• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Increasing of Electrical Price and Policy Responses to Minimize Its Negative Impacts on Indonesian Economic Performance

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Increasing of Electrical Price and Policy Responses to Minimize Its Negative Impacts on Indonesian Economic Performance"

Copied!
305
0
0

Teks penuh

(1)

RESPON KEBIJAKAN UNTUK MEMINIMISASI

DAMPAK NEGATIF TERHADAP

PEREKONOMIAN INDONESIA

TRI ISDINARMIATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini Saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kenaikan Tarif Dasar Listrik dan Respon Kebijakan untuk Meminimisasi Dampak Negatif terhadap Perekonomian Indonesia adalah karya Saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2011

(3)
(4)

TRI ISDINARMIATI. The Increasing of Electrical Price and Policy Responses to Minimize Its Negative Impacts on Indonesian Economic Performance. Supervised under RINA OKTAVIANI and TONY IRAWAN.

Electricity is one of the strategic commodities in Indonesia. The Increasing of electrical price (so called TDL stand for Tarif Dasar Listrik) administered by the government will be negative impact on Indonesian economic performance. Based on this research analysis, a rise of TDL will have negative impact on macro and sectoral economic performance. This study aims to analyze the effects of a rise of TDL and policy responses to minimize its negative impacts on Indonesian economic performance. The data which is used in this research are Input Output Table, Social Accounting Matrix (SAM) and SUSENAS data. Sources of data obtained from Board Central of Statistics. The analysis using Computable General Equilibrium (CGE) model is called INDOTDL CGE model. The simulation results show that a rise of TDL will have negative impact on economic growth, household consumption, export, employment and sectoral demand. This study also shows that an increase of efficiency in electricity sector by 10 percent is expected to decrease the electrical price. In addition, a rise of TDL which is followed by an increase of efficiency or decrease of value added tax (VAT) policy in all sector have positive impact on macro and sectoral economic performance on Indonesian. The most effective policy to economic improvement is to increase efficiency of electricity sector, so TDL doesn’t need to be increased.

(5)
(6)

TRI ISDINARMIATI. Kenaikan Tarif Dasar Listrik dan Respon Kebijakan untuk Meminimisasi Dampak Negatif terhadap Perekonomian Indonesia. Dibimbing oleh RINA OKTAVIANI dan TONY IRAWAN.

Listrik merupakan komoditi strategis yang digunakan hampir disemua sektor sehingga tarif dasar listrik (TDL) ditentukan pemerintah. Kenaikan harga BBM meningkatkan biaya operasional PLN, oleh karena itu Pemerintah harus memberikan subsidi agar tidak merugikan PLN. Tahun 2010 subsidi listrik meningkat sebesar Rp 17,3 triliun namun masih terdapat defisit subsidi listrik sebesar Rp 4,87 triliun, sehingga Pemerintah dengan persetujuan DPR harus menaikkan TDL. Kebijakan kenaikan TDL yang berlaku mulai 1 Juli 2010 hanya untuk pelanggan yang berdaya 1300 VA ke atas dengan tingkat kenaikan yang berbeda pada tiap kelompoknya. Kelompok rumahtangga mengalami kenaikan TDL sebesar 18 persen, sedangkan sektor industri kenaikannya dibatasi antara 6 -15 persen. Namun awal tahun 2011, PLN mencabut pembatasan kenaikan TDL di sektor industri sehingga kenaikan TDL sektor industri mencapai 20-30 persen. Kenaikan TDL selain bertujuan mengurangi beban subsidi listrik pada APBN juga mencegah subsidi yang salah sasaran, namun juga berdampak luas pada kinerja ekonomi makro dan sektoral di Indonesia.

Penelitian ini mengkaji kenaikan tarif dasar listrik dan respon kebijakan untuk meminimisasi dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tabel I-O tahun 2008 dan Tabel SNSE tahun 2008 yang bersumber dari BPS. Data dasar disusun dengan melakukan agregasi dan disagregasi pada Tabel I-O dan Tabel SNSE menjadi 21 sektor. Analisis penelitian menggunakan model CGE INDOMINI (Oktaviani, 2008) yang dikolaborasi dengan model CGE WAYANG (Wittwar, 1999) dan selanjutnya disebut model CGE INDOTDL. Hal yang berbeda pada mdel CGE INDOTDL dengan model INDOMINI adalah rumahtangga dipisah menjadi 2 yaitu rumahtangga berdaya listrik 450VA-900VA (rumahtangga bawah) dan rumahtangga berdaya 1300 VA ke atas (rumahtangga atas).

(7)

pendek maupun jangka panjang berdampak negatif terhadap kinerja ekonomi makro dan sektoral di Indonesia (skenario 1). Secara makro, kebijakan tersebut akan menyebabkan terjadinya penurunan PDB riil, penyerapan tenaga kerja, konsumsi rumahtangga, dan investasi sekaligus menyebabkan inflasi. Secara sektoral, kebijakan kenaikan TDL berdampak negatif terhadap output, tenaga kerja, dan tingkat harga. Penurunan output dan penyerapan tenaga kerja paling besar terjadi pada industri logam dasar besi, baja dan bukan besi, sedangkan industri semen merupakan sektor yang mengalami kenaikan harga tertinggi akibat kebijakan kenaikan TDL. Dampak kebijakan kenaikan TDL juga berdampak pada penurunan konsumsi pada kedua kelompok rumahtangga, dimana kelompok rumahtangga atas dampak negatifnya jauh lebih besar dibanding rumahtangga bawah.

Melihat dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebijakan kenaikan TDL baik terhadap kinerja makro maupun sektoral yang cukup besar, maka dilakukan simulasi peningkatan efisiensi di sektor listrik (skenario 2). Peningkatan efisiensi di sektor listrik sebesar 10 persen mampu menurunkan harga listrik hingga 24,97 persen sehingga kebijakan kenaikan TDL bisa dihindari. Peningkatan efisiensi di sektor listrik juga berpengaruh positif terhadap kinerja ekonomi makro maupun sektoral. Hasil simulasi kebijakan kenaikan TDL yang diikuti peningkatan efisiensi sebesar 1 persen di seluruh sektor ekonomi (skenario 3) berdampak positif pada peningkatan PDB riil, penyerapan tenaga kerja, peningkatan total konsumsi dan ekspor walaupun masih mendorong inflasi. Begitu juga dengan kebijakan kenaikan TDL yang diikuti penurunan PPN sebesar 1 persen pada seluruh sektor (skenario 4) yang berdampak positif terhadap kinerja ekonomi makro maupun sektoral di Indonesia. Bahkan kebijakan penurunan PPN tersebut mampu mendorong peningkatan penyerapan tenaga kerja yang cukup besar sehingga kebijakan tersebut sangat efektif untuk mengatasi pengangguran di Indonesia. Selain itu kebijakan kenaikan TDL yang diikuti peningkatan efisiensi maupun penurunan PPN di seluruh sektor ekonomi mampu meningkatkan total konsumsi pada tiap kelompok rumahtangga. Dimana dampak terhadap peningkatan total konsumsinya lebih besar pada rumahtangga bawah.

Berdasarkan hasil penelitian maka beberapa saran ke depan antara lain: (1) sektor listrik sebaiknya meningkatkan efisiensi sebesar 10 persen karena mampu menurunkan harga listrik hingga 24,97 persen sehingga pemerintah tidak perlu menetapkan kebijakan kenaikan TDL, (2) kenaikan TDL yang berdampak meningkatnya biaya produksi pada sektor ekonomi hendaknya diimbangi dengan peningkatan efisiensi oleh produsen sehingga output yang dihasilkan bisa bersaing harga baik dipasar domestik maupun luar negeri (3) Pemerintah perlu membuat kebijakan menurunkan PPN saat perekonomian melemah karena dampak kenaikan TDL, sehingga industri tetap mampu berproduksi dengan harga output sesuai daya beli masyarakat, (4) Pemerintah untuk memulihkan pertumbuhan ekonomi akibat kenaikan TDL harus berperan dalam menarik investor sehingga mau menanamkan modalnya di Indonesia. Pemerintah harus memberikan iklim investasi yang kondusif bagi investor dengan cara memberikan kepastian hukum, menstabilkan sosial politik dan keamanan.

(8)

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(9)
(10)

KEBIJAKAN UNTUK MEMINIMISASI DAMPAK NEGATIF

TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

TRI ISDINARMIATI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(11)
(12)

Meminimisasi Dampak Negatif terhadap Perekonomian Indonesia

Nama : Tri Isdinarmiati

NRP : H151090184

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S Tony Irawan, SE, M.App, Ec

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. R.Nunung Nuryartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(13)
(14)
(15)
(16)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala Rahmat dan Karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Kenaikan Tarif Dasar Listrik dan Respon Kebijakan untuk Meminimisasi Dampak Negatif terhadap Perekonomian Indonesia, dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor

Pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah membantu terselesaikannya penelitian dan penulisan tesis ini. Secara khusus penulis mengucapkan terimakasih kepada, yang terhormat :

1. Dr. Rusman Heriawan, SE, M.Si (Kepala Badan Pusat Statistik), yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk menempuh pendidikan pada Sekolah Pascasarjana IPB.

2. Kepala Pusdiklat BPS beserta jajarannya, yang telah membantu kelancaran administrasi selama Penulis mengikuti program Tugas Belajar.

3. Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S dan Tony Irawan, SE, M.App, Ec selaku Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat dalam menyusun tesis ini.

4. Dr. Heru Margono, M.Sc (Kepala BPS Kota Jakarta Pusat), selaku Penguji Luar Komisi pada pelaksanaan Ujian Tesis.

5. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana IPB beserta jajarannya, yang telah membantu kelancaran proses kegiatan belajar.

6. Supriyanto, SE, MA (Direktur Neraca Produksi, BPS Pusat), yang telah memberikan ijin dan dorongan kepada Penulis untuk menempuh pendidikan pada Sekolah Pascasarjana IPB.

7. Agus Nuwibowo, S.Si, MM (suami penulis), Alya, Isna, Faris (ketiga anak penulis) dan seluruh keluarga tercinta yang telah memberikan kekuatan luar biasa kepada penulis mulai dari proses kuliah hingga penyelesaian tesis ini. 8. Teman-teman mahasiswa pascasarjana IPB, khususnya PS Ilmu Ekonomi.

Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain yang telah membantu penyelesaian tesis ini meskipun namanya tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Tidak ada satupun yang sempurna, begitu juga tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Akhirnya, penulis berharap bahwa apa yang telah penulis kerjakan ini dapat memberikan kontribusi kepada berbagai pihak terutama pemerintah dan kalangan akademisi.

Bogor, Mei 2011

(17)
(18)

Penulis dilahirkan di Magelang pada tanggal 3 Januari 1975 dari Bapak R. Achmad Koerdi dan Ibu Sri Sulastri. Penulis merupakan anak bungsu dari sepuluh bersaudara. Saat ini penulis telah menikah dengan Agus Nuwibowo dan dikaruniai tiga orang anak yaitu Alya Shafarana, Isnaini Haya Amani dan Faris Abisali Abrisam.

Penulis menamatkan pendidikan dasar di SDN Tidar II Magelang kemudian melanjutkan ke SMPN 8 Magelang pada tahun 1987 dan lulus pada tahun 1990. Setelah lulus SMP penulis melanjutkan ke SMAN 2 Magelang. Pada tahun 1993 penulis melanjutkan pendidikan di Akademi Ilmu Statistik Jakarta dan lulus tahun 1996.

(19)
(20)

Halaman

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ….…….……..… 9

2. KERANGKA TEORI ……….. 11

3.3 Model Keseimbangan Umum (CGE) INDOTDL .……..… 27

3.3.1 Data dan Struktur Data Model INDOTDL …..……..….. 28

3.3.2 Sistem Persamaan pada Model INDOTDL ……….…… 30

3.3.3 Analisis Jangka Waktu dalam Model CGE ………..….. 48

3.4 Keunggulan dan Keterbatasan Model CGE …………..…...… 50

3.5 Simulasi Kebijakan ………..….……… 52

4. KONSTRUKSI DATA DASAR ……….….……… 55

4.1 Tabel Input-Output Indonesia Tahun 2008 ……….……… 55

4.2 Tabel Input-Output UKM Indonesia Tahun 2003 ………. 56

4.3 Struktur Input-Output ………...…… 56

4.4 Agregasi dan Disagregasi Sektor …..……….…………. 57

4.5 Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) ………….……....…… 60

4.6 Klasifikasi Input Primer ……….………....…… 62

4.7 Klasifikasi Pengguna (User) ………..….… 62

4.8 Klasifikasi Rumahtangga ……….…..…… 63

4.9 Klasifikasi Sumber ……….…… 63

(21)

4.10.1 Elastisitas Armington ………...…….… 64

4.10.2 Elastisitas Substitusi Input Primer ……….……… 65

4.10.3 Elastisitas Permintaan Ekspor ……… 66

4.11 Membuat File Header Array ……….……..……… 66

4.12 Software GEMPACK .………..…… 68

4.13 Prosedur Kerja GEMPACK ………..…… 69

4.14 Membuat File Tablo ………...…..…… 71

5. GAMBARAN UMUM KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA … 73 5.1 Sistem Ketenagalistrikan Indonesia ………...…… 74

5.2 Perkembangan Pelanggan Listrik yang Diproduksi dan Dijual Di Indonesia ………..……….… 75

5.3 Pola Konsumsi Listrik Industri dan Rumahtangga …….…..… 78

5.3.1 Pola Konsumsi Listrik Industri di Indonesia ………. 80

5.3.2 Pola Konsumsi Listrik Rumahtangga di Indonesia .……. 82

5.4 Kebijakan Kenaikan TDL di Indonesia ..……….….…… 85

5.5 Problematika Ketenagalistrikan di Indonesia ..…..….………… 89

6. HASIL DAN PEMBAHASAN ……….…..…… 93

6.1 Dampak Kenaikan TDL terhadap Kinerja Ekonomi Makro dan Sektoral di Indonesia ……….……….… 94

6.1.1 Dampak Kenaikan TDL terhadap Kinerja Ekonomi Makro di Indonesia ………..…...…….………….……... 94

6.1.2 Dampak Kenaikan TDL terhadap Kinerja Ekonomi Sektoral di Indonesia ...………..…………... 96

6.2 Kebijakan Untuk Meminimisasi Dampak Negatif Kenaikan TDL terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia …………..… 101

6.2.1 Dampak Peningkatan Efisiensi di Sektor listrik …...…... 102

6.2.2 Dampak Kenaikan TDL yang diikuti Peningkatan Efisiensi di Seluruh Sektor …...…... 106

6.2.3 Dampak Kenaikan TDL yang diikuti Penurunan PPN di Seluruh Sektor ……….……… 111

7. KESIMPULAN DAN SARAN ……….…..……….….… 117

7.1 Kesimpulan ………..…….…… 117

7.2 Saran .………..……. 118

DAFTAR PUSTAKA ………….………..….. 121

(22)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Perubahan asumsi dari subsidi listrik dalam APBN 2010 ……..…….. 2

2 Kenaikan TDL per 1 Juli 2010 ……… 5

3 Set header array pada model INDOTDL………..…….….. 30

4 Closure jangka pendek pada model INDOTDL ………... 45

5 Closure jangka panjang pada model INDOTDL …….……..……….. 47

6 Klasifikasi sektor dalam penelitian menurut lapangan usaha ….... 58 7 Mapping sektor penelitian (21 sektor) dengan Tabel I-O (66 sektor). 59 8 Pengelompokan sektoral dari Tabel Input-Output dan Sistem Neraca

Sosial Ekonomi ……… 61

9 Parameter elastisitas yang digunakan dalam model……… 65

10 Komposisi energi yang diproduksi menurut pembangkit ………..… 74 11 Perbandingan biaya pembangkitan listrik rata-rata tahun 2004-2009. 75 12 Perkembangan jumlah pelanggan listrik, KWh yang dibangkitkan

dan KWh yang dijual di Indonesia .……… 76 13 Produksi, susut energi, energi yang terjual dan jumlah pelanggan

listrik menurut wilayah di Indonesia tahun 2009……….. 77 14 Listrik yang terjual dan share perkelompok pelanggan di Indonesia

tahun 2002-2009 ………..… 79

15 Nilai dan share listrik yang dibeli industri besar sedang di Indonesia

tahun 2008 ………..……….….….. 81

16 Konsumsi dan share menurut kelompok rumahtangga tahun 2008 ... 84 17 Kebijakan kenaikan TDL di Indonesia tahun 2001-2011…..……….. 86 18 Dampak kenaikan TDL terhadap peubah-peubah ekonomi

(23)

19 Dampak kenaikan TDL terhadap output, tingkat harga dan

permintaan tenaga kerja ……….………..……..……..….. 98

20 Dampak kenaikan TDL terhadap konsumsi rumahtangga persektor 100 21 Dampak kenaikan TDL terhadap total pendapatan dan konsumsi

rumahtangga .……..……… 101 22 Dampak peningkatan efisiensi di sektor listrik terhadap peubah-

peubah ekonomi makro ……….………..…… 103 23 Dampak peningkatan efisiensi di sektor listrik terhadap output,

tingkat harga dan permintaan tenaga kerja ………….…………..…... 105 24 Dampak peningkatan efisiensi di sektor listrik terhadap total

pendapatan dan konsumsi riil rumahtangga .…..………..….. 106 25 Dampak kenaikan TDL diikuti peningkatan efisiensi di seluruh

sektor terhadap peubah- peubah ekonomi makro ………..….… 107 26 Dampak kenaikan TDL diikuti peningkatan efisiensi di seluruh

sektor terhadap output, tingkat harga permintaan tenaga kerja …… 109 27 Dampak kenaikan TDL diikuti peningkatan efisiensi di seluruh

sektor terhadap total pendapatan dan konsumsi rumahtangga ……. 111 28 Dampak kenaikan TDL diikuti penurunan PPN di seluruh sektor

terhadap peubah-peubah ekonomi makro ………….……….… 113 29 Dampak kenaikan TDL diikuti penurunan PPN di seluruh sektor

terhadap output, tingkat harga dan permintaan tenaga kerja ……..… 115 30 Dampak kenaikan TDL diikuti penurunan PPN di seluruh sektor

(24)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Dampak pengurangan subsidi terhadap keseimbangan ekonomi

makro ………..……….……….. 11

2. Diagram edgeworth box untuk kasus dua komoditas dan dua faktor

produksi ……….…….….. 15

3. Production possibility curve (PPC) ekonomi makro ……….…... 16 4. Diagram edgeworth box untuk kasus dua komoditas dan dua individu . 17

5. Keseimbangan sektor produksi dan konsumsi ………...……..…. 18

6. Kerangka pemikiran penelitian ………...…………. 23

7. Aliran struktur database pada model INDOTDL……..……….…….... 28

8. Struktur input output produksi berjenjang……….……..…. 34

(25)
(26)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Blok persamaan pada file input tablo model CGE INDOTDL ... 125 2. Jumlah bahan bakar yang digunakan untuk membangkitkan listrik PLN

tahun 2001-2009 ... 134 3. Harga bahan bakar yang digunakan untuk membangkitkan listrik

tahun 2001-2009... 134 4. Nilai biaya bahan bakar yang digunakan untuk membangkitkan listrik

tahun 2001-2009... 135 5. Share nilai biaya bahan bakar yang digunakan untuk membangkitkan

listrik tahun 2001-2009... 135 6. Ringkasan hasil penelitian empiris sebelumnya …….………...….. 136 7. Surat edaran menteri energi dan sumberdaya mineral

(27)
(28)

1.1 Latar Belakang

Listrik merupakan salah satu sumber daya energi dan mempunyai sifat sebagai barang publik yang mendekati kategori barang privat yang disediakan pemerintah (publicly provided private good). Penyediaan dan pemenuhan kebutuhan listrik merupakan masalah yang menyangkut hidup seluruh masyarakat sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 33. Listrik merupakan komoditi strategis yang digunakan oleh hampir semua sektor dalam produksi sehingga kebijakan yang kurang pas akan menyebabkan meningkatnya harga output kemudian berdampak pada menurunkan daya beli masyarakat. Campur tangan pemerintah untuk mendorong proses produksi dan distribusi listrik yang lebih merata mutlak diperlukan terutama dalam menentukan harga listrik yang terjangkau dan dapat dinikmati oleh masyarakat secara luas.

Pemerintah berdasarkan UU Nomor 15 tahun 1985 memberikan wewenang kepada PT. PLN (Persero) sebagai pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan dan bertugas sebagai penyedia tenaga listrik bagi masyarakat. Kenaikan harga BBM yang cukup tinggi pada tahun 2005 dan tahun 2008 baik secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan meningkatnya biaya produksi diberbagai sektor ekonomi terutama pada sektor listrik. PLN dalam memproduksi listrik menggunakan pembangkit yang berbahan bakar BBM sekitar 20 persen, namun biaya BBM mencapai 70 persen dari biaya bahan bakar keseluruhan. Hal ini karena BBM memang relatif lebih mahal dari bahan bakar lain seperti batubara dan gas alam sehingga kenaikan BBM ini berefek pada meningkatnya biaya operasional PLN.

(29)

juga harus memantau PLN agar melakukan efisiensi dalam produksi baik dengan mengurangi pemakaian BBM atau mencari bahan bakar alternatif misalnya dengan batubara, gas bumi dan tenaga surya.

Besar subsidi listrik yang dikeluarkan pemerintah tiap tahun berbeda dan berdasarkan data APBN dari tahun 1998 hingga tahun 2004 tidak terlalu besar namun sejak tahun 2005, subsidi listrik mengalami peningkatan yang sangat besar. Peningkatan subsidi yang sangat tinggi terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar Rp. 30.393,3 milliar dari subsidi ditahun 2005 yang hanya Rp. 8.850,6 milliar. Bahkan pada tahun 2008 subsidi yang dikeluarkan pemerintah mencapai angka Rp. 83.906,5 milliar dan ditahun 2009 besar subsidi mencapai Rp. 57.420 milliar. Nilai subsidi listrik ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : nilai penjualan tenaga listrik (GWh), harga minyak mentah dunia (US $/barel), dan nilai tukar/kurs rupiah terhadap dollar. Harga minyak mentah dunia yang meningkat terus dan perubahan dari nilai tukar rupiah serta peningkatan laba usaha PLN menyebabkan adanya perbedaan asumsi pada APBN 2010 dan APBN-P 2010 seperti yang terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Perubahan asumsi dari subsidi listrik dalam APBN 2010

Indikator Satuan APBN 2010 APBN 2010 –P Perbedaan

Nilai Tukar (Rp/USD) 10.000 9.200 800

Harga Minyak (ICP) USD/bbl 65 80 15

Margin Usaha ( persen) 5 8 3

Penjualan Listrik (Twh) 144,5 144,5 0

Sumber: RDP Komisi 3 Mei 2010

(30)

Rp 55,10 triliun (APBN‐P 2010). Subsidi listrik tahun 2010 meningkat namun masih terdapat defisit subsidi listrik sebesar Rp 4,87 triliun, sehingga pemerintah dengan persetujuan DPR menaikkan tarif dasar listrik (TDL) sesuai ketentuan Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 tahun 2009 tentang ketenagalistrikan. Pemerintah mulai 1 Juli 2010 mengeluarkan kebijakan menaikkan TDL pada pelanggan 1300 VA ke atas dengan tingkat kenaikan yang berbeda pada tiap kelompoknya. Alasan kenaikan TDL selain mengurangi beban subsidi listrik pada APBN juga mencegah subsidi yang salah sasaran.

Kenaikan TDL akan berdampak cukup luas yaitu dampak negatif terhadap pendapatan riil masyarakat dan permintaan sektoral. Artinya tidak hanya dampak terhadap inflasi atau laju pertumbuhan ekonomi secara makro, tapi juga ada dampak riil yang langsung ditanggung masyarakat dimana daya beli semakin menurun, meningkatnya PHK yang berujung pada meningkatnya pengangguran. Menurut Makmun dan Abdurrahman (2003) dampak kenaikan TDL sebesar 10 persen untuk masyarakat golongan bawah, menyebabkan income riilrumahtangga buruh tani turun sekitar 1,47 persen dan rumahtangga non pertanian golongan bawah turun 3,47 persen. Secara sektoral, hal ini menyebabkan permintaan terhadap sektor industri makanan akan berkurang sebesar 3,15 persen, sektor pertanian tanaman pangan (1,44 persen), dan sektor perdagangan (1,07 persen). Dampak sektoral tersebut akan mengurangi nilai balas jasa faktor produksi yang menyebabkan penerimaan para pemilik modal bisa berkurang sampai 3,52 persen. Pada akhirnya, kenaikan tarif dasar listrik akan mengurangi pendapatan institusi, dimana kelompok masyarakat yang paling banyak mengalami penurunan income riil adalah rumahtangga bukan pertanian golongan bawah dengan besaran sampai 5,26 persen. Kenaikan TDL juga berdampak pada pengurangan balas jasa yang diterima perusahaan sekitar 1,46 persen.

(31)

meningkat menjadi 46.204,21 GWh ditahun 2009. Tingginya konsumsi pada pelanggan rumahtangga dan industri juga terlihat dari share listrik terjual perkelompok pelanggan, dimana pada tahun 2009 masing-masing mencapai 40,83 persen dan 34,33 persen. Oleh karena itu Pemerintah dalam menaikkan TDL harus melihat semua kepentingan, tidak hanya kepentingan keberlangsungan operasional PLN saja, tapi juga kepentingan APBN, kepentingan industri nasional dan kepentingan masyarakat luas.

Pemerintah sadar akan dampak negatif yang ditimbulkan dari kebijakan yang diambil sehingga untuk meminimisasi dampak ekonomi yang ditimbulkan diberlakukan kenaikan TDL yang berbeda pada tiap kelompoknya. Kenaikan TDL pada kelompok pelanggan rumahtangga diatas 900 VA mencapai 18 persen sedangkan pada pelanggan 450VA - 900 VA tidak mengalami kenaikan karena pemerintah berusaha meminimisasi dampak ekonomi pada kelompok ini. Kelompok industri yang dianggap paling besar terkena dampak ekonomi, diberlakukan capping (pembatasan) kenaikan TDL yang bervariasi dari 6 persen hingga 15 persen atas persetujuan DPR walaupun beberapa industri maupun bisnis mengalami kenaikan TDL yang sangat tinggi yaitu sebesar 20 hingga 30 persen. Pembatasan kenaikan TDL pada pelanggan industri disebabkan sebagian besar industri tidak mampu menyesuaikan produksi dengan kenaikan TDL dalam waktu dekat sehingga kenaikannya ditunda. Harga Listrik untuk keperluan kereta api listrik (KRL) mengalami kenaikan hanya sebesar 9 persen karena transportasi ini merupakan kebutuhan masyarakat banyak. Kenaikan TDL pada kelompok pelanggan lainnya seperti terlihat pada Tabel 2.

(32)

Tabel 2 Kenaikan TDL per 1 Juli 2010 di Indonesia

No Pelanggan Kenaikan (Persen)

1 450 VA s/d 900 VA Tidak Naik

2 6.600 VA ke atas dengan batas hemat 30% (semula 50%) Tidak Naik

3 Pelanggan Sosial (S) Lainnya 10

4 Pelanggan Rumahtangga (R) Lainnya 18

5 Pelanggan Bisnis (B) Lainnya 12-16

6 Pelanggan Industri (I) Lainnya 6-15

7 Pelanggan Pemerintah (P) Lainnya 15-18

8 Traksi (untuk keperluan KRL) 9

9 Curah (untuk apartemen) 15

10 Multiguna (untuk pesta, layanan khusus) 20

Sumber : Rapat kerja komisi VII DPR 15 Juni 2010

Awal tahun 2011 dunia usaha kembali bergejolak karena PLN secara diam-diam kembali menaikkan TDL untuk sektor industri hingga mencapai 20-30 persen. Walaupun PLN berdalih tidak menaikkan TDL tetapi hanya mencabut capping (pembatasan) kenaikan TDL pada dunia usaha namun hal itu menimbulkan polemik karena tanpa persetujuan DPR. Kalangan industri mengancam tidak akan membayar rekening karena sangat terbebani dengan kenaikan TDL yang sangat besar dan mendadak.

(33)

kebijakan kenaikan TDL terhadap kinerja ekonomi makro, tetapi juga melihat pengaruhnya terhadap kinerja sektoral dengan menggunakan alat analisis Computable General Equilibrium (CGE).

1.2 Perumusan Masalah

Listrik merupakan komoditi strategis sehingga pemerintah perlu campur tangan untuk mendorong proses produksi dan distribusi listrik yang lebih merata terutama dalam menentukan harga listrik yang terjangkau dan dapat dinikmati oleh masyarakat secara luas. Pemerintah mengatur tarif dasar listrik (TDL) berdasarkan daya beli masyarakat dan perekonomian nasional dengan memberikan subsidi listrik kepada PLN.

Beban subsidi yang semakin besar terhadap APBN berdampak pada peningkatan defisit APBN. Defisit anggaran merupakan permasalahan yang cukup krusial di Indonesia karena memberikan tekanan pada perencanaan anggaran, terutama pada sisi pengeluaran. Kenaikan TDL merupakan salah satu cara pemerintah dalam mengatasi kenaikan subsidi yang selalu meningkat dari tahun ketahun akibat meningkatnya harga BBM dan turunnya nilai tukar rupiah.

Kenaikan TDL menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga kurva penawaran agregat jangka pendek (SRAS) bergeser ke kiri atas. Hal ini akan mengakibatkan harga-harga naik (inflasi) dan output keseimbangan yang baru akan turun. Sektor industri merupakan pelanggan listrik yang rentan terkena dampak kenaikan TDL, karena konsumsi listriknya cukup besar yaitu mencapai 46.204, 21 GWh atau memilikishare hingga 34,33 persen dari total listrik terjual keseluruh pelanggan listrik pada tahun 2009. Kenaikan TDL dari sisi produsen secara langsung akan meningkatkan biaya produksi yang berdampak pada turunnya konsumsi listrik oleh industri sehingga menyebabkan produktivitasnya menurun. Turunnya produktivitas pada sektor industri menyebabkan penurunan output sehingga aktivitas ekonomi mengalami penurunan yang berdampak pada turunnya kesempatan kerja dan pendapatan rumahtangga.

(34)

yang berdampak terhadap menurunnya produksi barang/jasa sehingga penyerapan tenaga kerja berkurang menyebabkan menurunkan laju pertumbuhan ekonomi dan mempersempit lapangan kerja sehingga semakin mempersulit pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Permasalahannya adalah sejauh mana kenaikan TDL berpengaruh pada kinerja perekonomian makro seperti penyerapan tenaga kerja, investasi, konsumsi, neraca perdagangan dan terhadap kinerja sektoral terutama pada sektor- sektor yang paling rentan.

Di sisi lain pemerintah juga sadar akan dampak ekonomi dari kenaikan TDL tersebut sehingga diberlakukan kenaikan TDL yang berbeda pada tiap kelompok pelanggannya sesuai dengan daya beli masyarakat. Pemerintah seharusnya juga membuat rencana kebijakan ekonomi yang mampu mengurangi dampak negatif terhadap perekonomian nasional terutama pada sektor yang rentan terhadap kenaikan TDL. Kebijakan penurunan pajak pertambahan nilai (PPN) bisa dilakukan pemerintah untuk mengurangi melonjaknya biaya produksi akibat kenaikan TDL. Kebijakan penurunan PPN diharapkan mendorong sektor industri tetap berproduksi dan meningkatkan outputnya dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat, sehingga roda perekonomian tetap berputar.

Kebijakan untuk meminimisasi dampak negatif dari kenaikan TDL ini seharusnya tidak hanya dilakukan oleh pemerintah sendiri. PT. PLN maupun NON PLN yang membangkitkan listrik seharusnya melakukan efisiensi produksi sehingga subsidi listrik tidak melonjak dan kenaikan TDL bisa dihindari. Sektor-sektor yang terkena dampak kenaikan TDL juga perlu melakukan kebijakan meningkatkan efisiensi sehingga tetap bisa meningkatkan produksinya. Efisiensi bisa menekan melonjaknya biaya produksi sehingga industri tetap mampu bersaing dan menghasilkan output sesuai daya beli masyarakat. Jika pemerintah, sektor listrik dan dunia usaha bersama-sama melakukan kebijakan yang tepat maka dampak negatif kenaikan TDL terhadap perekonomian di Indonesia dapat diminimisasi sehingga pertumbuhan ekonomi tetap meningkat.

(35)

alternatif respon kebijakan untuk meminimisasi dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Berdasarkan paparan tersebut, maka pada penelitian ini permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakan pola konsumsi konsumsi listrik rumahtangga dan industri di Indonesia?

2. Bagaimanakah dampak kebijakan kenaikan tarif dasar listrik terhadap perekonomian di Indonesia?

3. Bagaimanakah respon kebijakan untuk meminimisasi dampak negatif kenaikan TDL terhadap perekonomian di Indonesia?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Menganalisis pola konsumsi listrik rumahtangga dan industri di Indonesia. 2. Menganalisis dampak kenaikan tarif dasar terhadap perekonomian

Indonesia.

3. Menganalisis respon kebijakan untuk meminimisasi dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia.

1.4 Kegunaan Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis sendiri juga bagi pihak-pihak lain.

1. Bagi penulis yaitu meningkatkan pengetahuan, memperluas wawasan dalam penerapan Computable General Equilibrium(CGE).

2. Bagi pembaca, diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai kondisi terkini tentang kenaikan tarif dasar listrik dan respon kebijakan untuk meminimisasi dampak negatif kenaikan TDL terhadap perekonomian di Indonesia.

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

(36)
(37)
(38)

2.1 Tinjauan Teori

2.1.1 Teori Dasar Subsidi

Menurut Pindyck (2003), subsidi merupakan pembayaran yang mengurangi harga pembeli di bawah harga penjual dan dapat disebut sebagai pajak negatif. Subsidi menimbulkan efek yang berlawanan dari efek yang ditimbulkan pajak. Pemberian subsidi menimbulkan efek yang positif dan negatif. Efek positif subsidi adalah peningkatan daya beli masyarakat sehingga terjadi peningkatan output. Efek negatif subsidi adalah menimbulkan distorsi perekonomian yakni alokasi sumber daya yang tidak efisien. Hal ini tercermin adanya kecenderungan masyarakat mengkonsumsi barang yang disubsidi secara berlebihan. Disisi lain penyelenggaraan untuk keperluan subsidi ini semakin membebani APBN sehingga sejak tahun anggaran 2000 pemerintah mengambil keputusan pengurangan subsidi BBM dan tarif dasar listrik secara bertahap.

Sumber: Lipsey et al, 1997

Gambar 1 Dampak pengurangan subsidi terhadap keseimbangan ekonomi Makro.

Secara teoritis dampak pengurangan subsidi listrik akan menyebabkan kenaikan harga-harga dan penurunan output. Analisis grafis dapat dilihat pada Gambar 1, dimana jika terjadi pencabutan subsidi listrik kurva SRAS akan

LRAS SRAS1

SRAS0

C P1

P0

B

AD0

Output A

Harga

(39)

bergeser ke kiri atas. Jika diasumsikan AD tetap, maka pergeseran SRAS tersebut akan menyebabkan keseimbangan baru berada pada tingkat harga P1 dan output

Y’. Kondisi dimana terjadinya inflasi yang diikuti dengan penurunan output disebut stagflasi.

2.1.2 Peranan Pemerintah dalam Perekonomian

Menurut Keynes intensitas kegiatan perekonomian ditentukan oleh besaran pengeluaran agregat (konsumsi maupun investasi). Tingkat belanja tersebut pada periode tertentu tidak sesuai lagi dengan kebutuhan untuk mencapai tingkat optimum tercapainya kondisi full employment. Hal ini karena investasi yang dilakukan pihak swasta lebih kecil daripada tabungan yang dibutuhkan dalam perekonomian. Bagi Keynes, pasar bebas tidak mampu menjamin tercapainya kondisi full employment, sebagaimana yang diteorikan oleh Adam Smith, untuk itu perlu intervensi pemerintah dalam perekonomian. Alasan perlunya intervensi pemerintah dalam perekonomian (Stiglitz 2000) adalah untuk : (1) menjamin kepastian hukum melalui berbagai peraturan yang tidak mampu dihasilkan oleh sektor swasta; (2) mengkoreksi adanya kegagalan pasar yang disebabkan imperfect competition, public goods, externality, dan asymmetric information; dan (3) adanya merit goods, yaitu barang yang tetap harus disediakan walaupun tidak diminta masyarakat.

(40)

2.1.3 Teori Model Keseimbangan Umum (General Equilibrium)

Dalam suatu perekonomian terdapat berbagai macam pasar yang saling terkait satu dengan lainnya, sehingga perubahan yang terjadi pada satu pasar akan menyebabkan pasar lainnya juga ikut berubah. Suatu keseimbangan umum akan tercapai bila permintaan dan penawaran pada masing-masing pasar, baik pasar faktor produksi maupun pasar komoditas, berada dalam keseimbangan. Pembentukan model ekonomi yang menggambarkan suatu perekonomian yang terdiri dari semua pasar dan semuanya dalam keseimbangan yang dikomputasikan disebut dengan model Computable General Equilibrium (CGE). Dalam model CGE ini terdapat sekumpulan fungsi permintaan dan penawaran, yang mencakup pasar komoditas maupun faktor produksi. Dalam model CGE juga terdapat himpunan persamaan yang menentukan arus pendapatan dari setiap pelaku dalam perekonomian.

Pengembangan model keseimbangan umum dipelopori oleh Leontief, Manne, Johansen, Jorgensen, Adelman, Shoven dan Whalley (Dixon et al. 1992). Menurut mereka model ini dapat digunakan untuk menganalisis dampak dari suatu kebijakan secara kuantitatif. Kebijakan yang dianalisis dapat berupa kebijakan pajak, hambatan perdagangan (trade barriers), perubahan belanja pemerintah, harga komoditas, teknologi dan kebijakan di bidang lingkungan. Dampak dari kebijakan tersebut dapat dianalisis pada tingkat industri, jenis pekerjaan, rumahtangga, pemerintah dan wilayah serta berbagai peubah ekonomi makro, seperti inflasi, neraca perdagangan, investasi dan sebagainya (Sahara 2003).

(41)

umum adalah; (1) pada pasar komoditas dan pasar input, total permintaan sama dengan total penawarannya; (2) pada tingkat harga keseimbangan keuntungan perusahaan sama dengan nol; (3) pendapatan rumahtangga sama dengan pengeluarannya; dan (4) penerimaan pemerintah sama dengan pengeluarannya.

Pada model keseimbangan umum berlaku hukum Walras yang menyatakan bahwa semua harga dan kuantitas barang di semua pasar ditentukan secara simultan melalui proses interaksi satu dengan lainnya. Keseimbangan umum tercapai bila tidak ada excess demand pada semua vektor harga. Konsep dasar keseimbangan umum didasarkan pada kondisi pareto optimum pada setiap pelaku ekonomi, yaitu produsen, konsumen, investor dan pemerintah. Pareto optimum adalah suatu kondisi dimana satu pihak tidak dapat meningkatkan kepuasaannya (better off) tanpa mengurangi kepuasan pihak untuk mencapai kondisi pareto optimum dalam keseimbangan umum, yaitu keseimbangan produksi, keseimbangan konsumsi dan keseimbangan simultan.

2.1.3.1 Keseimbangan Produksi (Production Efficiency)

Kondisi keseimbangan produksi ini dapat tercapai apabila substitusi teknik marginal atau Marginal Rate of Technical Substitution (MRTS) untuk pasangan input adalah sama untuk produksi dua barang yang menggunakan dua jenis input, yaitu tenaga kerja (L) dan modal (K). Untuk kasus dua input (L dan K) dan dua barang (X1 dan X2) tingkat MRTS input L dan K dalam

memproduksi barang X1 harus sama dengan MRTS input L dan K dalam

memproduksi barang X2 atau MRTSLKx1 = MRTSLKx2 .

Teori produksi menyatakan bahwa produsen berada dalam keseimbangan bila MRTSlk = dimana W1 adalah harga faktor L dan W2 adalah harga faktor K.

Pada kasus dua perusahaan yang masing-masing menghasilkan komoditas yang berbeda, yaitu X1 dan X2, keseimbangan simultan yang terjadi bisa dijelaskan

melalui kotak Edgeworth. Keseimbangan simultan antar dua produk X1 dan X2

tercapai pada saat isoquant X1 bersinggungan dengan isoquant X2 pada berbagai

(42)

Sumber: Nicholson, 2002

Gambar 2 Diagram Edgeworth box untuk kasus dua komoditas dan dua faktor produksi

Dalam ekonomi pertukaran, semua alokasi yang efisien terletak di sepanjang kurva kontrak. Titik yang berada selain di kurva kontrak adalah tidak efisien, karena seseorang dapat memperoleh kesejahteraan yang lebih tinggi jika berpindah dari titik tersebut ke kurva kontrak. Di sepanjang kurva kontrak preferensi individu bersaing satu dengan lainnya, yang berarti kesejahteraan yang diperoleh seseorang hanya mungkin tercapai atas pengorbanan pihak lain. Secara matematis permasalahan di atas dapat diformulasikan sebagai berikut:

MRTSlkx1 = MRTSlkx2 = ………..(2.1)

Dimana MRTS adalah slope dari isoquan.

Production Possibility Curve (PPC) diderivasi dari CC yang terbentuk dalam kotak Edgeworth. PPC adalah kumpulan titik-titik yang menggambarkan berbagai tingkat produksi barang X1 dan X2 yang efisien. PPC

disebut juga kurva transformasi produk karena menggambarkan transformasi dari satu produk menjadi produk lain melalui alokasi produksi. Slope dari PPC disebut marginal rate of product transformation (MRPT). Pada pasar persaingan sempurna didapatkan :

OX2

K

X 24

E1 X 23

X 22

E 2

X 21

E 3

X 13

E 4

X 14

L

OX1

X 12

X 11

(43)

MRTP12 = ………..………..(2.2)

Sumber: Nicholson, 2002

Gambar 3 Production possibility curve (PPC).

Daerah batas PPC memperlihatkan berbagai kombinasi penggunaan L dan K yang efisien untuk menghasilkan X1 dan X2. Kurva tersebut ditransfer dari

lokus titik-titik efisien pada Gambar 2. Slope PPC menunjukkan bahwa output X dapat ditukarkan terhadap output Y dengan tetap menggunakan sejumlah sumberdaya yang sama.

2.1.3.2 Keseimbangan Konsumen (exchange efficiency)

Kondisi pareto optimum pada konsumen didekati dengan konsep Tingkat Pertukaran Marginal atau Marginal Rate of Substitution (MRS). MRS menunjukkan kesediaan seorang konsumen untuk menukarkan satu unit terakhir dari suatu barang untuk mendapatkan beberapa unit barang lainnya. Setiap konsumen akan selalu menyamakan MRS dengan harga relatif kedua barang yang akan dikonsumsinya untuk mencapai kepuasan yang optimal (Oktaviani 2008).

Untuk kasus dua barang (X1 dan X2) dan dua individu (U dan V), MRS

individu U dalam mengkonsumsi barang X1 dan X2 harus sama dengan MRS

individu V dalam mengkonsumsi barang X1 dan X2. Keseimbangan di sektor

konsumsi adalah kondisi pada saat konsumen mencapai kepuasan maksimum E 1

OX1

x2 4

x23 E 2

x22

E3

x21 E

4

OX2 X14

X11

X12

(44)

dengan kendala pendapatan.

Berdasarkan Gambar 4, Uv menggambarkan kurva indiferen individu V, sedangkan Uu menggambarkan kurva indiferen individu U. Semakin jauh dari titik asal masing-masing individu tersebut, tingkat kepuasan yang diperoleh semakin tinggi. Titik-titik di sepanjang kurva Ou dan Ov adalah efisien. Dengan kata lain, individu U tidak dapat menjadi lebih baik tanpa membuat individu V menjadi lebih buruk dan sebaliknya. Di sepanjang kurva Ou–Ov, MRS individu U sama dengan MRS individu V, sehingga MRSux1,x2 = MRS

ux1,x2

Sumber: Nicholson, 2002

Gambar 4 Diagram Edgeworth box untuk kasus dua komoditas dan dua individu.

Secara teoritis kepuasan maksimum konsumen U atau V tercapai pada saat MRS antara dua komoditas sama dengan harga relatifnya. Jika P1 harga komoditas X1dan P2adalah harga komoditas X2,maka kepuasan konsumen

MRS12 = P1/

P2 untuk kasus dua komoditas dan dua individu.

2.1.3.3 Keseimbangan Simultan (production-mix efficiency)

Keseimbangan sektor produksi dan konsumsi (keseimbangan simultan) tercapai pada saat MRPT12 = MRS12 = P1/

P2 . MRPT menunjukkan tingkat transformasi suatu produk terhadap produk lain. MRS menunjukkan tingkat kesediaan konsumen dalam mempertukarkan suatu komoditas dengan komoditas

(45)

lainnya. Keseimbangan terjadi jika transformasi produksi sesuai dengan tingkat substitusi konsumsi atau MRPT=MRS. Pengertian ekonomi dari keseimbangan simultan ini adalah bahwa kombinasi output X1 dan X2 harus

optimal baik dari sudut produsen maupun konsumen. Keseimbangan ini diilustrasikan pada Gambar 5. Keseimbangan simultan harus terpenuhi dengan adanya keseimbangan alokasi pada sektor produksi dan konsumsi. Keseimbangan ini tercipta melalui mekanisme harga, sehingga akan tercapai efisiensi dalam perekonomian.

Sumber: Nicholson, 2002

Gambar 5 Keseimbangan sektor produksi dan konsumsi

2.2 Tinjauan Studi Terdahulu

(46)

Pemakaian bahan bakar primer sebagai pembentuk energi listrik seperti, bahan bakar minyak dan batubara harganya semakin lama semakin mahal. Ilustrasi untuk menghasilkan energi memakan biaya cukup besar dapat dilihat pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Labuan Unit 1 dan 2 yang belum lama ini diresmikan pengoperasiannya oleh Presiden RI. Dengan kapasitas sebesar 300 Mw, PLTU Labuan mengkonsumsi batubara sebagai bahan bakar sebanyak 180.000 Kg per jam setara dengan pemakaian BBM 69.000 liter per jam, sehingga biaya operasi yang harus ditanggung PLN jika menggunakan batubara adalah Rp.48.692.340 per jam sedangkan jika menggunakan BBM sebesar Rp.402.649.500 per jam. Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik seharusnya sama dengan tarif dasar listrik (TDL) yang dibayar oleh konsumen, namun saat ini TDL masih di bawah BPP sehingga untuk menutupi kekurangannya dipenuhi melalui subsidi. Alokasi subsidi listrik berdasarkan UU No.2 tahun 2010 tentang APBN-P 2010 adalah sebesar Rp55,1 triliun. Dari tinjauan singkat tersebut di atas, memberikan isyarat bahwa PLN perlu menaikkan harga jual secara bertahap hingga mencapai nilai ekonominya.

Kebijakan penghapusan subsidi listrik akan membebani masyarakat, baik rumahtangga maupun sektor produksi. Dampak negatif dari penurunan subsidi listrik pada sisi makro adalah adanya inflasi, menurunnya pertumbuhan ekonomi, menurunnya tingkat kesempatan kerja, dan menurunnya daya saing perdagangan di pasar internasional. Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk meminimalkan dampak ekonomi dengan cara penurunan secara bertahap subsidi listrik yang berefek kenaikan TDL dimana diberlakukan kebijakan kenaikan yang berbeda menurut kelompok penggunanya.

(47)

juga berpotensi menurunkan konsumsi listrik dan permintaan tenaga kerja masing‐masing sebesar 6,70 - 13,40 persen dan 1,17 - 2,35 persen. Menurunnya permintaan tenaga kerja itu merupakan upaya sektor industri melakukan efisiensi. Kenaikan TDL juga memicu industri mengurangi jumlah mesin produksi untuk memangkas pemakaian listrik, sehingga kebutuhan terhadap mereka yang selama ini mengoperasikan mesin produksi juga berkurang. Sehingga, pengangguran dan kemiskinan akan sangat berpeluang semakin meningkat.

Floriasari (2009) dalam skripsinya yang berjudul dampak peningkatan subsidi listrik terhadap distribusi pendapatan rumahtangga melakukan penelitian dengan menggunakan analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) tahun 2005. Hasil penelitiannya menunjukan kenaikan subsidi listrik akan menyebabkan kenaikan pendapatan tertinggi diterima oleh rumahtangga pengusaha golongan atas yang berada di perkotaan sekaligus pemilik modal. rumahtangga buruh pertanian akan mendapatkan pendapatan terkecil. Kenaikan subsidi listrik meningkatkan pendapatan namun kesenjangan pendapatan semakin lebar.

Penelitian tentang mengukur dampak kenaikan tarif dasar listrik terhadap konsumsi listrik dan pendapatan masyarakat yang dimuat dalam jurnal ekonomi dan moneter menggunakan metode analisis dampak dengan Social Accounting Matrix (SAM). Hasil penelitian tersebut menunjukan kenaikan TDL sebesar 10 persen berdampak turunannya income riil rumahtangga buruh tani sekitar 1,47 persen dan rumahtangga non pertanian golongan bawah turun 3,47 persen. Secara sektoral menyebabkan penurunan pada permintaan sektor - sektor ekonomi yang akan mengurangi nilai balas jasa faktor produksi sehingga penerimaan para pemilik modal bisa berkurang sampai 3,52 persen. Kelompok masyarakat yang paling banyak mengalami penurunan income riil adalah rumahtangga bukan pertanian golongan bawah yaitu turun sebesar 5,26 persen. Dampak kenaikan TDL juga menyebabkan pengurangan balas jasa yang diterima perusahaan sekitar 1,46 persen. (Makmun dan Abdurahman 2003)

(48)

model INDOF (Oktaviani 2000). Hasil penelitian menunjukan kebijakan menaikkan harga BBM, TDL dan tarif telephon yang dilakukan pemerintah baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang berdampak negatif pada kinerja ekonomi makro maupun sektoral. Dampak yang ditimbulkan dari kenaikan harga BBM lebih besar dari kenaikan TDL. Kenaikan TDL akan menyebabkan penurunan GDP riil sebesar 0,49 persen pada jangka pendek dan penurunan GDP riil sebesar 2,21 persen pada jangka panjang. Kenaikan TDL direspon oleh rumahtangga dengan penurunan konsumsi disemua sektor ekonomi pada jangka pendek sebaliknya pada jangka panjang berdampak pada peningkatan konsumsinya. Kenaikan TDL pada jangka pendek maupun panjang menyebabkan penurunan penggunaan tenaga kerja pada semua jenis pekerjaan.

Tribuana (2000) dengan menggunakan alat analisis utama Computable General Equilibrium (CGE) melakukan pengkajian tekno ekonomi ketenagalistrikan bidang harga jual tenaga listrik. Hasil Penelitian menunjukan kenaikan TDL sebesar 1 persen menyebabkan GDP riil turun hanya sebesar 0,002 persen pada kondisi short run, dan turun sebesar 0,04 persen pada kondisi jangka panjang. Untuk setiap 1 persen kenaikan TDL menyebabkan total investasi riil turun sebesar 0,01 persen pada kondisi jangka pendek dan turun sebesar 0,03 persen pada kondisi jangka panjang. Pada kondisi short-run, kenaikan TDL pengaruhnya relatif kecil (0,004 persen) terhadap penurunan penggunaan tenaga kerja, karena pada kondisi ini penggunaan kapital dan tenaga kerja relatif saling melengkapi. Pada kondisi jangka panjang, setiap 1 persen kenaikan tarif dasar listrik mengakibatkan penurunan penggunaan tenaga kerja sebesar 0,065 persen. Penelitian ini memberi kesimpulan bahwa kenaikan tarif dasar listrik dampaknya relatif baik terhadap kinerja sektor industri dan komersial, maupun terhadap kinerja perekonomian secara nasional

(49)

TDL karena membengkaknya susbsidi listrik sangat membebani APBN. Hal inilah yang mendorong penelitian ini untuk melihat lebih jauh sektor sektor ekonomi yang rentan terhadap dampak kenaikan TDL dan respon kebijakan dalam meminimisasi dampak terhadap perekonomian Indonesia. Diharapkan hasil penelitian ini mampu memberi wacana yang lebih mendalam tentang kebijakan kenaikan TDL tahun 2010 dan rencana kenaikan TDL selanjutnya sehingga bermanfaat untuk menentukan kebijakan selanjutnya.

2.3 Kerangka Pemikiran

Analisis kenaikan tarif dasar listrik (TDL) pada penelitian ini sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya dimulai dari kondisi adanya perubahan asumsi subsidi listrik pada APBN 2010. Kenaikan harga minyak mentah dunia dan meningkatnya laba perusahaan menyebabkan subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah melonjak sehingga membebani APBN. Pemerintah dalam mengatasi defisit APBN mulai membatasi subsidi listrik dan mulai 1 Juli 2010 memberlakukan kebijakan kenaikan TDL yang berbeda pada tiap pelanggan.

Kenaikan TDL menyebabkan meningkatnya biaya produksi pada sektor-sektor ekonomi terutama sektor yang mengkonsumsi listrik dalam. jumlah besar pada proses produksinya. Peningkatan biaya produksi ini akan disikapi oleh perusahaan/produsen dengan mengurangi konsumsi listrik sehingga produksi barang/jasa akan berkurang yang berefek pada penurunan penawaran/supply barang dan jasa yang ada di pasar. Penurunan supply barang/jasa akan mendorong impor barang/jasa masuk kepasar dan sebaliknya akan mengurangi jumlah ekspor barang/jasa ke luar negeri. Sesuai dengan mekanisme pasar, kelangkaan barang/jasa yang tersedia semakin mendorong naiknya harga barang/jasa yang diperjual belikan di pasar.

(50)

permintaan barang/jasa yang ada di pasar termasuk barang impor sehingga terjadi penurunan impor. Turunnya permintaan barang/jasa juga berdampak pada kenaikan harga barang/jasa yang ada dipasar sehingga akan terjadi keseimbangan harga baru. Sehingga secara bersamaan penurunan penawaran (supply) dan permintaan (demand) akan menyebabkan perubahan harga barang baru yang ada dipasar.

Gambar 6 Kerangka pemikiran penelitian.

Kenaikan TDL yang berdampak terhadap penurunan permintaan dan penawaran barang/jasa yang memengaruhi jumlah barang/jasa yang diekspor dan impor sehingga akan berpengaruh pada ekonomi makro Indonesia. Dengan demikian, kebijakan kenaikan TDL yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi defisit dapat memengaruhi kestabilan perekonomian nasional jika dilakukan tidak tepat. Pemerintah sadar akan dampak negatif kebijakan

Impor

Harga Barang/jasa

Supply

Produksi Barang/Jasa Biaya Produksi

Kenaikan

Tarif Dasar Listrik

Permintaan Barang/jasa

Kesempatan Kerja

Pendapatan Rumahtangga

Respon Kebijakan

Ekonomi Makro Ekspor

Impor

Model

CGE

(51)

menaikkan TDL ini sehingga untuk meminimisasi dampak terhadap perekonomian Indonesia dilakukan kebijakan kenaikan TDL yang berbeda pada tiap pelanggan. Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat idealnya juga merespon dengan kebijakan lain yang dapat meminimisasi dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Selain itu sektor-sektor yang rentan terhadap kenaikan TDL ini juga harus melakukan kebijakan untuk meminimisasi dampaknya negatif terhadap kelangsungan produksinya terutama pada sektor industri yang merupakan motor penggerak pembangunan. Alasan ini yang mendasari penelitian ini dalam menfokuskan analisisnya pada kenaikan tarif dasar listrik dan respon kebijakan untuk meminimisasi dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia

(52)

3.1 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder, yang dikumpulkan dari berbagai sumber dan instansi terkait maupun hasil-hasil penelitian sebelumnya yang dianggap relevan, yaitu:

1. Tabel Input-Output (I-O) Indonesia tahun 2008 yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS).

2. Tabel Input-Output (I-O) UKM Indonesia tahun 2003 yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS).

3. Tabel Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Indonesia tahun 2008 yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS).

4. Data Produk Domestik Bruto (PDB) menurut lapangan usaha tahun 2008 yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS).

5. Data Susenas tahun 2008 KOR dan Modul yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS).

6. Data Statistik PLN tahun 2009 yang bersumber dari PT. PLN 7. Data sekunder lain yang relevan dari berbagai sumber.

8. Parameter-parameter dugaan dari sistem persamaan yang didapat dari penelitian sebelumnya yang relevan.

3.2 Metode Pengolahan Data

(53)

sebagian besar menggunakan model CGE INDOMINI hanya ada beberapa persamaan rumahtangga diadopsi dari model CGE WAYANG sehingga diperoleh model CGE INDOMINI yang rumahtangganya telah didisagregasi menjadi dua.

Dalam model CGE INDOTDL rumahtangga didisagregasi menjadi 2 golongan menurut kelompok daya listrik yang tersambung. Setelah data disusun sesuai dengan kebutuhan matrik data dalam model CGE INDOMINI, selanjutnya diolah (running data) dengan menggunakan software GEMPACK (Sahara dan Oktaviani 2008). Solusi yang diperoleh dari hasil pengolahan data ini merupakan respons dari simulasi kebijakan yang dianalisis. Perangkat lunak (software) yang digunakan dalam penelitian adalah Microsoft Word 2007, Microsoft Excell 2007, SPSS 13.0 dan Gempack versi 10.0.

Data yang dimasukkan ke dalam model CGE INDOTDL adalah Tabel I-O tahun 2008, Tabel I-O UKM tahun 2003, Tabel SNSE tahun 2008 dan Data Susenas tahun 2008 yang bersumber dari BPS dan beberapa sumber data lainnya seperti elastisitas. Penyusunan data diawali dengan melakukan disagregasi dan agregasi sektor dimana untuk memadukan agregasi yang digunakan pada model dengan Tabel I-O dan SNSE maka dilakukan pemetaan tabel sehingga lebih mudah menghitung nilai agregasi dari sektor-sektor perekonomian tersebut. Klasifikasi sektor ekonomi (komoditi) yang terdapat di Tabel I-O tahun 2008 maupun sektor produksi pada SNSE tahun 2008 akan didisagregasi dan agregasi menjadi 21 sektor penelitian. Disagregasi dilakukan pada sektor listrik, gas kota dan air menjadi 4 sektor yang terpisah pada Tabel I-O tahun 2008 dari 66 sektor menjadi 69 sektor sedangkan pada tabel SNSE tahun 2008 dari 24 sektor produksi yang ada menjadi 27 sektor produksi. Dari hasil disagregasi sektor pada tiap tabel kemudian dilakukan agregasi menjadi 21 sektor.

(54)

kerja. Pengguna barang dan jasa dikelompokkan menjadi pengguna antara dan pengguna akhir. Pengguna antara adalah pembelian yang dilakukan oleh masing-masing dari ke-21 industri (sektor) dalam penelitian. Pengguna akhir dibagi menjadi empat kelompok, yaitu untuk investasi dan perubahan stok, konsumsi rumahtangga, belanja pemerintah dan ekspor.

Rumahtangga sebagai pengguna akhir dibagi menjadi 2 kelompok sehingga dalam penelitian ini terdapat 25 pengguna (user). Berdasarkan sumbernya, komoditi dibedakan menurut komoditi yang diproduksi di dalam negeri (domestik) dan didatangkan dari luar negeri (impor). Nilai komoditas domestik dapat diperoleh dari Tabel I-O transaksi domestik dan nilai komoditas impor diperoleh dari pengurangan Tabel I-O transaksi total terhadap Tabel I-O transaksi domestik.

Selain data dasar di atas, model CGE INDOTDL ini juga membutuhkan data-data behavioral lainnya, yaitu parameter elastisitas. Parameter elastisitas yang digunakan dalam model meliputi; elastisitas Armington, elastisitas substitusi input primer dan elastisitas permintaan ekspor. Dengan keterbatasan yang ada pada penelitian ini, maka nilai-nilai parameter tersebut diperoleh dari hasil penelitian terdahulu terutama hasil penelitian Oktaviani (2000).

3.3 Model Keseimbangan Umum (CGE) INDOTDL

(55)

pertumbuhannya (percentage change). Persamaan yang dilinearkan mengandung sekumpulan koefisien yang equivalent dengan persamaan non-linear.

3.3.1 Data dan Struktur Data Model INDOTDL

Penjelasan pada bagian subbab ini mengacu kepada penjelasan yang diberikan oleh Horridge (2001) dalam Oktaviani (2008). Sebagaimana telah dinyatakan pada bagian terdahulu, data yang digunakan dalam model CGE INDOTDL adalah data Tabel I-O tahun 2008, Tabel I-O UKM tahun 2003 dan Tabel SNSE tahun 2008. Seluruh data dihitung dalam satuan moneter (rupiah) dan dilakukan disagregasi dan agregasi ke dalam 21 sektor (komoditi) penelitian. Struktur data yang digunakan pada model CGE INDOTDL ini mengikuti alur yang terdapat pada Gambar 7.

Absorption Matrix

(56)

Setiap kolom pada Gambar 7 menunjukkan lima pelaku ekonomi yaitu produsen domestik, investor, rumahtangga, ekspor dan pemerintah.

1 Produsen domestik menunjukkan permintaan antara yang terdiri dari i sektor (komoditi); i = 1, 2, ..., 21.

2 Investor merupakan bagian dari komponen permintaan akhir (final demand) yang menggunakan barang/jasa bukan untuk tujuan konsumsi dan umur penggunaannya lebih dari satu periode akuntansi atau sebagai barang modal (investasi). Investasi dapat dilakukan oleh swasta maupun pemerintah. 3 Konsumsi rumahtangga merupakan bagian dari komponen permintaan

akhir yang menggunakan barang/jasa untuk tujuan konsumsi dan hal ini dilakukan oleh rumahtangga yang terdiri dari 2 kelompok ; R= 1,2.

4 Ekspor merupakan bagian dari komponen permintaan akhir yang digunakan /diminta oleh konsumen akhir dari luar negeri. Pencatatan pada kolom ini merupakan ekspor neto, yaitu nilai ekspor setelah dikurangi dengan nilai impor

5 Konsumsi pemerintah, merupakan bagian dari komponen permintaan akhir yang digunakan/diminta pemerintah untuk tujuan konsumsi seperti pengeluaran rutin, belanja pegawai (upah dan gaji) dan belanja alat-alat pertahanan dan keamanan.

(57)

Tabel 3 Set header array pada model INDOTDL

Set Header Keterangan

Row

COM (c) Komoditas, dalam penelitian ini diperlakukan sebagai sektor ekonomi. Terdiri dari 21 komoditas, yaitu: (1) Pertanian, (2) Pertambangan dan penggalian (3) Industri makanan, minuman dan tembakau (4) Industri tekstil, pakaian dan kulit dan pemintalan, (5) Industri Bambu, kayu, rotan & barang dr kayu (6) Industri kertas, barang dari kertas dan karton, (7) Industri Kimia,Pupuk,dan hasil kilang, (8) Industri barang karet, plastik & mineral bukan logam, (9) Industri semen, (10) Industri logam dasar besi dan baja & bukan besi, (11) Industri barang dari logam, (12) Industri mesin, alat-alat, perlengkapan listrik dan alat pengangkutan dan perbaikannya, (13) Industri lainnya, (14) Listrik 900 VA ke bawah, (15) Listrik 1300 VA ke atas(16) Gas kota & air, (17) Bangunan, (18) Perdagangan, hotel dan restoran, (19) Pengangkutan dan komunikasi, (20) Lembaga keuangan, real estat dan jasa perusahaan dan (21) Jasa. IND (i) (1) Pertanian, (2) Pertambangan dan penggalian (3) Industri makanan, minuman dan

tembakau (4) Industri tekstil, pakaian dan kulit dan pemintalan, (5) Industri Bambu, kayu, rotan & barang dr kayu (6) Industri kertas, barang dari kertas dan karton, (7) Industri Kimia,Pupuk,dan hasil kilang, (8) Industri barang karet, plastik & mineral bukan logam, (9) Industri semen, (10) Industri logam dasar besi dan baja & bukan besi, (11) Industri barang dari logam, (12) Industri mesin, alat-alat, perlengkapan listrik dan alat pengangkutan dan perbaikannya, (13) Industri lainnya, 14) Listrik 900 VA ke bawah, (15) Listrik 1300 VA ke atas(16) Gas kota & air, (17) Bangunan, (18) Perdagangan, hotel dan restoran, (19) Pengangkutan dan komunikasi, (20) Lembaga keuangan, real estat dan jasa perusahaan dan (21) Jasa.

SRC (s) Sumber Komoditas: (1) domestik dan (2) impor

USER (u) Pengguna; Pengguna antara ditambah dengan pengguna akhir, terdiri dari : (1) Pertanian, (2) Pertambangan dan penggalian (3) Industri makanan, minuman dan tembakau (4) Industri tekstil, pakaian dan kulit dan pemintalan, (5) Industri Bambu, kayu, rotan & barang dr kayu (6) Industri kertas, barang dari kertas dan karton, (7) Industri Kimia,Pupuk,dan hasil kilang, (8) Industri barang karet, plastik & mineral bukan logam, (9) Industri semen, (10) Industri logam dasar besi dan baja & bukan besi, (11) Industri barang dari logam, (12) Industri mesin, alat-alat, perlengkapan listrik dan alat pengangkutan dan perbaikannya, (13) Industri lainnya, (14) Listrik 900 VA ke bawah, (15) Listrik 1300 VA ke atas(16) Gas kota & air, (17) Bangunan, (18) Perdagangan, hotel dan restoran, (19) Pengangkutan dan komunikasi, (20) Lembaga keuangan, real estat dan jasa perusahaan dan (21) Jasa. (22) Investasi dan stok, (23) rumahtangga berdaya listrik 450-900 VA (24) rumahtangga berdaya listrik lebih dari 1300 VA(25) Ekspor (26) pemerintah

FAC (f) Faktor produksi: tenaga kerja dan modal (capital)

3.3.2 Sistem Persamaan pada Model INDOTDL

(58)

tersebut dikumpulkan ke dalam sejumlah blok persamaan. Masing-masing pernyataan persamaan dimulai dengan nama yang umumnya mengacu pada peubah di sisi kiri. Semua peubah dinyatakan dalam bentuk perubahan persentase (percentage change). Peubah ditulis dengan huruf kecil dan koefisien ditulis dengan huruf kapital (besar). Terdapat 15 (lima belas) set persamaan dalam file input tablo, yaitu:

1. Keseimbangan pasar untuk setiap komoditi. 2. Substitusi antara komoditi impor dan domestik 3. Struktur produksi

4. Permintaan untuk faktor primer.

5. Permintaan untuk industri di level atas. 6. Permintaan rumahtangga.

7. Permintaan ekspor

8. Keseimbangan pasar domestik dan harga

9. Harga impor

10. PDB dari sisi permintaan 11. PDB dari sisi pengeluaran

12. Persamaan yang berkaitan dengan peubah ekonomi makro lainnya 13. Peubah pasar faktor produksi

14. Pembaharuan (update) aliran data, dan 15. Ringkasan data

a. Keseimbangan Pasar untuk Setiap Komoditi

(59)

peubah-peubah dalam bentuk perubahan persentase dan dinyatakan sebagai berikut:

Penulisan dengan huruf besar (upper-case letter) memiliki arti yang berbeda dengan huruf kecil (lower-case letter). Notasi menyatakan jumlah total permintaan komoditi c dari sumber s, sementara notasi menyatakan persentase perubahan total pemintaan komoditi c dari sumber s. Notasi

menunjukkan jumlah permintaan pengguna u untuk komoditi c dari sumber s, sedangkan menunjukkan perubahan permintaan dalam persentase. Aturan penulisan tersebut digunakan secara umum dalam pengkodean file input tablo. Persamaan (3.1) diturunkan ke dalam bentuk persamaan linear, sehingga diperoleh bentuk persamaan sebagai berikut:

Langkah selanjutnya adalah merubah persamaan (3.2) sesuai dengan nilai dalam data dasar (database). Semua pengguna diasumsikan membayar dengan tingkat harga yang sama, , yaitu harga untuk pengguna komoditi c yang bersumber dari s. Langkah ini dilakukan dengan cara mengalikan kedua sisi persamaan (3.2) dengan ), sehingga didapatkan persamaan sebagai berikut:

Aliran nilai (Gambar 7) berhubungan dengan bentuk

pada sisi kanan persamaan (3.3). Notasi juga dapat digunakan pada file input tablo. Kode s = “domestik”, artinya data berada pada blok aliran domestik dan kode s = “impor”, berada dalam blok aliran impor. Bentuk pada sisi kiri persamaan (3.3) adalah penjumlahan antar

pengguna yang disebut atau merupakan total sales pada

(60)

Persamaan (3.4), selanjutnya diubah kedalam persamaan yang dapat dibaca oleh bahasa tablo sebagai berikut:

Notasi c (COM) menyatakan seluruh set komoditi dan s (SRC) menyatakan sumber. Perintah dan , dalam file input tablo, pada persamaan E_x0 menyatakan bahwa software GEMPACK mengevaluasi sisi kiri persamaan (3.4) untuk seluruh komoditi dan kedua sumber. Karena notasi ∑ tidak terdapat dalam bahasa tablo, maka dinyatakan dengan “sum” sebagaimana ditunjukkan pada persamaan (3.5).

b. Substitusi antara Komoditi Impor dan Domestik

Masing-masing industri dan permintaan akhir saling bersubstitusi untuk menggunakan antara komoditi yang bersumber dari domestik dan impor. Rasio pembelian komoditi domestik dan impor oleh masing-masing komoditi dan pengguna merupakan fungsi dari harga relatif dari kedua sumber. Fungsi ini diturunkan dari fungsi produksi CES (Constant Elasticity of Substitution) yang secara luas digunakan pada pemodelan CGE. Terdapat tiga persamaan dalam bentuk perubahan persentase yang menentukan besaran rasio permintaan komoditi impor dan domestik pada jenis komoditi yang sama dari kedua sumber, yaitu:

; menyatakan harga rata-rata komoditi impor dan domestik (3.6)

; menyatakan permintaan manufacture domestic……….... (3.7a)

; menyatakan permintaan manufacture impor……….... (3.7b)

Gambar

Gambar  2Diagram Edgeworth box untuk kasus dua komoditas dan dua
Gambar  6  Kerangka pemikiran penelitian.
Gambar 7  Aliran struktur database pada model INDOTDL.
Gambar 8  Struktur input output produksi berjenjang.
+7

Referensi

Dokumen terkait