• Tidak ada hasil yang ditemukan

Discourse, power, and practice on rural poverty

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Discourse, power, and practice on rural poverty"

Copied!
275
0
0

Teks penuh

(1)

IVANOVICH AGUSTA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA DISERTASI YANG BERJUDUL DISKURSUS, KEKUASAAN DAN PRAKTIK KEMISKINAN DI PEDESAAN BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI, DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN BAIK OLEH PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA BERTANGGUNG JAWAB ATAS PERNYATAAN INI.

(3)

IVANOVICH AGUSTA. Discourse, Power, and Practice on Rural Poverty. Supervised by ENDRIATMO SOETARTO, DJUARA P. LUBIS, IRWAN ABDULLAH

Poverty is analyzed together with complexity of mutual relations and influences between discourses. As power is integrated in every social interaction, the relationships among and between level of discourses and practices should be seen as power relations as well. Power operates in enabling surface of emergence discourse and practice of poverty reduction. In line with the emergence of a particular discourse, it also emerges the certain poor. The will to overcome poverty further directs power to operate, manage or eliminate the poor that has emerged. Efforts to reduce poverty in Indonesia has been shaped by a variety of discourse and practice of poverty, namely surplus sharing, poverty of race and ethnicity, desiring modesty, socialist poverty, potential of the poor, and poverty of production. This study also examines power to dominate others. War discourse and practice is always shaped relationship of actions and reactions that are difficult to stop. The victory of the discourse to actively interpret poverty is dynamic, because at the same time also emerged a reaction from other discourses and practices in the form of manipulation of interpretation.Thus the victory of the discourse and practice in this war is always delayed, not total and complete victory. In accordance with the nature of discourse that builds space for power, the stronger the poverty discourse develops, then the bodies of the poor more and more emerges. Consequently, expansion poverty domain –from individual domains to families, groups, small businessmen, and local government—will also grow number of poor to more and more parties. The next operation of power seeks will manage, reduce or eliminate the poor body. The body of the poor just keeps emerging and active in the discourse and practice of socialist poverty and potential of the poor. Through the power of solidarity point of view, only within the potential of the poor power operates to emerge the poor, developing habitus to believe the poor, and create fields for emergence and activity or movement of the poor body.

(4)

IVANOVICH AGUSTA. Diskursus, Kekuasaan dan Praktik Kemiskinan di Pedesaan. Di bawah bimbingan ENDRIATMO SOETARTO, DJUARA P. LUBIS, IRWAN ABDULLAH

Penelitian ini hendak menjawab pertanyaan penelitian, yaitu, pertama, mengapa kekuasaan yang beroperasi belum mampu menanggulangi kemiskinan di pedesaan. Kedua, bagaimana kekuasaan beroperasi dengan membentuk dan mengelola beragam diskursus dan praktik kemiskinan di pedesaan. Ketiga, mengapa perang antar diskursus dan praktik kemiskinan berlangsung secara terus menerus.

Penelitian ini juga memiliki tujuan yang ingin dicapai, yaitu, pertama, menginterpretasi kemunculan keragaman diskursus, strategi penggunaan kekuasaan, dan praktik pengelolaan kemiskinan di pedesaan. Kedua, menginterpretasi hubungan kekuasaan dalam perang antar diskursus dan praktik kemiskinan di pedesaan. Ketiga, memunculkan golongan miskin untuk menanggulangi kemiskinannya sendiri.

Penelitian dilakukan dengan metode diskursus praktik, yang terdiri atas metode diskursus, metode praktik, dan metode perang diskursus. Metode diskursus meliputi arkeologi dan genealogi. Metode praktis meliputi refleksif dan obyektivisasinya. Metode perang diskursus mengarah pada interaksi yang berisikan kekuasaan di dalam sekelompok diskursus praktik tertentu, maupun interaksi antar sekelompok lainnya.

Pengambilan data lapangan pada level nasional terutama dilaksanakan di Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa di Pasar Minggu, Jakarta. Di sini dikaji diskursus kemiskinan produksi dan potensi golongan miskin. Penelitian terhadap diskursus berbagi kelebihan, menginginkan kesederhanaan, kemiskinan ras dan etnis dilakukan di Dusun Kalioso, Desa Karangrowo, Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa Tengah. Diskursus kemiskinan sosialis dipelajari dari analisis dokumen.

(5)

kehendak untuk memunculkan landasan bagi berlangsungnya diskursus dan praktik (enabling surface of emergence) penanggulangan kemiskinan. Sejalan dengan kemunculan diskursus tertentu mula-mula golongan miskin tertentu memang muncul. Kehendak untuk menanggulangi kemiskinan selanjutnya mengarahkan kekuasaan untuk beroperasi mengelola atau menghilangkan kemiskinan yang telah muncul tersebut. Upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia telah dibentuk oleh beragam diskursus dan praktik kemiskinan, yaitu berbagi kelebihan, kemiskinan ras dan etnis, menginginkan kesederhanaan, kemiskinan sosialis, potensi golongan miskin, dan kemiskinan produksi.

Di samping kekuasaan untuk memunculkan diskursus dan praktik tersebut, dalam penelitian ini kekuasaan juga dikaji dalam mendominasi pihak lain. Perang diskursus dan praktik selalu berbentuk hubungan aksi dan reaksi yang sulit berhenti. Kemenangan satu diskursus untuk aktif menafsir kemiskinan bersifat dinamis, karena pada saat yang sama juga muncul reaksi dari diskursus dan praktik lain dalam bentuk manipulasi tafsir.

Hubungan kekuasaan antara satu diskursus dan praktik kemiskinan dengan lainnya tidak hanya mendominasi, melainkan sekaligus membuka permukaan bagi manipulasi tafsir baru yang menguntungkan diskursus dan praktik lainnya. Dengan demikian kemenangan satu diskursus dan praktik dalam perang ini selalu bersifat tertunda, bukan kemenangan total dan selesai.

Sesuai dengan sifat diskursus yang membangun ruang untuk berkuasa, semakin kuat diskursus kemiskinan berkembang, maka tubuh-tubuh miskin semakin banyak muncul. Konsekuensinya, perluasan domain kemiskinan –dari individu bertambah keluarga, kelompok, usahawan kecil, hingga pemerintah daerah—kian banyak memberikan identitas miskin kepada semakin banyak pihak. Penguatan diskursus kemiskinan sekaligus menunjukkan peningkatan kebutuhan akan tubuh-tubuh miskin.

(6)
(7)

IVANOVICH AGUSTA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Didin S. Damanhuri, MS, DEA (Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen,

Institut Pertanian Bogor)

Dr. Rilus A. Kinseng

(Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor)

Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, MS, DEA

(Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor)

Drs. Sumedi Andono Mulyo, MA, Ph.D

(9)

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA Ketua

Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS Prof. Drs. Irwan Abdullah, Ph.D

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Sosiologi Pedesaan

Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, MSc Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

(10)

Hanya atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa disertasi berjudul Diskursus, Kekuasaan dan Praktik Kemiskinan di Pedesaan dapat diselesaikan. Karya ilmiah ini dimaksudkan sebagai landasan untuk mengatasi permasalahan sosial bersama golongan yang kekurangan di pedesaan.

Kemiskinan di pedesaan telah menjadi kajian peneliti sejak tahun 1997 hingga kini. Sejak krisis moneter pada tahun 1998, penelitian perihal kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat berkembang secara luas. Peneliti hampir setiap tahun turut serta dalam penelitian kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat – sebagian besar menjadi ketua tim— di Bappenas, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, di samping di dalam Institut Pertanian Bogor sendiri.

Suatu ketika, pada tahun 2005 peneliti mendapatkan tugas dari Bappenas untuk menyelidiki paradigma pemberdayaan dan penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Hasil kajian tersebut memberikan pengetahuan awal tentang keragaman cara pandang dan praktik penanggulangan kemiskinan.

Hasil kajian tersebut terus diperdalam selama peneliti menjalani perkuliahan program doktoral di Institut Pertanian Bogor. Pilihan analisis diskursus dan praktik didasarkan pada jenis analisis mutakhir dalam sosiologi pedesaan. Harapannya dapat menempatkan sosiologi pedesaan pada posisi termaju dalam kancah ilmu-ilmu sosial. Sebenarnya analisis diskursus dan praktik hanya digunakan untuk mengkritik teori dan konsep dari Barat, dan selanjutnya peneliti mengembangkan konsep dan teori dari pedesaan Indonesia sendiri.

Kami menyadari bahwa karya ini masih mengandung beragam retakan kekurangan. Kritik dan saran dari Pembaca budiman sangat kami hargai.

(11)

Ivanovich Agusta dilahirkan di Kudus, Jawa Tengah, pada tanggal 16 Agustus 1970. Anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Alex Achlish dan Hartati. Riwayat pendidikan yang ditempuh adalah Program Sarjana pada Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 1993; Program Magister pada Program Studi Sosiologi Pedesaan, Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 1997. Pada saat ini penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

(12)

Peneliti mengucapkan terimakasih yang setinggi-tingginya kepada

1. Berbagai pihak yang bersedia melakukan rembugan di lapangan, yaitu Fuji Artanto, Anom Surya Putra, Indra Kwarnas, Aries, Hery, Wahono, Tino, Irwan, Suntono, Nurhadi, Safwan, Wargono, Gunretno, Gunondo, Sugiri, Leginah, Sarpan.

2. Promotor yang telah memberikan berbagai saran perbaikan disertasi, yaitu Prof. Dr. Drs. Endriatmo Soetarto, MA, Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS, dan Prof. Drs. Irwan Abdullah, Ph.D.

3. Para penguji pada ujian tertutup, yaitu Prof. Dr. Ir. Didin S. Damanhuri, MS, DEA, dan Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA.

4. Para penguji pada ujian terbuka, yaitu Prof. Dr. Ir. Didin S. Damanhuri, MS, DEA, dan Drs. Sumedi Andono Mulyo, MA, Ph.D.

5. Pejabat Sekolah Pascasarjana IPB, yaitu Prof. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr, Prof. Dr. Ir. Marimin, MSc

6. Pejabat dan mantan pejabat Program Studi Sosiologi Pedesaan, yaitu Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, MSc, Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA, Dr. Ir. M.T. Felix Sitorus, MS, dan Dr. Nurmala K. Panjaitan, MS, DEA.

7. Dr. Ir. M.T. Felix Sitorus, MS yang telah memberikan kesempatan untuk bersekolah di Program Studi Sosiologi Pedesaan.

8. Prof. Dr. Ir. Sajogyo, Prof. Dr. Sediono M.P. Tjondronegoro, Prof. Dr. Amri Marzali, yang telah memberikan rekomendasi untuk bersekolah di Sekolah Pasca Sarjana IPB Bogor

(13)

Nasdian, MS.

11.Kepala Pusat Studi Pembangunan, Pertanian dan Pedesaan IPB Bogor, Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS.

12.Teman-teman seangkatan yaitu Dr. Tyas Retno Wulan, Dr. Abdul Malik, Dr. Pulanggono Setyo Lenggono, Bob Alfiandi, Dr. Maihasni, Dr. Hartoyo.

13.Istri dan anak-anak, yaitu Ir. Ani Tetiani, MSi, Madania Tetiani Agusta, Karyssa Tetiani Agusta, dan Muhammad Aliansya Agusta.

14.Kedua orang tua, yaitu Alex Achlish, Hartati, Oman Sukmara, Imas Sukaya 15.Adik dan bulik di Kudus, yaitu Helida Heirani, Heri Prasetya, Paramita

Savitri, Arif Purnomo, Durroh.

(14)

Halaman

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 6

Tujuan Penelitian ... 6

BAB 2 PENDEKATAN TEORETIS ... 9

Tinjauan Pustaka ... 9

Filsafat Kuasa/Pengetahuan ...……….... 9

Pemandangan Baru Sosiologi ………... 12

Memadukan Teori Diskursus dan Praktik Sosial 15 Diskursus menurut Foucault ... 17

Pembentukan Diskursus ……… 19

Pengelolaan Diskursus ……….. 21

Diskontinuitas Diskursus …...……... 22

Praktik Sosial menurut Bourdieu ... 23

Habitus ………... 24

Arena ……….... 25

Kemunculan Kekuasaan melalui Interaksi Sosial 26 Kajian Diskursus Kemiskinan secara Dikotomis 28 Kerangka Penelitian ... 29

Konsep Kerja ... 32

BAB 3 PENDEKATAN LAPANGAN ... 35

Metode Diskursus Praktik ... 35

Lokasi Pengumpulan Data ... 38

Metode Pengumpulan Data ... 47

Metode Analisis Dokumen dan Penemuan Diskursus Kemiskinan ... 47

(15)

Bias dan Kebaruan Penelitian ... 61

BAB 4 DISKURSUS DAN PRAKTIK BERBAGI KELEBIHAN …… 65

Penyamaran Hierarki/Diferensiasi ………... 66

Dinamika Mekanisme Mengutangi/Menabung, Mengakumulasi/Berbagi, Berbagi/Mengakumulasi ………… 70

Ikhtisar ………... 81

BAB 5 DISKURSUS DAN PRAKTIK KEMISKINAN RAS DAN ETNIS ………... 83

"Mem-primitif-kan" ……….. 84

Pemberontakan Tubuh Primitif ……… 94

Ikhtisar ……… 98

BAB 6 DISKURSUS DAN PRAKTIK MENGINGINKAN KESEDERHANAAN ………. 99

Disiplin Pelemahan Daging ……….. 100

"Ngrame" Mengabarkan Kebenaran ………. 106

Ikhtisar ………...……… 110

BAB 7 DISKURSUS DAN PRAKTIK KEMISKINAN SOSIALIS …. 113 Menghisap Tubuh ………. 115

Merebut Hak Tubuh Miskin …...……….. 122

Ikhtisar ………...……… 125

BAB 8 DISKURSUS DAN PRAKTIK POTENSI ORANG MISKIN 127 Mempercayai Tubuh Miskin ……… 128

Berkelompok Menghadirkan Kekuasaan ………. 135

Ikhtisar ………...……… 138

BAB 9 DISKURSUS DAN PRAKTIK KEMISKINAN PRODUKSI 141 Mengorganisasikan Kemiskinan ………... 142

Kehendak Menguasai Pengetahuan Kemiskinan ………. 147

Mendisiplinkan Efisiensi Tubuh Miskin ……….. 151

(16)

Panoptisme Orang Miskin Sedunia ………. 180

Ikhtisar ……….. 191

BAB 11 KESIMPULAN: KEMBALI KE UUD 1945 ……... 193

Menjawab Permasalahan dan Tujuan Penelitian ……….. 193

Epilog: Tubuh Miskin dan Konstitusi ……….. 197

DAFTAR PUSTAKA ……... 201

(17)

Nomor Halaman 1 Kesetaraan Analisis antara Foucault dan Bourdieu ... 16 2 Teori Diskursus Foucault, Laclau dan Moffe, serta Habermas 18 3 Kesejajaran Level Analisis Umum dan Formasi Diskursus

(18)

Nomor Halaman

1 Perpaduan Teori Diskursus dan Teori Praktik Sosial ……….. 16

2 Bentuk Diskursif ... 20

3 Sirkulasi Diskursus ... 22

4 Arkeologi Diskursus ... 23

5 Kerangka Penelitian ... 30

6 Stratifikasi dan Mobilitas Sosial di Dusun Kalioso ………… 68

7 Dikotomi Diskursus Berbagai Kelebihan ……… 69

8 Dikotomi Diskursus Kemiskinan Rasial dan Etnis..………… 89

9 Dikotomi Diskursus Menginginkan Kesederhanaan………… 101

10 Dikotomi Diskursus Kemiskinan Sosialis……… 116

11 Dikotomi Diskursus Potensi Golongan Miskin …...……….. 129

12 Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 1975-2008 ……… 144

13 Perkembangan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 1975-2008 ……… 145

14 Dikotomi Diskursus Kemiskinan Produksi....……….. 146

15 Evaluasi Kemiskinan Hipotetis ……… 148

16 Adaptasi Ekonomi Formal dan Psikologi dalam CDD …… 153

17 Genealogi Diskursus Kemiskinan di Pedesaan Indonesia …... 159

18 Hubungan Terbalik antara Kemiskinan dan Ketimpangan Sosial ……… 188

(19)
(20)

Arena : struktur yang bersifat obyektif, berisikan syarat-syarat obyektif, yang bisa digunakan individu untuk berinteraksi dengan pihak lain

Arkeologi diskursus : pembentukan diskursus, pengelolaannya, penormalan pada saat menemui keretakan epistemologis.

Diskursus : jenis pernyataan yang memungkinkan sesuatu menjadi muncul, baik berupa habitus, arena, maupun benda-benda tertentu.

Episteme : kegiatan untuk menelusuri sejarah timbulnya, berkembangnya, hingga berubahnya suatu pengetahuan atau disiplin formal dan bukan-formal tentang kemiskinan.

Genealogi diskursus : operasi kekuasaan untuk menghasilkan diskursus atau menimbulkan krisis bagi terbentuknya diskursus baru

Habitus : predisposisi, pengalaman, pemikiran sebelum melakukan tindakan

Kekuasaan : kemampuan untuk mendominasi, namun juga untuk memunculkan solidaritas, dan kekuasaan hanya muncul melalui interaksi antara habitus, arena, dan diskursus

Modal : benda dan jasa yang memberi kekuatan habitus atau individu untuk bertindak

Panoptisme : operasi kekuasaan untuk mengawasi individu atau kelompok miskin, juga habitus dan arena

Parrhesia : kehendak untuk membatasi ketergantungan kepada kebendaan agar tubuh menjadi suci, serta memunculkan kehendak untuk mengabarkan kebenaran kepada pihak lain

Perang diskursus : operasi kekuasaan untuk mendominasi diskursus lain, sekaligus membuka permukaan bagi reaksi diskursus lainnya.

(21)
(22)

Latar Belakang

Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 menyatakan, bahwa negara Indonesia dibentuk guna memajukan kesejahteraan umum. Berkaitan dengan hal tersebut, pembangunan telah dijadikan pilihan mekanisme untuk mengisi kemerdekaan bangsa (Soeharto 2008: 238).1 Untuk memajukan kesejahteraan umum, secara khusus pemerintah diwajibkan memelihara fakir miskin, mengembangkan sistem jaminan sosial, dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu2 (Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945 2010: 766).

Akan tetapi ditemukan berbagai kejanggalan pengelolaan kemiskinan – yang mencakup pula pengelolaan golongan fakir, lemah dan tidak mampu. Mungkin karena dipandang bersifat relatif, namun muncul kehendak untuk mengobyektifikasi ukurannya, kemiskinan telah lama menjadi medan pertarungan kekuasaan. Operasi kekuasaan telah memunculkan atau menghilangkan topik kemiskinan, mengurangi atau menambahi jumlah golongan miskin, menentukan pengelola orang miskin, dan sebagainya. Sajogyo (2006: 257) menjelaskan sebagai berikut.

Untuk menentukan miskin tidaknya seseorang bukanlah hal yang mudah, hal ini relatif. Ukuran kemiskinan di tiap daerah berbeda.

Presiden Soeharto (2008: 415) menyatakan hal serupa.

1

Pembangunan juga menjadi orientasi Presiden Soekarno untuk mengisi kemerdekaan, sebagaimana tulisannya untuk Pembangunan Semesta Berentjana, Bagian jang Diucapkan pada rapat pleno Depernas, 28 Agustus 1959, halaman 29.

2

(23)

… kita jadi berpikir mengenai ukuran adil dan makmur itu, dan jawabannya bergantung pada orangnya. Ukuran adil dan makmur tidak terlepas dari penilaian kita masing-masing. Dan hal itu harus dilihat juga dari segi kemampuan masing-masing.

Ada batas minimal untuk menyebut bahwa secara lahiriah seorang itu mestinya sudah harus bisa mengatakan cukup dan terjamin ketentraman hidupnya. Tetapi inipun menyangkut lagi soal sikap seseorang.

Dalam dekade terakhir penjajahan Belanda, Soekarno juga pernah menolak ukuran kecukupan makan senilai sebenggol (f 2,5) sehari yang dinyatakan direktur Binnenlands Bestuur (BB) dalam sidang legislatif.

… adalah perbedaan besar antara apa yang dikatakan oleh direktur BB dengan apa yang saya katakan; adalah perbedaan besar antara perkataan CUKUP dengan perkataan TERPAKSA. Terpaksa hidup dengan sebenggol, dan cukup hidup dengan sebenggol –di antara dua ini adalah perbedaan yang sama lebarnya dengan perbedaan antara sana dan sini, antara kaum penjajah dan kaum terjajah, antara kaum kolonisator dan kaum gekoloniseerde!

… Pemerintah dengan enormiteit-nya direktur BB itu bermaksud menunjukkan, bahwa dus kaum Marhaen1 masih gampang hidup, bahwa dus pemerintah punya krisis-politik adalah tak merugikan Marhaen (Soekarno 1965: 178).

Dengan dorongan kekuasaan, kemiskinan menjadi topik bermasyarakat dan bernegara yang berkali-kali dimunculkan atau dihilangkan. Di tengah-tengah masyarakat sendiri, kemiskinan –atau dengan konsep yang serupa seperti kekurangan—telah muncul dan diatasi bersama-sama sejak lama (Soedjatmoko 1984: 46). Pemerintah Hindia Belanda membesarkan kemunculannya hingga meliputi wilayah nusantara untuk menangani kemiskinan khusus pada tubuh kreol Indo Eropa pada awal abad ke 20 (Gouda 2007: 196). Bersamaan dengan pernyataan kemerdekaan Indonesia, tubuh orang miskin yang sakit muncul dalam aturan pemeliharaan Departemen Kesehatan di rumah-rumah sakit pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.2 Hingga dua pertiga masa pemerintahan

1 Dalam penelitian ini digolongan sebagai kelas miskin. 2

(24)

Presiden Soeharto, fakir miskin secara normatif ditangani oleh Departemen Sosial.1 Bersama-sama dengan program pemerintah yang didukung utang luar negeri, sejak tahun 1993 tubuh orang miskin muncul dalam kelompok masyarakat atau disingkat pokmas (Mubyarto 2000, 1-6). Organisasi yang mengawasi dan mengorganisasikan program penanggulangan kemiskinan kemudian resmi dibentuk pemerintah secara beruntun sejak tahun 2000 hingga kini.2

Dalam sifat kemiskinan yang relatif, peperangan terjadi untuk menentukan jenis dan jumlah orang miskin. Kekuasaan yang lebih dominan memunculkan makna kemiskinan yang lebih dominan, sekaligus melemahkan atau menghilangkan tafsir kemiskinan lainnya. Pada waktu tubuh Indo Eropa digolongkan miskin, tubuh pribumi dengan tingkat pengeluaran ekonomi lebih rendah dilepaskan dari taksonomi ini (Gouda 2007: 196). Meskipun akademisi menegaskan kemiskinan di pedesaan (Geertz 1983: 102; Singarimbun dan Penny, 1976: 50-61), namun semasa pemerintahan Soekarno dan pada awal pemerintah Soeharto justru kegotongroyongan warga desa dipandang sebagai modal pembangunan untuk mengimbangi persoalan ketimpangan sosial di perkotaan.3 Saat kemiskinan di pedesaan yang ditangani kelompok masyarakat dimunculkan lebih kuat pada dekade 1990-an, peran pemerintah daerah diminimalkan (Sajogyo, ed. 1997: 116-136). Berlawanan dari itu, sejak dekade berikutnya peran pemerintah, pemerintah daerah dan swasta meninggalkan peran kelompok masyarakat.4

Tahun 1955 tentang pengubahan dan tambahan pasal 4 undang-undang nomor 18 tahun 1953 (lembaran negara nomor 48 tahun 1953) tentang penunjukan rumah-sakit rumah-sakit partikulir yang merawat orang-orang miskin dan orang-orang yang kurang mampu.

1 Mandat normatif untuk menangani fakir miskin tertera dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) periode 1973-1978, 1978-1983, 1983-1988, 1988-1993, pada arah kebijakan bidang Kesejahteraan Rakyat, Pendidikan dan Kebudayaan, pada sektor Kesejahteraan Sosial.

2 Melalui pembentukan Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (BKPK) pada tahun 2001, Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) pada tahun 2001, Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) pada tahun 2005, dan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) pada tahun 2010.

3 Untuk pandangan Presiden Soekarno lihat Amanat Presiden tentang Pembangunan Semesta Berentjana, Bagian Tertulis jang Disampaikan kepada Depernas, 28 Agustus 1959, halaman 45; untuk pandangan pemerintahan Presiden Soeharto lihat Pola Dasar Program Umum Nasional dan Pola Dasar Rentjana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), 29 Pebruari 1968, halaman 34.

(25)

Peperangan tidak hanya muncul pada tataran tafsir atau diskursus, melainkan juga dalam praktik. Setiap diskursus yang kuat dikembangkan lebih lanjut dengan pembentukan lembaga dan organisasi tersendiri. Kelembagaan ini mendisiplinkan tingkah laku agar berpola sesuai diskursusnya sendiri. Perkembangan kelompok masyarakat miskin selama tahun 1993-1998 mengarah untuk membentuk gerakan masyarakat, mengikuti arahan dari pemerintah yang kuat menuju masyarakat yang kuat (Mubyarto 1996: 27-28, 59-60). Diskontinuitas terjadi ketika muncul arah yang berkebalikan dari Program IDT tersebut, untuk menguatkan pemerintah daerah hingga pemerintah pusat. Telah disebutkan di muka, bahwa sejak tahun 2008 penanganan kemiskinan diarahkan untuk masuk dalam struktur perencanaan pembangunan dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional.

Dengan meletakkan kumulasi maupun diskontinuitas penanganan kemiskinan di pedesaan Indonesia seperti di atas, analisis yang pernah dilakukan selama ini terlihat mengandung berbagai kelemahan. Analisis budaya sejak awal sulit memutuskan budaya kemiskinan sebagai faktor penyebab munculnya masalah sosial lain (Lewis 1993: 6), ataukah kemiskinan menjadi akibat dari kemunculan masalah sosial yang berbeda (Geertz 1983: 150). Analisis kemiskinan struktural (Soemardjan 1984: 5-11) sulit mempertimbangkan penciptaan berulang kali organisasi penanggulangan kemiskinan di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sejak tahun 2001 berikut penciptaan puluhan ribu kelompok orang miskin, namun diikuti dengan peningkatan kemiskinan relatif, sebagaimana ditunjukkan oleh peningkatan koefisien Gini sebesar 0,33 pada tahun 2001 menjadi 0,37 pada tahun 2009.1 Analisis berbasis agensi sulit mempertimbangkan persaingan pendefinisian kemiskinan yang terbentuk justru dalam agensi yang sama. Dalam pemerintahan telah berkembang perbedaan definisi dan jumlah golongan miskin, seperti perbedaan antara Badan Pusat Statistik, Kementerian Sosial, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, dan Bappenas. Analisis ekonomi dalam kaitannya dengan pembangunan sulit menjelaskan jumlah (lebih dari 17 juta) dan persentase (56 persen) orang miskin jauh lebih tinggi di Jawa dibandingkan wilayah lain (BPS 2011: 40), padahal industrialisasi dimulai dari

(26)

Jawa sejak masa penjajahan dan pembangunan tetap terkonsentrasi di sana hingga kini.

Dengan menyadari kelemahan analisis selama ini, diperlukan pola analisis baru yang mampu memperhitungkan beragam makna kemiskinan, hubungan antar agensi yang melintasi pelapisan sosial, dan diskontinuitas perang antar beragam makna kemiskinan. Penelitian mengajukan alternatif analisis diskursus kemiskinan. Dalam membentuk pengetahuan yang kuat, diskursus kemiskinan secara timbal balik membentuk praktik-praktik khusus. Perang antar diskursus kemiskinan sekaligus terwujud dalam upaya dominasi antar agensi maupun struktur sosial.

Analisis diskursus terhadap kemiskinan pada level global sudah dimulai sejak awal 1990-an. Analisis tersebut telah mampu menunjukkan kekuasaan pemaknaan kemiskinan oleh donor dan negara maju, yang digunakan untuk melangsungkan pembangunan di negara-negara miskin (Rahnema 1992: 167-169). Telah ditemukan dikotomi antara makna kemiskinan menurut donor dan negara maju yang berbeda dari makna yang berkembang di negara miskin atau di tengah masyarakat miskin.

Sayangnya beragam analisis diskursus kemiskinan selama ini masih belum menggali aneka diskursus kemiskinan lokal, kecuali hanya sebagai satu kutub dari dikotomi dengan negara maju.1 Masih diperlukan kajian lebih mendalam untuk mendapatkan beragam diskursus kemiskinan, khususnya yang tercipta di pedesaan Indonesia. Tertuju pada kritik terhadap dominasi diskursus kemiskinan donor dan negara maju, jaringan peperangan antar beragam diskursus kemiskinan bahkan belum digali secara mendalam.

Secara khusus kajian di wilayah pedesaan penting, karena persentase penduduk miskin di pedesaan mendadak melampaui perkotaan serentak dengan penerbitan Inpres Nomor 5 Tahun 1993 (Inpres Desa Tertinggal), diikuti dominasi program pengurangan kemiskinan di pedesaan hingga kini. Akan tetapi undang-undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang penanganan fakir miskin hendak memusatkan penanganan kemiskinan perkotaan sebagaimana terbaca dari

(27)

alternatif penanganan melalui rumah singgah, panti, dan sebangsanya, yang biasa terdapat di perkotaan.

Perumusan Masalah

Meskipun terdapat beragam diskursus dan praktik penanggulangan kemiskinan, tampaknya kewajiban negara untuk memajukan kesejahteraan umum dalam Pembukaan UUD 1945 belum terwujud, terutama di pedesaan. Pertanyaan pokok dan pertama yang diajukan dalam penelitian ini ialah, mengapa kekuasaan yang beroperasi belum mampu menanggulangi kemiskinan di pedesaan.

Dengan menyadari keberadaan berbagai diskursus kemiskinan yang memiliki kekuatan untuk mendominasi tafsir kemiskinan, perlu dipelajari proses pembentukan masing-masing diskursus tersebut. Meskipun muncul beragam diskursus, namun hal tersebut belum mampu menanggulangi kemiskinan di pedesaan. Berkaitan dengan itu, rumusan masalah kedua ialah, bagaimana kekuasaan beroperasi dalam membentuk dan mengelola beragam diskursus dan praktik kemiskinan di pedesaan.

Dibutuhkan pula pengetahuan perihal perang antara diskursus dan praktik sosial yang satu dengan lainnya, karena dalam peperangan tersebut upaya penanggulangan kemiskinan yang satu dapat ditenggelamkan oleh upaya kemiskinan lainnya. Seluruh pola hubungan tersebut mengikutsertakan kekuasaan, atau kekuasaan terbangun dari hubungan tersebut. Dalam kaitan ini diajukan permasalahan ketiga, mengapa perang antar diskursus dan praktik kemiskinan berlangsung secara terus menerus.

Tujuan Penelitian

(28)
(29)
(30)

Tinjauan Pustaka

Filsafat Kuasa/Pengetahuan

Di tengah kritik lemahnya landasan filosofis karya ilmiah di Indonesia (Sajogyo, 2006: 65), satu bagian khusus perihal landasan filosofis penelitian ini

perlu disertakan, pertama, untuk mengetengahkan posisi filosofis penelitian, dengan menunjukkan ide-ide filosofis tertentu yang digunakan dalam penyusunan teori dan metode. Posisi penelitian ini berada dalam ranah episteme. Kedua, untuk mengajukan kritik dan membuka peluang penelitian baru dalam ilmu-ilmu sosial. Kajian beragam diskursus kemiskinan dalam suatu waktu yang sama dimungkinkan, dengan terlebih dahulu mengetengahkan domainnya yang berbeda-beda. Adapun interaksi antar beragam diskursus –sebagai konsekuensi dari kemunculannya dalam waktu yang bersamaan—berpeluang dikaji melalui konsep kekuasaan dan praktik sosial.

Konsep episteme, yang mula-mula berkembang dalam filsafat Perancis, digunakan sebagai pangkal tolak pembahasan. Sementara konsep epistemologi – yang lebih dikenal—menggali berbagai cara yang digunakan manusia untuk mendapatkan pengetahuan, episteme secara khusus merujuk pada kegiatan untuk menelusuri sejarah timbulnya, berkembangnya, hingga berubahnya suatu pengetahuan atau disiplin.1 Dalam penelitian ini episteme diarahkan pada perkembangan pengetahuan perihal kemiskinan.

Georges Canguilhem menyajikan kekhususan kajian terhadap sejarah pengetahuan tersebut. Filsuf lainnya membedakan atau menyusun demarkasi pengetahuan ilmiah dari pengetahuan masyarakat umumnya, dan secara sengaja hanya mengkaji ilmu pengetahuan yang ilmiah (Popper 2008: viii), namun

episteme sengaja tidak membedakan kedua jenis pengetahuan tersebut. Golongan

1

(31)

filsuf yang meninggikan derajat ilmu pengetahuan mendasarkan argumennya pada pandangan bahwa susunan jenis pengetahuan ini sistematis. Sebaliknya dalam

episteme berkembang pandangan bahwa dalam tiap jenis pengetahuan, termasuk pengetahuan umum dalam masyarakat, terdapat susunan yang terstruktur dan sistemik. Struktur tersebut telah ditemukan baik pada masyarakat Barat1 maupun dalam komunitas tribal.2 Canguilhem (2005: 79) menjelaskannya sebagai berikut.

A culture is a code that orders human experience in three respects – linguistic, perceptual, practical; a science or a philosophy is a theory or an interpretation of that ordering. But the theories and interpretations in question do not apply directly to human experience. Science and philosophy presuppose the existence of a network or configuration of forms through which cultural productions are perceived. These forms already constitute, with respect to that culture, knowledge different from the knowledge constituted by sciences and philosophies. This network is invariant and unique to a given epoch, and thus identifiable through reference to it.

Diskontinuitas sejarah pengetahuan berkaitan dengan pandangan, bahwa perkembangan tiap jenis pengetahuan terbatas menurut ruang dan waktu, tidak bersifat universal baik dalam arti teorinya berguna untuk masyarakat sedunia, atau teorinya berlaku sepanjang waktu. Konsekuensinya metode untuk menilai atau mengontrol pengetahuan juga tidak universal, melainkan hanya sesuai dengan ruang dan waktu perkembangan jenis pengetahuan tersebut.

Konsekuensi yang lebih mendasar muncul dalam perumusan sejarah pengetahuan. Perkembangan pengetahuan tidak bersifat kumulatif, melainkan bersifat diskontinu.

Adapun hubungan antar diskursus yang telah memiliki domainnya

sendiri-sendiri dapat dilakukan melalui filsafat kekuasaan. Pengetahuan tidak disusun atas fakta-fakta obyektif atau realis, melainkan terbatas pada tafsir atas metafora (Nietzsche 2002: 45-47). Dengan kata lain, pengetahuan menjadi bersifat imajiner, yang menyembunyikan perspektif dan hasrat penyusunnya. Kesadaran

1

Canguilhem (2005: 90) menunjukkan dikotomi "yang normal" dan "yang abnormal" (atau pernah disebutnya "yang patologis" (Foucault 2002: 394)) dalam struktur pengetahuan Barat masa kini.

2 Levi Strauss menemukan struktur majemuk dikotomis dalam masyarakat tribal (lihat Levi

(32)

pengetahuan seseorang selalu berupa kesadaran-atas-hierarki antara penafsir yang lebih kuat dan yang lebih lemah.

Tafsir tidaklah netral atau sekedar sesuai dengan kepentingan pelakunya sebagaimana pandangan konstruktivisme, namun di sini tafsir terkuat muncul sebagai tanda bekerjanya kekuasaan tertinggi yang melingkupinya. Tafsir atas sesuatu diketahui melalui kekuasaan yang dimilikinya atau diekspresikan olehnya. Dengan demikian kekuasaan mendominasi realitas, sehingga suatu hubungan antara diskursus dan praktik yang satu dengan lainnya selalu menunjukkan kekuasaan penafsiran terkuat. Persepsi yang disusun peneliti terhadap realitas tersebut juga merupakan ekspresi atas kekuasaan-kekuasaan yang membentuk realitas tersebut. Peneliti dapat menangkap makna dari perang diskursus pada saat mengetahui kekuasaan utama yang menyusun tafsir tersebut. Suatu kekuasaan yang ditemukan, sebaliknya, dapat menjadi petunjuk tafsir utama yang mungkin diambil dari hasil perang diskursus tersebut. Namun demikian, hierarki penafsiran tidak membuat pemaknaan homogen, namun pemaknaan atas sesuatu senantiasa bersifat plural. Obyek tidak pasif, namun ia sendiri merupakan kekuasaan, atau yang mengekspresikan kekuasaan untuk memaknai. Oleh sebab itu terdapat

kekuatan tarik menarik antara obyek dengan kekuatan yang menguasainya (Nietzsche 2000: 81-83).

Dalam bentuk saling berkaitan atau berinteraksi dengan kekuasaan lain, kekuatan ini dinamakan sebagai kehendak untuk berkuasa (Nietzsche 2002: 45-47). Yang diinginkan oleh kehendak untuk berkuasa ialah menegaskan

perbedaannya, distingsinya, atau diskontinuitasnya dari kekuatan lain. Kelahiran

(33)

Pemandangan Baru Sosiologi

Gerakan akademis berupa putaran linguistik (linguistic turn) yang bermula di Perancis pada dekade 1960-an dan 1970-an telah mengubah karakteristik ilmu-ilmu sosial masa kini, yang benar-benar berbeda dari era sebelumnya (Ritzer 2006: 1-3; Sutherland 2008: 46-66). Tantangan tidak hanya berlaku pada teori-teori umum, namun juga pada teori-teori-teori-teori yang dikembangkan dari wilayah khusus, misalnya dari Indonesia (Dhakidae 2002: 60-66; Philpott 2003: 56-67). Pengaruh putaran linguistik tidak sekedar berupa pengembangan strukturalisme sebagai konsekuensi dari teori linguistik dari Saussure (1993: 85-101), melainkan hingga kritiknya dalam bentuk pascastrukturalisme dan pascamodernisme (Hoed 2008: 55-73). Kritik terhadap strukturalisme inilah yang digunakan dalam penelitian ini.

Salah satu konsep dasar Saussure (1993: 85-87) tentang hierarki antara

langue yang lebih umum dan parole yang spesifik diadaptasi dalam menganalisis hubungan hierarkis antara struktur sosial yang lebih abstrak, lebih umum serta tahan lama, dan interaksi sosial yang lebih kongkrit, spesifik lokasi dan waktu.1 Selain itu, hubungan antara petanda yang lebih konseptual dan penanda yang lebih

operasional (Saussure 1993: 145-151) mengantarkan pemikiran untuk menganalisis hubungan sosial secara lebih mendalam. Hubungan antara petanda dan penanda sejajar dengan representasi sosial yang bersifat lebih abstrak dalam hubungannya dengan referen secara fisik, hubungan antara struktur dan agensi, serta antara habitus dan arena. Analisis tidak hanya diterapkan pada interaksi antar

individu sebagai hubungan sosial primer, melainkan lebih difokuskan pada hubungan refleksif (Bourdieu 2011: 173-174; Giddens 2003: 49-53) yang mampu mempertanyakan konsep-konsep dasar dalam kehidupan sosial (Habermas 1996: 94-99) maupun menjelaskan hubungan yang lebih abstrak antar institusi (2002a: 64).

Pengaruh strukturalisme telah melemahkan posisi subyek, menghilangkannya, atau meletakkannya sebagai anonimitas (Habermas 1996: 28-41; Bourdieu 2010a: 3-25). Subyek tidak bisa muncul dan bertindak secara bebas sebagaimana diteorikan oleh tindakan sosial weberian (Weber 1978: 4-26),

1 Tampaknya Saussure menggunakan ide dualisme struktur dan interaksi sosial dari Durkheim

(34)

melainkan dimunculkan oleh atau mengambil posisi terbatas dalam institusi atau arena yang sudah ditentukan (Bourdieu 2010a: 3-25; Foucault 2007: 62-69) atau berperan sebagai agensi yang dipengaruhi struktur (Giddens 2003: 6-34).

Menggunakan hasil analisis Freud (2003: 140-158) tentang keberadaan id (ketidakrasionalan) yang mempengaruhi ego, serta hipotesis Darwin (2003: 434-461) tentang evolusi manusia dari makhluk yang sederhana, hadir penyangkalan terhadap dominasi subyek yang rasional sekaligus mempertanyakan rasionalitas, bahkan meletakkannya di bawah posisi ketidakrasionalan. Sebagai gantinya dikemukakan kehendak dan kekuasaan sebagai pengarah penting tingkah laku manusia1 (Foucault 2002d: 65-66, 2008: 120-126). Sebagian teoretisi mengemukakan konsep kesempatan (chance) untuk menjelaskan “ruang kosong” yang mempengaruhi pilihan dan tindakan individu dan kelompok tersebut (Sibeon 2004: 34-45). Pembalikan posisi subyek rasional di bawah ketidakrasionalan memungkinkan kajian mendalam terhadap suara lapisan terbawah, seperti sastra pascakolonial (Said 2001: 3-20), kemiskinan radikal (Rahnema 1992: 158-172), orang gila (Foucault 2002b: 323-334), homoseksual (Foucault 2008: 56-74), dan sebagainya.

Pengaruh linguistik saussurean juga menguatkan relasi atau jaringan baik antar orang atau antar institusi. Satu pihak saja tidak dapat mendefinisikan sesuatu tanpa berinteraksi dengan pihak lain (Levi-Strauss 2005: 43-73), dan hanya dalam interaksi itulah dapat dimunculkan pengetahuan, konsensus untuk bersikap atau bertindak. Konsekuensinya bagi sosiologi mendalam, karena pandangan tersebut

menghancurkan konsep struktur yang kaku dalam bentuk pembagian kerja (Durkheim 1933: 70-132) atau kelas (Marx dan Engels 1960: 49-67), sebagai pola-pola yang dapat digunakan untuk memprediksi sikap, tindakan, dan pemikiran. Pada saat ini paling-paling yang dapat dimunculkan berupa proses menuju penciptaan struktur namun relatif cair atau mudah berubah, misalnya berupa strukturasi (Giddens 2003: 19-34) atau arena (Bourdieu 2010a: 5).

Konsekuensi berikutnya berupa semakin pentingnya interaksi sebagai penghasil konsep kunci sosiologis lainnya. Kekuasaan tidak bisa lagi dialamatkan pada suatu status, posisi, atau institusi sosial apa adanya (Weber 1958: 180-195;

1

(35)

Parsons, 1977: 204-228; Marx dan Engels 1960: 49-67), melainkan kekuasaan hanya muncul dalam suatu interaksi antar individu atau antar institusi (Foucault, 2002a: 62-65, 2002d: 120-128).

Kekuasaan menjadi muncul di mana-mana, sejauh interaksi sosial berlangsung. Hal itu mengantarkan pada pemikiran, bahwa kekuasaan melandasi interaksi sosial. Dalam kaitan dengan tanda-tanda yang dianalisis linguistik saussurean, kekuasaan ditunjukkan oleh kemampuannya dalam mendominasi tafsir terhadap tanda tersebut. Sebuah tanda dapat memiliki tafsir yang beragam dan bertingkat-tingkat, namun pada akhirnya suatu definisi atau makna atas tanda dalam suatu masyarakat tergantung kepada pemilik kekuatan dominan (Nietzsche 2000: 81-83).

Konsekuensi lebih jauh lagi pada pascastrukturalisme berupa upaya untuk menunda hubungan langsung antara penanda dan petanda.1 Ruang kosong antara penanda dan petanda diisi dengan kekuasaan (Foucault 2002d: 120-128), sehingga pemikiran Nietzsche mendapatkan landasan empirisnya.

Selain menggugat hubungan langsung antara petanda dan penanda, para penganut pascamodernisme menghilangkan penanda. Ketika suatu petanda

mengemukakan referennya, yang yang dimaksud bukan lagi suatu penanda yang esensial atau riil, melainkan berupa petanda lainnya. Jaringan hubungan antar petanda akhirnya membentuk simulakra yang tidak berakhir (Baudrillard 2001: 181-194), sehingga mewujudkan pemikiran antiesensialisme.

Perkembangan sosiologi masa kini memiliki konsekuensi dalam kajian

kemiskinan. Pertama, konsep kemiskinan dapat dianalisis recara refleksif atau sebagai diskursus. Kedua, refleksi dan diskursus kemiskinan dihasilkan melalui interaksi sosial. Ketiga, interaksi sosial mengandung kekuasaan untuk mendominasi pemaknaan dan penciptaan diskursus kemiskinan, serta memerangi diskursus lainnya. Keempat, golongan miskin, simpatisan atau pengelolanya dalam suatu kondisi dan waktu tertentu dipandang memiliki diskursus kemiskinan tersendiri yang sistematis, sehingga salah satu tugas peneliti ialah menemukan sistem pengetahuan khas tersebut. Kelima, dimungkinkan munculnya beragam diskursus kemiskinan dari golongan sosial yang berbeda-beda.

1

(36)

Memadukan Teori Diskursus dan Praktik Sosial

Analisis sosiologis dapat dilakukan dalam tataran diskursus, refleksif, struktur sosial, dan pengelolaan benda-benda (Foucault 2002a: 62-65). Saat ini belum ditemui teori sosiologi yang membicaraan sekaligus keempat tataran tersebut, sehingga dalam penelitian ini dipadukan teori diskursus dari Foucault dan teori sosiologi dari Bourdieu. Meskipun Foucault telah menunjukkan keempat tataran analisis ilmu sosial tersebut, namun ia hanya mengembangkan secara mendalam teori diskursus. Adapun Bourdieu (2010aa: 9-10) menyetujui analisis diskursus Foucault, namun lebih banyak mengembangkan tataran refleksif dan interaksi sosial. Keduanya sama-sama mengkaji susunan benda-benda, dalam kaitannya dengan tataran analisis di atas. Keduanya juga bersepakat dalam paham filosofis diskontinuitas dalam perkembangan ilmu pengetahuan, mengembangkan orientasi teori pada praktik sehari-hari, menyepakati konsep predisposisi sebagai refleksi individu sebelum bertindak, dan munculnya kekuasaan secara inheren dalam interaksi sosial.

Teori diskursus sendiri telah dikembangkan oleh banyak ahli, diantaranya

Foucault, Habermas, Laclau dan Moffe. Dibandingkan teori diskursus lainnya, karya Foucault memiliki metode yang lengkap, dan telah dipraktikkan pada berbagai bidang, termasuk dalam kritik pembangunan dan kemiskinan.

Pada tataran refleksif, Bourdieu (2010a: 5-58) menyatakan bahwa dalam diri agensi terwujud predisposisi sikap untuk melakukan tindakan, yang

(37)

Tabel 1. Kesetaraan Analisis antara Foucault dan Bourdieu

Tataran Analisis Sosiologi Konsep Foucault Konsep Bourdieu

Diskursus Diskursus Diskursus

Refleksif Refleksif Habitus

Struktur sosial Lembaga Arena

Susunan benda-benda Susunan benda-benda Modal ekonomi

Suatu interaksi, baik berupa interaksi sosial dalam arena atau lembaga, maupun interaksi antar diskursus, dijelaskan sebagai suatu strategi (Bourdieu 2010a: 5; Foucault 2002a: 89-98). Konsep ini digunakan karena persis pada saat interaksi berlangsung, maka turut serta kekuasaan yang dilimpahkan dari satu agensi, struktur atau diskursus kepada pihak lainnya. Di sini kekuasaan tidak

didefinisikan sebagai semacam entitas tersendiri atau terstruktur hanya pada lembaga politik, namun lebur dalam setiap interaksi.

Gambar 1. Paduan Teori Diskursus dan Teori Praktik Sosial

Perpaduan teori diskursus Foucault dan teori sosiologi Bourdieu dapat disusun dengan menempatkan diskursus sebagai konteks yang mendasari

keseluruhan refleksi dan tindakan sosial (Gambar 1). Hubungan antara diskursus dan arena atau habitus tidak terjadi secara langsung, namun hanya saat diskursus secara efektif mendukung eksistensi arena atau habitus tersebut.

Diskursus

modal Habitus 1

Habitus 2 modal

strategi

(38)

Interaksi sosial antar agensi dapat digambarkan sebagai hubungan antar habitus dalam suatu arena. Sementara habitus bersifat subyektif, arena memiliki sifat obyektif dan terstruktur secara lebih ketat. Hubungan antara habitus dan arena hanya dapat berlangsung ketika prasyarat untuk memasuki arena sesuai dengan predisposisi habitus. Predisposisi tersebut diperoleh melalui sejarah dan pemikiran refleksif.

Berbagai jenis modal turut mendorong interaksi antar habitus. Hubungan interaktif tersebut berlangsung sebagai suatu jaringan sosial, meskipun melewati struktur yang hierarkis. Interaksi berlangsung sebagai suatu strategi yang melibatkan kekuasaan antar agensi.

Diskursus menurut Foucault

Di antara beragam teori diskursus, terdapat tiga teori diskursus yang lebih kuat sebagai landasan bagi munculnya analisis hingga teori sosial baru. Pertama, teori diskursus dari Foucault (2002a: 28-188; 2003: 9-62), sebagai basis pengembangan teori poskolonial, kekuasaan yang produktif untuk memampukan

atau memberdayakan, teori gay, teori pasca pembangunan, kritik modernitas (Sachs 1992: 1-5; Said 2001: 3-20). Kedua, teori diskursus dari Laclau dan Moffe (2008: 1-63), sebagai basis analisis hegemoni masa kini, post-Marxis, konstruktivisme marxian dalam antropologi dan psikologi. Ketiga, teori diskursus dari Habermas (1996: 118-132), dikembangkan dalam teori demokrasi deliberatif

dan analisis terhadap konflik (Dryzek 2002: 20-30).

Perbandingan antar teori diskursus tersebut tersaji pada Tabel 2. Keseluruhan teori diskursus tidak memandang realitas sosial sebagai fakta, melainkan sebagai metafora atau makna sesuai pandangan agensi. Manusia sebagai subyek yang bebas dalam merekayasa dan meramalkan kejadian sosial tidak lagi dipercaya.

(39)

pedesaan sebagai pihak yang di-Lain-kan dilandasi penolakan penggunaan tipe ideal dari narasi besar modernisasi, kesediaan menggali beragam diskursus dan praktik yang rasional (modernisasi) maupun bukan rasional (dari orang miskin sendiri), serta pandangan kekuasaan yang menyebar dalam seluruh interaksi sosial (sehingga orang miskin dipandang turut memiliki kekuasaan pula).

Tabel 2. Teori Diskursus Foucault, Laclau dan Moffe, serta Habermas

Keterangan Teori Diskursus Foucault Teori Diskursus Laclau dan Moffe

Teori Diskursus Habermas Realitas Antiesensialisme Antiesensialisme Antiesensialisme Filsafat

Diskontinuitas Diterima Diterima Ditolak, karena terdapat konsensus

Analisis diskursus sebagai kesatuan dapat dilakukan karena menerima

(40)

ini memungkinkan interaksi antar diskursus, dan memungkinkan analisis perubahan sosial yang bersumber dari tataran diskursus maupun praktik.

Pembentukan Diskursus

Diskursus didefinisikan sebagai pernyataan yang memungkinkan sekelompok tanda-tanda sebagai obyek suatu diskursus menjadi eksis (Foucault 2002a: 152-153), serta memungkinkan hadirnya bentuk dan aturan-aturan kehadiran tanda-tanda kemiskinan tersebut. Sebuah pernyataan dikaitkan dengan kemungkinan aturan-aturan bagi eksistensi obyek-obyek kemiskinan yang dinamai, ditunjuk dan ditandai dalam pernyataan tersebut, dan bagi relasi antar agensi yang diakui atau dibentuk di dalamnya.

Tabel 3. Kesejajaran Level Analisis Umum dan Pembentukan Diskursus Foucault Level Analisis Umum Level Formasi Diskursus

Teori Strategi

Proposisi Modalitas penyampaian

Konsep Konsep

Fakta Pernyataan

Kajian pembentukan diskursus terdiri atas level strategi, modalitas

penyampaian, konsep, positivitas, dan pernyataan (Tabel 3). Mengadaptasi pemikiran Foucault (2002a: 56-77), bentuk diskursif kemiskinan ialah sekelompok pernyataan yang menunjukkan: (1) seperangkat aturan umum yang membentuk sendiri obyek kemiskinan (pemikiran, tindakan, susunan benda-benda), (2) secara teratur memilah-milah hal yang boleh disampaikan, dan (3) referensi dari suatu domain tindakan dan pemikiran. Bentuk diskursif terdiri atas analisis pernyataan kemiskinan (pembentukan obyek, pembentukan posisi subyek, pembentukan konsep, pembentukan pilihan strategi), yang berkorespondensi dengan analisis domain tempat fungsi penyampaian informasi kemiskinan bekerja (wilayah peristiwa diskursif dan modalitas penyampaian). Hal ini tersaji pada

Gambar 2.

(41)

emergence). Bagi penganutnya, obyek diskursus baru dipandang lebih rasional daripada diskursus lama. Analisis diarahkan kepada cara untuk menentukan dan membatasi domain suatu diskursus kemiskinan, hal-hal yang boleh dibahas di antara penganutnya, status suatu obyek dihubungkan dengan obyek kemiskinan lainnya, penamaannya, dan pengelompokan yang dimungkinkan.

Wilayah peristiwa diskursif

Pembentukan obyek

Modalitas penyampaian Pembentukan

konsep Pembentukan

strategi

Pembentukan subyek

Analisis Pernyataan

Domain diskursus

Gambar 2. Bentuk Diskursif

Pembentukan subyek dikembangkan melalui situasi yang memungkinkan golongan miskin dan pihak lain bertindak dalam kaitannya dengan berbagai peluang tindakan yang diperbolehkan, yang disebut domain diskursus. Situasi tersebut dikondisikan oleh jangkauan pemikiran, tindakan dan penyusunan benda yang paling optimal, penggunaan perantara untuk memodifikasi informasi, dan posisi di mana subyek bisa masuk ke dalam jaringan informasi.

Pengembangan diskursus kemiskinan secara khusus menciptakan kebutuhan analisis modalitas penyampaian. Analisis mencakup, pertama, subyek yang berbicara: yang memiliki hak, yang berkompeten, sumber untuk mendapatkan kemampuan khusus itu, dan status subyek tersebut. Kedua, institusi atau arena tempat subyek menyusun suatu diskursus kemiskinan, menerima sumber diskursus, atau mengaplikasikannya. Ketiga, posisi subyek dalam

(42)

diarahkan untuk menentukan syarat eksistensi golongan miskin, menjelaskan batas-batas eksistensinya, menentukan korelasinya dengan pernyataan-pernyataan lain yang mungkin tidak termasuk ke dalam wilayah diskursif tersebut.

Pengelolaan Diskursus

Lembaga sosial dan susunan benda-benda tidak bersifat diskursif. Sementara diskursus bisa menemukan diskontinuitas dan berkembang lebih jauh, lembaga sosial memainkan peranan utama untuk mengurangi efek revolutif diskursus dalam melakukan perubahan sosial (Foucault 2003: 9-62). Penataan diarahkan pada pengurangan atau pendisiplinan interaksi sosial yang secara inheren menyebarkan kekuasaan.

Lembaga sosial menyusutkan kekuatan diskursus melalui aturan penyisihan, yang mengontrolnya secara eksterior (Gambar 3). Aturan penyisihan meliputi, pertama, aturan pengecualian (exclusion), yang berisi larangan (prohibition) untuk membahas aspek-aspek tertentu dari kemiskinan. Kedua, aturan pembagian (division) dan penolakan (rejection) dari suatu konsep

kemiskinan. Ketiga, oposisi salah dan benar atas suatu pernyataan tentang kemiskinan yang disampaikan.

Aturan internal suatu diskursus kemiskinan mempertanyakan kontrol yang dilakukannya sendiri. Pertama, pengaturan klasifikasi penataan dan distribusi berbagai pernyataan tentang kemiskinan. Kedua, perhatian terhadap komentar

(43)

Gambar 3. Sirkulasi Diskursus

Aturan pengelolaan kekuasaan dalam diskursus kemiskinan meliputi,

pertama, ritual, berupa tindakan berulang dalam suatu diskursus kemiskinan.

Kedua, persahabatan diskursus (fellowship of discourse), berupa interaksi solidaritas suatu diskursus kemiskinan dengan diskursus kemiskinan lainnya.

Ketiga, kelompok doktrinal dalam suatu diskursus kemiskinan. Keempat, penyisihan sosial (social exclusion) bagi pihak lain yang dipandang sebagai orang luar dari suatu diskursus kemiskinan.

Diskontinuitas Diskursus

Pembentukan diskursus kemiskinan tidak hanya membuka peluang munculnya diskursus yang sudah dikenal, namun sekaligus dapat menemukan

(44)

domain bagi munculnya calon diskursus kemiskinan lainnya. Domain bagi suksesi suatu diskursus tersebut berupa suatu kejanggalan (Gambar 4).

Formasi dan Sirkulasi diskursus

Arkeologi Diskursus

Kesatuan diskursus

Kejanggalan

Kontradiksi Transformasi

Gambar 4. Arkeologi Diskursus

Kejanggalan yang menguat menghasilkan kontradiksi kemiskinan. Terdapat dua level kontradiksi (Foucault 2002a: 150-179), pertama, kontradiksi penampakan, yang telah didamaikan dalam kesatuan diskursus kemiskinan yang lama. Kedua, kontradiksi fondasi, yang melahirkan diskursus kemiskinan yang baru. Analisis diarahkan kepada tipe-tipe kontradiksi kemiskinan, perbedaan level sesuai dengan kemampuan kontradiksi tersebut dipetakan, dan perbedaan peran terhadap diskursus kemiskinan yang bisa dikaji.

Kontradiksi yang memuncak menghasilkan transformasi atau diskontinuitas diskursus. Diskontinuitas merupakan praktik untuk menghasilkan perbedaan, diferensiasi atau distingsi dari diskursus kemiskinan sebelumnya.

Praktik Sosial menurut Bourdieu

(45)

geografis) di mana ketika agensi, kelompok atau institusi semakin dekat satu sama lain, maka makin banyak sifat umum yang mereka miliki.

Bourdieu (2011: 31-32, 88) mengetengahkan teori tentang praktik untuk menganalisis kejadian-kejadian sosial. Sementara lazimnya teori sosiologi mencari struktur atau makna dalam jangka panjang, teori tentang praktik sosial memperdalam tindakan yang diambil agensi dalam suatu ruang dan waktu yang terbatas. Analisis diarahkan terhadap struktur sosial atau arena yang membatasi, namun juga kemampuan agensi untuk menggunakan pengalaman dan pemikirannya dalam memutuskan sesuatu perihal kemiskinan pada saat itu (saat habitus bersesuaian dengan arena kemiskinan tertentu).

Habitus

Habitus merupakan sistem disposisi dari agensi (orang miskin, pengelola praogram dan sebagainya), yang bertahan lama dan bisa dialihpindahkan melalui sosialisasi atau pendidikan (Bourdieu 2010a: 5-58). Disposisi tersebut diperoleh sepanjang pengalaman hidupnya, menciptakan prinsip-prinsip tindakan sehingga dapat berfungsi untuk menyusun struktur pengelolaan kemiskinan. Dalam merumuskan habitus, Bourdieu menggunakan berbagai sudut pandang.

Habitus yakni disposisi berdasarkan peraturan yang akan melahirkan perilaku-perilaku berdasarkan aturan dan teratur (Bourdieu 2011: 85).

(Habitus adalah) asal-usul berupa skema persepsi, pikiran dan tindakan (Bourdieu 2011: 164).

Habitus…yaitu struktur-struktur mental yang mereka pakai untuk memahami dunia sosial, sebenarnya merupakan internalisasi struktur dunia tersebut (Bourdieu 2011: 173).

Habitus adalah sistem skema produksi praktik sekaligus sistem skema persepsi dan apresiasi atas praktik… Konsekuensinya habitus memproduksi praktik dan representasi yang dapat diklasifikasi, yang dapat dipilah-pilah secara obyektif (Bourdieu 2011: 174).

(46)

Dalam masyarakat di mana kodifikasi hukum belum terlalu canggih, habitus adalah prinsip cara-cara praktik yang paling utama (Bourdieu 2011: 85).

Karena disposisi perseptif cenderung disesuaikan dengan posisi, maka para agen, bahkan yang tidak beruntung sekalipun, cenderung memahami dunia sebagai sesuatu yang alamiah dan memang begitu adanya serta menerimanya dengan enteng melebihi apa yang bisa dibayangkan orang (Bourdieu 2011: 173).

Sistem dalam habitus dibentuk melalui oposisi-oposisi pemikiran untuk memahami lingkungan kemiskinan. Oposisi disusun menjadi beragam kode-kode biner, sehingga bisa dipraktikkan melalui permainan homologi, yaitu menggunakan kode-kode yang setara untuk memahami diskursus kemiskinan yang lain (Bourdieu 2010a: 25-28). Permainan homologi antar oposisi terpenting dapat membentuk struktur atau arena, dan menstrukturkan hubungan kekuasaan serta antar lapisan sosial atas dan bawah. Homologi-homologi yang bersifat oposisional tersebut juga membentuk aliansi di antara posisi-posisi yang serupa (homolog).

Hubungan antara habitus dan arena dimulai dari pandangan, bahwa arena merupakan serangkaian kesempatan atau prasyarat sosial yang obyektif,

sebagaimana halnya persyaratan untuk mendapatkan proyek pengurangan kemiskinan. Agensi perlu menyesuaikan disposisinya yang subyektif dengan ruang kesempatan obyektif yang sesuai, misalnya melalui pelatihan bagi golongan miskin. Biasanya agensi memilih di antara kesempatan tersebut yang paling mudah dimasuki, atau bersifat kontinum. Habitus yang bersifat diskontinu

terhadap persyaratan arena menyulitkan agen untuk memasuk arena tersebut.

Arena

(47)

Dan struktur arena, yaitu ruang posisi-posisi, tak lain adalah struktur distribusi modal properti-properti spesifik yang mengatur keberhasilan di dalam arena dan memenangkan laba eksternal atau laba spesifik (seperti prestise sastra) yang dipertaruhkan di dalamnya

Pengalaman keragaman posisi yang pernah ditempati agensi dinamakan lintasan (Bourdieu 2010a: 5-58), sebagaimana seringkali dimiliki pendamping berbagai proyek pengurangan kemiskinan. Adapun hubungan antar agensi yang melibatkan kekuasaan yang inheren disebut sebagai strategi. Strategi lazimnya dilaksanakan secara tidak sadar dan bersifat jaringan.

Strategi dilakukan antar agensi dengan mempertimbangkan modal yang dimiliki, baik berupa modal ekonomi dan sarana benda-benda, modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik. Distribusi agensi dalam arena tergantung dari jumlah modal sosial mereka secara keseluruhan maupun jumlah relatif menurut jenis modal yang spesifik. Modal lazimnya bersifat spesifik dalam suatu arena tertentu, dan dengan modal tersebut agensi dapat bertahan dengan cara menegaskan perbedaannya, membuat diri mereka diketahui dan diakui.

Perubahan dalam ruang kemungkinan atau kesempatan dalam arena merupakan hasil dari hubungan kekuasaan yang membentuk ruang posisi-posisi baru. Agensi yang baru yang lebih kuat dapat memodifikasi ruang posisi tersebut, dan dapat terbentuk diskontinuitas arena baru.

Kemunculan Kekuasaan melalui Interaksi Sosial

Menurut Foucault (2008: 120-126) dan Bourdieu (2011: 195), kekuasaan

belum muncul ketika relasi sosial tidak terjadi, dan baru muncul sejalan dengan relasi tersebut. Pemahaman kekuasaan semacam ini menggeser pemikiran sebelumnya, misalnya pemikiran Weber (1958: 180-195) serta Marx dan Engels (1960: 49-67), yang memandang kekuasaan sebagai kemampuan seseorang untuk

mempengaruhi pihak lain. Di sini kekuasaan berdiam atau menempati seseorang atau kelompok, atau kekuasaan sudah ada dalam diri seseorang atau kelompok.

(48)

melainkan bersifat praktis atau untuk dipraktikkan. Melalui hubungan antar diskursus, habitus dan arena, operasi kekuasaan dapat bersifat produktif untuk mengembangkan kesempatan agar individu bisa menggunakan kemampuannya setinggi mungkin. Pada saat ini, misalnya, konsep pemberdayaan digunakan pendamping untuk membuka peluang orang miskin agar mampu menjalankan usaha ekonomi mikro.

Sewaktu memproduksi diskursus kemiskinan, kekuasaan menghasilkan subyek atau agensi, seperti orang orang, keluarga miskin, pengusaha miskin, dan sebagainya. Subyek aktif atau agensi memproduksi golongannya sendiri, meskipun terikat hanya pada aturan-aturan diskursif yang sudah terbentuk. Agensi tidak sepenuhnya muncul secara alamiah, melainkan diciptakan, misalnya melalui ilmu pengetahuan sosial (Foucault 2007: 394-407). Kekuasaan masuk ke dalam subyektivitas melalui diskursus dan habitus. Di sini subyek membentuk kondisi-kondisi obyektif agar suatu pengetahuan dapat muncul ke permukaan arena sosial (Bourdieu 2010a: 5-58).

Secara material maupun kultural, kekuasaan menampakkan jejaknya dalam tubuh orang miskin. Agensi juga menampakkan diri dalam tubuh, dan kekuasaan

ditempelkan menjadi konstruksi identitas tubuh miskin (Bourdieu 2010b: 10-31). Menurut Foucault (2002d: 71) tubuh sosial bukanlah merupakan konsensus, namun lebih tepat dipandang sebagai perwujudan operasi kekuasaan.

Kebenaran suatu pengetahuan menginduksi efek-efek kekuasaan secara teratur. Sesuai kaidah diskontinuitas, setiap masyarakat memiliki rezim kebenaran

(49)

Kajian Diskursus Kemiskinan secara Dikotomis

Di luar Indonesia, pembahasan kemiskinan sebagai diskursus telah dimulai Rahnema (1992: 158-172), dengan informasi yang dapat ditelusuri dari abad ke 10, sebagaimana tercantum dalam tulisan sosiologis Ibn Khaldun dan kisah sufi perempuan Rabiah Al-Adawiyah. Rahnema selanjutnya mendikotomikan diskursus kemiskinan alternatif atau partisipatoris, dengan penguatan World Bank dalam mengelola kemiskinan dari tingkat nasional hingga global melalui proyek-proyek pengurangan kemiskinan. Pembentukan diskursus kemiskinan global ini dimulai dari pidato Truman pada tahun 19471 (Esteva 1992: 6-25). Kemiskinan dibentuk sebagai obyek diskursus yang terkoordinasi hingga tingkat nasional dan internasional. Kemiskinan pun tidak lagi dipandang sebagai masalah individu atau kerabat, melainkan turut membesar sebagai masalah suatu negara, bahkan ke tingkat dunia.

Modalitas untuk mengembangkan diskursus ini disampaikan melalui teks yang menstandarisasi pengurangan kemiskinan di seluruh dunia, yaitu dokumen

Millennium Development Goals. Modalitas kepada negara penerima donasi World

Bank juga dikembangkan secara seragam melalui disiplin perencanaan program dan anggaran yang tercantum dalam Poverty Reduction Strategy Paper

(Levinsohn 2003: 9-13). Konsep kemiskinan distandardisasi sebagai penduduk yang memiliki pendapatan minimal 1 dolar AS per hari untuk negara miskin – yang di-Lain-kan dari negara maju dengan garis lebih tinggi yaitu 2 dolar AS per

hari. Adapun strategi untuk mengurangi kemiskinan tercantum dalam teori CDD (community-driven development), yang dimaknai sebagai pengambilan keputusan oleh komunitas (Dongier dkk. 2003: 3-4). Pengambilan keputusan dilakukan menurut kaidah rasionalitas ekonomi, yaitu mengambil peluang yang paling efisien di antara hierarki tujuan dan sumberdaya proyek. Upaya efisiensi proyek pada akhirnya meninggalkan lapisan termiskin, dan memilih golongan pengusaha kecil yang masih mampu mengembalikan pinjaman proyek.

1Presiden Truman mengatakan, “We must embark on a bold new program for making the benefit

(50)

Rahnema (1992: 158-172) mengemukakan pula diskursus kemiskinan alternatif atau partisipatoris berupa upaya pengembangan kapasitas penduduk miskin. Akan tetapi, sejak istilah pembangunan partisipatoris menjadi populer untuk kegiatan penanggulangan kemiskinan, sebagian organisasi menggunakan konsep ini hanya untuk mendapatkan legitimasi dalam perolehan dana (Cooke dan Kothari 2001: 1-15). Kegiatan pemberdayaan biasanya melewati birokratisme pemerintah, namun dengan menyalurkan bantuan melalui elite komunitas sebenarnya kegiatan itu juga sedang memarjinalisasi golongan miskin (Mosse 2001: 16-35). Oleh karena donor biasanya juga menyalurkan sumberdaya melalui kelompok yang memiliki organisasi lebih baik, maka pembangunan partisipatoris justru melemahkan kelompok lokal dari golongan miskin yang belum berpengalaman dalam proyek pengurangan kemiskinan (Mohan 2001: 153-167).

Terlihat di sini, bahwa meskipun telah diperoleh indikasi beragam diskursus kemiskinan (yang dikembangkan sufi, World Bank, dan pengamat pembangunan partisipatoris), namun selama ini yang dikembangkan sekedar dikotomi antara diskursus kemiskinan ciptaan donor dan diskursus kemiskinan alternatif. Mekanisme hubungan keduanya juga dikaji secara sederhana sebagai

dominasi pihak pertama kepada pihak kedua. Kajian yang berpusat pada sifat dikotomi tersebut menghilangkan peluang munculnya kemajemukan diskursus kemiskinan dalam suatu waktu dan tempat tertentu. Analisis kekuasaan yang diterapkan dalam kajian-kajian selama ini juga tertuju pada sifat dominasi, yang menutupi kekuatan untuk memunculkan subyek miskin itu sendiri.

Kerangka Penelitian

(51)
(52)

Pada tahap selanjutnya, diinterpretasi berbagai pernyataan yang memungkinkan munculnya temuan kemajemukan pembedaan teori, konsep, statistika, data sekunder lainnya, serta kebijakan. Kelompok pernyataan yang mampu menjelaskan kemunculan masing-masing golongan teori, data dan kebijakan tersebut dinyatakan sebagai diskursus kemiskinan.

Tahap berikutnya berupa penggalian argumentasi alasan dan sejarah atas munculnya berbagai dokumen kebijakan, tindakan-tindakan yang berpola, hingga pengelompokan benda-benda tertentu. Hal ini dapat dilakukan dengan mengajak responden dan informan untuk berefleksi atas pengalamannya pribadi, lalu membandingkan dengan refleksi agensi lainnya. Argumentasi alasan dan sejarah tersebut distrukturkan dalam keragaman oposisi biner, yang bisa diuji dalam menjelaskan praktik yang berlangsung. Hal ini dinyatakan sebagai habitus. Adapun kekuatan yang mendukung habitus suatu agensi dalam berhubungan dengan agensi lainnya dinyatakan sebagai modal spesifik. Modal dapat berupa benda atau harta yang bersifat ekonomis, keeratan hubungan sosial, hingga penguasaan simbol-simbol yang berprestise tinggi.

Analisis berikutnya diarahkan pada hubungan antara keragaman

diskursus yang telah tersusun, dengan keragaman susunan habitus ini. Digali sampaimana diskursus yang spesifik memunculkan habitus tertentu.

Pada tahap selanjutnya analisis diarahkan pada beragam aturan atau lembaga dan organisasi yang berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan. Di sinipun digali pembedaan antar prasyarat untuk masuk, modal yang dinilai lebih

tinggi, aturan-aturan yang dikembangkan lebih lanjut, serta posisi-posisi sosial pada kelompok-kelompok lembaga dan organisasi. Dengan kata lain, dikembangkan susunan arena yang beragam.

Pengembangan arena tertentu juga dianalisis dalam kaitannya dengan diskursus yang spesifik. Digali kemampuan diskursus tersebut dalam memunculkan arena tertentu. Digali pula hubungan antara arena dan habitus tertentu, berupa kecocokan antara prasyarat dan aturan dalam suatu arena dengan penguasaan modal dan refleksi pemikiran dalam habitus tertentu.

Gambar

Tabel 1. Kesetaraan Analisis antara Foucault dan Bourdieu
Tabel 2. Teori Diskursus Foucault, Laclau dan Moffe, serta Habermas
Gambar 2. Bentuk Diskursif
Gambar 3. Sirkulasi Diskursus
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kalimantan Timur Kota Bontang Kec.. Kalimantan Timur Kota

Jika mantan presiden Soekarno berani meminta sepuluh anak muda untuk menggoncangkan dunia ini, maka apakah kaum muda Indonesia -yang terdiri dari ratusan organisasi kepemudaan

We investigate the existence of infinite dimensional Banach spaces having rigid sets with an infinite number of elements.. Among Banach lattices, examples are provided by

Ijin Usaha Perusahaan dan Ijin Lainnya sesuai dokumen penawaran yaitu : Sertifikat Badan Usaha (SBU), Surat Ijin Usaha Jasa Konstruksi (SIUJK), Surat Ijin Tempat Usaha (SITU) dan

Invitation Notice for the Prequalification of bidders for The Development of Medical Education and Research Center and Two University Hospitals Project.. Procurement Committee

Dari percobaan yang telah dilakukan sebanyak 50 data uji didapatkan hasil keluaran sistem yang sesuai sebanyak 48 dimana ketidak sesuaian keluaran dari sistem dengan

Although it is true that the transfer of medications or any sub- stance into milk may be higher during the initial stages of early lactation, fortunately the absolute amount

5.6 Diagnosa keperawatan : gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama Tujuan keperawatan : tidak terjadi gangguan integritas kulit selama perawatan..