5.1. Karakteristik Responden
Dari jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 150 orang, berdasarkan komposisi menurut daerah asalnya di dominasi migran asal Jawa Barat; 47 orang (31,3 persen), menyusul dari Sumatera Utara; 21 orang (14 persen), dan Jawa Tengah; 20 orang (13,3 persen). Kenyataan ini dikarenakan Kota Tangerang yang merupakan bagian dari Provinsi Banten sebelumnya adalah bagian dari Provinsi Jawa Barat, letaknya paling Barat dari Jawa Barat. Kebanyakan responden adalah laki-laki; 132 orang (88 persen), dan perempuan sebanyak 18 orang (12 persen). Hal ini disebabkan laki-laki lebih mudah melakukan mobilitas dibandingkan perempuan. Perempuan menikah akan terikat dengan keluarganya, sehingga tidak mudah melakukan mobilitas. Status pernikahan laki-laki cenderung tidak menjadi faktor penghambat dalam melakukan mobilitas.
Dari analisa empiris migran sektor informal yang berumur 31 – 40 tahun (41,3 persen), merupakan responden paling dominan. Terbanyak kedua adalah responden berumur 21 – 30 tahun (35,3 persen), dan menyusul yang berumur 41 – 50 tahun (16,7 persen). Dengan demikian, berdasarkan komposisi umur responden, dapat disimpulkan bahwa migran pelaku ekonomi informal rata -rata adalah laki-laki yang berumur 21 – 40 tahun (umur produktif) dan menikah (109 orang = 72,7 persen).
Tingkat pendidikan responden adalah SD sebanyak 18 orang (11,3 persen), SMP sebanyak 50 orang (32,7 persen), SMA sebanyak 67 orang (44 persen), dan
Sarjana sebanyak 15 orang (12 persen). Pendapatan rata -rata per bulan berdasarkan tingkat pendidikan di dapatkan untuk SD sebesar Rp.672.222,00, migran yang berpendidikan SMP mempunyai pendapatan rata-rata sebesar Rp. 675.000,00, yang berpendidikan SMA memperoleh pendapatan rata -rata Rp. 894.545,00. sedangkan pada tingkat Sarjana memperlihatkan pendapatan rata -rata lebih tinggi yaitu Rp. 2.865.625,00.
Hasil analisa empiris ini membuktikan bahwa tingkat pendidikan SD dan SMP memperoleh rata-rata tingkat pendapatan yang relatif sama, sedangkan untuk tingkat pendidikan SMA dan Sarjana memperlihatkan perbedaan yang sangat jelas dalam perolehan tingkat pendapatan rata -rata. Akan tetapi jika memperhatikan jenis usaha yang dijalankan dengan tingkat pendidikan, responden berpendidikan Sarjana memperlihatkan perolehan pendapatan rata -rata lebih tinggi pada jenis usaha makanan, pakaian, dan lapak. Lihat Tabel 10 yang merupakan hasil olahan dari data Lampiran 1 dan Lampiran 7.
Tabel 10. Karakteristik Responden Migran Sektor Informal di Kota Tangerang
Karakteristik SD SMP SMA Sarjana
Lama menganggur 0-1bulan 1-6 bulan 6-12 bulan > 12 bulan 1 5 1 8 5 11 11 14 8 24 6 15 1 4 1 7 Pendapatan rata-rata Makanan Pakaian Pemulung Lapak 913.636,00 287.500,00 216.667,00 - 438.235,00 1.228.947,00 325.000,00 1.100.000,00 1.050.000,00 863.929,00 250.000,00 2.875.000,00 3.714.286,00 1.835.714,00 - 5000.000,00
Tabel 10 menggambarkan bahwa responden yang berpendidikan SD akan mendapatkan pekerjaan dalam waktu 1- 6 bulan atau dalam waktu lebih dari setahun. Mereka lebih banyak berperan sebagai pedagang kakilima makanan, dengan pendapatan rata-rata per bulan Rp.913.636,00, lebih tinggi daripada pendapatan rata-rata responden yang berpendidikan SMP yaitu Rp. 438.235,00 per bulan. Namun demikian responden yang berpendidikan SMP tampak menonjol pada jenis usaha pakaian, lapak, dan pemulung dalam perolehan pendapatan rata-rata per bulan.
Secara relatif, migran yang memasuki sektor informal akan mendapatkan pekerjaan dalam kurun waktu 1-6 bulan dan atau setahun. Hal ini menggambarkan responden relatif akan mengalami masa menganggur setibanya mereka di kota. Berdasarkan data Lampiran 7 (hal.107) bahwa meskipun mereka menganggur, masalah kebutuhan pokok dapat teratasi dengan ditampungnya mereka di rumah kerabat atau teman. Lihat Tabel 11 (hasil olahan data Lampiran 7).
Respondenpun datang ke kota karena diajak oleh ke luarga atau teman yang telah bekerja di kota, sehingga untuk mendapatkan pekerjaan sangat mudah. Hal ini dapat dibuktikan dari jawaban responden yang lebih banyak menjawab datang ke kota untuk kerja dan karena ada kerabat atau keluarga.
Untuk lebih memahami bagaimana mereka dapat tetap eksis di kota dengan memasuki sektor informal, maka dilakukan telaah mengenai pola ekonomi informal yang dijalani, dengan membatasi telaahan pada segmen ekonomi industri daur ulang; yaitu pemulung dan lapak, serta pedagang kakilima makanan dan pakaian
Tabel 11. Modal Sosial Migran Sektor Informal di Kota Tangerang Tingkat Pendidikan
Modal Sosial SD SMP SMA Sarjana
Informasi Kerja -teman sekampung -keluarga -teman di kota -sekolah -koran 3 3 4 1 2 6 6 18 3 8 6 8 21 4 12 - 2 5 4 2 Alasan Memilih Kota Tangerang
-untuk kerja
-ada pekerjaan yang baik -ada kerabat
-dipanggil oleh teman
8 - 5 - 34 4 6 1 24 6 23 5 7 1 3 2 Rumah Tinggal -rumah kerabat -tempat kerja -rumah teman -terminal -kontrakan - 8 2 - 1 10 9 12 2 2 20 12 14 1 - 9 2 1 - 1
5.2. Pelaku Ekonomi dalam Industri Daur Ulang
Pengumpulan barang-barang bekas dilakukan oleh pemulung dan tukang loak. Peranan perantara dijalankan oleh berbagai tingkatan pengusaha dengan modal yang cukup besar; peranan pembeli mencakup industri rumah tangga sampai pabrik-pabrik besar. Pembahasan difokuskan pada dua pelaku dalam industri daur ulang, yakni pemulung dan lapak, menyangkut cara kerja dan hubungan antara keduanya.
Pemulung mengumpulkan barang-barang buangan, seperti kertas, kardus,
plastik, kaleng, besi, dan beling dari tempat-tempat sampah di kota untuk dijual sebagai barang pulungan kepada lapak. Lapak adalah perantara tingkat pertama yang akan menyalurkan bahan-bahan daur ulang dalam jumlah yang lebih besar per jenis komoditi. Dalam menjalankan fungsi ini, pemulung harus mengenali jenis-jenis sampah yang mempunyai nilai ekonomis, serta mengetahui harganya.
Karena harga barang-barang pulungan berfluktuasi, maka pemulung harus senantiasa memperbaharui pengetahuannya tentang barang yang paling banyak dibutuhkan dan berharga tinggi.
Sebagian besar pemulung berkeliling mendatangi tempat-tempat sampah di daerah permukiman dan perkantoran atau pertokoan. Mereka beroperasi dalam rute perjalanan yang relatif tetap. Pembatasan daerah operasi pada prinsipnya tidak ada, walaupun berlaku semacam kesepakatan untuk tidak saling melanggar teritorial masing-masing. Di daerah-daerah permukiman yang padat penduduk, pemulung dapat menjelajahi areal dalam radius 1 kilometer dari lokasi lapak, tempat mereka dapat menjual barang-barang pulungannya.
Ada pula pemulung-pemulung yang mengumpulkan barang-barang buangan di lokasi penumpukan sampah kota, tempat pembuangan akhir (TPA). Di TPA, truk-truk secara rutin membuang sampah kota dalam volume besar. Kualitas sampah di TPA umumnya lebih rendah dibandingkan dengan yang langsung dikumpulkan di daerah permukiman di tengah kota.
Para pemulung dibedakan berdasarkan ciri hubungan mereka dengan pembeli barang-barang pulungannya (lapak). Ada pemulung yang terikat dengan lapak, dalam arti mereka hanya menjual kepada satu lapak secara eksklusif. Pemulung jenis ini biasanya mendapatkan sejumlah fasilitas dari lapaknya, seperti tempat tinggal serta kais dan gerobak; mereka juga mendapatkan pinjaman uang untuk kebutuhan darurat dan pengobatan jika sakit. Untuk ini semua, pemulung diwajibkan menjual seluruh hasil pulungannya kepada lapak yang bersangkutan, walaupun harga beli yang ditawarkan dapat lebih rendah daripada lapak lain.
Pemulung dalam kelompok ini adalah migran yang datang ke kota karena diajak oleh teman atau kerabatnya yang telah bekerja sebagai pemulung di kota, merekapun hanya mengikuti jenis pekerjaan pendahulunya. Sehingga pada suatu wilayah tertentu didapatkan jenis pekerjaan tertentu yang didominasi oleh kelompok pekerja asal daerah tertentu. Seperti untuk kelompok besi-besi tua dikuasai oleh orang Batak.
Pemulung jenis lain adalah pemulung yang tidak terikat pada lapak tertentu. Pada prinsipnya, mereka dapat menjual barang pulungannya kepada lapak mana saja yang menawarkan harga beli terbaik, walaupun tanpa mendapat fasilitas apapun dari lapak. Migran yang termasuk kelompok ini adalah migran yang tanpa sengaja memasuki pekerjaan pemulung. Kebanyakan dari mereka tidak mempersoalkan masalah tempat tinggal, sebab mereka dapat menginap dimana saja, atau menempati sebuah kontrakan di dekat tempat beroperasi mengumpulkan limbah, dan jenis pekerjaan yang dilakoni tidak hanya sebagai pemulung. Ada yang sebagai tukang ojek sewaan, atau tukang sampah di lingkungan tertentu.
Penyediaan fasilitas merupakan faktor penting dalam hubungan antara lapak dan pemulung. Di antara pemulung dalam sampel, 40% menyatakan tinggal di tempat yang disediakan lapak, 43% diberi pinjaman gerobak untuk memulung, 39% diberi bantuan pengobatan atau pinjaman uang untuk kebutuhan darurat. Sedangkan data survei terhadap 15 lapak yang diteliti menunjukkan bahwa hanya 6% yang tidak memberikan fasilitas apapun kepada pemulung, dan 15% yang hanya memberi pinjaman gerobak saja.
Pada prinsipnya, pekerjaan pemulung dapat dijalankan tanpa modal apapun. Barang pulungan, yang merupakan buangan penduduk diperoleh secara gratis; demikian pula, bagi pemulung yang terikat pada lapak tertentu, alat-alat kerjanya. Dalam situasi dimana pemulung menemukan barang buangan dalam kuantitas besar yang hanya dapat diperoleh melalui transaksi beli, sebagian pemulung bisa me minjam uang dari lapak untuk membeli barang-barang tersebut.
Lapak. Kegiatan lapak adalah menyalurkan bahan-bahan daur ulang
dalam keadaan bersih, terpilah-pilah dan dalam kuantitas besar ke tingkatan perantara berikutnya. Sebagian besar dari lapak (93% dari sampel) mengandalkan pemulung sebagai sumber utama pasokan bahan-bahan daur ulangnya. Dalam konteks ini, penyediaan berbagai fasilitas kepada pemulung adalah untuk menjamin keteraturan serta meningkatkan volume pasokan bahan daur ulang.
Dalam hal lokasi usaha, lapak dapat ditemukan di berbagai pelosok kota. Karena jarak tempuh pemulung dalam mencari barang-barang pulungan relatif terbatas, lapak berusaha sedapat mungkin untuk beroperasi dekat dengan sumber limbah. Karena kebutuhan ini, maka lokasi-lokasi lapak banyak ditemui di tengah kota, baik di tanah-tanah kosong milik perorangan yang belum dibangun maupun di tempat-tempat umum, seperti rel kereta api, atau di bantaran sungai.
Industri daur ulang di Kota Tangerang terbentuk oleh suatu jaringan hubungan kerja yang kompleks. Sebagai pengumpul dan penyalur tingkat pertama dari limbah masyarakat, pemulung dan lapak merupakan ujung tombak dari jaringan ini. Gambaran empiris menunjukkan kompleksnya industri ini, bahkan di
tingkat pemulung dan lapak sekalipun terdapat adanya diferensiasi di antara mereka sendiri.
Perbedaan penghasilan di antara para pemulung tidak hanya disebabkan oleh perbedaan kemampuan perorangan dalam mengumpulkan barang-barang buangan, tetapi lebih dipengaruhi oleh perbedaan masing-masing dalam hubungan kerja dengan lapak dan pilihan strategi pengumpulan (berkeliling atau di TPA). Pendapatan rata-rata responden pemulung adalah sebesar Rp. 14.800,00 per hari. Responden yang berpendidikan SMP lebih banyak berperan pada usaha pemulung, dengan kisaran umur antara 20-36 tahun. Pada usaha lapak, ditemukan responden pelakunya paling banyak adalah yang berpendidikan SMA, dengan usia antara 33-53 tahun. Di antara para lapak, juga terdapat perbedaan terutama dalam hal kekuatan modal, rata-rata keuntungan bersih yang diperoleh lapak adalah sebesar Rp. 154.000,00 per hari.
Jika memperhatikan kisaran umur pelaku pemulung dan lapak, dapat disimpulkan bahwa pelaku pemulung adalah migran yang mengandalkan kekuatan pada tenaga. Sedangkan pelaku lapak adalah migran yang lebih banyak bertumpu pada kekuatan modal. Mereka menekuni usaha lapak karena telah mengetahui dengan jelas pasar bahan baku olahan industri, dan biasanya telah terjalin hubungan kontrak yang tidak tertulis dengan pihak industri.
Hubungan antara lapak dan pemulung didasarkan pada ikatan ketergantungan yang diwarnai oleh hubungan bapak dan anak buah. Manisfestasi dari ikatan ini berbentuk penyediaan berbagai fasilitas, terutama tempat tinggal dan bantuan keuangan bagi pemulung untuk menjamin keteraturan pasokan mereka.
Terdapat keterkaitan secara psikologis antara lapak dan pemulung, dimana kebutuhan hidup pemulung dapat ditanggung oleh lapak baik berupa pinjaman atau pemberian cuma-cuma. Keterkaitan ini menjadikan aset utama bagi lapak dalam kelangsungan usahanya. Bagi pemulung itu sendiri hubungan psikologis ini merupakan jaminan bagi kelangsungan hidup di kota.
5.3. Pedagang Kakilima
Sebagai pedagang eceran yang menjual langsung ke konsumen akhir, jaringan usaha pedagang kakilima te rpusat pada upaya memperoleh barang dagangannya. Mereka mendapatkan pasokan dari berbagai sumber; langsung dari produsen, pemasok, toko pengecer, maupun dari pedagang kakilima lainnya.
Pedagang kakilima umumnya sebagai pengusaha mandiri, mempunyai kebebasan untuk menentukan sumber pasokannya atas dasar pertimbangan- pertimbangan ekonomis. Meskipun sebagai pedagang kakilima mempunyai kebebasan menentukan sumber pasokan barang-barangnya, terdapat pula pedagang (khususnya pedagang makanan) yang beroperasi dala m hubungan kerja yang lebih mengikat. Sejumlah pedagang kakilima yang menjual makanan mendapatkan bahan-bahan mentahnya dari seorang pengusaha yang disebut taoke.
Taoke menyediakan berbagai fasilitas tempat tinggal, gerobak, alat-alat masak, dan kadang ua ng makan. Sebagai gantinya, pedagang kakilima berkewajiban membeli bahan-bahan makanan yang ditentukan oleh taoke.
Dari wawancara ditemukan bahwa terdapat dua macam taoke, yaitu taoke produsen dan taoke penyalur. Taoke produsen adalah pengusaha yang memproduksi sendiri jenis makanan tertentu dan memakai tenaga pedagang
kakilima sebagai salah satu strategi pemasarannya. Seperti halnya pada hubungan antara lapak dan pemulung, keterkaitan di antara mereka berdasarkan balas jasa atas kemudahan yang diberikan oleh pihak taoke.
Ada banyak kemudahan yang ditawarkan oleh pihak taoke, seperti pemberian pinjaman kebutuhan hidup atau modal usaha, yang pembayarannya sangat manusiawi. Sebenarnya pemberian pinjaman ini justru merupakan alat untuk mengikat secara emosional pihak pedagang kakilima ke dalam struktur usaha taoke sehingga dapat memperluas jaringan pemasaran produk.
Taoke penyalur adalah pengusaha yang mencari keuntungan dengan berperan sebagai perantara antara produsen atau pemasok bahan makanan tertentu dan pedagang kakilima. Mustari, misalnya, memiliki lima buah gerobak yang disewakan kepada pedagang kakilima. Setiap hari Mustari membeli mie dari pabrik milik saudaranya, ayam cincang dari sebuah industri rumahan, dan saus tomat, vetsin, dan tepung dari pasar. Kemudian menjual bahan-bahan ini kepada pedagang kakilima yang menyewa gerobaknya.
Paling banyak model ini adalah menitipkan makanan pada warung- warung kecil, yang pembayarannya tergantung pada jumlah barang yang terjual. Hubungan macam ini sangat me nguntungkan kedua belah pihak. Pihak penyalur dapat menjangkau daerah pemasaran yang sangat luas, sedangkan pihak pedagang kakilima tidak mengeluarkan biaya produksi. Kerjasama ini berdasarkan atas rasa saling percaya.
Responden yang berprofesi sebagai pe dagang makanan dan pakaian didominasi oleh migran yang berpendidikan SMP dan SMA. Pedagang makanan yang berpendidikan SMP berusia antara 22-45 tahun, dan sebagai pedagang
pakaian berusia antara 23-48 tahun. Pedagang yang berpendidikan SMA memperlihatkan range umur yang sama, pedagang makanan berusia antara 20-50 tahun, dan pedagang pakaian berusia 22-48 tahun. Melihat komposisi umur pedagang makanan dan pakaian menggambarkan bahwa umur pelaku kedua jenis usaha ini adalah sama yaitu berkisar antara umur 22-48 tahun (usia produktif).
Pedagang kakilima berjualan dengan berbagai sarana berupa kios, tenda, atau secara gelar. Pedagang gelar menghamparkan barang-barangnya di atas trotoar/lantai dengan suatu alas, atau menjajakannya di atas peti-peti yang ditumpuk hingga berfungsi sebagai meja. Walaupun pada waktu berjualan mereka mangkal di tempat tertentu, para pedagang gelar bersifat mobil dalam arti mudah memindahkan dagangannya ke lokasi lain. Mereka dapat menyesuaikan lokasi dan waktu berjualannya dengan kondisi keramaian suatu tempat, tetapi sering pula menghadapi penggusuran oleh aparat ketertiban atau petugas pasar karena menempati lokasi yang tidak semestinya (misalnya trotoar).
Pedagang yang berjualan dengan tenda, menggunakan meja ataupun rak dengan waktu berjualan yang dibatasi oleh petugas lokal, seperti aparat pemerintah kota, pengelola pasar, pengelola terminal bis, dan sebagainya. Di luar waktu berjualan yang diizinkan, tenda digulung dan lokasi mereka dipakai untuk kegiatan lain (seperti parkir mobil) ataupun dibebaskan untuk lalu-lintas pejalan kaki.
Sementara itu, pedagang kios menggunakan tempat usaha yang beratap dan berdinding semi permanen. Dinding kios umumnya terbuat dari papan kayu, tripleks, atau setengah tembok. Pedagang-pedagang ini relatif lebih bebas
menentukan waktu berjualannya karena tidak menduduki tempat-tempat dengan peruntukan lain, sehingga tidak mengenal pembatasan waktu usaha.
Pedagang kakilima dapat ditemukan beroperasi di berbagai jenis lokasi, termasuk di halaman (tetapi di luar gedung) pasar; di sepanjang sisi luar pagar pasar; di lokasi-lokasi resmi kakilima; dan di tempat-tempat non-pasar seperti terminal bis, pemukiman ataupun perkantoran. Pedagang yang memakai sarana kios kebanyakan ditemukan di lokasi-lokasi yang telah diizinkan pemerintah kota dan di lokasi non-pasar. Pedagang yang menggunakan tenda umumnya berada di sekitar pasar, lokasi resmi dan non-pasar, sedangkan pedagang gelaran kebanyakan ditemukan di lokasi pasar, baik di halaman maupun di sekitarnya.
Besaran modal ternyata mendasari beberapa perbedaan di antara pedagang kakilima. Semakin besar modal usaha pedagang, semakin permanen sarana usahanya. Baik pedagang makanan maupun pakaian yang bermodal kecil cenderung untuk menjual dagangannya secara gelar. Proporsi yang menggunakan tenda semakin besar dengan meningkatkan besaran modal usaha. Di antara pedagang bermodal besar, proporsi yang berjualan menggunakan kiospun besar, khususnya untuk pedagang pakaian. Kisaran nilai sebuah kios adalah antara Rp. 175.000,00 - Rp. 5.000.000,00, sedangkan tenda antara Rp. 30.000,00 hingga Rp. 2,5 juta. Pendapatan rata-rata pedagang makanan adalah sebesar Rp. 47.000,00 per hari, sedangkan pedagang pakaian dapat memperoleh pendapatan sebesar Rp. 76.000,00 per hari.
Sebagian besar dari pedagang kakilima bekerja sendiri, tanpa bantuan tenaga kerja lain. Jika dibedakan berdasarkan komoditi yang dijual, ternyata lebih banyak pedagang pakaian yang bekerja sendiri (70%) daripada pedagang makanan
(54%). Jumlah karyawan yang dipekerja kan oleh pedagang pakaian rata-rata satu orang, sedangkan pedagang makanan adalah dua orang. Di antara pedagang makanan, tampak bahwa semakin besar modal usaha, semakin besar pula jumlah karyawan yang dipekerjakan.
Berdasarkan deskripsi kedua kegiatan di atas, dapatlah dibuat satu generalisasi, yakni menyangkut tingginya heterogenitas dan diferensiasi internal dalam ekonomi informal. Heterogenitas ini tidak hanya terbatas pada keragaman bidang usaha, tetapi juga dalam struktur hubungan kerja yang berlaku. Misalnya, pedagang kakilima yang membeli bahan-bahan mentah hanya dari taoke tertentu, pemulung yang menjual barang pulungannya hanya kepada lapak tertentu, berada dalam struktur hubungan kerja yang serupa, yaitu sebagai pekerja yang bergantung pada seorang “patron”. Patron inilah yang menjamin sebagian kebutuhan hidup mereka, baik kebutuhan pokok maupun kelangsungan pekerjaan mereka. Akan tetapi mereka tidak atau kurang dapat mengembangkan potensi ekonominya jika tetap mengikuti patron saja, sehingga sebagian akan melepaskan diri, dan berusaha sendiri dengan jenis usaha yang sama atau usaha yang berbeda. Hal itu terjadi jika pengalaman mereka dalam menggeluti pekerjaannya dapat diamalkan.
Di pihak lain, pedagang kakilima yang memiliki sendiri sarana usahanya dan membeli bahan mentah atau pasokan barang dagangannya di pasaran bebas, pemulung yang relatif bebas untuk menentukan pembeli barang-barang daur ulangnya. Karena kekuatan keuangannya dan karena memiliki sendiri sarana usahanya, pelaku-pelaku ekonomi informal ini berada dalam posisi yang lebih baik untuk melakukan optimalisasi keuntungan. Meskipun kurang pengalaman,
jika didukung oleh kecerdasan ekonomi, maka akan mudah mengembangkan potensi ekonominya, sehingga pelaku ekonomi informal yang mencapai suks es adalah kelompok yang memiliki pengalaman yang banyak serta mempunyai kecerdasan ekonomi yang tinggi. Kecerdasan ekonomi adalah kemampuan mengelola potensi yang dimiliki untuk dapat menghasilkan uang.
Kecerdasan ekonomi inilah yang sesungguhnya berperan pada seorang migran dalam mempertahankan keberadaannya di kota. Pada awalnya menumpang di rumah kerabat atau teman, kemudian dapat mandiri, mempunyai pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan pokok, selanjutnya kebutuhan lainnya. Seterusnya dapat memperkerja kan orang lain dan memperluas pasaran.
Diferensiasi internal dalam ekonomi sektor informal mempunyai berbagai bentuk. Dalam masing-masing bidang usaha informal, terdapat perbedaan- perbedaan atas dasar strategi kerja dan tingkat penghasilan. Hal ini terlihat dari perbedaan-perbedaan yang berlaku antar sesama pemulung, lapak, dan pedagang kakilima. Bila diletakkan dalam konteks sistem perekonomian yang lebih luas, kenyataan heterogenitas dan diferensiasi internal dalam ekonomi sektor informal ini tidak berbeda dengan ekonomi sektor formal. Pelaku ekonomi sektor informal di dalam melakukan usahanya memperlihatkan suatu bentuk struktur – perilaku- kinerja yang berlaku pada ekonomi sektor formal, namun berbeda berdasarkan skala usaha dan pasar konsumennya.
Sistem ekonomi sektor informal juga memperlihatkan adanya struktur persaingan sempurna, tidak pernah membentuk struktur pasar monopoli, seperti pada usaha sektor formal, karena alasan-alasan berikut:
• Setiap orang yang berkeinginan untuk melakukan usaha tidak ada larangan atau rintangan untuk entry (masuk) dan juga tidak ada rintangan untuk exit
(keluar).
• Tujuan usaha adalah untuk memperoleh laba maksimum
• Hampir tidak dibatasi oleh adanya regulasi pemerintah. Dilapangan, cenderung berada dalam suasana hampir tidak ada larangan dan tidak ada surat izin, jika beroperasi dan menjual ke pasar, maka tindakan itu dilakukan tanpa surat-surat izin. Tidak ada hambatan tarif, subsidi, dan kuota.
• Barang dan atau jasa yang ditawarkan adalah homogen.
Meskipun begitu pasar te naga kerja yang berlaku tidak sama, dimana pada ekonomi informal, terutama pada industri daur ulang memperlihatkan perekrutan pekerja tidak terbatas, bahkan semakin banyak orang yang bekerja pada satu lapak justru akan mempertinggi penghasilan yang akan diperoleh oleh lapak. Dalam penentuan kesepakatan tingkat upah, majikan tidak dapat menekan pekerja. Artinya, bila tidak sesuai maka pekerja dapat mencari atau pindah kerja. Sedangkan buruh pada sektor formal, tidak dapat memprotes tingkat upah yang diperoleh, konsekuensinya mereka akan dipecat jika tidak menerima ketentuan pemilik atau pemegang kebijakan usaha.
Dalam jaringan kerja yang terbentuk, terdapat keterkaitan sistem produksi