• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis ekonomi sektor informal di Kota Tangerang : Strategi bertahan hidup dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan migran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis ekonomi sektor informal di Kota Tangerang : Strategi bertahan hidup dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan migran"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS EKONOMI SEKTOR INFORMAL DI KOTA

TANGERANG :STRATEGI BERTAHAN HIDUP DAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT

PENDAPATAN MIGRAN

NURJANNAH YUSUF

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

NURJANNAH YUSUF. Analisis Ekonomi Sektor Informal di Kota Tangerang : Strategi Bertahan Hidup dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pendapatan Migran. Dibimbing oleh ISANG GONARSYAH, dan ERNAN RUSTIADI.

Penelitian ini mengungkapkan bahwa luasnya lapangan kerja di sektor informal merupakan faktor penting dalam proses migrasi di kota. Mengkaji tingkat kesejahteraan migran di sektor informal dengan menelaah perilaku migran pelaku ekonomi informal dalam mengupayakan kehidupannya di kota. Tahap awal merupakan periode paling kritis. Strategi yang digunakan adalah pemenuhan kebutuhan dasar. Selanjutnya adalah strategi peningkatan pendapatan. Analisis regresi berganda digunakan untuk melihat faktor-faktor yang mempe ngaruhi tingkat pendapatan migran di sektor informal, dan uji Duncan digunakan untuk mengkaji hubungan antara status pekerjaan dengan pendapatan.

(3)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa dalam tesis saya yang berjudul

ANALISIS EKONOMI SEKTOR INFORMAL DI KOTA TANGERANG : STRATEGI BERTAHAN HIDUP dan FAKTOR-FAKTOR yang MEMPENGARUHI TINGKAT PENDAPATAN MIGRAN

Merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan pembimbingan

Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini

belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di

Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah

dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, 5 Agustus 2005

(4)

ANALISIS EKONOMI SEKTOR INFORMAL DI KOTA

TANGERANG : STRATEGI BERTAHAN HIDUP DAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT

PENDAPATAN MIGRAN

NURJANNAH YUSUF

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

Pada

Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)
(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis Dilahirkan di Makassar pada tanggal 22 Juli 1967 dari ayah Muh.

Yusuf, BA dan Aisyah Saleh. Penulis merupakan anak ke lima dari delapan

bersaudara.

Tahun 1986 penulis diterima di Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas

Pertanian Universitas Hasanuddin, lulus pada tahun 1991. Pada tahun 2000,

penulis diterima di Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah

dan Perdesaan.

Penulis bekerja sebagai dosen pada Universitas Muslim Indonesia

Makassar dari tahun 1992 sampai tahun 1995. Penulis menikah tahun 1995,

pindah ke Tangerang mengikuti suami, dan bekerja sebagai wiraswasta sampai

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia

-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam

penelitian yang dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Desember 2002 ini

adalah sektor informal, dengan judul Analisis Strategi Bertahan Hidup dan Faktor

-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Pendapatan Migran Sektor Informal.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. DR. Ir. Isang

Gonarsyah, Ph.D dan Bapak DR.Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku pembimbing,

yang telah banyak membantu dan mengarahkan penulis selama penyusunan tesis

ini. Disamping itu penghargaan penulis sampaikan kepada dr. Siti Nurhayati

Yusuf, atas bantuan dan dorongan moral dan material sehingga penulis dapat

menyelesaikan studi dengan baik. Ungkapan terimah kasih juga disampaikan

kepada sahabatku Fatimah Zami, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih

sayangnya.

Akhirnya penulis menyadari bahwa tesis ini banyak kekurangan. Dengan

segala keterbatasan yang ada, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2006

(8)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I. PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9

1.3.1. Tujuan Penelitian... ... 9

1.3.2. Kegunaan Penelitian... II. TINJAUAN PUSTAKA 10

III. METODOLOGI PENELITIAN 14

3.1. Kerangka Pemikiran... 14

3.2. Metode Penelitian... 19

3.2.1. Wilayah Penelitian... 19

3.2.2. Model Analisis ... 20

3.2.3. Pengumpulan Data ... 25

3.2.4. Pengujian Hipotesis... 26

3.2.5. Jenis Peubah dan Pengukuran ... 27

IV. PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN KOTA TANGERANG 29

4.1. Pertumbuhan Penduduk Kota Tangerang... 29

4.2. Penduduk Angkatan Kerja ... 29

4.3. Struktur Perekonomian... 36

(9)

4.5. Hubungan Antara Struktur Perekonomian dan Struktur

Ketenagakerjaan... 38

4.6. Migrasi dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Kota Tangerang... 46

4.7. Kesempatan Kerja di Sektor Informal ... 50

4.8. Ekonomi Sektor Informal ... 52

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 55

5.1. Karakteristik Responden ... 55

5.2. Pelaku Ekonomi dalam Industri Daur Ulang... 58

5.3. Pedagang Kaki Lima... 63

5.4. Strategi Bertahan Hidup Migran di sektor Informal... 70

5.4.1. Strategi Pemenuhan Kebutuhan Dasar... 73

5.4.2. Strategi Bergabung dalam Paguyuban... 74

5.4.3. Strategi Mobilitas Horizontal dan Mobilitas Vertikal... 76

5.5. Pengembangan Pekerjaan Migran di Sektor Informal ... 79

5.5.1. Peningkatan Status Pekerjaan... 79

5.5.2. Hubungan Pengembangan Pekerjaan Pekerjaan dengan Pendapatan... 80

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 91

6.1. Kesimpulan... 91

6.2. Implikasi Kebijakan dan Saran... 93

DAFTAR PUSTAKA... 94

(10)
(11)

ANALISIS EKONOMI SEKTOR INFORMAL DI KOTA

TANGERANG :STRATEGI BERTAHAN HIDUP DAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT

PENDAPATAN MIGRAN

NURJANNAH YUSUF

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

ABSTRAK

NURJANNAH YUSUF. Analisis Ekonomi Sektor Informal di Kota Tangerang : Strategi Bertahan Hidup dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pendapatan Migran. Dibimbing oleh ISANG GONARSYAH, dan ERNAN RUSTIADI.

Penelitian ini mengungkapkan bahwa luasnya lapangan kerja di sektor informal merupakan faktor penting dalam proses migrasi di kota. Mengkaji tingkat kesejahteraan migran di sektor informal dengan menelaah perilaku migran pelaku ekonomi informal dalam mengupayakan kehidupannya di kota. Tahap awal merupakan periode paling kritis. Strategi yang digunakan adalah pemenuhan kebutuhan dasar. Selanjutnya adalah strategi peningkatan pendapatan. Analisis regresi berganda digunakan untuk melihat faktor-faktor yang mempe ngaruhi tingkat pendapatan migran di sektor informal, dan uji Duncan digunakan untuk mengkaji hubungan antara status pekerjaan dengan pendapatan.

(13)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa dalam tesis saya yang berjudul

ANALISIS EKONOMI SEKTOR INFORMAL DI KOTA TANGERANG : STRATEGI BERTAHAN HIDUP dan FAKTOR-FAKTOR yang MEMPENGARUHI TINGKAT PENDAPATAN MIGRAN

Merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan pembimbingan

Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini

belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di

Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah

dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, 5 Agustus 2005

(14)

ANALISIS EKONOMI SEKTOR INFORMAL DI KOTA

TANGERANG : STRATEGI BERTAHAN HIDUP DAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT

PENDAPATAN MIGRAN

NURJANNAH YUSUF

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

Pada

Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(15)
(16)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis Dilahirkan di Makassar pada tanggal 22 Juli 1967 dari ayah Muh.

Yusuf, BA dan Aisyah Saleh. Penulis merupakan anak ke lima dari delapan

bersaudara.

Tahun 1986 penulis diterima di Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas

Pertanian Universitas Hasanuddin, lulus pada tahun 1991. Pada tahun 2000,

penulis diterima di Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah

dan Perdesaan.

Penulis bekerja sebagai dosen pada Universitas Muslim Indonesia

Makassar dari tahun 1992 sampai tahun 1995. Penulis menikah tahun 1995,

pindah ke Tangerang mengikuti suami, dan bekerja sebagai wiraswasta sampai

(17)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia

-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam

penelitian yang dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Desember 2002 ini

adalah sektor informal, dengan judul Analisis Strategi Bertahan Hidup dan Faktor

-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Pendapatan Migran Sektor Informal.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. DR. Ir. Isang

Gonarsyah, Ph.D dan Bapak DR.Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku pembimbing,

yang telah banyak membantu dan mengarahkan penulis selama penyusunan tesis

ini. Disamping itu penghargaan penulis sampaikan kepada dr. Siti Nurhayati

Yusuf, atas bantuan dan dorongan moral dan material sehingga penulis dapat

menyelesaikan studi dengan baik. Ungkapan terimah kasih juga disampaikan

kepada sahabatku Fatimah Zami, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih

sayangnya.

Akhirnya penulis menyadari bahwa tesis ini banyak kekurangan. Dengan

segala keterbatasan yang ada, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2006

(18)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I. PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9

1.3.1. Tujuan Penelitian... ... 9

1.3.2. Kegunaan Penelitian... II. TINJAUAN PUSTAKA 10

III. METODOLOGI PENELITIAN 14

3.1. Kerangka Pemikiran... 14

3.2. Metode Penelitian... 19

3.2.1. Wilayah Penelitian... 19

3.2.2. Model Analisis ... 20

3.2.3. Pengumpulan Data ... 25

3.2.4. Pengujian Hipotesis... 26

3.2.5. Jenis Peubah dan Pengukuran ... 27

IV. PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN KOTA TANGERANG 29

4.1. Pertumbuhan Penduduk Kota Tangerang... 29

4.2. Penduduk Angkatan Kerja ... 29

4.3. Struktur Perekonomian... 36

(19)

4.5. Hubungan Antara Struktur Perekonomian dan Struktur

Ketenagakerjaan... 38

4.6. Migrasi dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Kota Tangerang... 46

4.7. Kesempatan Kerja di Sektor Informal ... 50

4.8. Ekonomi Sektor Informal ... 52

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 55

5.1. Karakteristik Responden ... 55

5.2. Pelaku Ekonomi dalam Industri Daur Ulang... 58

5.3. Pedagang Kaki Lima... 63

5.4. Strategi Bertahan Hidup Migran di sektor Informal... 70

5.4.1. Strategi Pemenuhan Kebutuhan Dasar... 73

5.4.2. Strategi Bergabung dalam Paguyuban... 74

5.4.3. Strategi Mobilitas Horizontal dan Mobilitas Vertikal... 76

5.5. Pengembangan Pekerjaan Migran di Sektor Informal ... 79

5.5.1. Peningkatan Status Pekerjaan... 79

5.5.2. Hubungan Pengembangan Pekerjaan Pekerjaan dengan Pendapatan... 80

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 91

6.1. Kesimpulan... 91

6.2. Implikasi Kebijakan dan Saran... 93

DAFTAR PUSTAKA... 94

(20)
(21)

15. Pendapatan Pedagang Makan Informal

(22)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Model Pembangunan Ekonomi Kapitalis Marx. ... 15

2. Bagan Mobilitas Sosial Ekonomi Informal... ... 17

3. Model Struktur Peningkatan Pendapatan

Migran Sektor Informal... 22

4. Peta Administrasi Kota Tangerang... ... 31

5. Hubungan antara “Land Value” Dengan

Jarak Pusat Kota ... 33

6. Hubungan antara Struktur Perekonomian

(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Data Responden Migran Sektor

Informal di Kota Tangerang... 97

2. Hasil Analisis Korelasi Pearson... ... 101

3. Hasil Analisis Regresi Berganda Tingkat Pendapatan

Dengan Karakteristik Migran Sektor Informal... ... 102

4. Hasil Analisis Uji Duncan Multiple Range Rata-rata Pendapatan Status Pekerjaan

Migran sektor Informal ... 104

5. Analisis Shift-Share Pertumbuhan Lapangan

Kerja di KotaTangerang ... 105

6. Analisis Shift-Share Pertumbuhan

PDRB Kota Tangerang... 106

7. Karakteristik Umum Migran Responden... 107

8. Hasil Analisis Empiris Karakteristik Migran sektor

(24)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Di masa lalu migrasi dari desa ke kota dipandang sebagai sesuatu yang

positif. Migrasi dianggap sebagai proses alami di mana surplus tenaga kerja

sedikit demi sedikit ditarik dari sektor perdesaan untuk memenuhi kebutuhan

tenaga kerja bagi perkembangan industri di daerah perkotaan. Proses tersebut

dianggap menguntungkan secara sosial karena sumberdaya manusia berpindah

dari tempat yang produk marjinal sosial (social marginal product)nya rendah ke

tempat yang produk marjinal sosialnya tinggi, dan bertumbuh secara cepat akibat

adanya akumulasi kapital dan kemajuan teknologi (Todaro, 1998).

Kenyataan yang terjadi di negara berkembang kini bertolak belakang

dengan pandangan tersebut. Todaro (1998), mengungkapkan bahwa tingkat

migrasi dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan, selalu lebih besar daripada

tingkat penciptaan kesempatan kerja di daerah perkotaan. Relatif rendahnya

kemampuan kota untuk menyerap pertambahan angkatan kerja di sektor formal,

karena pengusaha sektor formal, dalam upayanya meraih keuntungan

sebesar-besarnya, cenderung menginvestasikan kembali keuntungan yang diperolehnya

untuk membeli alat-alat produksi atau mesin -mesin canggih (padat modal), yang

sangat hemat tenaga kerja, untuk meningkatkan produktivitas usahanya.

Dalam studi tentang mobilitas, khususnya migrasi desa-kota, McGee

(1977) mengamati fenomena migrasi yang berfokus pada sudut pandang regional

Asia Selatan dan Tenggara. Kawasan ini memiliki masalah serupa seperti yang

dihadapi negara berkembang pada umumnya dengan timbulnya “urban

(25)

tenaga kerja dar i desa sekalipun hasil akhirnya sering berupa pemerataan

produktivitas yang rendah dan pemerataan kemiskinan (shared poverty).

Walaupun sesampainya di kota kebanyakan dari migran ini hidup dengan

produktivitas yang rendah, namun proses mobilitas desa-kota tetap terus

berlangsung. Dalam penelitiannya tentang migran di Wonosobo dan Cilacap,

Sutomo (1995), mendapatkan kondisi kehidupan awal migran yang datang ke kota

sangat miskin, namun lambat laun keadaan sosial ekonomi mereka semakin

berkembang.

Di kota-kota negara berkembang setidaknya ada tiga sektor ekonomi yang

terlihat jelas dengan makin derasnya arus migrasi, yaitu sektor “tradisional”, yang

mencakup bentuk-bentuk kegiatan ekonomi pra-industri, sektor “moderen”, yang

meliputi sebagian besar bentuk-bentuk organisasi ekonomi dan fungsi ekonomi

abad XX yang umumnya diimpor dari negara maju, dan sektor “peralihan” atau

“informal”, yang menjadi jembatan antara sektor moderen dan sektor tradisional

(Hauser dan Gardner, 1982).

Oleh karena itulah Widarti (1984), menemukan bahwa di daerah perkotaan

yang kemudian berkembang bukan sektor sekunder, melainkan sektor tersier yang

mengelompok dalam subsektor perdagangan dan jasa pelayanan. Kedua subsektor

ini mencapai 86,9% dari keseluruhan sektor tersier. Hampir separuh (46,1%) dari

kesempatan kerja sektor tersier di perkotaan tertampung dalam berbagai jenis

usaha sektor informal. Karena itu migrasi yang terjadi di negara berkembang

dicirikan oleh mengalirnya tenaga kerja dari perdesaan yang menunjukkan tingkat

(26)

produktivitas yang rendah pula. Sehingga dengan demikian migrasi adalah proses

pemerataan produktivitas rendah desa -kota.

Sektor informal di daerah perkotaan memperlihatkan dinamika ekonomi

yang sangat tinggi, baik dalam bentuk dan sifat usahanya, dalam memberikan

kesempatan kerja bagi para migran. Oleh karena itu, untuk dapat memahami

bahwa proses migrasi dari desa ke kota akan terus berlangsung meskipun

kesempatan kerja di sektor formal terbatas, maka dipandang perlu melakukan

penelitian tentang sektor informal dan migran yang bekerja di dalamnya.

Sektor informal1 menjadi salah satu alternatif dalam mencari lapangan

kerja, karena sesuai dengan karakteristik yang dimilikinya, bahwasanya aktivitas

ekonomi lebih didasarkan pada dorongan untuk menciptakan kesempatan kerja

bagi diri sendiri daripada memperoleh kesempatan investasi (penanaman modal)

dalam peningkatan pendapatan. Sebagaimana dipostulatkan oleh Todaro dan

Harris, bahwa motivasi migran desa-kota adalah bukan hanya karena perbedaan

besarnya upah, tetapi juga pada luasnya kesempatan memasuki berbagai macam

segmen ekonomi yang memberikan harapan yang besar untuk dapat mengubah

taraf hidup mereka (Koyano, 1996).

Sektor informal umumnya terpusat di wilayah kota, dimana merupakan

tempat singgah pertama kaum migran baru di kota. Jadi sektor informal yang

sering kali dianggap sebagai golongan “rendah” dalam kehidupan ekonomi dan

sosial itu, sebenarnya merupakan sektor peralihan baik dalam tata ekonomi

maupun tata sosial. Oleh sebab itu sektor peralihan ini dapat dipandang sebagai

bidang yang mengandung kesempatan untuk membangun ekonomi dan

(27)

melakukan perubahan sosial menuju kehidupan modern (Hauser dan Gardner,

1982).

Sektor informa l kawasan perkotaan dapat juga dilihat sebagai suatu bagian

dari mekanisme ekonomi modern, sebagai tempat terciptanya kegiatan ekonomi

“baru”, yang sebelumnya terlewatkan. Seperti sampah plastik dan kertas bekas

tempat makanan dan minuman serta barang rongsokan, dapat dijadikan komoditas

ekonomi. Hal ini terjadi karena adanya permintaan ketersediaan pada kebutuhan

bahan baku industri daur ulang dengan biaya yang rendah, dalam pengelolaannya

membutuhkan tenaga kerja. Tersedianya layanan jasa (service) yang semakin

komplit mulai dari jasa menjinjing barang belanjaan sampai jasa pemindahan

perabot rumah tangga dan kantor, yang sebelumnya dapat dilakukan sendiri,

sekarang merupakan kegiatan yang bernilai ekonomi. Penawaran jasa ini lahir

karena kehidupan kota yang modern membutuhkan pelayanan serba praktis,

sehingga oleh sebagian orang terutama orang yang membutuhkan penghasilan

untuk hidup, penawaran pelayanan adalah pekerjaan pantas.

Menurut Koyano (1996), orang-orang yang beralih ke sektor informal

tidak banyak yang mengalami pengangguran, karena kesempatan memperoleh

pekerjaan di sektor informal sangat banyak, umumnya didasarkan pada hubungan

sosial di antara migran. Hubungan sosial memegang peranan penting dalam

mengatasi penghidupan di kota, yang mencipt akan kemudahan dalam

mendapatkan pekerjaan. Hal ini menjadikan sektor informal berkembang sangat

cepat di kota, sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk. Karena

kesempatan berusaha untuk memperoleh penghasilan tidak terbatas oleh jumlah

(28)

1.2. Perumusan Masalah

Ciri demografi Indonesia seperti jumlah penduduk yang besar, tingkat

pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi, struktur penduduk yang cenderung

berusia muda, dan distribusi penduduk yang tidak merata dipandang masih

merupakan faktor penghambat dalam usaha memecahkan masalah

ketenagakerjaan dewasa ini.

Pesatnya pertumbuhan ekonomi kota besar yang jauh melebihi kota -kota

kecil, merupakan faktor penarik utama terjadinya aliran tenaga kerja. Terutama

kota yang basis ekonominya adalah sektor industri. Berdasarkan PDRB periode

tahun 1996 – 2001, didapatkan bahwa sektor industri sangat menonjol

perkembangannya di Kota Tangerang.

Kota Tangerang karena lokasinya yang berbatasan dan berdekatan dengan

DKI Jakarta, merupakan daerah belaka ng (hinterland) dari DKI Jakarta, sesuai

dengan teori Von Thunen (Dicken dan Lloyd, 1990). Akibat pesatnya

perkembangan pembangunan DKI Jakarta, maka terjadi pergeseran penduduk ke

daerah belakang (Kota Tangerang), karena DKI Jakarta mengalami keterbatasan

lahan untuk kegiatan industri dan perumahan. Kota Tangerang mendapat

tambahan jumlah penduduk dari limpahan penduduk DKI Jakarta, yang sebagian

di antaranya bekerja di Jakarta, atau sedang mencari pekerjaan di Jakarta. Dengan

demikian dapat dikatakan, besarnya arus migrasi ke Jakarta, akan mempengaruhi

tingginya perpindahan penduduk Jakarta ke wilayah sekitarnya, termasuk Kota

Tangerang.

Selain itu sebagai kota “seribu industri” yang sedang berkembang, potensi

(29)

kerja. Akibatnya tiap tahun jumlah penduduk Kota Tangerang meningkat pesat.

Pada tahun 2002 laju pertumbuhan penduduk Kota Tangerang sangat tinggi

(sebesar 4,62%) dengan kepadatan penduduk yang tinggi (8.611 jiwa/km2),

khususnya di kecamatan-kecamatan yang berbatasan dengan DKI Jakarta. Ini

mengindikasikan tingginya tingkat migrasi ke kota ini. Rustiadi dan Panuju

(1999), menemukan bahwa jumlah migran di Kota Tangerang sekitar 10 persen

dari jumlah penduduknya, dimana le bih dari separuhnya (5.3 persen) merupakan

limpahan dari DKI Jakarta.

Karena aktivitas penduduk Kota Tangerang paling banyak di sektor

industri, menyusul sektor jasa informal, maka keadaan ini menunjukkan bahwa,

sebagian dari migran ini (terutama yang baru masuk) menciptakan pekerjaan

sendiri atau bekerja pada perusahaan-perusahaan kecil yang dimiliki keluarga.

Orang-orang yang bekerja ini mencari ikhtiarnya sendiri dalam berbagai kegiatan

mulai dari penjaja, pedagang kaki lima, penulis surat, pengasah pisau, dan

pengumpul barang-barang bekas sampai pada penjual petasan, penjual obat, dan

permainan ular, sebagian lainnya menemukan pekerjaan mekanik, tukang cat,

pengrajin kecil, tukang cukur, dan pembantu rumah tangga.

Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, jumlah pencari kerja mengalami

lonjakan. Pada tahun 1998-1999, jumlah pencari kerja naik sekitar 38 persen.

Bahkan pada tahun 2002 berdasarkan data dari Dinas Tenaga Kerja Kota

Tangerang, jumlah pencari kerja melonjak hingga mencapai 68 persen. Tinggin ya

pencari kerja itu belum dapat diimbangi dengan jumlah kesempatan kerja yang

ada. Sepanjang tahun 2002, misalnya jumlah lowongan kerja yang terdaftar

(30)

adalah sektor industri. Saat ini, rasio lowongan pekerjaan dan pencari kerja di

wilayah Kota Tangerang mencapai 1: 3 (Republika, 2004).

Selama kurun waktu 1995 – 2002 proporsi tenaga kerja di sektor formal

menurun dari 23,55% menjadi 19,83%, sementara di sektor industri meningkat

perlahan dari 29,43% menjadi 33,78%. Di sektor informal pun tenaga kerja yang

terserap melonjak dari 23,55% menjadi 28,18%. Hal ini menunjukkan

kecenderungan peningkatan jumlah tenaga kerja yang memasuki sektor pekerjaan

informal di kota Tangerang. Hal ini terlihat dari pangsa (share) tenaga kerja di

sektor informal 28,18% per tahun dengan peningkatan sebesar 0,58% per tahun,

sedangkan sektor industri adalah 0,54% per tahun, dan sektor jasa formal

memperlihatkan penurunan (-3,21% per tahun). Sektor informal di kota

Tangerang memperlihatkan kecenderungan yang meningkat sejalan dengan

meningkatnya pertumbuhan jumlah penduduknya.

Kebanyakan pekerja yang memasuki sektor informal adalah para migran

baru dari desa yang tidak mendapatkan tempat di sektor formal. Motivasi mereka

biasanya untuk mendapatkan penghasilan agar bisa “hidup” (survive) dan bukan

untuk mendapatkan keuntungan (Todaro, 1988). Akan tetapi jika hanya

dipandang sebagai tempat mendapatkan penghasilan untuk sekedar bertahan hidup

di kota, mengapa jumlah pelaku ekonomi informal semakin meningkat, sejalan

dengan semakin berkembangnya ekonomi suatu wilayah perkotaan.

Relatif masih tingginya pangsa (share) dan pertumbuhan tenaga kerja

yang bekerja di sektor informal di Kota Tangerang, dengan tingkat produktivitas

yang rendah, serta persaingan usaha yang tinggi, maka dipandang perlu untuk

(31)

keberadannya di kota, baik pada tahap awal yang merupakan periode paling kritis

bagi mereka untuk berjuang mempertahankan hidup (survival), maupun tahap

pengembangan yang merupakan periode setelah saat kritis tersebut dilampaui,

untuk dapat meningkatkan status sosial ekonomi migran.

Meskipun kebanyakan migran yang memasuki sektor informal di

perkotaan pa da awalnya mendapati dirinya hidup dalam produktivitas yang

rendah, namun kemudian keadaan sosial ekonomi mereka menunjukkan

perkembangan. Artinya ekonomi informal menawarkan kesempatan yang luas

pada pelakunya untuk memperoleh penghasilan yang lebih baik daripada

sebelumnya. Namun dari pengamatan di lapangan tingkat pendapatan pada setiap

pelaku ekonomi informal berbeda, meskipun jenis usahanya sama dan berada pada

lokasi yang sama. Untuk itu maka perlu penelahaan faktor-faktor yang

mempengaruhi tingkat pendapatan migran pelaku ekonomi informal.

Untuk mengetahui itu semua, maka hal-hal yang harus diteliti adalah

sebagai berikut :

1. Apa yang menarik bagi migran untuk datang ke Kota Tangerang, dan

bagaimana strategi untuk mempertahankan kehidupannya di kota.

2. Bagaimana tingkat kesejahteraan (pendapatan)2 migran, dan faktor-faktor apa

yang mempengaruhi tingkat pendapatan migran di sektor informal.

(32)

1.3. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan, penelitian ini bertujuan

untuk :

1. Menelaah faktor utama yang menarik migran dan strategi migran sektor

informal dalam mempertahankan keberadaaannya di kota.

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan migran

sektor informal.

1.3.2. Kegunaan Penelitian

Dengan memahami perilaku pelaku ekonomi sektor informal, diharapkan

dapat mengembangkan kekuatan ekonomi masyarakat kaum marginal, dimana

aktivitas ekonomi informal ini memperlihatkan perilaku ekonomi yang sama

(33)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian yang dilakukan oleh Ponto (1987), menunjukkan bahwa migrasi

ke kota ditentukan oleh peluang mendapatkan pekerjaan di kota, selisih tingkat

pendapatan di desa dan kota, serta jarak antara desa dan kota. Karena migrasi

merupakan proses yang didasari oleh faktor ekonomi, yang secara selektif

mempengaruhi setiap individu, maka yang paling banyak melakukan migrasi ke

kota Manado adalah penduduk pada daerah kurang produktif, yaitu Gorontalo.

Penelitian Ibrahim (1989) dan Mandang (1991), menemukan bahwa faktor

utama dari migrasi ke kota Manado adalah dorongan ekonomi. Lahan pertanian

yang semakin sempit dan upah petani penggarap yang relatif rendah di daerah

perdesaan wilayah Sulawesi Utara mendorong banya k penduduk perdesaan

bermigrasi ke kota Manado.

Winoto (1999) dalam penelitiannya mengenai proses urbanisasi yang

terjadi di kota-kota besar jalur pantai utara Jawa menemukan bahwa urbanisasi

yang terjadi terutama disebabkan oleh semakin meningkatnya ketidakamanan

untuk tinggal di perdesaan (rural insecurity) daripada ditentukan oleh tingginya

peluang pengembangan ekonomi keluarga di perkotaan.

Penelitian Achmad (2003), tentang pola migrasi di Kabupaten Bekasi,

menyimpulkan bahwa faktor ekonomi merupakan faktor yang paling dominan

mempengaruhi keputusan migran untuk melakukan migrasi ke Kabupaten Bekasi.

Penelitian Desiar (2003), tentang migrasi ke DKI Jakarta, mengungkapkan tingkat

pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta yang tinggi, di atas 9 persen per tahun

(34)

Selain faktor ekonomi, faktor jarak juga merupakan faktor yang

mempengaruhi keputusan migran untuk bermigrasi. Seperti yang ditemukan oleh

Harry dan Cummings dalam Mantra (1995), bahwa di dalam memilih daerah

tujuan migran, migran cenderung memilih daerah yang terdekat dengan daerah

asal. Penelitian yang dilakukan Rahmawati (1991) dan Sutomo (1995),

mengungkapkan kelancaran sistem transportasi dan komunikasi sebagai hasil dari

pembangunan merupakan faktor penyebab tingginya migrasi desa-kota.

Sedangkan menurut Rustiadi et al. (1999) dalam studi urbanisasi di Jakarta dan

Desiar (2003), dalam penelitiannya tentang migrasi di Jakarta, mengungkapkan

bahwa fenomena migrasi di Jakarta erat kaitannya dengan daerah sekitarnya

(Jabotabek). Artinya faktor jarak merupakan salah satu variabel penentu

fenomena migrasi.

Migrasi akan mempengaruhi jumlah angkatan kerja di perkotaan.

Penelitian Ibrahim (2003) dan Desiar (2003) menemukan adanya hubungan positif

antara migrasi dengan jumlah angkatan kerja di kota tujuan, yaitu tingginya

pertumbuhan jumlah penduduk akibat migrasi merupakan peningkatan jumlah

angkatan kerja di kota. Selanjutnya dikemukakan dalam penelitian tersebut,

bahwa peningkatan jumlah angkatan kerja akibat migrasi akan mempengaruhi

pertumbuhan sektor informal, dimana antara keduanya memperlihatkan hubungan

yang positif.

Tentang berkembangnya sektor informal di perkotaan, sebagai salah satu

sektor ekonomi yang cenderung meningkat sejalan dengan tingginya arus migrasi

ke kota, telah banyak menarik perhatian para peneliti. Seperti yang telah

(35)

migran yang bekerja di sektor informal kehidupan ekonominya tidak lebih buruk

dibandingkan dengan yang bekerja di sektor formal.

Penelitian yang dilakukan Rahmawati (1991), menemukan bahwa ada tiga

jenis lapangan usaha yang termasuk ke dalam sektor informal yang memberikan

kesempatan berusaha bagi migran yaitu: perdagangan, buruh dan jasa angkutan.

Sedangkan Sutomo (1995), menemukan bahwa pendapatan migran yang bekerja

di sektor informal berada di atas Kebutuhan Fisik Minimum (KFM), Upah

Minimum Regional, Upah Minimum Sektoral, apalagi pendapatan per kapita

setempat. Namun pendapatan migran masih berada di bawah Kebutuhan Hidup

Minimum untuk Pekerja (KHMP). Tingkat pendapatan migran ditentukan oleh

beberapa faktor: umur, lama bekerja di perkotaan, status kawin, mobilitas

horisontal, dan mobilitas vertikal. Pekerja di sektor informal memungkinkan

menggeser usaha ekonominya ke sektor formal, dengan perkembangan modal dan

pemasaran sejalan dengan peningkatan usahanya.

Hasil penelitian Hastuti (1998) menunjukkan bahwa kebanyakan

penduduk perkotaan basis ekonomi rumah tangganya adalah sektor informal

pedagang kaki lima. Atika (1999), mengungkapkan bahwa pola adaptasi rumah

tangga warung tegal dan warung padang sangat efektif dalam menghadapi krisis.

Hasil penelitian Murdianto (1998) tentang dampak industrialisasi terhadap

perubahan mata pencaharian migran di Kabupaten Bekasi, mengungkapkan bahwa

migran yang tidak terserap di sektor industri, akhirnya memilih sektor informal

(perdagangan dan jasa) sebagai lapangan usaha, untuk tetap mempertahankan

(36)

Dari uraian di atas tampak bahwa studi-studi terdahulu lebih banyak

menitikberatkan pada faktor penyebab mengapa penduduk desa melakukan

migrasi ke kota. Umumnya ditemukan bahwa kota-kota tujuan migran adalah

kota-kota industri, atau kota -kota dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang

tinggi. Dalam penelitian ini yang menjadi perhatian utama adalah kenyataan

bahwa meskipun lapangan pekerjaan di sektor jasa formal dan industri di kota

tujuan migrasi sangat terbatas, tetapi arus migrasi ke kota cenderung meningkat.

Singkat kata studi ini tidak hanya mengkaji tingkat ekonomi migran di sektor

informal secara umum, tetapi lebih jauh lagi mengkaji bagaimana strategi migran

mendapatkan dan mengembangkan pekerjaan/usahanya sejak awal kedatangannya

di kota sampai taraf pengembangan sekarang ini, dan faktor-faktor yang

(37)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Kerangka Pemikiran

Menurut teori Lewis (Todaro, 1988), tingkat pengalihan tenaga kerja dan

penciptaan kesempatan kerja di sektor modern sebanding dengan tingkat

akumulasi kapital sektor modern. Semakin cepat tingkat akumulasi kapital,

semakin tinggi tingkat pertumbuhan sektor moderen dan semakin cepat

penciptaan lapangan kerja baru di kota.

Akan tetapi kenyataan itu tidak terjadi karena keuntungan para kapitalis

cenderung diinvestasikan kembali pada barang-barang modal yang lebih canggih

dan lebih hemat tenaga kerja. Sehingga meskipun jumlah output telah meningkat

sangat tinggi, upah secara keseluruhan dan kesempatan kerja tetap tidak berubah,

semua output tambahan diterima oleh pengusaha dalam bentuk kelebihan

keuntungan. Marx dalam Hayami (2001) mengasumsikan bahwa pertumbuhan

tenaga kerja di sektor industri lebih lambat daripada kecepatan akumulasi kapital,

bahkan adanya penggunaan teknologi modern pada industri-industri menyebabkan

terjadinya penekanan penggunaan jumlah tenaga kerja dan tingkat upah buruh.

Kenyataan ini mengakibatkan pertumbuhan industri-industri di kota-kota tidak

diikuti oleh pertumbuhan jumlah kebutuhan tenaga kerja di sektor industri. Model

pembangunan ekonomi kapitalis Marx menjelaskan sebagai berikut :

Sebagaimana tampak pada Gambar 1 pada periode awal (0) kurva

permintaan tenaga kerja pada sektor kapitalis modern terletak pada garis D0D0

yang sama dengan kapital (K0). Keseimbangan awal terjadi pada titik A dengan

tenaga kerja OL0 pada upah rata -rata OW. Menurut asumsi Marx, jumlah pekerja

(38)

lebih lebar dari OL0. Dari gambar tersebut terlihat bahwa jumlah tenaga kerja

yang dapat diperkerjakan di sektor industri moderen hanya sebesar WA, sehingga

masih tersisa sejumlah tenaga kerja yang mencari pekerjaan di sektor industri

sebesar AR0. Tenaga kerja yang tidak mendapatkan pekerjaan di sektor industri

modern ini (AR0), akan mempertahankan keberadaannya atau dapat menjaga

subsistennya pada aktivitas informal di kota.

D1

Gambar 1. Model Pembangunan Ekonomi Kapitalis Marx

Karena para pemilik modal (kapitalis) cenderung menginvestasikan

keuntungan yang diperolehnya dalam teknologi, yang mengakibatkan peningkatan

permintaan jumlah tenaga kerja menjadi lebih lambat (dari OL0 ke OL1),

sedangkan pertumbuhan output meningkat tajam dari daerah AD0 OL0 ke BD1

OL1, yang menyebabkan terjadinya kelebihan penawaran tenaga kerja BR1.

(39)

terjadi, karena kurva upah horizontal pada industri model kapitalis, yang

menyebabkan peningkatan jumlah pencari kerja di sektor industri yang tidak

mendapatkan pekerjaan akan memasuki sektor informal yang lebih bersifat

subsisten. Jadi tenaga kerja di sektor informal ini merupakan ”industrial reserve

army” sebagaimana dikemukakan Marx.

Pengamatan data statistik menunjukkan bahwa jumlah migran selalu

memperlihatkan kecenderungan meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa

meskipun migran tidak atau belum mendapatkan pekerjaan tetap di kota

keputusan migran untuk pulang kembali ke daerah asal tampaknya jarang terjadi.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang dilakukan dalam

mempertahankan hidup di kota. Bagaimana perilaku migran sejak awal

kedatangannya di kota dan bagaimana strategi yang ditempuh untuk bertahan

hidup (survive) di kota. Menarik untuk dikaji sebagaimana diilustrasikan dalam

Gambar 2. pada dasarnya ada dua tahapan yang dilalui pelaku sektor informal

dalam mempertahankan keberadaannya di kota, yaitu;

1. Strategi pemenuhan kebutuhan dasar; bentuk strategi yang digunakan

dalam memperoleh pekerjaan di kota.

2. Strategi peningkatan kesejahteraan; tahap pengembangan usaha untuk

(40)

Gambar 2. Bagan mobilitas sosial ekonomi informal

Asumsi yang mendasari tahapan mobilitas sosial ekonomi sektor informal

adalah : (1) bahwa tidak ada migran yang sama sekali tidak mempunyai pekerjaan

sesaat setelah tiba di kota, artinya bagaimanapun caranya migran yang

bersangkutan akan mendapatkan penghasilan dari sektor informal, sambil

mencari pekerjaan yang lebih ”sesuai” di sektor lainnya. (2) bahwa semakin lama

migran berada di kota akan semakin banyak hubungan, dan sistem informasi

mereka lebih baik sehingga penghasilan yang diperoleh akan lebih tinggi

dibandingkan dengan yang baru datang ke kota, meskipun dengan tingkat

keterampilan yang sama.

Ekonomi di sektor informal umumnya berkisar pada produk-produk yang

kecil, mudah dipindahkan, dan disimpan, serta penawaran jasa yang sangat mudah

diakses oleh setiap orang. Oleh karenanya pola pasar barang atau jasa di sektor

informal membentuk rantai jalur pasar yang panjang, melewati sejumlah

pedagang, mengakibatkan sistem pemasaran yang terbentuk memberikan

keuntungan yang tipis atau kecil. Hal inilah yang menyebabkan produktivitas di informal

formal pendapatan

(41)

sektor informal sangat rendah, tetapi memberikan peluang yang sangat besar

dalam kesempatan kerja, karena banyak celah kegiatan ekonomi yang terbentuk

sepanjang jalur produksi.

Sebagai sumber penghidupan, ekonomi informal merupakan pilihan pantas

dan rasional bagi migran di kota. Ekonomi ini dapat memberikan tingkat

penghasilan yang setara dengan lapisan bawah ekonomi formal, dan menawarkan

secara terbuka untuk memperoleh tingkat penghasilan maksimal bagi semua

pelakunya. Pada sektor formal, tingkat pendapatan berbeda-beda untuk tiap

golongan dan jenis pekerjaan, yang ditentukan oleh beberapa faktor, seperti

pendidikan, dan lama mengabdi. Demikian juga pada sektor informal, ditemukan

hal yang sama.

Namun demikian, pada sektor informal tidak berlaku ukuran baku, bahwa

tingkatan tertentu dalam suatu jenis usaha akan menunjukkan tingkat pendapatan

yang sama. Bahkan meskipun jenis barang dan jasa yang di pasarkan sama, lokasi,

lama bekerja dan statusnya sama, perolehan penghasilan bisa berbeda. Sehingga

menarik untuk dikaji faktor-faktor apa yang sebenarnya mempengaruhi tingkat

pendapatan migran informal. Berdasarkan teori, tinjauan pustaka, dan pengamatan

lapang, diduga kuat bahwa umur, pendidikan, status kawin, lama bekerja di kota,

mobilitas horizontal, mobilitas vertikal, status pekerjaan, daerah asal, dan jenis

usaha merupakan faktor -faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan migran

(42)

3.2. Metode Penelitian

Dengan bertitik tolak pada kerangka pemikiran yang telah diuraikan

terlebih dahulu, maksud utama sub bab ini membahas antara lain, cara penentuan

wilayah survei, model analisis yang digunakan untuk menganalisa permasalahan,

menguji hipotesis yang telah diutarakan dan cara penguraian terhadap variabel

yang dipilih.

3.2.1. Wilayah Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Agustus sampai Desember 2002 di Kota

Tangerang. Dipilihnya Kota Tangerang secara sengaja didasarkan pada tingkat

perkembangan ekonomi wilayah, dimana sebelumnya Kota Tangerang yang

merupakan bagian administratif dari Provinsi Jawa Barat, yang berkontribusi pada

1/3 dari PDRB Jawa Barat. Saat ini Kota Tangerang merupakan bagian dari

Provinsi Banten, adalah kota yang paling tinggi pertumbuhan ekonominya. Letak

wilayahnya yang berbatasan dengan Jakarta, menjadikan Kota Tangerang

berfungsi sebagai salah satu kota penyangga DKI Jakarta.

Indikator yang digunakan adalah pesatnya perkembangan Kota Tangerang,

ini dapat terlihat jelas dari jumlah prasarana dan sarana penduduk yang semakin

banyak dan berskala besar, tingginya PDRB, dan meningkatnya arus tenaga kerja

dari desa ke kota (migrasi), yang tergambar dari peningkatan jumlah penduduk

usia kerja yang sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk keseluruhan, yang

dapat menggambarkan secara jelas kaitan migrasi dengan sektor informal,

ekonomi migran yang bekerja di sektor informal, serta bentuk strategi yang

(43)

Kota Tangerang terdiri dari 13 kecamatan, yaitu Kecamatan Ciledug,

Larangan, Karang Tengah, Cipondoh, Pinang, Tangerang, Karawaci, Jatiuwung,

Cibodas, Periuk, Batuceper, Neglasari, dan Kecamatan Benda. Penelitian ini

dilakukan di lima kecamatan, yang mewakili tipe kecamatan padat penduduk dan

kecamatan padat industri, yaitu; Kecamatan Tangerang (padat penduduk),

Kematan Cibodas (padat industri), Kecamatan Karawaci (padat penduduk dan

industri), Kecamatan Cipondoh (padat penduduk dan industri), dan Kecamatan

Ciledug (padat penduduk dan industri).

3.2.2. Model Analisis

Pertanyaan mendasar dari analisa ini adalah untuk menelaah mengapa

pekerja sektor informal ini masih terus berkembang walaupun mereka hanya

sekedar dapat bertahan hidup (survival). Perkembangan sektor informal ini

bahkan memperlihatkan potensi yang tidak kalah dengan sektor lainnya. Hal ini

dapat dilihat dari besarnya pangsa (share) tenaga kerja di sektor informal yang

laju pertumbuhannya lebih besar daripada sektor industri.

Tidak semua migran segera memperoleh pekerjaan di sektor informal.

Dengan menggunakan analisa deskriptif dari acuan hasil data primer (150

responden), akan dikaji hubungan antara karakteristik migran dengan tingkat

ekonomi. Fokus kajian penelitian pada empat kelompok pelaku ekonomi informal

(pemulung, lapa k, pedagang kakilima makanan, dan pedagang kakilima pakaian),

diharapkan dapat mengungkapkan strategi yang digunakan migran dalam aktivitas

ekonomi informal di Kota Tangerang dan pola ekonomi yang terbentuk di antara

(44)

Dihipotesiskan bahwa tingkat pe ndapatan migran di perkotaan dipengaruhi

oleh faktor-faktor umur, tingkat pendidikan, status kawin, lama bekerja di kota,

mobilitas horizontal, mobilitas vertikal, status pekerjaan, jenis pekerjaan, dan asal

daerah. Dengan alasan semakin tinggi tingkat umur, tingkat pendidikan, dan lama

bekerja di kota, maka kemampuan dan pengalaman juga akan tinggi, sehingga

diharapkan tingkat pendapatan yang diperoleh juga akan tinggi. Dengan status

menikah, berarti harus menanggung beban hidup istri dan anak, pada kondisi ini,

maka seseorang harus mendapatkan pekerjaan yang dapat memberikan tingkat

penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan melakukan

mobilitas horizontal; yaitu memindahkan lokasi pasar barang atau jasa atau

mobilitas vertikal; yaitu mengganti barang atau jasa, maka diharapkan perolehan

tingkat pendapatan juga akan meningkat. Demikian juga status pekerjaan, untuk

tiap kelompok status pekerjaan yang berbeda akan memberikan tingkat

pendapatan yang berbeda. Variabel jenis pekerjaan dipertimbangkan karena untuk

adanya range keuntungan yang berbeda dari jenis barang atau jasa yang di

pasarkan, demikian juga asal daerah yang berkaitan dengan jenis usaha.

Model struktur tersebut tersusun sebagai berikut: mobilitas horizontal

yang disertai perubaha n status pekerjaan dan perubahan jenis penis pekerjaan

serta perubahan modal usaha (mobilitas vertikal) menyebabkan besarnya

pendapatan yang diperoleh di kota.

Pendapatan migran sektor informal diduga bukan hanya dipengaruhi oleh

faktor -faktor tersebut, melainkan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terjalin

(45)

antara (seperti; manajemen, informasi pasar dan keberuntungan). Model struktural

tersebut tersusun sebagai berikut;

Keterangan: X1 = Mobilitas horizontal

X2 = Status pekerjaaan

X3 = jenis pekerjaan

X4 = Mobilitas vertikal

X5 = Pendapatan di kota

Gambar 3. Model Struktur Peningkatan Pendapatan Migran Sektor Informal

Untuk melihat faktor yang paling dominan memberi sumbangan efektif

dalam meningkatkan pendapatan migran di perkotaan digunakan analisis regresi

ganda, dengan model regresi sebagai berikut;

YMIG = bo + b1UMIG + b2PEND + b3STAT + b4LAMB + b5MOBH

+ b6MOBV + b7STKJ1 + b8STKJ2 + b9JNPK1 + b10JNPK2

+ b11ASDA

X2

X3 X5

X4

(46)

dimana ;

YMIG = Pendapatan migran sektor informal (Rp/bulan)

UMIG = umur (dalam tahun)

PEND = tingkat pendidikan (0=SD, 1=SMP, 2=SMA, 3=Sarjana) STAT = status perkawinan (1= menikah, 0 = tidak menikah) LAMB = lama bekerja di kota (dalam tahun)

MOBH = mobilitas horizontal (frekuensi perpindahan lokasi kerja)

MOBV = mobilitas vertikal (frekuensi perpindahan jenis usaha)

STKJ 1 = Status pekerjaan (1 = majikan, 0 = lainnya)

STKJ 2 = Status pekerjaan (1 = usaha sendiri, 0 = lainnya)

JNPK 1= Jenis pekerjaan (1= pakaian, 0 = lainnya)

JNPK 2= Jenis pekerjaan (1= makanan, 0 = lainnya)

ASDA = Asal daerah ( 1= Jawa Barat, 0 = lainnya)

Untuk menguji kelayakan model di atas dilakukan analisa korelasi

Pearson, jika tidak ada kolinearitas atas variabel-variabel independen tersebut,

maka model tersebut pantas untuk digunakan dalam menggambarkan hubungan

antara variabel penjelas dengan variabel yang dijelaskan.

Dalam ekonomi informal penin gkatan pendapatan berkaitan erat dengan

peningkatan status kerja (tingkat sosial ekonomi). Untuk melihat hubungan status

pekerjaan dengan pendapatan dilakukan pengujian dengan uji Duncan Multiple

Range (DMRT), yaitu uji beda nilai tengah rata-rata pendapa tan untuk status

pekerjaan.

Pergeseran tingkat sosial migran dalam masyarakat tersebut dapat terjadi

secara revolusioner dan evolusioner. Pergeseran tingkat sosial secara revolusioner

(47)

oleh sektor formal. Hal ini dapat terjadi terutama bagi mereka yang berpendidikan

relatif tinggi dengan umur yang masih muda. Sambil bekerja di kota mereka

mengamati terus pembangunan industri dan sektor modern lainnya yang membuka

peluang kerja di sega la jenjang pekerjaan dari pekerja kasar hingga pekerja

profesional. Terbukanya peluang tersebut merupakan daya tarik tersendiri bagi

kaum migran, sehingga kerja sektor informal yang dilakukan selama itu hanya

sebagai batu loncatan.

Pergeseran tingkat sos ial secara evolusioner dimaksudkan bila pekerjaan

migran di sektor informal berangsur-angsur berkembang hingga mampu

menerobos masuk ke kategori usaha legal (sektor formal). Hasil kajian kualitatif

di lapangan terhadap riwayat perkembangan pekerjaan kaum migran yang

pekerjaannya berkembang ke ambang sektor formal, menunjukkan terjadinya

pergeseran sektoral secara evolusioner melalui “model penyatuan rekonstruksi

pekerjaan sektor informal”.

Ekonomi informal mempunyai karakteristik yang menggambarkan

hubunga n antara bentuk-bentuk ekonomi seperti produksi subsisten yang berbasis

utama pada hubungan sosial lokal, seperti keluarga, tetangga, dan teman-teman,

dengan kegiatan sektor informalnya, yang membangun hubungan ekonomi

berdasarkan kultural di antara mereka (Evers dan Korff, 2002).

Hubungan sosial diantara migran di kota, merupakan penentu untuk

memasuki pasar tenaga kerja di sektor informal, sebagai persyaratan yang harus

dimiliki migran dalam mempermudah mendapatkan pekerjaan. Hubungan sosial

(48)

antara sesama migran, bukan hanya dalam hal mendapatkan informasi lowongan

kerja, juga dalam hubungan antara produsen dan konsumen.

3.2.3. Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini data yang digunakan sebagai bahan analisis adalah

data primer migran yang bekerja di sektor informal, untuk mengungkapkan

bagaimana pola ekonomi yang terbentuk, serta bentuk strategi yang dilakukan

dalam aktivitas ekonomi mereka. Populasi dalam penelitian ini adalah migran

yang bekerja di sektor informal, pada industri daur ulang (lapak dan pemulung),

dan pedagang kaki lima (pakaian dan makanan), dengan jumlah responden

sebanyak 150 orang. Responden pada industri daur ulang sebanyak 30 orang

(lapak 7 orang, dan pemulung 23 orang), pedagang kakilima makanan 60 orang,

dan pedagang kakilima pakaian sebanyak 60 orang. Pengambilan contoh

dilakukan secara sengaja (purposive sampling), dengan pertimbangan agar mudah

mendapatkan informasi data yang dibutuhkan.

Data sekunder jumlah penduduk dan tenaga kerja antar sektor, untuk

menganalisa aliran tenaga kerja menuju ke Kota Tangerang, khususnya di sektor

informal. Cara pengumpulan data adalah :

a. Pengumpulan data primer dilakukan terutama dengan cara melakukan

wawancara dengan menggunakan kuesioner, untuk menelaah ekonomi migran

di sektor informal, yang dilakukan pada Agustus sampai Desember 2002.

b. Pengumpulan data sekunder, untuk menganalisa aliran tenaga kerja menuju ke

Kota Tangerang, publikasi tahun 1998 – 2002, meliputi data statistik,

(49)

Statistik, Departemen Tenaga Kerja, Kantor Badan Pemerintah Daerah Kota

Tangerang.

3.2.4. Pengujian Hipotesis

Analisa deskriptif digunakan dengan mengacu pada teori Marx dalam

Hayami (2001), bahwa sektor industri formal memiliki kemampuan terbatas untuk

menciptakan output dan kesempatan kerja. Oleh karena industri-industri besar

dapat menekan tingkat upah dan jumlah tenaga kerja untuk mendapatkan output

yang tinggi dengan menggunakan teknologi modern. Akibatnya kesempatan kerja

di sektor ini tidak meningkat secara seimbang dengan kenaikan output, maka

penambahan penawaran tenaga kerja baik karena migrasi atau dari penduduk kota

itu sendiri, akan memasuki sektor informal, yang memiliki kesempatan kerja yang

lebih luas.

Untuk menguji hipotesis pertama, dilakukan telaah perilaku pelaku sektor

informal pada industri daur ulang dalam hal ini pemulung dan lapak, serta

pedagang kakilima, yaitu pedagang makanan dan pedagang pakaian. Bagaimana

saat awal keberadaannya di kota, dan periode selanjutnya dalam mempertahankan

keberadaannya di kota Tangerang. Dengan analisis deskriptif dapat terungkap

strategi-strategi para migran informal dalam mempertahankan kehidupannya,

maupun da lam mengembangkan potensi ekonominya.

Untuk mengetahui tingkat kesejahteraan migran sektor informal dilakukan

telaah pada status pekerjaan dengan menggunakan analisis uji Duncan, dan untuk

menelaah faktor-faktor yang sangat berperan dalam peningkatan pendapatan

(50)

umur, tingkat pendidikan, status kawin, lama kerja di kota, mobilitas horizontal,

mobilitas vertikal, status pekerjaan, jenis pekerjaan, dan asal daerah.

3.2.5. Jenis Peubah dan Pengukuran

a. Struktur perekonomian dan Struktur Ketenagakerjaan

Digunakan data sekunder dari PDRB atas dasar harga berlaku dalam

periode 1996- 2001, dan data sekunder jumlah tenaga kerja berdasarkan sektor

pekerjaan, dalam periode 1996-2001.

b. Migrasi

Migrasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah migrasi tetap, yaitu

migrasi dari perdesaan ke kota Tangerang dan menetap. Peubah-peubah yang

diukur adalah jumlah penduduk yang melakukan migrasi dari tiap daerah ke Kota

Tangerang dalam satuan jiwa, pada kurun waktu tertentu. Dan jumlah pekerja

sektor informal adalah jumlah penduduk yang bekerja di setiap jenis kegiatan

sektor informal.

c. Status Pekerjaan

Status pekerjaan adalah kedudukan seseorang dalam melakukan pekerjaan

di suatu unit usaha . Status pekerjaan dibedakan menjadi:

(i) Buruh, adalah seseorang yang bekerja pada orang lain atau instansi dengan

menerima upah baik berupa barang maupun uang.

(ii) Berusaha sendiri, adalah mereka yang bekerja sendiri tanpa bantuan

(51)

(iii) Berusaha dengan dibantu orang lain, adalah seseorang yang melakukan

usahanya dibantu oleh anggota rumahtangga atau buruh tidak tetap

(iv) Majikan dengan buruh lepas, adalah seseorang yang melakukan usahanya

dengan memperkerjakan buruh tidak tetap.

(v) Majikan dengan buruh tetap, adalah seseorang yang melakukan usahanya

dengan memperkerjakan buruh tetap.

d. Perubahan Status Pekerjaan

(i) Pekerjaan Menurun, adalah kondisi seseorang yang mengalami penurunan

status, misalnya dari majikan menjadi buruh.

(ii) Pekerjaan stabil/ tidak berkembang, adalah kondisi seseorang yang selama di

kota tidak mengalami perubahan keadaan pekerjaan.

(iii) Pekerjaan berkembang, adalah kondisi seseorang yang melakukan usahanya

mengalami peningkatan skala usaha (usaha berkembang).

e. Definisi Ekonomi Informal

Di dalam penelitian ini penulis membatasi definisi sektor informal sebagai

kegiatan perdagangan barang dan atau jasa yang dapat memberikan penghasilan

bagi pelakunya (minimal sebagai usaha untuk bertahan hidup), dan dapat

dilakukan oleh siapa saja tanpa spesifikasi tertentu yang mengikat.

(52)

IV. PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN KOTA TANGERANG

4.1. Pertumbuhan Penduduk Kota Tangerang

Dalam kurun waktu 1995 – 2002 pertumbuhan penduduk Kota Tangerang

sangat pesat, yaitu sebesar 4,62 % per tahun, sehingga jumlah penduduk Kota

Tangerang pada tahun 2002 sebesar 1.416.842 jiwa.

Tabel 1. Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Tangerang Tahun 1995/2002

Tahun Penduduk Usia Produktif

Jumlah Persen Jumlah Persen

1990 805.161 615.885

1995 1.096.916 17,00 722.966 24,00

1996 1.138.584 27,00 783.918 29,00

1997 1.180.930 38,00 847.858 33,00

1998 1.223.922 54,00 945.423 38,00

1999 1.267.547 57,00 966.201 43,00

2000 1.311.746 45,00 891.514 48,00

2001 1.354.236 54,00 948.346 53,00

2002 1.416.842 61,00 992.201 60,00

Sumber; Diolah dari BPS Kota Tangerang Tahun 1998 – 2002

Tabel tersebut menggambarkan pertumbuhan jumlah penduduk Kota

Tangerang meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk usia

produktif. Artinya pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Tangerang disebabkan

adanya pertambahan jumlah penduduk angkatan kerja.

4.2. Penduduk Angkatan Kerja

Aliran tenaga kerja yang terjadi erat kaitannya dengan le tak geografis Kota

Tangerang yang berdekatan dengan DKI Jakarta, menjadikan Kota Tangerang

(53)

mendapatkan kesempatan kerja di DKI Jakarta akan berpindah ke wilayah

pinggiran Jakarta (JABOTABEK). Disamping itu, penduduk Jakarta yang

mencari tempat murah dengan kondisi lingkungan yang aman, Kota Tangerang

merupakan salah satu pilihan, terutama daerah-daerah yang terletak di perbatasan

Barat Jakarta.

Ada banyak faktor yang menjadi alasan perpindahan ke wilayah pinggiran

kota Jakarta. Salah satunya adalah tingkat pertumbuhan ekonomi wilayah yang

tinggi, menyebabkan Kota Tangerang sebagai alternatif pilihan kota tujuan bagi

migran. Sektor industri adalah basis pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang,

merupakan daya tarik bagi migran untuk mendapatkan kesempatan kerja di sektor

tersebut. Selain dari itu adanya kemajuan dalam transportasi di kawasan

Jabotabek, memudahkan migran yang tidak mendapatkan pekerjaan di Jakarta,

Bogor, dan Bekasi untuk memasuki Kota Tangerang mencari pekerjaan. Dengan

melihat Tabel 2 penduduk per kecamatan Kota Tangerang, memperkuat argumen

yang dikemukakan. Kecamatan Larangan yang paling dekat dengan DKI Jakarta

merupakan kecamatan terpadat, dihuni oleh 13.413 jiwa tiap kilometer

perseginya. Selanjutnya Kecamatan Cibodas, Karawaci, dan Periuk, merupakan

lokasi padat industri (industri kimia). Menyusul Kecamatan Ciledug, Benda dan

Karang Tengah, selain letaknya berbatasan dengan DKI Jakarta, juga merupakan

kecamatan yang memiliki sejumlah industri kimia dan tekstil. Untuk lebih

(54)

Tabel 2. Tingkat Kepadatan Penduduk dan Jumlah Usia Produktif per Kecamatan Kota Tangerang Tahun 2002.

Usia Produktif

Kecamatan Jumlah

Penduduk Jumlah Persen

Kepadatan Penduduk/km2

Ciledug 99.010 68.314 68 11.291

Larangan 126.039 90.249 71 13.413

Karang Tengah 88.208 61.670 69 8.422

Cipondoh 133.921 89.011 66 7.477

Pinang 111.451 75.507 67 5.162

Tangerang 117.960 83.703 70 7.473

Karawaci 155.959 112.847 72 11.574

Cibodas 126.328 95.339 75 13.144

Jatiuwung 126.237 81.934 64 8.763

Periuk 107.818 81.911 75 11.298

Neglasari 85.775 55.021 64 5.335

Batuceper 75.308 47.404 63 6.502

Benda 62.828 49.291 78 10.615

Sumber; BPS Kota Tangerang Publikasi Tahun 1998 -2002

(55)

Berdasarkan lapangan usaha komposisi penduduk Kota Tangerang (lihat

Tabel 3) didominasi oleh penduduk yang bekerja di sektor industri (188.924

orang) dan penduduk yang bekerja di sektor jasa informal (107.756 orang). Hal ini

mencirikan terjadinya aliran tenaga kerja ke Kota Tangerang, karena adanya

penyerapan tenaga kerja yang tinggi di sektor industri dan jasa informal. Seperti

yang terungkap dalam penelitian Rustiadi dan Panuju (1999), bahwa Kota

Tangerang merupakan daerah pengembangan manufacturing di Jabotabek, dengan

kepadatan penduduk 10.056 per km2 (tergolong kategori paling tinggi),

mengindikasikan terjadinya migrasi di kota tersebut.

Tabel 3. Struktur Ketenagakerjaan Menurut Lapangan Usaha Di Kota Tangerang Tahun 2002

Kecamatan Pertanian Industri Jasa Formal

(56)

Namun demikian di Kota Tangerang kepadatan penduduk justru paling

tinggi pada kecamatan yang bukan merupakan basis industri, seperti Kecamatan

Larangan, Ciledug dan Benda, yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta,

fenomena ini mengidentifikasikan bahwa pada kecamatan ini, kepadatan

penduduk disebabkan oleh adanya pergeseran penduduk DKI Jakarta ke wilayah

Kota Tangerang.

Argumen ini ditunjang oleh pengetahuan tentang letak wilayah

Kecamatan Larangan, Kecamatan Ciledug, dan Kecamatan Benda yang

merupakan batas wilayah DKI Jakarta dengan Kota Tangerang. Gambaran

pergeseran pemukiman ke belakang kota (hinterland) yang terjadi di Kecamatan

tersebut sesuai dengan teori penggunaan lahan Von Thunen (Dicken dan Lloyd,

1990). Bahwa lokasi pemukiman akan bergeser ke pinggiran kota, memasuki

wilayah pertanian, dalam perkembangan suatu perkotaan. Hal tersebut dapat

dijelaskan dalam Gambar 5.

retailing

industri

residential Location

rent

0 Jarak Dari Pusat

(57)

Komposisi penyebaran sektor lapangan kerja di setiap kecamatan

memberikan gambaran proses yang terjadi pada kecamatan tersebut. Kecamatan

Larangan (berdasarkan Tabel 3), merupakan kecamatan yang tertinggi jumlah

penduduknya yang bekerja pada sektor jasa formal (8.115) dan jasa informal

(13.733). Sedangkan untuk sektor industri tertinggi terdapat pada Kecamatan

Jatiuwung (33.175). Penduduk yang bekerja di sektor pertanian tertinggi terdapat

pada Kecamatan Karawaci (1.736).

Dari data ini dapat diprediksi bahwa Kecamatan Larangan yang mayoritas

penduduknya bergerak dalam sektor jasa informal (13.733), adalah daerah transisi

kaum pendatang untuk memasuki sektor formal maupun sektor industri. Artinya,

pada kecamatan ini telah terjadi aliran tenaga kerja yang sangat tajam. Jika

dibandingkan dengan luas wilayahnya (9,397 km2), maka pada tiap km2 nya

terdapat 1.461 penduduk, yang bergerak pada sektor jasa informal ( 53,43 %).

Penduduk yang bekerja pada sektor formal di Kecamatan Larangan ini

jumlahnya paling tinggi di Kota Tangerang (8.115), dibandingkan dengan

Kecamatan Tangerang yang merupakan pusat administrasi Kota Tangerang.

Jumlah di Kecamatan Larangan masih lebih tinggi, yaitu 25,66 %, sedangkan di

Kecamatan Tangerang 7.461 (24,02 %). Artinya, pada Kecamatan Larangan ini

juga telah mengalami proses perpindahan penduduk Jakarta ke wilayah belakang

kota (Larangan).

Alasan itu dapat dijelaskan dengan mengacu pada tingkat kepuasan

konsumen, semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang, maka pemilihan barang

konsumsi untuk mencapai kepuasan juga akan sema kin luas. Dalam hal ini untuk

(58)

kota masih menyisakan biaya untuk aktifitas menglaju (commuting), sehingga

tingkat kesejahteraan yang diperoleh akan masih lebih baik daripada kelompok

pendapatan yang lebih rendah.

Berkembangnya Kota Tangerang tidak terlepas dari pengaruh pengelolaan

DKI Jakarta, dimana pengaruh jangkauannya sukar dibatasi, sehingga bagian

wilayah Kota Tangerang yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta seakan

merupakan bagian dari DKI Jakarta. Apalagi didukung oleh adanya sarana

transportasi yang menghubungkan DKI Jakarta dengan Kota Tangerang sangat

lancar. Menurut Muth (1977), transportasi merupakan aspek yang menjadi salah

satu penentu terjadinya proses pergeseran penduduk pusat kota ke belakang kota,

karena faktor jarak dan waktu dapat dieliminer. Akibatnya belakang kota

(hinterland) akan berkembang menjadi daerah sub urban, dimana fenomena yang

nampak adalah terjadinya perubahan daerah pertanian menjadi daerah perkotaan.

Kesemuanya ini dipengaruhi oleh adanya faktor yang melingkupi aktivitas

perkotaan seperti, derajat aksessibilitas, jumlah fasilitas umum, aglomerasi

ekonomi, dan jarak dari pusat kota.

Rustiadi dan Panuju (1999), mengemukakan bahwa pada umumnya

pembangunan wilayah penyanggah DKI Jakarta (JABODETABEK), merupakan

hasil dari migrasi Jakarta ke luar kota. Pada awalnya, pembangunan ini

merupakan hasil dari ekspansi perumahan perkampungan di wilayah sekitar

Jakarta, dan selanjutnya diikuti dengan pembangunan rumah tipe real-estate dan

industri di daerah yang lebih jauh. Oleh karena terjadinya perusakan sistematik

kampung di Jakarta selama beberapa saat lamanya, khususnya di bagian pusat

(59)

4.3. Struktur Perekonomian

Pada dasarnya modernisasi adalah upaya yang menekankan pada

pembangunan ekonomi sebagai titik awal untuk melakukan pergeseran

aspek-aspek kehidupan yang lain (Winoto, 1999). Oleh karena itu pembangunan

ekonomi dan pembangunan aspek-aspek kehidupan lainnya harus diarahkan untuk

menunjang pergeseran yang terjadi di bidang ekonomi. Artinya bidang

ketenagakerjaan harus diarahkan dan dibangun sejalan dengan pergeseran atau

perubahan ekonomi yang terjadi.

Struktur perekonomian kota Tangerang dalam periode 1995 –2002,

mencirikan suatu struktur perekonomian yang seimbang, yaitu terjadinya

transformasi perekonomian yang ditandai oleh semakin meningkatnya pangsa

relatif sektor industri dan jasa (formal dan informal) dan makin menurunnya

pangsa relatif sektor pertanian dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

Tabel 4. Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Periode 1995 – 2002

Pertanian Industri Jasa Formal Jasa Informal Thn

Rp.juta Persen Rp.juta Persen Rp juta Persen RP Juta Persen 1996 36.422 0,492 3.558.016 48,109 3.612.614 48,847 188.707 2,551 1997 32.422 0,364 4.474.907 50,256 4.182.546 46,973 214.159 2,405 1998 34.178 0,254 7.814.405 58,206 5.329.433 39,692 248.779 1,853 1999 36.925 0,251 8.525.515 57,895 5.883.423 39,953 279.981 1,901 2000 37.218 0,230 9.472.471 58,450 6.357.838 39,231 338.476 2,088 2001 37.906 0,216 10.712.522 58,241 7.243.372 39,380 399.565 2,172

Sumber BPS publikasi tahun1999- 2002

Tabel 4 menunjukkan pada tahun 1996 pangsa relatif pertanian terhadap

(60)

penurunan pangsa relatif sektor pertanian adalah cukup besar, yaitu - 0,046

persen dengan pangsa absolut yang senantiasa meningkat dari waktu ke waktu.

Sektor industri, di pihak lain telah meningkat pangsa relatifnya terhadap

PDRB dari 48,109 persen pada tahun 1996 menjadi 58,241 persen pada tahun

2001, laju kenaikan pangsa relatif sektor sekunder dalam periode tersebut adalah

sebesar 1,689 persen pe r tahun. Sedangkan, pangsa relatif sektor jasa formal

PDRB juga mengalami penurunan dari 48,847 persen pada tahun 1996 menjadi

39,380 persen pada tahun 2001, suatu penurunan dengan laju sebesar –1,578

persen per tahun. Pada sektor jasa informal mengalami kenaikan pertumbuhan

sebesar 0,35 persen

Dalam kenyataannya transformasi perekonomian wilayah Kota Tangerang

di atas menunjukkan bahwa struktur perekonomian wilayah pada tahun 2001 telah

relatif seimbang dalam arti bahwa sumberdaya wilayah telah di alokasikan pada

sektor-sektor ekonomi yang mempunyai value added yang tinggi.

4.4. Struktur Ketenagakerjaan

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah struktur perekonomian wilayah

Kota Tangerang tersebut telah didukung oleh struktur ketenagakerjaan yang

kondusif bagi perkembangan dan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi yang

memberikan dampak pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kesempatan

kerja yang relatif merata sedemikian rupa. Gambaran mengenai transformasi

(61)

Tabel 5. Struktur Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor Ekonomi antara Tahun 1995 – 2002 dalam Persentase

Sektor Ekonomi (persen) Tahun

Pertanian Pertambangan Industri Jasa Formal

Sumber : Diolah dari data BPS publikasi 1998 – 2002

Data yang disajikan dalam Tabel 5 menunjukkan bahwa persentase tenaga

kerja di sektor pertanian relatif sangat rendah. Sektor industri terus mengalami

peningkatan setiap tahunnya, persentase tenaga kerja di sektor formal mengalami

peningkatan pada tahun 1995 – 2000, namun kemudian mengalami penurunan

pada tahun berikutnya. Sedangkan tenaga kerja di sektor jasa informal sejak tahun

2001 kembali mengalami peningkatan yang sangat signifikan.

4.5. Hubungan antara Struktur Perekonomian dan Struktur Ketenagakerjaan

Bila dihubungkan dengan struktur perekonomian wilayah Kota Tangerang

sebagaimana disajikan dalam Tabel 4, dinamika struktur ketenagakerjaan nampak

tidak sejalan dengan dinamika struktur perekonomian wilayah. Artinya, struktur

perekonomian wilayah tersebut tidak didukung oleh struktur ketenagakerjaan.

Gambar

Gambar 1. Model Pembangunan Ekonomi Kapitalis Marx
Gambar 2. Bagan mobilitas sosial ekonomi informal
Gambar 3. Model Struktur Peningkatan Pendapatan Migran Sektor Informal
Tabel 1. Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Tangerang Tahun 1995/2002
+7

Referensi

Dokumen terkait

Di Mulyorejo intelektual tidak hanya bisa mengorganisir masyarakat sipil dari berbagai dusun untuk menggapai pengajuan listrik ke PLN, tapi juga mempunyai koneksi pada

Murid mampu menulis kosa kata dan teks yang didengarnya dengan aksara Jawa.. Murid mampu menuliskan kembali kalimat yang didengarnya dengan aksara

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik lndonesia Nomor 59 Tahun 2012 tentang Badan Akeditasi Nasional, Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi.. (BAN-PT)

Berdasarkan temuan data lapangan pada dasarnya saat peneliti bertanya kepada Mika dan Mirna, mereka menjawab bahwa mereka menanggapi label yang diberikan kepada

Panitia Pengadaan Bar ang/ Jasa pada Direktorat Pencegahan dan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Indu strial, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan

Microsoft Access merupakan salah satu program pengolah database yang canggih, yang digunakan untuk mengolah berbagai jenis data dengan pengoperasian

Sumbangan retribusi yang diteliti ialah retribusi terminal Rajabasa terkhusus yang masuk ialah mikrolet, mobil penumpang,bus kota, AKDP AC,AKDP EK,AKAP AC,AKAP EK,

Hal tersebut tercermin dari pengalaman komunikasi yang buruk secara eksplisit tergambar dari interaksi diantara keduanya, dimana setiap kali Jak Angel berusaha untuk