• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Potensi Kampung Naga sebagai Sebuah Ecovillage

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Potensi Kampung Naga sebagai Sebuah Ecovillage"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI POTENSI KAMPUNG NAGA SEBAGAI SEBUAH

ECOVILLAGE

NOVITA TRESNA WIDIANTI

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Potensi Kampung Naga sebagai Sebuah Ecovillage adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

NOVITA TRESNA WIDIANTI. Studi Potensi Kampung Naga sebagai Sebuah Ecovillage. Dibimbing oleh ARIS MUNANDAR.

Kampung Naga dikenal sebagai suatu desa atau kampung yang sangat mempertahankan tradisi warisan leluhurnya. Walaupun dikategorikan sebagai masyarakat adat yang kuat mempertahankan tradisi, masyarakat Kampung Naga bukan merupakan masyarakat yang statis dan primitif. Hal ini dapat menjadi potensi penerapan konsep ecovillage di Kampung Naga. Penerapan konsep ecovillage tersebut, bertujuan untuk melestarikan suatu lanskap sebagai kampung tradisional dan mendukung keberlanjutannya. Untuk mengetahui karakteristik lanskap tradisional Kampung Naga adalah observasi langsung dan studi literatur. Metode yang digunakan untuk mengetahui potensi ecovillage di Kampung Naga adalah analisis probabilitas dengan Koefisien Kappa. Metode yang digunakan untuk mengetahui tingkat keberlanjutan masyarakat menggunakan Penilaian Keberlanjutan Masyarakat (PKM) dari GEN (Global Ecovillage Network). Dari hasil analisis metode tersebut didapat bahwa Kampung Naga sangat berpotensi untuk penerapan konsep ecovillage dan tingkat penerapannya menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan. Rekomendasi yang dapat dilakukan adalah optimalisasi potensi konsep ecovillage yang telah diterapkan dan menggunakan aspek legal untuk mempertahankan keberlanjutan kampung.

Kata kunci: Kampung Naga, keberlanjutan masyarakat, model ecovillage

ABSTRACT

NOVITA TRESNA WIDIANTI. The Study of Potential of Kampung Naga as an Ecovillage. Supervised by ARIS MUNANDAR.

Kampung Naga as known as a village that always maintain the inheritance traditions of their ancestors. Although, Kampung Naga has categorized as traditional community that always maintain their inheritance traditions, they are not static and primitive community. It can be a potential to demonstrate ecovillage concept application in Kampung Naga. That concept purposed to conserve the landscape as traditional village and to support the sustainability. To find out the characteristic of traditional landscape of Kampung Naga was conducted obsevation and literature. The method that used to find out the Kampung Naga’s ecovillage potensial is probability analysis with Kappa coefficient. The method that used to find out the level of community sustainability is Community Sustainability Assessment (CSA) from GEN (Global Ecovillage Network). Based on the analysis result, Kampung Naga is very potential for application of ecovillage concept and the level of the application is indicate a good start toward sustainability. The recommendation for sustainability is maximize the potential of ecovillage concept that has been applicated and used the legal aspect to maintain the sustainability of the village.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Arsitektur Lanskap

STUDI POTENSI KAMPUNG NAGA SEBAGAI SEBUAH

ECOVILLAGE

NOVITA TRESNA WIDIANTI

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau peninjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Judul Skripsi : Studi Potensi Kampung Naga sebagai Sebuah Ecovillage Nama : Novita Tresna Widianti

NIM : A44090071

Disetujui oleh

Dr Ir Aris Munandar, MS Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Bambang Sulistyantara, MAgr Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu

menyelesaikan skripsi dengan judul “Studi Potensi Kampung Naga sebagai

Sebuah Ecovillage” ini dengan baik. Skripsi ini dibuat dalam rangka penyelesaian studi di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Aris Munandar, MS selaku dosen pembimbing dalam penulisan

skripsi

2. Dr. Ir. Setia Hadi, MS selaku dosen pembimbing akademik

3. Pak Tatang selaku pemandu wisata di Kampung Naga yang telah banyak memberikan informasi mengenai Kampung Naga

4. Warga Kampung Naga yang membantu penulis dalam mengumpulkan informasi

5. Pihak pemerintahan Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat

6. Dinas-dinas pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya

7. Segenap keluarga dan teman-teman ARL 46 yang telah memberikan dukungannya terhadap penulis untuk menyelesaikan skripsi ini

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak Kampung Naga dan dapat menjadi masukan pengelolaan Kampung Naga.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Kerangka Pikir Penelitian 2

METODE 3

Lokasi dan Waktu Penelitian 4

Alat dan Bahan 4

Batasan Penelitian 5

Metode Penelitian 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 10

Kondisi Umum Kampung Naga 10

Karakter Lanskap Tradisional Kampung Naga 11

Potensi Ecovillage Berdasarkan Persepsi Masyarakat Kampung Naga 27 Penilaian Keberlanjutan Masyarakat Kampung Naga 28

Rekomendasi Pengelolaan 49

SIMPULAN DAN SARAN 49

Simpulan 53

Saran 53

DAFTAR PUSTAKA 54

LAMPIRAN 56

Lampiran 1 56

Lampiran 2 56

RIWAYAT HIDUP 79

(10)

DAFTAR TABEL

1. Kriteria penilaian keberlanjutan masyarakat 8

2. Koefisien kappa 9

3. Jenis vegetasi pada area permukiman 13

4. Jenis vegetasi pada lahan budidaya 14

5. Jenis vegetasi pada hutan alami yang dapat dimanfaatkan 15 6. Hasil olahan data potensi ecovillage di Kampung Naga 27 7. Tingkat keberlanjutan masyarakat Kampung Naga ditinjau dari aspek

ekologis 28

8. Tingkat keberlanjutan masyarakat Kampung Naga ditinjau dari aspek

sosial-ekonomi 39

9. Tingkat keberlanjutan masyarakat Kampung Naga ditinjau dari aspek

spiritual-budaya 45

10.Tingkat keberlanjutan masyarakat Kampung Naga ditinjau dari semua

aspek 48

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka pikir penelitian 3

2. Lokasi penelitian 4

3. Tahapan penelitian 6

4. Diagram comfort zone 11

5. Retaining wall dari material batu kali 12

6. Badan air di Kampung Naga 12

7. Vegetasi pada area permukiman Kampung Naga 14

8. Fungsi vegetasi di Kampung Naga 15

9. Ilustrasi keragaman tanaman pada lanskap Kampung Naga 16

10.Keragaman satwa di Kampung Naga 17

11.Konsep ruang ecovillage 18

12.Pola umum tata ruang lanskap Kampung Naga 18

13.Rumah panggung Kampung Naga 19

14.Peta pola penggunaan lahan 20

15.Jenis anyaman pada rumah Kampung Naga 21

16.Pola umum bangunan rumah Kampung Naga 22

17.Kegiatan menjemur dan menumbuk padi 23

18.Kerajinan dari Kampung Naga 23

19.Upacara adat Hajat Sasih 25

20.Alat ritual panen padi 26

21.Tempat memasak (hawu) masyarakat Kampung Naga 26

22.Penanaman di dalam barang bekas 30

23.Contoh tata ruang permukiman Kampung Naga 32

24.Tempat sampah di Kampung Naga 34

25.Kondisi tempat MCK di Kampung Naga 35

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Kuesioner Eksplorasi Potensi Ecovillage Menurut Masyarakat Kampung

Naga 56

2. Panduan Penilaian Keberlanjutan Masyarakat (PKM) atau Community

(12)
(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kampung Naga berada di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Kampung Naga merupakan salah satu desa adat yang berada di Jawa Barat. Kampung Naga dikenal sebagai suatu desa atau kampung yang sangat mempertahankan tradisi warisan leluhurnya. Namun, walaupun dikategorikan sebagai masyarakat adat yang kuat mempertahankan tradisi, masyarakat Kampung Naga bukan merupakan masyarakat yang statis dan primitif. Ketradisionalan masyarakat Kampung Naga tidak berarti menggambarkan keterisolasiannya dari dunia luar baik dari aspek geografis, sosial, maupun budaya. Di samping merupakan daerah terbuka untuk dikunjungi, banyak di antara masyarakat Kampung Naga yang selalu keluar masuk kampung seperti untuk keperluan berdagang dan keperluan lainnya. Selain itu, Kampung Naga juga merupakan salah satu daerah kunjungan wisata di daerah Jawa Barat (Aziz, 2002).

Sebagai kampung adat yang selalu mempertahankan tradisi yang telah diwariskan oleh leluhur, Kampung Naga memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang baik dalam mengelola setiap aspek di dalam kampungnya. Di dalam kegiatan sehari-harinya, masyarakat Kampung Naga juga selalu mempertimbangkan lingkungan alamnya. Selain itu, wilayah Kampung Naga dilewati oleh Sungai Ciwulan yang menjadi hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciwulan. Sungai Ciwulan merupakan sumber air bersih bagi pertanian masyarakat Kampung Naga dan desa sekitarnya, sehingga kualitas airnya harus dilestarikan. Oleh karena itu, kehidupan sehari-hari masyarakat Kampung Naga yang selalu selaras dengan alam dapat mendukung kelestarian Sungai Ciwulan tersebut. Hal ini dapat menjadi potensi penerapan konsep ecovillage di Kampung Naga. Penerapan konsep ecovillage tersebut, bertujuan untuk melestarikan suatu lanskap dan mendukung keberlanjutannya. Menurut Global Ecovillage Network (GEN) (2000), ecovillage adalah komunitas dari masyarakat di kota maupun di desa yang berusaha untuk mengintegrasikan kehidupan sosial dengan gaya hidup yang minim dampak. Untuk mencapai konsep ecovillage, dapat dipadukan dengan berbagai aspek, seperti aspek desain ekologi, permakultur, bangunan ekologi, produksi ramah lingkungan, energi alternatif, latihan penguatan komunitas, dan banyak lagi. Ecovillage merupakan suatu cara hidup yang didasarkan pada pemahaman yang mendalam bahwa segala sesuatu dan segala makhluk saling berhubungan. Secara filosofi ecovillage dibangun dari berbagai macam kombinasi dari ketiga prinsip dasar yaitu ekologi, sosial, dan spiritual. Terdapat tiga komponen kunci terkait dengan pembangunan berkelanjutan, yaitu keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial dan keberlanjutan lingkungan. Setiap komponen ini berfokus pada kesetaraan dan kemasadepanan (Benson dan Roe, 2000 dalam Arafat, 2010). Oleh karena itu, diharapkan penerapan konsep ecovillage dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat tanpa menghilangkan budaya dan kearifan lokal, serta tetap mempertahankan keberlanjutan lingkungan.

(14)

2

konsep ecovillage atau belum. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dikaji sejauh mana penerapan konsep ecovillage yang ada di Kampung Naga dan potensi-potensi kampungnya untuk penerapan konsep ecovillage di masa mendatang. Selanjutnya akan dibuat suatu rekomendasi pengelolaan Kampung Naga berbasis ecovillage untuk mendukung keberlanjutan Kampung Naga tersebut, sehingga Kampung Naga dapat dijadikan sebuah contoh atau model suatu lanskap desa yang berbasis ecovillage.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. mengidentifikasi dan menganalisis potensi konsep ecovillage dan tingkat penerapannya di Kampung Naga, dan

2. menyusun rekomendasi pengelolaan Kampung Naga berbasis ecovillage untuk mendukung keberlanjutannya.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. diharapkan supaya masyarakat Kampung Naga dapat mempertahankan nilai-nilai yang telah diterapkan dan dapat memanfaatkan hasil kajian ini untuk mendukung keberlanjutan Kampung Naga itu sendiri, dan

2. dapat menjadikan Kampung Naga sebagai salah satu contoh kampung adat yang berbasis ecovillage.

Kerangka Pikir Penelitian

(15)

3

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian Potensi Penerapan

Ecovillage menurut Masyarakat Karakter Lanskap

Tradisional Kampung Naga

Penilaian Keberlanjutan Masyarakat Kampung

Naga Kampung Naga

Aspek Sosial-Ekonomi

Aspek Spiritual-Budaya Aspek Ekologis

Rekomendasi Pengelolaan Kampung Naga Berbasis Ecovillage

Kampung Tradisional dan Desa Adat

Usaha Pelestarian dengan Konsep Ecovillage

(16)

4

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Kegiatan penelitian dilaksanakan di Kampung Naga, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat (Gambar 2). Penelitian dilaksanakan selama dua puluh delapan minggu terhitung mulai minggu pertama bulan April hingga bulan Desember 2013.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada proses penelitian adalah:

1. Alat tulis untuk mencatat setiap informasi yang didapat selama proses penelitian

2. Kamera untuk mendokumentasikan kondisi di tempat penelitian 3. Alat perekam untuk merekam pembicaraan pada proses wawancara

4. Jenis Software pembantu untuk menunjang pengolahan data antara lain Microsoft Office Word 2007, AutoCAD 2010, dan Adobe Photoshop CS3

Bahan yang digunakan pada proses penelitian adalah:

1. Peta dasar kawasan Kampung Naga untuk digunakan dalam proses analisis pengelolaan secara spasial

2. Kuesioner dan panduan wawancara yang akan diberikan kepada masyarakat, pemuka adat, serta pihak-pihak yang mempunyai keterkaitan dengan kawasan Kampung Naga

3. Studi pustaka yang terkait Kampung Naga dan ecovillage.

Gambar 2 Lokasi penelitian

(17)

5

Batasan Penelitian

Batasan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. menghasilkan sebuah studi atau kajian mengenai evaluasi potensi penerapan ecovillage di Kampung Naga, baik yang sudah maupun yang belum diterapkan;

2. membuat rekomendasi pengelolaan Kampung Naga yang berbasis ecovillage untuk mendukung keberlanjutan Kampung Naga.

Metode Penelitian

(18)

6

Tahap Persiapan

Tahap persiapan mencakup kegiatan pengumpulan informasi melalui studi pustaka yang diperlukan melalui kepustakaan/dokumen yang dapat diperoleh dari beberapa pihak yang terkait. Hasil studi pustaka berupa informasi tentang kondisi lokasi penelitian, sejarah Kampung Naga, budaya/perilaku masyarakat penghuni lokasi penelitian, dan kebijakan-kebijakan yang berlaku di lokasi penelitian.

Tahap Pengumpulan Data (Inventarisasi)

Tahap pengumpulan data dilakukan untuk mengidentifikasi karakter lanskap tradisional Kampung Naga berupa kondisi fisik dan biofisik Kampung Naga, potensi ecovillage berdasarkan persepsi masyarakat, dan keberlanjutan masyarakat Kampung Naga. Berikut metode yang dilakukan untuk mendapatkan data tersebut:

Gambar 3 Tahapan penelitian

(19)

7 A. Karakter Lanskap Tradisional Kampung Naga

Karakter lanskap yang diamati pada penelitian ini berdasarkaan konsep ecovillage, yaitu karakter ekologis berupa kondisi fisik dan biofisik lanskapnya seperti iklim, tanah dan topografi, vegetasi dan satwa, serta pola penggunaan lahan, pola permukiman, dan arsitektur bangunan; karakter sosial-ekonomi; dan karakter spiritual-budaya yang ada di Kampung Naga. Metode yang dilakukan adalah observasi langsung di lokasi penelitian dan studi pustaka sebagai data sekunder.

B. Potensi Ecovillage Berdasarkan Persepsi Masyarakat Kampung Naga

Potensi penerapan konsep ecovillage di Kampung Naga dinilai berdasarkan persepsi masyarakatnya menggunakan sistem kuesioner, lalu dianalisis menggunakan metode pobabilitas koefisien Kappa (Hengky, 2006). Pertanyaan yang diajukan adalah mengenai parameter ecovillage yang disesuaikan dengan kondisi yang ada di tapak. Parameter tersebut adalah adanya nilai-nilai ekologis, sosial, spiritual, dan ekonomi. Responden dari kuesioner tersebut adalah 30 warga Kampung Naga yang dipilih secara acak. Contoh kuesioner untuk eksplorasi potensi ecovillage dapat dilihat pada Lampiran 1. Dari hasil perhitungan ini didapat suatu nilai statistik Kappa yang menunjukkan kekuatan persetujuan responden terhadap parameter yang disesuaikan dengan konsep ecovillage itu sendiri. Sehingga didapat hasil dimana Kampung Naga tersebut mempunyai potensi atau tidak terhadap penerapan konsep ecovillage berdasarkan persepsi masyarakatnya.

C. Penilaian Keberlanjutan Masyarakat Kampung Naga

Keberlanjutan masyarakat Kampung Naga menggunakan metode Penilaian Keberlanjutan Masyarakat (PKM) atau Community Sustainability Assessment (CSA). Penilaian Keberlanjutan Masyarakat (PKM) atau Community Sustainability Assessment (CSA) merupakan suatu alat untuk mengukur tingkat keberlanjutan suatu masyarakat dalam kerangka ecovillage yang dibuat oleh Global Ecovillage Network (GEN) berupa serangkaian pertanyaan yang diberi pembobotan. Materi yang digunakan adalah panduan wawancara baku PKM dari GEN (2000) yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Nurlaelih (2005) (Lampiran 2). Dalam metode PKM aspek yang akan dinilai adalah aspek ekologis, sosial-ekonomi, dan spiritual-budaya. Data diperoleh dengan cara wawancara mendalam dan observasi langsung sesuai dengan materi yang ada di dalam panduan wawancara dan observasi PKM/CSA.

(20)

8

Tabel 1 Kriteria penilaian keberlanjutan masyarakat

Parameter Bobot

Aspek Ekologis

1 Sense of place *

2 Ketersediaan, produksi, dan distribusi makanan * 3 Infrastruktur, bangunan dan transportasi * 4 Pola konsumsi dan pengelolaan limbah padat * 5 Air-sumber mutu, dan pola penggunaan * 6 Limbah cair dan pengelolaan polusi air * 7 Sumber dan penggunaa energi *

Total nilai aspek ekologis **

Aspek Sosial-Ekonomi

1 Keterbukaan, kepercayaan, keselamatan; ruang bersama * 2 Komunikasi, aliran gagasan, dan informasi * 3 Jaringan pencapaian dan jasa * 4 Keberlanjutan sosial *

5 Pendidikan *

6 Pelayanan kesehatan * 7 Keberlanjutan ekonomi-ekonomi lokal yang sehat *

Total nilai aspek sosial **

Aspek Spiritual-Budaya

1 Keberlanjutan budaya * 2 Seni dan kesenangan * 3 Keberlanjutan spiritual * 4 Keterikatan masyarakat * 5 Gaya pegas masyarakat * 6 Holografik baru, pandangan dunia * 7 Perdamaian dan kesadaran global *

Total nilai aspek spiritual **

Total nilai aspek keseluruhan ***

Keterangan:

1. Pembobotan variabel/parameter dalam satu aspek (*)

50+ : Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 25-49 : Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan

0-24 : Menunjukkan perlunya tindakan lebih lanjut untuk mencapai keberlanjutan 2. Pembobotan variabel/parameter dalam satu aspek (**)

333+ : Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 166-332 : Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan

0-165 : Menunjukkan perlunya tindakan lebih lanjut untuk mencapai keberlanjutan 3. Pembobotan variabel/parameter dalam satu aspek (***)

999+ : Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 500-998 : Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan

0-449 : Menunjukkan perlunya tindakan lebih lanjut untuk mencapai keberlanjutan

Tahap Analisis

A. Karakter Lanskap Tradisional Kampung Naga

(21)

9 B. Potensi Ecovillage Berdasarkan Persepsi Masyarakat Kampung Naga

Potensi ecovillage yang dinilai berdasarkan persepsi masyarakat Kampung Naga dianalisis menggunakan konsep probabilitas atau peluang dengan rumus koefisien Kappa menurut Hengky (2006). Dari hasil analisis tersebut, didapat nilai statistik Kappa yang menunjukkan kekuatan persetujuan masyarakatnya mengenai potensi ecovillage dan menghasilkan ada-tidaknya potensi penerapan ecovillage di Kampung Naga berdasarkan persepsi masyarakatnya. Berikut adalah penjelasan dari metode analisis Koefisien Kappa:

K =

PA−Pc 1−Pc

Keterangan: PA = perbandingan unit yang disetujui responden

Pc = perbandingan unit yang dengan persetujuan diharapkan akan berubah, perubahan tersebut berupa keraguan penilaian, persepsi, dan pemahaman responden.

Selanjutnya, Landish dan Koch (1977) dalam Hengky (2006) mengartikan kemungkinan beberapa perbandingan untuk menginterpretasikan Koefisien Kappa (Tabel 3):

Tabel 2 Koefisien kappa

Kappa Statistik Kekuatan Persetujuan <0.00 Tidak ada potensi 0.00-0.20 Belum ada potensi 0.21-0.40 Kurang ada potensi 0.41-0.60 Hampir ada potensi 0.61-0.80 Cukup ada potensi 0.81-1.00 Ada potensi

C. Penilaian Keberlanjutan Masyarakat Kampung Naga

Metode Penilaian Keberlanjutan Masyarakat (PKM) atau Community Sustainability Assessment (CSA) dianalisis secara deskriptif dengan cara menjabarkan seluruh aspek yang menjadi potensi dan kendala terhadap penerapan konsep ecovillage dalam GEN, 2000, di Kampung Naga sesuai dengan materi yang ada di dalam panduan. Hasil analisis juga disesuaikan dengan standar-standar yang telah ada mengenai desa berkelanjutan (ecovillage).

Tahap Sintesis

(22)

10

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sejarah Kampung Naga

Nenek moyang (karuhun) yang paling berperan dan berpengaruh bagi masyarakat Kampung Naga, yaitu tokoh yang dianggap mendirikan Kampung Naga oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama Sembah Dalem Singaparna atau Eyang Singaparna dimakamkan di sebelah Barat Kampung Naga. Hingga kini makamnya dikeramatkan dan selalu diziarahi pada saat upacara adat serta mendapat penghormatan dari seluruh masyarakat Kampung Naga, baik yang tinggal di dalam maupun di luar kampung (Herawati, 2001 dalam Yulianingsih, 2002).

Secara pasti penduduk Kampung Naga termasuk kuncennya tidak mengetahui berdirinya Kampung Naga, tetapi diperkirakan sekitar abad XII sebelum agama Islam berkembang. Menurut salah seorang pengelola Kampung Naga, leluhur (karuhun) Kampung Naga yaitu Sembah Dalem Singaparna merupakan teureuh Galunggung (keturunan Raja Galunggung) yang terakhir. Sejarah Kerajaan Galunggung sendiri dalam kenyataannya tidak banyak dikenal secara meluas termasuk oleh masyarakat Jawa Barat sendiri. Hal tersebut dikarenakan langkanya bukti tertulis, baik berupa prasasti maupun naskah-naskah kuno lainnya.

Salah satu bukti tersebut disimpan di suatu tempat yang disebut bumi ageung, yaitubangunan yang menyimpan arsip-arsip yang ditulis pada daun lontar dengan huruf Sunda Kuno, yang berisi tulisan-tulisan mengenai leluhur Kampung Naga. Namun, arsip-arsip tersebut ikut terbakar dalam peristiwa pemberontakan DI/TII pada tahun 1956 (Widianingsih, 1996 dalam Yulianingsih, 2002). Tetapi diduga nama Kampung Naga berasal dari nama pasukan Kerajaan Mataram yang diutus oleh Sultan Agung (1628-1629) untuk bertempur melawan penjajah Belanda. Sebagian dari pasukan ini mendirikan basis penyedia makanan bagi pasukan yang sedang bertempur. Lama kelamaan tempat tersebut berkembang menjadi Kampung Naga (Rajagukguk, 1999 dalam Yulianingsih, 2002). Ada pula informasi dari pihak pengelola yang mengatakan bahwa, nama Kampung Naga berasal dari kata na gawir yang berarti berada di tempat yang menggantung, karena letak Kampung Naga yang berada di lembah. Lalu lama-kelamaan kata tersebut menjadi kata naga, dan disisipkan kata “kampung”, lalu terbentuklah kata Kampung Naga.

Letak Geografis dan Administratif Kampung Naga

(23)

11

Karakter Lanskap Tradisional Kampung Naga Karakter Ekologis

A. Iklim

Suhu rata-rata harian Kampung Naga sekitar 21.5-23°C. Udaranya cukup sejuk, karena kondisinya yang masih alami dan masih banyaknya vegetasi di sekitar kampung. Kelembaban di Kampung Naga berkisar 69-97 % (bmkg.go.id). Lokasi Kampung Naga yang berada di lembah dan tidak adanya kendaraan bermotor menyebabkan kualitas udara masih baik. Curah hujan rata-rata tahunan Kampung Naga sekitar 1600mm/tahun (Profil Desa Neglasari). Aliran udara di sekitar bangunan cukup lancar karena letak bangunan yang saling menghadap Utara-Selatan, sehingga terdapat celah diantara rumah untuk udara yang mengalir. Oleh karena itu kondisi sekitar bangunan cukup nyaman. Dilihat dari suhu udara dan kelembaban di Kampung Naga, maka lanskap Kampung Naga termasuk ke dalam daerah yang nyaman untuk udara berdiam berdasarkan diagram daerah nyaman atau comfort zone manurut Frick dan Suskiyatno (2007) (Gambar 4).

B. Tanah dan Topografi

Jenis tanah di Kampung Naga adalah latosol coklat kemerahan. Permukiman Kampung Naga diapit oleh perbukitan yang membujur dari timur ke barat dengan kemiringan 45o dan berada pada suatu lembah dengan ketinggian 690 mdpl. Untuk mencegah longsor, sejak dulu masyarakat Kampung Naga telah membuat undakan seperti terasering untuk mengatasi lahannya yang miring dengan menggunakan retaining wall yang terbuat dari batu kali (Gambar 5). Untuk menghindari longsor pada area dengan kemiringan curam, masyarakat Kampung Naga tidak menggunakan lahan tersebut untuk pertanian, namun lahan tersebut ditanami vegetasi pohon tinggi dan bambu secara alami. Area pertanian juga berada di lahan yang miring, namun kemiringannya tidak terlalu curam. Oleh karena itu pada area sawah dibuat bertingkat atau terasering.

(24)

12

C. Hidrologi

Aspek hidrologi ini berkaitan dengan air di dalam lanskap kampung Naga. Menurut Simond dan Starke (2006), air dalam lanskap berfungsi sebagai irigasi, transportasi, mengubah iklim mikro, habitat vegetasi dan satwa, untuk rekreasi, dan terdapat nilai keindahan. Di Kampung Naga, air digunakan untuk irigasi sawah, kebutuhan minum, cuci dan mandi, dan sebagai habitat vegetasi dan satwa. Badan air yang ada di Kampung Naga adalah sungai Ciwulan yang terletak di sebelah Timur permukiman Kampung Naga, dan kolam-kolam ikan yang terletak di sebelah Timur-Utara-Selatan permukiman Kampung Naga yang disebut balong dalam Bahasa Sunda (Gambar 6).

Sumber air yang digunakan warga Kampung Naga berasal dari saluran air buatan dari mata air, yang disebut Saluran Garunggang dan ada yang langsung diairi dari Sungai Ciwulan. Air ini digunakan untuk kebutuhan sehari-hari warga seperti minum, cuci, dan mandi. Selain itu, air digunakan untuk mengairi kolam-kolam dan sawah warga. Saluran Garunggang dibuat oleh masyarakat Desa Neglasari secara swadaya untuk memenuhi kebutuhan air bersih desanya. Air yang berasal dari Saluran Garunggang biasanya digunakan untuk keperluan air bersih seperti minum, mandi, dan cuci. Sedangkan air yang berasal dari pengairan Sungai Ciwulan biasanya digunakan untuk keperluan irigasi sawah dan kolam-kolam ikan. Adanya tanaman-tanaman berupa pepohonan tinggi di sekitar sumber saluran air membuat kelestarian sumber air tersebut tetap terjaga.

Pada konsep ekologis, air hujan sebaiknya kembali terserap ke dalam tanah. Aliran permukaan atau run-off sebaiknya dicegah, sehingga air hujan tidak langsung mengalir ke badan air dan dapat kembali ke dalam tanah. Pada area permukiman, masyarakat Kampung Naga membuat selokan atau parit kecil di antara rumah-rumah untuk mengalirkan air hujan yang jatuh pada tapak agar

Gambar 6 Badan air di Kampung Naga (Sumber: Survei lapang)

(25)

13 daerah sekitar rumah-rumah tetap kering dan terhindar dari banjir. Air yang mengalir dari area permukiman akan diteruskan hingga ke kolam ikan. Prinsip pengaliran air tersebut sama seperti prinsip sumur resapan, yaitu menyalurkan dan menampung air hujan ke dalam lubang atau sumur agar air dapat memiliki waktu tinggal di permukaan tanah lebih lama sehingga sedikit demi sedikit air dapat meresap ke dalam tanah dan dapat mengatasi masalah run-off (Kusnaedi, 2006). Selain itu, toilet atau kamar mandi tidak berada di sekitar bangunan rumah, melainkan di luar area permukiman, sehingga tanah di sekitar bangunan rumah tetap kering. Namun perlu penelitian lebih lanjut mengenai penyerapan air hujan di Kampung Naga. Selain itu, untuk menghindari adanya genangan akibat air hujan, terdapat saluran seperti parit kecil di area sekitar bangunan juga, sehingga air yang belum terserap ke dalam tanah akan mengalir ke area kolam. Wilayah Kampung Naga berada pada bagian hulu DAS Ciwulan, sehingga kualitas ekologi di Kampung Naga cukup berpengaruh pada area DAS bagian hilir.

D. Vegetasi dan Satwa

Vegetasi pada lanskap Kampung Naga sebagian besar digunakan untuk kebutuhan pangan. Vegetasi terdapat pada area permukiman, lahan sawah, pematang sawah, dan hutan alami di Kampung Naga. Vegetasi pada area permukiman biasanya untuk keperluan bumbu dapur (Gambar 7). Luas area permukiman hanya 1.5 ha sejak masa leluhur Kampung Naga. Area permukiman seluas 1.5 ha itu disebut sebagai kandang jaga dan merupakan lahan dengan kepemilikan adat. Area 1.5 ha digunakan untuk tempat bangunan rumah, sehingga lahan kosong untuk ditanami vegetasi kurang. Vegetasi yang ditanam di sekitar bangunan rumah juga merupakan milik bersama, karena lahan yang digunakan adalah tanah adat, bukan kepemilikan pribadi. Vegetasi yang terdapat pada area permukiman ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Jenis vegetasi pada area permukiman

No Nama Lokal Nama Latin Famili 1. Sirih Piper bettle Piperaceae 2. Pepaya Carica papaya Caricaceae 3. Singkong Manihot esculenta Euphorbiaceae 4. Kembang Sepatu Hibiscus rosasinensis Malvaceae 5. Kunyit Curcuma domestica Zingiberaceae 6. Kapulaga Amomum Cardamomum Zingiberaceae 7. Tomat Solanum lycopersicum Solanaceae 8. Hanjuang Cordyline terminalis Laxmanniaceae 9. Nanas Ananas comosus Bromeliaceae 10. Pisang Musa paradisiacal Musaceae

(26)

14

Vegetasi di Kampung Naga juga terdapat pada lahan budidaya. Pada lahan budidaya, vegetasi utama adalah padi, karena lahan budidaya seluruhnya adalah lahan sawah. Namun, masyarakat Kampung Naga memanfaatkan pematang sawah untuk ditanami vegetasi seperti pisang dan kelapa. Vegetasi padi yang ditanam adalah varietas asli Kampung Naga yang disebut oleh masyarakat Kampung Naga dengan pare ageung. Disebut pare ageung karena bulir padi berukuran agak besar. Padi merupakan vegetasi yang dikonsumsi secara pribadi, namun terdapat masyarakat yang menjual sebagian hasil panennya untuk memperoleh penghasilan tambahan. Menurut prinsip masyarakat Kampung Naga, padi atau beras merupakan hal yang sangat penting. Jika masyarakat mempunyai beras, maka mereka akan merasa tenang dan tercukupi kebutuhan pokoknya, sehingga fungsi utama penanaman padi di Kampung Naga adalah untuk mempertahankan ketahanan pangan kampungnya, bukan untuk meningkatkan nilai ekonomi. Vegetasi pada lahan budidaya ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4 Jenis vegetasi pada lahan budidaya

No Nama Lokal Nama Latin Famili 1. Sengon Paraseriantes falcataria Fabaceae 2. Bambu Gigantochloa sp.

Bambusa sp.

Graminae (Poaceae)

3. Picung/kluwek Pangium edule Flacourtiaceae 4. Kelapa Cocos nucifera Palmae 5. Singkong Manihot esculenta Euphorbiaceae 6. Kirinyuh Eupatorium odoratum Asteraceae 7. Afrika Maesopsis eminii Rhamnaceae 8. Petai Parkia speciosa Fabaceae 9. Manggis Garcinia mangostana Guttiferae 10. Aren Arenga pinnata Palmae 11. Pisang Musa paradisiacal Musaceae 12. Kakao Theobroma cacao Malvaceae 13. Kapulaga Amomum cardamomum Zingiberaceae 14. Padi Oryza sativa Poaceae 15. Pangkas Kuning Duranta sp. Verbenaceae 16. Patah Tulang Pedilathus titymaloides Euphorbiaceae

(Sumber: Yulianingsih, 2002)

(a) (b)

Gambar 7 Vegetasi pada area permukiman Kampung Naga (a) nanas dan (b) kapulaga

(27)

15 Vegetasi pada area dengan kemiringan lahan yang curam merupakan vegetasi pohon tinggi yang tumbuh secara alami maupun sengaja ditanaman warga. Vegetasi di lahan hutan alami ini biasanya dimanfaatkan untuk material bangunan di Kampung Naga. Selain itu terdapat vegetasi bambu yang digunakan untuk bangunan rumah, toilet dan kerajinan tangan. Vegetasi pada hutan alami ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 5 Jenis vegetasi pada hutan alami yang dapat dimanfaatkan

No Nama Lokal Nama Latin Famili 1. Sembung Blumea balsamifera Asteraceae 2. Durian Durio zibethinus Bombaceae 3. Bangban Donax canniformis Cannaceae 4. Banen Cryteronia paniculata Crypteroniceae 5. Kosta Jatropha curcas Euphorbiaceae 6. Bambu Apus Gigantochloa apus Graminae 7. Bambu Gombong Gigantochloa verticillata Graminae 8. Sengon Paraseriantes falcataria Fabaceae 9. Suren Toona sureni Meliaceae 10. Kiara Ficus glabela Moraceae 11. Salam Eugenia polyantha Mytaceae 12. Rotan Calamus orratus Palmae 13. Aren Arenga pinnata Palmae 14. Paku anam Gleichemia linearis Shizaceae 15. Tepus Achasma walanga Zingiberaceae

(Sumber: Yulianingsih, 2002)

Di dalam lanskap Kampung Naga, fungsi vegetasi yang dapat diidentifikasi adalah pelindung lereng pada daerah pinggir sungai dan pembatas (border) (Gambar 8). Untuk pelindung lereng, vegetasi yang digunakan adalah vegetasi pohon tinggi atau vegetasi tahunan, dan untuk vegetasi pada border antara lain: pangkas kuning (Duranta sp.) dan kapulaga (Amomum Cardamomum).

Area di sekitar permukiman Kampung Naga masih cukup alami, yang berupa sawah yang ditanami tanpa menggunakan bahan kimia dan hutan yang selalu dilindungi dengan kearifan lokal, sehingga keragaman vegetasi masih tinggi, dan hal tersebut dapat menjadi potensi keanekaragaman hayati yang perlu dipertahankan. Masyarakat Kampung Naga juga sudah menerapkan sistem tanam kembali apabila ada tanaman yang diambil untuk digunakan sebagai material bangunan, sehingga kearifan lokal dan sistem ekologis dapat sejalan.

(a) (b)

Gambar 8 Fungsi vegetasi di Kampung Naga, sebagai pelindung lereng (a) dan border (b)

(28)

16

Kampung Naga termasuk ke dalam wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciwulan, Wilayah Sungai Ciwulan-Cilaki, sehingga keragaman strata vegetasi yang ada harus mendukung keberlanjutan DAS tersebut. Menurut Arifin, Munandar, dan Arifin (2008) pengelolaan daerah hulu DAS diperioritaskan pada upaya penurunan tingkat erosi, perbaikan sistem drainase, penanganan limbah padat dan limbah cair, penataan ruang luar pada lingkungan rumah, penyediaan ruang publik serta pembangunan sistem resapan air untuk penyedia air bersih. Salah satu usaha untuk pengendalian erosi pada lahan miring adalah keragaman tanaman. Berikut adalah ilustrasi keragaman tanaman yang ada di Kampung Naga (Gambar 9). Selain itu, pada daerah hulu DAS, praktik agroforestri sangat cocok untuk diaplikasikan. Di Kampung Naga, konsep agroforestri sudah dilakukan pada area lahan budidaya. Vegetasi di lahan budidaya didominasi dengan padi, namun terdapat tanaman Aren (Arenga pinnata), Kelapa (Cocos nucifera), dan Pisang (Musa paradisiacal).

(29)

17 Satwa pada lokasi penelitian sebagian besar merupakan hewan ternak (Gambar 10). Hewan ternak yang terdapat di Kampung Naga berupa ayam, domba, kambing, ikan mas, dan ikan bawal air tawar. Hewan ternak tersebut bisa dijadikan sebagai bahan makanan dan ada pula untuk dijual lagi oleh pemiliknya.

E. Pola Penggunaan Lahan, Pola Permukiman dan Arsitektur Bangunan

Pola umum lanskap Kampung Naga adalah area permukiman pada bagian tengah kampung, dan lahan budidaya berada di sekeliling area permukiman (Gambar 11). Letak bangunan rumah berkelompok tanpa ada pagar pembatas antar-rumah, sehingga bangunan rumah di Kampung Naga tidak memiliki pekarangan. Vegetasi yang ditanam di lahan kosong di sekitar bangunan rumah menjadi milik bersama. Lahan budidaya terdiri atas kolam-kolam ikan, sawah, dan vegetasi pohon yang dapat dimanfaatkan. Kolam-kolam ikan terletak di sekeliling area permukiman, dan area sawah terletak di sekeliling area kolam ikan. Tidak seperti area permukiman, kepemilikan lahan budidaya merupakan kepemilikan pribadi. Setiap masyarakat Kampung Naga memiliki ukuran sawah dan kolam ikan yang berbeda-beda. Ada juga masyarakat yang tidak mempunyai sawah dan atau kolam ikan. Terdapat sungai di sebelah Timur area permukiman yang disebut Sungai Ciwulan. Area di luar lahan budidaya adalah hutan yang dapat dimanfaatkan hasilnya, seperti kayu dan bambu. Namun, ada bagian hutan yang tidak dapat dimasuki yang disebut hutan larangan atau leuweung larangan dan hutan yang dianggap keramat yang disebut sebagai hutan keramat. Hutan larangan terletak di sebelah Timur area permukiman, yaitu di seberang Sungai Ciwulan. Hutan keramat terletak di sebelah Barat area permukiman. Lueweung larangan atau hutan larangan dianggap sebagai area yang dipenuhi oleh roh jahat, sehingga hutan tersebut dilarang untuk dimasuki dan diambil isinya. Namun, larangan tersebut dapat menjadi salah satu usaha konservasi pada area hutan alami. Hutan keramat di Kampung Naga terdapat makam-makam para leluhur Kampung Naga, sehingga sangat dijaga dan dipelihara. Pada waktu-waktu tertentu, masyarakat Kampung Naga akan masuk ke dalam hutan keramat dan membersihkan makam-makam para leluhur. Tidak semua masyarakat Kampung Naga dapat memasuki hutan keramat, hanya para laki-laki yang dapat memasuki hutan keramat. Peta tata pola penggunaan lahan pada lanskap Kampung Naga dapat dilihat pada Gambar 14.

Pola umum tata ruang lanskap Kampung Naga cukup sesuai dengan konsep ruang untuk penerapan ecovillage. Menurut Nasrullah (2009), pembagian runag pada konsep ruang ecovillage dibagi menjadi zona permukiman, zona fasilitas pelayanan publik, zona produksi pertanian, zona greenbelt, sungai, zona

(30)

18

konservasi sempadan sungai, irigasi pertanian, dan area konservasi bukit/gunung (Gambar 12)

Pola permukiman Kampung Naga dibuat secara berkelompok di lahan seluas 1.5 ha. Kepemilikan lahan permukiman seluas 1.5 ha adalah kepemilikan adat, sehingga area tersebut menjadi ruang bersama. Di dalam area permukiman juga terdapat masjid, balai pertemuan atau bale patemon, dan bumi ageung. Bumi

Gambar 12 Pola umum tata ruang lanskap Kampung Naga (Sumber: Survei lapang dan hasil pengolahan penulis)

(31)

19 ageung adalah bangunan yang berisi benda-benda pusaka di Kampung Naga, dan tidak sembarangan orang yang dapat memasuki bumi ageung. Setiap bangunan rumah dibuat secara berderet dan saling menghadap Utara-Selatan dengan jarak antar-rumah selebar 1 m hingga 1.5 m. Terdapat lorong-lorong yang membelah bangunan rumah dari ujung Barat hingga Timur area permukiman. Lorong-lorong tersebut berfungsi untuk aliran udara, sehingga area sekitar rumah tidak lembab. Selain itu, toilet atau kamar mandi terletak di luar area permukiman, sehingga tidak terdapat genangan-genangan air yang berasal dari toilet dan area sekitar rumah tetap kering. Sumber air yang ada di dalam area permukiman hanya berada di masjid untuk tempat wudhu. Masyarakat memanfaatkan sumber air tersebut untuk mencuci piring. Aktivitas masyarakat berpusat di sekitar masjid dan bale patemon, karena terdapat lahan kosong yang cukup luas untuk berbagai kegiatan masyarakat seperti menjemur padi. Area permukiman Kampung Naga dapat diidentifikasi sebagai area meso atau mesospace di dalam model keteritorialan. Menurut Porteous (1977), mesospace berfungsi sebagai home base, yaitu tempat untuk memenuhi kebutuhan pangan, bereproduksi, dan beristirahat. Namun, area permukiman hanya seluas 1.5 ha, sehingga masyarakat yang tidak dapat tinggal di area permukiman tersebut harus tinggal di luar kampung, tetapi hal tersebut tidak menjadi kendala, karena setiap perayaan upacara adat, seluruh masyarakat yang berada di dalam kampung maupun di luar kampung akan datang, sehingga nilai-nilai yang diwariskan leluhur tetap lestari.

Menurut Porteous (1977), identitas dari suatu komunitas adalah salah satu fungsi dari keteritorialan sebagai penandaan suatu wilayah. Di Kampung Naga, fungsi penandaan ini tidak dijelaskan secara tertulis, namun ciri khas bangunan yang ada di Kampung Naga tersebut menjadi identitas bangunan Kampung Naga. Selain itu, arsitektur bangunan rumah di Kampung Naga hampir sama antara satu dengan yang lainnya, sehingga desain bangunan rumah yang hampir sama tersebut dapat dijadikan sebagai identitas dari Kampung Naga itu sendiri. Desain bangunan yang umum digunakan di Kampung Naga mengacu pada desain arsitektur bangunan suku Sunda pada umumnya. Pada arsitektur rumah Sunda, biasanya rumah berbentuk panggung atau kolong bangunan dengan ketinggian 40-60 cm. Rumah Kampung Naga memiliki kolong dengan tinggi sekitar 40-50 cm (Gambar 13). Kolong biasanya digunakan untuk tempat menyimpan kayu bakar atau sebagai kandang ayam. Rumah panggung dimaksudkan agar dasar bangunan tidak kontak langsung dengan tanah, sehingga material bangunan yang terbuat dari kayu tidak cepat lapuk akibat kontak langsung dengan tanah.

(32)

20

Gambar 14 Peta pola penggunaan lahan

(33)

21 Atap atau suhunan rumah Sunda pada umumnya berbentuk jolopong (lurus), tagog anjing (sikap anjing duduk), badak heuay (badak menganga), parahu kumereb (perahu tengkurap), julang ngapak/julang nyanda/julang wirangga (sikap burung merentangkan sayap) buka palayu (menghadap ke bagian panjangnya), dan buka pongpok (menghadap ke bangian pendeknya) (Muanas, 1998 dalam Nurlaelih, 2005). Selain itu, terdapat capit hurang/gagak gunting, yaitu bagian ujung atap berbentuk cabang, tanduk kerbau atau lingkaran, terbuat dari kayu atau bambu dan ijuk yang dibulatkan yang berfungsi untuk mencegah air hujan masuk ke dalam rumah dan juga dianggap mempunyai pengaruh gaib. Atap bangunan rumah Kampung Naga berbentuk jolopong. Lantai dan dinding rumah Kampung Naga juga terbuat dari anyaman bambu, yaitu anyaman palupuh, bilik, dan sasag (Gambar 15). Anyaman palupuh digunakan untuk lantai, anyaman bilik dan sasag digunakan untuk dinding bangunan, dan anyaman sasag digunakan untuk dinding dan pintu dapur. Anyaman sasag vertikal digunakan untuk pintu dapur, dan anyaman sasag horizontal digunakan untuk dinding dapur. Untuk pintu utama rumah, digunakan material kayu tanpa anyaman.

Ruangan di dalam rumah Sunda dibagi menurut fungsinya, yaitu bagian depan (teras/emper) untuk menerima tamu laki-laki, kamar tidur (enggon/pangkeng) sebagai tempat beristirahat, bagian tengah (tengah imah/patengahan) sebagai tempat berkumpul anggota keluarga atau melakukan upacara adat, bagian belakang yang terdiri dari dapur (pawon), dan gudang penyimpanan (goah). Pembagian ruang di dalam rumah Kampung Naga juga hampir sama dengan ciri arsitektur tradisional Sunda (Gambar 16). Terdapat teras yang disebut golodog yang berfungsi untuk tempat duduk-duduk santai masyarakatnya. Lalu ada ruang seperti ruang tamu yang disebut tepas. Tepas pada umumnya disebut sebagai ruang untuk berkumpulnya laki-laki, karena di dalam masyarakat Kampung Naga, perempuan biasa berkumpul di dapur. Lalu ruang keluarga atau ruang tengah disebut dengan tengah imah yang berfungsi untuk berkumpul khusus keluarga. Kamar tidur disebut dengan pangkeng. Dapur disebut dengan pawon. Lalu terdapat gudang yang berisi beras yang disebut goah.

(34)

22

Selain rumah, terdapat bangunan yang ada di Kampung Naga, yaitu masjid, bale patemon atau balai pertemuan, leuit, dan saung lisung. Leuit adalah tempat menyimpan padi pada saat setelah masa panen. Setiap warga yang mempunyai lahan sawah harus menyimpan sebagian hasil panennya ke dalam leuit. Leuit berfungsi sebagai tempat menyimpan padi untuk cadangan makanan masyarakat Kampung Naga pada saat terjadi bencana, paceklik atau gagal panen, dan pada saat ada warga yang sedang kesulitan. Lalu, terdapat bangunan yang disebut saung lisung yang berfungsi sebagai tempat menumbuk padi. Saung lisung biasanya terletak di atas balong atau kolam ikan, karena sisa gabah yang terjatuh ke kolam dapat menjadi pakan ikan.

Karakter Sosial-Ekonomi

Jumlah penduduk Kampung Naga sampai Agustus 2013 berjumlah 315 jiwa. Dengan jumlah kepala keluarga 112 kepala keluarga. Kampung Naga termasuk ke dalam wilayah RT 01 RW 01 Dusun Naga, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Masyarakat Kampung Naga sebagian besar mempunyai mata pencaharian sebagai petani dan buruh tani. Disamping itu ada juga yang mempunyai pencarian tambahan, yaitu membuat kerajinan tangan bambu dan aren, serta berdagang baik di dalam maupun di luar Kampung Naga. Di Desa Neglasari termasuk di Kampung Naga, sebagian besar pendidikan terakhir masyarakatnya hanya sampai Sekolah Dasar (SD). Dari 5580 jumlah warga Desa Neglasari, terdapat 2625 jumlah masyarakat dengan pendidikan terakhirnya hanya sampai Sekolah Dasar. Namun, di dalam masyarakat Kampung Naga, pendidikan tidak hanya berasal dari sekolah formal saja. Masyarakat Kampung Naga secara rutin mengadakan pengajian bagi wanita, pria, maupun anak-anak. Selain itu, adanya kunjungan dari masyarakat luar menjadikan masyarakat Kampung Naga selalu mendapat pengetahuan baru, namun tetap pada batasan ajaran dan adat istiadat dari leluhur.

(35)

23 Sistem pertanian masyarakat Kampung Naga masih sangat sederhana, tanpa alat-alat pertanian modern seperti traktor. Pengolahan tanah cukup dengan menggunakan peralatan sederhana dan melibatkan tenaga kerja anggota keluarga dan atau anggota masyarakat lainnya. Setelah padi ditanam dan dipanen, padi akan dijemur dan ditumbuk di saung lisung (Gambar 17). Setelah itu padi yang sudah ditumbuk dan menjadi beras dapat dimasak dan menjadi bahan makanan pokok.

Masyarakat Kampung Naga menentukan masa turun ke sawah berdasarkan musim. Selam setahun, mereka membaginya menjadi 12, yaitu kasa, karo, katiga, kapat, kalmia, kanem, kapitu, kawolu, kasanga, kasadasa, desta, dan sada. Untuk mengetahui saat yang tepat untuk memulai kegiatan bertani, masyarakat Kampung Naga menggunakan ilmu perbintangan. Jika bintang waluku sudah terlihat di langit Selatan, maka kegiatan bertani sudah dapat dimulai. Bintang waluku adalah rasi bintang yang jika saling dihubungkan akan menyerupai bentuk waluku yang berarti bajak. Munculnya bintang waluku menandakan bahwa musim hujan sudah tiba. Waktu yang diberlakukan oleh masyarakat Kampung Naga dalam bercocok tanam berkaitan erat dengan pemeliharaan padi agar tidak terserang hama penyakit (Suryani dan Charliyan, 2013). Ritual tanam padi tersebut dapat menjadi potensi untuk meningkatkan nilai-nilai kebudayaan di dalam masyarakat Kampung Naga. Masyarakat Kampung Naga juga tidak menggunakan pupuk kimia dan pestisida, sehingga pertaniannya cukup organik.

Menurut Suryani dan Charliyan (2013), sistem berdagang masyarakat Kampung Naga dilakukan antar-warga di dalam maupun di luar kampung. Barang-barang yang dijual kepada masyarakat luar adalah hasil kebun dan kerajinan tangan yang umumnya dibuat dari bahan kulit kayu, bambu, batang kayu, dan sabut aren (Gambar 18). Kerajinan tersebut dapat menjadi potensi sebagai industri rumahan (home industry) untuk meningkatkan ekonomi masyarakat Kampung Naga.

Gambar 18 Kerajinan dari Kampung Naga (Sumber: Survei lapang)

(36)

24

Kepemimpinan di Kampung Naga dibagi menjadi kepemimpinan informal atau adat dan formal. Secara informal atau adat, Kampung Naga dipimpin oleh seorang kuncen, punduh, dan lebe, dengan kuncen sebagai jabatan tertinggi. Tugas kuncen adalah mengurusi kegiatan-kegiatan adat yang ada di Kampung Naga, seperti ritual pernikahan, menanam dan memanen padi, dan kegiatan keagamaan, serta keputusan tertinggi berada pada tangan kuncen. Tugas punduh adalah mengurusi kegiatan yang bersifat duniawi, sepeti kegiatan gotong royong, kerja bakti, dan lain-lain. Sedangkan tugas lebe adalah mengurusi kegiatan yang bersifat keagamaan, seperti upacara kematian dan ritual-ritual yang biasanya dilakukan di Kampung Naga. Sebelum dipilih dan ditetapkan sebagai pemangku adat, calon kuncen harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu sesuai dengan aturan yang berlaku. Menurut Suryani dan Charliyan (2013), calon kuncen Kampung Naga harus laki-laki dewasa yang usianya sudah mencapai 35 tahun atau sudah menikah, serta menguasai adat-istiadat dan tata cara pelaksanaan upacara adat di Kampung Naga. Kuncen sebagai pemangku adat dan panutan masyarakatnya, harus menjaga ucapan, nasihat, serta saran-saran yang berhubungan dengan adat-istiadat dan tradisi dari leluhur. Kuncen Kampung Naga juga memiliki hak khusus dalam menerima tamu, sehingga jika ada masyarakat luar yang ingin berkunjung dalam waktu lama, harus mendapat izin dari kuncen.

Secara formal Kampung Naga dipimpin oleh ketua RT yang mengurusi masalah administrasi di luar kegiatan adat. Menyangkut program pemerintah, pihak pemimpin adat dan Ketua RT akan mengadakan pertemuan sebelum disosialisasikan kepada anggota masyarakat. Komunikasi antara pemimpin adat dengan pemimpin formal harus terjalin dengan baik. Pada saat dilaksanakan upacara adat, Ketua RT bertugas membantu menjaga ketertiban dan kelancaran pelaksanaan upacara adat, sedangkan kuncen sebagai pemimpin upacara adat.

Saat ini Kampung Naga merupakan salah satu kunjungan wisata yang ada di Kabupaten Tasikmalaya. Hal ini dapat menjadi sesuatu yang positif dari aspek ekonomi, karena adanya pengunjung yang datang, maka semakim besar kemungkinan akan membeli cinderamata yang dibuat oleh masyarakat Kampung Naga, sehingga akan ada tambahan penghasilan. Namun, berdasarkan pengelola Kampung Naga, sebenarnya Kampung Naga sendiri tidak diperbolehkan untuk dijadikan tempat wisata karena masyarakat akan merasa tidak nyaman dengan kedatangan masyarakat lain dari luar, tetapi masyarakat luar tetap diperbolehkan masuk dengan izin dari kuncen dan dengan maksud untuk bersilaturahmi.

Karakter Spiritual-Budaya

Kepercayaan masyarakat Kampung Naga sampai saat ini adalah Islam. Mereka juga masih melaksanakan upacara adat hingga saat ini, namun upacara adat yang dilakukan masih sesuai dengan ajaran agama yang dianut. Salah satu upacara adat yang dilakukan disebut hajat sasih. Upacara hajat sasih dilakukan 6 kali dalam setahun. Berikut adalah waktu penyelenggaraan upacara adat hajat sasih:

1. Bulan Muharram, pada saat tahun baru Islam, tanggal 26, 27, atau 28

2. Maulud (Bulan Rabiul Awal), pada saat Maulid Nabi Muhammad SAW, tanggal 12, 13 , atau 14,

(37)

25 5. Bulan Syawal, pada saat Idul Fitri, tanggal 1, 2, atau 3,

6. Bulan Rayagung atau Dzulhijjah, pada saat Idul Adha, tanggal 10, 11, atau 12. Pada saat upacara adat hajat sasih, seluruh masyarakat Kampung Naga, baik yang tinggal di dalam kampung maupun yang tinggal di luar kampung, akan berkumpul di Kampung Naga untuk melaksanakan upacara adat hajat sasih. Upacara adat tersebut dapat menjadi pemenuhan kebutuhan afiliasi terhadap seluruh masyarakat Kampung Naga, baik yang berada di dalam maupun di luar kampung. Afiliasi berhubungan dengan kebutuhan untuk berhubungan atau bersatu dengan orang lain dan bersahabat dengan mereka (Siswanto, 2007). Pada setiap upacara adat di Kampung Naga, seluruh masyarakat Kampung Naga akan hadir, sehingga terdapat rasa kebersamaan antar-masyarakatnya.

Upacara adat hajat sasih dimulai dengan bebersih (membersihkan diri) di Sungai Ciwulan, yang berarti membersihkan diri baik jasmani mapun rohani dari berbagai sesuatu yang jahat yang menempel dan mengotori tubuh. Setelah itu, masyarakat kembali ke rumah masing-masing untuk berganti pakaian dengan baju jubah panjang yang umumnya berwarna putih, dan memakai tutup kepala yang disebut totopong. Lalu, masyarakat akan berziarah ke makam leluhur yang terletak di hutan keramat sebelah Barat area permukiman, sambil membawa sapu lidi untuk membersihkan makam (Gambar 19). Setelah itu, masyarakat akan kembali ke masjid untuk bersama-sama memakan tumpeng sebagai bentuk rasa syukur atas keselamatan dan kesejahteraan seluruh anggota masyarakat (Suryani dan Charliyan, 2013).

Selain uapacara adat hajat sasih, masyarakat Kampung Naga juga mengadakan ritual pada saat proses penanaman, pemanenan, penyimpanan, sampai pengolahan padi. Proses penanaman padi diawali dengan pelaksanaan kegiatan yang disebut magawe atau membajak sawah, selanjutnya babut yang merupakan kegiatan pengambilan benih dari dari kebun benih (pabinihan) untuk ditanam di sawah. Pelaksanaan kegiatan tersebut diawali dengan ngadupa kemenyan atau membakar kemenyan dengan sabut kelapa (Yulianingsih, 2002).

Pemanenan padi juga menggunakan alat-alat ritual yang diletakkan di sudut sawah, berupa rumpun padi yang diikat yang dibawahnya diletakkan sesajen (kelapa muda, cerutu, kapur sirih, nasi tumpeng, telur, dan makanan lainnya) (Gambar 20). Rumpun padi yang terpilih sebagai tempat upacara itu disebut pare indung yang dijadikan bibit untuk periode penanaman berikutnya. Setelah padi dipanen, selanjutnya akan dijemur menggunkan tampah (Yulianingsih, 2002).

(38)

26

Ritual penyimpanan padi untuk umum dilakukan oleh pawang padi dengan membacakan mantera. Selanjutanya pawang padi menyimpan dan menyusun ikatan padi (geugeusan) ke dalam leuit (tempat penimpanan padi) sampai dengan selesai. Untuk kebutuhan beras pribadi, masing-masing masyarakat Kampung Naga menyimpannya di goah rumah masing-masing, dan menjadi tanggung jawab para wanita. Sebelum dilaksanakan upacara penyimpanan padi, terlebih dahulu dilaksanakan upacara ngaleuseuhan, yaitu upacara dimana padi yang dihasilkan pada salah satu musim panen akan mulai ditumbuk. Upacara tersebut dipimpin oleh pawang padi atau candoli dengan menyiapkan seperangkat sesajen dan dupa yang terdiri atas kelapa muda, kemenyan, dan sabut kelapa. Untuk proses pengolahan beras, masyarakat Kampung Naga memasak beras tersebut di tungku yang disebut hawu yang terletak di dapur rumah masing-masing (Gambar 21). Alat- alat masak yang digunakan juga cukup sederhana, yaitu aseupan (tempat berbentuk kerucut yang terbuat dari anyaman bambu, hihid (kipas tradisional suku Sunda), dulang, dan boboko (tempat yang terbuat dari anyaman bambu untuk tempat nasi) (Yulianingsih, 2002).

Seluruh upacara adat dan ritual yang dilaksanakan di Kampung Naga merupakan bentuk ekspresi dari komitmen, warisan budaya dan keunikan Kampung Naga itu sendiri. Berkaitan dengan konsep ecovillage, adanya upacara adat dan ritual, dapat menimbulkan rasa syukur dan hormat terhadap alam dan lingkungan, serta makhluk hidup yang berada di dalamnya. Selain itu, dapat menjadi suatu bentuk pengayaan seni dan ekspresi, serta keragaman spiritual yang ada di Indonesia.

Gambar 20 Alat ritual panen padi (Sumber: Survei lapang)

(39)

27

Potensi Ecovillage Berdasarkan Persepsi Masyarakat Kampung Naga

Secara umum, potensi ecovillage Kampung Naga menurut masyarakatnya adalah berpotensi. Hasil olahan data (Tabel 6) menunjukkan bahwa Kampung Naga berpotensi untuk dijadikan sebagai kampung yang berbasis ecovillage (K= 0.947 ada potensi).

Tabel 6 Hasil olahan data potensi ecovillage di Kampung Naga

No Parameter Ecovillage Kriteria Ecovillage Nilai % Frek

1 Ekologis Usaha untuk melindungi lingkungan

30 26.31

2 Sosial Usaha untuk mempererat silaturahmi antar-warga

30 26.31

3 Spiritual Usaha untuk mempertahankan kebudayaan dan kegiatan keagamaan

30 26.31

4 Ekonomi Usaha untuk meningkatkan perekonomian kampung yg

Pengulangan yang disetujui 114 100.00

(40)

28

Penilaian Keberlanjutan Masyarakat Kampung Naga

Penilaian Keberlanjutan Masyarakat (PKM) atau Community Sustainability Assessment (CSA) merupakan suatu alat untuk mengukur tingkat keberlanjutan suatu masyarakat di dalam konsep ecovillage. Dalam praktiknya, suatu masyarakat dievaluasi untuk mengetahui sejauh mana konsep ecovillage diterapkan oleh masyarakatnya sesuai dengan standar-standar yang ada. Hasil penilaian selanjutnya akan dijadikan acuan untuk rencana pengelolaan yang dibuat untuk mencapai kondisi ideal sesuai kondisi tempat tersebut.

Aspek Ekologis

Berdasarkan hasil penilaian, secara umum aspek ekologi Kampung Naga berada pada kondisi suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan (Tabel 7). Secara umum semua indikator pada aspek ekologis berpotensi untuk penerapan konsep ecovillage di Kampung Naga.

Tabel 7 Tingkat keberlanjutan masyarakat Kampung Naga ditinjau dari aspek ekologis

No Indikator Nilai

1. Sense of place 31/B*

2. Ketersediaan, produksi dan distribusi makanan 36/B* 3. Infrastruktur, bangunan dan transportasi 50/A* 4. Pola konsumsi dan pengelolaan limbah padat 37/B* 5. Air – sumber, mutu dan pola penggunaan 32/B* 6. Limbah cair dan pengelolaan polusi air 34/B* 7. Sumber dan penggunaan energi 47/B*

Total 267/B**

Ket: * A/50+ : Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan B/25-49 : Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan C/0-24 : Menunjukkan perlunya tindakan untuk mencapai keberlanjutan ** A/333+ : Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan

B/166-332 : Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan C/0-165 : Menunjukkan perlunya tindakan untuk mencapai keberlanjutan

(1) Aspek Ekologis 1: Sense of place

(41)

29 Ukuran kepemilikan tempat tinggal sebagian besar masyarakat Kampung Naga adalah sama. Hal ini disebabkan keseragaman bentuk dan pola tempat tinggal masyarakatnya. Berdasarkan kriteria Penilaian Keberlanjutan Masyarakat (PKM) ukuran kepemilikan pada masyarakat Kampung Naga berkisar 20-49 m2. Hal ini kurang sesuai dengan standar ukuran kepemilikan tempat tinggal berdasarkan konsep ecovillage yang berkisar 50-500 m2. Namun, dalam kenyataannya, ukuran kepemilikan rumah masyarakat kampung naga berkisar 30-60 m2. Keseragaman ukuran kepemilikan ini karena prinsip hidup sederhana yang diajarkan oleh leluhur mereka, sehingga tidak terdapat rasa iri karena perbedaan ukuran kepemilikan masyarakat satu dengan yang lainnya. Karena di dalam masyarakat Kampung Naga, setiap warganya mempunyai derajat yang sama.

Vegetasi dan satwa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia karena dalam penggunaannya, vegetasi dan satwa dapat menjadi sumber bahan makanan, bahan bangunan, bahan pakaian dan obat. Di dalam masyarakat Kampung Naga, peranan vegetasi dan satwa juga tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Secara umum, vegetasi dominan yang ada di Kampung Naga adalah pacing, hanjuang, kapulaga, serta pohon aren untuk kebutuhan ritual tanam dan panen padi. Vegetasi yang biasanya digunakan untuk bahan makanan dan bumbu dapur adalah sayuran hijau dan kapulaga, serta varietas padi yang disebut pare ageung oleh masyarakat Kampung Naga. Vegetasi yang biasanya digunakan untuk obat-obatan adalah bagian dari pohon durian dan hanjuang. Untuk satwa yang ada di Kampung Naga sebagian besar adalah hewan ternak untuk dikonsumsi, seperti ayam, kambing, dan berbagai jenis ikan.

Di dalam masyarakat Kampung Naga, keberlanjutan lingkungan sangat dipertahankan. Kegiatan konservasi yang dilakukan sudah menjadi kebiasaan yang diturunkan oleh leluhur mereka. Pembagian fungsi lahan untuk produksi dan konservasi juga sudah dilakukan sejak masa leluhur Kampung Naga. Lahan untuk produksi sebagian besar berada di bagian utara kampung yang biasanya ditanami kayu dan bambu. Untuk lahan konservasi berada di sebelah timur kampung yang disebut leuwueng larangan atau hutan larangan. Menurut pengelola Kampung Naga, hutan larangan tersebut tidak boleh dimasuki oleh masyarakatnya, jika ada yang melanggar, maka akan terkena balasan atau hukuman. Peraturan leluhur tersebut dapat menjadi salah satu usaha konservasi lingkungan.

(2) Aspek Ekologis 2: Ketersediaan, produksi dan distribusi makanan

(42)

30

Ketersediaan makanan di Kampung Naga secara umum sudah terpenuhi. Lahan sawah dan kolam-kolam ikan menjadi sumber utama dan paling banyak berada di Kampung Naga. Untuk ketersediaan tanaman pangan, masyarakat Kampung Naga menanamnya dengan cara yang lebih sederhana, yaitu dengan menanam pada area dekat kolam menggunakan media pot atau botol bekas (Gambar 22). Namun, hal tersebut belum cukup untuk memenuhi kebutuhan makanan secara merata, sehingga pembelian bahan makanan dari pasar masih tetap dilakukan.

Masa tanam dan panen padi di Kampung Naga dilakukan secara serentak oleh masyarakatnya. Hal ini dilakukan secara turun-temurun sejak masa leluhurnya. Periode penanaman padi yang dilakukan di Kampung Naga adalah 2 kali dalam setahun. Setiap periode tanam hingga panen dilakukan 4 – 5 bulan. Pada bulan kosong atau tidak ada kegiatan tanam padi, dilakukan pemeliharaan kesuburan tanah untuk periode tanam selanjutnya, sehingga kesuburan lahan pertanian di Kampung Naga selalu terjaga. Selain itu, penggunaan pestisida, herbisida dan pupuk kimia tidak diterapkan dalam sistem pertaniannya, serta benih yang digunakan merupakan varietas asli Kampung Naga yang disebut pare ageung, dengan diserbukkan secara terbuka atau tidak menggunakan benih hibrida. Oleh karena itu, dalam sistem pertaniannya, Kampung Naga sudah menerapkan sistem pertanian organik. Menurut Sudradjat (2006) ada beberapa keuntungan yang bisa diperoleh dari produk pertanian organik, antara lain tidak mengandung pestisida, pengaruh terhadap lingkungan lebih baik karena terhindar dari pencemaran bahan kimia, meningkatkan kesuburan tanah dan sifat fisika kimia tanah, dan meningkatkan perlindungan tanaman terhadap hama penyakit.

Dalam hal ketersediaan makanan, para leluhur Kampung Naga sudah menggunakan sistem lumbung padi atau disebut leuit oleh masyarakatnya untuk persediaan makanan selama masa paceklik atau pada saat gagal panen. Setiap warga yang mempunyai sawah wajib memberikan sebagian hasil panennya untuk disimpan di leuit. Selain itu, pada saat ada warga yang mengalami kesulitan dalam hal ketersediaan makanan, maka persediaan makanan di leuit bisa diberikan kepada warga yang membutuhkan tersebut. (3) Aspek Ekologis 3: Infrastruktur, bangunan dan transportasi

Penilaian pada indikator ini didasarkan pada ketersediaan tempat berlindung, tingkat penggunaan material bangunan, keselarasan bangunan dengan lingkungan alami dan budaya yang ada, penggunaan metode

(43)

31 konservasi pada sistem transportasi, dan mobilitas warga. Berdasarkan konsep ecovillage, bangunan harus dirancang selaras dengan alam baik dari material maupun desain dan pola penempatannya. Material yang digunakan juga harus alami dan ekologis, serta lebih baik diperoleh secara lokal. Pada indikator ini, secara umum penilaian menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan.

Ketersediaan tempat berlindung di Kampung Naga cukup memadai. Namun, lahan permukiman yang ada di Kampung Naga hanya 1.5 ha, dan bangunan rumah yang ada di Kampung Naga berjumlah 108 bangunan. Menurut pengelola Kampung Naga, tidak akan ada lagi penambahan jumlah bangunan karena lahan yang terbatas. Pembukaan lahan baru untuk permukiman tidak diperbolehkan secara hukum adat. Wilayah permukiman 1.5 ha tersebut sudah ditetapkan oleh leluhur Kampung Naga. Secara ekologis, peraturan tersebut dapat menjadi suatu upaya dalam menjaga kelestarian alam sekitar Kampung Naga, agar tidak terjadi degradasi lahan untuk kebutuhan permukiman. Untuk mengatasi pemenuhan kebutuhan tempat berlindung pada situasi dimana bangunan rumah yang ada di Kampung Naga sudah terisi penuh, maka masyarakat Kampung Naga dapat tinggal di luar Kampung Naga.

Hampir setiap bangunan yang ada di Kampung Naga memiliki pola yang sama, baik secara desain, material dan tata letak. Bangunan rumah yang ada di Kampung Naga dibuat seperti panggung dan desain dinding yang sedikit berlubang karena berbentuk anyaman. Hal ini sangat baik secara ekologis karena aliran udara dapat mengalir di sekeliling bangunan dan untuk menjaga kestabilan kelembaban yang berasal dari tanah (Frick dan Suskiyatno, 2007).

(44)

32

dapat menjaga suhu udara yang ada di dalam bangunan. Bahan atap rumah terbuat dari ijuk yang sebelumnya telah dilapisi dengan daun tepus. Bahan ini memungkinkan pergantian udara ke dalam rumah melalui atap. Dari segi ekologis, ijuk merupakan bahan yang tidak merusak alam dan dapat digunakan kembali jika sudah dibuang. Dari segi keawetan, ijuk merupakan bahan yang termasuk awet karena jika terus terkena air hujan, akan ditumbuhi lumut, sehingga ijuk akan menjadi lebih kokoh.

Tata letak bangunan rumah di Kampung Naga menghadap ke arah Utara dan Selatan (Gambar 23). Meskipun hal ini tidak sesuai dengan letak ideal bangunan menurut Frick dan Suskiyatno (2007), yaitu menghadap Barat dan Timur, namun menurut narasumber pihak Kampung Naga, tata letak bangunan rumah di Kampung Naga tidak berubah sejak zaman leluhur mereka. Meskipun bangunan rumah Kampung Naga menghadap Utara-Selatan, namun masyarakatnya tetap memperhatikan intensitas penyinaran matahari terhadap bangunan rumahnya. Setiap bangunan rumah di Kampung Naga dibuat rapat satu dengan yang lainnya. Hal ini karena lahan permukiman yang tidak terlalu luas, yaitu 1.5 ha. Namun, jika dilihat dari penempatan bangunan, terdapat jalan kecil yang membelah setiap rumah. Jalan kecil tersebut menghadap Barat-Timur, sehingga dapat menjadi sirkulasi masuknya sinar matahari di setiap jalan kecil tersebut. Selain itu, jalan kecil yang berada di antara rumah-rumah akan melancarkan sirkulasi udara, sehingga kelembaban area bangunan tetap stabil.

Sebagai bentuk penghormatan masyarakat Kampung Naga terhadap bumi dan lingkungan alamnya, mereka selalu mengadakan ritual pada saat membangun rumah. Ritual tersebut bertujuan sebagai rasa syukur terhadap Sang Pencipta dan alam atas tempat tinggal yang telah mereka bangun dan dapat menjadi potensi nilai budaya yang harus dipertahankan.

Selain pola permukiman, transportasi juga merupakan aspek yang penting dalam menciptakan konsep desa berkelanjutan. Sistem konservasi transportasi yang baik adalah meminimalkan transportasi yang menggunakan banyak energi yang tidak terbarukan dalam penggunaannya. Di dalam masyarakat Kampung Naga, hampir setiap warganya memilih untuk berjalan kaki untuk

Gambar

Gambar 1  Kerangka pikir penelitian
Gambar 2 Lokasi penelitian
Gambar 3 Tahapan penelitian
Tabel 1 Kriteria penilaian keberlanjutan masyarakat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada penambahan 6% berat MgO ini, terbentuk fasa β ” yang lebih dominan jika dibandingkan dengan 0% dan 3% berat MgO, artinya dengan adanya penam- bahan 6% berat MgO ini

Sebagai iklan kosmetik halal, Mazaya menampilkan konsep kecantikan yang berbeda dengan standar kecantikan dalam iklan kosmetik pada umumnya yaitu dengan menampilkan tiga

Tanaman obat yang dapat membantu dalam tindakan pertolongan pertama pada penanganan penyakit THT yang bersifat ringan seperti penanganan sakit telinga, dalam

iklan. Kalaupun tidak dilakukannya, dia memilih keluar arena menonton atau bermain bersama adiknya dengan sesekali memperhatikan tayangan televisi kalau-kalau acara yang

mereka sehingga remaja saat ini tidak bisa menilai dengan cepat apa yang salah dan apa

kasus demikian anak akan ikut bekerja untuk menunjang ekonomi keluarga,. bahkan ada fenomena dimana anak melakukan suatu pekerjaan

strategi tertentu. Kedua , adalah kelompok minoritas yang selain aktif dalam kegiatan kampanye juga berperan sebagai penggerak. Secara sederhana Budiardjo 38 membagi

Penelitian ini menggunakan metode penelitian Research and Development (R&amp;D), sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk membangun multimedia pembelajaran. Setelah