• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pencucian Daging Sirip Ikan Mackerel dan Pengaruhnya Terhadap Karakteristik Produk Olahan yang dihasilkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pencucian Daging Sirip Ikan Mackerel dan Pengaruhnya Terhadap Karakteristik Produk Olahan yang dihasilkan"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

PENCUCIAN DAGING SIRIP IKAN

MACKEREL

DAN

PENGARUHNYA TERHADAP KARAKTERISTIK

PRODUK OLAHAN YANG DIHASILKAN

RAHMI MARDIATI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pencucian Daging Sirip Ikan Mackerel dan Pengaruhnya Terhadap Karakteristik Produk Olahan yang Dihasilkan adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2013

Rahmi Mardiati

(4)

ABSTRAK

RAHMI MARDIATI. Pencucian Daging Sirip Ikan Mackerel dan Pengaruhnya Terhadap Karakteristik Produk Olahan yang Dihasilkan. Dibimbing oleh TITI CANDRA SUNARTI.

Ikan mackerel memiliki kandungan lemak tinggi dan warna daging kecokelatan yang disebabkan adanya gurat sisi pada saraf yang dilapisi lemak dan dialiri pembuluh-pembuluh darah serta mioglobin. Pengolahan fillet ikan mackerel

menghasilkan produk samping berupa sirip mackerel yang pemanfaatannya masih belum maksimal; karena daging mackerel yang berwarna kecokelatan dan bau amis. Agar mendapatkan warna dan kecerahan daging yang lebih baik, pada daging mackerel

dilakukan pencucian dengan larutan natrium bikarbonat. Pencucian merupakan tahap yang penting dalam proses pengolahan daging ikan yang bertujuan untuk menghilangkan materi yang larut air seperti protein terlarut, lemak, dan bahan pengotor lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan produk samping pengolahan ikan mackerel, dengan mengkaji pengaruh frekuensi pencucian daging

mackerel menggunakan larutan natrium bikarbonat sehingga dapat meningkatkan nilai

tambah produk hasil pengolahan ikan mackerel. Rancangan percobaan yang digunakan adalah acak lengkap dengan faktor frekuensi pencucian dua dan tiga kali serta konsentrasi natrium bikarbonat 0.2% dan 0.5%. Produk olahan yang diujikan dalam bentuk bakso. Hasil memperlihatkan bahwa frekuensi pencucian tiga kali dan konsentrasi natrium bikarbonat 0.5% menyebabkan penurunan kadar lemak dan kadar protein yang paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, dan produk yang dihasilkan memiliki penerimaan yang baik terhadap aroma dan warna pada bakso

mackerel.

Kata kunci: mackerel, pencucian, natrium bikarbonat

ABSTRACT

RAHMI MARDIATI. Washing of Mackerel’s Fin Flesh and its Effect to the Characteristics of Seafood Products. Supervised by TITI CANDRA SUNARTI.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian

pada

Departemen Teknologi Industri Pertanian

PENCUCIAN DAGING SIRIP IKAN

MACKEREL

DAN

PENGARUHNYA TERHADAP KARAKTERISTIK

PRODUK OLAHAN YANG DIHASILKAN

RAHMI MARDIATI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Pencucian Daging Sirip Ikan Mackerel dan Pengaruhnya Terhadap Karakteristik Produk Olahan yang Dihasilkan Nama : Rahmi Mardiati

NIM : F34090072

Disetujui oleh

Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSi Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penyusunan skripsi berjudul “Pencucian Daging Sirip Ikan Mackerel dan Pengaruhnya Terhadap Karakteristik Produk Olahan yang Dihasilkan” telah diselesaikan. Tema yang diangkat dalam penelitian yang dilaksanakan selama April 2013 sampai Juli 2013 ini ialah pengaruh frekuensi pencucian serta penggunaan larutan natrium bikarbonat pada proses pencucian daging mackerel untuk memperbaiki mutu produk olahan yang dihasilkan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSi selaku pembimbing atas perhatian dan bimbingannya sejak awal praktik lapang, penelitian, dan penyelesaian skripsi. Terima kasih kepada Bapak Dr Ir Muslich, MSi serta Bapak Ir Sugiarto, MSi selaku dosen penguji. Terima kasih kepada PT. Kelola Mina Laut atas kerjasamanya dalam program capstone course baik selama praktik lapang maupun penelitian serta atas bahan-bahan yang telah diberikan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, kakak, adik, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh laboran Teknologi Industri Pertanian atas bimbingannya selama melakukan penelitian, staff UPT dan staff Departemen TIN, serta teman-teman TIN 46 atas semangat, doa, dan dukungannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2013

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

METODE 2

Waktu dan Tempat Penelitian 2

Bahan 3

Alat 3

Metode Penelitian 4

Penyiapan dan Karakterisasi Daging Mackerel 4 Pencucian dan Karakterisasi Daging Mackerel 4 Pembuatan Produk Berbasis Daging Mackerel 4

Uji Penerimaan Produk Olahan 4

Rancangan Percobaan 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Karakteristik Daging Mackerel 6

Pengaruh Pencucian Terhadap Karakteristik Daging Mackerel 7 Pengaruh Pencucian Terhadap Karakteristik Produk Olahan 11

Karakteristik Kimia 11

Karakteristik Fisik 14

Penerimaan Produk Olahan Daging Mackerel 16

SIMPULAN DAN SARAN 20

Simpulan 20

Saran 20

DAFTAR PUSTAKA 20

LAMPIRAN 23

(10)

DAFTAR TABEL

1 Karakteristik kimia daging mackerel 7

2 Karakteristik daging sirip mackerel setelah pencucian 7

3 Karakteristik kimia produk olahan 12

4 Karakteristik mutu produk olahan 13

5 Karakteristik fisik produk olahan 14

6 Nilai rataan hasil uji organoleptik bakso mackerel 18 7 Penetapan produk terbaik berdasarkan metode CPI 19

DAFTAR GAMBAR

1 Ikan mackerel. (a) kepala, (b) sirip, (c) badan dan ekor 6 2 Pengaruh konsentrasi NaHCO3 dan frekuensi pencucian terhadap

kadar air daging mackerel 8

3 Pengaruh konsentrasi NaHCO3 dan frekuensi pencucian terhadap

kadar protein daging mackerel 10

4 Pengaruh konsentrasi NaHCO3 dan frekuensi pencucian terhadap

pH daging mackerel 10

5 freeze thaw stability bakso mackerel 16

6 Tekstur bakso mackerel setelah freeze thaw 16

7 Bakso mackerel 17

DAFTAR LAMPIRAN

1 Prosedur analisis komponen kimia 23

2 Prosedur analisis komponen fisik 24

3 ANOVA karakteristik daging mackerel setelah pencucian 25 4 ANOVA karakteristik kimia bakso mackerel 29 5 ANOVA karakteristik fisik bakso mackerel 33

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan mackerel merupakan salah satu ikan laut yang diolah oleh PT. Kelola Mina Laut untuk dijadikan daging fillet. Ikan mackerel memiliki kandungan lemak yang tinggi dan warna daging yang kecokelatan pada daging mackerel

yang disebabkan adanya gurat sisi yang pada saraf yang dilapisi lemak dan dialiri pembuluh-pembuluh darah dan banyak mengandung lemak serta mioglobin (Adawyah 2008). Daging yang banyak mengandung mioglobin memungkinkan ikan pelagis seperti mackerel dapat berenang cepat untuk mendapatkan makanan atau untuk bermigrasi (Kaylor dan Learson 1990).

Secara umum dalam sekali produksi dilakukan pengolahan ikan mackerel

fillet sebanyak 4000 kg dengan rendemen daging fillet sebanyak 59.91%, kepala

15.47%, tulang 7.01%, isi perut 6.49%, sirip 8.18%, dengan loss 2.93% dikarenakan adanya proses pencucian serta pencabutan duri. Daging yang telah diolah selanjutnya akan diekspor ke negara Jepang. Untuk produk samping pengolahan berupa kepala, tulang, dan isi perut dijual ke pihak lain, sedangkan untuk sirip dijual dengan harga Rp3 500 per kg. Namun daya tarik konsumen masih rendah karena sirip ikan mackerel belum umum dikalangan masyarakat dan bau amis yang menyebabkan konsumen tidak tertarik untuk membelinya. Padahal pada bagian sirip mackerel masih terdapat daging sebanyak 45% yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku produk olahan sehingga nilai jualnya menjadi lebih tinggi dan dapat mendatangkan keuntungan.

Ikan mackerel memiliki karakteristik warna daging kecokelatan yang dibentuk oleh saraf-saraf gurat sisi yang dilapisi lemak dan dilewati ribuan pembuluh darah serta pengaruh banyaknya pigmen merah yang disebut mioglobin (Winarno dan Koswara 2002). Umumnya untuk mendapatkan daging yang lebih cerah, daging ikan mackerel harus diolah dan dilakukan teknik pencucian dengan larutan natrium bikarbonat (NaHCO3). Pencucian merupakan tahap yang penting dalam proses pengolahan daging ikan. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan materi larut air, protein sarkoplasma yang larut air, dan bahan pengotor lainnya yang dapat meningkatkan kualitas dari produk (Park 2004).

(12)

Pencucian daging sirip ikan mackerel dengan natrium bikarbonat diharapkan dapat memperbaiki mutu dan kualitas produk olahan yang dihasilkan dimana produk mengandung lemak yang rendah dengan kadar protein yang tinggi sehingga produk olahan dapat diterima oleh konsumen.

Perumusan Masalah

Daging sirip ikan mackerel harus dicuci untuk menghilangkan komponen yang tidak diinginkan yang terlarut dalam air termasuk pigmen heme dan darah serta aroma sehingga tersisa produk yang kaya protein, tidak berbau, dan tidak berwarna. Pengurangan protein terlarut dan lemak berperan untuk memperbaiki produk olahan yang dihasilkan. Pemanfaatan daging mackerel yang terdapat dekat sirip mackerel dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan produk olahan dalam bentuk bakso ikan. Kualitas daging hasil pencucian diharapkan dapat meningkatkan daya terima produk olahan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan produk samping pengolahan ikan mackerel, dengan mengkaji pengaruh pencucian daging sirip ikan mackerel

menggunakan larutan natrium bikarbonat (NaHCO3) terhadap mutu daging setelah pencucian dan pemanfaatannya sebagai bahan baku produk olahan.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat dalam meningkatkan nilai tambah hasil samping produk industri.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah pemanfaatan produk samping pengolahan ikan mackerel yakni daging bagian sirip dan produk olahan yang dibuat menjadi produk bakso. Penggunaan bahan pencuci yang digunakan adalah larutan natrium bikarbonat (NaHCO3).

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilaksanakan sejak bulan April 2013 sampai Juli 2013. Penelitian dilakukan di Laboratorium Dasar Ilmu Terapan, Laboratorium Pengawasan mutu, Laboratorium Instrumen, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

(13)

Bahan

Bahan utama yang digunakan adalah sirip ikan mackerel yang diperoleh dari PT.Kelola Mina Laut, Gresik, Jawa Timur. Bahan lain yang digunakan adalah larutan NaHCO3 0.2% dan 0.5%, heksan, CuSO4, H2SO4 1.25%, asam borat, NaOH 6 N, kertas saring, tepung tapioka, bawang putih, garam, merica, dan sodium tripolyphosphate (STTP).

Alat

Alat yang digunakan adalah oven, food processor, tabung Kjeldahl, soxhlet, tanur, desikator, pH meter, thermometer, pnetrometer, dan colortex colormeter.

Metode Penelitian

Penyiapan dan Karakterisasi Daging Mackerel

Penyiapan yang dilakukan adalah pemisahan daging dari duri, sirip, dan kotoran lainnya yang terdapat pada bagian sirip mackerel. Setelah daging dipisahkan dari pengotor lainnya kemudian dilakukan karakterisasi daging

mackerel yakni uji kadar air, abu, lemak, dan protein. Karakterisasi dilakukan sebanyak dua kali pengulangan dengan tiap pengulangan dilakukan analisis secara triplo. Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 1.

Pencucian dan Karakterisasi Daging Mackerel

Daging ikan mackerel yang telah dipisahkan dari pengotor lainnya kemudian dilakukan pencucian menggunakan air minum dalam kemasan (AMDK) pada suhu 5 oC sampai 10oC selama 20 menit dengan frekuensi dua atau tiga kali. Daging mackerel yang telah dilakukan pencucian kemudian dilakukan karakterisasi komponen proksimat yang terdiri atas uji kadar air, kadar abu, kadar lemak, dan kadar protein, serta uji warna dengan menggunakan colortex

colormeter dan uji derajat keasaman dengan menggunakan pH meter.

Karakterisasi dilakukan sebanyak dua kali pengulangan dengan tiap pengulangan dilakukan secara duplo. Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 1 dan Lampiran 2.

Pembuatan Produk Berbasis Daging Mackerel

Pembuatan bakso mackerel dilakukan dengan menggunakan daging

mackerel yang sebelumnya telah dilakukan pencucian dengan komposisi daging

mackerel 50.2%, kemudian ditambahkan bahan tambahan yang dimodifikasi dari

(14)

bakso ditiriskan. Produk bakso yang telah dibuat kemudian dilakukan karakterisasi berupa uji kadar air, kadar lemak, kadar abu, kadar protein, pH, warna, tekstur, dan sineresis bakso. Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 1 dan Lampiran 2.

Uji Penerimaan Produk Olahan Daging Mackerel

Produk olahan yang telah dibuat kemudian dilakukan uji kesukaan atau yang dikenal dengan uji hedonik dimana panelis mengemukakan responnya yang berupa senang tidaknya terhadap sifat bahan yang diuji. Penilaian yang dilakukan adalah uji warna, tekstur, aroma, rasa, dan bentuk yang dipengaruhi oleh daging dan bahan tambahan lainnya, kandungan protein, proses emulsi, serta proses perebusan. Tingkat kesukaan biasanya digambarkan atau diurutkan dengan skala numerik. Tanggapan tersebut digambarkan dalam bentuk tabel berkategori berbeda-beda, serta angka numerik berdasarkan kesukaan panelis. Angka numerik yang akan digunakan pada uji hedonik ini adalah 7 (sangat suka), 6 (suka), 5 (agak suka), 4 (netral), 3 (agak tidak suka), 2 (tidak suka), dan 1 (sangat tidak suka).

Hasil uji hedonik akan dipilih satu produk dengan menggunakan metode

Composite performance index (CPI) yang merupakan indeks gabungan yang

dapat digunakan untuk menentukan penilaian atau peringkat dari berbagai alternatif (i) berdasarkan beberapa kriteria (j).

Formula yang digunakan dalam teknik CPI : Aij = Xij (min) x 100 / Xij (min)

Xij (min)= nilai alternatif ke-i pada kriteria awal minimum ke-j A(i + 1.j) = nilai alternatif ke-i + 1 pada kriteria ke – j

(15)

konsentrasi natrium bikarbonat yakni 0.0%, 0.2%, dan 0.5%, sedangkan untuk taraf faktor frekuensi pencucian yaitu pencucian dua dan tiga kali dengan pengulangan sebanyak dua kali. Model matematika untuk taraf tersebut adalah sebagai berikut:

Yijk =  + NBi + FPj + NB*FPij + Σ (k)ij SS total = Yijk2–T…2/N

SS Ei = (Ti..2)/jk - T…2/N SS Vj = (T.j.2)/ik - T…2/N

SS EVij = Tij.2– SS Ei – SS Vj –T…2/N SS k(ij) = SS total – SS Ei – SS Vj – SS Evij dengan i = 1, 2, 3 ; j = 1,2; dan k = 1,2; dimana :

Yijk : Parameter respon dari pengaruh taraf ke-i faktor A dan pengaruh taraf ke-j faktor B pada ulangan ke-k.

μ : Pengaruh rata-rata

NBi : Efek sebenarnya taraf ke i (faktor konsentrasi natrium bikarbonat)

FPj : Efek sebenarnya taraf ke j (faktor frekuensi pencucian)

NB*FPij : Efek kombinasi faktor taraf ke ij (faktor kombinasi konsentrasi natrium bikarbonat dan frekuensi pencucian)

Σ (k)ij : Galat (error) kombinasi faktor taraf ke ij dan faktor taraf ke k.

Setelah dilakukan penghitungan, akan didapatkan tabel ANOVA. Jika Fhitung lebih besar dibandingkan dengan Ftabel maka dilanjutkan dengan Tes Newman – Keuls, dimana akan dilakukan perhitungan sebagai berikut:

1. Disusun k rata-rata perlakuan dari yang terkecil – terbesar. 2. Ditulis MS error dari tabel ANOVA.

3. Dihitung standar error dari rata-rata perlakuan Standar error = (MS error / jumlah observasi).

4. Diambil nilai p = 2, 3, 4,….k pada  = 5% dari Studentized Range Table

dengan n2 = derajat bebas error

5. Dihitung Least Significant Ranges (LSR)

6. Dibuat perbandingan selisih rata-rata perlakuan dengan nilai LSR

7. Jika nilai perbandingan selisih lebih tinggi dibandingkan LSR maka sampel berbeda nyata, sedangkan jika nilainya sama atau lebih rendah dari nilai LSR maka sampel tidak berbeda nyata.

(16)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Daging Mackerel

Ikan mackerel merupakan ikan laut yang terdiri dari beberapa spesies dari famili Scombridae yang banyak ditemukan di perairan Atlantik Utara, dari Mediterania ke Norwegia, Islandia dan Kepulauan Faroe, dan North Carolina. Selama musim semi dan musim panas, mackerel atlantik ditemukan di perairan pantai, sedangkan di akhir musim gugur dan musim dingin ditemukan lebih banyak di perairan hangat di tepi benua (Nozeres 2012). Mackerel memiliki kandungan lemak yang tinggi sebagaimana menurut Winarno (2002) menyatakan bahwa berdasarkan kandungan lemaknya, ikan terbagi menjadi tiga golongan yaitu ikan dengan kandungan lemak rendah (kurang dari 2%) terdapat pada kerang, cod, lobster, bawal, gabus, ikan dengan kandungan lemak sedang (2–5%) terdapat pada rajungan, udang, ikan mas, dan ikan ekor kuning, serta ikan dengan kandungan lemak tinggi (6–20%) terdapat pada hering, mackerel, salmon, sardine, tuna, sepat, tawes, dan belut. Kandungan lemak yang tinggi dan warna daging yang kecokelatan pada daging mackerel disebabkan adanya gurat sisi pada saraf yang dilapisi lemak dan dialiri pembuluh-pembuluh darah dan banyak mengandung lemak dan mioglobin (Adawyah 2008). Ikan mackerel yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Ikan mackerel. (a) kepala, (b) sirip, (c) badan dan ekor

Secara umum dalam sekali produksi dilakukan pengolahan ikan mackerel

fillet didapatkan rendemen daging sebanyak 59.91%, dengan produk samping

berupa, kepala, tulang, isi perut, dan sirip. Sirip mackerel merupakan bagian yang terdapat didekat kepala yang masih mengandung daging sebanyak 45% yang dapat dimanfaatkan menjadi bahan baku produk pengolahan ikan.

Mutu bahan ditentukan oleh jenis dan umurnya dalam upaya untuk mendapatkan mutu produk yang sesuai agar diperoleh mutu bahan yang seragam (Syarief 1989). Standar internasional yang digunakan untuk mendapatkan mutu produk yang seragam pada ikan mackerel yakni bobot 300 g – 500 g dari bahan baku per ekor. Komposisi daging ikan sangat bervariasi tergantung faktor biologis dan faktor alam diantaranya jenis ikan, umur, dan jenis kelamin. Makin tua ikan, kandungan lemaknya cenderung makin banyak, sedangkan jenis kelamin erat hubungannya dengan kematangan seksual. Pada umumnya bila makin aktif gerakannya akan mendorong ikan untuk memenuhi kebutuhan energinya dengan banyak makan. Faktor alam terdiri dari daerah kehidupannya, musim, dan jenis makanan yang tersedia (Muchtadi et al. 2010). Karakterisasi kimia daging

mackerel pada bagian sirip dilakukan setelah daging dipisahkan dari sirip, tulang,

dan darah dengan hasil karakteristik yang disajikan pada Tabel 1. 6

(17)

Tabel 1 Karakteristik kimia daging mackerel

Hasil perolehan uji proksimat untuk kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak sudah sesuai dengan literatur. Kadar air daging mackerel merupakan komponen dominan sebagaimana yang disebutkan Adawyah (2008) bahwa kadar air ikan dapat mencapai 80%. Mineral pada daging ikan tidak merata, pada bagian sarkoplasma banyak mengandung garam kalium, kalsium, magnesium, dan klorin, sedangkan zat besi terdapat pada darah sebagai inti heme (Adawyah 2008). Kandungan protein ikan erat kaitannya dengan kandungan lemak dan airnya. Kadar lemak dan kadar protein daging mackerel dipengaruhi oleh iklim hidup ikan mackerel. Saat musim dingin, lemak ikan mackerel akan lebih tinggi dan protein akan lebih rendah, sedangkan saat musim panas kandungan lemak ikan

mackerel akan lebih rendah, dan untuk protein akan lebih tinggi (Suzuki 1981).

Pengaruh Pencucian Terhadap Karakteristik Daging Mackerel

Daging mackerel yang telah dilakukan pencucian kemudian dilakukan karakterisasi berupa uji kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, pH, dan kecerahan (lightness). Hasil karakteristik komponen kimia daging sirip mackerel

setalah dilakukan pencucian disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Karakteristik daging sirip mackerel setelah pencucian

A = Konsentrasi natrium bikarbonat (0.0%, 0.2%, dan 0.5%) B = Frekuensi pencucian (dua dan tiga kali)

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda signifikan pada taraf uji 5% (Uji Newman – Keuls).

(18)

mudah lepas oleh tekanan berat (Muchtadi et al. 2010). Kadar air daging

mackerel meningkat seiring dengan banyaknya frekuensi pencucian. Menurut

Suzuki (1981) pencucian yang berulang-ulang pada umumnya dapat meningkatkan sifat hidrofilik daging, yang membuat penghilangan air menjadi sulit dan daging mengembang. Penyerapan air oleh beberapa jenis protein dapat mengakibatkan pembengkakan seperti pada protein miofibrilar. Pembengkakan mencerminkan adanya pengambilan air oleh jaringan protein yang merenggangkan polipeptida. Tingkat pembengkakan dipengaruhi oleh gaya-gaya antar molekul, ikatan-H, dan interaksi elektrostatik antar polipeptida (Muchtadi dan Budiatman 1991). Pencucian tiga kali memberikan nilai kadar air tertinggi akibat adanya air yang terserap oleh daging mackerel selama proses pencucian (Gambar 2). Shahidi et al. (1992) melaporkan bahwa proses pencucian secara signifikan meningkatkan kadar air dari daging. Karthikeyan et al. (2004) di dalam Ng dan Huda (2011) mengatakan bahwa peningkatan kadar air setelah dilakukan pencucian dikarenakan adanya penyerapan air oleh hidrofil residu myofibrillar protein. Frekuensi pencucian dan konsentrasi natrium bikarbonat berpengaruh nyata terhadap kadar air daging setelah pencucian. Secara umum kadar air daging masih dalam tingkat yang wajar. Hal ini sesuai dengan kadar air ikan yang dapat digunakan untuk pembuatan bakso, yakni tidak kurang dari 50% (SNI bakso ikan 1995).

Gambar 2 Pengaruh konsentrasi NaHCO3 dan frekuensi pencucian terhadap kadar air daging mackerel setelah pencucian. pencucian dua kali, pencucian tiga kali

Kandungan garam mineral pada ikan bervariasi dan distribusi garam-garam mineral dalam ikan juga tidak merata. Sarkoplasma banyak mengandung garam-garam potassium, kalsium, magnesium, khlor, sedangkan zat besi banyak terdapat dalam darah (Muchtadi el al. 2010). Frekuensi pencucian dan konsentrasi natrium bikarbonat tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu daging mackerel. Kadar abu dapat digunakan sebagai penentu mutu bahan pangan terkait kadar mineral (Sudarmadji et al. 1989). Penurunan kadar abu dikaitkan dengan pengurangan kandungan mineral yang larut dalam air dari daging. Pencucian menyebabkan banyak mineral yang ikut terbuang yang menyebabkan kadar abu menjadi berkurang.

Kandungan lemak atau minyak ikan sangat bervariasi, yang dipengaruhi oleh jenis ikan, umur, musim, dan ketersediaan makan. Pada umumnya lemak ikan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang menyebabkan mudah teroksidasi sehingga menimbulkan ketengikan (Winarno dan Koswara 2002). Frekuensi pencucian dan konsentrasi natrium bikarbonat tidak berpengaruh nyata

(19)

terhadap kadar lemak daging mackerel dengan penurunan kadar lemak 16.2% sampai 39.1%, hal ini jauh jika dibandingkan dengan penelitian Ramadhan et al.

(2011) yang didapatkan penurunan kadar lemak 40% sampai 74.6% pada daging bebek yang memiliki kandungan lemak 22.8% yang kemudian dilakukan pencucian menggunakan air keran dengan frekuensi pencucian dua dan tiga kali diketahui kadar lemak menjadi 13.7% dan 5.8%, sedangkan jika menggunakan natrium bikarbonat 0.5% pada pencucian dua dan tiga kali kadar lemak menjadi 11.8% dan 8.5%. Penelitian yang dilakukan Muraleedharan dan Gopakumar (1998) menyatakan bahwa penggunaan natrium bikarbonat 0.2% dapat mengurangi kandungan lemak daging ikan tuna dari 6.89% menjadi 2.15% dengan penurunan kadar lemak sebanyak 68%. Penurunan kadar lemak yang rendah pada penelitian ini disebabkan pada saat pencucian, pengadukan yang dilakukan tidak terlalu kuat dan sering. Pengadukan selama pencucian memberikan pengaruh yang kuat untuk memisahkan lemak dari daging, serta sentrifugasi membuat pemisahan yang jelas antara lemak, air, dan daging karena adanya perbedaan berat molekul (Ramadhan et al. 2011).

Park (2004) yang menyatakan bahwa natrium bikarbonat pada proses pencucian daging mackerel dapat memperbaiki warna, menurunkan kadar lemak, dan memperbaiki aroma dibandingkan dengan proses yang biasa tanpa penggunaan larutan natrium bikarbonat. Yang dan Froning (1992) di dalam Ng dan Huda (2011) menyebutkan bahwa terdapat bagian dari lemak yang terapung selama proses pencucian akibat adanya perbedaan kepadatan dan polaritas antara lemak dan perlakuan pencucian. Menurut Smith (1987) di dalam Ng dan Huda (2011) pengurangan ataupun penghilangan lemak penting dilakukan selama proses pencucian daging karena lemak dapat mempengaruhi kualitas produk sebagai akibat dari interaksi antara oksidasi lemak dan protein, denaturasi protein, polimerisasi, dan perubahan sifat fungsional.

Protein merupakan komponen yang penting pada daging ikan yang terkandung sekitar 15% sampai 24% (bb). Protein daging ikan tersusun atas sarkoplasma yang terdapat dalam plasma otot dan miofibrilar yang menyusun serabut otot, sedangkan jaringan ikat pada ikan tersusun dari protein stroma. Protein sarkoplasma mengandung berbagai macam protein larut air yang disebut miogen. Kandungan sarkoplasma pada ikan bervariasi tergantung spesies ikan, tetapi umumnya tinggi pada ikan pelagis seperti sardine dan mackerel (Winarno dan Koswara 2002). Pencucian dengan menggunakan NaHCO3 berfungsi membantu menghilangkan protein sarkoplasma dan mengatur pH sehingga kekuatan gel dapat diperbaiki (Suzuku 1981). Protein sarkoplasma mempengaruhi kekuatan gel daging sehingga gel tidak elastis karena selama pemanasan mengalami koagulasi dan melekat bersama-sama protein miofibrilar sehingga harus dibuang bersamaan dengan proses pencucian. Daging ikan diinginkan sebagai sumber protein aktomiosin (miofibrilar) yang berfungsi untuk meningkatkan sifat gel daging (Winarno dan Koswara 2002).

(20)

penelitian yang dilakukan Ramadhan et al. (2011) penurunan kadar protein mencapai 29.2%.

Gambar 3 Pengaruh konsentrasi NaHCO3 dan frekuensi pencucian terhadap protein daging mackerel setelah pencucian. pencucian dua kali, pencucian tiga kali

Pada proses pencucian, suhu air yang digunakan harus berkisar antara 3oC sampai 10oC. Suhu air yang tepat mampu menjaga kestabilan fungsional protein terhadap panas. Jika melebihi suhu toleransi (>10oC) akan terjadi penurunan protein miofibrilar yang akan mempengaruhi pembentukan gel. Fraksi protein sarkoplasma (protein larut air) berkisar 20% sampai 30% dari protein total pada ikan dan sebagian besar hilang atau terbuang pada proses pencucian. Sebagian besar protein sarkoplasma mudah terlarut dan terbuang ketika proses pencucian pertama. Pada pencucian kedua, sisa protein sarkoplasma terus terbuang dan sejumlah kecil dari miosin, aktin, troponin, dan tropomiosin juga ikut terbuang (Park 2004).

Nilai pH ikan sangat mempengaruhi elastisitas produk olahan yang dihasilkan, sebaiknya dipilih ikan yang ber-pH 6.5 sampai 7.0 (Winarno dan Koswara 2002). Pencucian pada daging ikan selain untuk menghilangkan sisa-sisa darah dan komponen lain yang menyebabkan penyimpangan bau dan warna juga berfungsi untuk mengekstrak protein larut air yang mengganggu pembentukan kekuatan gel (Syamsir et al. 2010). Penggunaan NaHCO3 dimaksudkan untuk mengatur pH dan membantu dalam menghilangkan protein sarkoplasma. Nilai pH yang netral merupakan salah satu faktor yang mampu meningkatkan kekuatan gel (Suzuki 1981).

Frekuensi pencucian dan konsentrasi natrium bikarbonat berpengaruh nyata terhadap pH daging mackerel (Gambar 4). Berbagai konsentrasi dari penambahan sodium bikarbonat pada tahap pencucian dapat meningkatkan pH (Park 2004). Penelitian yang dilakukan Muraleedharan dan Gopakumar (1998) menyatakan bahwa penggunaan natrium bikarbonat 0.2% dapat meningkatkan pH daging ikan tuna dari pH 6.7 menjadi 7.1. Natrium bikarbonat yang bersifat basa dapat meningkatkan pH daging mackerel dimana semakin tinggi frekuensi natrium bikarbonat maka peningkatan pH akan semakin tinggi pula.

(21)

Gambar 4 Pengaruh konsentrasi NaHCO3 dan frekuensi pencucian terhadap (2011) pH meningkat sejalan dengan semakin banyaknya frekuensi pencucian karena adanya pengurangan kandungan nitrogen bebas, asam lemak bebas, asam amino, dan senyawa asam lain yang larut larut dalam air selama proses pencucian. Hal ini sependapat dengan Suvanich dan Marshall (1998) di dalam Karthikeyan et al. (2002) yang menyatakan bahwa peningkatan pH terjadi karena adanya pengurangan asam-asam amino bebas dan zat asam yang larut air.

Ikan mackerel merupakan salah satu jenis ikan yang memiliki karakteristik daging kecokelatan dan warna yang gelap akibat tingginya kandungan lemak yang dibentuk oleh saraf-saraf gurat sisi yang dilapisi dan dilewati ribuan pembuluh darah. Pigmen merah disebabkan adanya mioglobin yang bersifat larut dalam air dan larut garam encer (Muchtadi et al. 2010). Okada dan Noguchi (1974) di dalam Ng dan Huda (2011) menyatakan bahwa pencucian dapat menghilangkan darah, lemak, protein terlarut, mioglobin, dan komponen nitrogen lainnya sehingga dapat meningkatkan kecerahan daging.

Frekuensi pencucian dan konsentrasi natrium bikarbonat tidak berpengaruh nyata terhadap kecerahan (lightness) daging. Pengukuran kecerahan daging

mackerel menggunakan colortex colormeter dengan melihat nilai L. Nilai L

menunjukkan kecerahan bahan. Nilai L yang semakin tinggi menunjukkan bahwa bahan semakin cerah. Vittayanont (2013) menyatakan bahwa penggunaan natrium bikarbonat dengan konsentrasi sampai 0.7% pada proses pencucian daging ayam yang mengandung lemak tinggi menyebabkan nilai kecerahan L meningkat. Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa nilai L tertinggi dimiliki oleh sampel A5B2 dengan konsentrasi natrium bikarbonat 0.5% dan frekuensi pencucian dua kali. Tekstur, warna, dan aroma pada produk akhir menjadi lebih baik saat pengotor-pengotor dikeluarkan dari bahan baku pada saat pencucian (Park 2004). Pencucian dengan 0.5% NaHCO3 sebanyak tiga kali menyebabkan berkurangnya komponen yang tidak diinginkan terutama mioglobin yang mempengaruhi warna daging. Hasil serupa dikemukakan oleh Dawson et al. (1988) di dalam Ng dan Huda (2011) dimana pencucian daging dengan 0.5% NaHCO3 dapat meningkatkan kecerahan daging dibandingkan hanya dengan menggunakan air.

(22)

Pengaruh Pencucian terhadap Karakteristik Produk Olahan

Karakteristik Kimia

Bakso didefinisikan sebagai daging yang dihaluskan, dicampur dengan tepung tapioka dan bahan tambahan lainnya, lalu dibentuk bulat-bulat dengan tangan atau mesin kemudian direbus. Komponen daging yang terpenting dalam pembuatan bakso adalah protein. Protein daging berperan dalam pengikatan hancuran daging selama pemasakan dan pengemulsi lemak sehingga produk menjadi empuk, kompak, dan kenyal. Pada umumnya protein larut garam lebih efisien sebagai emulsifier dari pada protein larut air. Hal ini disebabkan protein larut garam memiliki luas permukaan 50 kali lebih besar untuk mengelilingi partikel-partikel dibandingkan protein larut air (Muchtadi dan Budiatman 1991).

Bahan pengisi bakso yang digunakan diantaranya adalah pati. Pati yang umum digunakan adalah tapioka dan sagu yang berfungsi untuk mengikat air (Syamsir et al. 2010). Berbagai bahan yang ditambahkan harus memenuhi syarat yang tidak menyebabkan efek samping terhadap kesehatan seperti garam, merica, bawang putih, dan sodium tripolyphosphate (STTP). Bawang putih serta merica memiliki komponen senyawa volatil yang berperan penting dalam aroma dan flavor (Satiawihardja el al. 1991). Garam berfungsi sebagai pelarut protein dan meningkatkan daya ikat air protein daging serta memberi rasa, sodium tripolyphosphate dapat mencegah terbentuknya permukaan kasar dan rekahan pada bakso (Syamsir et al. 2010). Penggunaan es batu berfungsi untuk meminimalkan denaturasi protein akibat terbentuknya panas yang disebabkan mesin pencampur adonan karena protein miofibrilar ikan lebih mudah terdenaturasi dibandingkan dengan protein sejenis pada hewan darat. Hal ini menyebabkan ikan harus selalu dipertahankan kondisi suhu rendah selama penyimpanan dan pengolahan, serta proses harus dilakukan secepat mungkin.

Protein dapat menstabilkan emulsi dengan menjebatani antara air dan lemak. Hal ini disebabkan karena protein memiliki sifat hidrofilik dan hidrofobik, dimana sisi hidrofilik akan mengikat air dan sisi hidrofobik akan mengikat lemak (Andarwulan et al. 2011). Pada umumnya protein larut garam lebih efisien sebagai emulsifier dari pada protein larut air seperti protein sarkoplasma. Garam yang ditambahkan pada daging dapat meningkatkan tegangan permukaan dan tegangan interfacial air (Muchtadi dan Budiatman 1991).

Sifat-sifat kimia adalah sifat yang tersembunyi di dalam bahan, sehingga tidak dapat langsung dilihat oleh mata. Sifat-sifat kimia diantaranya adalah kadar keasaman, nilai gizi, kandungan bahan berbahaya, dan sebagainya (Syarief 1989). Hasil karakteristik kadar lemak, kadar protein, kadar abu bakso, dan pH bakso

mackerel disajikan pada Tabel 3. Acuan yang dilakukan untuk mengetahui

karakteristik mutu produk olahan adalah SNI 01-3819-1995 tentang bakso ikan dan SNI 7757:2013 tentang otak-otak ikan. Pengujian yang dilakukan adalah uji kadar air, abu, lemak, dan protein bakso. Terlihat bahwa produk olahan yang dihasilkan belum cocok dimanfaatkan untuk membuat bakso ikan karena kandungan lemak yang di atas standar sedangkan untuk kadar protein masih di bawah standar. Karakteristik mutu produk olahan disajikan pada Tabel 4.

(23)

Tabel 3 Karakteristik kimia produk olahan

A = Konsentrasi natrium bikarbonat (0.0%, 0.2%, dan 0.5%) B = Frekuensi pencucian (dua dan tiga kali)

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda signifikan pada taraf uji 5% (Uji Newman – Keuls).

Tabel 4 Karakteristik mutu produk olahan pemanasan yang berlebihan dapat menyebabkan denaturasi protein, pemecahan emulsi, penghancuran vitamin, dan degradasi lemak atau minyak, selain itu penggunaan suhu yang terlalu tinggi dalam pengolahan pangan menyebabkan cita rasa yang menyimpang pada bahan (Syarief 1989).

Air merupakan komponen utama dalam bahan pangan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan. Sebagian besar dari perubahan-perubahan bahan makanan terjadi dalam media air yang ditambahkan atau yang berasal dari bahan itu sendiri. Konsentrasi natrium bikarbonat dan frekuensi pencucian tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air bakso mackerel. Berdasarkan karakteristik kimia bakso mackerel, diketahui bahwa kadar air sudah memenuhi syarat standar bakso ikan. Rendahnya kadar air pada bakso mackerel

dikarenakan setelah perebusan dilakukan penirisan terlebih dahulu sehingga kadar airnya menjadi rendah yakni sekitar 60%.

Frekuensi pencucian tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu bakso. Abu merupakan zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan komponennya tergantung jenis bahannya. Kadar abu berhubungan dengan mineral suatu bahan. Kadar abu produk sudah sesuai dengan standar untuk bakso ikan maupun otak-otak ikan.

(24)

Konsentrasi natrium bikarbonat dan frekuensi pencucian tidak berpengaruh nyata terhadap kadar protein bakso mackerel. Kadar protein bakso mackerel

belum memenuhi standar untuk kadar protein bakso ikan namun sudah memenuhi kadar protein untuk otak-otak ikan. Hasil uji kadar protein bakso mackerel terlihat bahwa kadar protein lebih rendah dibandingkan dengan standar nasional bakso ikan. Penurunan protein yang cukup tinggi dikarenakan pada saat pencucian daging, komponen protein terlarut ikut terbuang bersama dengan air pencucian serta pengaruh proses perebusan. Menurut Andarwulan et al. (2011) protein dapat berubah sifat fisika-kimianya karena pengaruh panas, penambahan pH, pengaruh pelarut organik (seperti alkohol dan aseton) dan penambahan garam. Adanya panas pada saat perebusan menyebabkan terjadinya denaturasi protein sebagaimana yang disebutkan Wijaya el al. (1991), denaturasi protein dapat terjadi karena perubahan pH, pengaruh panas, radiasi, pelarut orgaik, garam, dan adsorpsi protein pada interfase yang menyebabkan perubahan susunan rantai polipeptida.

Frekuensi pencucian tidak mempengaruhi kadar lemak bakso mackerel

namun untuk konsentrasi natrium bikarbonat berpengaruh nyata terhadap kadar lemak bakso mackerel. Kadar lemak bakso mackerel belum memenuhi standar untuk kadar bakso ikan namun sudah memenuhi kadar lemak untuk otak-otak ikan. Kadar lemak bakso mackerel lebih tinggi dibandingkan dengan kadar lemak bakso ikan Standar Nasional Indonesia yang menandakan bahwa pengaruh frekuensi pencucian dan konsentrasi natrium bikarbonat belum dapat menghasilkan produk bakso ikan yang diharapkan namun jika diproduksi untuk otak-otak ikan sudah sesuai dengan standar nasional yang ada.

Nilai pH menunjukkan derajat keasaman suatu bahan. Pengukuran pH menyatakan perbandingan ion hidrogen dan ion hidroksi suatu bahan sehingga menunjukkan tingkat keasaman atau kebasaan bahan. Konsentrasi natrium bikarbonat tidak berpengaruh nyata terhadap pH bakso mackerel. Secara umum pH bakso berkisar pada pH netral. Besarnya pH pada bakso mackerel diketahui bahwa pH bakso berkisar antara 6.29 sampai 7.03. Besarnya pH meningkat sejalan dengan semakin banyaknya frekuensi pencucian (Nowsad et al. 2000) di dalam Ng dan Huda (2011) karena adanya pengurangan kandungan nitrogen bebas, asam lemak bebas, asam amino, dan senyawa asam lain yang larut larut dalam air selama proses pencucian (Karthikeyan et al. 2004) di dalam Ng dan Huda (2011). pH bakso yang rendah dapat meningkatkan umur simpan bakso karena pada pH rendah mikroba tidak dapat tumbuh.

Karakteristik Fisik

Penilaian mutu berdasarkan sifat fisik produk relatif lebih mudah dan sederhana sehingga banyak dilakukan. Sifat-sifat fisik produk diantaranya meliputi warna, kekerasan, ukuran, bentuk, dan kekentalan (Syarief 1989). Karakteristik fisik yang dilakukan pada bakso mackerel adalah kecerahan (lightness) dan tekstur. Hasil karakteristik bakso mackerel disajikan pada Tabel 5.

(25)

Tabel 5 Karakteristik fisik produk olahan

A = Konsentrasi natrium bikarbonat (0.0%, 0.2%, dan 0.5%) B = Frekuensi pencucian (dua dan tiga kali)

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda signifikan pada taraf uji 5% (Uji Newman – Keuls)

Bakso ikan umumnya berwarna putih karena daging ikan yang digunakan hanya daging putihnya saja yang diperoleh dari jenis ikan berdaging putih seperti ikan kakap, kerapu, dan tenggiri, sedangkan untuk daging ikan yang berwarna gelap seperti tuna, mackerel, dan cakalang dibutuhkan perlakuan pencucian agar warna daging menjadi lebih cerah. Uji warna bakso menggunakan colortex colormeter yang memberikan nilai kecerahan (lightness) tertinggi terdapat pada bakso dengan daging yang mendapat perlakuan pencucian tiga kali dengan konsentrasi natrium bikarbonat 0.5% yang menandakan bahwa natrium bikarbonat dapat menghasilkan warna yang lebih baik karena mioglobin ikut terlarut pada saat proses pencucian sehingga warna menjadi lebih cerah, namun warna produk olahan belum maksimal berwarna putih sebagaimana produk bakso ikan pada umumnya.

Frekuensi pencucian dan konsentrasi natrium bikarbonat tidak berpengaruh nyata terhadap tekstur bakso. Jenis ikan mempengaruhi tekstur bakso yang dihasilkan (Wibowo 1995). Pengujian tekstur bakso menggunakan pnetrometer

dimana besarnya kedalaman yang dihasilkan oleh beban pada pnetrometer

berbanding terbalik dengan nilai kekerasan. Semakin tinggi nilai yang didapat berarti bakso memiliki kekerasan yang lebih rendah bila dibandingkan yang lain (penetrasi jarum lebih besar). Uji kekerasan dengan menggunakan pnetrometer

diketahui bahwa secara umum kekerasan bakso adalah sama. Tekstur bakso lebih dipengaruhi selama proses pengadonan, jumlah bahan tambahan, dan lamanya perebusan, selain itu protein daging berperan dalam pengikatan hancuran daging selama pemasakan dan pengemulsi lemak sehingga produk menjadi empuk, kompak, dan kenyal (Muchtadi dan Budiatman 1991).

Bakso merupakan salah satu jenis produk olahan daging yang sangat mudah rusak selama penyimpanan. Untuk memperpanjang masa simpannya, bakso perlu disimpan pada suhu rendah. Penyimpanan menyebabkan mutu pada bakso dapat menyebabkan berubahnya warna, aroma dan rasa, terbentuknya lendir serta timbulnya air pada bakso (sineresis). Jika gel pati didiamkan beberapa lama, maka akan terjadi perluasan daerah kristal sehingga mengakibatkan pengkerutan struktur gel, yang biasanya diikuti keluarnya air dari gel. Pembentukan kembali struktur krsital itu disebut retrogradasi, sedangkan keluarnya air dari gel disebut sineresis. Retrogradasi terjadi karena adanya kecenderungan yang kuat dari

(26)

gugus-gusus hidroksil molekul-molekul pati saling membentuk ikatan hidrogen. Pembentukan ikatan hidrogen lebih mudah terjadi pada molekul amilosa dibandingkan pada molekul amilopektin. Percabangan amilopektin menghambat gerakan molekul-molekul amilopektin serta menurunkan kecenderungannya untuk saling berikatan. Retrogradasi pada molekul amilopektin bersifat reversible

bila diberi panas, tetapi tidak demikian dengan retrogradasi yang terjadi pada amilosa (Wijaya et al. 1991). Air yang keluar dari gel pati tepung tapioka menyebabkan bakso menjadi tidak tahan lama dan cepat asam karena mikroba akan mudah tumbuh.

Perlakuan frekuensi pencucian maupun konsentrasi natrium bikarbonat tidak berpengaruh nyata terhadap susut bobot bakso setelah dilakukan freeze

thawing. Hasil uji susut bobot bakso diketahui bahwa susut bobot semakin banyak

perlakuan freeze thawing menyebabkan semakin banyak air yang keluar dari bakso (Gambar 5).

Gambar 5 freeze thaw stability bakso mackerel. A0B2, A0B3, A2B2, A2B3, A5B2, A5B3

Tepung tapioka merupakan jenis pati yang memiliki kandungan amilopektin 83% sedangkan amilosa yang hanya 17%. Amilosa merupakan rantai linear yang dihubungkan dengan ikatan glukosida, sedangkan amilopektik memiliki struktur bercabang. Jika suspensi pati dipanaskan dengan panas yang cukup untuk memutus ikatan yang lemah antara kristal misela, granula mulai menyerap air dan membengkak. Apabila larutan pati didinginkan, molekul linearnya menyusun diri dengan ikatan hidrogen menjadi endapan yang tak larut dan terjadi penggabungan molekul linear yang menyebabkan air keluar dari larutan pati. Struktur amilopektin yang bercabang menyebabkan menggabungan ikatan relatif lambat sehingga pengeluaran air dapat diminimalkan (Muchtadi dan Budiatman 1991). Kandungan amilopektin yang lebih tinggi dibandingkan dengan amilosa menyebabkan sineresis dapat diminimalkan.

Bakso mackerel yang telah dilakukan penimbangan susut bobot akibat sineresis kemudian diuji kekerasan dengan menggunakan pnetrometer. Hasil uji tekstur bakso (Gambar 6) terlihat bahwa semakin sering bakso mackerel

dilakukan freeze thawing menyebabkan bakso menjadi semakin keras akibat sineresis bakso. Sejalan dengan sineresis dimana air keluar dari bakso yang menyebabkan bakso menjadi lebih keras. Semakin banyak air yang keluar saat sineresis maka akan semakin keras bakso yang telah mengalami sineresis.

(27)

Gambar 6 Tekstur bakso mackerel setelah freeze thaw. A0B2, A0B3, A2B2, A2B3, A5B2, A5B3

Penerimaan Produk Olahan Daging Mackerel

Uji hedonik atau uji kesukaan merupakan pengujian dimana panelis mengemukakan responnya yang berupa senang tidaknya terhadap sifat bahan yang diuji yang dipengaruhi keadaan fisik dan psikologi panelis (Apriyantono dan Wijaya 1992). Paling tidak ada lima parameter sensoris yang perlu dinilai, yaitu bentuk, warna, bau, rasa, dan tekstur. Bakso mackerel yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 7 di bawah ini.

Gambar 7 Bakso mackerel

Bentuk merupakan karakteristik pertama yang dinilai panelis dalam mengkonsumsi suatu produk (Astuti2009). Bila kesan bentuk baik atau disukai, maka konsumen baru akan melihat karakteristik lainnya seperti aroma, rasa, dan seterusnya. Meskipun bentuk tidak menentukan tingkat kesukaan konsumen secara mutlak, tetapi bentuk juga mempengaruhi penerimaan konsumen. Produk dengan bentuk yang rapi, bagus, dan utuh, pasti lebih disukai konsumen dibandingkan dengan produk yang kurang rapi dan tidak utuh (Astuti2009). Hasil uji organoleptik bakso mackerel disajikan pada Tabel 6.

Berdasarkan hasil uji hedonik (Tabel 6) parameter bentuk bakso mackerel

diketahui bahwa penilaian panelis terhadap bentuk bakso berkisar dari netral sampai agak suka dengan nilai 4.9 sampai 5.7. Bakso dengan kode sampel A2B3 dengan nilai 5.7 memiliki bentuk yang paling disukai oleh panelis, sedangkan bentuk bakso yang mendapatkan nilai paling rendah yakni 4.9 adalah bakso dengan kode sampel A0B3. Bentuk bakso dipengaruhi bahan tambahan serta proses perebusan. Sodium tripolyphosphate berfungsi mencegah terbentuknya permukaan kasar dan rekahan pada bakso (Syamsir et al. 2010), air berfungsi melarutkan garam dan mendispersikannya secara merata ke seluruh bagian masa

0 5 10 15 20

0 1 2 3 4 5

Tekst

ur

(

cm

/se

c/

g)

Freeze thaw cycle

(28)

daging, memudahkan ekstraksi protein dan membantu pembentukan emulsi sehingga adonan terbentuk sempurna. Perebusan bakso dilakukan pada suhu 70oC–80oC, jika suhu yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan lemak terpisah dari sistem emulsi. Hal ini disebabkan karena lemak mengembang dan protein mengkerut secara mendadak sehingga matrik protein pecah dan lemak keluar dari campuran.

Warna merupakan salah satu parameter mutu yang dapat diukur oleh alat indera manusia. Warna merupakan komponen yang cukup penting dari suatu produk pangan dan dapat mempengaruhi penilaian konsumen terhadap mutu produk.Warna bakso dapat dipengaruhi oleh jenis daging yang digunakan dalam pembuatan bakso. Berdasarkan hasil uji organoleptik parameter warna bakso diketahui bahwa panelis memberikan kesan netral sampai agak suka dengan nilai 4.72 sampai 5.23. Bakso mackerel ini memiliki warna yang mirip dengan bakso daging yang tidak berwarna putih seperti bakso ikan pada umumnya sehingga panelis tidak terlalu menyukai warna bakso mackerel tersebut. Namun dapat dilihat bahwa konsentrasi natrium bikarbonat dan frekuensi pencucian memberikan pengaruh yang baik pada warna bakso dimana bakso yang mendapatkan nilai agak disukai. Hasil uji hedonik terhadap warna terlihat bahwa pencucian tiga kali menggunakan natrium bikarbonat menyebabkan warna daging menjadi lebih cerah, hal ini dapat terlihat dari tingkat kesukaan konsumen terhadap kode A2B3 dan A5B3 yang menyukai bakso tersebut karena warna bakso lebih cerah dibandingkan yang lain.

Tabel 6 Nilai rataan hasil uji organoleptik bakso mackerel A = Konsentrasi natrium bikarbonat (0.0%, 0.2%, dan 0.5%)

B = Frekuensi pencucian (dua dan tiga kali)

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda signifikan pada taraf uji 5% (Duncan’s Multiple Range Test)

Aroma merupakan salah satu kriteria yang penting bagi konsumen dalam memilih suatu produk pangan yang disukai. Aroma makanan banyak menentukan kelezatan bahan makanan. Aroma yang timbul disebabkan oleh adanya komponen volatil yang terbentuk pada proses pemanasan dari bahan utama dan bumbu-bumbu. Berbagai peptida-peptida dan asam amino bebas serta asam lemak bebas seringkali dikaitkan dengan rasa dan aroma daging ikan. Aroma yang muncul juga disebabkan oleh bumbu-bumbu seperti bawang putih yang memberikan aroma dan bau yang kuat yang berasal dari minyak volatil.

(29)

Berdasarkan hasil uji organoleptik aroma bakso mackerel diketahui bahwa menurut panelis aroma bakso cenderung netral dan agak suka dengan nilai antara 4.55 sampai 5.15. Terlihat bahwa bakso pada kode A5B3 mendapatkan nilai tertinggi dengan dimana pada sampel A5B3 merupakan satu-satunya sampel yang dinilai agak suka, hal ini menjelaskan bahwa frekuensi pencucian tiga kali dengan konsentrasi natrium bikarbonat 0.5% efektif untuk membuat aroma lebih baik karena kandungan lemaknya lebih banyak berkurang sehingga bau amis pun lebih banyak berkurang. Hal ini memperkuat bahwa penggunaan natrium bikarbonat pada pencucian daging mackerel dapat mengurangi kadar lemak dan menurunkan bau amis pada bakso mackerel.

Pada umumnya tekstur makanan ditentukan oleh kadar air, kandungan lemak, jenis, dan jumlah karbohidrat. Menurut Wibowo (1995), tekstur produk bakso dipengaruhi oleh kandungan airnya. Penambahan air pada adonan bakso diberikan dalam bentuk es batu atau air es, supaya suhu adonan selama penggilingan tetap rendah. Dalam adonan, air berfungsi untuk melarutkan garam dan menyebarkannya secara merata ke seluruh bagian masa daging, memudahkan ektraksi protein dari daging dan membantu dalam pembentukan emulsi.

Berdasarkan hasil uji organoleptik tekstur pada bakso mackerel diketahui bahwa menurut panelis tekstur bakso cenderung netral dengan nilai antara 4.57 sampai 4.98. Hal ini dikarenakan tekstur daging mackerel memiliki tekstur yang tidak kompak karena kandungan lemak yang tinggi sehingga mempengaruhi tekstur bakso yag dihasilkan. Tekstur bakso dipengaruhi oleh hasil penggilingan daging dan pencampuran bahan tambahan serta pembentukan emulsi.

Rasa merupakan faktor penentu daya terima konsumen terhadap produk pangan. Rasa bakso dipengaruhi oleh daging, bumbu-bumbu serta bahan pengisi yang ditambahkan selama pengolahan. Berdasarkan hasil uji organoleptik pada rasa bakso diketahui bahwa penilaian panelis terhadap rasa bakso berkisar dari netral sampai agak suka dengan nilai antara 4.75 sampai 5.10. Rasa pada bakso ikan sangat dipengaruhi oleh komposisi bahan tambahan yang digunakan, hal ini diperkuat oleh Park (2004) yang menyatakan bahwa bahan tambahan yang digunakan untuk membuat bakso ikan adalah garam, gula, monosodium glutamat, dan pati. Hasil uji organoleptik untuk tiap parameter yakni bentuk, warna, aroma, tekstur, dan rasa bakso mackerel berdasarkan uji ANOVA diketahui bahwa untuk tiap parameter pengaruh frekuensi pencucian dan konsentrasi natrium bikarbonat tidak berbeda nyata terhadap hasil uji organoleptik.

Composite performance index (CPI) merupakan indeks gabungan yang

dapat digunakan untuk menentukan penilaian atau peringkat dari berbagai alternatif (i) berdasarkan beberapa kriteria (j) (Marimin 2004). Hasil uji organoleptik bakso mackerel akan dipilih sampel terbaik berdasarkan metode CPI dimana alternatif yang dipilih adalah sampel bakso dengan kriteria berupa parameter aroma, bentuk, rasa, tekstur, dan warna bakso. Dibutuhkan bobot kriteria yang didapatkan dari wawancara kepada panelis terhadap hal yang menentukan panelis memilih produk bakso ikan. Wawancara dilakukan kepada tiga puluh panelis dan diketahui bahwa hal yang menjadi penilaian panelis dalam memilih bakso ikan adalah rasa, aroma, tekstur, warna, dan bentuk dengan bobot kriteria 0.29, 0.22, 0.19, 0.17, dan 0.13 (Tabel 7).

(30)

Tabel 7 Penetapan produk terbaik berdasarkan metode CPI

Prosedur penyelesaian dengan menggunakan CPI harus mengidentifikasi kriteria tren positif (semakin tinggi nilaianya semakin baik) dan tren negatif (semakin rendah nilainya semakin baik). Penghitungan CPI ini menggunakan tren positif dimana nilai minimum pada setiap kriteria ditranspormasi ke seratus, sedangkan nilai lainnya ditranspormasi secara proporsional lebih tinggi. Skala hedonik hasil organoleptik bakso mackerel berkisar 4 sampai 5 dimana skala tersebut ditranformasikan nilainya. Skala hedonik dibawah 4.0 mendapat nilai 0, skala hedonik 4.01 sampai 4.25 mendapat nilai 50, skala hedonik 4.26 sampai 4.50 mendapat nilai 60, skala hedonik 4.51 sampai 4.75 mendapat nilai 70, skala hedonik 4.76 sampai 5.00 mendapat nilai 80, skala hedonik 5.01 sampai 5.25 mendapat nilai 90, dan untuk skala hedonik 5.26 sampai 5.50 mendapat nilai 100. Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa sampel yang paling disukai berdasarkan perhitungan CPI adalah sampel A2B3 dan yang paling tidak disukai adalah sampel A0B3.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Penggunaan natrium bikarbonat pada proses pencucian daging mackerel

dapat menurunkan kadar lemak lebih baik dibandingkan hanya dengan menggunakan air. Pencucian dengan natrium bikarbonat 0.5% dan frekuensi pencucian tiga kali memberikan penurunan kadar lemak yang paling tinggi.

Produk olahan yakni bakso mackerel yang dihasilkan dari daging yang mendapat perlakuan pencucian dengan natrium bikarbonat dari segi aroma dan warna memberikan nilai tertinggi yang memperkuat bahwa pencucian dengan natrium bikarbonat dapat menurunkan kadar lemak serta menyebabkan warna dan aroma menjadi lebih baik. Berdasarkan hasil uji organoleptik warna dan aroma diketahui bahwa bakso yang dihasilkan dari pencucian sebanyak dua kali dan konsentrasi natrium bikarbonat 0.5% memberikan nilai paling baik. Berdasarkan perhitungan dengan Composite performance index pada bakso mackerel diketahui bahwa sampel yang paling disukai oleh panelis adalah bakso dengan perlakuan pencucian sebanyak tiga kali dengan konsentrasi natrium bikarbonat 0.2%. Hasil

(31)

uji proksimat untuk kadar lemak dan kadar protein bakso mackerel belum memenuhi syarat bakso ikan namun jika merujuk kepada standar otak-otak ikan sudah dengan yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia.

Saran

Dibutuhkan penelitian lanjut dengan memilih bahan lain untuk pencucian serta lebih diperhatikan pada proses pencucian dengan menambahkan pengadukan yang lebih sering dan kuat agar mendapatkan warna daging yang lebih cerah dan memenuhi syarat produk olahan ikan yang berdasarkan standar nasional Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Adawyah R. 2008. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Andarwulan N, Kusnandar F, Herawati D. 2011. Analisis Pangan. Jakarta (ID):

Dian Rakyat.

AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. The Association of Official Analytical Chemistry. AOAC. Int.,Washington DC.

Apriyantono A, Wijaya H. 1992. Petunjuk Laboratorium Identifikasi Komponen

Aktif Pangan. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB.

Astuti EF. 2009. Pengaruh Jenis Tepung dan Cara Pemasakan terhadap Mutu Bakso dari Surimi Ikan Hasil Tangkap Sampingan (HTS). [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1995. Bakso Ikan. SNI 01-3819-1995. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2013. Otak-Otak Ikan. SNI 7757:2013. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

FAO.1986. The Production of Fish Meal and Oil. Food and Agriculture Organization. FAO Fish Tech Paper. 142. Rev.1. p. 63.

Fardiaz S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Karthikeyan M, Dileep AO, Shamasundar BA. 2006. Effect of Water Washing on the Functional and Rheological Properties of Proteins From Threadfin Bream (Nemipterus japonicus) Meat. Int J Food Sci and Tech. 241:1002-1010.

Kaylor JD, Learson RJ. 1990. Pelagic fish. Di dalam: Martin RE, Flick GJ, editor.

The Seafood Industry. New York: Van Nostrand Reinhold.

Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta (ID): Grassindo.

Muchtadi TR, Budiatman. 1991. Teknologi Pangan Lanjut. Bogor (ID): Laboratorium Rekayasa Proses, Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Muchtadi TR, Sugiono, Ayustaningwarno F. 2010. Ilmu Pengetahuan Bahan

Pangan. Bandung (ID): Alfabeta.

(32)

Muraleedharan V, Gopakumar K. 1998. Preparation and Properties of Functional Protein Concentrate from Tuna (Euthynnus affinis). India: Indian Council of Agricultural Research.

Ng XY, Huda N. 2011. Thermal gelation properties and quality characteristics of ducksurimi-like material (duckrimi) as affected by theselected washing processes. J Int Food Res.18: 731-740 (2011)

Nozeres MC. 2012. Assessment of the Atlantic Mackerel Stock for the Northwest Atlantic (Subareas 3 and 4) in 2011. Kanada: Canadian Science Sdvisory Secretariat.

Park JW. 2004. Surimi and Surimi Seafood. United States of America (US): Taylor and Francis Group.

Ramadhan K, Huda N, Ahmad R. 2011. Effect of Number and Washing Solutions on Functional Properties of Surimi-Like Material from Duck meat. J Food Sci Techol.

Satiawihardja B, Jenie BSL, Koswara S. 1991. Teknologi Pengolahan Bumbu dan

Rempah-Rempah. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi,

Institut Pertanian Bogor.

Shahidi F, Botta JR. 1994. Seafoods: Chemistry, Processing Technology and

Quality. London (AU): Blackie Academy and Professional.

Sudarmadji, Haryono S, Suhardi B. 1989. Analisa Bahan Makanan dan

Pertanian. Yogyakarta (ID): Liberty Yogyakarta.

Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein in Processing Technology. London (US): Applied Science Publishing. Ltd.

Syamsir E, Kusnandar F, Adawiyah DR, Herawati D, Hunaefi D, Suyatmo NE. 2010. Penuntun Praktikum Teknologi Pengolahan Pangan. Bogor (ID): Departemen Ilmu Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Syarief H. 1989. Petunjuk Laboratorium Percobaan-Percobaan Makanan. Bogor

(ID): Laboratorium Gizi Masyarakat. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.

Vittayanont M, Preecha T, dan Pijittra S. 2013. Preparation and Some Properties of Protein Hydrolysate from Broiler Esophagus. IACSIT Press, Singapore 2nd International Conference on Nutrition and Food Sciences IPCBEE vol.53.

Wibowo S. 1995. Pembuatan Bakso Ikan dan Bakso Daging. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Winarno FG, Koswara S. 2002. Ikan dan Hasil Olahannya. Bogor (ID): M-brio Press.

(33)

Lampiran 1. Prosedur Analisis Komponen Kimia 1. Kadar Air (AOAC 1995)

Cawan aluminium dikeringkan dalam oven pada suhu 100oC selama 15 menit kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (Wo). Sebanyak dua g contoh dimasukkan ke dalam cawan dan timbang (W1). Cawan yang

Sample ditimbang sebanyak tiga g sampai lima g contoh ke cawan dan timbang (W1). Cawan yang berisi contoh ke dalam tanur pada suhu 650°C sampai terbentuk abu putih dan diperoleh bobot tetap. Pindahkan segera ke dalam desikator kemudian timbang (W2). Hitung kadar abu dalam contoh.

Kadar abu (%) = (W2– W0) / (W1– W0) x 100% 3. Kadar Lemak (AOAC 1995)

Sampel ditimbang sebanyak dua g dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian ditutup dengan kapas bebas lemak. Selongsong dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet, siram dengan etil eter. Setelah etil eter berpindah ke dalam labu lemak melalui pipa, kemudian siram selongsong lemak hingga sebagian dari ruangan ekatraktor terisi dengan etil eter. Selanjutnya labu lemak dan tabung soxhlet dipanaskan di atas pemanas listrik bersuhu sekitar 40oC selama 6 jam. Labu lemak dilepaskan dari tabung soxhlet, kemudian tuangkan etil eter yang berada dalam ruangan ekstraktor ke dalam labu lemak. Etil eter didestilasikan di dalam labu lemak dengan alat destilasi berputar hingga semua etil eter menguap, kemudian keringkan labu lemak dalam oven 102oC hingga 105oC sampai tercapai berat konstan. Kemudian timbang berat minyak.

Lemak (%) = W3 - W2 x 100% W1

4. Kadar Protein (AOAC 1995)

Sample ditimbang sebanyak 2 g dan memasukkan sample ke dalam labu Kjehdahl, kemudian menambahkan katalis, batu didih, dan 12 mL H2SO4 pekat, serta 3 mL H2O2 30%. Selanjutnya tambahkan 100 mL aquades ke dalam labu hasil destruksi, kemudian masukkan labu tersebut ke dalam alat destilasi uap. Mengambil 25 mL H3BO4 dan masukkan ke dalam erlenmeyer 250 mL dan menambahkan dua tetes indikator methyl red kemudian alat destilasi dipasangkan. Selanjutnya menitrasi dengan larutan standar HCl 0.2 N hingga larutan berubah warna dari kuning menjadi merah muda. Kemudian dihitung kadar proteinnya.

Kadar protein (%) = (ml HCl - ml blanko ) x N HCl x 14.007 x 6.25 x 100% mg sampel

5. Pengukuran pH (AOAC 1995)

Sampel sebanyak 2.5 g dilarutkan dalam 25 ml aquades. Pengukuran pH menggunakan alat pH meter yang sudah dikalibrasi.

(34)

Lampiran 2. Prosedur analisis komponen fisik 1. Tekstur (Pnetrometer)

Tekstur bakso dianalisis dengan menggunakan pnetrometer. Prinsipnya adalah dengan memberikan gaya tusuk pada bahan pangan dengan beban (gaya) tertentu pada selang waktu tertentu. Dihasilkan nilai kedalaman tusukan terhadap sampel dalam satuan mm, dengan waktu pengamatan yang telah ditentukan yaitu 5 detik. Sampel bakso diletakkan di atas wadah yang tersedia, kemudian pengukuran dilakukan dengan memberikan gaya tusuk pada sampel. Pada layar

pnetrometer akan menunjukkan penghitungan mundur waktu, setelah itu dapat

dilihat berapa kedalaman jarum menembus sampel. Nilainya dinyatakan dalam mm per 5 detik. Pengukuran dilakukan sebanyak 2 kali pada bagian yang lonjong dari bakso.

2. Warna (Apriyantono et al. 1989)

Intensitas warna diukur dengan menggunakan colortex colormeter. Nilai yang terbaca pada alat antara lain nilai A, B, dan L (tingkat kecerahan).

(35)

Lampiran 3. ANOVA karakteristik daging mackerel setelah pencucian

1. Kadar air pencucian daging mackerel

Sumber Keragaman Df SS MS Fhitung

Konsentrasi NaHCO3 2 49.93 24.97 10.37

Frekuensi pencucian 1 16.19 16.19 6.72

Interaksi (GBij) 2 37.84 18.92 7.86*

Error (εkij) 6 2.66 0.44

Total 11 106.62

F (0.05; 2,6) = 5.14, F (0.05; 1,6) = 5.99 Fhitung > Ftabel, dilakukan uji lanjut Uji lanjut (Tes Newman – Keuls) Least Significant Range (LSR)

LSR 1.60 2.01 2.27 2.45 2.60

2. Kadar abu pencucian daging mackerel

Sumber Keragaman Df SS MS Fhitung

Konsentrasi NaHCO3 2 0.05 0.03 2.84

Frekuensi pencucian 1 0.00 0.00 0.001

Fhitung < Ftabel, tidak uji lanjut

Sample Total Ulangan Total Rata-rata Varian

A0B2 2 151.27 75.63 0.99

Sample Total Ulangan Total Rata-rata Varian

(36)

3. Kadar lemak pencucian daging mackerel

Sumber Keragaman df SS MS Fhitung

Konsentrasi NaHCO3 2 0.75 0.38 0.25

Frekuensi pencucian 1 1.10 1.10 0.72

Interaksi (GBij) 2 175.38 87.69 57.21*

Error (εkij) 6 9.12 1.53

Total 11 186.42

F (0.05; 2,6) = 5.14 F (0.05; 1,6) = 5.99

Fhitung > Ftabel, dilakukan uji lanjut Uji lanjut (Tes Newman – Keuls) Least Significant Range (LSR) LSR 3.03 3.80 4.29 4.65 4.93

4. Kadar protein pencucian daging mackerel

Sample Total Ulangan Total Rata-rata Varian

A0B2 2 67.31 33.66 0.50

A0B3 2 72.71 36.35 2.70

A2B2 2 64.55 32.27 0.48

A2B3 2 77.87 38.93 0.96

A5B2 2 81.56 40.78 0.60

A5B3 2 59.22 29.61 0.38

Sample Rataan A5B3 A2B2 A0B2 A0B3 A2B3 A5B2 Notasi

29.61 32.27 33.66 36.35 38.94 40.78

A5B2 40.78 11.17* 9.33* 6.75* 4.08* 2.67 - a

A2B3 38.94 8.51* 6.66* 4.08* 1.38 - - ab

A0B3 36.35 7.13* 5.28* 2.70 - - - b

A0B2 33.66 4.43* 2.58 - - - - bc

A2B2 32.27 1.85 - - - c

A5B3 29.61 - - - d

Sample Total Ulangan

Total Rata-rata Varian

A0B2 2 102.71 51.36 1.68

A0B3 2 86.66 43.32 0.62

A2B2 2 111.11 55.56 2.30

A2B3 2 75.39 37.69 0.18

A5B2 2 87.45 43.73 0.76

A5B3 2 68.83 34.42 0.42

(37)

Sumber Keragaman df SS MS Fhitung

Konsentrasi NaHCO3 2 167.97 83.98 54.29

Frekuensi pencucian 1 413.09 413.09 267.01

Interaksi (GBij) 2 57.15 28.58 18.47*

Error (εkij) 6 9.28 1.55

Total 11 647.49

F (0.05; 2,6) = 5.14 F (0.05; 1,6) = 5.99

Fhitung > Ftabel, dilakukan uji lanjut Uji lanjut (Tes Newman – Keuls) Least Significant Range (LSR) LSR 7.45 9.35 10.56 11.44 12.13

5. pH pencucian Daging Mackerel

Sample Total

Ulangan

Total Rata-rata Varian

A0B2 2 13.21 6.61 0.06

A0B3 2 13.40 6.70 0.06

A2B2 2 15.16 7.58 0.07

A2B3 2 15.44 7.72 0.09

A5B2 2 15.92 7.96 0.03

A5B3 2 15.94 7.97 0.01

Sumber Keragaman df SS MS Fhitung

Pencucian 2 3.76 1.88 550.99*

NaHCO3 1 0.02 0.02 5.87

Interaksi (GBij) 2 0.01 0.004 1.28

Error (εkij) 6 0.02 0.003

Total 11 3.81

F (0.05; 2,6) = 5.14 F (0.05; 1,6) = 5.99

Interaksi tidak berbeda nyata, namun untuk faktor tunggal frekuensi pencucian berbeda nyata dan dilakukan uji lanjut

Sample Rataan A2B2 A0B2 A5B2 A0B3 A2B3 A5B3 Notasi

34.42 37.69 43.32 43.73 51.36 55.56

A5B3 55.56 21.14* 16.94* 9.31 8.91 3.28 - a

A2B3 51.36 17.86* 13.66* 6.03 5.63 - - a

A0B3 43.73 12.23* 8.03 0.40 - - - ab

A5B2 43.32 11.83* 7.63 - - - - ab

A0B2 37.69 4.20 - - - b

A2B2 34.42 - - - b

(38)

Faktor frekuensi pencucian dua kali

Faktor frekuensi pencucian tiga kali

6. Kecerahan warna daging mackerel setelah pencucian

Sample Total

Ulangan

Total

Rata-rata

Varian

A0B2 2 13.21 6.61 0.06

A0B3 2 13.40 6.70 0.06

A2B2 2 15.16 7.58 0.07

A2B3 2 15.44 7.72 0.08

A5B2 2 15.92 7.96 0.03

A5B3 2 15.94 7.97 0.01

Sumber Keragaman df SS MS Fhitung

Pencucian 2 10.95 5.47 0.34

NaHCO3 1 8.14 8.14 0.51

Interaksi (GBij) 2 4.05 2.02 0.13

Error (εkij) 6 94.87 15.81

Total 11 118.00

F (0.05; 2,6) = 5.14 F (0.05; 1,6) = 5.99

Fhitung < Ftabel, tidak uji lanjut

Sample Rataan A0B2 A2B2 A5B2 Notasi

6.61 7.58 7.96

A5B2 7.96 1.35* 0.38* - a

A2B2 7.58 0.97* - b

A0B2 6.61 - - c

Sample Rataan A0B3 A2B3 A5B3 Notasi

6.70 7.72 7.97

A5B3 7.97 1.27* 0.25* - a

A2B3 7.72 1.02* - b

A0B3 6.70 - - c

Gambar

Gambar 4  Pengaruh konsentrasi NaHCO3 dan frekuensi pencucian terhadap
Gambar 5  freeze thaw stability bakso mackerel.
Gambar 6  Tekstur bakso mackerel setelah freeze thaw.

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa faktor kepuasan berpengaruh signifikan terhadap loyalitas pelanggan di PT Great Seasons Tours and Travel Kota

Adapun yang membuat kegiatan pembinaan ini menurun dari pesertanya adalah orang tua tidak memberikan dukungan yang penuh pada anak-anaknya untuk mengikuti

Kementan - BPS | Rilis Hasil Awal PSPK2011 9 Jika ditinjau secara regional/pulau, ternyata kondisinya tidak banyak berbeda antara data regional/pulau dengan data

Hal ini dikarenakan dengan penggoyangan Temperatur dalam pendingin lebih merata dan Temperatur didalam box aluminium(tempat ikan) dengan Temperatur didalam pendingin

- mengembalikan satu karakter dari buffer keyboard - karakter tidak ditampilkan di layar monitor (no echo) - Tidak menunggu sampai ada ENTER. - Cocok untuk membuat password

Persahabatan ditandai dengan kesediaan untuk dapat saling bantu (dapat menjadi penolong) satu sama lain.(4)Dasar keempat penggunaan teman sebaya untuk membantu orang lain muncul

“Tahun 2014, data anak putus sekolah mencapai angka 703 anak, hal tersebut menunjukkan penurunan signifikan dari tahun-tahun sebelumnya yang pada tahun 2013 saja

Pengetahuan dan pemahaman sangat jelas Bukti / contoh sangat sesuai. Membuat inferens