• Tidak ada hasil yang ditemukan

Determinants Factors of Stunting Among Children 0-59 Month in Indonesia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Determinants Factors of Stunting Among Children 0-59 Month in Indonesia."

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR DETERMINAN

STUNTING

PADA ANAK

USIA 0-59 BULAN DI INDONESIA

ANDIANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Faktor Determinan Stunting Anak Usia 0-59 Bulan di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

(4)

RINGKASAN

ANDIANI. Faktor Determinan Stunting pada Anak Usia 0-59 Bulan di Indonesia. Dibimbing oleh HARDINSYAH dan IKEU EKAYANTI.

Stunting masih menjadi masalah global. Data WHO menunjukkan bahwa prevalensi stunting pada balita di beberapa negara tinggi: negara berkembag adalah sebesar 32%, Afrika Timur sebesar 50%, Afrika Tengah sebesar 42% dan Asia 31.3% (Black et al. 2008). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 bahwa terdapat penurunan prevalensi stunting dari 2007 sebesar 1.2 (36.8% menjadi 35.6%) pada tahun 2010 (Kemenkes 2010). Indonesia dikenal pula sebagai negara dengan jumlah anak balita berbadan pendek (stunted) ke-5 di dunia setelah India, Cina, Nigeria, dan Pakistan (UNICEF 2008). Menurut WHO (1997), stunting pada anak balita masih menjadi salah satu masalah serius di Indonesia yang penurunannya masih relatif kecil dan prevalensinya masih diatas angka ambang batas yang ditetapkan oleh WHO, yaitu 20%.

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor determinan stunting pada anak 0-59 bulan di Indonesia. Data diperoleh dari Riset Kesehatan Dasar 2010, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia dalam bentuk e-file. Data diolah dengan menggunakan Microsoft Office Excel, SPSS dan WHO AnthroPlus. Penelitian ini menggunakan subjek sebayak 11 240 yang terdiri dari 50.5% perempuan dan 49.5% laki-laki.

Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa faktor determinan stunting pada anak usia 0-59 bulan adalah usia anak 12-23 bulan, berat badan lahir rendah(≤2500 g), Z skor BB/U <-2 SD (underweight), tinggi badan ibu <155 cm, pendidikan ayah rendah, status ekonomi keluarga rendah, mutu gizi pangan sangat kurang dan kurang, tingkat kecukupan besi kurang dan sanitatasi lingkungan kurang baik. Faktor determinan stunting pada anak usia 24-59 bulan adalah pendidikan ayah rendah, tinggi badan ibu <155 cm, ekonomi keluarga rendah, berat badan lahir rendah (≤2500 g), Z skor BB/U <-2 SD (underweight), mutu gizi pangan sangat kurang, tingkat konsumsi zat besi kurang dan sanitasi lingkungan rumah kurang. Sedangakan pekerjaan ibu petani/nelayan/buruh/tidak bekerja menjadi faktor protektif. Faktor determinan stunting anak pada anak usia <24 bulan adalah usia anak 12-23 bulan, tinggi badan ibu <155 cm, ekonomi keluarga rendah, berat badan lahir rendah (≤2500 g), Z skor BB/U <-2 SD (underweight) dan tingkat konsumsi zat besi kurang.

Peubah yang paling dominan berpengaruh terhadap kejadian stunting anak 0-59 di Indonesia adalah Z skor BB/U <-2 SD (underweight) dengan nilai Odds Ratio (OR=3.96, 95% CI=3.17-4.95) untuk anak usia 0-59 bulan, (OR=4.66, 95% CI=3.44-6.38) untuk usia 24-59 bulan dan (OR=3.13, 95% CI=2.25-4.36) untuk anak usia <24 bulan. Pencegahan stunting perlu meningkatkan status gizi dan kesehatan ibu hamil, meningkatkan kualitas makanan anak-anak dan peningkatan pendapatan ekonomi keluarga tidak mampu.

(5)

SUMMARY

ANDIANI. Determinants Factors of Stunting Among Children 0-59 Month in Indonesia. Supervised by HARDINSYAH and IKEU EKAYANTI.

Stunting is still remains a global problem. The data of WHO showed that the prevalence of stunting among children under five is 32% in developing countries, in East Africa is 50%, in Central Africa is 42% and the prevalence of stunting in Asia is 31.3% (Black et al. 2008). Based on the results of Riset Kesehatan Dasar (Basic Health Research), prevalence of stunting in 2010 hasbeen decreased from 2007 (36.8%) to 2010 (35.6%) (Ministry of Health Republic of Indonesia 2010). Indonesia is also known as the country with the number of children under five short height (stunted) and Indonesia become a fifth country that have children stunted in the world after India, China, Nigeria, and Pakistan (UNICEF 2008). WHO (1997) stunting in children under five is still one of serious problem in Indonesia and is still relatively small decline and the prevalence rate is still above the set threshold (20%).

The objective of this study is to analyze determinant factors of stunting in children 0-59 month in Indonesia. For this purpose permitted e-files data of the Riskesdas 2010 (a basic health survey 2010) were used. The data were processed using Microsoft Office Excel, SPSS and WHO AnthroPlus.This study used 11 240 subjects, consisted of 50.5% girls and 49.5% boys.

The results of the logistic regression analysis showed that the determinant factors of stunting among these children 0-59 month were age 12-23 month, 24-35 month, 36-47 month, 48-59 month, low birth weight (≤2500 g), weight for age z score <-2 SD (underweight), mother’s height less than 155 cm, mother's occupation farmer/fisherman/laborer/not working a protective factors, low father's education, low family economic status, low nutritional quality of food, low iron adequacy and low environmental sanitation. Determinant factors of stunting among children 24-59 month were low birth weight, weight for age z score <-2 SD (underweight), mother’s height less than 155 cm, low father's education, low family economic status, low nutritional quality of food, low iron adequacy and low environmental sanitation. Determinant factors of stunting among these children <24 month were age 12-23 month, low birth weight (≤2500 g), weight for age z score <-2 SD (underweight), mother’s height less than 155 cm, low family economic status, low iron adequacy.

The most dominant determinant of stunting was weight for age (z score <-2 SD) with Odds Ratio (OR=3.96, 95% CI=3.17-4.95) for children 0-59 month, (OR=4.66, 95% CI=3.44-6.38) for 24-59 month and (OR=3.13, 95% CI=2.25-4.36) for <24 month. These implied that nutritional health status of the pregnant women, quality of the children diet, and socio-economic factors of the family need to be considered in preventing stunting.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

FAKTOR DETERMINAN

STUNTING

PADA ANAK

USIA 0-59 BULAN DI INDONESIA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

(8)
(9)

Judul Tesis : Faktor Determinan Stunting pada Anak Usia 0-59 Bulan di Indonesia

Nama : Andiani NIM : I151100011

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS Ketua

Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, MKes Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

drh. M. Rizal. M. Damanik, MRepSc, PhD

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang bejudul “Faktor Determinan Stunting pada Anak Usia 0-59 Bulan di Indonesia”. Tesis ini ditujukan untuk memenuhi tugas akhir pada Program Studi Magister Ilmu Gizi Masyarakat, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang tinggi kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS dan Ibu Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, MKes selaku pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan motivasi serta bapak Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS selaku penguji yang telah memberikan masukan dan juga saran untuk menyempurnakan tulisan ini. Di samping itu, terima kasih penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) dan Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan UMMU atas ijinnya kepada penulis untuk menempuh pendidikan. Serta Dirjen Pendidikan Tinggi (BPPS) yang telah memberikan beasiswa selama pelaksanaan pendidikan.

Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementrian Kesehatan Republik Indonesia yang telah mengijinkan penulis untuk memanfaatkan data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, terutama yang terkait dengan faktor determinan stunting pada anak 0-59 bulan di Indonesia untuk diolah serta dianalisis sehingga menghasilkan temuan yang saat ini penulis susun menjadi tesis.

Ungkapan terima kasih penulis sampaikan secara tulus dan mendalam kepada ayahanda Drs. Moch. Machbub, ibunda Kunah Kurniawati. S.Pd dan ibu mertua Suratni Saleh serta adik-adik Eva Fajarwati, A.Md dan drh. Bagus Rafiqi. Secara khusus penulis ucapkan terima kasih kepada suami dan anak tercinta Riskal Muslim, MPH dan Shira Raihanah yang senantiasa memberikan spirit dan doa untuk selalu tabah dan sabar. Tidak lupa penulis ucapakan banyak terima kasih kepada keluarga kecil Iswandi, MKM atas diskusi datanya serta rekan-rekan S2 GMS 2010 atas segala dukungan dan kebersamaannya.

Penulis menyadari tesis ini masih belum sempurna, semoga tesis ini bermanfaat untuk semua.

Bogor, Juli 2013

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 2

Manfaat 2

TINJAUAN PUSTAKA 3

Gangguan Pertumbuhan Linier (Stunting) 3

Sebaran Stunting 3

Dampak Stunting 4

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stunting 7

KERANGKA PEMIKIRAN 22

METODE 23

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian 24

Jumlah dan Cara Pengambilan Sampel 24

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 25

Pengolahan Data 26

Definisi Operasional 31

HASIL DAN PEMBAHASAN 32

Karakteristik Sosial Ekonomi 32

Karakteristik Gizi, Kesehatan dan Sanitasi Lingkungan 41 Faktor Determinan Stunting Anak 0-59 Bulan, 24-59 Bulan dan<24

Bulan 50

SIMPULAN DAN SARAN 59

Simpulan 59

Saran 60

DAFTAR PUSTAKA 61

LAMPIRAN 68

(12)

DAFTAR TABEL

1 Prvalensi anak stunting tahun 1990-2010 ... 4

2 Angka kecukupan gizi bagi balita (0-6 tahun) ... 10

3 Sumber dan cara pengumpulan data ... 25

4 Penilaian karakteristik lingkungan ... 27

5 Pengkategorian variabel penelitian ... 29

6 Karakteristik sosial ekonomi anak stunting dan tidak stunting usia 0-59 bulan ... 33

7 Karakteristik sosial ekonomi anak stunting dan tidak stunting usia 24-59 bulan ... 38

8 Karakteristik sosial ekonomi anak stunting dan tidak stunting usia <24 bulan ... 40

9 Karakteristik gizi, kesehatan dan lingkungan anak stunting dan tidak stunting usia 0-59 bulan ... 43

10 Karakteristik gizi, kesehatan dan lingkungan anak stunting dan tidak stunting usia 24-59 bulan ... 45

11 Karakteristik gizi, kesehatan dan lingkungan anak stunting dan tidak stunting usia <24 bulan ... 47

12 Faktor determinan stunting anak usia 0-59 bulan ... 54

13 Faktor determinan stunting anak usia 24-59 bulan... 56

14 Faktor determinan stunting anak usia <24 bulan ... 58

DAFTAR GAMBAR

1 Dampak jangka pendek dan jangka panjang kekurangan gizi (ACC/SCN 2000) ... 7

2 Keranga teori penyebab gizi kurang pada ibu dan anak (Black et al. 2008), diadaptasi dari UNICEF 1998. ... 8

3 Kerangka pemikiran ... 23

4 Alur cleaning pengambilan sampel ... 25

DAFTAR LAMPIRAN

1 Karakteristik lingkungan anak usia 0-59 bulan ... 68

2 Karakteristik lingkungan anak usia 24-59 bulan ... 69

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Gizi sangat penting untuk pertumbuhan, perkembangan, aktifitas, dan daya tahan tubuh, termasuk bagi anak-anak. Masa anak-anak merupakan salah satu periode yang paling kritis dalam menentukan kualitas sumber daya manusia. Pada siklus kehidupan manusia, masa anak merupakan masa yang relatif pendek tetapi sarat dengan proses pertumbuhan dan perkembangan sehingga menempati posisi yang penting. Baik buruknya pemenuhan gizi pada masa anak-anak dapat menentukan banyak aspek kehidupan dikemudian hari, seperti kesehatan, prestasi, intelektualitas, dan produktivitas pada masa remaja dan dewasa. Salah satu indikasi kejadian kurang gizi pada anak-anak adalah kependekan pada balita (Diasmawarni 2011).

Stunting di negara berkembang terjadi pada masa anak dibawah lima tahun, faktor penyebab stunting pada anak disebabkan tiga hal yaitu asupan zat gizi, penyakit infeksi serta interaksi ibu dan anak yang ketiganya sangat ditentukan oleh keadaan sosial ekonomi dan tingkat pendidikan dalam keluarga. Disebutkan juga bahwa beberapa penyebab stunting pada masa balita, pada negara berkembang faktor utamanya adalah tidak cukupnya asupan makanan, infeksi dan berat badan waktu lahir (Atmarita 2004).

Stunting masih menjadi masalah global, berdasarkan data WHO (2001)

prevalensi stunting pada anak balita rata-rata sekitar 33% di negara berkembang. Namun kejadian ini sangat bervariasi antar negara yaitu Afrika Timur memiliki kejadian stunting tertinggi didunia sebesar 48%, kemudian Asia Tengah bagian Selatan sebesar 44%, Afrika Barat sebesar 35%, Asia Tenggara sebesar 33%, Amerika Tengah sebesar 24%, Afrika Utara sebesar 20%, Karibia sebesar 19% dan Amerika Utara (13%). Data WHO diacu dalam Black et al. (2008) menyebutkan bahwa prevalensi stunting pada balita sebesar 32% di negara berkembang, prevalensi stunting di Afrika Timur sebesar 50%, prevalensi stunting di Afrika Tengah sebesar 42% dan prevalensi stunting di Asia 31,3%.

UNICEF (2012) menyebutkan satu dari empat anak didunia menderita stunting, prevalensi stunting di dunia rata-rata sekitar 26%, Afrika memiliki prevalensi yang tinggi sebesar 40% dan Asia Selatan sebesar 30%. UNICEF (2009) mengurutkan Indonesia berada di posisi ke lima dari negara-negara di dunia dengan jumlah terbesar anak yang mengalami stunting setelah India, Cina, Nigeria, dan Pakistan. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 bahwa prevalensi stunting ditahun 2007 sebesar 36.8% terdiri dari 18.8% sangat pendek dan 18.0% pendek. Pada tahun 2010 prevalensi stunting sedikit menurun sebesar 35.6% yang terdiri dari 18.5% sangat pendek dan sebesar 17.1% pendek, namun prevalensi antar provinsi sangat bervariasi yang terendah adalah 22.5% di Yogyakarta dan tertinggi sebesar 58.4% di NTT (Kemenkes 2010).

(14)

2

konsekuensi, baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Pada jangka pendek stunting, wasting berat, dan IUGR secara bersama-sama bertanggungjawab pada kematian 2.2 juta kematian anak balita dan 21% disability-adjusted life-years (DALYs). Untuk jangka panjang, analisis data pada 5 negara berpendapatan rendah-sedang menunjukkan bahwa stunting pada masa anak berkorelasi kuat dengan postur pendek saat dewasa, rendahnya kehadiran di sekolah, berkurangnya fungsi intelektual, dan rendahnya berat lahir keturunannya nanti (Black et al. 2008).

Berdasarkan WHO (1997) wilayah prevalensi stunting dibagi kedalam empat kelompok, yaitu rendah (<20%), sedang (20-29%), tinggi (30-39%) dan sangat tinggi (>40%). Menurut WHO (1997) stunting pada anak balita masih merupakan salah satu masalah serius di Indonesia yang penurunannya masih relatif kecil dan prevalensinya masih diatas angka ambang batas yang ditetapkan, yaitu 20%. Sementara penelitian sebelumnya tentang determinan stunting masih terbatas dan berskala kecil. Adanya data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2010) memungkinkan untuk melakukan analissi determinan stunting skala nasional. Oleh karena itu, penulis tertarik mengetahui faktor determinan stunting pada anak usia 0-59 bulan di Indonesia.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang diatas, maka perumusan masalahnya adalah: 1) bagaimanakah karakteristik sosial ekonomi, gizi, kesehatan dan sanitasi lingkungan anak stunting dan tidak stunting usia 0-59 bulan, 24-59 bulan dan <24 bulan di Indonesia; dan 2) faktor apakah yang menjadi determinan stunting anak (0-59 bulan, 24-59 bulan dan <24 bulan) di Indonesia.

Tujuan

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik sosial ekonomi, gizi, kesehatan dan sanitasi lingkungan anak stunting dan tidak stunting 0-59 bulan, 24-59 bulan dan <24 bulan dan menganalisis faktor determinan stunting anak 0-59 bulan, 24-59 bulan dan <24 bulan di Indonesia. Tujuan khususnya yaitu: 1) menganalisis karakteristik sosial ekonomi, gizi, kesehatan dan sanitasi lingkungan anak stunting dan tidak stunting usia 0-59 bulan, 24-59 bulan dan <24 bulan di Indonesia; dan 2) menganalisis faktor determinan stunting anak 0-59 bulan, 24-59 bulan dan <24 bulan di Indonesia.

Manfaat

(15)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Gangguan Pertumbuhan Linier (Stunting)

Stunting adalah kondisi tinggi (panjang) badan rendah menurut umur yang merupakan salah satu indikator gizi kronis yang dapat memberikan gambaran gangguan keadaan sosial ekonomi secara keseluruhan di masa lampau. Stunting muncul pada dua sampai tiga tahun awal kehidupan dan ini merupakan refleksi dari akibat atau pengaruh karena kurangnya asupan energi, zat gizi, berat badan lahir rendah dan penyakit infeksi. Stunting adalah retardasi pertumbuhan linier dengan defisit dalam panjang badan sebesar < - 2 Z skor atau lebih menurut baku rujukan pertumbuhan (WHO 2006).

Stunting dapat didiagnosa melalui indeks antropometri tinggi badan menurut umur yang mencerminkan pertubuhan linier yang dicapai pada pra dan pasca persalinan dengan indikasi kekurangan gizi jangka panjang, akibat dari gizi yang tidak memadai dan kesehatan. Stunting merupakan pertumbuhan linier yang gagal untuk mencapai potensi genetik sebagai akibat dari pola makan yang buruk dan penyakit (ACC/SCN 2000).

Ada dua jenis ukuran antropometri gizi, linear dan massa jaringan. Pertumbuhan linear menggambarkan status gizi yang dihubungkan pada saat lampau dan pertumbuhan massa jaringan menggambarkan status gizi yang dihubungkan pada saat sekarang atau saat pengukuran. Bentuk dari ukuran linear adalah ukuran yang berhubungan dengan panjang. Contoh ukuran linear adalah panjang badan, lingkar dada dan lingkar kepala. Ukuran linear yang rendah biasanya menunjukkan keadaan gizi yang kurang akibat kekurangan asupan yang diderita pada masa lampau. Ukuran linear yang paling sering digunakan adalah tinggi atau panjang badan (Supariasa et al. 2001).

Data baku WHO/NCHS indeks BB/U, TB/U dan BB/TB disajikan dalam dua versi yakni persentil (persentile) dan skor simpang baku (standar deviation score = z). Menurut Waterlow gizi anak-anak dinegara-negara yang populasinya relative baik (well nourished) sebaiknya digunakan presentil, sedangkan dinegara untuk anak-anak yang populasinya relative kurang (under nourished) lebih baik menggunakan skor simpang baku (SSB) sebagai persen terhadap median baku rujukan.

Sebaran Stunting

(16)

4

Tabel 1 Prvalensi Anak Stunting Tahun 1990-2010

Regional Prevalensi (%)

1990 1995 2000 2005 2010

Afrika 40.3 39.8 39.3 38.8 38.2

Asia 48.6 43.1 37.7 32.6 27.6

Amerika Latin dan Caribbeen 23.7 20.9 18.1 15.7 13.5 All developing countries 44.4 40.1 36.1 32.5 29.2 Sumber WHO 2010

Prevalensi stunting di Negara berkembang diperkirakan 32% (178 juta) anak-anak usia kurang dari 5 tahun mengalami stunting dengan tinggi badan terhadap umur kurang -2 SD pada tahun 2005 (WHO 2006; De Onis et al. 2006). Afrika bagian timur dan tengah masing-masing sebesar 50% dan 42% tingginya angka tersebut dipengaruhi oleh stunting sebanyak 74 juta tinggal di kawasan Asia Tengah Selatan. Di 40 negara prevalensi stunting pada anak-anak sebesar 40 % atau lebih, 23 negara diantaranya berada di Afrika, 16 negara di Asia, dan 1 negara di Amerika Latin. 52 negara dengan prevalensi kurang dari 20% diantaranya adalah 17 negara di Amerika latin dan Karibia, 16 negara di Asia dan 11 negara di Eropa dan 4 negara di Afrika dan Oseania.

Menurut Atmarita 2004 prevalensi stunting pada balita di Indonesia sebesar 42.6%. Ini menunjukkan Indonesia memiliki permasalahan stunting yang cukup tinggi. Sama halnya dengan Indonesia, Bangladesh memiliki prevalensi stunting sebesar 44.8%, India 45.6% dan Kamboja 46.0%. Kronisnya masalah gizi pada balita di Indonesia ditunjukan dengan masih tingginya angka prevalensi

stunting. Laporan Nutrition Landscape Information System (NLiS)

memperlihatkan bahwa dalam kurun waktu 7 tahun stunting cenderung mengalami fluktuatif. Tahun 2001 prevalensi stunting balita sebesar 41.6%, tahun 2004 prevalensi stunting terjadi penurunan sebesar 28.6% dan di tahun 2007 sebesar 40.1% (WHO 2012). Berdasarkan Riskesdas 2010 mengungkap adanya penurunan prevalensi stunting dari 36.8% pada tahun 2007 menjadi 35.6% pada tahun 2010 meskipun ada penurunan namun angka tersebut masih diatas angka ambang batas yang ditetapkan oleh WHO yaitu 20%.

Dampak Stunting

Penurunan Perkembangan Kognitif

(17)

5 pertama kehidupan, pada usia 8 dan 11 tahun mempunyai skor tes kognitif yang signifikan lebih rendah dari pada anak nonstunted terutama bila severe stunted.

Gagal tumbuh yang terjadi akibat masa-masa emas ini akan berakibat buruk pada kehidupan berikutnya yang sulit diperbaiki. Mereka akan cenderung lambat dalam pertumbuhan, risiko kecacatan mental yang lebih tinggi serta mempunyai masalah kognisi. Anak yang menderita stunted mempunyai rata-rata IQ 11 point lebih rendah di bandingkan rata-rata anak-anak yang tidak stunted (UNICEF 1998 dalam Soekirman 2000). Bayi dengan berat badan rendah, kurangnya masukan protein pada masa kanak-kanak, kekurangan iodine (contoh bayi yang lahir dari ibu yang menderita goiter) dan anemia akibat kurangnya zat besi pada masa anak-anak, kejadian-kejadian ini berhubungan dengan rendahnya kemampuan kognitif dan berpengaruh pada anak usia sekolah (Horton 1999).

Keterkaitan antara tubuh yang lebih tinggi dan kinerja kognitif yang lebih baik ternyata sangat besar pada berbagai kelompok etnis serta wilayah geografik, dan keterkaitan ini kemudian ditafsirkan sebagai status gizi yang lebih baik selama periode perkembangan otak yang akan menghasilkan perkembangan kognitif yang maju. Defisiensi zat gizi tertentu juga mengganggu perkembangan kognitif. Sebagi contoh keterkaitan antara defisiensi iodium dan gangguan intelektual, kejadian anemia pada usia dini ternyata telah meninggalkan defisit residual yang permanen pada kemampuan belajar disepanjang usia sekolah (Manary et al. 2005). Penelitian cross sectional menemukan adanya hubungan secara signifikan antara stunting dengan perkembangan kognitif anak usia sekolah dan korelasi ini tetap sama walaupun dikontrol dengan kondisi sosio ekonomi. Hubungan signifikan juga ditemukan antara stunting dengan perkembangan psikomotorik pada anak (ACC/SCN 1997).

Dampak dari stunting mengakibatkan menurunnya pertumbuhan apabila dibandingkan dengan anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang mendukung. Stunting merupakan masalah kesehatan masyarakat karena berhubungan dengan meningkatnya risiko terjadinya morbiditas dan mortalitas, perkembangan motorik terlambat, dan terhambatnya pertumbuhan mental. Konsekuensi stunting pada balita, akan memberi kontribusi gangguan pertumbuhan pada anak usia baru masuk sekolah, lebih dari sepertiga (36 %) anak Indonesia tergolong pendek ketika memasuki usia sekolah (Azwar 2004). Anak stunting umur ≥ 2 tahun mempunyai risiko mengalami mortalitas lebih tinggi.

Penurunan Produktivitas Ekonomi

(18)

6

timbal baliknya pun akan tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan, hal ini akibat karena pendapatan yang rendah.

Temuan Strauss et al. (1997) di Brazil bahwa pria yang lebih tinggi dapat memperoleh penghasilan yang lebih banyak, dimana peningkatan tinggi badan sebanyak 1% diasosiasikan dengan kenaikan upah sebesar 7%. Penelitian gizi jangka panjang (1969-1977) di Guatemala menguatkan hal tersebut. Penelitian gizi terhadap 1.424 orang dewas usia 25-42 tahun yang diteliti sejak mereka masih anak-anak usia 0-7 tahun menunjukkan mereka yang mendapat perbaikan gizi pada usia dibawah dua tahun (baduta) ternyata menikmati kesempatan kerja dengan penghasilan tertinggi dibandingkan dengan yang mendapat perbaikan gizi pada usia lebih lambat yaitu usia dibawah tiga tahun (batita) dan diatas tiga tahun. Investasi gizi pada usia baduta memberikan manfaat ekonomi terbesar.

Kerentanan Terhadap Penyakit Infeksi Pada Usia Lanjut

Banyak negara berkembang yang pembangunannya belum berhasil mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, antara lain karena mengabaikan peran gizi dalam pembangunan manusia. Kalaupun ada perhatian, program gizi sering tidak efektif sebab salah sasaran dan kehilangan kesempatan yang tepat untuk memperbaiki gizi. Kelompok penduduk yang keadaan gizinya memiliki kesempatan singkat untuk diperbaiki ialah remaja perempuan, ibu hamil, ibu menyusui, dan bayi sampai anak usia dua tahun (World Bank 2006).

Gangguan gizi pada awal kehidupan (dalam kandungan), sangat sensitif terhadap tumbuh kembang, menyebabkan adaptasi salah dari janin berupa respon metabolik yang kompleks terhadap interaksi gen gizi (programming) di mana terjadi perubahan menetap dari struktur, fisiologi dan metabolisme endokrin (Achadi 2007). Masa kehamilan merupakan periode yang sangat menentukan kualitas SDM di masa depan, karena tumbuh kembang anak sangat dipengaruhi oleh kondisinya saat janin dalam kandungan. Akan tetapi perlu diingat bahwa keadaan kesehatan dan status gizi ibu hamil ditentukan juga jauh sebelumnya, yaitu pada saat remaja atau usiasekolah. Demikian seterusnya status gizi remaja atau usia sekolah ditentukan juga pada kondisi kesehatan dan gizi pada saat lahir dan balita.

(19)

7

Gambar 1 Dampak Jangka Pendek dan Jangka Panjang Kekurangan Gizi (ACC/SCN 2000)

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stunting

Menurut Hammond (2000) status gizi dipengaruhi secara langsung oleh asupan zat gizi dan kebutuhan tubuh akan zat gizi, asupan zat gizi tergantung pada konsumsi makanan yang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti keadaan ekonomi, pola asuh, pola makan, kondisi emosional, perilaku ibu dan masyarakat, kepedulian orang tua terhadap anak,budaya, penyakit infeksi. Pokok masalah gizi kurang adalah rendahnya ketahanan pangan rumah tangga, pola asuh anak yang tidak memadai, pola makan yang tidak seimbang, sanitasi lingkungan serta pelayanan yang tidak memadai (Soekirman, 2000).

UNICEF (1998) diacu dalam Black et al. (2005) menjelaskan tahapan penyebab timbulnya kurang gizi pada anak balita yaitu penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung yaitu asupan zat gizi dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering diare atau demam akhirnya dapat menderita kurang gizi. Sebaliknya anak yang makan tidak cukup baik daya tahan tubuhnya (imunitas) dapat melemah. Dalam kenyataannya makanan dan penyakit secara bersama-sama merupakan penyebab kurang gizi.

Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak serta pelayanana kesehatan dan kesehatan lingkungan. Ketahanan pangan dikeluarga (household food scuriy) adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup baik jumlah maupun mutu gizinya. Pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian, dan

Perkembangan otak JANGKA PENDEK

Pemograman (programming) Metabolisme untuk glukosa, lemak, protein, hormone dalam sel-sel tubuh

Status gizi janin dan anak usia

bawah tiga tahun

Pertumbuhan otot dan organ-organ tubuh

Gemuk sekali (obesitas) Diabetes, Penyakit jantung,

Hipertensi, Stroke, Kanker,

Kognitif dan kemampuan belajar

JANGKA PANJANG

(20)

8

dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan baik secara fisik, mental dan sosial. Pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan adalah tersedianya air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkannya. Ketiga faktor tidak langsung tersebut saling berkaitan dan bersumber pada akar masalah yaitu pendidikan dan ekonomi keluarga serta keterampilan memanfaatkan sumber daya keluarga dan masyarakat. Dari ketiga penyebab tersebut menyebabkan efek jangka pendek diantaranya kesakitan, ketidakmampuan dan kematian. Sedangkan efek jangka panjang menyebabkan ukuran tubuh saat dewasa, kemampuan berfikir, produktifitas ekonomi, penampilan reproduktif, penyakit metabolik dan kardiovaskular. Lebih lanjut dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Keranga Teori Penyebab Gizi Kurang pada Ibu dan Anak (Black et al. 2008), diadaptasi dari UNICEF 1998.

Pelayanan Kesehatan dan

Kesehatan Lingkungan

Jangka Panjang: Tinggi Badan Saat Dewasa,

Produktivitas Ekonomi, Kemampuan Bekerja, Penyakit

Metabolik dan Kardiovaskular Jangka Pendek:

Kematian, Kesakitan, Ketidakmampuan Fungsi

Tubuh

Pembangunan Ekonomi, Politik, Sosial, Budaya

Akar Masalah

Kemiskinan, Ketahanan Pangan dan Gizi, Pendidikan

Penyebab Tidak

Langsung AsuhPola

Daya Beli, Akses Pangan, Akses Informasi, Akses Pelayanan

Penyebab Langsung

Konsumsi Makanan Status Infeksi

Status Gizi Ibu dan Anak

(21)

9

Konsumsi Zat Gizi

Keadaan kesehatan gizi tergantung dari tingkat konsumsi zat gizi yang terdapat pada makanan sehar-hari. Tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas hidangan. Kualitas hidangan menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh didalam suatu susunan hidangan dan perbandingan yang satu terhadap yang lain. Kualitas menunjukkan jumlah masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh. Kalau susunan hidangan memenuhi kebutuhan tubuh, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya, dinamakan konsumsi berlebih, maka akan terjadi suatu keadaan gizi lebih. Sebaliknya konsumsi yang kurang baik kualitas dan kuantitasnya akan memberikan kondisi kesehatan gizi kurang atau kondisi defisit (Sediaoetama 2000).

Secara umum faktor yang mempengaruhi dan perlu dipertimbangkan dalam penetapan kecukupan gizi makro (Angka Kecukupan Energi dan Angka Kecukupan Protein) adalah 1) umur (yang secara umum mencerminkan tahap pertumbuhan dan perkembangan), 2) Jenis kelamin, 3) ukuran tubuh terutama berat badan, 4) keadaan fisiologis, dan 5) iklim. Faktor lain yang turut berpengaruh dalam AKE adalah tingkat aktifitas, respon metabolik makanan (yang biasanya dicakup dalam energi basal), dan efek termik makanan. Faktor lain turut memepengaruhi AKP adalah mutu protein dan tingkat konsumsi energi (Hardinsyah 2004).

Energi dan Protein

Manusia membutuhkan makanan untuk kelangsungan hidupnya. Makanan merupakan sumber energi untuk menunjang semua kegiatan atau aktifitas manusia. Energi dalam tubuh manusia dapat timbul dikarenakan adanya pembakaran karbohidrat, proein dan lemak. Dengan demikian agar manusia selalu tercukupi energinya diperlukan pemasukan zat-zat makanan yang cukup pula kedalam tubuhnya. Manusia yang kurang makanan akan lemah baik daya kegiatan, pekerjaan fisik atau daya pemikirannya karena kurangnya zat-zat makanan yang diterima tubuhnya yang dapat menghasilkan energi (Suhardjo 200).

Gizi merupakan kebutuhan setiap makhluk hidup agar mampu melakukan proses tumbuh kembang. Kecukupan asupan gizi ditentukan dengan kecukupan energi dan protein yang dikonsumsi setiap orang perhari. Energi dan protein yang dibutuhkan tubuh setiap hari bergantung pada kualitas dan jenis makanan yang dikonsumsi. Menurut Seyogya (2006) menyatakan kuantitas menunjukkan kuantum masing-masing zat gizi terhadap tubuh. Apabila kekurangan akan menimbulkan kondisi gizi kurang dan sebaliknya apabila berlebihan akan menimbulkan gizi lebih. Konsumsi energi dan protein mempengaruhi pertumbuhan anak. Kekurangan energi yang kronis pada balita dapat menyebabkan pertumbuhan jasmani balita terlambat sehingga mengganggu perkembangannya. Kekurangan protein yang kronis pada anak-anak menyebabkan keterlambatan pertumbuhan.

(22)

10

karbohidrat makanan mencukupi, maka protein akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi dengan mengalahkan fungsi utamanya sebagai zat pembangun. Sebaliknya bila karbohidrat makanan mencukupi, protein akan digunakan sebagai zat pembangun (Almatsier 2009).

Sumber karbohidrat adalah padi-padian (serelia), umbi-umbian, kacang-kacang kering dan gula. Hasil olahan bahan-bahan ini adalah bihun, mie, roti, tepung-tepungan, selai, sirup dan sebagainya. Sebagian besar sayur dan buah tidak banyak mengandung karbohidrat. Bahan makanan hewani seperti daging, ayam, ikan, telur dan susu sedikit sekali mengandung karbohidrat (Arisman 2009). Protein merupakan zat gizi yang sangat penting karena yang paling erat hubungannya dengan pertumbuhan. Protein mengandung C, H, O dan unsure khusus yang tidak terdapat pada karbohidrat maupun lemak yaitu nitrogen. Protein nabati dapat diperoleh dari tumbuh-tumbuhan, sedangkan protein hewani didapat dari hewan. Protein merupakan faktor utama dalam jaringan tubuh. Protein membangun, memelihara, dan memulihkan jaringan didalam tubuh, seperti otot dan organ. Saat anak tumbuh dan berkembang, protein adalah gizi yang sangat diperlukan untuk membeikan pertumbuhan yang optimal (Sharlin et al. 2011)

Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian terbesar tubuh sesudah air. Protein mempunyai fungsi khas yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain yaitu membangun serta memelihara sel-sel dalam jaringan tubuh. Fungsi protein: pertumbuhan dan pemeliharaan, pembentukan ikatan-ikatan esensial tubuh, mengatur keseimbangan air, memelihara netralitas tubuh, pembentukan antibodi, mengangkut zat-zat gizi dan sumber energi.

Tingkat konsumsi pangan merupakan bagian terpenting dari status kesehatan seseorang. Tidak hanya status gizi yang mempengaruhi kesehatan seseorang, tetapi status kesehatan juga mempengaruhi status gizi (Suhardjo 2003). Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi rata-rata yang dianjurkan oleh Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi ke VIII (LIPI 2004) adalah sebagai berikut:

Tabel 2 Angka Kecukupan Gizi Bagi Balita (0-6 Tahun)

No Zat gizi Kelompok Umur

0-6 bulan 7-12 bulan 1-3 tahun 4-6 tahun

1 Energi (Kkal) 550 650 1000 1550

2 Protein (g) 10 16 25 39

3 Vitamin A (RE) 375 400 400 450

4 Tiamin (mg) 0.3 0.4 0.5 0.6

5 Riboflavin (mg) 0.3 0.4 0.5 0.6

6 Asam Folat (ug) 65 80 150 200

7 Niasin (mg) 2 4 6 8

8 Vitamin B 12 (ug) 0.4 0.5 0.9 5

9 Vitamin C (mg) 40 40 40 50

10 Kalsium (mg) 200 400 500 500

11 Fosfor (mg) 100 225 400 400

12 Besi (mg) 0.5 7 8 9

13 Yodium (ug) 90 90 90 120

14 Seng (mg) 1.3 7.5 82 9.7

(23)

11

Gizi Mikro

Gizi mikro merupakan zat gizi yang diperlukan tubuh dalam jumlah yang sedikit. Ada sistem yang sangat terintegrasi untuk mengontrol aliran gizi mikro dalam pencegahan penyakit dan ini menunjukkan betapa pentingnya penyerapan gizi mikro dalam tubuh (Shenkin, 2006). Walaupun dalam kadar yang relative rendah, gizi mikro mempunyai peran yang sangat penting bagi kesehatan. Gizi mikro terdiri dari vitamin dan mineral. Unsur mineral atau unsur gizi mikro berfungsi dalam pengaturan dan pemeliharaan proses biokimiawi, antara lain aktivitas enzim. Unsur gizi mikro memiliki rentang intake yang dibutuhkan oleh tubuh dan masih dapat diterima oleh tubuh. Di luar rentang ini, terjadi defisiensi dan toksisitas yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan penyakit-penyakit kronik, sebaliknya dalam konsentrasi yang berlebih, unsur bersifat toksik dan dapat membahayakan kesehatan manusia (Santoso 2008).

Nilai asupan harian makanan dapat menimbulkan risiko yang lebih tinggi untuk anak-anak daripada orang dewasa. Malnutrisi gizi mikro telah lama terjadi di Indonesia namun terabaikan. Kondisi ini tidak terdeteksi secara fisik namun secara perlahan akan mempengaruhi kesehatan masyarakat. Kekurangan gizi pada masa anak-anak selalu dihubungkan dengan kekurangan vitamin dan mineral yang spesifik, yang berhubungan dengan mikronutrien tertentu. Beberapa tahun terakhir ini terjadi peningkatan perhatian terhadap konsekuensi dari defisiensi mikronutrien, dimulai dari meningkatnya resiko terhadap pnyakit infeksi dan kematian yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan mental (Nasution 2004).

Fungsi besi dalam senyawa besi sebagai hemoglobin, myoglobin, enzim yang diperlukan dalam fungsi metabolisme. Juga mengangkut dan menyimpan oksigen, mengangkut electron mitokondria dan sintesis DNA. Bayi yang baru lahir memiliki cadangan besi 250-300 mg (75 mg/kg berat badan) selama dua bulan pertama kehidupan, konsentrasi hemoglobin menurun yang disebabkan oleh peningkatan kebutuhan oksigen sehingga terjadi katabolisme eritrosit dari cadangan besi dan hanya dapat memenuhi kebutuhan besi pada bayi hingga usia 4-6 bulan. Sementara itu kandungan besi dalam ASI sangat rendah hal ini disebabkan oleh suplai besi terhadap fetus yang tinggi selama kehamilan trimester ketiga. Perubahan besi didalam tubuh terjadi pada usia 6-12 bulan pertama kehidupan sehingga kebutuhan besi meningkat yaitu sekitar 0.7-0.9 mg/hari. Kebutuhan ini sangat tinggi jika dibandingkan dengan ukuran tubuh dan intik energi bayi.

Vitamin A berfungsi dalam pertumbuhan terutama dalam menyesuaikan pertumbuhan tulang melalui proses remodeling. Vitamin A penting untuk aktivitas sel-sel dalam tulang rawan epifase yaitu dalam siklus pertumbuhan normal, pendewasaan dan degenerasi untuk pertumbuhan tulang yang normal (Linder 1992). Studi mengenai pertumbuhan linier anak usia 6 bulan hingga 4 tahun di Indonesia menunjukkan bahwa anak yang memiliki konsentrasi serum retinol yang rendah mencapi peningkatan tinggi badan yang lebih besar secara signifikan (0.39 cm/bulan) setelah suplementasi vitamin dibandng kelompok kontrol (Hadi et al. 2000).

(24)

12

jumlah 39 % dari seluruh mineral yang ada dalam tubuh dan 99 % kalsium tersebut berada dalam jaringan keras, tulang dan gigi.Yang 1 % berada dalam darah. Cairan diluar sel dan dalam sel jaringan lunak dimana kalsium mengatur berbagai metabolik yang penting. Pada anak-anak sintesis tulang lebih besar dari pada destruksi tulang, sedangkan pada orang dewasa normal terdapat keseimbangan dinamika mineral kalsium antara tulang dan cairan tubuh. Kalsium mempunyai peran penting dalam proses kontraksi otot menjaga normalitas kerja jantung dan merupakan activator enzim-enzim tertentu.

Mutu Gizi Pangan (MGP)

Mutu gizi pangan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan dan penggunaan makanan oleh tubuh, sehingga dapat mempengaruhi status gizi dan kesehatan baik individu maupun masyarakat (Hardinsyah 2001).

Peran pangan terhadap status gizi dan kesehatan individu dan masyarakat tidak terlepas dari mutu gizi asupan pangan (MGP) itu sendiri. MGP merupakan suatu gambaran yang memperlihatkan apakah suatu makanan dapat memenuhi kebutuhan dan tingkat ketersediaan biologis tubuh. MGP juga diartikan sebagai presentase asupan zat gizi terhadap kecukupan atau kebutuhannya. Pengukuran MGP didasarkan pada jumlah zat gizi yang tersedia untuk dikonsumsi relatif terhadap kebutuhan dan nilai biologisnya (Hardinsyah & Atmojo 2001).

Salah satu ukuran mutu gizi pangan adalah kandungan gizi makanan. Penilaian kandungan gizi pangan dapat dilakukan melalui analisis dengan menggunakan data kandungan zat gizi pangan berupa daftar komposisi bahan makanan (DKBM). Daftar ini menunjukkan kandungan berbagai zat gizi dari berbagai jenis pangan atau makanan dalam 100 gram bagian yang dapat dimakan (BDD). Daftar ini berguna sebagai alat untuk menilai asupan pangan, merencanakan menu, merencanakan ketersediaan, dan produksi pangan yang sesuai dengan kecukupan gizi.

Penyakit Infeksi

Keadaan gizi yang buruk akan mempermudah seseorang untuk terkena penyakit terutama penyakit-penyakit infeksi. Sebaliknya, penyakit infeksi akan memperburuk keadaan status gizi seseorang. Menurut Hadi (2005) penyakit infeksi seperti Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), diare, dan campak di Indonesia masih menjadi 10 penyakit utama dan masih menjadi penyebab utama kesakitan dan kematian. Tingginya angka kesakitan dan kematian ibu dan anak balita di Indonesia sangat berkaitan dengan buruknya status gizi. Setiap tahun kurang lebih 11 juta anak dari balita diseluruh dunia meninggal oleh karena penyakit infeksi seperti ISPA, diare, malaria, campak, kecacingan, dan penyakit kulit. Selanjutnya pembahasan penyakit infeksi akan fokus pada penyakit malaria.

(25)

13 Dampak penyakit malaria menimbulkan anemi atau kekurangan darah pada penderitanya. Adapun dampak anemi dari penyakit malaria adalah 1) keguguran dan perdarahan pada ibu hamil serta kelahiran prematur dan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR); 2) gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada bayi dan balita; 3) menurunnya prestasi belajar dan olahraga pada pelajar; 4) menurunnya produktivitas kerja dan pendapatan; 5) melemahnya daya tahan tubuh yang berakibat mudah sakit dan kematian.

Menurut Manary et al. (2005) mekanisme fisiologi yang menyebabkan gizi kurang ada lima salah satu diantaranya adalah penurunan pemakaian zat gizi dalam tubuh misalnya penggunaan anti malaria yang mengganggu metabolisme folat, dan defisiensi enzim kongenital yang sebagian membatasi lintasan metabolik zat gizi seperti yang terjadi pada fenilketonuria.

Karketeristik Anak

Usia

Umur merupakan faktor internal yang menentukan kebutuhan gizi, sehingga usia berkaitan erat dengan status gizi balita, usia 6 bulan kebanyakan bayi masih dalam keadaan status gizi yang baik sedangkan pada golongan usia setelah 6 bulan jumlah balita yang berstatus gizi baik nampak dengan jelas menurun sampai 50 % (Djamil dalam Terati 2010). Ada kemungkinan anak pada umur 24-59 bulan menderita status gizi kurang disebabkan oleh asupan gizi yang diperlukan untuk anak seusia ini meningkat. Secara psikologis anak pada kelompok ini sebagian besar telah menunjukkan sikap menerima atau menolak makanan yang diberikan oleh orang tuanya. Kemungkinan lainnya adalah keterpaparan anak dengan faktor lingkungan sehingga akan lebih mudah sakit terutama penyakit.

Laju pertumbuhan pada tahun pertama kehidupan lebih cepat dibandingkan pada usia lainnya. Setelah usia 1 tahun, tingkat pertumbuhan anak melambat. Anak umumnya menjadi lebih ramping anatara usia 6 bulan dan 6 tahun, ada peningkatan secara bertahap dalam ketebalan lemak pada laki-laki dan perempuan sampai pubertas. Wanita memiliki kandungan lemak tubuh yang lebih besar daripada laki-laki pada semua tahap pertumbuhan. Kebutuhan energi anak-anak ditentukan oleh metabolism individu basal, pola aktivitas dan tingkat pertumbuhan (Boyle et al. 2010).

Jenis Kelamin

Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan anak. Jenis kelamin menentukan pula besar kecilnya kebutuhan gizi bagi seseorang. Fungsi reproduksi pada anak perempuan berkembang lebih cepat daripada laki. Tetapi setelah melewati masa pubertas, pertumbuhan anak laki-laki akan lebih cepat (Rusmil 2006).

(26)

14

stunting dengan OR 1,18. Prevalensi stunting pada anak laki-laki juga lebih tinggi 4% dibandingkan dengan anak perempuan (Wamani et al. 2007).

Kebutuhan zat gizi anak laki-laki berbeda dengan anak perempuan dan biasanya lebih tinggi karena anak laki-laki memiliki aktivitas fisik yang lebih tinggi. Khumaidi (1989) menyebutkan bahwa anak laki-laki biasanya mendapatkan prioritas yang lebih tinggi dalam hal makanan dibandingkan anak perempuan. Berdasarkan penelitian didapatkan bahwa kekurangan gizi lebih banyak terdapat pada anak perempuan daripada anak laki-laki (Fikawati et al. 2010).

Berat Badan Lahir

Berat saat lahir merupakan prediktor kuat untuk ukuran tubuh anak selanjutnya. Sebagian besar bayi dengan BBLR mengalami gangguan pertumbuhan pada masa kanak-kanak. Di negara-negara Asia, seperti Bangladesh, RRC, India, Pakistan, Filipina dan Sri Lanka, kejadian BBLR dapat memprediksi keadaan gizi anak pada masa prasekolah. Sebuah kesimpulan dari 12 studi yang telah dilakukan mengungkapkan pertumbuhan bayi IUGR mengalami kegagalan pertumbuhan pada dua tahun pertama. Pada usia 17 sampai 19 tahun, pria dan wanita yang lahir IUGR-BBLR memiliki tinggi badan 5 cm lebih pendek dan berat badan 5 kg lebih rendah dibandingkan dengan anak yang lahir normal (Allen et al. 2001).

Berat badan lahir rendah didefinisikan oleh WHO sebagai berat lahir <2500 gram. Berat lahir ditentukan oleh dua proses yaitu lama kehamilan dan laju pertumbuhan janin. Bayi baru lahir dapat memiliki berat lahir <2500 gram karena lahir dini (kelahiran prematur) atau lahir kecil untuk usia kehamilan (Semba et al. 2001). Berat lahir juga indikator potensial untuk pertumbuhan bayi, respon terhadap rangsangan lingkungan, dan untuk bayi bertahan hidup. Berat lahir rendah membawa risiko 10 kali lipat lebih tinggi dari kematian neonatal dibandingkan dengan bayi baru lahir beratnya 3-3.5 kg (Schanler 2003).

Kurang gizi yang terjadi selama masa kanak-kanak, remaja, dan kehamilan mempunyai dampak negatif yang semakin buruk terhadap berat badan bayi yang baru lahir dilahirkan. Bayi dengan berat lahir rendah yang menderita hambatan pertumbuhan intrauterine (Intrauterine Growth Retardation) ketika masih janin, dilahirkan dalam keadaan kurang gizi. Bayi yang mengalami kurang gizi berisiko sangat tinggi terhadap kematian pada periode neonatal dan bayi. Jika mereka bertahan hidup, mereka tidak akan dapat mengejar ketertinggalan pertumbuhannya (catch-up growth) dan akan mengalami defisit perkembangan mental. Oleh karena itu, bayi BBLR akan lebih memungkinkan menjadi underweight (berat badan rendah)/stunted (pendek) pada masa kehidupan bayi (Riyadi 2006).

(27)

15 gizi rendah. Bayi BBLR yang dapat bertahan hidup, dalam lima tahun pertama akan mempunyai resiko lebih tinggi dalam tumbuh kembang secara jangka panjang kehidupannya jika dibandingkan dengan bayi non BBLR (Pioda 2007 ).

Status Gizi

Status gizi merupakan gambaran keseimbangan antara kebutuhan tubuh akan zat gizi dan asupan zat gizi. Jika kondisi kedua hal tersebut seimbang maka disebut gizi baik, sedangkan ketidakseimbangan dapat dipresentasikan dalam bentuk kurang gizi yaitu jika asupan zat gizi kurang dari kebutuhan, dan disebut gizi lebih jika asupan zat gizi melebihi kebutuhan (Jahari 2002).

Untuk mengetahui apakah hasil pengukuran antropometri seperti berat badan dan panjang badan termasuk dalam kategori normal, rendah, atau lebih dari yang seharusnya perlu dilakukan pembandingan dengan suatu standar baku. Indikator yang sering dipakai untuk menentukan status gizi adalah berat badan terhadap umur (BB/U) yang menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini (saat diukur), tinggi badan terhadap umur (TB/U atau PB/U) yang menggambarkan status gizi masa lalu dan berat badan terhadap tinggi badan atau berat badan terhadap panjang badan (BB/TB atau BB/PB) yang menggambarkan secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini. Berikut indikator status gizi menurut Depkes RI 2005.

Indikator Berat Badan Menurut Umur (BB/U)

Indikator berat badan menurut umur (BB/U) adalah gizi lebih bila skor z terletak >+2 SD, gizi baik bila skor z terletak ≥-2 SD sampai +2 SD, gizi kurang bila skor z terletak pada <-2 SD sampai ≥-3 SD dan gizi buruk bila skor z terletak pada <-3 SD.

1. Kelebihan Indeks BB/U

1) Lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum 2) Baik untuk mengukur status gizi akut atau kronis

3) Berat badan dapat berfluktuasi

4) Sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan kecil 5) Dapat mendeteksi kegemukan (over weight)

2. Kelemahan Indeks BB/U

1) Dapat mengakibatkan interpretasi status gizi yang keliru bila terdapat edema maupun asites

2) Didaerah pedesaan yang masih terpencil dan tradisional, umur sering sulit ditaksir secara tepat karena pencatatan umur yang belum baik

3) Memerlukan data umur yang akurat, terutama untuk anak dibawah usia lima tahun

4) Sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, seperti pengaruh pakaian atau gerakan anak pada saat penimbangan

(28)

16

Indikator Tinggi Badan atau Panjang Badan Menurut Umur (TB/U atau PB/U)

Indikator TB/U digunakan untuk usia lebih dari 2 tahun atau PB/U digunakan untuk anak 0 – 24 bulan. Istilah dan batas ambangnya adalah normal bila skor z terletak ≥-2 SD dan pendek (stunting) bila skor z terletak pada <-2 SD. Kelebihan indikator TB/U atau PB/U adalah dapat dijadikan indikator keadaan sosial ekonomi penduduk karena memberikan gambaran pencapaian riwayat keadaan gizi masa lalu. Kekurangannya adalah tidak dapat menggambarkan keadaan gizi saat ini, memerlukan ketepatan umur dan kesulitan dalam pengukuran panjang badan.

Indikator Berat Badan terhadap Tinggi Badan atau Panjang Badan (BB/TB atau BB/PB)

Indikator status gizi yang terbaik adalah BB/TB atau BB/PB karena indikator ini dapat menggambarkan staus gizi saat ini lebih sensitif dan spesifik. Istilah dan batas ambang status gizi berdasarkan indikator BB/TB atau BB/PB adalah gemuk bila skor z terletak >+2 SD, normal bila skor z terletak ≥-2SD sampai +2 SD, kurus bila skor z terletak <-2 SD sampai ≥-3 SD dan kurus sekali bila skor z terletak <-3 SD. Beberapa kelebihan indikator BB/TB atau BB/PB adalah dapat menilai status KEP berat (sangat kurus) dan independen terhadap umur. Kelemahannya adalah tidak dapat menggambarkan apakah anak tersebut pendek, normal atau jangkung serta sering terjadi kesalahan penimbangan dan pengukuran panjang badan.

Karakteristik Sosio Demografi

Tinggi Badan Ibu

Tinggi badan selain ditentukan oleh faktor genetik juga ditentukan oleh status gizi sewaktu masa kanak-kanak. Keadaan ini dapat diartikan bahwa gangguan gizi waktu kanak-kanak pengaruhnya sangat jauh, yaitu produk kehamilan (Nurhadi 2006). Tinggi badan orang tua juga berkaitan dengan kejadian stunting, ibu yang pendek emiliki kemungkinan melahirkan bayi yang pendek pula. Hasil penelitian Zottarelli (2007) di Egypt menunjukkan bahwa anak yang lahir dari ibu yang tinggi badan <150 cm memiliki risiko lebih tinggi untuk tumbuh menjadi stunting. Penelitian Nasikhah (2012) bahwa tinggi badan ibu dan tinggi badan ayah merupakan faktor risiko kejadian stunting pada balita 24-36 bulan. Hasil penelitian serupa yang dilakukan Rahayu (2012) menunjukkan bahwa anak yang dilahirkan dari ibu atau ayah pendek berisiko menjadi stunting.

(29)

17 faktor yang berhubungan dengan tinggi badan anak. Penelitian di Kazakhstan menunjukkan bahwa tinggi badan anak berhubungan dengan berat badan lahir, kadar haemoglobin, jenis kelamin, tinggi badan ibu dan tingkat pendidikan ibu (Dangour et al. 2002).

Usia Ibu dan Ayah

Usia ibu dapat digunakan sebagai prediksi untuk melihat kondisi kesehatan anak. Perlakuan perlindungan kesehatan anak yang kurang sering dihubungkan dengan usia ibu muda. Hal ini dihubungkan dengan psikologi ibu dalam mengatasi masalah kurang gizi dan kematian anak dibandingkan dengan ibu usia lebih tua. Ibu umur ≤ 20 tahun berisiko melahirkan bayi berat lahir rendah. Umur ibu 20 tahun termasuk dalam kelompok umur masa akhir remaja. Seorang ibu yang berumur 20 tahun memerankan peran orang dewasa tetapi secara psikologi masih dalam perkembangan. Hasil penelitian Giashuddin et al. (2003) menyatakan anak yang dilahirkan dari ibu yang umurnya lebih tua mempunyai risiko stunting dibanding umur ibu yang lebih muda (OR = 0.78, 95% Cl = 0.64 -0.96).

Orang tua muda terutama ibu, cenderung kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam mengasuh anak sehingga umumnya mereka mengasuh dan merawat anak didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Selain itu, faktor usia muda juga cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya sehingga kuantitas dan kualitas pengasuhan kurang terpenuhi. Sebaliknya, ibu yang lebih berumur cenderung akan menerima perannya dengan sepenuh hati (Hurlock 1998).

Pendidikan Ibu dan Ayah

Usaha perbaikan gizi diarahkan pada usaha peningkatan status gizi masyarakat dan usaha mencegah masalah gizi. Salah satu penyebab masalah gizi adalah masih rendahnya tingkatpendidikan masyarakat karena masyarakat sulit menerima pengetahuan yang diberikan. Dengan pendidikan, orang tua akan mampu menyusun menu makanan keluarga sebagai modal utama peningkatan mutu keluarga. Tingkat pendidikan ayah dan ibu merupakan determinan yang kuat terhadap kejadian stunting pada anak di Indonesia dan Bangladesh. Di Indonesia, faktor lain yang berhubungan dengan stunting pada anak, selain tingkat pendidikan adalah pemberian suplemen vitamin A, iodisasi garam, imunisasi, dan sanitasi (Semba et al. 2008).

Zottarelli et al. (2007) menunjukkan bahwa prevalensi balita stunting meningkat dengan rendahnya tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan ibu dan ayah yang rendah masing-masing prevalensinya 22.56% dan 23.26% dibandingkan dengan 13.81% dan 12.53% pada ibu dan ayah dengan pendidikan yang tinggi. Selanjutnya penelitian Astari (2006) menemukan bahwa tingkat pendidikan ibu pada kedua kelompok (stunting dan normal) sebagian besar adalah tamat SD (50%) adalah tamat SD. Terdapat perbedaan yang nyata tingkat pendidikan ibu antara kelompok stunting dan kelompok normal.

(30)

18

rumah tangga adalah orang tua (ibu) sehingga sasaran utama pendidikan gizi adalah pada ibu, tetapi bukan berarti ayah tidak mempunyai andil untuk mengetahui ilmu gizi. Pendidikan gizi mempunyai tujuan untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan yang keliru melalui metode pengajaran perorangan, kelompok dan teladan yang diberikan pada masyarakat (Aningati 2010).

Besar Keluarga

Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat. Keluarga dibentuk dari sekelompok orang yang terikat dan mempunyai hubungan kekerabatan karena perkawinan, kelahiran, adopsi dan lain sebagainya.Unit keluarga menjadi hal penting untuk berbagai intervensi seperti penanganan kemiskinan, keluarga berencana dan lain sebagainya. Keluarga terbagi menjadi dua yaitu keluarga inti/batih (nuclear family) dan keluarga luas (extended family).

Besar keluarga sangat penting dilihat dari terbatasnya bahan makanan yang tersedia terutama pada keluarga yang berpendapatan rendah. Dengan meningkatnya jumlah anggota keluarga, konsumsi pangan hewani akan berkurang (Suharjo 2003). Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin paling rawan terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota keluarga dan anak yang paling kecil biasanya terpengaruh oleh kekurangan pangan. Sebab seandainya besar keluarga bertambah maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang ta tidak menyadari bahwa anak-anak yang sangat muda memerlukan pangan relative banyak daripada anak-anak yang lebih tua. Dengan demikian anak-anak yang muda mungkin tidak diberi cukup makan (Suharjo 2003).

Besar keluarga mempengaruhi kesehatan seseorang atau keluarga karena akan mempengaruhi luas penghuni di dalam suatu bangunan rumah yang akan mempengaruhi pula kesehatan anak-anak (Sukarni 1994). Hal ini berhubungan dengan pembagian ruang dan konsumsi zat gizi per penghuni rumah (Afriyenti 2002). Menurut Adeladza diacu dalam Aditianti (2010) besarnya keluarga dapat menjadi faktor risiko terjadinya malnutrisi pada anak di negara berkembang. Penelitian ini menemukan bahwa anak-anak dari rumah tangga yang besar lebih banyak yang mengalami kurang gizi. Menurut Hartoyo (2003) diacu dalam Nurmiati (2006) besar keluarga terkait dengan kemampuan keluarga melakukan investasi pada anak. Keluarga dengan jumlah anggota lebih banyak, dengan sumber daya yang terbatas memiliki kemampuan investasi yang lebih terbatas.

Jumlah Balita

Penelitian yang dilakukan Rosha (2010) masih adanya keluarga yang memiliki jumlah anak balita 2-3 dalam keluarga karena ibu tidak merencanakan kelahiran anak dengan baik sehingga jarak antara anak yang satu dengan yang lain terlalu dekat. Kerugian dari jarak anak yang terlalu dekat adalah ibu tidak adil dalam memberikan perawatan dan kasih sayang kepada anak. Ibu lebih memperhatikan anak yang lebih muda usianya sehingga anak yang lebih tua cenderung tidak terurus. Hasil penelitain Mahgoup (2006) di Afrika menunjukkan permasalahan gizi lebih besar terjadi pada anak yang berasal dari rumah tangga dengan dua anak balita.

(31)

19 anak yang banyak akan mengakibatkan selain kurangnya kasih sayang dan perhatian pada anak, juga kebutuhan primer seperti makanan, sandang dan perumahan pun tidak terpenuhi (Soetjiningsing 1995). Banyaknya anak akan mengakibatkan besarnya beban anggota keluarga (RANPG 2006-2010). Jumlah anak dalam keluarga merupakan salah satu faktor yang berperan dalam ketersediaan pangan dalam keluarga (Fadila 2008).

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga

Pekerjaan Ibu dan Ayah

Pekerjaan orangtua bereperan penting dalam kehidupan social ekonomi keluarga karena berhubungan dengan pendapatan yang akan diterima. namun ada juga dampak negative ibu bekerja antara lain ibu tidak selalu ada pada saat-saat yang penting dimana sangat dibutuhkan, tidak semua kebutuhan anggota keluarganya dapat dipenuhi, dan ibu yang bekerja menjadi lelah, sehingga ketika pulang kerja ia tidak mempunyai energi untuk bermain dengan anaknya (Yuliana 2002).

Status pekerjaan orangtua atau mata pencaharian utama keluarga berkaitan dengan status gizi anaknya. Status pekerjaan ibu dikaitkan dengan intensitas waktu dalam pola pengasuhan langsung kepada anak. Juga dikaitkan dengan tingkat pendapatan dan akses yang lebih baik terhadap informasi termasuk kesehatan dan perkembangan anaknya. Keberdayaan ibu akan memungkinkannya lebih aktif dalam menentukan sikap yang lebih mandiri dalam memutuskan hal yang terbaik bagi perkembangan bayi dan anaknya (Iswandi 2010).

Pada masyarakat tradisional biasanya ibu tidak bekerja di luar rumah melainkan hanya sebagai ibu rumah tangga. Seorang ibu yang tidak bekerja di luar rumah akan memiliki waktu lebih banyak dalam mengasuh serta merawat anak dibandingkan ibu yang bekerja di luar rumah. Pekerjaan memiliki hubungan dengan pendidikan dan pendapatan serta berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi dan memiliki keterkaitan dengan faktor lain seperti kesehatan (Sukarni 1994).

Pengeluaran Rumah Tangga

Status sosial ekonomi keluarga dapat dilihat dari besarnya pendapatan atau pengeluaran keluarga, baik pangan maupun non pangan selama satu tahun terakhir. Jika pendapatan masih rendah maka kebutuhan pangan cenderung lebih dominan daripada kebutuhan nonpangan. Sebaliknya, jika pendapatan meningkat maka pengeluaran untuk non pangan akan semakin besar, mengingat kebutuhan pokok makanan sudah terpenuhi (Husaini et al. 2000). Berbagai faktor sosial ekonomi ikut mempengaruhi pertumbuhan anak. Faktor sosial ekonomi tersebut antara lain pendidikan, pekerjaan, teknoligi, budaya dan pendapatan keluarga. Faktor tersebut diatas akan berinteraksi satu dengan yang lainnya sehingga dapat mempengaruhi masukan zat gizi dan infeksi pada anak (Supariasa et al. 2002).

(32)

20

daya beli keluarga yang sangat berhubungan dengan kemiskinan (Soekirman 2000). Salah satu indikator BPS untuk dasar hitung perkiraan rumah tangga miskin yaitu dengan memakai data pengeluaran rumah tangga. Data pengeluaran rumah tangga diyakini lebih dapat dipercaya dibanding pendapatan (BPS 2007).

Soetjiningsih 1999 dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan penghasilan maka masalah gizi akan diatasi karena mempunyai efek terhadap makanan. Makin banyak pendapatan yang diperoleh berarti makin baik makanan sumber zat gizi diperoleh. Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak, karena orangtua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer maupun yang skunder.

Wilayah Tempat Tinggal

Lokasi tinggal dikaitkan dengan kurangnya akses makan, perawatan ibu dan anak yang terabaikan, kurangnya layanan kesehatan, lingkungan yang tidak sehat, yang pada gilirannya akan berefek negatif terhadap perkembangan kognitif anak. prevalensi gizi kurang pada anak jelas lebih buruk diarea pedesaan daripada perkotaan dan itu merupakan ciri khas dikebanyakan negara berkembang. Perbedaan tersebut bisa dijelaskan dengan merujuk pada penelitian yang menemukan bahwa tingkat pendidikan dan pengeluaran lebih tinggi diarea perkotaan daripada perdesaan. Rumah tangga diarea perkotaan memiliki akses untuk sanitasi dan air bersih, pendidikan ibu dan laki-laki dewasa yang baik.

Stunting biasanya paling menonjol didaerah pedesaan dan ini merupakan indikasi yang berkaitan dengan kondisi lingkungan (WHO 2003). Hasil Riskesdas (2010) menunjukkan bahwa balita yang tinggal diperkotaan memiliki prevalensi stunting lebih rendah daripada balita yang tinggal dipedesaan (Kemenkes 2010).

Sanitasi Lingkungan Rumah

Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebagainya (Notoadmojo 2003). Keadaan sanitasi lingkungan yang kurang baik memungkinkan terjadinya berbagai jenis penyakit. Penyakit-penyakit yang terjadi antara lain adalah diare dan infeksi saluran pernafasan.

Apabila anak menderita penyakit tersebut penyerapan zat-zat gizi akan terganggu dan akhirnya mengakibatkan penurunan berat badan. Bila terjadi dalam waktu lama maka anak akan menderita kurang gizi (Supariasa 2002). Sanitasi lingkungan di negara berkembang berada pada kategori buruk. Kondisi sanitasi yang buruk mempertinggi kejadian penyakit infeksi. Keadaan ini menyebabkan tingginya prevalensi gizi kurang. Perilaku hidup yang tidak sehat memicu terjadinya sanitasi lingkungan yang buruk dan memudahkan anak mengalami penyakit infeksi (Andersen 2005).

(33)

21 Merchant et al. (2003) terhadap 25483 anak usia 6 hingga 72 bulan di daerah perdesaan Sudan menemukan bahwa rata-rata z-skor TB/U anak-anak yang memiliki fasilitas air dan sanitasi sebesar -1.66 (baseline) dan -1.55 (endline), sedangkan anak yang tidak memiliki fasilitas air dan sanitasi ratarata zskornya -2.03 dan -1.94. Risiko stunting paling rendah pada anak-anak yang rumahnya memiliki fasilitas air dan sanitasi dibandingkan dengan anak yang rumahnya tidak memiliki fasilitas air dan sanitasi (RR= 0.79; 95%CI= 0.69-0.90).

Pemeriksaan Kehamilan

Pelayanan kehamilan (Antenatal Care) secara umum bertujuan untuk meningkatkan kesehatan ibu selama hamil sesuai dengan kebutuhan sehingga dapat menyelesaikan kehamilannya dengan baik dan melahirkan bayi yang sehat. Sedangkan secara khusus ANC bertujuan untuk mendeteksi ibu hamil dari faktor risiko tinggi dan menanggulangi sedini mungkin, merujuk kasus risiko tinggi ke tingkat pelayanan yang sesuai, memberi penyuluhan dalam bentuk Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) sehingga terjadi peningkatan cakupan dan merencanakan serta mempersiapkan persalinan sesuai dengan risiko yang dihadapinya (Manuaba 2001). Adapun yang menjadi sasaran pelayanan antenatal adalah ibu hamil. Pemeriksaan medik dalam pelayanan antenatal meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik diagnostik, pemeriksaan obstetrik dan pemeriksaan penunjang.

Pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan yang dilaksankan oleh tenaga kesehatan kepada ibu selama masa kehamilannya sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan. Indikator pelayanan antenatal meliputi: indikator K1 (kontak pertama pada trimester pertama) adalah akses ibu hamil untuk mendapat pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan. Sedangkan indikator K4 adalah akses/kontak ibu hamil dengan tenaga kesehatan dengan syarat minimal satu kali kontak pada triwulan I (usia kehamilan 0-3 bulan), minimal satu kali kontak pada triwulan II (usia kehamilan 4-6 bulan) dan minimal dua kali kontak pada triwulan III (usia kehamilan 7-9 bulan). Komponen antenatal minimal meliputi 5T yaitu pengukuran tinggi badan dan berat badan, pengukuran tekanan darah, pengukuran tinggi fundus, pemberian imunisasi tetanus toksoid (TT), pemberian tablet tambah darah (tablet Fe) selama kehamilan. Pelayanan ini hanya dapat diberikan oleh tenaga kesehatan dan tidak dapat dilakukan oleh dukun bayi (Kemenkes 2010).

(34)

22

KERANGKA PEMIKIRAN

UNICEF tahun 1998 diacu dalam Soekirman 2000 dan Black tahun 2005 menjelaskan tahapan penyebab timbulnya kurang gizi pada anak balita yaitu penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung yaitu intake zat gizi dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering diare atau demam akhirnya dapat menderita kurang gizi. Sebaliknya anak yang makan tidak cukup baik daya tahan tubuhnya (imunitas) dapat melemah. Dalam kenyataannya makanan dan penyakit secara bersama-sama merupakan penyebab kurang gizi.

(35)

23

Gambar 3 Kerangka Pemikiran

Karakteristik Anak Usia

Jenis kelamin

BB/U

Berat Badan Lahir

Konsumsi Zat Gizi Tk. Kecukupan Energi Tk. Kecukupan protein Tk. Kecukupan zat besi Tk. Kons kalsium Tk. Kecukupan Vit A

Mutu Gizi Pangan

Stunting (TB/U)

Lingkungan rumah: Jumlah air bersih

Kualitas air bersih

Akses air bersih

Jumlah air minum

Tempat pembuangan air limbah

Cakupan dan komponen Penyakit Infeksi

(Malaria)

Karakteristik Sosial Ekonomi: Pekerjaan orang tua

Pengeluaran

Wilayah tempat tinggal

Karakteristik Sosio-demografi: Usia orang tua

Tingkat pendidikan orang tua

Tinggi badan

Besar keluarga

Jumlah balita

Gambar

Gambar 1 Dampak Jangka Pendek dan Jangka Panjang Kekurangan Gizi (ACC/SCN 2000)
Gambar 2 Keranga Teori Penyebab Gizi Kurang pada Ibu dan Anak (Black et al. 2008), diadaptasi dari UNICEF 1998
Tabel 2 Angka Kecukupan Gizi Bagi Balita (0-6 Tahun)
Gambar 3 Kerangka Pemikiran
+7

Referensi

Dokumen terkait