• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dynamic model predictive control sources aktivities of phosphorus (P) in the reservoir in the integrated and sustainable: A case study Cirata Reservoir, West Java.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dynamic model predictive control sources aktivities of phosphorus (P) in the reservoir in the integrated and sustainable: A case study Cirata Reservoir, West Java."

Copied!
430
0
0

Teks penuh

(1)

IVANOVICH AGUSTA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA DISERTASI YANG

BERJUDUL DISKURSUS, KEKUASAAN DAN PRAKTIK KEMISKINAN DI

PEDESAAN BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI, DAN TIDAK

MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU

DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN BAIK OLEH PERGURUAN TINGGI

ATAU LEMBAGA MANAPUN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN

YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIAN PERNYATAAN INI

SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA

BERTANGGUNG JAWAB ATAS PERNYATAAN INI.

(3)

IVANOVICH AGUSTA.

Discourse, Power, and Practice on Rural Poverty.

Supervised by ENDRIATMO SOETARTO, DJUARA P. LUBIS, IRWAN

ABDULLAH

Poverty is analyzed together with complexity of mutual relations and

influences between discourses. As power is integrated in every social interaction,

the relationships among and between level of discourses and practices should be

seen as power relations as well. Power operates in enabling surface of emergence

discourse and practice of poverty reduction. In line with the emergence of a

particular discourse, it also emerges the certain poor. The will to overcome

poverty further directs power to operate, manage or eliminate the poor that has

emerged. Efforts to reduce poverty in Indonesia has been shaped by a variety of

discourse and practice of poverty, namely surplus sharing, poverty of race and

ethnicity, desiring modesty, socialist poverty, potential of the poor, and poverty of

production. This study also examines power to dominate others. War discourse

and practice is always shaped relationship of actions and reactions that are

difficult to stop. The victory of the discourse to actively interpret poverty is

dynamic, because at the same time also emerged a reaction from other discourses

and practices in the form of manipulation of interpretation.Thus the victory of the

discourse and practice in this war is always delayed, not total and complete

victory. In accordance with the nature of discourse that builds space for power,

the stronger the poverty discourse develops, then the bodies of the poor more and

more emerges. Consequently, expansion poverty domain –from individual

domains to families, groups, small businessmen, and local government—will also

grow number of poor to more and more parties. The next operation of power

seeks will manage, reduce or eliminate the poor body. The body of the poor just

keeps emerging and active in the discourse and practice of socialist poverty and

potential of the poor. Through the power of solidarity point of view, only within

the potential of the poor power operates to emerge the poor, developing habitus to

believe the poor, and create fields for emergence and activity or movement of the

poor body.

(4)

IVANOVICH AGUSTA.

Diskursus, Kekuasaan dan Praktik Kemiskinan di

Pedesaan. Di bawah bimbingan ENDRIATMO SOETARTO, DJUARA P.

LUBIS, IRWAN ABDULLAH

Penelitian ini hendak menjawab pertanyaan penelitian, yaitu,

pertama,

mengapa kekuasaan yang beroperasi belum mampu menanggulangi kemiskinan di

pedesaan.

Kedua, bagaimana kekuasaan beroperasi dengan membentuk dan

mengelola beragam diskursus dan praktik kemiskinan di pedesaan.

Ketiga,

mengapa perang antar diskursus dan praktik kemiskinan berlangsung secara terus

menerus.

Penelitian ini juga memiliki tujuan yang ingin dicapai, yaitu,

pertama,

menginterpretasi kemunculan keragaman diskursus, strategi penggunaan

kekuasaan, dan praktik pengelolaan kemiskinan di pedesaan.

Kedua,

menginterpretasi hubungan kekuasaan dalam perang antar diskursus dan praktik

kemiskinan di pedesaan.

Ketiga, memunculkan golongan miskin untuk

menanggulangi kemiskinannya sendiri.

Penelitian dilakukan dengan metode diskursus praktik, yang terdiri atas

metode diskursus, metode praktik, dan metode perang diskursus. Metode

diskursus meliputi arkeologi dan genealogi. Metode praktis meliputi refleksif dan

obyektivisasinya. Metode perang diskursus mengarah pada interaksi yang

berisikan kekuasaan di dalam sekelompok diskursus praktik tertentu, maupun

interaksi antar sekelompok lainnya.

Pengambilan data lapangan pada level nasional terutama dilaksanakan di

Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa di Pasar Minggu, Jakarta. Di sini dikaji

diskursus kemiskinan produksi dan potensi golongan miskin. Penelitian terhadap

diskursus berbagi kelebihan, menginginkan kesederhanaan, kemiskinan ras dan

etnis dilakukan di Dusun Kalioso, Desa Karangrowo, Kabupaten Kudus, Provinsi

Jawa Tengah. Diskursus kemiskinan sosialis dipelajari dari analisis dokumen.

(5)

kehendak untuk memunculkan landasan bagi berlangsungnya diskursus dan

praktik (enabling surface of emergence) penanggulangan kemiskinan. Sejalan

dengan kemunculan diskursus tertentu mula-mula golongan miskin tertentu

memang muncul. Kehendak untuk menanggulangi kemiskinan selanjutnya

mengarahkan kekuasaan untuk beroperasi mengelola atau menghilangkan

kemiskinan yang telah muncul tersebut. Upaya penanggulangan kemiskinan di

Indonesia telah dibentuk oleh beragam diskursus dan praktik kemiskinan, yaitu

berbagi kelebihan, kemiskinan ras dan etnis, menginginkan kesederhanaan,

kemiskinan sosialis, potensi golongan miskin, dan kemiskinan produksi.

Di samping kekuasaan untuk memunculkan diskursus dan praktik tersebut,

dalam penelitian ini kekuasaan juga dikaji dalam mendominasi pihak lain. Perang

diskursus dan praktik selalu berbentuk hubungan aksi dan reaksi yang sulit

berhenti. Kemenangan satu diskursus untuk aktif menafsir kemiskinan bersifat

dinamis, karena pada saat yang sama juga muncul reaksi dari diskursus dan

praktik lain dalam bentuk manipulasi tafsir.

Hubungan kekuasaan antara satu diskursus dan praktik kemiskinan dengan

lainnya tidak hanya mendominasi, melainkan sekaligus membuka permukaan bagi

manipulasi tafsir baru yang menguntungkan diskursus dan praktik lainnya.

Dengan demikian kemenangan satu diskursus dan praktik dalam perang ini selalu

bersifat tertunda, bukan kemenangan total dan selesai.

Sesuai dengan sifat diskursus yang membangun ruang untuk berkuasa,

semakin kuat diskursus kemiskinan berkembang, maka tubuh-tubuh miskin

semakin banyak muncul. Konsekuensinya, perluasan domain kemiskinan –dari

individu bertambah keluarga, kelompok, usahawan kecil, hingga pemerintah

daerah—kian banyak memberikan identitas miskin kepada semakin banyak pihak.

Penguatan diskursus kemiskinan sekaligus menunjukkan peningkatan kebutuhan

akan tubuh-tubuh miskin.

(6)
(7)

IVANOVICH AGUSTA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

pada Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Didin S. Damanhuri, MS, DEA

(Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen,

Institut Pertanian Bogor)

Dr. Rilus A. Kinseng

(Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia, Institut

Pertanian Bogor)

Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, MS, DEA

(Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen,

Institut Pertanian Bogor)

Drs. Sumedi Andono Mulyo, MA, Ph.D

(9)

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA

Ketua

Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS

Prof. Drs. Irwan Abdullah, Ph.D

Anggota

Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Sosiologi Pedesaan

Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, MSc

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

(10)

Hanya atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa disertasi berjudul

Diskursus, Kekuasaan dan Praktik Kemiskinan di Pedesaan dapat diselesaikan.

Karya ilmiah ini dimaksudkan sebagai landasan untuk mengatasi permasalahan

sosial bersama golongan yang kekurangan di pedesaan.

Kemiskinan di pedesaan telah menjadi kajian peneliti sejak tahun 1997

hingga kini. Sejak krisis moneter pada tahun 1998, penelitian perihal kemiskinan

dan pemberdayaan masyarakat berkembang secara luas. Peneliti hampir setiap

tahun turut serta dalam penelitian kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat –

sebagian besar menjadi ketua tim— di Bappenas, Kementerian Dalam Negeri,

Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan

Menengah, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, di samping di dalam

Institut Pertanian Bogor sendiri.

Suatu ketika, pada tahun 2005 peneliti mendapatkan tugas dari Bappenas

untuk menyelidiki paradigma pemberdayaan dan penanggulangan kemiskinan di

Indonesia. Hasil kajian tersebut memberikan pengetahuan awal tentang

keragaman cara pandang dan praktik penanggulangan kemiskinan.

Hasil kajian tersebut terus diperdalam selama peneliti menjalani

perkuliahan program doktoral di Institut Pertanian Bogor. Pilihan analisis

diskursus dan praktik didasarkan pada jenis analisis mutakhir dalam sosiologi

pedesaan. Harapannya dapat menempatkan sosiologi pedesaan pada posisi

termaju dalam kancah ilmu-ilmu sosial. Sebenarnya analisis diskursus dan praktik

hanya digunakan untuk mengkritik teori dan konsep dari Barat, dan selanjutnya

peneliti mengembangkan konsep dan teori dari pedesaan Indonesia sendiri.

Kami menyadari bahwa karya ini masih mengandung beragam retakan

kekurangan. Kritik dan saran dari Pembaca budiman sangat kami hargai.

(11)

Ivanovich Agusta dilahirkan di Kudus, Jawa Tengah, pada tanggal 16

Agustus 1970. Anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Alex Achlish

dan Hartati. Riwayat pendidikan yang ditempuh adalah Program Sarjana pada

Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut

Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 1993; Program Magister pada Program

Studi Sosiologi Pedesaan, Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor dan

lulus pada tahun 1997. Pada saat ini penulis bekerja sebagai staf pengajar pada

Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi

Manusia, Institut Pertanian Bogor.

(12)

Peneliti mengucapkan terimakasih yang setinggi-tingginya kepada

1.

Berbagai pihak yang bersedia melakukan

rembugan di lapangan, yaitu Fuji

Artanto, Anom Surya Putra, Indra Kwarnas, Aries, Hery, Wahono, Tino,

Irwan, Suntono, Nurhadi, Safwan, Wargono, Gunretno, Gunondo, Sugiri,

Leginah, Sarpan.

2.

Promotor yang telah memberikan berbagai saran perbaikan disertasi, yaitu

Prof. Dr. Drs. Endriatmo Soetarto, MA, Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS, dan Prof.

Drs. Irwan Abdullah, Ph.D.

3.

Para penguji pada ujian tertutup, yaitu Prof. Dr. Ir. Didin S. Damanhuri, MS,

DEA, dan Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA.

4.

Para penguji pada ujian terbuka, yaitu Prof. Dr. Ir. Didin S. Damanhuri, MS,

DEA, dan Drs. Sumedi Andono Mulyo, MA, Ph.D.

5.

Pejabat Sekolah Pascasarjana IPB, yaitu Prof. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr,

Prof. Dr. Ir. Marimin, MSc

6.

Pejabat dan mantan pejabat Program Studi Sosiologi Pedesaan, yaitu Dr. Ir.

Arya H. Dharmawan, MSc, Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA, Dr. Ir. M.T. Felix

Sitorus, MS, dan Dr. Nurmala K. Panjaitan, MS, DEA.

7.

Dr. Ir. M.T. Felix Sitorus, MS yang telah memberikan kesempatan untuk

bersekolah di Program Studi Sosiologi Pedesaan.

8.

Prof. Dr. Ir. Sajogyo, Prof. Dr. Sediono M.P. Tjondronegoro, Prof. Dr. Amri

Marzali, yang telah memberikan rekomendasi untuk bersekolah di Sekolah

Pasca Sarjana IPB Bogor

(13)

Nasdian, MS.

11.

Kepala Pusat Studi Pembangunan, Pertanian dan Pedesaan IPB Bogor, Dr. Ir.

Lala M. Kolopaking, MS.

12.

Teman-teman seangkatan yaitu Dr. Tyas Retno Wulan, Dr. Abdul Malik, Dr.

Pulanggono Setyo Lenggono, Bob Alfiandi, Dr. Maihasni, Dr. Hartoyo.

13.

Istri dan anak-anak, yaitu Ir. Ani Tetiani, MSi, Madania Tetiani Agusta,

Karyssa Tetiani Agusta, dan Muhammad Aliansya Agusta.

14.

Kedua orang tua, yaitu Alex Achlish, Hartati, Oman Sukmara, Imas Sukaya

15.

Adik dan bulik di Kudus, yaitu Helida Heirani, Heri Prasetya, Paramita

Savitri, Arif Purnomo, Durroh.

(14)

Halaman

BAB 1 PENDAHULUAN ...

1

Latar Belakang ...

1

Perumusan Masalah ...

6

Tujuan Penelitian ...

6

BAB 2 PENDEKATAN TEORETIS ...

9

Tinjauan Pustaka ...

9

Filsafat Kuasa/Pengetahuan ...………....

9

Pemandangan Baru Sosiologi ………...

12

Memadukan Teori Diskursus dan Praktik Sosial

15

Diskursus menurut Foucault ...

17

Pembentukan Diskursus ………

19

Pengelolaan Diskursus ………..

21

Diskontinuitas Diskursus …...……...

22

Praktik Sosial menurut Bourdieu ...

23

Habitus ………...

24

Arena ………....

25

Kemunculan Kekuasaan melalui Interaksi Sosial

26

Kajian Diskursus Kemiskinan secara Dikotomis

28

Kerangka Penelitian ...

29

Konsep Kerja ...

32

BAB 3 PENDEKATAN LAPANGAN ...

35

Metode Diskursus Praktik ...

35

Lokasi Pengumpulan Data ...

38

Metode Pengumpulan Data ...

47

Metode Analisis Dokumen dan Penemuan

Diskursus Kemiskinan ...

47

(15)

Bias dan Kebaruan Penelitian ...

61

BAB 4 DISKURSUS DAN PRAKTIK BERBAGI KELEBIHAN ……

65

Penyamaran Hierarki/Diferensiasi ………...

66

Dinamika Mekanisme Mengutangi/Menabung,

Mengakumulasi/Berbagi, Berbagi/Mengakumulasi …………

70

Ikhtisar ………...

81

BAB 5 DISKURSUS DAN PRAKTIK KEMISKINAN RAS DAN

ETNIS ………...

83

"Mem-primitif-kan" ………..

84

Pemberontakan Tubuh Primitif ………

94

Ikhtisar ………

98

BAB 6 DISKURSUS DAN PRAKTIK MENGINGINKAN

KESEDERHANAAN ……….

99

Disiplin Pelemahan Daging ………..

100

"Ngrame" Mengabarkan Kebenaran ……….

106

Ikhtisar ………...………

110

BAB 7 DISKURSUS DAN PRAKTIK KEMISKINAN SOSIALIS ….

113

Menghisap Tubuh ……….

115

Merebut Hak Tubuh Miskin …...………..

122

Ikhtisar ………...………

125

BAB 8 DISKURSUS DAN PRAKTIK POTENSI ORANG MISKIN

127

Mempercayai Tubuh Miskin ………

128

Berkelompok Menghadirkan Kekuasaan ……….

135

Ikhtisar ………...………

138

BAB 9 DISKURSUS DAN PRAKTIK KEMISKINAN PRODUKSI

141

Mengorganisasikan Kemiskinan ………...

142

Kehendak Menguasai Pengetahuan Kemiskinan ……….

147

Mendisiplinkan Efisiensi Tubuh Miskin ………..

151

(16)

Panoptisme Orang Miskin Sedunia ……….

180

Ikhtisar ………..

191

BAB 11 KESIMPULAN: KEMBALI KE UUD 1945 ……...

193

Menjawab Permasalahan dan Tujuan Penelitian ………..

193

Epilog: Tubuh Miskin dan Konstitusi ………..

197

DAFTAR PUSTAKA ……...

201

(17)

Nomor

Halaman

1

Kesetaraan Analisis antara Foucault dan Bourdieu ...

16

2

Teori Diskursus Foucault, Laclau dan Moffe, serta Habermas

18

3

Kesejajaran Level Analisis Umum dan Formasi Diskursus

(18)

Nomor

Halaman

1

Perpaduan Teori Diskursus dan Teori Praktik Sosial ………..

16

2

Bentuk Diskursif ...

20

3

Sirkulasi Diskursus ...

22

4

Arkeologi Diskursus ...

23

5

Kerangka Penelitian ...

30

6

Stratifikasi dan Mobilitas Sosial di Dusun Kalioso …………

68

7

Dikotomi Diskursus Berbagai Kelebihan ………

69

8

Dikotomi Diskursus Kemiskinan Rasial dan Etnis..…………

89

9

Dikotomi Diskursus Menginginkan Kesederhanaan…………

101

10

Dikotomi Diskursus Kemiskinan Sosialis………

116

11

Dikotomi Diskursus Potensi Golongan Miskin …...………..

129

12

Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia Tahun

1975-2008 ………

144

13

Perkembangan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia

Tahun 1975-2008 ………

145

14

Dikotomi Diskursus Kemiskinan Produksi....………..

146

15

Evaluasi Kemiskinan Hipotetis ………

148

16

Adaptasi Ekonomi Formal dan Psikologi dalam CDD ……

153

17

Genealogi Diskursus Kemiskinan di Pedesaan Indonesia …...

159

18

Hubungan Terbalik antara Kemiskinan dan Ketimpangan

Sosial ………

188

(19)
(20)

Arena

: struktur yang bersifat obyektif, berisikan syarat-syarat obyektif,

yang bisa digunakan individu untuk berinteraksi dengan pihak

lain

Arkeologi diskursus : pembentukan diskursus, pengelolaannya, penormalan pada

saat menemui keretakan epistemologis.

Diskursus

: jenis pernyataan yang memungkinkan sesuatu menjadi muncul,

baik berupa habitus, arena, maupun benda-benda tertentu.

Episteme

: kegiatan untuk menelusuri sejarah timbulnya, berkembangnya,

hingga berubahnya suatu pengetahuan atau disiplin formal dan

bukan-formal tentang kemiskinan.

Genealogi diskursus : operasi kekuasaan untuk menghasilkan diskursus atau

menimbulkan krisis bagi terbentuknya diskursus baru

Habitus

: predisposisi,

pengalaman,

pemikiran

sebelum

melakukan

tindakan

Kekuasaan

: kemampuan

untuk

mendominasi,

namun

juga

untuk

memunculkan solidaritas, dan kekuasaan hanya muncul melalui

interaksi antara habitus, arena, dan diskursus

Modal

: benda dan jasa yang memberi kekuatan habitus atau individu

untuk bertindak

Panoptisme

: operasi kekuasaan untuk mengawasi individu atau kelompok

miskin, juga habitus dan arena

Parrhesia

: kehendak untuk membatasi ketergantungan kepada kebendaan

agar tubuh menjadi suci, serta memunculkan kehendak untuk

mengabarkan kebenaran kepada pihak lain

Perang diskursus : operasi kekuasaan untuk mendominasi diskursus lain, sekaligus

membuka permukaan bagi reaksi diskursus lainnya.

(21)
(22)

Latar Belakang

Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 menyatakan, bahwa negara

Indonesia dibentuk guna memajukan kesejahteraan umum. Berkaitan dengan hal

tersebut, pembangunan telah dijadikan pilihan mekanisme untuk mengisi

kemerdekaan bangsa (Soeharto 2008: 238).

1

Untuk memajukan kesejahteraan

umum, secara khusus pemerintah diwajibkan memelihara fakir miskin,

mengembangkan sistem jaminan sosial, dan memberdayakan masyarakat yang

lemah dan tidak mampu

2

(Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil

Perubahan UUD 1945 2010: 766).

Akan tetapi ditemukan berbagai kejanggalan pengelolaan kemiskinan –

yang mencakup pula pengelolaan golongan fakir, lemah dan tidak mampu.

Mungkin karena dipandang bersifat relatif, namun muncul kehendak untuk

mengobyektifikasi ukurannya, kemiskinan telah lama menjadi medan pertarungan

kekuasaan. Operasi kekuasaan telah memunculkan atau menghilangkan topik

kemiskinan, mengurangi atau menambahi jumlah golongan miskin, menentukan

pengelola orang miskin, dan sebagainya. Sajogyo (2006: 257) menjelaskan

sebagai berikut.

Untuk menentukan miskin tidaknya seseorang bukanlah hal

yang mudah, hal ini relatif. Ukuran kemiskinan di tiap daerah

berbeda.

Presiden Soeharto (2008: 415) menyatakan hal serupa.

1

Pembangunan juga menjadi orientasi Presiden Soekarno untuk mengisi kemerdekaan, sebagaimana tulisannya untuk Pembangunan Semesta Berentjana, Bagian jang Diucapkan pada rapat pleno Depernas, 28 Agustus 1959, halaman 29.

2

(23)

… kita jadi berpikir mengenai ukuran adil dan makmur itu,

dan jawabannya bergantung pada orangnya. Ukuran adil dan

makmur tidak terlepas dari penilaian kita masing-masing. Dan hal

itu harus dilihat juga dari segi kemampuan masing-masing.

Ada batas minimal untuk menyebut bahwa secara lahiriah

seorang itu mestinya sudah harus bisa mengatakan cukup dan

terjamin ketentraman hidupnya. Tetapi inipun menyangkut lagi soal

sikap seseorang.

Dalam dekade terakhir penjajahan Belanda, Soekarno juga pernah

menolak ukuran kecukupan makan senilai

sebenggol

(f 2,5) sehari yang

dinyatakan direktur

Binnenlands Bestuur

(BB) dalam sidang legislatif.

… adalah perbedaan besar antara apa yang dikatakan oleh

direktur BB dengan apa yang saya katakan; adalah perbedaan besar

antara perkataan CUKUP dengan perkataan TERPAKSA. Terpaksa

hidup dengan sebenggol, dan cukup hidup dengan sebenggol –di

antara dua ini adalah perbedaan yang sama lebarnya dengan

perbedaan antara sana dan sini, antara kaum penjajah dan kaum

terjajah, antara kaum kolonisator dan kaum

gekoloniseerde!

… Pemerintah dengan

enormiteit

-nya direktur BB itu

bermaksud menunjukkan, bahwa dus kaum Marhaen

1

masih

gampang hidup, bahwa dus pemerintah punya krisis-politik adalah

tak merugikan Marhaen (Soekarno 1965: 178).

Dengan dorongan kekuasaan, kemiskinan menjadi topik bermasyarakat

dan bernegara yang berkali-kali dimunculkan atau dihilangkan. Di tengah-tengah

masyarakat sendiri, kemiskinan –atau dengan konsep yang serupa seperti

kekurangan

—telah muncul dan diatasi bersama-sama sejak lama (Soedjatmoko

1984: 46). Pemerintah Hindia Belanda membesarkan kemunculannya hingga

meliputi wilayah nusantara untuk menangani kemiskinan khusus pada tubuh kreol

Indo Eropa pada awal abad ke 20 (Gouda 2007: 196). Bersamaan dengan

pernyataan kemerdekaan Indonesia, tubuh orang miskin yang sakit muncul dalam

aturan pemeliharaan Departemen Kesehatan di rumah-rumah sakit pada masa

pemerintahan Presiden Soekarno.

2

Hingga dua pertiga masa pemerintahan

1 Dalam penelitian ini digolongan sebagai kelas miskin. 2

(24)

Presiden Soeharto, fakir miskin secara normatif ditangani oleh Departemen

Sosial.

1

Bersama-sama dengan program pemerintah yang didukung utang luar

negeri, sejak tahun 1993 tubuh orang miskin muncul dalam kelompok masyarakat

atau disingkat pokmas (Mubyarto 2000, 1-6). Organisasi yang mengawasi dan

mengorganisasikan program penanggulangan kemiskinan kemudian resmi

dibentuk pemerintah secara beruntun sejak tahun 2000 hingga kini.

2

Dalam sifat kemiskinan yang relatif, peperangan terjadi untuk menentukan

jenis dan jumlah orang miskin. Kekuasaan yang lebih dominan memunculkan

makna kemiskinan yang lebih dominan, sekaligus melemahkan atau

menghilangkan tafsir kemiskinan lainnya. Pada waktu tubuh Indo Eropa

digolongkan miskin, tubuh pribumi dengan tingkat pengeluaran ekonomi lebih

rendah dilepaskan dari taksonomi ini (Gouda 2007: 196). Meskipun akademisi

menegaskan kemiskinan di pedesaan (Geertz 1983: 102; Singarimbun dan Penny,

1976: 50-61), namun semasa pemerintahan Soekarno dan pada awal pemerintah

Soeharto justru kegotongroyongan warga desa dipandang sebagai modal

pembangunan untuk mengimbangi persoalan ketimpangan sosial di perkotaan.

3

Saat kemiskinan di pedesaan yang ditangani kelompok masyarakat dimunculkan

lebih kuat pada dekade 1990-an, peran pemerintah daerah diminimalkan (Sajogyo,

ed. 1997: 116-136). Berlawanan dari itu, sejak dekade berikutnya peran

pemerintah, pemerintah daerah dan swasta meninggalkan peran kelompok

masyarakat.

4

Tahun 1955 tentang pengubahan dan tambahan pasal 4 undang-undang nomor 18 tahun 1953 (lembaran negara nomor 48 tahun 1953) tentang penunjukan rumah-sakit rumah-sakit partikulir yang merawat orang-orang miskin dan orang-orang yang kurang mampu.

1 Mandat normatif untuk menangani fakir miskin tertera dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) periode 1973-1978, 1978-1983, 1983-1988, 1988-1993, pada arah kebijakan bidang Kesejahteraan Rakyat, Pendidikan dan Kebudayaan, pada sektor Kesejahteraan Sosial.

2 Melalui pembentukan Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (BKPK) pada tahun 2001, Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) pada tahun 2001, Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) pada tahun 2005, dan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) pada tahun 2010.

3 Untuk pandangan Presiden Soekarno lihat Amanat Presiden tentang Pembangunan Semesta Berentjana, Bagian Tertulis jang Disampaikan kepada Depernas, 28 Agustus 1959, halaman 45; untuk pandangan pemerintahan Presiden Soeharto lihat Pola Dasar Program Umum Nasional dan Pola Dasar Rentjana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), 29 Pebruari 1968, halaman 34.

(25)

Peperangan tidak hanya muncul pada tataran tafsir atau diskursus,

melainkan juga dalam praktik. Setiap diskursus yang kuat dikembangkan lebih

lanjut dengan pembentukan lembaga dan organisasi tersendiri. Kelembagaan ini

mendisiplinkan tingkah laku agar berpola sesuai diskursusnya sendiri.

Perkembangan kelompok masyarakat miskin selama tahun 1993-1998 mengarah

untuk membentuk gerakan masyarakat, mengikuti arahan dari pemerintah yang

kuat menuju masyarakat yang kuat (Mubyarto 1996: 27-28, 59-60).

Diskontinuitas terjadi ketika muncul arah yang berkebalikan dari Program IDT

tersebut, untuk menguatkan pemerintah daerah hingga pemerintah pusat. Telah

disebutkan di muka, bahwa sejak tahun 2008 penanganan kemiskinan diarahkan

untuk masuk dalam struktur perencanaan pembangunan dari tingkat desa,

kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional.

Dengan meletakkan kumulasi maupun diskontinuitas penanganan

kemiskinan di pedesaan Indonesia seperti di atas, analisis yang pernah dilakukan

selama ini terlihat mengandung berbagai kelemahan. Analisis budaya sejak awal

sulit memutuskan budaya kemiskinan sebagai faktor penyebab munculnya

masalah sosial lain (Lewis 1993: 6), ataukah kemiskinan menjadi akibat dari

kemunculan masalah sosial yang berbeda (Geertz 1983: 150). Analisis kemiskinan

struktural (Soemardjan 1984: 5-11) sulit mempertimbangkan penciptaan berulang

kali organisasi penanggulangan kemiskinan di tingkat pusat, provinsi, dan

kabupaten/kota sejak tahun 2001 berikut penciptaan puluhan ribu kelompok orang

miskin, namun diikuti dengan peningkatan kemiskinan relatif, sebagaimana

ditunjukkan oleh peningkatan koefisien Gini sebesar 0,33 pada tahun 2001

menjadi 0,37 pada tahun 2009.

1

Analisis berbasis agensi sulit mempertimbangkan

persaingan pendefinisian kemiskinan yang terbentuk justru dalam agensi yang

sama. Dalam pemerintahan telah berkembang perbedaan definisi dan jumlah

golongan miskin, seperti perbedaan antara Badan Pusat Statistik, Kementerian

Sosial, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, dan Bappenas. Analisis

ekonomi dalam kaitannya dengan pembangunan sulit menjelaskan jumlah (lebih

dari 17 juta) dan persentase (56 persen) orang miskin jauh lebih tinggi di Jawa

dibandingkan wilayah lain (BPS 2011: 40), padahal industrialisasi dimulai dari

(26)

Jawa sejak masa penjajahan dan pembangunan tetap terkonsentrasi di sana hingga

kini.

Dengan menyadari kelemahan analisis selama ini, diperlukan pola analisis

baru yang mampu memperhitungkan beragam makna kemiskinan, hubungan antar

agensi yang melintasi pelapisan sosial, dan diskontinuitas perang antar beragam

makna kemiskinan. Penelitian mengajukan alternatif analisis diskursus

kemiskinan. Dalam membentuk pengetahuan yang kuat, diskursus kemiskinan

secara timbal balik membentuk praktik-praktik khusus. Perang antar diskursus

kemiskinan sekaligus terwujud dalam upaya dominasi antar agensi maupun

struktur sosial.

Analisis diskursus terhadap kemiskinan pada level global sudah dimulai

sejak awal 1990-an. Analisis tersebut telah mampu menunjukkan kekuasaan

pemaknaan kemiskinan oleh donor dan negara maju, yang digunakan untuk

melangsungkan pembangunan di negara-negara miskin (Rahnema 1992:

167-169). Telah ditemukan dikotomi antara makna kemiskinan menurut donor dan

negara maju yang berbeda dari makna yang berkembang di negara miskin atau di

tengah masyarakat miskin.

Sayangnya beragam analisis diskursus kemiskinan selama ini masih belum

menggali aneka diskursus kemiskinan lokal, kecuali hanya sebagai satu kutub dari

dikotomi dengan negara maju.

1

Masih diperlukan kajian lebih mendalam untuk

mendapatkan beragam diskursus kemiskinan, khususnya yang tercipta di pedesaan

Indonesia. Tertuju pada kritik terhadap dominasi diskursus kemiskinan donor dan

negara maju, jaringan peperangan antar beragam diskursus kemiskinan bahkan

belum digali secara mendalam.

Secara khusus kajian di wilayah pedesaan penting, karena persentase

penduduk miskin di pedesaan mendadak melampaui perkotaan serentak dengan

penerbitan Inpres Nomor 5 Tahun 1993 (Inpres Desa Tertinggal), diikuti dominasi

program pengurangan kemiskinan di pedesaan hingga kini. Akan tetapi

undang-undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang penanganan fakir miskin hendak

memusatkan penanganan kemiskinan perkotaan sebagaimana terbaca dari

(27)

alternatif penanganan melalui rumah singgah, panti, dan sebangsanya, yang biasa

terdapat di perkotaan.

Perumusan Masalah

Meskipun terdapat beragam diskursus dan praktik penanggulangan

kemiskinan, tampaknya kewajiban negara untuk memajukan kesejahteraan umum

dalam Pembukaan UUD 1945 belum terwujud, terutama di pedesaan. Pertanyaan

pokok dan

pertama

yang diajukan dalam penelitian ini ialah, mengapa kekuasaan

yang beroperasi belum mampu menanggulangi kemiskinan di pedesaan.

Dengan menyadari keberadaan berbagai diskursus kemiskinan yang

memiliki kekuatan untuk mendominasi tafsir kemiskinan, perlu dipelajari proses

pembentukan masing-masing diskursus tersebut. Meskipun muncul beragam

diskursus, namun hal tersebut belum mampu menanggulangi kemiskinan di

pedesaan. Berkaitan dengan itu, rumusan masalah

kedua

ialah, bagaimana

kekuasaan beroperasi dalam membentuk dan mengelola beragam diskursus dan

praktik kemiskinan di pedesaan.

Dibutuhkan pula pengetahuan perihal perang antara diskursus dan praktik

sosial yang satu dengan lainnya, karena dalam peperangan tersebut upaya

penanggulangan kemiskinan yang satu dapat

ditenggelamkan

oleh upaya

kemiskinan lainnya. Seluruh pola hubungan tersebut mengikutsertakan kekuasaan,

atau kekuasaan terbangun dari hubungan tersebut. Dalam kaitan ini diajukan

permasalahan

ketiga

, mengapa perang antar diskursus dan praktik kemiskinan

berlangsung secara terus menerus.

Tujuan Penelitian

(28)
(29)
(30)

Tinjauan Pustaka

Filsafat Kuasa/Pengetahuan

Di tengah kritik lemahnya landasan filosofis karya ilmiah di Indonesia

(Sajogyo, 2006: 65), satu bagian khusus perihal landasan filosofis penelitian ini

perlu disertakan,

pertama

, untuk mengetengahkan posisi filosofis penelitian,

dengan menunjukkan ide-ide filosofis tertentu yang digunakan dalam penyusunan

teori dan metode. Posisi penelitian ini berada dalam ranah

episteme

.

Kedua

, untuk

mengajukan kritik dan membuka peluang penelitian baru dalam ilmu-ilmu sosial.

Kajian beragam diskursus kemiskinan dalam suatu waktu yang sama

dimungkinkan, dengan terlebih dahulu mengetengahkan domainnya yang

berbeda-beda. Adapun interaksi antar beragam diskursus –sebagai konsekuensi

dari kemunculannya dalam waktu yang bersamaan—berpeluang dikaji melalui

konsep kekuasaan dan praktik sosial.

Konsep

episteme

, yang mula-mula berkembang dalam filsafat Perancis,

digunakan sebagai pangkal tolak pembahasan. Sementara konsep epistemologi –

yang lebih dikenal—menggali berbagai cara yang digunakan manusia untuk

mendapatkan pengetahuan,

episteme

secara khusus merujuk pada kegiatan untuk

menelusuri sejarah timbulnya, berkembangnya, hingga berubahnya suatu

pengetahuan atau disiplin.

1

Dalam penelitian ini

episteme

diarahkan pada

perkembangan pengetahuan perihal kemiskinan.

Georges Canguilhem menyajikan kekhususan kajian terhadap sejarah

pengetahuan tersebut. Filsuf lainnya membedakan atau menyusun demarkasi

pengetahuan ilmiah dari pengetahuan masyarakat umumnya, dan secara sengaja

hanya mengkaji ilmu pengetahuan yang ilmiah (Popper 2008: viii), namun

episteme

sengaja tidak membedakan kedua jenis pengetahuan tersebut. Golongan

1

(31)

filsuf yang meninggikan derajat ilmu pengetahuan mendasarkan argumennya pada

pandangan bahwa susunan jenis pengetahuan ini sistematis. Sebaliknya dalam

episteme

berkembang pandangan bahwa dalam tiap jenis pengetahuan, termasuk

pengetahuan umum dalam masyarakat, terdapat susunan yang terstruktur dan

sistemik. Struktur tersebut telah ditemukan baik pada masyarakat Barat

1

maupun

dalam komunitas tribal.

2

Canguilhem (2005: 79) menjelaskannya sebagai berikut.

A culture is a code that orders human experience in three

respects – linguistic, perceptual, practical; a science or a

philosophy is a theory or an interpretation of that ordering. But the

theories and interpretations in question do not apply directly to

human experience. Science and philosophy presuppose the

existence of a network or configuration of forms through which

cultural productions are perceived. These forms already constitute,

with respect to that culture, knowledge different from the knowledge

constituted by sciences and philosophies. This network is invariant

and unique to a given epoch, and thus identifiable through

reference to it.

Diskontinuitas sejarah pengetahuan berkaitan dengan pandangan, bahwa

perkembangan tiap jenis pengetahuan terbatas menurut ruang dan waktu, tidak

bersifat universal baik dalam arti teorinya berguna untuk masyarakat sedunia, atau

teorinya berlaku sepanjang waktu. Konsekuensinya metode untuk menilai atau

mengontrol pengetahuan juga tidak universal, melainkan hanya sesuai dengan

ruang dan waktu perkembangan jenis pengetahuan tersebut.

Konsekuensi yang lebih mendasar muncul dalam perumusan sejarah

pengetahuan. Perkembangan pengetahuan tidak bersifat kumulatif, melainkan

bersifat diskontinu.

Adapun hubungan antar diskursus yang telah memiliki domainnya

sendiri-sendiri dapat dilakukan melalui filsafat kekuasaan. Pengetahuan tidak disusun atas

fakta-fakta obyektif atau realis, melainkan terbatas pada tafsir atas metafora

(Nietzsche 2002: 45-47). Dengan kata lain, pengetahuan menjadi bersifat

imajiner, yang menyembunyikan perspektif dan hasrat penyusunnya. Kesadaran

1

Canguilhem (2005: 90) menunjukkan dikotomi "yang normal" dan "yang abnormal" (atau pernah disebutnya "yang patologis" (Foucault 2002: 394)) dalam struktur pengetahuan Barat masa kini.

2 Levi Strauss menemukan struktur majemuk dikotomis dalam masyarakat tribal (lihat Levi

(32)

pengetahuan seseorang selalu berupa kesadaran-atas-hierarki antara penafsir yang

lebih kuat dan yang lebih lemah.

Tafsir tidaklah netral atau sekedar sesuai dengan kepentingan pelakunya

sebagaimana pandangan konstruktivisme, namun di sini tafsir terkuat muncul

sebagai tanda bekerjanya kekuasaan tertinggi yang melingkupinya. Tafsir atas

sesuatu diketahui melalui kekuasaan yang dimilikinya atau diekspresikan olehnya.

Dengan demikian kekuasaan mendominasi realitas, sehingga suatu hubungan

antara diskursus dan praktik yang satu dengan lainnya selalu menunjukkan

kekuasaan penafsiran terkuat. Persepsi yang disusun peneliti terhadap realitas

tersebut juga merupakan ekspresi atas kekuasaan-kekuasaan yang membentuk

realitas tersebut. Peneliti dapat menangkap makna dari perang diskursus pada saat

mengetahui kekuasaan utama yang menyusun tafsir tersebut. Suatu kekuasaan

yang ditemukan, sebaliknya, dapat menjadi petunjuk tafsir utama yang mungkin

diambil dari hasil perang diskursus tersebut. Namun demikian, hierarki penafsiran

tidak membuat pemaknaan homogen, namun pemaknaan atas sesuatu senantiasa

bersifat plural. Obyek tidak pasif, namun ia sendiri merupakan kekuasaan, atau

yang mengekspresikan kekuasaan untuk memaknai. Oleh sebab itu terdapat

kekuatan tarik menarik antara obyek dengan kekuatan yang menguasainya

(Nietzsche 2000: 81-83).

(33)

Pemandangan Baru Sosiologi

Gerakan akademis berupa putaran linguistik (

linguistic turn

) yang bermula

di Perancis pada dekade 1960-an dan 1970-an telah mengubah karakteristik

ilmu-ilmu sosial masa kini, yang benar-benar berbeda dari era sebelumnya (Ritzer

2006: 1-3; Sutherland 2008: 46-66). Tantangan tidak hanya berlaku pada

teori-teori umum, namun juga pada teori-teori-teori-teori yang dikembangkan dari wilayah khusus,

misalnya dari Indonesia (Dhakidae 2002: 60-66; Philpott 2003: 56-67). Pengaruh

putaran linguistik tidak sekedar berupa pengembangan strukturalisme sebagai

konsekuensi dari teori linguistik dari Saussure (1993: 85-101), melainkan hingga

kritiknya dalam bentuk pascastrukturalisme dan pascamodernisme (Hoed 2008:

55-73). Kritik terhadap strukturalisme inilah yang digunakan dalam penelitian ini.

Salah satu konsep dasar Saussure (1993: 85-87) tentang hierarki antara

langue

yang lebih umum dan

parole

yang spesifik diadaptasi dalam menganalisis

hubungan hierarkis antara struktur sosial yang lebih abstrak, lebih umum serta

tahan lama, dan interaksi sosial yang lebih kongkrit, spesifik lokasi dan waktu.

1

Selain itu, hubungan antara petanda yang lebih konseptual dan penanda yang lebih

operasional (Saussure 1993: 145-151) mengantarkan pemikiran untuk

menganalisis hubungan sosial secara lebih mendalam. Hubungan antara petanda

dan penanda sejajar dengan representasi sosial yang bersifat lebih abstrak dalam

hubungannya dengan referen secara fisik, hubungan antara struktur dan agensi,

serta antara habitus dan arena. Analisis tidak hanya diterapkan pada interaksi antar

individu sebagai hubungan sosial primer, melainkan lebih difokuskan pada

hubungan refleksif (Bourdieu 2011: 173-174; Giddens 2003: 49-53) yang mampu

mempertanyakan konsep-konsep dasar dalam kehidupan sosial (Habermas 1996:

94-99) maupun menjelaskan hubungan yang lebih abstrak antar institusi (2002a:

64).

Pengaruh

strukturalisme

telah

melemahkan

posisi

subyek,

menghilangkannya, atau meletakkannya sebagai anonimitas (Habermas 1996:

28-41; Bourdieu 2010a: 3-25). Subyek tidak bisa muncul dan bertindak secara bebas

sebagaimana diteorikan oleh tindakan sosial weberian (Weber 1978: 4-26),

1 Tampaknya Saussure menggunakan ide dualisme struktur dan interaksi sosial dari Durkheim

(34)

melainkan dimunculkan oleh atau mengambil posisi terbatas dalam institusi atau

arena yang sudah ditentukan (Bourdieu 2010a: 3-25; Foucault 2007: 62-69) atau

berperan sebagai agensi yang dipengaruhi struktur (Giddens 2003: 6-34).

Menggunakan hasil analisis Freud (2003: 140-158) tentang keberadaan id

(ketidakrasionalan) yang mempengaruhi ego, serta hipotesis Darwin (2003:

434-461) tentang evolusi manusia dari makhluk yang sederhana, hadir penyangkalan

terhadap dominasi subyek yang rasional sekaligus mempertanyakan rasionalitas,

bahkan meletakkannya di bawah posisi ketidakrasionalan. Sebagai gantinya

dikemukakan kehendak dan kekuasaan sebagai pengarah penting tingkah laku

manusia

1

(Foucault 2002d: 65-66, 2008: 120-126). Sebagian teoretisi

mengemukakan konsep kesempatan (

chance

) untuk menjelaskan “ruang kosong”

yang mempengaruhi pilihan dan tindakan individu dan kelompok tersebut (Sibeon

2004: 34-45). Pembalikan posisi subyek rasional di bawah ketidakrasionalan

memungkinkan kajian mendalam terhadap suara lapisan terbawah, seperti sastra

pascakolonial (Said 2001: 3-20), kemiskinan radikal (Rahnema 1992: 158-172),

orang gila (Foucault 2002b: 323-334), homoseksual (Foucault 2008: 56-74), dan

sebagainya.

Pengaruh linguistik saussurean juga menguatkan relasi atau jaringan baik

antar orang atau antar institusi. Satu pihak saja tidak dapat mendefinisikan sesuatu

tanpa berinteraksi dengan pihak lain (Levi-Strauss 2005: 43-73), dan hanya dalam

interaksi itulah dapat dimunculkan pengetahuan, konsensus untuk bersikap atau

bertindak. Konsekuensinya bagi sosiologi mendalam, karena pandangan tersebut

menghancurkan konsep struktur yang kaku dalam bentuk pembagian kerja

(Durkheim 1933: 70-132) atau kelas (Marx dan Engels 1960: 49-67), sebagai

pola-pola yang dapat digunakan untuk memprediksi sikap, tindakan, dan

pemikiran. Pada saat ini paling-paling yang dapat dimunculkan berupa proses

menuju penciptaan struktur namun relatif cair atau mudah berubah, misalnya

berupa strukturasi (Giddens 2003: 19-34) atau arena (Bourdieu 2010a: 5).

Konsekuensi berikutnya berupa semakin pentingnya interaksi sebagai

penghasil konsep kunci sosiologis lainnya. Kekuasaan tidak bisa lagi dialamatkan

pada suatu status, posisi, atau institusi sosial apa adanya (Weber 1958: 180-195;

1

(35)

Parsons, 1977: 204-228; Marx dan Engels 1960: 49-67), melainkan kekuasaan

hanya muncul dalam suatu interaksi antar individu atau antar institusi (Foucault,

2002a: 62-65, 2002d: 120-128).

Kekuasaan menjadi muncul di mana-mana, sejauh interaksi sosial

berlangsung. Hal itu mengantarkan pada pemikiran, bahwa kekuasaan melandasi

interaksi sosial. Dalam kaitan dengan tanda-tanda yang dianalisis linguistik

saussurean, kekuasaan ditunjukkan oleh kemampuannya dalam mendominasi

tafsir terhadap tanda tersebut. Sebuah tanda dapat memiliki tafsir yang beragam

dan bertingkat-tingkat, namun pada akhirnya suatu definisi atau makna atas tanda

dalam suatu masyarakat tergantung kepada pemilik kekuatan dominan (Nietzsche

2000: 81-83).

Konsekuensi lebih jauh lagi pada pascastrukturalisme berupa upaya untuk

menunda hubungan langsung antara penanda dan petanda.

1

Ruang kosong antara

penanda dan petanda diisi dengan kekuasaan (Foucault 2002d: 120-128), sehingga

pemikiran Nietzsche mendapatkan landasan empirisnya.

Selain menggugat hubungan langsung antara petanda dan penanda, para

penganut pascamodernisme menghilangkan penanda. Ketika suatu petanda

mengemukakan referennya, yang yang dimaksud bukan lagi suatu penanda yang

esensial atau riil, melainkan berupa petanda lainnya. Jaringan hubungan antar

petanda akhirnya membentuk simulakra yang tidak berakhir (Baudrillard 2001:

181-194), sehingga mewujudkan pemikiran antiesensialisme.

Perkembangan sosiologi masa kini memiliki konsekuensi dalam kajian

kemiskinan.

Pertama

, konsep kemiskinan dapat dianalisis recara refleksif atau

sebagai diskursus.

Kedua

, refleksi dan diskursus kemiskinan dihasilkan melalui

interaksi sosial.

Ketiga

, interaksi sosial mengandung kekuasaan untuk

mendominasi pemaknaan dan penciptaan diskursus kemiskinan, serta memerangi

diskursus lainnya.

Keempat

, golongan miskin, simpatisan atau pengelolanya

dalam suatu kondisi dan waktu tertentu dipandang memiliki diskursus kemiskinan

tersendiri yang sistematis, sehingga salah satu tugas peneliti ialah menemukan

sistem pengetahuan khas tersebut.

Kelima

, dimungkinkan munculnya beragam

diskursus kemiskinan dari golongan sosial yang berbeda-beda.

1

(36)

Memadukan Teori Diskursus dan Praktik Sosial

Analisis sosiologis dapat dilakukan dalam tataran diskursus, refleksif,

struktur sosial, dan pengelolaan benda-benda (Foucault 2002a: 62-65). Saat ini

belum ditemui teori sosiologi yang membicaraan sekaligus keempat tataran

tersebut, sehingga dalam penelitian ini dipadukan teori diskursus dari Foucault

dan teori sosiologi dari Bourdieu. Meskipun Foucault telah menunjukkan keempat

tataran analisis ilmu sosial tersebut, namun ia hanya mengembangkan secara

mendalam teori diskursus. Adapun Bourdieu (2010aa: 9-10) menyetujui analisis

diskursus Foucault, namun lebih banyak mengembangkan tataran refleksif dan

interaksi sosial. Keduanya sama-sama mengkaji susunan benda-benda, dalam

kaitannya dengan tataran analisis di atas. Keduanya juga bersepakat dalam paham

filosofis diskontinuitas dalam perkembangan ilmu pengetahuan, mengembangkan

orientasi teori pada praktik sehari-hari, menyepakati konsep predisposisi sebagai

refleksi individu sebelum bertindak, dan munculnya kekuasaan secara inheren

dalam interaksi sosial.

Teori diskursus sendiri telah dikembangkan oleh banyak ahli, diantaranya

Foucault, Habermas, Laclau dan Moffe. Dibandingkan teori diskursus lainnya,

karya Foucault memiliki metode yang lengkap, dan telah dipraktikkan pada

berbagai bidang, termasuk dalam kritik pembangunan dan kemiskinan.

(37)

Tabel 1

. Kesetaraan Analisis antara Foucault dan Bourdieu

Tataran Analisis Sosiologi Konsep Foucault Konsep Bourdieu

Diskursus Diskursus Diskursus

Refleksif Refleksif Habitus

Struktur sosial Lembaga Arena

Susunan benda-benda Susunan benda-benda Modal ekonomi

Suatu interaksi, baik berupa interaksi sosial dalam arena atau lembaga,

maupun interaksi antar diskursus, dijelaskan sebagai suatu strategi (Bourdieu

2010a: 5; Foucault 2002a: 89-98). Konsep ini digunakan karena persis pada saat

interaksi berlangsung, maka turut serta kekuasaan yang dilimpahkan dari satu

agensi, struktur atau diskursus kepada pihak lainnya. Di sini kekuasaan tidak

didefinisikan sebagai semacam entitas tersendiri atau terstruktur hanya pada

lembaga politik, namun lebur dalam setiap interaksi.

Gambar 1

. Paduan Teori Diskursus dan Teori Praktik Sosial

Perpaduan teori diskursus Foucault dan teori sosiologi Bourdieu dapat

disusun dengan menempatkan diskursus sebagai konteks yang mendasari

keseluruhan refleksi dan tindakan sosial (

Gambar 1

). Hubungan antara diskursus

dan arena atau habitus tidak terjadi secara langsung, namun hanya saat diskursus

secara efektif mendukung eksistensi arena atau habitus tersebut.

Diskursus

modal Habitus 1

Habitus 2 modal

st

rat

egi

(38)

Interaksi sosial antar agensi dapat digambarkan sebagai hubungan antar

habitus dalam suatu arena. Sementara habitus bersifat subyektif, arena memiliki

sifat obyektif dan terstruktur secara lebih ketat. Hubungan antara habitus dan

arena hanya dapat berlangsung ketika prasyarat untuk memasuki arena sesuai

dengan predisposisi habitus. Predisposisi tersebut diperoleh melalui sejarah dan

pemikiran refleksif.

Berbagai jenis modal turut mendorong interaksi antar habitus. Hubungan

interaktif tersebut berlangsung sebagai suatu jaringan sosial, meskipun melewati

struktur yang hierarkis. Interaksi berlangsung sebagai suatu strategi yang

melibatkan kekuasaan antar agensi.

Diskursus menurut Foucault

Di antara beragam teori diskursus, terdapat tiga teori diskursus yang lebih

kuat sebagai landasan bagi munculnya analisis hingga teori sosial baru.

Pertama

,

teori diskursus dari Foucault (2002a: 28-188; 2003: 9-62), sebagai basis

pengembangan teori poskolonial, kekuasaan yang produktif untuk memampukan

atau memberdayakan, teori gay, teori pasca pembangunan, kritik modernitas

(Sachs 1992: 1-5; Said 2001: 3-20).

Kedua

, teori diskursus dari Laclau dan Moffe

(2008: 1-63), sebagai basis analisis hegemoni masa kini, post-Marxis,

konstruktivisme marxian dalam antropologi dan psikologi.

Ketiga

, teori diskursus

dari Habermas (1996: 118-132), dikembangkan dalam teori demokrasi deliberatif

dan analisis terhadap konflik (Dryzek 2002: 20-30).

Perbandingan antar teori diskursus tersebut tersaji pada

Tabel 2

.

Keseluruhan teori diskursus tidak memandang realitas sosial sebagai fakta,

melainkan sebagai metafora atau makna sesuai pandangan agensi. Manusia

sebagai subyek yang bebas dalam merekayasa dan meramalkan kejadian sosial

tidak lagi dipercaya.

(39)

pedesaan sebagai pihak yang di-Lain-kan dilandasi penolakan penggunaan tipe

ideal dari narasi besar modernisasi, kesediaan menggali beragam diskursus dan

praktik yang rasional (modernisasi) maupun bukan rasional (dari orang miskin

sendiri), serta pandangan kekuasaan yang menyebar dalam seluruh interaksi sosial

(sehingga orang miskin dipandang turut memiliki kekuasaan pula).

Tabel 2

. Teori Diskursus Foucault, Laclau dan Moffe, serta Habermas

Keterangan Teori Diskursus Foucault Teori Diskursus Laclau dan

Moffe

Teori Diskursus Habermas Realitas Antiesensialisme Antiesensialisme Antiesensialisme

Filsafat subyek

Ditolak Ditolak Ditolak

Universalisme Ditolak, dikembangkan

Diskontinuitas Diterima Diterima Ditolak, karena terdapat konsensus

Rasio Bawah sadar mendahului rasio

Sistematis Rasio prosedural

Tipe ideal Tidak mempercayai tipe ideal

Kekuasaan Kekuasaan inheren dalam interaksi

Dipengaruhi hegemoni Bersifat rasional, untuk mencapai konsensus

(40)

ini memungkinkan interaksi antar diskursus, dan memungkinkan analisis

perubahan sosial yang bersumber dari tataran diskursus maupun praktik.

Pembentukan Diskursus

Diskursus didefinisikan sebagai pernyataan yang memungkinkan

sekelompok tanda-tanda sebagai obyek suatu diskursus menjadi eksis (Foucault

2002a: 152-153), serta memungkinkan hadirnya bentuk dan aturan-aturan

kehadiran tanda-tanda kemiskinan tersebut. Sebuah pernyataan dikaitkan dengan

kemungkinan aturan-aturan bagi eksistensi obyek-obyek kemiskinan yang

dinamai, ditunjuk dan ditandai dalam pernyataan tersebut, dan bagi relasi antar

agensi yang diakui atau dibentuk di dalamnya.

Tabel 3

. Kesejajaran Level Analisis Umum dan Pembentukan Diskursus Foucault

Level Analisis Umum Level Formasi Diskursus

Teori Strategi

Proposisi Modalitas penyampaian

Konsep Konsep

Fakta Pernyataan

Kajian pembentukan diskursus terdiri atas level strategi, modalitas

penyampaian, konsep, positivitas, dan pernyataan (

Tabel 3

). Mengadaptasi

pemikiran Foucault (2002a: 56-77), bentuk diskursif kemiskinan ialah

sekelompok pernyataan yang menunjukkan: (1) seperangkat aturan umum yang

membentuk sendiri obyek kemiskinan (pemikiran, tindakan, susunan

benda-benda), (2) secara teratur memilah-milah hal yang boleh disampaikan, dan (3)

referensi dari suatu domain tindakan dan pemikiran. Bentuk diskursif terdiri atas

analisis pernyataan kemiskinan (pembentukan obyek, pembentukan posisi subyek,

pembentukan konsep, pembentukan pilihan strategi), yang berkorespondensi

dengan analisis domain tempat fungsi penyampaian informasi kemiskinan bekerja

(wilayah peristiwa diskursif dan modalitas penyampaian). Hal ini tersaji pada

Gambar 2

.

(41)

emergence

). Bagi penganutnya, obyek diskursus baru dipandang lebih rasional

daripada diskursus lama. Analisis diarahkan kepada cara untuk menentukan dan

membatasi domain suatu diskursus kemiskinan, hal-hal yang boleh dibahas di

antara penganutnya, status suatu obyek dihubungkan dengan obyek kemiskinan

lainnya, penamaannya, dan pengelompokan yang dimungkinkan.

Wilayah peristiwa diskursif

Pembentukan obyek

Modalitas penyampaian Pembentukan

konsep Pembentukan

strategi

Pembentukan subyek

Analisis Pernyataan

Domain diskursus

Gambar 2

. Bentuk Diskursif

Pembentukan subyek dikembangkan melalui situasi yang memungkinkan

golongan miskin dan pihak lain bertindak dalam kaitannya dengan berbagai

peluang tindakan yang diperbolehkan, yang disebut domain diskursus. Situasi

tersebut dikondisikan oleh jangkauan pemikiran, tindakan dan penyusunan benda

yang paling optimal, penggunaan perantara untuk memodifikasi informasi, dan

posisi di mana subyek bisa masuk ke dalam jaringan informasi.

(42)

diarahkan untuk menentukan syarat eksistensi golongan miskin, menjelaskan

batas-batas eksistensinya, menentukan korelasinya dengan pernyataan-pernyataan

lain yang mungkin tidak termasuk ke dalam wilayah diskursif tersebut.

Pengelolaan Diskursus

Lembaga sosial dan susunan benda-benda tidak bersifat diskursif.

Sementara diskursus bisa menemukan diskontinuitas dan berkembang lebih jauh,

lembaga sosial memainkan peranan utama untuk mengurangi efek revolutif

diskursus dalam melakukan perubahan sosial (Foucault 2003: 9-62). Penataan

diarahkan pada pengurangan atau pendisiplinan interaksi sosial yang secara

inheren menyebarkan kekuasaan.

Lembaga

sosial menyusutkan kekuatan diskursus melalui aturan

penyisihan, yang mengontrolnya secara eksterior (

Gambar 3

). Aturan penyisihan

meliputi,

pertama

, aturan pengecualian (

exclusion

), yang berisi larangan

(

prohibition

) untuk membahas aspek-aspek tertentu dari kemiskinan.

Kedua

,

aturan pembagian (

division

) dan penolakan (

rejection

) dari suatu konsep

kemiskinan.

Ketiga

, oposisi salah dan benar atas suatu pernyataan tentang

kemiskinan yang disampaikan.

(43)

Gambar 3

. Sirkulasi Diskursus

Aturan pengelolaan kekuasaan dalam diskursus kemiskinan meliputi,

pertama

, ritual, berupa tindakan berulang dalam suatu diskursus kemiskinan.

Kedua

, persahabatan diskursus (

fellowship of discourse

), berupa interaksi

solidaritas suatu diskursus kemiskinan dengan diskursus kemiskinan lainnya.

Ketiga

, kelompok doktrinal dalam suatu diskursus kemiskinan.

Keempat

,

penyisihan sosial (

social exclusion

) bagi pihak lain yang dipandang sebagai orang

luar dari suatu diskursus kemiskinan.

Diskontinuitas Diskursus

Pembentukan diskursus kemiskinan tidak hanya membuka peluang

munculnya diskursus yang sudah dikenal, namun sekaligus dapat menemukan

Institusi sosial

Aturan penyisihan

Aturan pengecualian

Obyek yang ditutupi

Ritual dan keadaan ritual

Hak bicara istimewa dan

eksklusif

Aturan pembagian dan penolakan

Oposisi salah dan benar

Aturan internal

Prinsip klasifikasi, penataan, distribusi

Komentar

Aspek pengarang

Disiplin

Aturan pengelolaan

kekuasaan

Ritual

Fellowship of discourse

Kelompok doktrinal

(44)

domain bagi munculnya calon diskursus kemiskinan lainnya. Domain bagi suksesi

suatu diskursus tersebut berupa suatu kejanggalan (

Gambar 4

).

Formasi dan Sirkulasi diskursus

Arkeologi Diskursus

Kesatuan diskursus

Kejanggalan

Kontradiksi Transformasi

Gambar 4

. Arkeologi Diskursus

Kejanggalan yang menguat menghasilkan kontradiksi kemiskinan.

Terdapat dua level kontradiksi (Foucault 2002a: 150-179),

pertama

, kontradiksi

penampakan, yang telah didamaikan dalam kesatuan diskursus kemiskinan yang

lama.

Kedua

, kontradiksi fondasi, yang melahirkan diskursus kemiskinan yang

baru. Analisis diarahkan kepada tipe-tipe kontradiksi kemiskinan, perbedaan level

sesuai dengan kemampuan kontradiksi tersebut dipetakan, dan perbedaan peran

terhadap diskursus kemiskinan yang bisa dikaji.

Kontradiksi

yang

memuncak

menghasilkan

transformasi

atau

diskontinuitas diskursus. Diskontinuitas merupakan praktik untuk menghasilkan

perbedaan, diferensiasi atau distingsi dari diskursus kemiskinan sebelumnya.

Praktik Sosial menurut Bourdieu

(45)

geografis) di mana ketika agensi, kelompok atau institusi semakin dekat satu sama

lain, maka makin banyak sifat umum yang mereka miliki.

Bourdieu (2011: 31-32, 88) mengetengahkan teori tentang praktik untuk

menganalisis kejadian-kejadian sosial. Sementara lazimnya teori sosiologi

mencari struktur atau makna dalam jangka panjang, teori tentang praktik sosial

memperdalam tindakan yang diambil agensi dalam suatu ruang dan waktu yang

terbatas. Analisis diarahkan terhadap struktur sosial atau arena yang membatasi,

namun juga kemampuan agensi untuk menggunakan pengalaman dan

pemikirannya dalam memutuskan sesuatu perihal kemiskinan pada saat itu (saat

habitus bersesuaian dengan arena kemiskinan tertentu).

Habitus

Habitus merupakan sistem disposisi dari agensi (orang miskin, pengelola

praogram dan sebagainya), yang bertahan lama dan bisa dialihpindahkan melalui

sosialisasi atau pendidikan (Bourdieu 2010a: 5-58). Disposisi tersebut diperoleh

sepanjang pengalaman hidupnya, menciptakan prinsip-prinsip tindakan sehingga

dapat berfungsi untuk menyusun struktur pengelolaan kemiskinan. Dalam

merumuskan habitus, Bourdieu menggunakan berbagai sudut pandang.

Habitus yakni disposisi berdasarkan peraturan yang akan

melahirkan perilaku-perilaku berdasarkan aturan dan teratur

(Bourdieu 2011: 85).

(Habitus adalah) asal-usul berupa skema persepsi, pikiran

dan tindakan (Bourdieu 2011: 164).

Habitus…yaitu struktur-struktur mental yang mereka

pakai untuk memahami dunia sosial, sebenarnya merupakan

internalisasi struktur dunia tersebut (Bourdieu 2011: 173).

Habitus adalah sistem skema produksi praktik sekaligus

sistem

skema

persepsi

dan

apresiasi

atas

praktik…

Konsekuensinya habitus memproduksi praktik dan representasi

yang dapat diklasifikasi, yang dapat dipilah-pilah secara obyektif

(Bourdieu 2011: 174).

(46)

Dalam masyarakat di mana kodifikasi hukum belum

terlalu canggih, habitus adalah prinsip cara-cara praktik yang

paling utama (Bourdieu 2011: 85).

Karena disposisi perseptif cenderung disesuaikan dengan

posisi, maka para agen, bahkan yang tidak beruntung sekalipun,

cenderung memahami dunia sebagai sesuatu yang alamiah dan

memang begitu adanya serta menerimanya dengan enteng

melebihi apa yang bisa dibayangkan orang (Bourdieu 2011: 173).

Sistem dalam habitus dibentuk melalui oposisi-oposisi pemikiran untuk

memahami lingkungan kemiskinan. Oposisi disusun menjadi beragam kode-kode

biner, sehingga bisa dipraktikkan melalui permainan homologi, yaitu

menggunakan kode-kode yang setara untuk memahami diskursus kemiskinan

yang lain (Bourdieu 2010a: 25-28). Permainan homologi antar oposisi terpenting

dapat membentuk struktur atau arena, dan menstrukturkan hubungan kekuasaan

serta antar lapisan sosial atas dan bawah. Homologi-homologi yang bersifat

oposisional tersebut juga membentuk aliansi di antara posisi-posisi yang serupa

(homolog).

Hubungan antara habitus dan arena dimulai dari pandangan, bahwa arena

merupakan serangkaian kesempatan atau prasyarat sosial yang obyektif,

sebagaimana halnya persyaratan untuk mendapatkan proyek pengurangan

kemiskinan. Agensi perlu menyesuaikan disposisinya yang subyektif dengan

ruang kesempatan obyektif yang sesuai, misalnya melalui pelatihan bagi golongan

miskin. Biasanya agensi memilih di antara kesempatan tersebut yang paling

mudah dimasuki, atau bersifat kontinum. Habitus yang bersifat diskontinu

terhadap persyaratan arena menyulitkan agen untuk memasuk arena tersebut.

Arena

Gambar

Tabel 1. Kesetaraan Analisis antara Foucault dan Bourdieu
Tabel 2. Teori Diskursus Foucault, Laclau dan Moffe, serta Habermas
Gambar 2. Bentuk Diskursif
Gambar 3. Sirkulasi Diskursus
+7

Referensi

Dokumen terkait

HUBUNGAN ANTARA MEDIA DENGAN TUJUAN PEMBELAJARAN Elvania

Dalam pembahasan masalah ini yang akan dibahas adalah mengenai cara pembuatan dari mulai menentukan struktur navigasi, membuat disain antarmuka, pembentukan elemen, penggabungan

Dalam sebuah studi cross- sectional, manusia dewasadi unit perawatan intensif dengan cedera ginjal akut (didefinisikan sebagai dua kali lipat dari kreatinin serum

yaitu pemberian pelayanan pendidikan sesuai dengan potensi kecerdasan dan bakat istimewa yang dimiliki oleh. siswa,

PROGRAI,I PAACASCRJANA TJNIWRSITAS ANDiIAS.. &hieeq

Untuk pencegahan, penyemprotan dilakukan sebelum hama menyerang tanaman atau secara rutin 1-2 minggu sekali dengan dosis ringan. Untuk penanggulangan, penyemprotan

Judul Penelitian : Pengaruh Penggorengan Vakum Terhadap Aktivitas Antioksidan, Profil serta kandungan Karotenoid Total BuahNangka (( Artocarpus heterophyllus ).. Vila Puncak

(2) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud