi modern, sebagai tempat terciptanya kegiatan ekonomi
“baru”, yang sebelumnya terlewatkan. Seperti sampah plastik dan kertas bekas
tempat makanan dan minuman serta barang rongsokan, dapat dijadikan komoditas
ekonomi. Hal ini terjadi karena adanya permintaan ketersediaan pada kebutuhan
bahan baku industri daur ulang dengan biaya yang rendah, dalam pengelolaannya
membutuhkan tenaga kerja. Tersedianya layanan jasa (service) yang semakin
komplit mulai dari jasa menjinjing barang belanjaan sampai jasa pemindahan
perabot rumah tangga dan kantor, yang sebelumnya dapat dilakukan sendiri,
sekarang merupakan kegiatan yang bernilai ekonomi. Penawaran jasa ini lahir
karena kehidupan kota yang modern membutuhkan pelayanan serba praktis,
sehingga oleh sebagian orang terutama orang yang membutuhkan penghasilan
untuk hidup, penawaran pelayanan adalah pekerjaan pantas.
Menurut Koyano (1996), orang-orang yang beralih ke sektor informal
tidak banyak yang mengalami pengangguran, karena kesempatan memperoleh
pekerjaan di sektor informal sangat banyak, umumnya didasarkan pada hubungan
sosial di antara migran. Hubungan sosial memegang peranan penting dalam
mengatasi penghidupan di kota, yang mencipt akan kemudahan dalam
mendapatkan pekerjaan. Hal ini menjadikan sektor informal berkembang sangat
cepat di kota, sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk. Karena
kesempatan berusaha untuk memperoleh penghasilan tidak terbatas oleh jumlah
1.2. Perumusan Masalah
Ciri demografi Indonesia seperti jumlah penduduk yang besar, tingkat
pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi, struktur penduduk yang cenderung
berusia muda, dan distribusi penduduk yang tidak merata dipandang masih
merupakan faktor penghambat dalam usaha memecahkan masalah
ketenagakerjaan dewasa ini.
Pesatnya pertumbuhan ekonomi kota besar yang jauh melebihi kota -kota
kecil, merupakan faktor penarik utama terjadinya aliran tenaga kerja. Terutama
kota yang basis ekonominya adalah sektor industri. Berdasarkan PDRB periode
tahun 1996 – 2001, didapatkan bahwa sektor industri sangat menonjol
perkembangannya di Kota Tangerang.
Kota Tangerang karena lokasinya yang berbatasan dan berdekatan dengan
DKI Jakarta, merupakan daerah belaka ng (hinterland) dari DKI Jakarta, sesuai
dengan teori Von Thunen (Dicken dan Lloyd, 1990). Akibat pesatnya
perkembangan pembangunan DKI Jakarta, maka terjadi pergeseran penduduk ke
daerah belakang (Kota Tangerang), karena DKI Jakarta mengalami keterbatasan
lahan untuk kegiatan industri dan perumahan. Kota Tangerang mendapat
tambahan jumlah penduduk dari limpahan penduduk DKI Jakarta, yang sebagian
di antaranya bekerja di Jakarta, atau sedang mencari pekerjaan di Jakarta. Dengan
demikian dapat dikatakan, besarnya arus migrasi ke Jakarta, akan mempengaruhi
tingginya perpindahan penduduk Jakarta ke wilayah sekitarnya, termasuk Kota
Tangerang.
Selain itu sebagai kota “seribu industri” yang sedang berkembang, potensi
kerja. Akibatnya tiap tahun jumlah penduduk Kota Tangerang meningkat pesat.
Pada tahun 2002 laju pertumbuhan penduduk Kota Tangerang sangat tinggi
(sebesar 4,62%) dengan kepadatan penduduk yang tinggi (8.611 jiwa/km2),
khususnya di kecamatan-kecamatan yang berbatasan dengan DKI Jakarta. Ini
mengindikasikan tingginya tingkat migrasi ke kota ini. Rustiadi dan Panuju
(1999), menemukan bahwa jumlah migran di Kota Tangerang sekitar 10 persen
dari jumlah penduduknya, dimana le bih dari separuhnya (5.3 persen) merupakan
limpahan dari DKI Jakarta.
Karena aktivitas penduduk Kota Tangerang paling banyak di sektor
industri, menyusul sektor jasa informal, maka keadaan ini menunjukkan bahwa,
sebagian dari migran ini (terutama yang baru masuk) menciptakan pekerjaan
sendiri atau bekerja pada perusahaan-perusahaan kecil yang dimiliki keluarga.
Orang-orang yang bekerja ini mencari ikhtiarnya sendiri dalam berbagai kegiatan
mulai dari penjaja, pedagang kaki lima, penulis surat, pengasah pisau, dan
pengumpul barang-barang bekas sampai pada penjual petasan, penjual obat, dan
permainan ular, sebagian lainnya menemukan pekerjaan mekanik, tukang cat,
pengrajin kecil, tukang cukur, dan pembantu rumah tangga.
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, jumlah pencari kerja mengalami
lonjakan. Pada tahun 1998-1999, jumlah pencari kerja naik sekitar 38 persen.
Bahkan pada tahun 2002 berdasarkan data dari Dinas Tenaga Kerja Kota
Tangerang, jumlah pencari kerja melonjak hingga mencapai 68 persen. Tinggin ya
pencari kerja itu belum dapat diimbangi dengan jumlah kesempatan kerja yang
ada. Sepanjang tahun 2002, misalnya jumlah lowongan kerja yang terdaftar
adalah sektor industri. Saat ini, rasio lowongan pekerjaan dan pencari kerja di
wilayah Kota Tangerang mencapai 1: 3 (Republika, 2004).
Selama kurun waktu 1995 – 2002 proporsi tenaga kerja di sektor formal
menurun dari 23,55% menjadi 19,83%, sementara di sektor industri meningkat
perlahan dari 29,43% menjadi 33,78%. Di sektor informal pun tenaga kerja yang
terserap melonjak dari 23,55% menjadi 28,18%. Hal ini menunjukkan
kecenderungan peningkatan jumlah tenaga kerja yang memasuki sektor pekerjaan
informal di kota Tangerang. Hal ini terlihat dari pangsa (share) tenaga kerja di
sektor informal 28,18% per tahun dengan peningkatan sebesar 0,58% per tahun,
sedangkan sektor industri adalah 0,54% per tahun, dan sektor jasa formal
memperlihatkan penurunan (-3,21% per tahun). Sektor informal di kota
Tangerang memperlihatkan kecenderungan yang meningkat sejalan dengan
meningkatnya pertumbuhan jumlah penduduknya.
Kebanyakan pekerja yang memasuki sektor informal adalah para migran
baru dari desa yang tidak mendapatkan tempat di sektor formal. Motivasi mereka
biasanya untuk mendapatkan penghasilan agar bisa “hidup” (survive) dan bukan
untuk mendapatkan keuntungan (Todaro, 1988). Akan tetapi jika hanya
dipandang sebagai tempat mendapatkan penghasilan untuk sekedar bertahan hidup
di kota, mengapa jumlah pelaku ekonomi informal semakin meningkat, sejalan
dengan semakin berkembangnya ekonomi suatu wilayah perkotaan.
Relatif masih tingginya pangsa (share) dan pertumbuhan tenaga kerja
yang bekerja di sektor informal di Kota Tangerang, dengan tingkat produktivitas
yang rendah, serta persaingan usaha yang tinggi, maka dipandang perlu untuk
keberadannya di kota, baik pada tahap awal yang merupakan periode paling kritis
bagi mereka untuk berjuang mempertahankan hidup (survival), maupun tahap
pengembangan yang merupakan periode setelah saat kritis tersebut dilampaui,
untuk dapat meningkatkan status sosial ekonomi migran.
Meskipun kebanyakan migran yang memasuki sektor informal di
perkotaan pa da awalnya mendapati dirinya hidup dalam produktivitas yang
rendah, namun kemudian keadaan sosial ekonomi mereka menunjukkan
perkembangan. Artinya ekonomi informal menawarkan kesempatan yang luas
pada pelakunya untuk memperoleh penghasilan yang lebih baik daripada
sebelumnya. Namun dari pengamatan di lapangan tingkat pendapatan pada setiap
pelaku ekonomi informal berbeda, meskipun jenis usahanya sama dan berada pada
lokasi yang sama. Untuk itu maka perlu penelahaan faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat pendapatan migran pelaku ekonomi informal.
Untuk mengetahui itu semua, maka hal-hal yang harus diteliti adalah
sebagai berikut :
1. Apa yang menarik bagi migran untuk datang ke Kota Tangerang, dan
bagaimana strategi untuk mempertahankan kehidupannya di kota.
2. Bagaimana tingkat kesejahteraan (pendapatan)2 migran, dan faktor-faktor apa
yang mempengaruhi tingkat pendapatan migran di sektor informal.
1.3. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan, penelitian ini bertujuan
untuk :
1. Menelaah faktor utama yang menarik migran dan strategi migran sektor
informal dalam mempertahankan keberadaaannya di kota.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan migran
sektor informal.
1.3.2. Kegunaan Penelitian
Dengan memahami perilaku pelaku ekonomi sektor informal, diharapkan
dapat mengembangkan kekuatan ekonomi masyarakat kaum marginal, dimana
aktivitas ekonomi informal ini memperlihatkan perilaku ekonomi yang sama
II. TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian yang dilakukan oleh Ponto (1987), menunjukkan bahwa migrasi
ke kota ditentukan oleh peluang mendapatkan pekerjaan di kota, selisih tingkat
pendapatan di desa dan kota, serta jarak antara desa dan kota. Karena migrasi
merupakan proses yang didasari oleh faktor ekonomi, yang secara selektif
mempengaruhi setiap individu, maka yang paling banyak melakukan migrasi ke
kota Manado adalah penduduk pada daerah kurang produktif, yaitu Gorontalo.
Penelitian Ibrahim (1989) dan Mandang (1991), menemukan bahwa faktor
utama dari migrasi ke kota Manado adalah dorongan ekonomi. Lahan pertanian
yang semakin sempit dan upah petani penggarap yang relatif rendah di daerah
perdesaan wilayah Sulawesi Utara mendorong banya k penduduk perdesaan
bermigrasi ke kota Manado.
Winoto (1999) dalam penelitiannya mengenai proses urbanisasi yang
terjadi di kota-kota besar jalur pantai utara Jawa menemukan bahwa urbanisasi
yang terjadi terutama disebabkan oleh semakin meningkatnya ketidakamanan
untuk tinggal di perdesaan (rural insecurity) daripada ditentukan oleh tingginya
peluang pengembangan ekonomi keluarga di perkotaan.
Penelitian Achmad (2003), tentang pola migrasi di Kabupaten Bekasi,
menyimpulkan bahwa faktor ekonomi merupakan faktor yang paling dominan
mempengaruhi keputusan migran untuk melakukan migrasi ke Kabupaten Bekasi.
Penelitian Desiar (2003), tentang migrasi ke DKI Jakarta, mengungkapkan tingkat
pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta yang tinggi, di atas 9 persen per tahun
Selain faktor ekonomi, faktor jarak juga merupakan faktor yang
mempengaruhi keputusan migran untuk bermigrasi. Seperti yang ditemukan oleh
Harry dan Cummings dalam Mantra (1995), bahwa di dalam memilih daerah
tujuan migran, migran cenderung memilih daerah yang terdekat dengan daerah
asal. Penelitian yang dilakukan Rahmawati (1991) dan Sutomo (1995),
mengungkapkan kelancaran sistem transportasi dan komunikasi sebagai hasil dari
pembangunan merupakan faktor penyebab tingginya migrasi desa-kota.
Sedangkan menurut Rustiadi et al. (1999) dalam studi urbanisasi di Jakarta dan
Desiar (2003), dalam penelitiannya tentang migrasi di Jakarta, mengungkapkan
bahwa fenomena migrasi di Jakarta erat kaitannya dengan daerah sekitarnya
(Jabotabek). Artinya faktor jarak merupakan salah satu variabel penentu
fenomena migrasi.
Migrasi akan mempengaruhi jumlah angkatan kerja di perkotaan.
Penelitian Ibrahim (2003) dan Desiar (2003) menemukan adanya hubungan positif
antara migrasi dengan jumlah angkatan kerja di kota tujuan, yaitu tingginya
pertumbuhan jumlah penduduk akibat migrasi merupakan peningkatan jumlah
angkatan kerja di kota. Selanjutnya dikemukakan dalam penelitian tersebut,
bahwa peningkatan jumlah angkatan kerja akibat migrasi akan mempengaruhi
pertumbuhan sektor informal, dimana antara keduanya memperlihatkan hubungan
yang positif.
Tentang berkembangnya sektor informal di perkotaan, sebagai salah satu
sektor ekonomi yang cenderung meningkat sejalan dengan tingginya arus migrasi
ke kota, telah banyak menarik perhatian para peneliti. Seperti yang telah
migran yang bekerja di sektor informal kehidupan ekonominya tidak lebih buruk
dibandingkan dengan yang bekerja di sektor formal.
Penelitian yang dilakukan Rahmawati (1991), menemukan bahwa ada tiga
jenis lapangan usaha yang termasuk ke dalam sektor informal yang memberikan
kesempatan berusaha bagi migran yaitu: perdagangan, buruh dan jasa angkutan.
Sedangkan Sutomo (1995), menemukan bahwa pendapatan migran yang bekerja
di sektor informal berada di atas Kebutuhan Fisik Minimum (KFM), Upah
Minimum Regional, Upah Minimum Sektoral, apalagi pendapatan per kapita
setempat. Namun pendapatan migran masih berada di bawah Kebutuhan Hidup
Minimum untuk Pekerja (KHMP). Tingkat pendapatan migran ditentukan oleh
beberapa faktor: umur, lama bekerja di perkotaan, status kawin, mobilitas
horisontal, dan mobilitas vertikal. Pekerja di sektor informal memungkinkan
menggeser usaha ekonominya ke sektor formal, dengan perkembangan modal dan
pemasaran sejalan dengan peningkatan usahanya.
Hasil penelitian Hastuti (1998) menunjukkan bahwa kebanyakan
penduduk perkotaan basis ekonomi rumah tangganya adalah sektor informal
pedagang kaki lima. Atika (1999), mengungkapkan bahwa pola adaptasi rumah
tangga warung tegal dan warung padang sangat efektif dalam menghadapi krisis.
Hasil penelitian Murdianto (1998) tentang dampak industrialisasi terhadap
perubahan mata pencaharian migran di Kabupaten Bekasi, mengungkapkan bahwa
migran yang tidak terserap di sektor industri, akhirnya memilih sektor informal
(perdagangan dan jasa) sebagai lapangan usaha, untuk tetap mempertahankan
Dari uraian di atas tampak bahwa studi-studi terdahulu lebih banyak
menitikberatkan pada faktor penyebab mengapa penduduk desa melakukan
migrasi ke kota. Umumnya ditemukan bahwa kota-kota tujuan migran adalah
kota-kota industri, atau kota -kota dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang
tinggi. Dalam penelitian ini yang menjadi perhatian utama adalah kenyataan
bahwa meskipun lapangan pekerjaan di sektor jasa formal dan industri di kota
tujuan migrasi sangat terbatas, tetapi arus migrasi ke kota cenderung meningkat.
Singkat kata studi ini tidak hanya mengkaji tingkat ekonomi migran di sektor
informal secara umum, tetapi lebih jauh lagi mengkaji bagaimana strategi migran
mendapatkan dan mengembangkan pekerjaan/usahanya sejak awal kedatangannya
di kota sampai taraf pengembangan sekarang ini, dan faktor-faktor yang
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran
Menurut teori Lewis (Todaro, 1988), tingkat pengalihan tenaga kerja dan
penciptaan kesempatan kerja di sektor modern sebanding dengan tingkat
akumulasi kapital sektor modern. Semakin cepat tingkat akumulasi kapital,
semakin tinggi tingkat pertumbuhan sektor moderen dan semakin cepat
penciptaan lapangan kerja baru di kota.
Akan tetapi kenyataan itu tidak terjadi karena keuntungan para kapitalis
cenderung diinvestasikan kembali pada barang-barang modal yang lebih canggih
dan lebih hemat tenaga kerja. Sehingga meskipun jumlah output telah meningkat
sangat tinggi, upah secara keseluruhan dan kesempatan kerja tetap tidak berubah,
semua output tambahan diterima oleh pengusaha dalam bentuk kelebihan
keuntungan. Marx dalam Hayami (2001) mengasumsikan bahwa pertumbuhan
tenaga kerja di sektor industri lebih lambat daripada kecepatan akumulasi kapital,
bahkan adanya penggunaan teknologi modern pada industri-industri menyebabkan
terjadinya penekanan penggunaan jumlah tenaga kerja dan tingkat upah buruh.
Kenyataan ini mengakibatkan pertumbuhan industri-industri di kota-kota tidak
diikuti oleh pertumbuhan jumlah kebutuhan tenaga kerja di sektor industri. Model
pembangunan ekonomi kapitalis Marx menjelaskan sebagai berikut :
Sebagaimana tampak pada Gambar 1 pada periode awal (0) kurva
permintaan tenaga kerja pada sektor kapitalis modern terletak pada garis D0D0
yang sama dengan kapital (K0). Keseimbangan awal terjadi pada titik A dengan
tenaga kerja OL0 pada upah rata -rata OW. Menurut asumsi Marx, jumlah pekerja
lebih lebar dari OL0. Dari gambar tersebut terlihat bahwa jumlah tenaga kerja
yang dapat diperkerjakan di sektor industri moderen hanya sebesar WA, sehingga
masih tersisa sejumlah tenaga kerja yang mencari pekerjaan di sektor industri
sebesar AR0. Tenaga kerja yang tidak mendapatkan pekerjaan di sektor industri
modern ini (AR0), akan mempertahankan keberadaannya atau dapat menjaga
subsistennya pada aktivitas informal di kota.
D1
Gambar 1. Model Pembangunan Ekonomi Kapitalis Marx
Karena para pemilik modal (kapitalis) cenderung menginvestasikan
keuntungan yang diperolehnya dalam teknologi, yang mengakibatkan peningkatan
permintaan jumlah tenaga kerja menjadi lebih lambat (dari OL0 ke OL1),
sedangkan pertumbuhan output meningkat tajam dari daerah AD0 OL0 ke BD1
OL1, yang menyebabkan terjadinya kelebihan penawaran tenaga kerja BR1.
terjadi, karena kurva upah horizontal pada industri model kapitalis, yang
menyebabkan peningkatan jumlah pencari kerja di sektor industri yang tidak
mendapatkan pekerjaan akan memasuki sektor informal yang lebih bersifat
subsisten. Jadi tenaga kerja di sektor informal ini merupakan ”industrial reserve
army” sebagaimana dikemukakan Marx.
Pengamatan data statistik menunjukkan bahwa jumlah migran selalu
memperlihatkan kecenderungan meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa
meskipun migran tidak atau belum mendapatkan pekerjaan tetap di kota
keputusan migran untuk pulang kembali ke daerah asal tampaknya jarang terjadi.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang dilakukan dalam
mempertahankan hidup di kota. Bagaimana perilaku migran sejak awal
kedatangannya di kota dan bagaimana strategi yang ditempuh untuk bertahan
hidup (survive) di kota. Menarik untuk dikaji sebagaimana diilustrasikan dalam
Gambar 2. pada dasarnya ada dua tahapan yang dilalui pelaku sektor informal
dalam mempertahankan keberadaannya di kota, yaitu;
1. Strategi pemenuhan kebutuhan dasar; bentuk strategi yang digunakan
dalam memperoleh pekerjaan di kota.
2. Strategi peningkatan kesejahteraan; tahap pengembangan usaha untuk
Gambar 2. Bagan mobilitas sosial ekonomi informal
Asumsi yang mendasari tahapan mobilitas sosial ekonomi sektor informal
adalah : (1) bahwa tidak ada migran yang sama sekali tidak mempunyai pekerjaan
sesaat setelah tiba di kota, artinya bagaimanapun caranya migran yang
bersangkutan akan mendapatkan penghasilan dari sektor informal, sambil
mencari pekerjaan yang lebih ”sesuai” di sektor lainnya. (2) bahwa semakin lama
migran berada di kota akan semakin banyak hubungan, dan sistem informasi
mereka lebih baik sehingga penghasilan yang diperoleh akan lebih tinggi
dibandingkan dengan yang baru datang ke kota, meskipun dengan tingkat
keterampilan yang sama.
Ekonomi di sektor informal umumnya berkisar pada produk-produk yang
kecil, mudah dipindahkan, dan disimpan, serta penawaran jasa yang sangat mudah
diakses oleh setiap orang. Oleh karenanya pola pasar barang atau jasa di sektor
informal membentuk rantai jalur pasar yang panjang, melewati sejumlah
pedagang, mengakibatkan sistem pemasaran yang terbentuk memberikan
keuntungan yang tipis atau kecil. Hal inilah yang menyebabkan produktivitas di informal
formal pendapatan
sektor informal sangat rendah, tetapi memberikan peluang yang sangat besar
dalam kesempatan kerja, karena banyak celah kegiatan ekonomi yang terbentuk
sepanjang jalur produksi.
Sebagai sumber penghidupan, ekonomi informal merupakan pilihan pantas
dan rasional bagi migran di kota. Ekonomi ini dapat memberikan tingkat
penghasilan yang setara dengan lapisan bawah ekonomi formal, dan menawarkan
secara terbuka untuk memperoleh tingkat penghasilan maksimal bagi semua
pelakunya. Pada sektor formal, tingkat pendapatan berbeda-beda untuk tiap
golongan dan jenis pekerjaan, yang ditentukan oleh beberapa faktor, seperti
pendidikan, dan lama mengabdi. Demikian juga pada sektor informal, ditemukan
hal yang sama.
Namun demikian, pada sektor informal tidak berlaku ukuran baku, bahwa
tingkatan tertentu dalam suatu jenis usaha akan menunjukkan tingkat pendapatan
yang sama. Bahkan meskipun jenis barang dan jasa yang di pasarkan sama, lokasi,
lama bekerja dan statusnya sama, perolehan penghasilan bisa berbeda. Sehingga
menarik untuk dikaji faktor-faktor apa yang sebenarnya mempengaruhi tingkat
pendapatan migran informal. Berdasarkan teori, tinjauan pustaka, dan pengamatan
lapang, diduga kuat bahwa umur, pendidikan, status kawin, lama bekerja di kota,
mobilitas horizontal, mobilitas vertikal, status pekerjaan, daerah asal, dan jenis
usaha merupakan faktor -faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan migran
3.2. Metode Penelitian
Dengan bertitik tolak pada kerangka pemikiran yang telah diuraikan
terlebih dahulu, maksud utama sub bab ini membahas antara lain, cara penentuan
wilayah survei, model analisis yang digunakan untuk menganalisa permasalahan,
menguji hipotesis yang telah diutarakan dan cara penguraian terhadap variabel
yang dipilih.
3.2.1. Wilayah Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Agustus sampai Desember 2002 di Kota
Tangerang. Dipilihnya Kota Tangerang secara sengaja didasarkan pada tingkat
perkembangan ekonomi wilayah, dimana sebelumnya Kota Tangerang yang
merupakan bagian administratif dari Provinsi Jawa Barat, yang berkontribusi pada
1/3 dari PDRB Jawa Barat. Saat ini Kota Tangerang merupakan bagian dari
Provinsi Banten, adalah kota yang paling tinggi pertumbuhan ekonominya. Letak
wilayahnya yang berbatasan dengan Jakarta, menjadikan Kota Tangerang
berfungsi sebagai salah satu kota penyangga DKI Jakarta.
Indikator yang digunakan adalah pesatnya perkembangan Kota Tangerang,
ini dapat terlihat jelas dari jumlah prasarana dan sarana penduduk yang semakin
banyak dan berskala besar, tingginya PDRB, dan meningkatnya arus tenaga kerja
dari desa ke kota (migrasi), yang tergambar dari peningkatan jumlah penduduk
usia kerja yang sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk keseluruhan, yang
dapat menggambarkan secara jelas kaitan migrasi dengan sektor informal,
ekonomi migran yang bekerja di sektor informal, serta bentuk strategi yang
Kota Tangerang terdiri dari 13 kecamatan, yaitu Kecamatan Ciledug,
Larangan, Karang Tengah, Cipondoh, Pinang, Tangerang, Karawaci, Jatiuwung,
Cibodas, Periuk, Batuceper, Neglasari, dan Kecamatan Benda. Penelitian ini
dilakukan di lima kecamatan, yang mewakili tipe kecamatan padat penduduk dan
kecamatan padat industri, yaitu; Kecamatan Tangerang (padat penduduk),
Kematan Cibodas (padat industri), Kecamatan Karawaci (padat penduduk dan
industri), Kecamatan Cipondoh (padat penduduk dan industri), dan Kecamatan
Ciledug (padat penduduk dan industri).
3.2.2. Model Analisis
Pertanyaan mendasar dari analisa ini adalah untuk menelaah mengapa
pekerja sektor informal ini masih terus berkembang walaupun mereka hanya
sekedar dapat bertahan hidup (survival). Perkembangan sektor informal ini
bahkan memperlihatkan potensi yang tidak kalah dengan sektor lainnya. Hal ini
dapat dilihat dari besarnya pangsa (share) tenaga kerja di sektor informal yang
laju pertumbuhannya lebih besar daripada sektor industri.
Tidak semua migran segera memperoleh pekerjaan di sektor informal.
Dengan menggunakan analisa deskriptif dari acuan hasil data primer (150
responden), akan dikaji hubungan antara karakteristik migran dengan tingkat
ekonomi. Fokus kajian penelitian pada empat kelompok pelaku ekonomi informal
(pemulung, lapa k, pedagang kakilima makanan, dan pedagang kakilima pakaian),
diharapkan dapat mengungkapkan strategi yang digunakan migran dalam aktivitas
ekonomi informal di Kota Tangerang dan pola ekonomi yang terbentuk di antara
Dihipotesiskan bahwa tingkat pe ndapatan migran di perkotaan dipengaruhi
oleh faktor-faktor umur, tingkat pendidikan, status kawin, lama bekerja di kota,
mobilitas horizontal, mobilitas vertikal, status pekerjaan, jenis pekerjaan, dan asal
daerah. Dengan alasan semakin tinggi tingkat umur, tingkat pendidikan, dan lama
bekerja di kota, maka kemampuan dan pengalaman juga akan tinggi, sehingga
diharapkan tingkat pendapatan yang diperoleh juga akan tinggi. Dengan status
menikah, berarti harus menanggung beban hidup istri dan anak, pada kondisi ini,
maka seseorang harus mendapatkan pekerjaan yang dapat memberikan tingkat
penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan melakukan
mobilitas horizontal; yaitu memindahkan lokasi pasar barang atau jasa atau
mobilitas vertikal; yaitu mengganti barang atau jasa, maka diharapkan perolehan
tingkat pendapatan juga akan meningkat. Demikian juga status pekerjaan, untuk
tiap kelompok status pekerjaan yang berbeda akan memberikan tingkat
pendapatan yang berbeda. Variabel jenis pekerjaan dipertimbangkan karena untuk
adanya range keuntungan yang berbeda dari jenis barang atau jasa yang di
pasarkan, demikian juga asal daerah yang berkaitan dengan jenis usaha.
Model struktur tersebut tersusun sebagai berikut: mobilitas horizontal
yang disertai perubaha n status pekerjaan dan perubahan jenis penis pekerjaan
serta perubahan modal usaha (mobilitas vertikal) menyebabkan besarnya
pendapatan yang diperoleh di kota.
Pendapatan migran sektor informal diduga bukan hanya dipengaruhi oleh
faktor -faktor tersebut, melainkan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terjalin
antara (seperti; manajemen, informasi pasar dan keberuntungan). Model struktural
tersebut tersusun sebagai berikut;
Keterangan: X1 = Mobilitas horizontal
X2 = Status pekerjaaan
X3 = jenis pekerjaan
X4 = Mobilitas vertikal
X5 = Pendapatan di kota
Gambar 3. Model Struktur Peningkatan Pendapatan Migran Sektor Informal
Untuk melihat faktor yang paling dominan memberi sumbangan efektif
dalam meningkatkan pendapatan migran di perkotaan digunakan analisis regresi
ganda, dengan model regresi sebagai berikut;
YMIG = bo + b1UMIG + b2PEND + b3STAT + b4LAMB + b5MOBH
+ b6MOBV + b7STKJ1 + b8STKJ2 + b9JNPK1 + b10JNPK2
+ b11ASDA
X2
X3 X5
X4
dimana ;
YMIG = Pendapatan migran sektor informal (Rp/bulan)
UMIG = umur (dalam tahun)
PEND = tingkat pendidikan (0=SD, 1=SMP, 2=SMA, 3=Sarjana) STAT = status perkawinan (1= menikah, 0 = tidak menikah) LAMB = lama bekerja di kota (dalam tahun)
MOBH = mobilitas horizontal (frekuensi perpindahan lokasi kerja)
MOBV = mobilitas vertikal (frekuensi perpindahan jenis usaha)
STKJ 1 = Status pekerjaan (1 = majikan, 0 = lainnya)
STKJ 2 = Status pekerjaan (1 = usaha sendiri, 0 = lainnya)
JNPK 1= Jenis pekerjaan (1= pakaian, 0 = lainnya)
JNPK 2= Jenis pekerjaan (1= makanan, 0 = lainnya)
ASDA = Asal daerah ( 1= Jawa Barat, 0 = lainnya)
Untuk menguji kelayakan model di atas dilakukan analisa korelasi
Pearson, jika tidak ada kolinearitas atas variabel-variabel independen tersebut,
maka model tersebut pantas untuk digunakan dalam menggambarkan hubungan
antara variabel penjelas dengan variabel yang dijelaskan.
Dalam ekonomi informal penin gkatan pendapatan berkaitan erat dengan
peningkatan status kerja (tingkat sosial ekonomi). Untuk melihat hubungan status
pekerjaan dengan pendapatan dilakukan pengujian dengan uji Duncan Multiple
Range (DMRT), yaitu uji beda nilai tengah rata-rata pendapa tan untuk status
pekerjaan.
Pergeseran tingkat sosial migran dalam masyarakat tersebut dapat terjadi
secara revolusioner dan evolusioner. Pergeseran tingkat sosial secara revolusioner
oleh sektor formal. Hal ini dapat terjadi terutama bagi mereka yang berpendidikan
relatif tinggi dengan umur yang masih muda. Sambil bekerja di kota mereka
mengamati terus pembangunan industri dan sektor modern lainnya yang membuka
peluang kerja di sega la jenjang pekerjaan dari pekerja kasar hingga pekerja
profesional. Terbukanya peluang tersebut merupakan daya tarik tersendiri bagi
kaum migran, sehingga kerja sektor informal yang dilakukan selama itu hanya
sebagai batu loncatan.
Pergeseran tingkat sos ial secara evolusioner dimaksudkan bila pekerjaan
migran di sektor informal berangsur-angsur berkembang hingga mampu
menerobos masuk ke kategori usaha legal (sektor formal). Hasil kajian kualitatif
di lapangan terhadap riwayat perkembangan pekerjaan kaum migran yang
pekerjaannya berkembang ke ambang sektor formal, menunjukkan terjadinya
pergeseran sektoral secara evolusioner melalui “model penyatuan rekonstruksi
pekerjaan sektor informal”.
Ekonomi informal mempunyai karakteristik yang menggambarkan
hubunga n antara bentuk-bentuk ekonomi seperti produksi subsisten yang berbasis
utama pada hubungan sosial lokal, seperti keluarga, tetangga, dan teman-teman,
dengan kegiatan sektor informalnya, yang membangun hubungan ekonomi
berdasarkan kultural di antara mereka (Evers dan Korff, 2002).
Hubungan sosial diantara migran di kota, merupakan penentu untuk
memasuki pasar tenaga kerja di sektor informal, sebagai persyaratan yang harus
dimiliki migran dalam mempermudah mendapatkan pekerjaan. Hubungan sosial
antara sesama migran, bukan hanya dalam hal mendapatkan informasi lowongan
kerja, juga dalam hubungan antara produsen dan konsumen.
3.2.3. Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini data yang digunakan sebagai bahan analisis adalah
data primer migran yang bekerja di sektor informal, untuk mengungkapkan
bagaimana pola ekonomi yang terbentuk, serta bentuk strategi yang dilakukan
dalam aktivitas ekonomi mereka. Populasi dalam penelitian ini adalah migran
yang bekerja di sektor informal, pada industri daur ulang (lapak dan pemulung),
dan pedagang kaki lima (pakaian dan makanan), dengan jumlah responden
sebanyak 150 orang. Responden pada industri daur ulang sebanyak 30 orang
(lapak 7 orang, dan pemulung 23 orang), pedagang kakilima makanan 60 orang,
dan pedagang kakilima pakaian sebanyak 60 orang. Pengambilan contoh
dilakukan secara sengaja (purposive sampling), dengan pertimbangan agar mudah
mendapatkan informasi data yang dibutuhkan.
Data sekunder jumlah penduduk dan tenaga kerja antar sektor, untuk
menganalisa aliran tenaga kerja menuju ke Kota Tangerang, khususnya di sektor
informal. Cara pengumpulan data adalah :
a. Pengumpulan data primer dilakukan terutama dengan cara melakukan
wawancara dengan menggunakan kuesioner, untuk menelaah ekonomi migran
di sektor informal, yang dilakukan pada Agustus sampai Desember 2002.
b. Pengumpulan data sekunder, untuk menganalisa aliran tenaga kerja menuju ke
Kota Tangerang, publikasi tahun 1998 – 2002, meliputi data statistik,
Statistik, Departemen Tenaga Kerja, Kantor Badan Pemerintah Daerah Kota
Tangerang.
3.2.4. Pengujian Hipotesis
Analisa deskriptif digunakan dengan mengacu pada teori Marx dalam
Hayami (2001), bahwa sektor industri formal memiliki kemampuan terbatas untuk
menciptakan output dan kesempatan kerja. Oleh karena industri-industri besar
dapat menekan tingkat upah dan jumlah tenaga kerja untuk mendapatkan output
yang tinggi dengan menggunakan teknologi modern. Akibatnya kesempatan kerja
di sektor ini tidak meningkat secara seimbang dengan kenaikan output, maka
penambahan penawaran tenaga kerja baik karena migrasi atau dari penduduk kota
itu sendiri, akan memasuki sektor informal, yang memiliki kesempatan kerja yang
lebih luas.
Untuk menguji hipotesis pertama, dilakukan telaah perilaku pelaku sektor
informal pada industri daur ulang dalam hal ini pemulung dan lapak, serta
pedagang kakilima, yaitu pedagang makanan dan pedagang pakaian. Bagaimana
saat awal keberadaannya di kota, dan periode selanjutnya dalam mempertahankan
keberadaannya di kota Tangerang. Dengan analisis deskriptif dapat terungkap
strategi-strategi para migran informal dalam mempertahankan kehidupannya,
maupun da lam mengembangkan potensi ekonominya.
Untuk mengetahui tingkat kesejahteraan migran sektor informal dilakukan
telaah pada status pekerjaan dengan menggunakan analisis uji Duncan, dan untuk
menelaah faktor-faktor yang sangat berperan dalam peningkatan pendapatan
umur, tingkat pendidikan, status kawin, lama kerja di kota, mobilitas horizontal,
mobilitas vertikal, status pekerjaan, jenis pekerjaan, dan asal daerah.
3.2.5. Jenis Peubah dan Pengukuran
a. Struktur perekonomian dan Struktur Ketenagakerjaan
Digunakan data sekunder dari PDRB atas dasar harga berlaku dalam
periode 1996- 2001, dan data sekunder jumlah tenaga kerja berdasarkan sektor
pekerjaan, dalam periode 1996-2001.
b. Migrasi
Migrasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah migrasi tetap, yaitu
migrasi dari perdesaan ke kota Tangerang dan menetap. Peubah-peubah yang
diukur adalah jumlah penduduk yang melakukan migrasi dari tiap daerah ke Kota
Tangerang dalam satuan jiwa, pada kurun waktu tertentu. Dan jumlah pekerja
sektor informal adalah jumlah penduduk yang bekerja di setiap jenis kegiatan
sektor informal.
c. Status Pekerjaan
Status pekerjaan adalah kedudukan seseorang dalam melakukan pekerjaan
di suatu unit usaha . Status pekerjaan dibedakan menjadi:
(i) Buruh, adalah seseorang yang bekerja pada orang lain atau instansi dengan
menerima upah baik berupa barang maupun uang.
(ii) Berusaha sendiri, adalah mereka yang bekerja sendiri tanpa bantuan
(iii) Berusaha dengan dibantu orang lain, adalah seseorang yang melakukan
usahanya dibantu oleh anggota rumahtangga atau buruh tidak tetap
(iv) Majikan dengan buruh lepas, adalah seseorang yang melakukan usahanya
dengan memperkerjakan buruh tidak tetap.
(v) Majikan dengan buruh tetap, adalah seseorang yang melakukan usahanya
dengan memperkerjakan buruh tetap.
d. Perubahan Status Pekerjaan
(i) Pekerjaan Menurun, adalah kondisi seseorang yang mengalami penurunan
status, misalnya dari majikan menjadi buruh.
(ii) Pekerjaan stabil/ tidak berkembang, adalah kondisi seseorang yang selama di
kota tidak mengalami perubahan keadaan pekerjaan.
(iii) Pekerjaan berkembang, adalah kondisi seseorang yang melakukan usahanya
mengalami peningkatan skala usaha (usaha berkembang).
e. Definisi Ekonomi Informal
Di dalam penelitian ini penulis membatasi definisi sektor informal sebagai
kegiatan perdagangan barang dan atau jasa yang dapat memberikan penghasilan
bagi pelakunya (minimal sebagai usaha untuk bertahan hidup), dan dapat
dilakukan oleh siapa saja tanpa spesifikasi tertentu yang mengikat.
IV. PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN KOTA TANGERANG
4.1. Pertumbuhan Penduduk Kota Tangerang
Dalam kurun waktu 1995 – 2002 pertumbuhan penduduk Kota Tangerang
sangat pesat, yaitu sebesar 4,62 % per tahun, sehingga jumlah penduduk Kota
Tangerang pada tahun 2002 sebesar 1.416.842 jiwa.
Tabel 1. Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Tangerang Tahun 1995/2002
Tahun Penduduk Usia Produktif
Jumlah Persen Jumlah Persen
1990 805.161 615.885
1995 1.096.916 17,00 722.966 24,00
1996 1.138.584 27,00 783.918 29,00
1997 1.180.930 38,00 847.858 33,00
1998 1.223.922 54,00 945.423 38,00
1999 1.267.547 57,00 966.201 43,00
2000 1.311.746 45,00 891.514 48,00
2001 1.354.236 54,00 948.346 53,00
2002 1.416.842 61,00 992.201 60,00
Sumber; Diolah dari BPS Kota Tangerang Tahun 1998 – 2002
Tabel tersebut menggambarkan pertumbuhan jumlah penduduk Kota
Tangerang meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk usia
produktif. Artinya pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Tangerang disebabkan
adanya pertambahan jumlah penduduk angkatan kerja.
4.2. Penduduk Angkatan Kerja
Aliran tenaga kerja yang terjadi erat kaitannya dengan le tak geografis Kota
Tangerang yang berdekatan dengan DKI Jakarta, menjadikan Kota Tangerang
mendapatkan kesempatan kerja di DKI Jakarta akan berpindah ke wilayah
pinggiran Jakarta (JABOTABEK). Disamping itu, penduduk Jakarta yang
mencari tempat murah dengan kondisi lingkungan yang aman, Kota Tangerang
merupakan salah satu pilihan, terutama daerah-daerah yang terletak di perbatasan
Barat Jakarta.
Ada banyak faktor yang menjadi alasan perpindahan ke wilayah pinggiran
kota Jakarta. Salah satunya adalah tingkat pertumbuhan ekonomi wilayah yang
tinggi, menyebabkan Kota Tangerang sebagai alternatif pilihan kota tujuan bagi
migran. Sektor industri adalah basis pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang,
merupakan daya tarik bagi migran untuk mendapatkan kesempatan kerja di sektor
tersebut. Selain dari itu adanya kemajuan dalam transportasi di kawasan
Jabotabek, memudahkan migran yang tidak mendapatkan pekerjaan di Jakarta,
Bogor, dan Bekasi untuk memasuki Kota Tangerang mencari pekerjaan. Dengan
melihat Tabel 2 penduduk per kecamatan Kota Tangerang, memperkuat argumen
yang dikemukakan. Kecamatan Larangan yang paling dekat dengan DKI Jakarta
merupakan kecamatan terpadat, dihuni oleh 13.413 jiwa tiap kilometer
perseginya. Selanjutnya Kecamatan Cibodas, Karawaci, dan Periuk, merupakan
lokasi padat industri (industri kimia). Menyusul Kecamatan Ciledug, Benda dan
Karang Tengah, selain letaknya berbatasan dengan DKI Jakarta, juga merupakan
kecamatan yang memiliki sejumlah industri kimia dan tekstil. Untuk lebih
Tabel 2. Tingkat Kepadatan Penduduk dan Jumlah Usia Produktif per Kecamatan Kota Tangerang Tahun 2002.
Usia Produktif
Kecamatan Jumlah
Penduduk Jumlah Persen
Kepadatan Penduduk/km2
Ciledug 99.010 68.314 68 11.291
Larangan 126.039 90.249 71 13.413
Karang Tengah 88.208 61.670 69 8.422
Cipondoh 133.921 89.011 66 7.477
Pinang 111.451 75.507 67 5.162
Tangerang 117.960 83.703 70 7.473
Karawaci 155.959 112.847 72 11.574
Cibodas 126.328 95.339 75 13.144
Jatiuwung 126.237 81.934 64 8.763
Periuk 107.818 81.911 75 11.298
Neglasari 85.775 55.021 64 5.335
Batuceper 75.308 47.404 63 6.502
Benda 62.828 49.291 78 10.615
Sumber; BPS Kota Tangerang Publikasi Tahun 1998 -2002
Berdasarkan lapangan usaha komposisi penduduk Kota Tangerang (lihat
Tabel 3) didominasi oleh penduduk yang bekerja di sektor industri (188.924
orang) dan penduduk yang bekerja di sektor jasa informal (107.756 orang). Hal ini
mencirikan terjadinya aliran tenaga kerja ke Kota Tangerang, karena adanya
penyerapan tenaga kerja yang tinggi di sektor industri dan jasa informal. Seperti
yang terungkap dalam penelitian Rustiadi dan Panuju (1999), bahwa Kota
Tangerang merupakan daerah pengembangan manufacturing di Jabotabek, dengan
kepadatan penduduk 10.056 per km2 (tergolong kategori paling tinggi),
mengindikasikan terjadinya migrasi di kota tersebut.
Tabel 3. Struktur Ketenagakerjaan Menurut Lapangan Usaha Di Kota Tangerang Tahun 2002
Kecamatan Pertanian Industri Jasa Formal
Namun demikian di Kota Tangerang kepadatan penduduk justru paling
tinggi pada kecamatan yang bukan merupakan basis industri, seperti Kecamatan
Larangan, Ciledug dan Benda, yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta,
fenomena ini mengidentifikasikan bahwa pada kecamatan ini, kepadatan
penduduk disebabkan oleh adanya pergeseran penduduk DKI Jakarta ke wilayah
Kota Tangerang.
Argumen ini ditunjang oleh pengetahuan tentang letak wilayah
Kecamatan Larangan, Kecamatan Ciledug, dan Kecamatan Benda yang
merupakan batas wilayah DKI Jakarta dengan Kota Tangerang. Gambaran
pergeseran pemukiman ke belakang kota (hinterland) yang terjadi di Kecamatan
tersebut sesuai dengan teori penggunaan lahan Von Thunen (Dicken dan Lloyd,
1990). Bahwa lokasi pemukiman akan bergeser ke pinggiran kota, memasuki
wilayah pertanian, dalam perkembangan suatu perkotaan. Hal tersebut dapat
dijelaskan dalam Gambar 5.
retailing
industri
residential Location
rent
0 Jarak Dari Pusat
Komposisi penyebaran sektor lapangan kerja di setiap kecamatan
memberikan gambaran proses yang terjadi pada kecamatan tersebut. Kecamatan
Larangan (berdasarkan Tabel 3), merupakan kecamatan yang tertinggi jumlah
penduduknya yang bekerja pada sektor jasa formal (8.115) dan jasa informal
(13.733). Sedangkan untuk sektor industri tertinggi terdapat pada Kecamatan
Jatiuwung (33.175). Penduduk yang bekerja di sektor pertanian tertinggi terdapat
pada Kecamatan Karawaci (1.736).
Dari data ini dapat diprediksi bahwa Kecamatan Larangan yang mayoritas
penduduknya bergerak dalam sektor jasa informal (13.733), adalah daerah transisi
kaum pendatang untuk memasuki sektor formal maupun sektor industri. Artinya,
pada kecamatan ini telah terjadi aliran tenaga kerja yang sangat tajam. Jika
dibandingkan dengan luas wilayahnya (9,397 km2), maka pada tiap km2 nya
terdapat 1.461 penduduk, yang bergerak pada sektor jasa informal ( 53,43 %).
Penduduk yang bekerja pada sektor formal di Kecamatan Larangan ini
jumlahnya paling tinggi di Kota Tangerang (8.115), dibandingkan dengan
Kecamatan Tangerang yang merupakan pusat administrasi Kota Tangerang.
Jumlah di Kecamatan Larangan masih lebih tinggi, yaitu 25,66 %, sedangkan di
Kecamatan Tangerang 7.461 (24,02 %). Artinya, pada Kecamatan Larangan ini
juga telah mengalami proses perpindahan penduduk Jakarta ke wilayah belakang
kota (Larangan).
Alasan itu dapat dijelaskan dengan mengacu pada tingkat kepuasan
konsumen, semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang, maka pemilihan barang
konsumsi untuk mencapai kepuasan juga akan sema kin luas. Dalam hal ini untuk
kota masih menyisakan biaya untuk aktifitas menglaju (commuting), sehingga
tingkat kesejahteraan yang diperoleh akan masih lebih baik daripada kelompok
pendapatan yang lebih rendah.
Berkembangnya Kota Tangerang tidak terlepas dari pengaruh pengelolaan
DKI Jakarta, dimana pengaruh jangkauannya sukar dibatasi, sehingga bagian
wilayah Kota Tangerang yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta seakan
merupakan bagian dari DKI Jakarta. Apalagi didukung oleh adanya sarana
transportasi yang menghubungkan DKI Jakarta dengan Kota Tangerang sangat
lancar. Menurut Muth (1977), transportasi merupakan aspek yang menjadi salah
satu penentu terjadinya proses pergeseran penduduk pusat kota ke belakang kota,
karena faktor jarak dan waktu dapat dieliminer. Akibatnya belakang kota
(hinterland) akan berkembang menjadi daerah sub urban, dimana fenomena yang
nampak adalah terjadinya perubahan daerah pertanian menjadi daerah perkotaan.
Kesemuanya ini dipengaruhi oleh adanya faktor yang melingkupi aktivitas
perkotaan seperti, derajat aksessibilitas, jumlah fasilitas umum, aglomerasi
ekonomi, dan jarak dari pusat kota.
Rustiadi dan Panuju (1999), mengemukakan bahwa pada umumnya
pembangunan wilayah penyanggah DKI Jakarta (JABODETABEK), merupakan
hasil dari migrasi Jakarta ke luar kota. Pada awalnya, pembangunan ini
merupakan hasil dari ekspansi perumahan perkampungan di wilayah sekitar
Jakarta, dan selanjutnya diikuti dengan pembangunan rumah tipe real-estate dan
industri di daerah yang lebih jauh. Oleh karena terjadinya perusakan sistematik
kampung di Jakarta selama beberapa saat lamanya, khususnya di bagian pusat
4.3. Struktur Perekonomian
Pada dasarnya modernisasi adalah upaya yang menekankan pada
pembangunan ekonomi sebagai titik awal untuk melakukan pergeseran
aspek-aspek kehidupan yang lain (Winoto, 1999). Oleh karena itu pembangunan
ekonomi dan pembangunan aspek-aspek kehidupan lainnya harus diarahkan untuk
menunjang pergeseran yang terjadi di bidang ekonomi. Artinya bidang
ketenagakerjaan harus diarahkan dan dibangun sejalan dengan pergeseran atau
perubahan ekonomi yang terjadi.
Struktur perekonomian kota Tangerang dalam periode 1995 –2002,
mencirikan suatu struktur perekonomian yang seimbang, yaitu terjadinya
transformasi perekonomian yang ditandai oleh semakin meningkatnya pangsa
relatif sektor industri dan jasa (formal dan informal) dan makin menurunnya
pangsa relatif sektor pertanian dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
Tabel 4. Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Periode 1995 – 2002
Pertanian Industri Jasa Formal Jasa Informal Thn
Rp.juta Persen Rp.juta Persen Rp juta Persen RP Juta Persen 1996 36.422 0,492 3.558.016 48,109 3.612.614 48,847 188.707 2,551 1997 32.422 0,364 4.474.907 50,256 4.182.546 46,973 214.159 2,405 1998 34.178 0,254 7.814.405 58,206 5.329.433 39,692 248.779 1,853 1999 36.925 0,251 8.525.515 57,895 5.883.423 39,953 279.981 1,901 2000 37.218 0,230 9.472.471 58,450 6.357.838 39,231 338.476 2,088 2001 37.906 0,216 10.712.522 58,241 7.243.372 39,380 399.565 2,172
Sumber BPS publikasi tahun1999- 2002
Tabel 4 menunjukkan pada tahun 1996 pangsa relatif pertanian terhadap
penurunan pangsa relatif sektor pertanian adalah cukup besar, yaitu - 0,046
persen dengan pangsa absolut yang senantiasa meningkat dari waktu ke waktu.
Sektor industri, di pihak lain telah meningkat pangsa relatifnya terhadap
PDRB dari 48,109 persen pada tahun 1996 menjadi 58,241 persen pada tahun
2001, laju kenaikan pangsa relatif sektor sekunder dalam periode tersebut adalah
sebesar 1,689 persen pe r tahun. Sedangkan, pangsa relatif sektor jasa formal
PDRB juga mengalami penurunan dari 48,847 persen pada tahun 1996 menjadi
39,380 persen pada tahun 2001, suatu penurunan dengan laju sebesar –1,578
persen per tahun. Pada sektor jasa informal mengalami kenaikan pertumbuhan
sebesar 0,35 persen
Dalam kenyataannya transformasi perekonomian wilayah Kota Tangerang
di atas menunjukkan bahwa struktur perekonomian wilayah pada tahun 2001 telah
relatif seimbang dalam arti bahwa sumberdaya wilayah telah di alokasikan pada
sektor-sektor ekonomi yang mempunyai value added yang tinggi.
4.4. Struktur Ketenagakerjaan
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah struktur perekonomian wilayah
Kota Tangerang tersebut telah didukung oleh struktur ketenagakerjaan yang
kondusif bagi perkembangan dan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi yang
memberikan dampak pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kesempatan
kerja yang relatif merata sedemikian rupa. Gambaran mengenai transformasi
Tabel 5. Struktur Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor Ekonomi antara Tahun 1995 – 2002 dalam Persentase
Sektor Ekonomi (persen) Tahun
Pertanian Pertambangan Industri Jasa Formal
Sumber : Diolah dari data BPS publikasi 1998 – 2002
Data yang disajikan dalam Tabel 5 menunjukkan bahwa persentase tenaga
kerja di sektor pertanian relatif sangat rendah. Sektor industri terus mengalami
peningkatan setiap tahunnya, persentase tenaga kerja di sektor formal mengalami
peningkatan pada tahun 1995 – 2000, namun kemudian mengalami penurunan
pada tahun berikutnya. Sedangkan tenaga kerja di sektor jasa informal sejak tahun
2001 kembali mengalami peningkatan yang sangat signifikan.
4.5. Hubungan antara Struktur Perekonomian dan Struktur Ketenagakerjaan
Bila dihubungkan dengan struktur perekonomian wilayah Kota Tangerang
sebagaimana disajikan dalam Tabel 4, dinamika struktur ketenagakerjaan nampak
tidak sejalan dengan dinamika struktur perekonomian wilayah. Artinya, struktur
perekonomian wilayah tersebut tidak didukung oleh struktur ketenagakerjaan.