• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Morfologi Proses Persembuhan Kerusakan Segmental Pada Tulang Domba Yang Diimplan Dengan Komposit Hidroksiapatit-Kitosan (HA-K)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Morfologi Proses Persembuhan Kerusakan Segmental Pada Tulang Domba Yang Diimplan Dengan Komposit Hidroksiapatit-Kitosan (HA-K)"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

KERUSAKAN SEGMENTAL PADA TULANG DOMBA YANG

DIIMPLAN DENGAN KOMPOSIT

HIDROKSIAPATIT-KITOSAN (HA-K)

AYU BERLIANTY

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Kajian Morfologi Proses

Persembuhan Kerusakan Segmental pada Tulang Domba yang Diimplan dengan

Komposit Hidroksiapatit-Kitosan (HA-K) adalah karya saya dengan arahan dari

pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi

mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2011

(3)

on Sheep’s Bone Implanted with Hydroxyapatite-Chitosan (HA-C) Composite. Under direction of SRIHADI AGUNGPRIYONO and KIAGUS DAHLAN.

This research was aimed to study the morphology of healing process on sheep’s bone implanted with hydroxyapatite-chitosan (HA-C) composite. This research would also present information about the potency of HA-C composite as synthetic bone graft biomaterial or bone implant. Three local sheeps were used in this study. HA-C composite was implanted on the medial of the left tibia bone while the same part of right tibia was treated as control without implant. All implant were harvested at 30, 60, and 90 days post-operation. The observation parameters were the condition, shape, and degradation degree of the implant, bonding between implant and host bone, new bone ingrowth into the implant, and signs of inflammation reaction around the implant. The result showed that the healing process on control bone was faster than those of the implanted bone. As far as 90 days observation in this present study was concerned, HA-C implant did not show characteristics for biodegradability, bioresorbability, osteoconductivity, and bioactivity. However, it showed biocompatibility properties for host body. It is suggested that the implant used in this study is more suitable to be developed as synthetic bone graft biomaterial for application on large defects with healing time longer than 90 days.

Keywords: hydroxyapatite, chitosan, bone implant, bone healing, tibia bone, sheep.

(4)

Segmental pada Tulang Domba yang Diimplan dengan Komposit Hidroksiapatit-Kitosan (HA-K). Dibimbing oleh SRIHADI AGUNGPRIYONO dan KIAGUS DAHLAN.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji morfologi proses persembuhan pada tulang domba yang diimplan dengan komposit hidroksiapatit-kitosan (HA-K). Penelitian ini akan memberikan informasi mengenai potensi komposit HA-K sebagai biomaterial pengganti tulang sintetis atau implan tulang. Tiga ekor domba lokal digunakan dalam penelitian ini. HA-K diimplantasikan pada bagian medial dari tulang tibia kiri, sementara bagian yang sama dari tibia kanan diperlakukan sebagai kontrol tanpa implan. Seluruh implan kemudian dipanen pada hari ke-30, 60, dan 90 pascaoperasi. Parameter pengamatan antara lain keadaan, bentuk, dan tingkat degradasi implan, ikatan antara implan dengan tulang, pertumbuhan tulang baru ke dalam implan, dan tanda-tanda reaksi inflamasi di sekitar implan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses persembuhan pada tulang kontrol berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan tulang yang diberi perlakuan implan. Sejauh waktu pengamatan 90 hari pada penelitian ini, implan HA-K belum menunjukkan sifat biodegradabilitas, bioresorbabilitas, osteokonduktivitas, dan bioaktivitas, namun telah menunjukkan sifat biokompatibilitas bagi tubuh. Oleh karena itu, implan yang digunakan dalam penelitian ini lebih tepat dikembangkan sebagai biomaterial sintetik pengganti tulang untuk aplikasi pada defek berukuran besar yang membutuhkan waktu persembuhan lebih lama dari 90 hari.

 

(5)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(6)

HIDROKSIAPATIT-KITOSAN (HA-K)

AYU BERLIANTY

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Nama : Ayu Berlianty

NIM : B04062278

Disetujui

drh. Srihadi Agungpriyono, Ph.D, PAVet(K) Pembimbing I

Dr. Ir. Kiagus Dahlan, M.Sc. Pembimbing II

Diketahui

Dr. Nastiti Kusumorini

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(8)

Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dimulai bulan April

2009 hingga Agustus 2010 dengan judul Kajian Morfologi Proses Persembuhan

Kerusakan Segmental pada Tulang Domba yang Diimplan dengan Komposit

Hidroksiapatit-Kitosan (HA-K).

Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Penulis

ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Keluarga tersayang (Ayah Suwoto, Ibu Widya Thaher, dan adik Fadjaruddin

Qadr) atas segala dukungan, dan kasih sayang yang telah diberikan.

2. drh. Srihadi Agungpriyono, Ph.D, PAVet(K) dan Dr. Ir. Kiagus Dahlan, M.Sc.

selaku pembimbing skripsi atas segala bimbingan, arahan, dan waktu yang

telah diberikan kepada penulis.

3. Dr. drh. Hj. Gunanti, MS atas saran dan arahan pada prosedur bedah tulang.

4. drh. Riki Siswandi, drh. M. Fakhrul Ulum, Bapak Engkos, Bapak Katim, dan

seluruh staf di Laboratorium Bedah dan Radiologi, Laboratorium Patologi,

dan Laboratorium Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan IPB atas bantuannya.

5. drh. Usamah Afiff, M.Sc. selaku dosen pembimbing akademik.

6. Tim penelitian “Domba-Shaker”: Asmawati, Rachmat Ayu Dewi Haryati, Gendis Aurum Paradisa, Dwi Kolina Pratiwi, Santi Purwanti, dan Raditya

Pradana Putra atas kerjasama dan bantuannya selama ini.

7. Ibnu Habibi Rahman atas dukungan, doa, dan kasih sayangnya selama ini.

8. Nurussifa, drh. Winda, Gita, drh. Zhouzh, Astria, Putra, Bakhtiar, Hadi, Edo,

Galuh, Fiona, Sekar, Sonni, Kak Agus, warga kost “Bateng 69”, dan Angkatan

“43sculapius” atas bantuan dan persahabatannya.

Akhir kata penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata

sempurna sehingga penulis terbuka terhadap saran dan kritik yang diberikan.

Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kemajuan ilmu maupun

bagi para pembacanya.

Bogor, Februari 2011

(9)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 28 Mei 1988

dari ayah yang bernama Suwoto dan ibu yang bernama Widya

Thaher. Penulis merupakan anak sulung dari dua bersaudara.

Tahun 1994 penulis lulus dari TK Taman Indria Depok. Tahun

2000 penulis lulus dari SD Negeri Depok Baru 3, kemudian

pada tahun 2003 penulis lulus dari SLTP Negeri 2 Depok.

Selanjutnya pada tahun 2006 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Depok dan pada

tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk

IPB (USMI). Penulis memilih Fakultas Kedokteran Hewan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kepanitiaan

dan organisasi internal kampus. Penulis juga aktif dalam Himpunan Minat Profesi

Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik (Himpro HKSA), Ikatan Mahasiswa

Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI), dan Komunitas Seni Steril (KSS)

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ……… x

DAFTAR TABEL ……… xi

DAFTAR GAMBAR……… xii

PENDAHULUAN………..….. 1

Latar Belakang ………. 1

Tujuan Penelitian ………. 3

Manfaat Penelitian ………..…. 3

TINJAUAN PUSTAKA……….….. 4

Tulang ……….. 4

Matriks Ekstraseluler Tulang (Bone Extracellular Matrix) ………….… 5

Klasifikasi Tulang ……… 6

Proses Histogenesis Tulang ………. 8

Proses Modeling dan Remodeling Tulang ……… 10

Persembuhan Kerusakan Tulang………. …. 11

Biomaterial Pengganti Tulang……….. 14

Hidroksiapatit (HA)……….. 15

Kitosan (K)………..…. 16

Komposit Hidroksiapatit dan Kitosan (HA-K).……… 17

Domba Lokal (Ovis ammon aries) Sebagai Hewan Coba….………..…. 18

MATERI DAN METODE PENELITIAN ………..…. 20

Waktu dan Tempat Penelitian ……….……. 20

Materi Penelitian………. …. 20

Metode Penelitian………. 21

HASIL DAN PEMBAHASAN……… 26

Gambaran Makroskopis Tulang……….. …. 26

Gambaran Mikroskopis Preparat Tulang Gosok………. …. 29

Gambaran Mikroskopis Preparat Tulang Dekalsifikasi……… 32

SIMPULAN DAN SARAN……….….… 48

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Persembuhan tulang pada fraktur tulang sederhana………... 12

2. Format data hasil pengamatan evaluasi histologi terhadap preparat

dekalsifikasi………...………. 24

3. Hasil pengamatan makroskopis terhadap tulang perlakuan pada

berbagai periode pengamatan……….……… 26

4. Hasil evaluasi histologi terhadap preparat dekalsifikasi pada

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Struktur kanalikuli dan osteosit yang terkurung dalam lakuna………….... 5

2. Osteon yang merupakan unit struktural primer tulang. Terdiri atas lamel-lamel konsentris dan saluran Havers………... 7

3. Berbagai gambaran struktur tulang. Tulang kompak dan cancellous (A), dan potongan melintang tulang panjang (B)………... 8

4. Proses osifikasi intrakartilagenous………... 9

5. Proses remodeling tulang………...….……….…… 10

6. Proses persembuhan tulang………...………...… 11

7. Struktur kimia kitosan…...………...……….………... 17

8. Diagram prosedur penelitian………...………....…. 25

9. Sayatan melintang dari tulang tibia yang diberi perlakuan implan selama 30 hari (A), 60 hari (C), dan 90 hari (E), serta tulang tibia kontrol selama 30 hari (B), 60 hari (D), dan 90 hari (F) pascaoperasi. Tanda panah merah menunjukkan lokasi defek tulang. Sayatan ini menunjukkan bagian struktur tulang: i = implan, j = jaringan ikat, n = pertumbuhan jaringan baru yang menutupi defek, dan s = sumsum tulang. Bar A, B, C, dan D = 2,5 mm; E dan F = 2 mm………. 28

10.Gambaran mikroskopis dari tulang tibia yang diberi perlakuan implan selama 30 hari (A), 60 hari (C), dan 90 hari (E), serta tulang tibia kontrol selama 30 hari (B), 60 hari (D), dan 90 hari (F) pascaoperasi. Tanda panah merah menunjukkan daerah pertumbuhan tulang baru. Lingkaran merah menunjukkan lokasi defek tulang. Pewarnaan Hematoksilin. Bar = 0,5 mm………. 31

11.Gambaran mikroskopis tulang tibia yang diberi perlakuan implan selama 30 hari pascaoperasi. Gambar ini memperlihatkan kondisi implan yang masih utuh serta bagian struktur tulang: i = implan, j = jaringan ikat, n = woven bone, p = periosteum, dan s = bagian sumsum tulang. Pewarnaan HE. Bar = 2 mm………... 34

12.Gambaran mikroskopis daerah yang dibatasi oleh kotak merah di gambar 11. Gambar ini memperlihatkan daerah perbatasan antara implan dengan jaringan tulang baru (woven bone) yang dibatasi oleh jaringan ikat. Keterangan gambar: i = implan, j = jaringan ikat, dan n = woven bone. Pewarnaan HE. Bar = 10 µm………... 34

(13)

14.Gambaran mikroskopis daerah yang dibatasi oleh kotak hijau di gambar 11. Gambar ini memperlihatkan daerah sumsum tulang yang sel-selnya berproliferasi dan bertransformasi menjadi sel-sel osteogenik. Pada daerah tersebut juga terdapat struktur tulang rawan. Keterangan: c = tulang rawan, o = sel-sel osteogenik, dan v = pembuluh darah. Pewarnaan HE. Bar = 10 µm……….. 35

15.Gambaran mikroskopis tulang tibia kontrol selama 30 hari pascaoperasi. Gambar ini memperlihatkan daerah defek tulang yang telah menutup serta bagian periosteumnya (p). Pewarnaan HE. Bar = 20 µm……… 36

16.Gambaran mikroskopis daerah defek tulang tibia kontrol selama 30 hari pascaoperasi, yang memperlihatkan struktur tulang baru yang terdiri atas: os = osteosit, h = saluran Havers, dan m = matriks tulang. Pewarnaan HE.

Bar = 10 µm………. 36

17.Gambaran mikroskopis tulang tibia yang diberi perlakuan implan selama 60 hari pascaoperasi. Gambar ini memperlihatkan kondisi implan yang masih utuh serta bagian struktur tulang: i = implan, j = jaringan ikat, n = jaringan tulang baru, p = periosteum, dan s = sumsum tulang. Pewarnaan HE. Bar = 2 mm………... 38

18.Gambaran mikroskopis daerah yang dibatasi oleh kotak merah (A) dan kotak biru (B) di gambar 17. Gambar A memperlihatkan daerah perbatasan antara implan dengan jaringan tulang baru yang dibatasi oleh jaringan ikat. Lingkaran di Gambar A memperlihatkan serpihan implan yang diinfiltrasi oleh jaringan ikat. Gambar B memperlihatkan terbentuknya matriks tulang baru pada daerah sumsum tulang. Keterangan gambar: i = implan, j = jaringan ikat, s = sumsum tulang, n = jaringan tulang baru, m = matriks tulang, dan p = periosteum. Pewarnaan HE. Bar A = 20 µm; B = 10 µm………... 38

19.Gambaran mikroskopis daerah yang dibatasi oleh kotak hijau di gambar 18 A. Gambar ini memperlihatkan struktur tulang baru yang terbentuk di daerah pinggir defek tulang, yang terdiri atas: os = osteosit, h = saluran Havers, dan m = matriks tulang. Pewarnaan HE. Bar = 10 µm…………... 39

20.Gambaran mikroskopis tulang tibia kontrol selama 60 hari pascaoperasi. Gambar ini memperlihatkan daerah defek tulang yang telah menutup serta bagian periosteumnya (p). Pewarnaan HE. Bar = 20 µm……… 40

21.Gambaran mikroskopis daerah defek tulang tibia kontrol selama 60 hari pascaoperasi, yang memperlihatkan struktur tulang baru yang terdiri atas: os = osteosit, h = saluran Havers, dan m = matriks tulang. Pewarnaan HE.

Bar = 10 µm………... 40

22.Gambaran mikroskopis tulang tibia yang diberi perlakuan implan selama 90 hari pascaoperasi. Gambar ini memperlihatkan kondisi implan yang masih utuh serta bagian struktur tulang: i = implan, j = jaringan ikat, dan n = jaringan tulang baru. Pewarnaan HE. Bar = 2 mm………..….. 41

(14)

perbatasan antara implan dengan jaringan tulang baru. Gambar B memperlihatkan daerah jaringan ikat yang membungkus implan. Keterangan gambar: i = implan, j = jaringan ikat, v = pembuluh darah, dan n = jaringan tulang baru yang terbentuk. Pewarnaan HE. Bar A = 20

µm; B = 10 µm………. 42

24.Gambaran mikroskopis daerah yang dibatasi oleh kotak biru di gambar 22. Gambar ini memperlihatkan jaringan tulang baru yang telah menutupi lokasi defek tulang yang seharusnya terisi implan. Struktur tulang ini terdiri atas: os = osteosit, h = saluran Havers, dan m = matriks tulang.

Pewarnaan HE. Bar = 10 µm………... 42

25.Gambaran mikroskopis tulang tibia kontrol selama 90 hari pascaoperasi. Gambar ini memperlihatkan daerah defek tulang yang telah menutup.

Pewarnaan HE. Bar = 20 µm………... 43

26.Gambaran mikroskopis daerah defek tulang tibia kontrol selama 90 hari pascaoperasi, yang memperlihatkan struktur tulang baru yang terdiri atas: os = osteosit, h = saluran Havers, dan m = matriks tulang. Pewarnaan HE.

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Setiap tahun jutaan orang di dunia menderita berbagai penyakit tulang

yang diakibatkan oleh trauma, tumor, atau patah tulang (Murugan & Ramakrishna

2004). Di Indonesia, berbagai kasus penyakit seperti kanker tulang, penyakit

periodontis, trauma, patah tulang, dan lain-lain terus meningkat dewasa ini

(Darwis 2008). Salah satu tindakan terapi pada kasus penyakit tulang adalah

dengan teknik implantasi untuk menggantikan jaringan tulang yang hilang atau

rusak. Banyaknya kerusakan tulang yang substansial pada berbagai kasus di atas

semakin meningkatkan kebutuhan akan bahan implan atau biomaterial yang

mampu menggantikan fungsi dari jaringan tulang yang rusak (Bhat 2002).

Biomaterial merupakan suatu material, baik bersifat alamiah maupun

buatan, yang dapat berinteraksi dengan sistem tubuh dengan tujuan untuk

memperbaiki, memulihkan, dan menggantikan jaringan yang rusak atau sebagai

penghubung dengan lingkungan fisiologis tubuh (Darwis 2008).

Biomaterial pengganti tulang yang ideal harus memiliki sifat antara lain:

osteoinduktif, osteokonduktif, biokompatibel, bioaktif, stabil secara biomekanis,

bebas dari agen penyakit, serta mengandung faktor antigen minimal (Kalfas

2001), bioresorbabel (Samsiah 2009) dan biodegradabel (Pane 2008). Sifat-sifat

tersebut hadir dalam biomaterial alamiah yaitu autograft. Autograft adalah biomaterial yang berasal dari bagian lain tubuh pasien itu sendiri. Namun

autograft memiliki keterbatasan karena membutuhkan sayatan tambahan, waktu operasi yang lebih lama, serta meningkatkan kehilangan darah bagi pasien.

Sedangkan allograft, yaitu biomaterial yang berasal dari spesies yang sama, berpotensi menularkan berbagai penyakit dan menimbulkan reaksi penolakan

jaringan bagi individu penerima donor (Kalfas 2001). Adapun jenis biomaterial

pengganti tulang lainnya yaitu xenograft, yang berasal dari spesies berbeda misalnya sapi, memiliki keterbatasan dalam kemungkinan perbedaan karakter

mineral tulangnya (Stavropoulos 2008). Oleh karena itu, salah satu solusinya

adalah pengembangan biomaterial sintetik yang sesuai untuk mengatasi berbagai

(16)

Biomaterial sintetik pengganti tulang (synthetic bone graft) harus memiliki struktur serta komposisi yang mendekati tulang asli. Komposisi tulang terdiri atas

mineral tulang dan bahan organik (Samuelson 2007). Mineral tulang sebagian

besar tersusun oleh mineral apatit yang komponen utamanya adalah kalsium fosfat

yang memiliki berbagai fase. Hidroksiapatit (HA) merupakan fase paling stabil

dibandingkan dengan yang lainnya (Saraswathy et al. 2001). HA dapat diperoleh secara sintetik dengan mereaksikan kalsium dengan fosfat (Nurlaela 2009).

Sumber kalsium banyak dijumpai di alam, antara lain pada cangkang telur

(Prabakaran et al. 2005), ganggang laut (Fernandes & Laranjeira 2000), dan batu koral (Sivakumar et al. 1996). Sedangkan komponen organik tulang terdiri atas molekul-molekul proteoglikan seperti glycosaminoglycan (Samuelson 2007). Kitosan (K) merupakan polimer dari D-glucosamine yang terdapat dalam jumlah melimpah di alam, yang dapat dimanfaatkan sebagai komponen organik pada

pembuatan biomaterial sintetik pengganti tulang (Hua et al. 2005).

Penggabungan HA dengan K (komposit HA-K) diharapkan dapat

mendekati struktur asli tulang serta dapat meningkatkan sinergisme dari

masing-masing bahan sehingga berpotensi sebagai biomaterial sintetik pengganti tulang

yang ideal. Murugan dan Ramakrishna (2004) telah meneliti komposit HA-K

secara in vitro dengan menggunakan cairan phosphate buffered saline dibawah kondisi fisiologis. Hasilnya menunjukkan bahwa komposit tersebut dapat

digunakan sebagai bahan pengganti tulang. Penelitian tersebut diperkuat oleh uji

in vivo yang dilakukan oleh Shin et al. (2009) tentang efek penggunaan komposit HA-K pada regenerasi kerusakan tulang calvarial tikus menunjukkan hasil bahwa komposit ini dapat berfungsi sebagai biomaterial yang efektif untuk proses

regenerasi tulang periodontal.

Biomaterial sintetik yang ada di Indonesia sekarang ini merupakan

produksi impor dengan harga yang relatif mahal (Darwis 2008). Oleh karena itu,

tim peneliti dari Institut Pertanian Bogor terpacu untuk memanfaatkan bahan baku

alami yang murah dan mudah didapatkan, yaitu cangkang telur sebagai sumber

kalsium untuk pembuatan HA. Penelitian oleh Departemen Fisika, Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB menunjukkan bahwa komposit

(17)

substitusi tulang (Nurlaela 2009). Berdasarkan hasil tersebut maka dilakukan

penelitian lanjutan secara in vivo untuk menguji potensi dari komposit HA-K tersebut sebagai bahan implan tulang sintetik. Material yang telah mengalami

proses karakterisasi baik secara fisika, mekanik, dan kimia kemudian diimplankan

pada tulang tibia dari tiga ekor domba lokal untuk kemudian dievaluasi tingkat

serta kecepatan pertumbuhan tulang pada kasus persembuhan kerusakan

segmental tulang. Hasil dari penelitian ini akan terus dikembangkan sehingga

dapat memberikan kontribusi pada kesehatan manusia.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara morfologi proses

persembuhan kerusakan segmental pada tulang domba yang diimplan dengan

implan komposit HA-K berbasis cangkang telur ayam dan mengetahui potensi

dari implan tersebut sebagai biomaterial sintetik pengganti tulang.

Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini dapat diperoleh informasi mengenai potensi implan

komposit HA-K berbasis cangkang telur ayam sebagai biomaterial sintetik

pengganti tulang. Informasi ini akan berguna sebagai informasi awal untuk

penelitian-penelitian aplikatif selanjutnya sebagai upaya penyiapan biomaterial

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Tulang

Tulang merupakan jaringan ikat khusus yang berfungsi sebagai alat

penyokong, pelekatan, perlindungan, dan penyimpanan mineral. Konsekuensinya,

jaringan ini dilengkapi dengan rigiditas, kekuatan yang sangat besar, serta

elastisitas yang sangat terbatas. Kemampuan jaringan ini untuk menyimpan

mineral terutama kalsium (Ca), kebanyakan dalam bentuk kristal hidroksiapatit,

merupakan sifat utama yang membedakan tulang dari jaringan ikat lainnya

(Samuelson 2007).

Tulang secara eksternal diselaputi oleh sebuah jaringan bernama

periosteum. Periosteum berisi pembuluh darah, lapisan tebal serabut kolagen yang

tersusun padat tidak beraturan, dan sel-sel yang mampu berdiferensiasi menjadi

osteoblas (sel osteogenik). Semua bagian tulang diselaputi oleh periosteum,

kecuali bagian yang terdapat artikulasi dengan tulang lainnya. Tulang memiliki

ruang internal di bagian tengahnya yaitu rongga sumsum, yang di dalamnya

terdapat sel stem dari sel darah. Rongga sumsum dilapisi oleh selapis jaringan ikat

tipis tervaskularisasi bernama endosteum. Endosteum juga memiliki sel-sel

osteogenik seperti halnya periosteum (Kalfas 2001; Samuelson 2007).

Tulang tersusun atas tiga jenis sel utama yaitu osteoblas, osteosit, dan

osteoklas. Osteoblas adalah sel yang berperan dalam aktivitas sintesis komponen

organik tulang, yang disebut sebagai prebone atau osteoid. Osteoblas terletak dalam suatu garis di sepanjang permukaan jaringan tulang. Saat aktif, osteoblas

cenderung berbentuk kubus dan bersifat basofilik. Sedangkan saat kurang aktif,

maka bentuknya akan menjadi lebih kempis dan kurang basofilik. Ketika aktivitas

sintesis matriks berhenti dan osteoblas telah memasuki matriks tersebut maka

osteoblas berubah namanya menjadi osteosit.

Osteosit berada di dalam suatu ruangan berbentuk oval bernama lakuna

yang terletak di dalam matriks yang telah termineralisasi. Lakuna memiliki

penjuluran halus yang disebut kanalikuli. Kanalikuli menghubungkan antar lakuna

yang berdekatan sehingga osteosit mampu mencapai pembuluh darah untuk

(19)

Sitoplasma osteosit memiliki ukuran yang lebih kecil bila dibandingkan

dengan sitoplasma osteoblas, serta memiliki organel sel yang lebih sedikit

sehubungan dengan aktivitas metaboliknya. Osteosit memfasilitasi pemeliharaan

lingkungan ekstraseluler yang telah termineralisasi. Saat terstimulasi oleh hormon

paratiroid (PTH), osteosit mampu segera melepaskan mineral (termasuk Ca) dari

matriks ekstraseluler dengan menyekresikan hidrolase. Proses ini dikenal sebagai

osteocytic osteolysis yang berperan penting dalam pelepasan Ca secara cepat. Osteoklas merupakan sel raksasa multinukleus (≥ 6-50 inti) yang terlibat dalam resorpsi dan remodeling tulang. Sel ini, yang terlihat asidofilik secara sitologi, memiliki banyak lisosom serta organel sel lainnya yang berkembang

baik. Osteoklas yang diketahui berasal dari sumsum tulang, merupakan turunan

dari sejumlah gabungan monosit. Pada proses pertumbuhan dan remodeling

tulang, osteoklas secara kontinu akan melakukan penyerapan (osteoclasia). Proses

osteoclasia merupakan hasil dari sekresi beberapa macam material termasuk asam dan enzim hidrolitik. Asam yang disekresikan seperti asam laktat dan sitrat,

memiliki pH rendah sehingga memudahkan pelepasan mineral. Sedangkan enzim

hidrolitik, seperti acid hydrolase, collagenase, dan lainnya, mampu mencerna matriks ekstraseluler. Osteoclasia terutama diatur oleh sistem endokrin, antara lain: kelenjar tiroid yang menyekresikan hormon kalsitonin dan kelenjar paratiroid

yang menyekresikan hormon paratiroid (Samuelson 2007).

Matriks Ekstraseluler Tulang (Bone Extracellular Matrix)

Sebagian besar jaringan tulang terdiri atas matriks ekstraseluler, yang

kurang lebih 2/3 bagiannya berupa material anorganik dan sisanya berupa material

organik. Sebagian besar material organik terdiri atas serabut kolagen tipe I

(~94%) dan sejumlah kecil bahan dasar (Samuelson 2007; IOF 2009). Secara Kanalikuli

Osteosit

(20)

umum tulang tersusun oleh 30% substansi organik, 55% substansi anorganik

(mineral), dan 15% air (Aoki 1991).

Material anorganik tulang seperti kalsium (Ca) dan fosfor (P) tersedia

dalam jumlah yang sangat banyak. Sebagian besar Ca dan P membentuk kristal

hidroksiapatit, yang terletak berdampingan dengan serabut kolagen. Selain itu,

beberapa mineral lain juga terdapat dalam jumlah sedikit antara lain: bikarbonat

(HCO3-), magnesium (Mg), natrium (Na), kalium (K), tembaga (Cu), seng (Zn),

mangan (Mn), dan lainnya. Kristal hidroksiapatit tersusun di sepanjang serabut

kolagen dan di dalam celah serabut tersebut. Bahan dasar matriks tulang terdiri

atas protein non-kolagenous, glikoprotein, proteoglikan, peptida, karbohidrat, dan

lemak (Kalfas 2001). Molekul-molekul proteoglikan kecil terutama terdiri atas

sulfated glycosaminoglycans, chondroitin 4-sulfate, dan keratan sulfate, melekat pada hyaluronans, membentuk suatu satuan komposit yaitu hyaluronic proteoglycan aggregate yang melapisi kristal hidroksiapatit (Samuelson 2007).

Proteoglikan dalam komposit tersebut bersifat instrumental dalam inisiasi

dan inhibisi proses mineralisasi tulang. Selama proses mineralisasi normal

berlangsung, jumlah dari proteoglikan dalam ECM (Extracellular Matrix) relatif menurun. Jadi terdapat suatu hubungan timbal balik dalam jumlah proteoglikan

dan derajat mineralisasi dalam tulang yang sedang tumbuh. Bahan dasar yang

terutama terdiri atas satuan komposit tersebut, memungkinkan air untuk

bersentuhan dengan kristal sehingga terjadi pertukaran ion. Sejumlah kecil

glikoprotein dan protein matriks hadir dalam bahan dasar ECM dan berfungsi

sebagai bahan pelekat (Samuelson 2007).

Klasifikasi Tulang

Terdapat tiga tipe utama tulang yaitu woven bone, cortical bone, dan

cancellous bone. Woven bone terdapat selama perkembangan embrio, selama persembuhan fraktur (pembentukan kalus), dan pada beberapa kasus patologis

seperti hiperparatiroidisme. Tulang ini tersusun atas berkas kolagen yang tersusun

acak serta ruang vaskular yang tidak beraturan dan dilapisi deretan sel osteoblas.

(21)

Remodeling terjadi akibat infiltrasi pembuluh darah ke dalam woven bone melalui permukaan periosteal dan endosteal tulang. Unit struktural primer tulang kompak

dinamakan osteon atau sistem Haversian. Osteon tersusun oleh osteosit, lakuna,

dan kanalikuli yang tersusun dalam matriks ekstraseluler tulang yang

berlapis-lapis membentuk lamel-lamel tulang (Gambar 2). Lamel-lamel tulang berbentuk

silinder mengelilingi sebuah saluran longitudinal yang disebut saluran Havers

(Kalfas 2001; Samuelson 2007). Saluran Havers mengandung pembuluh darah,

nervus vasomotorik, sel-sel osteoblas dan osteoprogenitor. Osteon-osteon dapat

saling berhubungan melalui suatu saluran horisontal yang bernama saluran

Volkmann. Melalui saluran Volkmann, pembuluh darah dan syaraf dari

periosteum dan endosteum dapat mencapai saluran Havers sehingga pertukaran

nutrisi dan sisa metabolisme dapat terjadi (Samuelson 2007).

Gambar 2 Osteon yang merupakan unit struktural primer tulang. Terdiri atas lamel-lamel konsentris dan saluran Havers (IOF 2009).

Osteon terbentuk di sepanjang pinggiran tulang kompak dengan

pembentukan asimetris lamel-lamel interstitial yang mengelilingi sebuah

pembuluh darah. Lamel dan jaringan osteogenik terdekat kemudian mengelilingi

pembuluh darah tersebut dan osteon muda terbentuk. Osteoblas, yang sekarang

merupakan bagian dari endosteum, mensekresikan matriks osteoid secara

konsentris, dan osteosit menjadi terbenam dalam matriks tersebut. Ukuran osteon

semakin mengecil dan sejumlah kecil jaringan osteogenik, syaraf, dan pembuluh

darah tinggal di dalamnya (Samuelson 2007). Kekuatan mekanik dari tulang

kompak bergantung pada kepadatan susunan osteonnya (Kalfas 2001).

Cancellous bone (trabecular bone) terletak di antara permukaan bagian dalam tulang kompak. Cancellous bone berisi elemen hematopoietik dan bony trabeculae (Kalfas 2001). Bony trabeculae (trabekula tulang) merupakan spikula

Osteosit Kanalikuli

(22)

tulang yang saling berhubungan membentuk jaring-jaring yang saling

berhubungan (Dorland 2002). Jaring-jaring yang saling berhubungan tersebut

terisi oleh sumsum tulang. Trabekula terutama terdapat pada bagian ujung tulang

panjang. Cancellous bone secara berkelanjutan akan mengalami remodeling pada permukaan internal lapisan endosteum tulang (Kalfas 2001).

Gambaran struktur tulang trabekular dan tulang kompak dapat terlihat jelas

pada tulang panjang. Bila tulang panjang dipotong (Gambar 3 A dan B), maka

akan terlihat bagian tulang kompak dan tulang trabekular. Bagian luarnya

dibentuk oleh tulang kompak, sedangkan bagian dalamnya dibentuk oleh tulang

trabekular yang mirip bunga karang (spongy). Bagian tengah tulang panjang dinamakan sebagai diafise, dan kedua ujungnya dinamakan epifise. Antara epifise

dan diafise terdapat daerah pertumbuhan tulang yaitu metafise, yang

memungkinkan pertumbuhan memanjang tulang. Diafise hampir seluruhnya

tersusun atas tulang kompak, dan sedikit tulang trabekular pada bagian tengah

yang berbatasan dengan sumsum tulang. Sedangkan epifise, hampir seluruhnya

terdiri atas tulang trabekular dan selapis tipis tulang kompak pada bagian luarnya

(Mills 2007).

Gambar 3 Berbagai gambaran struktur tulang. Tulang kompak dan cancellous (A), dan potongan melintang tulang panjang (B) (IOF 2009).

Proses Histogenesis Tulang

Pertumbuhan tulang terbentuk dari jaringan ikat, baik pada masa embrio

maupun pascanatal. Dilihat dari proses perkembangannya, tulang dibedakan

menjadi dua pola, yakni osifikasi intramembranous dan intrakartilagenous. Epifise

Epifise Diafise

(B)

Tulang spongy

(23)

Pada osifikasi intramembranous, tulang langsung berkembang dari

jaringan ikat, yang dimulai dari tengah mesenkim yang disebut “pusat

pertulangan”. Mesenkim akan mengalami peningkatan vaskularisasi dan

proliferasi. Selanjutnya terjadi perubahan bentuk sel yang menghasilkan sel

osteogenik dan osteoblas. Osteoblas kemudian menjadi aktif menghasilkan

matriks dan serabut kolagen, yang mula-mula masih lunak (osteoid). Osteoid

tersebut kemudian mengalami kalsifikasi oleh garam Ca berupa kristal

hidroksiapatit (Hartono 1989). Tulang-tulang yang mengalami proses ini adalah

sejumlah tulang yang berfungsi sebagai pelindung seperti tulang frontal dan

parietal tengkorak, tulang rahang bawah, dan rahang atas (Samuelson 2007).

Pada osifikasi intrakartilagenous (Gambar 4), jaringan ikat mula-mula

menumbuhkan “tulang rawan miniatur”, yaitu suatu tulang rawan hialin,

bentuknya mirip tulang dewasa hanya formatnya kecil. Tulang rawan ini

selanjutnya akan dirombak, dan digantikan dengan tulang. Osifikasi dimulai dari

tengah tulang rawan dan meluas ke seluruh arah sesuai dengan pertumbuhan

tulang rawan (Hartono 1989). Proses pembentukan tulang ini terjadi pada

pembentukan tulang panjang dan tulang pendek (tulang-tulang penahan bobot

tubuh) seperti tulang femur, tibia, dan lain-lainnya. Pada masa fetus, hampir

semua tulang tubuh merupakan tulang rawan. Namun seiring dengan

perkembangan fetus dan setelah kelahiran, tulang rawan tersebut berkembang

menjadi tulang untuk menyediakan kekuatan terhadap tekanan-tekanan yang

makin bertambah (Mills 2007; Samuelson 2007).

(24)

Proses Modeling dan Remodeling Tulang

Modeling tulang adalah suatu kondisi saat proses resorpsi dan pembentukan tulang terjadi pada permukaan tulang yang berlainan (pembentukan

dan resorpsi tidak berpasangan). Contohnya pada pertambahan panjang dan

diameter tulang panjang. Modeling tulang terjadi sejak kelahiran hingga dewasa dan proses ini berperan dalam penambahan massa dan perubahan bentuk

kerangka. Pada kondisi ini proses pembentukan tulang lebih dominan terjadi

daripada proses resorpsi tulang.

Remodeling tulang adalah pergantian jaringan tulang tua dengan jaringan tulang muda. Kondisi ini sebagian besar terjadi pada kerangka hewan dewasa

untuk mempertahankan massa tulang. Proses ini mencakup pembentukan dan

resorpsi tulang secara bersamaan (berpasangan). Remodeling merupakan sebuah proses yang dinamis termasuk penggantian dan pengisian kembali baik tulang

kompak maupun trabekular. Proses ini terus-menerus terjadi untuk

mempertahankan massa tulang serta integritas dan fungsi kerangka. Proses ini

kompleks dan dikendalikan oleh susunan syaraf pusat melalui hormon dan oleh

tekanan mekanis. Proses ini bergantung pada keterpaduan aksi dari osteoblas,

osteosit, dan osteoklas. Secara bersamaan, ketiga sel ini membentuk BMU (Basic Multicellular Unit) atau unit remodeling tulang yang berperan dalam proses

remodeling pada hewan dewasa (Mills 2007).

Proses remodeling tulang terjadi dalam beberapa fase (Gambar 5), yaitu: 1. Aktivasi: pre-osteoklas terstimulasi menjadi

osteoklas dewasa yang aktif.

2. Resorpsi: osteoklas mencerna matriks tulang tua.

3. Pembalikan: akhir dari proses resorpsi, saat

osteoklas digantikan oleh osteoblas.

4. Pembentukan: osteoblas menghasilkan matriks

tulang yang baru.

5. Fase pasif: osteoblas selesai menghasilkan

matriks dan terbenam di dalamnya. Beberapa

osteoblas membentuk sederet sel yang berjejer

di permukaan tulang yang baru. Gambar 5 Proses remodeling

(25)

Persembuhan Kerusakan Tulang

Kerusakan segmental tulang akibat defek pengeboran prinsipnya hampir

sama dengan kerusakan pada patah tulang (fraktur). Namun dalam persembuhan

kerusakan segmental tersebut, di dalam defek pengeboran diberi suatu

biomaterial/implan tulang. Boden et al. (1995) menyebutkan bahwa proses penyatuan implan tulang dalam spinal fusion model hampir sama dengan proses persembuhan tulang yang terjadi dalam keadaan persembuhan fraktur.

Fraktur merupakan kerusakan dalam suatu jaringan ikat makhluk hidup,

dan persembuhannya dapat dicapai melalui pertumbuhan sel. Tahap-tahap

persembuhan tulang dapat dilihat pada Gambar 6 dan Tabel 1.

Gambar 6 Proses persembuhan tulang (Anonim 2010).

Minggu Ke-1 Minggu Ke-2 sampai ke-3

Hematoma dan inflamasi Kalus halus

Minggu Ke-4 sampai ke-16 Minggu Ke-17 dan seterusnya

Kalus keras Remodelling

(26)

Tabel 1 Persembuhan tulang pada fraktur tulang sederhana

Waktu Perubahan yang terjadi

<1 hari ƒ Hemoraghi dan pembentukan hematoma. ƒ Penggumpalan darah pada daerah fraktur.

ƒ Invasi makrofag untuk menghilangkan debris, sel darah merah, dan fibrin. ƒ Nekrosis sel osteosit pada daerah fraktur.

Hari ke 1-5 ƒ Edema dan deposisi fibrin pada jaringan sekitar fraktur. ƒ Jaringan granulasi menginvasi bekuan darah.

ƒ Proliferasi kondroblas dan osteoblas dari bagian pinggir periosteal dan endosteal.

Hari ke 3-7 ƒ Pembentukan kalus sementara seiring dengan tulang dihubungkan oleh jaringan granulasi dan pulau-pulau kartilago.

Minggu ke 1-4 ƒ Bony callus terbentuk oleh kalsifikasi. Penghubung kalus sementara oleh jaring-jaring trabekula osteoid yang dihasilkan osteoblas.

> 4 minggu ƒ Remodeling tulang: proses penyerapan dan pembentukan tulang terus berlangsung.

ƒ Penghilangan kalus eksternal.

ƒ Pelekukan kalus internal untuk membentuk sumsum tulang.

Secara histologi, persembuhan tulang dapat dibagi menjadi beberapa fase:

1. Fase hemoraghi dan pembentukan jaringan granulasi.

Pada fraktur traumatis sederhana pada tulang panjang, patahan tulang

mengalami pergeseran dari lokasi normalnya dan jaringan lunak di sekitarnya ikut

terlukai (Cheville 2006). Selama 24-48 jam pertama setelah pelukaan, gambaran

histologi persembuhan tulang memperlihatkan adanya eksudat traumatik berisi

serum dan darah akibat pecahnya pembuluh darah (Watson-Jones 1952).

Hemoraghi terjadi di sepanjang daerah fraktur dan otot apabila darah merembes

keluar dari periosteum yang sobek. Koagulasi darah dengan segera membentuk

bekuan darah yang mengisi celah fraktur.

Kerusakan vaskular mengakibatkan terjadinya nekrosis pada jaringan tulang di

sekitar fraktur. Osteosit mati akibat kehilangan nutrisi yang biasanya disuplai

melalui pembuluh darah. Periosteum dan sumsum lebih tervaskularisasi dengan

baik sehingga kejadian nekrosis pada bagian ini lebih sedikit (Cheville 2006).

Bekuan darah selanjutnya berubah menjadi jaringan granulasi untuk

melindungi tulang yang rusak (Samuelson 2007). Jaringan granulasi merupakan

jaringan ikat fibroblastik tervaskularisasi pada persembuhan luka. Monosit

memasuki daerah fraktur dan berubah menjadi makrofag yang berperan utama

(27)

2. Fase pembentukan kalus.

Dalam waktu 48 jam setelah fraktur, bekuan darah diserbu oleh sel-sel

osteogenik dari lapisan periosteum, endosteum, dan sumsum tulang. Sel-sel ini

berproliferasi di pinggir fraktur dan secara cepat menyerbu bekuan darah dan

daerah nekrotik sekitarnya untuk membentuk kalus. Kalus merupakan massa

jaringan yang berfungsi melekatkan ujung-ujung tulang yang patah (Cheville

2006). Proses pembentukan kalus yang berasal dari periosteum, endosteum, dan

sumsum tulang tersebut bertemu dalam satu proses yang sama (Rizka 2010).

Proses terus berlangsung ke bagian dalam dan luar tulang sehingga menjembatani

permukaan fraktur satu sama lain. Awalnya, kalus merupakan jaringan granulasi

(kalus lunak) yang kemudian akan berubah menjadi jaringan tulang dan tulang

rawan (kalus keras) (Cheville 2006).

3. Fase pembentukan tulang rawan.

Dalam waktu satu minggu, sel-sel yang berproliferasi mulai berdiferensiasi

menjadi kondroblas dan tulang rawan terbentuk. Material matriks terdeposit

mengelilingi sel. Dalam proses kalsifikasi tulang rawan, vesikula kecil matriks

dilepaskan di bawah pengaruh enzim yang meningkatkan konsentrasi lokal

orthophosphate dan mengarah pada pembentukan hidroksiapatit. Pada 7 sampai 10 hari, pH kalus meningkat sehingga membantu proses deposisi garam kalsium.

Tulang rawan yang terbentuk bersifat hanya sementara karena akan segera

digantikan oleh woven bone. Matriks ekstraseluler tulang rawan mengalami kalsifikasi, sehingga menyebabkan kondrosit mati. Proses perubahan tulang rawan

menjadi tulang terjadi melalui mekanisme osifikasi intrakartilagenous.

4. Fase pembentukan tulang baru.

Selama kalus yang terbentuk sebelumnya menghilang, osteoblas menghasilkan

osteoid dengan susunan yang lebih teratur. Molekul kolagen berorientasi di

sekeliling pembuluh darah untuk membentuk sistem Haversian. Osteoklas

kemudian melekat pada permukaan trabekula tulang untuk meresorpsi tulang.

Woven bone yang lebih dahulu terbentuk secara bertahap berubah menjadi

cortical bone dan kalus berlanjut mengalami remodeling. Secepatnya, dengan ketepatan serta respon kalus yang minimal, susunan tulang terbentuk kembali dan

(28)

Ada kalanya fraktur terjadi cukup parah sehingga membutuhkan tindakan lain

untuk membantu persembuhan tulang yang sempurna. Tindakan tersebut dapat

berupa cangkok tulang atau bone graft (Samuelson 2007).

Jika menggunakan suatu bone graft, persembuhan tulang akan dimulai dengan terisinya perbatasan antara tulang-graft dengan jaringan tulang baru. Graft

akan mengalami vaskularisasi dan secara perlahan akan digantikan oleh

pertumbuhan tulang baru. Perbatasan antara tulang-graft akan sembuh dalam 1 sampai 3 bulan, namun proses remodeling terhadap graft dapat berlangsung berbulan-bulan sampai tahunan yang lamanya tergantung pada besarnya graft.

Biomaterial Pengganti Tulang

Biomaterial merupakan suatu material, baik bersifat alamiah maupun

buatan, yang dapat berinteraksi dengan sistem tubuh dengan tujuan untuk

memperbaiki (repair), memulihkan (restore), dan menggantikan jaringan yang rusak (replace) atau sebagai penghubung (interface) dengan lingkungan fisiologis tubuh (Darwis 2008).

Pemilihan biomaterial yang tepat sangatlah diperlukan dalam proses

implantasi. Tentunya biomaterial yang dipilih adalah yang bersifat osteoinduktif,

osteokonduktif, biokompatibel, bioaktif, stabil secara biomekanis, bebas penyakit,

serta mengandung faktor antigen minimal (Kalfas 2001), bioresorbabel (Samsiah

2009) dan biodegradabel (Pane 2008).

Osteoinduktif adalah kemampuan biomaterial untuk menginduksi sel-sel

sumsum tulang atau osteoprogenitor berdiferensiasi menjadi sel-sel tulang dewasa

(Laurencin 2009). Osteokonduktif adalah kemampuan biomaterial untuk

mendukung pelekatan sel-sel osteoblas baru dan osteoprogenitor, menyediakan

struktur saling berhubungan sehingga sel-sel baru dapat berpindah dan pembuluh

darah baru dapat terbentuk (Laurencin 2009). Sifat biokompatibel adalah

kemampuan biomaterial untuk menyesuaikan dengan kecocokan tubuh penerima,

tidak mempunyai efek toksik maupun melukai fungsi biologis (Dorland 2002).

Sedangkan bioaktif adalah kemampuan biomaterial untuk bereaksi dengan

(29)

Autograft adalah biomaterial yang berasal dari tubuh pasien itu sendiri.

Autograft memiliki kerugian karena ketersediaannya terbatas serta dapat meningkatkan resiko kehilangan darah, menimbulkan rasa sakit, dan memperbesar

luka akibat operasi tambahan (Schnettler et al. 2004; Nandi et al. 2009). Allograft

adalah biomaterial yang berasal dari spesies yang sama. Allograft berpeluang menularkan berbagai penyakit dan menimbulkan ketidakcocokan respon imun

(Nandi et al. 2009). Xenograft adalah biomaterial yang berasal dari spesies, genus, maupun famili yang berbeda. Misalnya xenograft yang berasal dari tulang sapi. Namun graft tersebut memiliki keterbatasan dalam perbedaan karakter mineral tulang (Stavropoulos 2008).

Biomaterial sintetik pengganti tulang merupakan alternatif yang dapat

mengatasi keterbatasan beberapa metode sebelumnya. Penggunaan biomaterial

sintetik secara tepat untuk substitusi tulang tidak akan menimbulkan inflamasi

serta tidak menyebabkan respon iritasi (Nurlaela 2009). Saat ini penggunaan

biomaterial sintetik yang memiliki kemiripan dengan fase anorganik tulang telah

mengalami peningkatan di bidang operasi rekonstruksi tulang karena sifat

biokompatibilitasnya yang unggul (Schnettler et al. 2004).

Hidroksiapatit (HA)

Secara umum penyusun utama komponen anorganik tulang adalah kalsium

fosfat yang mempunyai dua fase yaitu amorf dan kristal. Senyawa kalsium fosfat

kristal hadir dalam empat fase, yaitu dikalsium fosfat (DKF, CaHPO4.2H2O), okta

kalsium fosfat (OKF, Ca8H2PO4.5H2O), trikalsium fosfat (TKF, Ca3(PO4)2) dan

hidroksiapatit (HA, Ca10(PO4)6(OH)2). Senyawa kalsium fosfat yang paling stabil

adalah hidroksiapatit (Saraswathy et al. 2001). HA terdiri atas kalsium dan fosfat

dengan rasio perbandingan 1,67 (Pane 2008).

Penggunaan HA sebagai material implan untuk aplikasi medis semakin

meningkat saat ini. Beberapa penelitian seperti di India, telah memanfaatkan

bahan alam seperti batu koral, ganggang laut, dan cangkang telur ayam sebagai

sumber CaCO3 untuk pembentukan HA.Bahan alam diyakini lebih dapat diterima

(30)

penggunaan HA yang paling umum antara lain sebagai pelapis implan titanium

atau sebagai bahan pembentuk komposit (Pattanayak et al. 2005).

HA banyak digunakan dalam dunia orthopedik karena sifat fisis, kimia,

mekanis, dan biologisnya sangat mirip dengan komponen utama tulang manusia

(Pattanayak et al. 2005; Pane 2008). Sifat HA yang paling menarik adalah kemampuan biokompatibilitasnya yang sangat baik. HA mampu berkontak dan

menyatu secara kimiawi dengan jaringan tulang (Pane 2008). Selain itu, HA

memiliki beberapa sifat yang menonjol lainnya yakni: osteokonduktif, berpori,

bioresorbabel, bioaktif, tidak korosi, inert, tahan aus (Samsiah 2009), serta mudah

didapatkan dalam jumlah banyak (Pane 2008).

Beberapa penelitian telah membuktikan kemampuan HA sebagai bahan

pengganti tulang. Salah satunya terdapat pada penelitian yang dilakukan oleh

Reddy dan Swamy (2010), tentang penggunaan HA sebagai biomaterial pengganti

tulang pada beberapa kasus orthopedik. Berdasarkan penelitian tersebut dapat

disimpulkan bahwa untuk lesio kecil, HA sendiri saja sudah cukup namun untuk

lesio yang lebih besar, lebih ideal untuk mencampurkan HA dengan autogenous bone graft untuk mempercepat persembuhan. Terdapat pertumbuhan tulang baru serta persembuhan lesio yang baik. Selain itu, tidak ditemukan reaksi imunogenik

tubuh terhadap material HA.

Uji mekanik memperkuat pendapat bahwa HA menyatu ke dalam tulang

lebih kuat daripada autogenous bone graft. Hal tersebut karena kemampuan biodegradasi HA lebih lambat daripada autogenous bone graft sehingga mampu memberi kekuatan mekanis yang lebih lama (Reddy & Swamy 2010).

Kitosan (K)

Kitosan adalah biopolimer karbohidrat hasil ekstraksi kitin, yang

merupakan biopolimer alami kedua disamping selulosa yang terdapat dalam

jumlah melimpah. Kitin merupakan komponen struktural primer dari eksoskeleton

hewan arthropoda (contohnya crustacean), dinding sel fungi, dan kutikula

(31)

gugus asetilnya menggunakan basa pekat, sehingga bahan ini merupakan polimer

[image:31.595.216.405.133.269.2]

dari D-glucosamine (Nurlaela 2009).

Gambar 7 Struktur kimia kitosan (Harisson 2009).

Ketertarikan dalam pemanfaatan kitosan telah meningkat sehubungan

dengan sifat biologisnya yang unggul, seperti biokompatibilitas, mudah

terdegradasi tanpa meninggalkan racun, tidak karsinogenik terhadap hewan

maupun manusia, bioaktif (Nurlaela 2009) serta memiliki efek anti bakterial dan

efek persembuhan yang cepat bagi jaringan (Shin et al. 2009).

Studi lain memperlihatkan bahwa kitosan mampu meningkatkan

pembentukan jaringan tulang dan dapat digunakan sebagai matriks dalam teknik

pembuatan jaringan gingival. Paik et al. (2001) melaporkan bahwa kitosan dapat

meningkatkan sintesis kolagen tipe I pada tahap awal, dan memfasilitasi

diferensiasi sel-sel osteogenik pada percobaan in vitro fibroblas ligamen periodontal manusia. Kitosan diketahui dapat mempercepat migrasi sel serta

membantu pematangan jaringan. Oleh karena itu, semakin banyak dilakukan

penelitian yang berkaitan dengan kemampuan kitosan dalam bidang dentistry dan bedah orthopedik (Shin et al. 2009).

Komposit Hidroksiapatit dan Kitosan (HA-K)

Material komposit adalah kombinasi dua atau lebih fase material, baik

secara makro atau mikro yang berbeda bentuk atau komposisi kimianya untuk

memperoleh keseimbangan sifat (Samsiah 2009). Pengembangan teknologi

komposit bertujuan untuk meningkatkan efisiensi struktur dan karakteristik sifat

material yang signifikan, seperti untuk aplikasi material yang ringan tetapi sangat

(32)

Tulang merupakan salah satu komposit alami berskala nano, karena tulang

merupakan kombinasi fase organik dan anorganik (Nurlaela 2009). Material yang

paling baik untuk menggantikan tulang adalah material yang memiliki kesamaan

atau paling tidak identik dengan komposisi tulang yang sebenarnya.

Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk menggantikan tulang dari

material komposit yang dibentuk dari HA dan matriks polimer. Beberapa polimer

yang dapat digunakan antara lain: kolagen, kitosan, asam polylactic, dan

polymethylmethacrylate (PMMA) (Nurlaela 2009). HA yang serupa dengan komponen utama mineral tulang memiliki kekerasan yang rendah dan bersifat

rapuh sehingga memberi kendala dalam proses desain (Pattanayak et al. 2005). Sedangkan kitosan yang merupakan biopolimer alami diharapkan dapat bersifat

layaknya komponen organik matriks tulang serta dapat mengatasi sifat rapuh HA.

Komposit HA-K memiliki keuntungan karena ketika matriks polimer terserap,

tulang baru dapat tumbuh di sekitar partikel HA (Samsiah 2009).

Domba Lokal (Ovis ammon aries) Sebagai Hewan Coba

Implan tulang dapat dikatakan telah memenuhi persyaratan biomaterial

yang ideal apabila telah melewati uji in vitro maupun in vivo. Hasil dari uji in vitro saja tidak cukup untuk dapat diterapkan pada manusia karena terkadang memberikan hasil yang berbeda. Oleh karena itu, perlu dilakukan serangkaian uji

in vivo pada berbagai jenis hewan coba sebagai simulasi kondisi klinis manusia. Hewan-hewan coba tersebut antara lain: anjing, domba, kambing, babi, dan

kelinci (Pearce et al. 2007). Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini

adalah domba lokal atau domba ekor tipis (Ovis ammon aries) (Sutama & Budiarsana 2009).

Lebih dari sepuluh tahun terakhir penggunaan domba sebagai hewan coba

dalam penelitian orthopedik terus meningkat. Pada periode 1990-2001, sebanyak

9-12% penelitian orthopedik telah menggunakan domba sebagai hewan coba.

Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan periode 1980-1989 ketika

penggunaan domba hanya sekitar 5% (Martini et al. 2001). Peningkatan jumlah ini mungkin berhubungan dengan masalah isu etika dan pandangan negatif

(33)

al. 2007). Bermacam-macam penelitian orthopedik yang telah dilakukan dengan

menggunakan domba antara lain tentang fraktur, osteoporosis, bone-lengthening, dan osteoarthritis (Martini et al. 2001).

Secara makrostruktural, domba dewasa memiliki berat tubuh yang hampir

menyerupai manusia dan memiliki dimensi tulang panjang yang cocok untuk

model pemasangan implan tulang manusia dan prosthesis (Newman et al. 1995).

Hal ini tidak dimiliki oleh spesies hewan yang lebih kecil seperti kelinci atau

anjing ras kecil. Sedangkan secara histologi, struktur tulang domba sangat berbeda

dibandingkan dengan tulang manusia. Domba digambarkan memiliki sebagian

besar struktur tulang berupa tulang primer (deKleer 2006), dalam

perbandingannya dengan struktur tulang manusia yang kebanyakan terdiri atas

tulang sekunder (Eitel et al. 1981).

Terdapat perbedaan dalam kepadatan tulang antara manusia dan domba.

Tulang domba secara signifikan menunjukkan kepadatan yang lebih tinggi dan

kekuatan yang lebih besar (Pearce et al. 2007). Sementara itu, perbandingan

komposisi mineral tulang manusia dan domba tidak menunjukkan perbedaan yang

signifikan (Ravaglioli et al. 1996). Walaupun diakui adanya perbedaan dalam

struktur tulangnya, beberapa studi berpendapat bahwa domba masih valuable

sebagai model untuk penelitian remodeling dan pergantian tulang manusia.

Beberapa penelitian tentang implantasi tulang menunjukkan bahwa tulang domba

dan manusia memiliki pola yang serupa dalam hal pertumbuhan tulang (bone

(34)

MATERI DAN METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Proses penelitian berlangsung mulai dari bulan April 2009 sampai Agustus

2010. Operasi implantasi dilakukan di Laboratorium Bagian Bedah dan Radiologi,

Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi (KRP), Fakultas Kedokteran

Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pemeliharaan dan perawatan hewan coba

dilakukan di Kandang Hewan Percobaan yang dikelola Unit Pelayanan Teknis

Hewan Laboratorium (UPT Helab) FKH-IPB. Pembuatan preparat histologi

dilakukan di Laboratorium Patologi, Departemen KRP serta di Laboratorium

Anatomi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi (AFF), FKH-IPB.

Materi Penelitian

Hewan coba yang digunakan pada penelitian ini adalah 3 ekor domba lokal

(2 ekor jantan dan 1 ekor betina) yang sehat, berumur sekitar 1,5-2 tahun dengan

kisaran berat badan 19-20 kg.

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain: termometer,

stetoskop, pulse oxymetri, alat cukur, peralatan bedah minor, peralatan bedah

orthopedik, perlengkapan operator dan asisten bedah, serta kamera digital.

Sedangkan untuk pembuatan dan pengamatan preparat histologi antara lain:

gergaji triplek, inkubator, tissue cassette, automatic tissue processor, shaker, mikrotom, pencetak parafin, gelas objek, gelas penutup, mikroskop OLYMPUS®

BX51, dan alat mikrofotografi MD® 130 electric eyepiece.

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain: implan

komposit hidroksiapatit-kitosan (HA-K), atropin sulfas 0,25 mg/ml, xylazine HCl

2%, isofluran 1,5-3%, penicillin 50.000 IU, cefotaxime 250 mg, analgesik

Toradol®, yodium tinktur, perubalsam, Levertraan Zalf, dan Gusanex®.

Sedangkan untuk pembuatan preparat histologi antara lain: formalin 10%, asam

nitrat 5%, akuades, akuabides, alkohol, silol, pewarna Hematoksilin-Eosin (HE),

(35)

Metode Penelitian

1. Persiapan Implan Komposit Hidroksiapatit-Kitosan (HA-K)

Implan komposit HA-K telah dibuat sebelumnya oleh Ai Nurlaela,

mahasiswa Sekolah Pascasarjana IPB (Nurlaela 2009). Implan tersebut dihasilkan

dari metode presipitasi kalsium dan fosfat dengan rasio perbandingan 0,5M:0,3M.

Sumber kalsium didapatkan dari ekstraksi cangkang telur ayam dan sumber fosfat

dari KH2PO4. Sedangkan kitosannya merupakan produk dari Departemen

Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.

Sintesis HA-K dilakukan dengan dua tahap. Tahap pertama pembentukan

hidroksiapatit dan tahap kedua penggabungan hidroksiapatit dengan kitosan.

Serbuk komposit yang dihasilkan dari proses tersebut selanjutnya dikemas dalam

bentuk tabung silinder (pellet).

2. Pemeliharaan Hewan Coba

Domba dipelihara dalam lingkungan kandang yang memadai dengan

sirkulasi udara yang cukup, pencahayaan dan temperatur normal, asupan pakan

sebanyak dua kali sehari disertai asupan air ad libitum. Pemeliharaan domba dilakukan selama 10 hari sebelum operasi implantasi untuk evaluasi kondisi

hewan, serta selama 30, 60, dan 90 hari setelah operasi untuk pengamatan dan

pengambilan data penelitian.

3. Operasi Implantasi (Pemasangan Implan)

Operasi implantasi dilakukan sesuai dengan prosedur bedah aseptis.

Sebelum dilakukan pembiusan, semua domba diberikan pre-anestesi atropin sulfas

dengan dosis 0,2 mg/kg (SC) (Plumb 2005). Pembiusan dilakukan dengan

xylazine HCl dengan dosis 0,2 mg/kg (IM) dan 0,10 mg/kg (IV) (Plumb 2005)

serta isofluran secara inhalasi.

Penanaman implan dilakukan pada bagian medial dari ujung proksimal

tulang tibia kaki kiri. Tulang tersebut dilubangi dengan bor tulang sesuai dengan

ukuran implan yang berdiameter ± 6,6 mm dan tinggi ± 5,3 mm. Sedangkan untuk

kontrolnya, bagian yang sama dari tulang tibia kaki kanan dibuat lubang serupa

namun dibiarkan kosong tanpa implan.

Luka sayatan operasi kemudian ditutup dengan penjahitan periosteum,

(36)

domba diberi antibiotik topikal dan per-injeksi sebanyak dua kali sehari serta

diberikan analgesik satu kali sehari selama lima hari pascaoperasi. Luka operasi

secara rutin dibersihkan dengan yodium tinktur dan dioleskan campuran

perubalsam dan Levertraan Zalf. Gusanex® juga diberikan sebagai anti miasis.

4. Studi Histologi

Seluruh tulang tibia kemudian diambil pada hari ke-30, 60, dan 90

pascaoperasi. Untuk data makroskopis, bagian tulang yang terdapat implan

dipotong melintang menjadi dua bagian menggunakan gergaji triplek dengan mata

gergaji berukuran kecil. Penentuan lokasi pemotongan ditentukan dengan melihat

gambaran radiografi tulang. Potongan melintang tersebut kemudian diobservasi

dan difoto dengan kamera digital. Kajian makroskopis dilakukan dengan

pengamatan langsung mencakup aspek keadaan, warna, bentuk, dan tingkat

degradasi implan serta pertumbuhan jaringan baru ke dalam implan. Sedangkan

untuk data mikroskopis, tulang yang telah terpotong dua tersebut kemudian

direndam dalam cairan formalin 10% minimal selama sebulan. Bagian tulang

yang terdapat implan selanjutnya dipotong melintang lagi menjadi beberapa

potongan setebal ± 1-2 mm untuk pembuatan preparat gosok dan dekalsifikasi.

5. Pembuatan Preparat Gosok

Sebagian potongan tulang tersebut kemudian ditipiskan dengan cara

menggosoknya dengan amplas berukuran agak kasar (300) sampai terhalus

(1500). Penggosokan dilakukan secara teratur dan perlahan agar tidak merusak

struktur tulang. Setiap kali menggosok, dilakukan pencucian terhadap preparat

dengan akuades steril untuk menghilangkan kotoran dan debu sisa gosokan.

Setelah mendapatkan ketipisan yang sesuai, preparat gosok tersebut kemudian

dicuci dengan akuabides steril selama ± 2 malam, menggunakan alat EYELA Multi Shaker MMS dengan kecepatan pada skala 5-6. Akuabides diganti setiap hari agar kotorannya terbuang. Setelah bersih, preparat kemudian diletakkan dalam

inkubator selama semalam agar kering. Selanjutnya dilakukan proses pewarnaan

dan dehidrasi.

Pewarnaan dilakukan dengan pewarna Hematoksilin selama beberapa

menit dan dibilas dengan akuades. Setelah didapatkan warna dan kontras yang

(37)

dari konsentrasi 70%, 80%, 80%, 90%, 96%, absolut 1, hingga absolut 2),

kemudian direndam dalam larutan silol bertingkat (mulai dari silol 1, silol 2,

hingga silol 3). Preparat lalu dilekatkan dengan gelas penutup menggunakan

Permount® dan diberi label. Pengamatan preparat selanjutnya dilakukan dengan

mikroskop cahaya.

6. Pembuatan Preparat Dekalsifikasi

Sebagian potongan tulang lainnya kemudian direndam dalam larutan

dekalsifikasi (asam nitrat 5%) sampai lunak selama ± 2 minggu. Tulang terus

dipantau sampai benar-benar terdekalsifikasi. Ciri-ciri tulang terdekalsifikasi ialah

strukturnya menjadi lebih fleksibel, transparan, dan mudah ditusuk atau digores

(Nandi et al. 2009). Setelah itu, tulang dicuci dengan air mengalir selama 24 jam, kemudian dinetralkan dengan larutan formalin 10% untuk menghilangkan mineral

seperti kalsium dan magnesium yang masih tersisa. Selanjutnya dicuci kembali

dengan air mengalir selama 1-2 hari. Tulang tersebut kemudian dimasukkan ke

dalam tissue cassette untuk proses dehidrasi.

Dehidrasi dilakukan dengan larutan alkohol bertingkat masing-masing

selama 2 jam, kemudian direndam dalam larutan silol bertingkat masing-masing

selama 40 menit. Proses dehidrasi tersebut menggunakan alat Automatic Tissue Processor Sakura®. Selanjutnya tulang diletakkan dalam parafin cair (embedding) bersuhu ± 60oC selama 2 jam dan dimasukkan ke dalam blok pencetak. Kemudian

blok organ disimpan sejenak di dalam lemari pendingin dan dipotong dengan

mikrotom hingga mencapai ketebalan 5-6 µm. Sayatan tersebut lalu diletakkan di

atas permukaan air hangat (38-40oC), kemudian ditempel pada gelas objek dan

dikeringkan di inkubator bersuhu 60oC selama semalam. Terakhir slide preparat

tersebut diwarnai dengan pewarnaan HE (Hematoksilin-Eosin).

Tahapan pewarnaan HE yaitu: deparafinisasi dengan perendaman dalam

silol bertingkat dan alkohol bertingkat masing-masing selama 2 menit. Kemudian

preparat dibilas dengan air dan diwarnai dengan pewarna Hematoksilin selama

2-3 menit. Preparat dibilas kembali dengan air dan direndam dalam litium karbonat

selama 10 detik. Preparat kemudian dibilas kembali dengan air dan diwarnai

dengan pewarna Eosin selama 6-7 menit. Preparat lalu dibilas dengan air kembali

(38)

Preparat lalu dilekatkan dengan gelas penutup menggunakan Permount® dan

diberi label. Pengamatan preparat dilakukan dengan mikroskop cahaya.

7. Evaluasi Histologi

Preparat tulang gosok dan dekalsifikasi tersebut kemudian diobservasi

untuk melihat perubahan gambaran histologi yang terjadi setiap waktu

pengambilan sampel. Untuk preparat gosok, pengamatan ditekankan terhadap pola

pertumbuhan tulang baru yang terbentuk selama proses persembuhan. Sedangkan

untuk preparat dekalsifikasi, aspek-aspek berikut dapat diobservasi secara

histologi mengacu pada Sunil et al. (2008) antara lain: (i) pertumbuhan dan regenerasi tulang, (ii) ikatan antara implan dengan tulang, (iii) pertumbuhan

tulang baru ke dalam implan, (iv) tanda-tanda keberadaan implan pada akhir

pengamatan, dan (v) tanda-tanda reaksi inflamasi di sekitar implan. Hasil

pengamatan kemudian dituliskan ke dalam format tabel seperti yang tertulis pada

Tabel 2. Analisis data dilakukan secara deskriptif terhadap gambaran histologi

preparat. Kemudian dilakukan dokumentasi gambaran histologi tersebut dengan

mikroskop cahaya yang dilengkapi kamera mikrofotografi. Rangkaian prosedur

penelitian secara singkat disajikan dalam sebuah diagram alir (Gambar 8).

Tabel 2 Format data hasil pengamatan evaluasi histologi terhadap preparat dekalsifikasi

Karakteristik Histologi yang Diamati Periode Pengamatan

30 hari 60 hari 90 hari 1.Proliferasi jaringan ikat ke dalam implan.

2.Pertumbuhan tulang baru pada perifer implan.

3.Pertumbuhan tulang baru di tengah implan.

4.Proliferasi sumsum tulang.

5.Ikatan antara tulang lama dengan implan.

6.Pembentukan trabekula di dalam implan.

7.Biodegradasi.

8.Reaksi inflamasi pada sekitar implan.

(39)
[image:39.595.102.503.74.719.2]

Gambar 8 Diagram prosedur penelitian.

Pemasangan implan pada 3 ekor domba lokal berumur 1,5-2 tahun dengan berat badan 19-20 kg.

Bagian medial dari ujung proksimal tulang tibia kiri sebagai “perlakuan”.

Pengambilan tulang tibia dilakukan pada hari ke-30 untuk domba pertama, ke-60 untuk domba kedua,

dan ke-90 untuk domba ketiga.

Pembuatan preparat histologi:

preparat gosok dan dekalsifikasi. Pengamatan dan pengambilan data

makroskopis. Mencakup keadaan, warna, bentuk dan tingkat degradasi

implan serta pertumbuhan jaringan baru ke dalam implan.

Pewarnaan preparat gosok dengan Hematoksilin.

Pewarnaan preparat dekalsifikasi

dengan HE. Bagian medial dari ujung

proksimal tulang tibia kanan sebagai “kontrol”.

Pengamatan dan pengambilan data mikroskopis. Mencakup aspek pertumbuhan

dan regenerasi tulang, ikatan antara implan dengan tulang, pertumbuhan tulang baru ke dalam implan, keutuhan implan, dan

(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Makroskopis Tulang

Pengamatan makroskopis terhadap semua tulang yang diberi perlakuan

implan memperlihatkan keberadaan implan yang terlihat jelas sebagai sebuah benda

padat berwarna putih kekuningan. Hasil pengamatan disajikan dalam Tabel 3 yang

memperlihatkan bahwa dari seluruh parameter yang diamati, tidak terlihat

perubahan implan maupun respon jaringan terhadap parameter yang diamati pada

berbagai periode pengamatan.

Tabel 3 Hasil pengamatan makroskopis terhadap tulang perlakuan pada berbagai periode pengamatan

Karakteristik Pengamatan yang Diamati

Periode Pengamatan

30 hari 60 hari 90 hari

1.Keadaan implan. Tidak terdegradasi Tidak terdegradasi Tidak terdegradasi 2.Warna implan. Putih kekuningan Putih kekuningan Putih kekuningan

3.Bentuk implan. Utuh Utuh Utuh

4.Tingkat degradasi. (-) (-) (-)

5.Pertumbuhan jaringan baru ke dalam implan.

(-) (-) (-)

Keterangan: (-) = tidak ada, (+) = sedikit, (++) = banyak, dan (+++) = semakin banyak.

Tulang yang diberi perlakuan implan (tulang perlakuan) selama 30 hari

pascaoperasi memperlihatkan implan masih berada di dalam defek (lubang

pengeboran) tulang dengan kondisi utuh. Implan tidak terlihat mengalami degradasi

maupun resorpsi. Terdapat pertumbuhan jaringan ikat yang terlihat seperti lapisan

putih yang membungkus implan. Jaringan ikat tersebut membatasi permukaan

implan dengan pinggir defek tulang (Gambar 9 A). Tidak terlihat adanya

pertumbuhan jaringan ikat tersebut ke dalam implan.

Sedangkan pengamatan pada tulang yang tidak diberi perlakuan (tulang

kontrol) selama 30 hari pascaoperasi memperlihatkan daerah defek tulang telah

tertutup oleh pertumbuhan jaringan baru yaitu bony callus. Bony callus terbentuk setelah minggu ke-1 sampai ke-4 setelah kerusakan tulang dan akan digantikan oleh

tulang dewasa (Cheville 2006). Kalus yang terbentuk belum memiliki kekerasan

yang sama seperti jaringan tulang sekitarnya. Hal tersebut terlihat dari konsistensi

(41)

Tulang yang diberi perlakuan implan selama 60 hari pascaoperasi

memperlihatkan implan tetap berada di dalam defek tulang dengan kondisi utuh.

Terlihat juga adanya jaringan ikat yang membungkus implan seperti pada gambaran

tulang perlakuan selama 30 hari pascaoperasi (Gambar 9 C). Jaringan ikat tersebut

terlihat hanya mengelilingi implan dan tidak tumbuh ke dalamnya. Hal tersebut

mengindikasikan bahwa sampai usia 60 hari pascaoperasi, tidak teramati terjadinya

degradasi ataupun resorpsi terhadap implan.

Hasil pengamatan pada tulang kontrol selama 60 hari pascaoperasi

memperlihatkan daerah defek tulang telah tertutup oleh jaringan tulang baru yang

konsistensi maupun warnanya terlihat telah menyerupai jaringan tulang sekitarnya

(Gambar 9 D). Jaringan tulang baru ini menggantikan keberadaan bony callus yang terbentuk sebelumnya melalui proses remodeling yang kontinu (Cheville 2006).

Tulang yang diberi perlakuan implan selama 90 hari pascaoperasi

memperlihatkan kondisi implan yang tetap utuh dan dibungkus oleh jaringan ikat.

Jika ada bagian dari implan yang terdegradasi, maka akan terlihat pertumbuhan

jaringan ikat yang masuk ke bagian pinggir atau tengah implan. Hal tersebut

mengindikasikan bahwa sampai periode 90 hari pascaoperasi, implan tetap terlihat

tidak mengalami degradasi maupun resorpsi. Perubahan yang terlihat pada periode

ini adalah posisi implan tidak lagi berada di antara defek tulang, melainkan masuk

ke dalam rongga sumsum tulang (Gambar 9 E).

Peneliti lainnya pada aspek radiografi mengemukakan bahwa gambaran

radiografi tulang perlakuan pada hari ke-7 pascaoperasi memperlihatkan implan

masih ada di posisi semula, sedangkan pada hari ke-30 pascaoperasi

memperlihatkan implan telah masuk ke rongga sumsum, sehingga zona radiolucent terlihat di bagian defek yang seharusnya terisi implan (Purwanti 2010). Bagian

tersebut mengalami peningkatan opasitas yang mengindikasikan adanya

pertumbuhan kalus di dalamnya. Berdasarkan data tersebut maka diperkirakan

implan bergeser pada rentang waktu setelah hari ke-7 sampai sebelum hari ke-30

pascaoperasi, sehingga diduga kekosongan defek telah tertutup oleh jaringan tulang

baru yang memperlihatkan persembuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan

persembuhan tulang kontrol selama 60 hari pascaoperasi. Tejadinya pergeseran

(42)

Sedangkan pengamatan pada tulang kontrol selama 90 hari pascaoperasi

memperlihatkan daerah defek telah tertutup oleh jaringan tulang baru yang telah

mengalami proses remodeling lebih lanjut sehingga terlihat menyerupai jaringan tulang sekitarnya (Gambar 9 F).

[image:42.595.125.466.180.674.2]

Gambar 9 Sayatan melintang dari tulang tibia yang diberi perlakuan implan selama 30 hari (A), 60 hari (C), dan 90 hari (E), serta tulang tibia kontrol selama 30 hari (B), 60 hari (D), dan 90 hari (F) pascaoperasi. Tanda panah merah menunjukkan lokasi defek tulang. Sayatan ini menunjukkan bagian struktur tulang: i = implan, j = jaringan ikat, n = pertumbuhan jaringan baru yang menutupi defek, dan s = sumsum tulang. Bar A, B, C, dan D = 2,5 mm; E dan F = 2 mm.

A B

C

C D

E F

i

s

n

i

n

s

n

s

(43)

Gambaran Mikroskopis Preparat Tulang Gosok

Pada preparat tulang gosok dengan pewarnaan Hematoksilin, keberadaan

implan tidak dapat dipertahankan akibat proses penggosokan. Hal tersebut terjadi

karena belum terbentuknya ikatan yang sangat kuat antara jaringan tulang dengan

implan. Dengan demikian proses penggosokan tersebut menyisakan jaringan tulang

yang dapat diamati pola pertumbuhannya.

Preparat tulang yang diberi perlakuan implan selama 30 hari pascaoperasi

memperlihatkan pola pertumbuhan bony callus. Bony callus adalah massa jalinan tulang tidak terorganisasi yang berkembang menurut pola bekuan fibrin asalnya

(Dorland 2002). Jaringan tulang yang menyusun bony callus adalah woven bone (Gambar 10 A). Woven bone adalah jaringan tulang yang ditemukan pada embrio dan hewan muda, serta pada berbagai kond

Gambar

Gambar 7  Struktur kimia kitosan (Harisson 2009).
Gambar 8  Diagram prosedur penelitian.
Gambar 9  Sayatan melintang dari tulang tibia yang diberi perlakuan implan selama 30 hari (A), 60 hari (C), dan 90 hari (E), serta tulang tibia kontrol selama 30 hari (B), 60 hari (D), dan 90 hari (F) pascaoperasi
Gambar 10  Gambaran mikroskopis dari tulang tibia yang diberi perlakuan implan selama 30 hari (A), 60 hari (C), dan 90 hari (E), serta tulang tibia kontrol selama 30 hari (B), 60 hari (D), dan 90 hari (F) pascaoperasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan pendidikan Kristen secara khusus adalah usaha untuk membentuk dan membimbing peserta didik agar tumbuh berkembang mencapai kepribadian utuh yang mencerminkan sebagai

Fasilitasi Hari Anak Nasional 2014 Belanja Sewa Gedung / Kantor / Tempat JB: Barang/jasa JP: Jasa Lainnya. 1

Memuat nama program bantuan, judul kegiatan Pameran Produk Kreatif Hasil Pembelajaran Siswa SMK Tahun 2019 yang diusulkan sesuai kompetensi. 2 Lembar Persetujuan (untuk

Kajian tentang organisasi tidak hanya pada perkumpulan orang-orang, aktivitas-aktivitas mereka dan tujuan yang akan dicapai, tapi juga semua aspek yang mempengaruhi eksistensi,

Disimpulkan bahwa peran Humas Peme- rintah daerah Kabupaten Kulon Progo dalam menghadapi masalah penambangan pasir besi di Kulon Progo adalah sebagai berikut : satu mela-

Penelitian ini merupakan hasil penelitian lapangan yang berjudul ‚Analisis Hukum Pidana Islam dan Positif Terhadap Judi Tajen dalam Tradisi Tabuh Rah di Desa

2 Badan timbangan dibuat dari pipa kuningan berkualitas baik untuk mendapatkan ketahanan dan kekokohan 3 Bagian-bagian tumpuan diperkeras, pengayun timbangan terbuat dari besi

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, Ekonomi Islam , (Jakarta: PT.. 2) Prinsip kuantitas sesuai dengan batas-batas kuantitas yang telah dijelaskan