• Tidak ada hasil yang ditemukan

Arahan Pengembangan Wilayah Berbasis Integrasi Usaha Ternak Sapi Potong dan Usahatani Padi di Kabupaten Bandung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Arahan Pengembangan Wilayah Berbasis Integrasi Usaha Ternak Sapi Potong dan Usahatani Padi di Kabupaten Bandung"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

ARAHAN PENGEMBANGAN WILAYAH

BERBASIS INTEGRASI USAHA TERNAK SAPI POTONG

DAN USAHATANI PADI DI KABUPATEN BANDUNG

RIA HERIAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Arahan Pengembangan Wilayah Berbasis Integrasi Usaha Ternak Sapi Potong dan Usahatani Padi di Kabupaten Bandung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

RINGKASAN

RIA HERIAWATI. Arahan Pengembangan Wilayah Berbasis Integrasi Usaha Ternak Sapi Potong dan Usahatani Padi di Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh KHURSATUL MUNIBAH dan WIDIATMAKA

Salah satu upaya untuk mewujudkan sistem pertanian berkelanjutan adalah pengembangan pola bertani dengan tetap memperhatikan ekosistem lahan dan efisiensi lahan. Pola integrasi usaha ternak sapi potong dengan lahan sawah diharapkan mampu membantu mewujudkan sistem pertanian berkelanjutan. Diversifikasi usahatani dan ternak diharapkan juga dapat ikut membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pupuk merupakan salah satu input produksi dalam usahatani padi dan penggunaan pupuk anorganik yang berlebihan dapat mengakibatkan penurunan kualitas lahan. Untuk jangka panjang, hal tersebut dapat mengakibatkan penurunan produktivitas lahan. Dalam usaha ternak, ketersediaan dan kontinuitas hijauan sebagai sumber pakan seringkali menjadi kendala. Sementara pakan sangat berkaitan dengan produktivitas ternak. Permasalahan lain dalam usaha ternak dan usahatani padi saat ini adalah keberadaan lahan. Saat ini lahan pertanian semakin menyempit akibat pembangunan dan kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan upaya bagaimana usaha pertanian dapat menjadi basis dalam pengembangan wilayah di kabupaten Bandung. Agar pelaksanaannya dapat berjalan efektif dan efisien, diperlukan inventarisasi sebaran dan luasan sawah aktual dan lahan yang sesuai secara ekologis untuk perkembangan sapi potong. Berdasarkan hal tersebut disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut; 1) dimana sebaran dan luasan sawah aktual?, 2) dimana sebaran dan luasan lahan yang sesuai dan optimal secara ekologis untuk pengembangan usaha ternak sapi potong?, 3) dimana lahan tersedia untuk pengembangan usaha ternak sapi potong integrasi usahatani padi berdasarkan nilai Indeks Daya Dukung hijauan makanan ternak?, 4) bagaimana keuntungan dari kegiatan pola usaha tersebut?, dan 5) bagaima arahan pengembangannya?.

Tujuan dari penelitian ini adalah; 1) menganalisis sebaran dan luasan sawah aktual di Kabupaten Bandung, 2) menganalisis kesesuaian lahan ekologis untuk pengembangan budidaya sapi potong di Kabupaten Bandung, 3) menganalisis sebaran lahan tersedia untuk pengembangan wilayah integrasi usaha ternak sapi potong dan usahatani padi, 4) menganalisis keuntungan pola usaha ternak integrasi usahatani padi, dan 5) merumuskan arahan pelaksanaan pengembangan wilayah integrasi usaha ternak sapi potong dan usahatani padi.

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Bandung sejak bulan Juni hingga November tahun 2014. Data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer merupakan hasil wawancara melalui penyebaran kuesioner kepada stekaholder yang berkaitan (peneliti, pelaku dan birokrat). Data sekunder dikumpulkan dari instansi terkait (BIG, Kementan RI, Kemen PU, BPS, Bappeda, Disnakan, Distanbunhut, dan BKP3). Analisis yang digunakan meliputi ; 1) Analisis tutupan lahan sawah aktual, 2) Analisis MCE, 3) Analisis GIS, 4) Analisis RC rasio, 5) Analisis SWOT.

(6)

luasan sebaran sawah aktual adalah 31.735 ha, terdiri dari sawah irigasi 28.497 ha dan tadah hujan 3.222 ha, dan terkonsentrasi di bagian tengah Kabupaten Bandung dan tersebar di 12 kecamatan, 2) hasil analisis MCE untuk kesesuaian lahan ekologis budidaya sapi potong menunjukkan bahwa sumber hijauan merupakan faktor paling berpengaruh (0,24) kemudian sumber air (0,19), curah hujan (0,17), tingkat kemiringan (0,15), elevasi (0,13), dan THI (0,12). Berdasarkan data tersebut, diperoleh luasan pengembangan sapi potong kesesuaian S1 32.745 ha, kesesuaian S2 62.897 ha, dan S3 seluas 47 ha. Sebagian besar lokasi berada di bagian tengah kabupaten Bandung dan semakin ke utara dan semakin ke selatan kelas kesesuaian semakin besar, 3) pengembangan wilayah berbasis integrasi usaha ternak sapi potong dan usahatani padi berdasarkan analisis spasial dapat diaplikasikan pada luasan lahan S1 7.730 ha, S2 5.420 ha, dan S3 0,01 ha, 4) nilai keuntungan atas lahan yang melakukan kegiatan integrasi mencapai 1.100 trilliun rupiah. Nilai RC rasio dari usaha untuk kegiatan integrasi lebih besar (2,24) dibandingkan usahatani padi non integrasi (2,12) dan usaha ternak sapi potong saja (1,27), 5) Berdasarkan analisis SWOT disimpulkan bahwa pengembangan wilayah berbasis integrasi usaha ternak sapi potong dan usahatani padi dapat menjadi solusi untuk meningkatkan produksi padi dan meningkatkan populasi ternak sapi potong melalui optimalisasi lahan dalam bentuk diversifikasi usahatani. Hal tersebut karena kabupaten Bandung memiliki kekuatan biofisik lahan dan luasan lahan sawah yang sangat besar. Maka strategi yang dapat dilakukan dalam pengembangan wilayah berbasis integrasi usaha ternak sapi potong dan usahatani padi ini adalah dengan membentuk kelompok-kelompok tani ternak yang melakukan kegiatan pertanian model integrasi tani ternak atau menggabungkan kelompok tani/ternak yang sudah ada. Tujuannya adalah untuk meningkatkan produk hasil pertanian beras dan daging serta efek perbaikan lingkungan dari kegiatan integrasi tersebut.

(7)

SUMMARY

RIA HERIAWATI. Regional Development Direction Based On Farming Integrated (Livestock-Paddy Field) In Bandung Regency. Supervised by KHURSATUL MUNIBAH and WIDIATMAKA.

One of the efforts to achieved sustainable agriculture systems is through farming pattern development with regard to land ecosystems and land efficiency. Integration models of livestock and paddy field farming were the form by optimalization and farming diversification that can be expected help to realization an integrated and sustainable agriculture systems. Based on that, is effort that the integration can be a solution to improve rice production and increase cattle population in Bandung regency.

As a result of that, we need to researched about how the implementation can be run effectinely and efficiently in Bandung regency. To completed this reseach, we collect the research questions as follows is where the distribution and actual paddy field and the distribution of suitable land for beef cattle development. Next, where is the suitable land for integrated farming based on value of Carrying Capacity Index and does not conflict with the local government spatial pattern plan. Finally, how much provitable and development direction for that implementation?.

The purpose of this study was analizing the actual paddy fields distribution and the ecological suitability of land for beef cattle farm development in Bandung regency. Next, analyzing the distribution of land available for developing integrated farming and formulating the direction of implementation regional agriculture development policy.

The experiment was conducted in Bandung regency from June until November 2014. The data used consist of primary data and secondary data. Primary data is the result of interviews by distributing questionnaires to stekaholder related (researchers, actors and bureaucrats). Secondary data was collected from relevant agencies (BIG, the Indonesian Ministry of Agriculture, Ministry of Public Works, BPS, Bappeda, Disnakan, Distanbunhut, and BKP3). The analysis includes; 1) Analysis of the actual paddy land cover, 2) Analysis of MCE, 3) Analysis of GIS, 4) Analysis of RC ratio, 5) SWOT Analysis.

(8)

rupiah. RC value ratio of effort for greater integration activities (2,24), rice farming only (2,12) and beef cattle only (1,27), 5) due to the SWOT analysis concluded that the development of the region-based integrated farming can be a solution to improve rice production and increase the cattle population through the optimization of the land in the form of farm diversification. This is because the districts of Bandung has the power biophysical land and wet land area is very large. The strategy can be done whereas by maximizing the function of farmer groups / livestock.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Perencanaan Wilayah

ARAHAN PENGEMBANGAN WILAYAH BERBASIS

INTEGRASI USAHA TERNAK SAPI POTONG DAN

USAHATANI PADI DI KABUPATEN BANDUNG

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(12)
(13)
(14)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul “ Arahan Pengembangan Wilayah Berbasis Integrasi Usaha Ternak Sapi Potong dan Usahatani Padi di Kabupaten Bandung” ini berhasil diselesaikan.

Ucapan terima kasih yang sangat dalam penulis sampaikan atas segala bantuan dan bimbingan atas terselesaikannya tesis ini. Dengan segala hormat penulis ucapkan kepada :

1. Ibu Dr Dra Khursatul Munibah, MSc selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr Ir Widiatmaka, DAA selaku anggota komisi pembimbing.

2. Bapak Prof Dr Ir Santun RP Sitorus selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

3. Pemerintah Kabupaten Bandung melalui Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan atas pemberian tugas belajar dan dukungan materi yang diberikan. 4. Kepala Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Kabupaten

Bandung atas izin dan kemudahan dalam penyelesaian study.

5. Kepala Pusbindiklatren Bappenas yang telah mengalokasikan anggaran beasiswa tugas belajar.

6. Segenap dosen pengajar dan asisten pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor atas bimbingan dan dukungannya.

7. Segenap staf Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah membantu kelancaran selama studi.

8. Suami, anak-anak, kedua orang tua, dan mertua serta keluarga besar atas segala dukungan dan do’a yang senantia mengalir dengan tulus ikhlas.

9. Rekan-rekan sesama peserta Program studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Angkatan 2013 atas kebersamaannya.

10.Kepala Unit Pelayanan Teknis (UPT) Pacet beserta rekan-rekan penyuluh peternakan (budak angon kabupaten Bandung) atas segala dukungan dan bantuan dalam perolehan data.

11.Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satupersatu atas bantuan dan dukungannya terutama dalam kemudahan perolehan data.

Saya menyadari bahwa penelitian ini tidak terlepas dari kesalahan dan kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran untuk kebaikan sangat saya hargai. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 4

Kerangka Pemikiran 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

Perencanaan Pengembangan Wilayah 5

Integrated Farming 6

Daya Dukung Wilayah 7

Potensi Usaha Ternak Sapi Potong dalam Usaha Pertanian 10

Analisis Usahatani 11

Sistem Informasi Geografis 11

Analisis Perumusan Strategi 12

3 METODE 12

Lokasi Penelitian 12

Jenis dan Sumber Data 13

Tahapan Penelitian 14

Asumsi dan parameter dalam Analisis / Aspek Teknis 15

Metode Analisis 17

Analisis Penggunaan Lahan 17

Analisis Kesesuaian Lahan 17

Analisa Usahatani 22

Analisis Kebijakan 23

Analisis Faktor Strategi Internal 23

Analisis Faktor Strategi Eksternal 24

Matriks SWOT 25

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26

Kondisi Geografis dan Demografi 26

Kondisi perekonomian 27

Kondisi Umum Peternakan 29

Produksi Limbah Hasil Pertanian 30

Produksi Pupuk Kandang dari Limbah Ternak 30

Kondisi Fisik Wilayah 31

(16)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 37

Kondisi Lahan Sawah 37

Lahan Aktual 37

Lahan Aktual Sawah Tersedia 38

Kesesuaian Lahan Ekologis untuk Ternak Sapi Potong dengan Pendekatan

Multi Criteria Evaluation (MCE) 39

Hasil MCE 39

Indeks Daya Dukung Limbah Sumber Hijauan Makanan Ternak 46

Kapasitas Tampung 47

Peta Kesesuaian Lahan Ekologis Berdasar Indeks Daya Dukung 49 Lahan Integrasi Usaha Ternak Sapi Potong dan Usahatani Padi 50

Model Kegiatan Integrasi 51

Analisis Usahatani 53

Nilai Tambah Kegiatan Integrasi 54

Strategi dan Arahan 55

Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal 58

Arahan Lahan Pengembangan Kegiatan Integrasi 61

6 SIMPULAN DAN SARAN 67

SIMPULAN 67

SARAN 67

DAFTAR PUSTAKA 68

LAMPIRAN 72

(17)

DAFTAR TABEL

1. Kandungan pupuk asal kotoran sapi 7

2. Pemanfaatan pupuk organik (ha/musim) 8

3. Kriteria kebutuhan lingkungan ternak sapi potong 9

4. Jenis dan sumber data sekunder 14

5. Matriks pencapaian tujuan penelitian 15

6. Asumsi penentuan lokasi pengembangan wilayah berbasis integrasi 16

7. Tabel kepentingan 19

8. Karakteristik pakan limbah tanaman pangan 20

9. Karakteristik potensi pakan hijauan setiap penggunaan lahan 20

10.Kriteria status IDD 21

11.Matriks penentuan prioritas 22

12.Perhitungan nilai tambah 23

13.Internal Strategic Faktor Analysis Summary (IFAS) 24 14.External Strategic Faktor Analysis Summary (EFAS) 24

15.Matriks SWOT 25

16.Komposisi dan tingkat kepadatan penduduk kabupaten Bandung

Tahun 2011. 27

17.PDRB kabupaten Bandung atas dasar harga konstan Tahun 2000 menurut lapangan usaha Tahun 2009 – 2012 (Juta Rupiah) 28 18.Produk domestik regional bruto kabupaten Bandung atas dasar harga

berlaku sektor pertanian Tahun 2009 – 2012 (Juta Rupiah) 29 19.Dinamika populasi ternak di kabupaten Bandung 29 20.Rataan produksi limbah tanaman pangan (ton/ha) 30

21.Komposisi pupuk organik 31

22.Rincian penggunaan lahan 31

23.Klasifikasi topografi 33

24.Rencana pola ruang 36

25.Perbandingan luasan lahan sawah aktual dan tersedia (Ha) 39 26.Derajat Kesesuaian untuk lahan pengembangan sapi potong berdasar

kriteria ekologis 42

27.Distribusi luasan lahan kesesuaian ekologis 45 28.Potensi dan ketersediaan hijauan makanan ternak 47 29.Kapasitas penambahan populasi ternak sapi potong berdasarkan DD

pada setiap kecamatan 48

30.Distribusi lahan tersedia integrasi (ha) 51

31.Perbandingan hasil usahatani integrasi dan non integrasi (rupiah/thn) 53

32.Rekapitulasi kebutuhan pupuk 54

33.Volume kebutuhan pupuk 54

34.Pendapatan agregat berdasarkan alternatif pengembangan 55

35.Matrik IF – EF 57

36.Matriks IFAS 58

37.Matriks EFAS 59

38.Matriks SWOT 60

(18)

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka pemikiran 5

2. Siklus integrasi tanaman ternak (IIRR 1992) 6

3. Peta wilayah penelitian 13

4. Diagram alur penelitian 14

5. Kerangka MCE untuk penetapan kesesuaian ekologis sapi potong 18

6. Matriks internal eksternal 25

7. Peta administrasi kabupaten Bandung 26

8. Penggunaan lahan 32

9. Peta jenis tanah 33

10. Peta aliran sungai dan irigasi 34

11. Peta RTRW 2008 -2028 35

12. Peta sebaran aktual sawah 37

13. Peta sebaran lahan sawah sesuai RTRW (2007 – 2027) 38

14. Nilai pembobotan hasil MCE 40

15. Tingkat kesesuaian masing-masing kriteria (1) Sumber hijauan, (2) Kelas Ketinggian, (3) Kelas Lereng, (4) Curah hujan, (5) Buffer

Sungai, (6) Peta THI 43

16. Peta kesesuaian ekologis ternak sapi potong 44 17. Peta indeks daya dukung hijauan makanan ternak 46 18. Peta kesesuaian usaha ternak sapi potong berdasar IDD 49 19. Peta lahan tersedia integrasi usaha ternak sapi potong 50

20. Model integrasi 52

21. Model integrasi berbasis Gapoktan 53

22. Matriks IF - EF 61

23. Model arahan integrasi di kabupaten Bandung 64

24. Peta arahan pengembangan 66

DAFTAR LAMPIRAN

1. Data suhu, kelembaban, dan THI 72

2. Hasil perhitungan SWOT (Rating) 73

3. Perhitungan analisa ekonomi 74

4. Perhitungan analisa usahatani ternak non integrasi (sapi) 75

5. Hitungan analisa usahatani integrasi 76

6. Perhitungan MCE 77

(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan pertanian efisien adalah pembangunan yang menempatkan sumberdaya alam sebagai satu kesatuan utuh yang terintegrasi (terpadu dan saling menunjang). Pertanian integrasi merupakan salah satu upaya dalam mewujudkan pembangunan pertanian berkelanjutan. Hal tersebut dapat dicapai melalui peningkatan usaha intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi dan rehabilitasi yang disesuaikan dengan kondisi tanah, air dan iklim dengan tetap memelihara kelestarian sumber alam dan lingkungan hidup.

Sebagian besar petani Kabupaten Bandung adalah petani konvensional dengan tujuan utama meningkatkan produktivitas pangan. Menurut Killebrew (2010), ciri pertanian konvensional adalah pertanian monokultur dengan pengolahan tanah intensif dengan penggunaan pupuk/insektisida anorganik/sintetis yang tinggi. Hal ini dilakukan sebagai akibat penggunaan varietas bibit unggul yang menuntut kebutuhan pupuk berkualitas tinggi. Padahal, penggunaan pupuk anorganik yang tinggi dapat mengakibatkan degradasi lahan. Scherr (2000) menyatakan, masalah degradasi lahan di daerah tropis merupakan hal yang serius berkaitan dengan semakin berkurangnya produktivitas lahan sementara pertanian merupakan mata pencaharian utama.

Peternak kabupaten Bandung merupakan peternak rakyat dan belum diusahakan secara optimal dengan tingkat kepemilikan ternak rendah. Kendala utama petani/peternak sapi potong adalah ketersediaan hijauan sebagai sumber pakan utama untuk ternak ruminansia yang harus ada sepanjang tahun. Kekurangan hijauan sering terjadi pada saat musim kemarau namun sebaliknya

pada musim hujan pakan berlimpah. Populasi sapi potong di kabupaten Bandung

berdasarkan BPS tahun 2011 adalah 36.849 ekor.

Ciri integrasi adalah terciptanya simbiosis antara ternak sebagai penghasil kompos dengan tanaman pangan penghasil bahan makanan. Limbah pertanian khususnya jerami padi merupakan limbah tanaman padi yang berpotensi sebagai sumber pakan ternak. Menurut Diwyanto et al. (2002), limbah jerami padi dapat dijadikan sebagai sumber pakan utama sapi dewasa untuk dua sampai tiga ekor/musim tanam sepanjang tahun disamping pakan lainnya. Pelaksanaan integrasi di Kabupaten Bandung belum optimal dimana pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak masih sedikit dilakukan peternak. Pembakaran jerami padi masih sering dilakukan petani dan pengolahan limbah kotoran ternak sebagai pupuk kandang belum banyak dilakukan. Padahal kandungan mikroorganisme dalam pupuk kandang berperan dalam mengatur komposisi dan ketersediaan nutrisi tanaman. Pupuk kandang menurut Chen (2006) mengandung mikroorganisme hidup dan membantu perluasan sistem akar dan perkecambahan biji yang lebih baik. Sebaliknya pupuk anorganik karena pemupukan N tinggi dapat mengurangi kolonisasi akar tanaman dengan mycorrihizae dan menghambat simbiosis fiksasi N oleh rhizobia.

(20)

2

penghasil pupuk. Luas kawasan budidaya pertanian berdasarkan alokasi tata ruang RTRW Kabupaten Bandung tahun 2007 - 2027 mencakup pertanian lahan basah adalah 33.866 ha, pertanian lahan kering seluas 11.729 ha, perikanan seluas 743 ha sementara luas lahan peternakan seluas 192 ha.

Lahan dalam usaha pertanian merupakan faktor produksi yang mutlak keberadaannya. Namun desakan kebutuhan lahan pemukiman seringkali mengorbankan lahan pertanian dan alih fungsi lahan pertanian umumnya terjadi di lahan sawah. Hal tersebut mengakibatkan kepemilikan luas lahan berkurang. Rataan penguasaan lahan sawah petani di kabupaten Bandung berdasarkan survei lapang saat ini adalah 0,2 ha. Prasetyo et al. (2002) menyatakan, sebagian besar petani Jawa Tengah menguasai lahan sekitar 0,25 – 0,3 ha. Apabila hanya melakukan usahatani tanaman dengan pola tanam padi-padi-jagung maka pendapatan permusim tanam berkisar antara Rp 446.800,00 sampai Rp 586.600,00. Kecilnya pendapatan tersebut mengakibatkan nilai lahan berkurang dan petani mengambil jalan pintas dengan menjual lahan sawah mereka atau beralih profesi. Maka perlu adanya upaya optimalisasi lahan yang secara langsung dapat meningkatkan produktivitas lahan untuk meningkatkan pendapatan petani.

Konsep pertanian terpadu (Integrated Farming) merupakan salah satu upaya dalam memaksimalkan sumberdaya lokal agar produktivitas usaha pertanian

menjadi maksimal. Konsep integrasi ternak dalam usaha pertanian atau Crop -

Livestock System (CLS) adalah menempatkan dan mengusahakan sejumlah ternak ruminansia tanpa mengurangi aktivitas dan produktivitas tanaman. Bahkan keberadaan ternak ini harus dapat meningkatkan produktivitas tanaman sekaligus dengan produksi ternaknya. Selain itu, merupakan alternatif dalam upaya peningkatan produksi melalui pembangunan pertanian berkelanjutan yang mampu melestarikan lingkungan serta mengurangi ketergantungan penggunaan pupuk

kimia dan pestisida dengan biaya relatif murah. Menurut Prasetyo et al. (2002)

penerapan CLS dapat meningkatkan efisiensi usaha dengan memanfaatkan input produksi dari dalam (internal input) dan mengurangi input produksi yang berasal dari luar seperti pengadaan pupuk untuk tanaman dan pengadaan pakan ternak dari limbah pertanian (low external input).

Berdasarkan hal tersebut, pola integrasi usaha ternak sapi potong dan usahatani padi berpotensi menjadi solusi untuk meningkatkan produksi padi dan meningkatkan populasi ternak sapi potong melalui optimalisasi lahan dalam bentuk diversifikasi usahatani. Namun sebelum diaplikasikan, perlu adanya perencanaan yang tepat agar arahan pengembangan dapat berjalan efektif dan

efisien. Rustiadi et al. (2011) menyatakan, bahwa dalam perencanaan

pengembangan wilayah secara umum ditunjang oleh empat pilar pokok, yaitu : (1) inventarisasi, klasifikasi, dan evaluasi sumberdaya, (2) Aspek ekonomi, (3) Aspek kelembagaan, dan (4) Aspek lokasi/spasial.

Perumusan Masalah

(21)

3 diantaranya menurut Chen (2006) adalah adanya pencucian lapisan tanah, pencemaran sumber daya air dan peningkatanan keasaman tanah. Kelebihan pasokan N dari pupuk urea menyebabkan tanaman lebih sensitif terhadap hama penyakit. Selain itu, pola pertanian monokultur berdampak pada pengurangan habitat serangga yang mengakibatkan peningkatan kebutuhan pestisida.

Permasalahan dalam usaha ternak sapi potong di kabupaten Bandung adalah ketersediaan hijauan makanan ternak yang terbatas. Penjualan ternak saat musim kemarau akibat kekurangan hijauan seringkali terjadi. Sumber hijauan dapat diperoleh melalui limbah tanaman pangan salah satunya lahan sawah. Menurut Diwyanto et al. (2002), jerami padi dapat mencapai 12 - 15 ton/ha/panen segar dan dapat digunakan sebagai pakan sapi dewasa sebanyak dua sampai tiga ekor/tahun dan pada lokasi yang mampu panen dua kali setahun dapat menunjang kebutuhan pakan berserat hingga empat hingga enam ekor/tahun. Namun pemanfaatan jerami padi sebagai hijauan masih terbatas pada saat musim panen dan belum terkoordinasi baik antara pemilik lahan sawah dengan pemilik ternak.

Tingginya konversi lahan pertanian merupakan permasalahan lain yang mengakibatkan luasan lahan pertanian berkurang. Berkurangnya lahan pertanian ini dapat mengakibatkan produktivitas hasil pertanian dan pendapatan petani turun. Usahatani pola CLS (Crop livestock System) menurut Suwandi (2008) memberikan harapan bagi petani lahan sempit untuk meningkatkan produksi dan keuntungan usahataninya dengan memperhatikan skala luas lahan yang dikelola bersama. Penerapan usahatani padi sawah pola CLS lebih dari dua tahun memberikan keuntungan 17,3% lebih tinggi dibandingkan dengan penerapan pola CLS kurang dari dua tahun. Namun, potensi ini baru diaplikasikan dalam skala petani dan belum diberdayakan secara regional. Hal tersebut dikarenakan informasi tentang pola integrasi masih terbatas parsial pada usaha sapi potong saja atau usahatani padi saja sementara dalam program integrasi, kedua komoditi tersebut harus saling melengkapi.

Berdasarkan uraian diatas, sangat penting untuk mengetahui potensi kedua komoditi tersebut. Salah satunya adalah informasi potensi lahan dan potensi keuntungan dari program integrasi tersebut. Oleh karena itu, untuk memudahkan

kajian disusun pertanyaan – pertanyaan penelitian berikut :

1. Dimana sebaran dan luasan lahan sawah aktual ?

2. Dimana sebaran dan luasan lahan yang sesuai dan optimal secara ekologis untuk pengembangan usaha ternak sapi potong ?

3. Dimana lahan tersedia untuk pengembangan wilayah berbasis integrasi usaha ternak sapi potong dan usahatani padi berdasarkan nilai Indeks Daya Dukung hijauan makanan ternak?

4. Bagaimana keuntungan dari kegiatan integrasi usaha ternak sapi potong dan usahatani padi?

5. Bagaimana strategi dan arahan pengembangan wilayah berbasis integrasi usaha ternak sapi potong dan usahatani padi?

Tujuan Penelitian

(22)

4

usahatani padi di Kabupaten Bandung. Tujuan tersebut disusun dalam lima rincian tujuan penelitian yaitu :

1. Menganalisis sebaran dan luasan lahan sawah aktual di Kabupaten Bandung. 2. Menganalisis kesesuaian lahan ekologis untuk budidaya sapi potong di

Kabupaten Bandung

3. Menganalisis sebaran lahan sawah tersedia untuk pengembangan wilayah berbasis integrasi usaha ternak sapi potong dan usahatani padi berdasarkan nilai Indeks Daya Dukung Hijauan Makanan Ternak.

4. Menganalisis keuntungan kegiatan integrasi usaha ternak sapi potong dan usahatani padi.

5. Merumuskan strategi dan arahan dalam pelaksanaan kegiatan pengembangan wilayah berbasis integrasi usaha ternak sapi potong dan usahatani padi di Kabupaten Bandung.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah

1. Menambah khasanah pengetahuan tentang faktor sumber daya lahan bagi para peneliti untuk kajian lanjutan yang lebih mendalam.

2. Memberikan masukan untuk pengembangan pembangunan pertanian yang kuat di Kabupaten Bandung.

Kerangka Pemikiran

Penelitian dilatarbelakangi oleh permasalahan tingginya penggunaan pupuk anorganik sebagai akibat pola pertanian yang konvensional. Umumnya dalam pertanian konvensional kegiatan pertanian dilakukan secara terpisah (monokultur) antara pertanian dengan peternakan. Hal tersebut mengakibatkan lahan tidak dikelola secara optimal. Padahal dengan pemanfaatan jerami padi dari lahan sawah yang dimiliki kabupaten Bandung yaitu 31.735 ha akan dihasilkan jerami sebanyak 270.687 ton BK/ha. Berdasar asumsi kebutuhan ternak sapi potong 6,25kg/hari (NRC 1984) maka jerami tersedia dapat mencukupi ternak sapi potong hingga 118.670 ekor selama setahun. Sementara populasi sapi potong pada tahun 2011 adalah 36.849 ekor, sehingga disimpulkan bahwa pemanfaatan limbah jerami padi baru 32%.

Produktivitas padi berdasarkan penelitian Basuni (2012) di kabupaten Cianjur meningkat sekitar 10,29% dibandingkan pola kebiasaan petani dan menurunkan penggunaan pupuk anorganik sebesar 53,33%. Berdasarkan hal tersebut melalui integrasi pertanian produksi padi sawah pada tahun 2011 dapat dimaksimalkan hingga 521.498 ton.

(23)

5 Penentuan lokasi merupakan hal penting dalam pengembangan wilayah berbasis integrasi karena berkaitan dengan keberhasilan dan keberlanjutan usaha budidaya. Sapi potong dapat tumbuh optimal pada lahan yang sesuai secara ekologis untuk tumbuh dan keberadaan lahan sawah sebagai basis integrasi perlu diketahui potensinya. Berdasarkan hal tersebut, dalam penentuan lokasi didasarkan pada pertimbangan aspek sumber daya fisik lahan, finansial, dan sosial/budaya. Kerangka pemikiran digambarkan dalam Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pemikiran

2

TINJAUAN PUSTAKA

Perencanaan Pengembangan Wilayah

Perencanaan pengembangan wilayah berkaitan dengan bagaimana suatu wilayah dapat berkembang sesuai dengan perencanaan tataruangnya sehingga pemanfaatan ruang dapat efisien dan berkelanjutan. Penataan ruang menurut Undang-undang nomor 26 tahun 2007 merupakan satu kesatuan dari suatu sistem  Umumnya kegiatan pertanian di Kabupaten Bandung merupakan pola pertanian

konvensional

 Sumber daya lokal belum dimanfaatkan secara maksimal

 Meningkatnya kebutuhan ekonomi mengakibatkan meningkatnya tingkat konversi lahan petanian.

dan evaluasi sumberdaya Ekonomi Aspek Kelembagaan Aspek Spasial

(24)

6

perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Sehingga diharapkan (1) dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan, (2) tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang dan (3) tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang. Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam penataan ruang harus didasarkan pada karakteristik, daya dukung dan daya tampung lingkungan serta didukung oleh teknologi yang sesuai untuk meningkatkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan subsistem.

Semakin terbatasnya sumberdaya alam yang tersedia dan kebutuhan manusia yang terus meningkat menumbuhkan kesadaran untuk efisiensi pemanfaatan sumberdaya alam. Lebih dari itu, pemanfaatan sumberdaya alam tidak boleh mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang. Konsep tersebut dalam perencanaan dan pengembangan wilayah dikenal sebagai pembangunan berkelanjutan (Sustainable development), yaitu suatu konsep pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan generasi yang akan datang (Rustiadi et al. 2011).

Integrated Farming

Ciri utama komplementasi tanaman-ternak adalah adanya sinergisme atau keterkaitan saling menguntungkan antara tanaman dan ternak. Melalui pola integrasi dapat meningkatkan produksi daging dan membangkitkan kembali fungsi dan peran ternak sapi sebagai sumber tenaga kerja, pupuk dan gas bio yang merupakan sumber energi terbarukan (Kusnadi 2008). Siklus integrasi tanaman ternak ditampilkan pada Gambar 2.

Gambar 2 Siklus integrasi tanaman ternak (

IIRR 1992

)

(25)

7 ekonomi bagi petani dan (6) memberikan manfaat sosial bagi petani dan masyarakat.

Pupuk kandang memiliki kemampuan paling efektif dalam mempertahankan bahan organik tanah dan fraksi bahan organik labil. Hasil investigasi Nyalemgbe (2009) pada tanah vertisol yang terdiri dari tanah liat montmarillonite menunjukkan bahwa pemanfaatan kombinasi pupuk kandang dengan pupuk komersial N, P secara signifikan dapat memperbaiki kondisi tanah dan meningkatkan produksi padi.

Menurut Suwandi (2005), dibandingkan dengan petani yang tidak mengadopsi pola sistem integrasi tanaman - ternak, usaha padi sawah pola ini mampu meningkatkan produksi padi sebesar 23,6% dengan keuntungan 14,7% lebih tinggi. Peningkatan penggunaan pupuk kandang sebesar satu unit dapat meningkatkan produksi padi sebesar 0,125 dengan peningkatan keuntungan usahatani sebesar 0,134. Perbaikan aplikasi pupuk kandang sesuai standar teknis ternyata mampu meningkatkan produksi dan pendapatan petani.

Russelle et al. (2007) dalam Hilimire (2011) menyatakan, integrasi dibagi dalam tiga tipe yaitu :

a. Spasial dipisahkan, dimana hewan dipelihara dalam bagian yang terpisah dengan tanaman.

b. Rotasi, dimana ternak dan tanaman dibudidayakan dalam satu tempat tetapi berbeda waktu.

c. Kombinasi, dimana ternak dibiarkan diantara tanaman seperti ternak - sawit atau mina-padi.

Daya Dukung Wilayah

Pengembangan Sapi Potong Integrasi Sawah

Manfaat memelihara sapi potong dalam usahatani padi adalah kemudahan memperoleh pupuk organik. Umumnya pupuk organik berasal dari sisa tanaman dan kotoran hewan yang telah mengalami proses dekomposisi atau pelapukan disebut kompos. Bahan organik berpengaruh terhadap pasokan hara tanah dan mempengaruhi sifat fisik, biologi, dan kimia tanah lainnya. Menurut Atmojo (2013) kandungan bahan organik yang cukup dapat memperbaiki kondisi tanah agar mudah dalam pengolahan tanah. Kandungan pupuk organik yang berasal dari kotoran sapi ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Kandungan pupuk asal kotoran sapi Zat hara unsur

mikro

Kadar (%) C/N Ratio

Feses segar kompos Feses segar Kompos

Nitrogen 0,59 1,12

(26)

8

Sistem integrasi usahatani padi dan sapi berdasarkan penelitian Kariyasa (2003) di empat propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan NTB mampu menghemat penggunaan pupuk urea, SP 36 dan KCL berturut-turut 83 kg, 34 kg, dan 36 kg perhektar dengan rata-rata produksi gabah petani SIPT sedikit lebih tinggi 14,70 ton/ha dibandingkan non SIPT 14,51 ton/ha.

Basuni (2012) menyatakan, penggunaan pupuk kandang dapat menghemat pemakaian pupuk anorganik hingga 40% (efisiensi penggunaan pupuk ditampilkan pada Tabel 2). Berdasarkan data tersebut, maka penggunaan pupuk dapat menurunkan biaya produksi usahatani padi.

Tabel 2 Pemanfaatan pupuk organik (ha/musim)

No Jenis Pupuk Volume (Kg) Efisiensi (%)

Evaluasi lahan merupakan proses penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaan–penggunaan tertentu. Hasil evaluasi lahan digambarkan dalam bentuk peta sebagai dasar perencanaan tataguna lahan agar dapat digunakan secara optimal dan lestari. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya dapat menimbulkan terjadinya kerusakan lahan. Berdasarkan hal tersebut, sangat perlu diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaian/kemampuan lahan untuk tipe penggunaan lahan tertentu (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Dasar dilakukannya evaluasi lahan adalah:

1. Sifat lahan beragam, sehingga perlu dikelompokkan ke dalam satuan-satuan yang lebih seragam, yang memiliki potensi yang sama;

2. Keragaman ini mempengaruhi jenis-jenis penggunaan lahan yang sesuai untuk masing-masing satuan lahan;

3. Keragaman ini bersifat sistematik sehingga dapat dipetakan;

4. Kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu dapat dievaluasi dengan ketepatan tinggi bila data yang diperlukan untuk evaluasi cukup tersedia dan berkualitas baik;

Klasifikasi kesesuaian lahan menurut sistem FAO (1976) dibagi menjadi empat kategori yaitu ordo, kelas, sub-kelas dan unit. Hasil analisis kesesuaian lahan pada tingkat kelas dikelompokan menjadi lima kelas, yaitu:

(27)

9 2. S2: cukup sesuai (suitable), lahan mempunyai faktor pembatas yang agak besar dan berpengaruh terhadap produktivitas serta meningkatkan input (masukan) yang diperlukan;

3. S3: sesuai marginal (marginally suitable), lahan mempunyai faktor pembatas yang berat dan berpengaruh terhadap produktivitas serta meningkatkan input (masukan) yang diperlukan;

4. N1: tidak sesuai saat ini (currently not suitable), lahan mempunyai kesulitan yang dapat mencegah penggunaan lahan untuk budidaya. Lahan tidak sesuai karena faktor fisik (lereng sangat curam, dan lain sebagainya) dan secara ekonomi (keuntungan yang didapat lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan). 5. N2: tidak sesuai untuk selamanya (permanently not suitable), lahan

mempunyai pembatas permanen yang mencegah kemungkinan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang.

Lahan merupakan faktor produksi dalam usaha peternakan dimana lahan berfungsi sebagai lahan tumbuh sumber hijauan makanan ternak. Menurut Rusmana et al. (2006), tingkat kesesuaian lahan untuk ternak sangat dipengaruhi oleh faktor kondisi alamnya, semakin tinggi kesuburan tanah semakin besar peluang ternak untuk berkembang. Persentase kelerengan menjadi faktor pembatas karena semakin tinggi nilai persentasenya semakin kecil peluang ternak berkembang yaitu pada kemiringan >15 - 40% dan > 40 % diklasifikasikan NS (tidak sesuai). Ebro (2009) dalam Fikadu (2011) menambahkan bahwa hewan memiliki persyaratan lingkungan biofisik yang spesifik untuk ternak tumbuh dan berproduksi. Kondisi tersebut disebut kondisi lingkungan yang optimal tidak berpengaruh buruk pada pertumbuhannya. Kriteria kondisi optimum dilihat berdasarkan curah hujan, suhu, kemiringan, tanah, penggunaan lahan/penutupan lahan, ketinggian, biomassa perhektar dari jenis tutupan lahan. Kriteria kebutuhan lingkungan ternak sapi potong ditampilkan dalam Tabel 3.

Tabel 3 Kriteria kebutuhan lingkungan ternak sapi potong Kriteria Kisaran Kesesuaian

Sumber : Ebro (2009) dalam Lemmessa (2011)

(28)

10

Lahan Sawah dan Daya Dukung Jerami Padi

Kebutuhan pakan hijauan dalam manajemen budidaya ternak sapi potong merupakan komponen tertinggi yaitu 60—70 % dari seluruh biaya produksi. Oleh karena itu perlu ada perhatian dalam penyediaannya baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Adapun kebutuhan pokok konsumsi hijauan makanan ternak untuk setiap harinya adalah 10% dari bobot badan ternak. Penempatan ternak harus mempertimbangkan keseimbangan daya dukung diantaranya aspek ketersediaan hijauan pakan ternak, limbah dari hasil industri pertanian yang melimpah, kesesuaian lahan dan sumberdaya manusia yang terampil dan cekatan. Perhitungan nilai indeks daya dukung minimum 2 yaitu ketersediaan sumberdaya pakan secara fungsional mencukupi kebutuhan fungsional mencukupi kebutuhan ternak dan lingkungan secara efisien (Ashari et al. 1996).

Menurut Diwyanto et al. (2002), dari setiap hektar lahan sawah dapat dihasilkan 12–15 ton limbah jerami padi segar/ha/musim tanam dengan variasi berdasarkan varietas dan lokasi penanaman. Limbah jerami padi ini dapat digunakan untuk pakan sapi dewasa sebanyak dua – tiga ekor sepanjang tahun, sehingga pada satu ha sawah dengan waktu panen dua kali per tahun akan tersedia pakan ternak untuk empat – enam ekor ternak sapi. Lebih lanjut dikatakan komposisi kimia jerami padi meliputi bahan kering 71,2%, protein kasar 3,9%, lemak kasar 1,8%, serat kasar 28,8%, BETN 37,1%, dan TDN 40,2%. Namun jerami memiliki faktor pembatas yaitu, nilai gizinya yang rendah yaitu mengandung serat kasar dan silikat dalam jumlah tinggi, sedang daya cerna sangat rendah yang dipengaruhi adanya ikatan lignin, silikat dan kutin. Manfaat jerami padi masih dapat ditingkatkan melalui proses kimia atau dengan teknologi pengolahan sehingga dapat meningkatkan efektifitas daya cerna.

Potensi Usaha Ternak Sapi Potong dalam Usaha Pertanian

Potensi usaha ternak sapi potong dalam usaha pertanian adalah kegiatan diversifikasi usahatani yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat disamping kelestarian lahan melalui penekanan penggunaan pupuk anorganik dengan pemanfaatan pupuk kandang. Program ketahanan pangan nasional, melalui ketahanan karbohidrat dengan upaya swasembada beras, mulai dirasakan perlunya upaya mendukung dan melengkapi kebutuhan karbohidrat dengan pemenuhan kebutuhan protein hewani berupa telur dan daging. Maka pengembangan sub sektor peternakan sebagai bagian integral dari program pembangunan pertanian dan pembangunan nasional, untuk memperbaiki gizi masyarakat, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, menyediakan lapangan kerja serta menghemat devisa negara.

(29)

11 Berdasarkan analisis fungsi keuntungan diperoleh hasil bahwa usahatani padi pola CLS telah memberikan keuntungan maksimum pagi petani, yang berarti pertimbangan harga input secara keseluruhan telah dialokasikan secara optimal. Menurut Suwandi (2008), hasil analisis finansial usahatani tanpa pola CLS menghasilkan NPV sebesar Rp 24,6 juta dan B/C rasio sebesar 1,45 lebih besar dari pada pola non CLS yaitu NPV sebesar 8,4 juta. Basuni (2012) menyatakan bahwa pendapatan yang diperoleh dari sapi yang dikelola secara terintegrasi (1 ha sawah dan 2 ekor sapi) mencapai Rp 4.543.433/ ekor/ musim. Penerimaan sebesar Rp 25.446.160 dan biaya mencapai Rp 16.359.293 dengan nilai R/C ratio 1,56.

Kontribusi penerimaan kompos dari usaha ternak integrasi usahatani padi menurut Basuni (2012) mencapai 10,02% dari keuntungan yaitu sebesar Rp 960.000 untuk setiap empat bulan. Nilai tersebut diketahui bahwa setiap ekor sapi potong dewasa mampu menghasilkan pupuk organik rata-rata perhari adalah 4kg/ekor.

Analisis Usahatani

Analisis usahatani penting dilakukan terhadap usaha pertanian, menurut Soekartawi et al. (1990) dalam Soekartawi (2002) bahwa analisis usahatani dimaksudkan untuk mengetahui atau meneliti ; 1) keunggulan komparatif; 2) kenaikan hasil yang semakin menurun; 3) substitusi; 4) pengeluaran biaya usahatani; 5) biaya yang diluangkan; 6) pemilikan cabang usaha; dan 7) baku - timbang tujuan. Tujuan utama dari analisis usahatani ini dilakukan untuk mengetahui efisiensi usahatani. Efisiensi usahatani dibagi dalam :

a. Efisiensi produksi (fisik) yaitu banyaknya hasil produksi fisik yang dapat diperoleh dari satu kesatuan faktor produksi (input).

b. Efisiensi ekonomi, yaitu efisiensi yang dinilai dengan uang.

Apabila rasio hasil efisiensi ekonomi yaitu efisiensi yan dinilai dengan uang. Apabila rasio hasil bersih (netto) dengan biaya produksi makin tinggi berarti semakin efisien. Penggunaan faktor produksi dianggap paling efisien apabila faktor-faktor produksi itu sudah dikombinasikan sedemikian rupa sehingga rasio dari tambahan hasil fisik (marginal physical product) dari faktor produksi dengan harga faktor produksi sama untuk setiap faktor produksi yang dipergunakan.

Return cost ratio (R/C) adalah perbandingan antara penerimaan penjualan dengan biaya - biaya yang dikeluarkan selama proses produksi hingga menghasilkan produk. Usaha peternakan akan menguntungkan apabila nilai R/C > 1. Semakin besar nilai R/C semakin besar pula tingkat keuntungan yang akan diperoleh dari usaha tersebut.

Sistem Informasi Geografis

(30)

12

tersebut diolah bersama secara terintegrasi dengan menjadikan atribut posisi geografis sebagai faktor penghubung kunci. Proses ini merupakan analisis yang dilakukan dengan tujuan mendapatkan unit spasial baru yang diasumsikan homogen dimana pada unit tersebut terdapat seluruh informasi yang akan dijadikan dasar penetapan lahan tersedia.

Multicriteria Evaluation (MCE) secara umum didefinisikan sebagai sebuah cara pengambilan keputusan dan sebuah alat matematis yang memungkinkan perbandingan dari berbagai alternatif atau skenario berdasarkan banyak kriteria, seringkali konflik, dengan tujuan memberi petunjuk pada pengambil keputusan untuk mengambil tindakan yang adil/objektif (Chakkar dan Mousseau, 2007). Analisis MCE seringkali diintegrasikan dengan SIG karena merupakan teknik yang sangat baik dalam manajemen dan perencanaan ruang serta memiliki kemampuan dalam menangani masalah-masalah spasial (Lawal et al. 2011). Menurut Chakkar dan Mousseau (2007) analisis multikriteria spasial merupakan analisis multi kriteria dalam konteks spasial dimana pilihan alternatif, kriteria, dan unsur lainnya secara eksplisit mengandung informasi spasial/ keruangan.

Analisis Perumusan Strategi

Perumusan strategi adalah mengenali peluang dan ancaman eksternal, menetapkan kekuatan dan kelemahan internal dan memilih strategi tertentu untuk dilaksanakan. Strategi itu sendiri merupakan alat untuk mecapai tujuan. SWOT Menurut Ferrel dan Harline (2005) dalam Rangkuti (2013), analisis SWOT berfungsi untuk mendapatkan informasi dari analisis situasi dan memisahkannya dalam pokok persoalan internal (kekuatan dan kelemahan) dan pokok persoalan eksternal (peluang dan ancaman). Menurut Rangkuti (2013) kinerja perusahaan dapat ditentukan oleh kombinasi faktor internal dan eksternal. Kedua faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam analisis SWOT. SWOT adalah singkatan dari lingkungan Internal Strengths dan Weaknesses serta lingkungan external Opportunities dan Threats yang dihadapi dunia bisnis. Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal Peluang (Opportunities) dan Ancaman (threats) dengan faktor internal kekuatan (strength), dan kelemahan (weaknesses).

3 METODE

Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai November 2013. Lokasi penelitian di Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat. Secara geografis kabupaten Bandung terletak pada 6049’ – 7018’ Lintang Selatan dan 107014’ - 107056’ Bujur Timur.

(31)

13 berbatasan dengan kota Bandung dan kota Cimahi. Peta wilayah penelitian pada skala 1 : 25.000 ditampilkan pada Gambar 3.

Gambar 3 Peta wilayah penelitian

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri data primer dan data sekunder. Data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui instansi terkait yang berwenang. Data primer berupa data yang langsung dikumpulkan secara langsung melalui wawancara dengan responden terpilih.Sumber data merupakan responden yang dipilih berdasarkan kriteria. Responden tersebut terdiri dari ; (1) pakar yaitu peneliti dari Balai Penelitian Ternak (1 orang) dan dosen Fakultas Peternakan IPB (1 orang); (2) petani pelaku integrasi (2 orang) dan non integrasi (1 orang); dan (3) steakholder setempat meliputi Himpunan Kelompok Tani Indonesia (1 orang), pejabat struktural dinas terkait masing-masing satu orang (Disnakkan, Distanbunhut, BKP3) dan perwakilan anggota DPRD tk 2 (1 orang). Jenis dan sumber data ditampilkan secara rinci dalam Tabel 4.

(32)

14

Tabel 4 Jenis dan sumber data sekunder

Tahapan Penelitian

Penelitian terdiri lima tahap yaitu; (1) analisis citra (2) analisis MCE dan analisis DD (3) analisis ketersediaan lahan, (4) analisis usahatani dan model integrasi (5) analisis SWOT. Alur penelitian ditampilkan pada Gambar 4.

Gambar 4 Diagram alur penelitian

No Jenis Data Sumber Keterangan 1. Peta Administrasi Badan Informasi Geospasial Skala 1 : 25.000 2. Peta Lereng Badan Informasi Geospasial

3. Peta Ketinggian SRTM SRTM 90 m 4. Landuse Ikonos 2010 5. Citra Ikonos Kementrian Pertanian

6. Peta RTRW Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kab. Bandung

Skala 1 : 25.000

7. Curah Hujan Kementrian Pekerjaan Umum 8. Suhu dan Kelembaban Data Lapang

9. Peta Irigasi Dinas Sumber Daya Air dan Pemukiman Kab. Bandung 10. Data Populasi Ternak Dinas Peternakan dan

Perikanan Kab. Bandung 11. Data Podes BPS Pusat

12. Data Luas Tanam/Panen Tanaman Pangan

Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kab. Bandung 13. Rencana Definitif

Kebutuhan Kelompok

(33)

15 Tujuan penelitian ini adalah membuat arahan strategi dan kebijakan pengembangan wilayah berbasis integrasi usaha ternak sapi potong dan usahatani padi di Kabupaten Bandung. Hasil berupa rekomendasi prioritas wilayah pengembangan berdasarkan kecamatan berikut strategi pengembangannya. Untuk mencapai tujuan tersebut, disusun matriks pencapaian tujuan penelitian yang dijabarkan dalam Tabel 5.

Tabel 5 Matriks pencapaian tujuan penelitian No Tahapan

 Citra Ikonos Kementan Analisis penggunaan

Asumsi dan parameter dalam Analisis / Aspek Teknis

(34)

16

budidaya padi serta (3) pengelolaan jerami dan kompos. Pola pemeliharaan ternak dilakukan dengan pola cut and carry dimana kandang berada di halaman berdekatan dengan pemukiman (back yard farming system). Berdasarkan hal tersebut, desain yang dibentuk adalah sapi dipelihara dalam kandang dan kotoran dikumpulkan untuk dijadikan kompos. Selanjutnya kompos dijadikan sumber utama pupuk bagi lahan sawah di lokasi tersebut. Jerami padi sebagai limbah dari sawah tersebut dimanfaatkan sebagai pakan hijauan ternak dan diberikan dalam bentuk segar atau olahan (silase dan hay). Limbah jerami padi dimanfaatkan sebagai pakan basal sebesar 70% dan 30% diperoleh dari hijauan diluar sawah. Jenis ternak yang dibudidayakan adalah sapi potong jenis PO (Peranakan Ongole) atau lokal. Hal ini dikarenakan kemampuan sapi tersebut lebih adaptif terhadap pakan dengan serat kasar tinggi. Hartati et al. (2005), pada pembesaran sapi PO lebih menguntungkan dibandingkan dengan sapi silangan (Simmental atau Limousin) dimana pertambahan bobot hidup harian sapi PO nyata lebih besar (0,85 kg) daripada sapi silangan (0,82 kg/hari). Asumsi dalam penentuan lokasi untuk pengembangan sapi potong integrasi sawah diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan pakar dan pelaku disajikan dalam Tabel 6.

Tabel 6 Asumsi penentuan lokasi pengembangan wilayah berbasis integrasi

Faktor Sub Faktor Nilai Bobot

A. Aksesibilitas (0,33) Jarak kandang dengan <50 meter 0,27 pemukiman (0,58) 50 – 100 meter 0,33 >100 meter 0,38 Jarak kandang dengan sawah <100 meter 0,43

(0,41) 100 – 500 meter 0,33 Jumlah ternak sapi potong <50 ekor 0.2

(0,26) 50 - 100 ekor 0.33

> 100 ekor 0.46

Teknologi (0,35) Pakan 0.42

IB 0.26

Kompos 0.31

(35)

17 ternak sapi dalam lokasi integrasi > 100 ekor diasumsikan dalam satu lokasi integrasi terdapat dua kelompom tani dengan setiap kelompok tani terdiri dari 20 anggota dan enam ekor setiap anggota. Hal ini berkaitan dengan efektifitas dan efisiensi kemudahan pelayanan dan sarana prasarana. Peningkatan optimalisasi dicapai dengan aplikasi teknologi melalui pengolahan pakan dan kompos. Luasan sawah berkaitan dengan produktivitas maka luas lahan sawah lebih dari 10 ha dianggap lebih optimum dijadikan lokasi integrasi dibandingkan lokasi lahan kurang dari 10 ha.

Faktor kendala yang yang diperhatikan dalam penentuan lahan menunjukkan pembatas dalam pemilihan alternatif untuk penentuan lokasi kesesuaian lahan. Lahan yang ditetapkan sebagai kendala dikeluarkan dari analisis kesesuaian lahan. Kendala yang diperhatikan dalam penelitian ini berasal dari aspek penggunaan lahan berkaitan dengan fungsinya sebagai sumber hijauan pakan ternak dan lokasi pemeliharaan yaitu permukiman, lahan terbangun, lokasi tambang, industry, badan air, elevasi > 1.500 mdpl, dan lereng > 15%.

Metode Analisis

Analisis Penggunaan Lahan

Analisis dilakukan melalui interpretasi citra Ikonos 2010 untuk memperoleh peta penggunaan lahan. Peta penggunaan lahan digunakan sebagai dasar identifikasi lahan aktual sebaran lahan sawah untuk memperoleh peta sawah aktual dan sebagai dasar pembobotan.

Analisis Kesesuaian Lahan

Analisis Kesesuaian Ekologis untuk Sapi Potong

Kesesuaian lahan ekologis untuk sapi potong diperoleh melalui analisis spasial dengan metode Multi Criteria Evaluation (MCE). Metode MCE merupakan salah satu metode dalam Sistem Informasi Geografis yang melakukan penetapan kriteria melalui pembobotan. Kriteria terdiri dari faktor dan sub faktor yang berkaitan dengan tujuan dari analisis dan disajikan dalam kerangka analisis MCE. Kerangka analisis penelitian ini ditampilkan pada Gambar 5. Melalui Gambar 5. diuraikan bahwa tujuan dari analisis MCE adalah menentukan kriteria kesesuaian lahan ekologis untuk ternak sapi potong di kabupaten Bandung.

Analisis diawali dengan pembuatan peta masing-masing faktor kriteria dengan masing-masing analisis. Analisis proximity dilakukan pada pembuatan peta THI dan jarak sumber air. Nilai THI diperoleh berdasarkan perhitungan persamaan menurut Griffith dalam Rohman (2000) :

THI = T – 0.55 (1 – RH/100) (T – 58) ... (1) T = Suhu udara (F) = 9/5 (0C) + 32

RH = Kelembaban udara

(36)

18

kebun, sawah, dan hutan. Peta lereng diperoleh berdasarkan peta rupa bumi BIG melalui proses pembuatan lereng. Peta curah hujan diperoleh berdasarkan data Pusat Air kementrian PU dan diklasifikasikan dalam empat kelompok (<1.000 mm/thn, 1000 – 2.000 mm/thn, 2.000 – 3.000 mm/thn, dan > 4.000 mm/thn).

(37)

19 persamaan matematik untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif yang ada. Konsistensi penilaian dilakukan dengan perhitungan CR (Concistency Ratio).

Tabel 7 Tabel kepentingan

Nilai derajat kesesuaian diperoleh melalui teknik Weighted Linear Combination (WLC) (Malczewski 2006) berdasarkan nilai bobot yang diperoleh. Bobot sub-faktor berperan sebagai derajat kesesuaian yang akan digunakan dalam persamaan WLC. Persamaan WLC secara umum adalah:

………. (2) WLC = Weighted Linear Combination;

Xij = Bobot sub-faktor ke-j di lokasi ke-i; Wij = Bobot faktor ke-j di lokasi ke-i; n = Jumlah faktor;

Cj = konstrain (kendala).

Peta kesesuaian lahan ekologis ternak sapi potong dilakukan secara bertahap melalui fungsi overlay yaitu intersect pada enam faktor (sumber hijauan (hutan, sawah, dan ladang/tegalan), sumber air (jarak sungai dan irigasi), kelerengan, kemiringan, curah hujan, dan nilai THI). Lahan yang berfungsi sebagai pembatas (constraint) tidak dimasukkan dalam overlay. Lahan pada tingkat elevasi > 2.000 mdpl dan kemiringan > 30% dianggap sebagai faktor pembatas atau kendala (Constrain) dan diberi nilai 0. Fasilitas umum, industri, institusi, permukiman, jalan, rawa, waduk dan daerah tambang tidak dimasukkan dalam penilaian dan dianggap sebagai kategori TN (Tidak Nilai).

Langkah berikut adalah menambahkan field dan melakukan perhitungan menggunakan field calculator berdasarkan persamaan WLC. Kelas ditentukan dengan metode query yaitu SQL (Select By Attributes) dibagi dalam empat kelas. Penentuan batas selang kelas menggunakan rumus :

Batas Selang Kelas = WLC max – WLC min ... (3) Jumlah Kelas

Analisis Daya Dukung dan Kapasitas Tampung Limbah Tanaman Pangan

Daya dukung hijauan makanan ternak adalah kemampuan suatu wilayah untuk menghasilkan pakan ternak terutama hijauan yang dapat dihasilkan bagi kebutuhan sejumlah populasi sapi potong. Daya dukung hijauan didasarkan produksi limbah tanaman pangan dalam bahan kering cerna (BKC) terhadap kebutuhan satu satuan ternak (1 ST) sapi potong dalam satu tahun. Kebutuhan

Nilai Keterangan

1 A sama penting dengan B 3 A sedikit lebih penting dari B 5 A jelas lebih penting dari B 7 A sangat jelas lebih penting dari B 9 A mutlak lebih penting dari B

(38)

20

minimum dihitung dalam (BKC) yang diasumsikan berdasarkan perhitungan Sumanto dan Juarini (1996) dalam Pelitawati (2006) (persamaan 4).

K = 2.5% x 50% x 365 x 250 kg = 1,14 ton BKC/Thn/ST ... (4) K = Kebutuhan pakan minimum untuk 1 ST dalam ton bahan

kering tercerna selama satu tahun

2,5% = Kebutuhan minimum jumlah ransum hijauan pakan (bahan kering) terhadap berat badan

50% = Nilai rata-rata daya cerna berbagai jenis tanaman 365 = Jumlah hari dalam satu tahun

250 kg = Berat hidup 1 ST (Keadaan dapat berubah sesuai kondisi ternak pada setiap wilayah).

Sumanto dan Juarini (1996) dalam Pelitawati (2006)

Produksi limbah tanaman pangan dihitung dalam bahan kering cerna berdasarkan luas panen tanaman pangan dengan faktor konversi berdasarkan Sumanto dan Juarini (1996) dalam Pelitawati (2006) ditampilkan pada Tabel 8. Produksi limbah dihitung berdasarkan data luas panen tanaman padi dan palawija setiap kecamatan di kabupaten Bandung dikalikan nilai konversi produksi hijauan makanan ternak.

Tabel 8 Karakteristik pakan limbah tanaman pangan No Jenis Limbah

Sumber : Sumanto dan Juarini (1996) dalam Pelitawati (2006)

Potensi pakan selain tanaman pangan dapat diperoleh dari jenis penggunaan lahan. Jumlah potensi limbah dari masing-masing tanaman pangan merupakan potensi ketersediaan pakan potensial saat ini. Faktor konversi produtivitas pakan hijauan ditampilkan pada Tabel 9.

Tabel 9 Karakteristik potensi pakan hijauan setiap penggunaan lahan No Penggunaan Lahan Luas

(39)

21 Nilai daya dukung merupakan jumlah satuan ternak yang dapat ditampung dalam satuan kecamatan dan diperoleh berdasarkan hasil perhitungan produksi limbah tanaman pangan dan limbah dari penggunaan lahan pada setiap kecamatan. Persamaan daya dukung ditampilkan pada Persamaan 5.

Daya Dukung = Sumber : Haryanto et al. (2002)

Indeks daya dukung (IDD) adalah angka yang menunjukkan status nilai daya dukung pada suatu wilayah. Indeks daya dukung hijauan makanan ternak dihitung dari total produksi hijauan makanan ternak yang tersedia terhadap jumlah kebutuhan hijauan bagi sejumlah populasi ternak ruminansia di suatu wilayah. Indeks daya dukung dihitung berdasarkan bahan kering cerna (BKC) ditampilkan pada Persamaan 6.

IDD =

Total produksi limbah tanaman pangan dan

penggunaan lahan (BKC) (kg) ... (6) ∑ Populasi ruminansia (ST) x Kebutuhan BKC sapi dewasa

Sumber : Sumanto dan Juarini dalam Pelitawati (2006)

Berdasarkan nilai indeks daya dukung diperoleh kriteria status daya dukung hijauan. Kriteria status IDD ditampilkan pada Tabel 10.

Tabel 10. Kriteria status IDD

IDD Kriteria Keterangan memanfaatkan sumberdaya tetapi belum terpenuhi aspek konservasi

> 1.5 - 2 = Rawan  Pengembangan bahan organik ke alam pas-pasan > 2 = Aman  Ketersediaan sumberdaya pakan secara

fungsional mencukupi kabutuhan lingkungan secara efisien.

(40)

22

Analisis Kesesuaian Lahan Integrasi Usaha Ternak Sapi Potong dan Usahatani Padi

Peta kesesuaian didapat melalui proses matching dan query peta kesesuaian ekologis output dari analisis kesesuaian ekologis sapi potong dengan peta aktual lahan sawah dan peta daya dukung limbah tanaman pangan. Peta daya dukung limbah tanaman pangan merupakan hasil dari perhitungan Indeks Daya Dukung.

Penentuan Arahan Pengembangan Tingkat Kecamatan

Urutan prioritas kebijakan diperoleh menggunakan matriks dengan pemberian nilai pada setiap kriteria dan nilai kriteria ditampilkan pada Tabel 11. Nilai yang dimaksud berada pada kisaran 1 – 4. Penentuan kriteria mengacu pada Permentan nomor 50 tahun 2012 yang mengatur bahwa dalam penetapan lokasi kawasan pertanian perlu memperhatikan : (1) kesesuaian komoditas dengan agroekosistemnya, yaitu memiliki potensi sumber daya yang mirip (lahan, agroklimat, sumberdaya air), (2) mempertimbangkan potensi luasan areal/populasi yang dapat dikembangkan untuk memenuhi skala ekonomi kewilayahan (3) areal produksi/populasi terkonsentrasi di satu atau beberapa wilayah (kabupaten/kecamatan/desa) yang saling terhubung, sehingga distribusi input dan pelayanan pembinaannya dapat dilakukan secara efisien dan (4) sesuai dengan regulasi dan kebijakan nasional dan daerah untuk menjamin bahwa lokasi yang akan dijadikan wilayah pengembangan berada di kawasan budidaya serta sesuai dengan daya dukung dan daya tampung wilayah.

Tabel 11 Matriks penentuan prioritas

Kriteria Nilai

1 2 3 4

Kesesuaian Lahan (Ha) >500 100 - 500 <100 <1 Kepadatan Ternak (ST/ha) <0,25 1 – 0,25 >1 - 2 >2 KPPTR (ST) > 3000 3.000 – 1.000 < 1.000 - IDD >10 2 - 10 <2 ≤ 1

Penentuan prioritas kecamatan berdasarkan total penjumlahan bobot masing-masing kriteria pada setiap kecamatan. Total jumlah bobot (X) berada pada kisaran 4 – 16 dibagi dalam empat prioritas yaitu :

1. Priritas I = 4 ≥ X ≤ 5 2. Prioritas II = 6 ≥ X ≤ 8 3. Prioritas III = 9 ≥ X ≤ 12 4. Prioritas IV = 13 ≥ X ≤ 16

Analisa Usahatani

Analisis dilakukan dengan menghitung RC ratio yang diperoleh melalui pendapatan dibagi dengan total biaya. Jika R/C > 1 maka usahatani tersebut untuk dan dapat dikembangkan. Variabel yang diamati terdiri dari :

1.Usahatani padi non integrasi meliputi :

(41)

23 B. Hasil produksi berupa gabah kering panen (gkp)

2.Usaha ternak sapi potong non integrasi terdiri :

A. Biaya produksi (sapi bakalan, 30% hijauan dari luas sawah, biaya angkut, obat-obatan, konsentrat, biaya habis pakai dan susut kandang)

B. Penerimaan (penjualan sapi dan kompos) 3. Usahatani dengan introduksi sapi potong :

A. Biaya produksi (bibit, pupuk, tenaga kerja, obat, sapi bakalan30% hijauan dari luas sawah, biaya angkut, obat-obatan, konsentrat, biaya habis pakai dan susut kandang)

B. Penerimaan terdiri dari penjualan padi (gabah kering giling) dan penjualan sapi.

Untuk mengetahui berapa nilai tambah atas lahan yang melakukan integrasi dan non integrasi dilakukan perhitungan nilai tambah ditampilkan pada Tabel 12. Tabel 12 Perhitungan nilai tambah

Luasan Lahan

Nilai Tambah Atas Lahan Pengembangan

Integrasi Tidak

S1 S2 + S3 ( S1 x Pendapatan integrasi) +

((S2+S3) x Pendapatan Non Integrasi) S1 + S2 S3 ((S1+S2) x Pendapatan integrasi)+(S3 x

Pendapatan Non Integrasi)

S1 + S2 + S3 0 (S1 + S2 + S3) x Pendapatan Integrasi

Analisis Kebijakan

Analisis kebijakan dilakukan untuk menyusun strategi arahan pengembangan wilayah berbasis integrasi usaha ternak sapi potong dan usahatani padi. Menurut Rangkuti (2011), analisis SWOT adalah indikasi berbagai faktor yang sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats). Identifikasi faktor ekternal dan internal dalam analisis SWOT diperoleh melalui studi literatur, wawancara dengan peneliti dan penyuluh peternakan. Analisis terdiri dari analisis faktor strategi internal dan eksternal, matriks SWOT dan matriks Internal Eksternal (IE).

Analisis Faktor Strategi Internal

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui faktor – faktor kekuatan dan kelemahan yang menentukan strategi pengembangan sapi potong integrasi sawah di Kabupaten Bandung. Langkah – langkah dalam pembuatannya adalah sebagai berikut :

(42)

24

b. Memasukkan bobot pada masing – masing faktor kekuatan dan kelemahan pada kolom 2 dari hasil wawancara responden .

c. Memasukkan rating (pengaruh) setiap faktor kekuatan dan kelemahan dengan skala dari 4 (sangat kuat) sampai dengan 1 (sangat lemah) pada kolom 3. Nilai rating merupakan nilai rataan dari semua responden.

d. Kolom 4 diisi hasil kali bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3. Hasilnya berupa skor yang nilainya bervariasi dari 4 sampai dengan 1.

Jumlahkan skor pada kolom 4 untuk memperoleh nilai total skor faktor internal. Nilai total skor digunakan dalam analisis matriks internal – eksternal (IE). Hasil dari analisis ini dibuat dalam bentuk matriks Internal Strategic Faktor Analysis Summary (IFAS) yang ditunjukkan pada Tabel 13.

Tabel 13. Internal Strategic Faktor Analysis Summary (IFAS)

Faktor – Faktor Strategi Internal Bobot Rating Skor Kekuatan : ancaman yang menentukan strategi pengembangan integrasi usaha ternak sapi potong dan usahatani padi di Kabupaten Bandung. Hasil analisis ini disajikan dalam bentuk matriks External Strategic Faktor Analysis Summary (EFAS) yang ditunjukkan pada Tabel 14.

Tabel 14 External Strategic Faktor Analysis Summary (EFAS)

Faktor – Faktor Strategi Eksternal Bobot Rating Skor Peluang :

Langkah – langkah pembuatannya adalah sebagai berikut :

a. Menyusun lima sampai 10 faktor peluang dan ancaman pada kolom 1 yang menentukan strategi pengembangan wilayah berbasis integrasi usaha ternak sapi potong dan usahatani padi di Kabupaten Bandung.

b. Memasukkan bobot masing – masing faktor peluang dan ancaman pada kolom 2 dari hasil wawancara dengan responden .

(43)

25 (sangat lemah). Nilai rating disini merupakan hasil pembulatan dari nilai rata – rata dari semua responden.

d. Kolom 4 diisi hasil kali bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3. Hasilnya berupa skor yang nilainya bervariasi dari 4 sampai dengan 1.

e. Jumlahkan skor pada kolom 4 untuk memperoleh nilai total skor faktor eksternal. Nilai total skor digunakan dalam analisis matriks internal – eksternal (IE).

Matriks SWOT

Matriks SWOT menggambarkan bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Matriks ini dapat menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategis. Matriks ditampilkan dalam Tabel 15.

Tabel 15 Matriks SWOT

Faktor Internal Strength (S) Weakness (W)

Faktor Eksternal

Untuk mendapat strategi lebih detail dibuat diagram internal dan eksternal (IE). Ditampilkan pada Gambar 6.

Nilai Jumlah Skor faktor internal

(44)

26

Diagram tersebut mengidentifikasikan sembilan sel strategi perusahaan yang dikelompokkan dalam tiga strategi utama yaitu :

a. Growth strategy, adalah strategi yang didesain untuk pertumbuhan sendiri (sel 1, 2, dan 5) atau melalui diversifikasi (sel 7 dan 8).

b. Stability strategy, adalah penerapan strategi yang dilakukan tanpa mengubah arah strategi yang telah ditetapkan (sel 4).

c. Retrenchment strategy, adalah strategi dengan memperkecil atau mengurangi usaha yang dilakukan (sel 3, 6, dan 9)

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Kondisi Geografis dan Demografi

Luas wilayah administrasi berdasarkan data BPS adalah 1.762,39 Km2 terbagi dalam 31 kecamatan, 267 desa dan sembilan kelurahan. Peta administrasi ditampilkan pada Gambar 7.

Gambar 7 Peta administrasi kabupaten Bandung

(45)

27 mencapai 3.299.988 jiwa dengan rataan kepadatan penduduk per km2 sebesar 1.872 jiwa/km2. Komposisi luas wilayah dan tingkat kepadatan penduduk ditampilkan pada Tabel 16.

Tabel 16 Komposisi dan tingkat kepadatan penduduk kabupaten Bandung Tahun 2011.

Gambar

Gambar 3 Peta wilayah penelitian
Gambar 4 Diagram alur penelitian
Tabel 5 Matriks pencapaian tujuan penelitian
Tabel 6 Asumsi penentuan lokasi pengembangan wilayah berbasis integrasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dewasa ini banyak industri manufaktur mulai mengadopsi sistem Just In Time atau Kanban karena keberhasilan dari sistem tersebut dalam menciptakan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Penghindaran Pajak terbukti berpengaruh negatif terhadap Nilai Perusahaan, artinya penghindaran pajak berpengaruh negatif karena

Berbeda tidak nyata pada kedua parameter tersebut juga disebabkan karena kandungan unsur hara yang terdapat dalam kompos relatif sama, berasal dari bahan organik

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Adanya Pengaruh Aplikasi Model Pembelajaran Problem Based Instruction (PBI) disertai Media Audio Visual terhadap Hasil

Pada penyearah 1 phasa terkendali penuh, komponen-komponen utama yang digunakan semuanya adalah thyristor, sehingga dengan Demikian akan diperoleh tegangan keluaran

Proses pembayaran kredit itu sendiri tidak selalu mulus sesuai yang di harapkan tentunya sudah hal umum bila terjadi kredit macet yang mana merupakan bagian dari

“Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktupun hukum materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah Swapraja dan orang-orang yang dahulu

Efektivitas penerapan sistem pengendalian internal perusahaan tidak akan tercapai, apabila pertimbangan yang keliru digunakan dalam pembuatan keputusan, terjadi