ABSTRACT
Modeling The Effect of Air Temperature and relative humidity on Termoregulatory Responses of Dairy Heifers Friesian Holstein
with Artificial Neural Network Surajudin, B.P. Purwanto and A. Yani
An experiment was conducted to create a model of air temperature and relative humidity effect on termoregulatory responses of FH dairy heifers. Four dairy heifers were kept with normal feeding in dairy barn, Faculty of Animal Science, Bogor Agriculture University. Observed variables were environment factors (air temperature, relative humidity and temperature –humidity index/THI) and the termoregulatory responses (rectal temperature and skin temperature). Data were analized by artificial neural network (ANN) with back propagation methods. Data procesing used 2 variables data input layer, 6 variables hidden layer and 2 variables data output layer. The results showed that with iterations, the error percentage predicted rectal and skin temperatures were 0,5 % and 1,1 % respectively. The ANN simulated showed clearly there was an effect of the air temperature and relative humidity on the termoregulatory responses (rectal temperature and skin temperature). Therefore, the model can be use to predict termoregulatory responses using measurements of air temperature and relative humidity. The rectal temperature was more sensitive to heat stress than that of skin temperature due to changes in air temperature and relative humidity.
PENDAHULUAN Latar Belakang
Sapi perah merupakan ternak penghasil susu utama di Indonesia terutama sapi perah Fries Holland (FH). Sapi perah yang berasal dari Belanda ini mempunyai sifat yang peka terhadap kondisi lingkungan terutama terhadap perubahan iklim mikro yang terjadi di sekitar kandang. Unsur iklim mikro yang dapat mempengaruhi produksi panas dan pelepasan panas pada sapi FH adalah suhu, kelembaban, radiasi matahari dan kecepatan angin.
Daya tahan ternak terhadap panas merupakan salah satu faktor yang sangat penting agar dapat berproduksi optimal sesuai kemampuan genetiknya. Lingkungan mempunyai proporsi yang lebih besar daripada pengaruh genetik ternak, sehingga manajemen lingkungan yang baik harus dapat diterapkan untuk menghasilkan produktivitas sesuai yang diharapkan. Salah satu hal yang dapat dilakukan dalam peningkatan produktivitas ternak ialah dengan melakukan manajemen pengendalian lingkungan iklim mikro ternak.
Manajemen pengendalian lingkungan iklim mikro yang baik, dibutuhkan data lingkungan mikroklimat dan respon fisiologis sapi perah tersebut. Data lingkungan mikroklimat antara lain: suhu, kelembaban relatif, kecepatan angin dan radiasi matahari pada sekitar ternak yang dapat mempengaruhi respon fisiologis pada ternak. Adapun data respon fisiologis ternak antara lain : frekuensi denyut jantung (Hr), frekuensi pernafasan (Rr), suhu rektal (Tr), suhu permukaan kulit (Ts) dan suhu tubuh (Tb). Untuk memperoleh hubungan antara suhu udaradan kelembaban relatif terhadap respon fisiologis ternak, diperlukan analisis sifat dan pola hubungan antara kondisi lingkungan terhadap respon fisiologis ternak.
mengalir melalui jaringan tersebut. Salah satu cabang dari Artificial Intelligence(AI) adalah Artificial Neural Network (ANN). Jaringan syaraf tiruan merupakan salah satu sistem pemrosesan informasi yang didesain dengan menirukan cara kerja otak manusia dalam menyelesaikan suatu masalah dengan melakukan proses belajar melalui perubahan bobot sinapsisnya. Jaringan syaraf tiruan mampu melakukan pengenalan kegiatan berbasis data masa lalu. Data masa lalu akan dipelajari oleh jaringan syaraf tiruan sehingga mempunyai kemampuan untuk memberikan keputusan terhadap data yang belum pernah dipelajari. Dalam analisis ini dicoba untuk dipelajari dan dicoba penerapannya di bidang fisiologi lingkungan ternak yaitu mendeteksi respon fisiologis sapi perah terhadap perubahan suhu udaradan kelembaban udaranya.
JST yang berupa susunan sel-sel syaraf tiruan (neuron) dibangun berdasarkan prinsip-prinsip organisasi otak manusia. Usaha manusia dalam mengembangkan suatu sistem yang meniru kemampuan dan perilaku makhluk hidup telah berlangsung selama beberapa dekade belakangan ini. Jaringan syaraf tiruan (JST) merupakan hasil perkembangan ilmu dan teknologi yang kini sedang berkembang pesat. JST yang berupa susunan sel-sel syaraf tiruan (neuron) dibangun berdasarkan prinsip-prinsip organisasi otak manusia. Perhatian yang besar pada JST disebabkan adanya keunggulan yang dimilikinya seperti kemampuan untuk belajar, komputasi paralel, kemampuan untuk memodelkan fungsi nonlinier dan sifat fault tolerance.
Secara sederhana, JST adalah sebuah alat pemodelan data statistik tidak-linier. JST dapat digunakan untuk memodelkan hubungan yang kompleks antara input dan output untuk menemukan pola-pola pada data.
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara perubahan suhu udara dan kelembaban relatif terhadap respon fisiologis sapi perah, aplikasi pemodelan dan simulasi artificial neural network dalam menganalisis pola hubungan antara perubahan suhu udara dan kelembaban relatif terhadap respon fisiologis sapi perah, sehingga dapat memberikan masukan untuk perbaikan manajemen lingkungan ternak dalam pemeliharaan sapi perah.
TINJAUAN PUSTAKA Lingkungan Hidup Sapi FH
Lingkungan merupakan keseluruhan faktor eksternal tidak-genetik yang mempengaruhi pertumbuhan ternak. Lingkungan ternak dapat dibagi menjadi lingkungan fisik, sosial dan termal. Faktor fisik diantaranya ruang, cahaya, suara, tekanan dan peralatan. Faktor sosial meliputi jumlah ternak dalam satu kandang dan tingkah laku ternak. Faktor termal meliputi temperatur udara, kelembaban relatif, pergerakan udara dan radiasi (Esmay, 1978).
Keadaan lingkungan yang selamanya dapat memberikan kenyamanan pada ternak untuk berproduksi secara optimal, sehingga perlu pengendalian lingkungan ternak. Kondisi panas di atas normal mempengaruhi temperatur, kelembaban relatif, radiasi matahari, yang dapat mempengaruhi beban penerimaan panas yang mempengaruhi performa, pengurangan tingkat kenyamanan ternak dan dapat menyebabkan kematian (Mader et al, 2006).
Wilayah yang sesuai untuk pengembangan sapi perah adalah daerah yang mempunyai suhu lingkungan antara 0-20 oC. Jika suhu lingkungan turun hingga kurang dari 0 oC, produksi akan berkurang. Suhu kritis di daerah subtropis yang menyebabkan penurunan produksi susu pada sapi Holstein dan Jersey adalah 21-25
o
C, Brown Swiss adalah 30-32 oC dan Brahman adalah 38 oC (Sainsbury dan Sainsbury, 1982).
Sapi FH akan berproduksi tinggi jika ditempatkan pada suhu lingkungan 18,3
o
C dengan kelembaban 55%. Jika melebihi suhu tersebut ternak akan melakukan penyesuaian secara fisiologis dan tingkah laku. Secara fisiologis ternak akan mengalami cekaman panas dan akan berakibat pada: 1) penurunan nafsu makan; 2) peningkatan konsumsi minum; 3) penurunan metabolisme dan peningkatan katabolisme; 4) peningkatan pelepasan panas melalui penguapan; 5) penurunan konsentrasi hormon dalam darah; 6) peningkatan suhu tubuh, respirasi dan denyut jantung (Mc. Dowell, 1972); dan 7) meningkatnya intensitas berteduh sapi (Ingram dan Dauncey, 1985).
memiliki kecenderungan meningkat dari posisi dekat lantai menuju posisi dekat atap karena panas matahari yang diterima atap dihantarkan ke dalam kandang sehingga semakin dekat dengan atap suhu udara semakin tinggi.
Termoregulasi
Termoregulasi adalah pengaturan suhu tubuh yang tergantung kepada produksi panas melalui metabolisme dan pelepasan panas tersebut ke lingkungan atau suatu proses yang terjadi pada hewan untuk mengatur suhu tubuhnya supaya konstan, paling tidak suhu tubuhnya tidak mengalami perubahan terlalu besar (Isnaeni, 2006). Energi dibutuhkan untuk mendukung fungsi normal tubuh ternak seperti respirasi, pencernaan dan metabolisme untuk pertumbuhan dan produksi susu. Pada hewan yang lebih aktif, lebih banyak energi yang dikeluarkan untuk mendukung aktivitasnya dan faktor ekstrinsik yang paling besar mempengaruhi metabolisme adalah temperatur (Ensminger dan Tyler, 2006). Menurut Amir (2010) peningkatan kandungan energi ransum sapi perah dara PFH menyebabkan peningkatan respon termoregulasinya.
Menurut Brown-Brandl et al. (2006), adanya kontinuitas produksi panas oleh tubuh, maka keseimbangan hanya mungkin jika ada kontinuitas aliran panas pada perbedaan temperatur antara tubuh dan lingkungan. Menurut Isnaeni (2006), kesulitan dalam pelepasan panas secara sensible, menyebabkan ternak melepaskan panas secara insensible (evaporasi). Schutz et al. (2008) menyatakan evaporasi pada dasarnya dikontrol oleh ternak dan stres panas yang secara tiba-tiba dapat segera menyebabkan proses fisiologis pada sapi, dan pada saat istirahat hewan lebih toleran pada suhu tinggi.
Panas yang dibentuk di dalam tubuh diperoleh dari panas hasil kegiatan metabolisme di dalam tubuh dan panas dari luar tubuh. Produksi panas di dalam tubuh antara lain berasal dari metabolisme basal, panas hasil kegiatan pencernaan, kerja pada otot dan metabolisme proses-proses produksi. Panas yang diperoleh dari luar tubuh berupa penyerapan panas dari radiasi matahari di sekitar ternak (baik langsung maupun pantulannya), melalui konduksi dengan benda yang lebih panas dan melalui konveksi oleh aliran udara panas di sekitarnya (Rahardja, 2007).
Suhu Rektal
Suhu tubuh menunjukkan kemampuan tubuh untuk melepas dan menerima panas. Pengukuran suhu tubuh pada dasarnya sulit dilakukan, karena pengukuran suhu tubuh merupakan resultan dari berbagai pengukuran di berbagai tempat (Schmidt-Nielsen, 1997). Pada sapi perah, suhu tubuh (suhu rektal) normal berada pada kisaran 37,8 – 39,2 oC dengan rataan suhu rektal sebesar 38,5 oC (Kelly, 1984). Sedangkan menurut Ensminger dan Tyler (2006), suhu normal rektal sapi perah berkisar antara 38,0 – 39,3 o C dengan rataan sebesar 38,4 oC. Namun pada kondisi tertentu suhu rektal dapat bervariasi, diantaranya pada saat estrus atau birahi, pergantian musim dan pergantian waktu antara pagi hari dengan sore hari (Curtis, 1983).
Selain itu menurut Purwanto et al. (1991), suhu rektal sapi perah meningkat pada suhu lingkungan 30 oC dibandingkan dengan suhu 10 atau 20 oC. Suhu lingkungan yang panas akan menurunkan pelepasan panas tubuh melalui jalur sensible (tidak evaporatife). Sebaliknya pelepasan panas tubuh melalui jalur evaporasi akan meningkat sehingga mengakibatkan produksi panas metabolis akan berubah mengikuti respon termoregulasi.
Pengaruh Lingkungan Mikro terhadap Ternak Perah Fries Holland
Ternak merupakan hewan homeoterm yaitu hewan yang selalu berusaha untuk mempertahankan suhu tubuhnya tetap seiring dengan berubahnya suhu lingkungan. Suhu tubuh ternak selalu diupayakan untuk tetap konstan melalui mekanisme umpan balik negatif pada hipotalamus. Suhu yang konstan sangat dibutuhkan oleh ternak karena beberapa alasan. Perubahan suhu lingkungan dapat mempengaruhi konformasi protein dan aktifitas enzim yang dapat menyebabkan reaksi di dalam sel terganggu. Perubahan suhu berpengaruh terhadap energi kinetik yang dimiliki setiap molekul sehingga dapat meningkatkan laju reaksi di dalam sel (Isnaeni, 2006).
Kenaikan suhu udara mengakibatkan peningkatan frekuensi denyut jantung dan pernafasannya setiap menitnya. Peningkatan produksi panas selalu diikuti dengan peningkatan suhu rektal, frekuensi pernafasan dan denyut jantung (Purwanto et al., 1991). Peningkatan frekuensi pernafasan diharapkan dapat membantu hewan
meningkatkan pelepasan panas melalui pernafasan. Peningkatan denyut jantung dapat membantu transportasi oksigen dan zat makanan ke seluruh tubuh, selain itu peningkatan denyut jantung juga membantu transportasi panas metabolisme ke seluruh tubuh yang dapat meningkatkan suhu permukaan tubuh (Gatenby dan Martawidjaya, 1986). Fluktuasi perubahan suhu dapat mengakibatkan stres pada ternak. Stres secara fisiologis dicirikan dengan peningkatan aktivitas kelenjar Pituitari-adrenal dan usaha pengembalian respon homeostasis. Variasi lingkungan memberikan efek yang luas terhadap respon fisiologis yang berhubungan dengan aktivasi sistem syaraf simpati dan medula adrenal (Dantzer dan Movemede, 1987).
Menurut Sugeng (1998), suhu udara yang tinggi sangat kurang menguntungkan terhadap kehidupan ternak sapi. Pengaruh yang kurang menguntungkan ini dalam hal konsumsi pakan, air minum dan tingkah laku. Ternak sapi yang tertimpa suhu tinggi akan mengalami stres berat dan gagal dalam mengatur panas tubuh. Akibatnya ternak yang bersangkutan akan banyak minum tetapi nafsu makan berkurang dan makanan yang dikonsumsi rendah.
Kelembaban adalah jumlah uap air dalam udara. Kelembaban udara penting, karena mempengaruhi kecepatan kehilangan panas dari ternak. Kelembaban dapat menjadi kontrol dari evaporasi kehilangan panas melalui kulit dan saluran pernafasan. Kelembaban biasanya diekspresikan sebagai kelembaban relatif (Rh). Pada saat kelembaban tinggi, evaporasi terjadi secara lambat, kehilangan panas terbatas dan dengan demikian mempengaruhi keseimbangan termal ternak (Yani dan Purwanto, 2006). Kelembaban nisbi mempengaruhi pada pernafasan dan peluh hewan. Udara yang sangat kering menyebabkan ketidaknyamanan pada hewan. Kelembaban nisbi rendah, angin dan suhu tinggi menyebabkan meningkatnya kebutuhan air untuk hewan (Tjasyono, 2004). Kelembaban tinggi dapat berakibat langsung terhadap penurunan jumlah panas yang hilang akibat penguapan. Pada kelembaban tinggi, penguapan tertahan yang berarti akan meningkatkan panas pada sapi (Sugeng, 1998).
Menurut Yani dan Purwanto (2006) kecepatan angin meningkat seiring dengan meningkatnya suhu udara dan radiasi matahari. Sementara disisi lain tubuh sapi FH memerlukan kecepatan angin yang lebih untuk mereduksi cekaman panasnya, sehingga pengaruh kecepatan angin pada siang hari pada kondisi udara
cerah tidak banyak berpengaruh terhadap penurunan cekaman panas tubuh sapi FH. Selanjutnya Lee dan Keala (2005) menyatakan bahwa penambahan kecepatan angin akan membantu sapi FH menurunkan cekaman panas pada saat malam hari karena pada malam hari metabolisme sapi FH lebih diarahkan untuk mempertahankan suhu tubuh. Penambahan kecepatan angin (1,125 m/det) dapat mengoptimalkan kerja metabolisme sapi FH sehingga ternak tersebut merasa nyaman.
Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural Network)
Jaringan Syaraf Tiruan (JST) atau Artificial Neural Network adalah suatu metode komputasi yang meniru sistem jaringan syaraf biologis. Metode ini menggunakan elemen perhitungan tidak linier dasar yang disebut neuron yang diorganisasikan sebagai jaringan yang saling berhubungan sehingga mirip dengan jaringan syaraf manusia. Jaringan syaraf tiruan dibentuk untuk memecahkan suatu masalah tertentu seperti pengenalan pola atau klasifikasi karena proses pembelajaran (Eliyani, 2005).
Sejak ditemukan pertama kali oleh McCulloch dan Pitts pada tahun 1948, JST telah berkembang pesat dan telah digunakan pada banyak aplikasi. Jaringan Syaraf Tiruan (JST) telah dikembangkan sejak tahun 1940. Belum ada definisi yang baku mengenai JST ini. Teori yang menginspirasi lahirnya sistem jaringan syaraf muncul dari bermacam disiplin ilmu: terutama dari neuro science, teknik, dan ilmu komputer, juga dari psikologi, matematika, fisika, dan ilmu bahasa. Ilmu-ilmu ini bekerja bersama untuk satu tujuan yaitu pengembangan sistem kecerdasan (Kusumadewi, 2003).
Menurut Puspatiningrum (2006), hal yang ingin dicapai dengan melatih JST adalah untuk mencapai keseimbangan antara kemampuan memorisasi dan generalisasi. Kemampuan memorisasi adalah kemampuan JST untuk mengambil kembali secara sempurna sebuah pola yang telah dipelajari, sedangkan kemampuan generalisasi adalah kemampuan JST untuk menghasilkan respon yang bisa diterima terhadap pola-pola input yang serupa (namun tidak identik) dengan pola-pola yang sebelumnya telah dipelajari. Hal ini sangat bermanfaat bila pada suatu saat ke dalam JST diinputkan informasi baru yang belum pernah dipelajari, maka JST itu masih akan tetap dapat memberikan tanggapan yang baik, memberikan keluaran yang paling mendekati.
Prinsip kerja dari JST itu mengadopsi prinsip kerja penyaluran informasi sistem jaringan syaraf pada manusia. Namun, keterbatasan yang dimiliki oleh JST merupakan sebagian kecil dari kemampuan sistem syaraf pada manusia. Setiap pola-pola informasi input dan output yang diberikan ke dalam JST diproses dalam neuron. Neuron-neuron tersebut terkumpul di dalam lapisan-lapisan yang disebut Neuron layer yang terdiri dari lapisan input, lapisan tersembunyi dan lapisan output (Kusumadewi, 2003).
Selanjutnya Kusumadewi (2003), mengatakan bahwa arsitektur jaringan dalam aplikasinya antara lain: 1). Jaringan layar tunggal (single layer network) contohnya adaline, hopfield, dan perceptron. 2). Jaringan layar jamak (multi layer network) contohnya madaline, backpropagation dan neocognitron. 3). Jaringan dengan lapisan kompetitif (Competitif layer network) contohnya LVQ.
Konsep kerja bagaimana informasi tersalurkan dalam JST dimulai dari node-node input. Misalkan ada sinyal yang masuk ke node-node input. Node-node-node input ini memiliki fungsi untuk menerima sinyal informasi dari luar dan meneruskannya ke node-node pada lapisan tersembunyi. Tidak semua sinyal yang dikirimkan akan disampaikan ke node-node tersembunyi.
Besarnya sinyal yang disampaikan akan tergantung dari tingkat kekuatan hubungan antara tiap-tiap node input dengan masing-masing node tersembunyi. Seperti manusia, ketika kita belajar belum tentu apa yang kita pelajari dapat kita pahami, maka untuk menganalogikan tingkat kekuatan hubungan ini, digunakanlah faktor pembobot (weight). Sehingga, sinyal yang diterima oleh node-node di lapisan tersembunyi merupakan sinyal terbobot atau weigthed signal.
Propagasi Balik (Back propagation)
Metode propagasi balik perambatan galat mundur (back propagation) adalah sebuah metode sistematik untuk pelatihan multilayer jaringan syaraf tiruan. Metode ini memiliki dasar matematis yang kuat, obyektif dan algoritma ini mendapatkan bentuk persamaan dan nilai koefisien dalam formula dengan meminimalkan jumlah kuadrat galat error melalui model yang dikembangkan (training set) (Brace, 1997). a. Pada lapisan masukan, dihitung keluaran dari setiap elemen pemroses melalui
lapisan luar.
b. Dihitung kesalahan pada lapisan luar yang merupakan selisih antara data aktual dan target.
c. Kesalahan tersebut ditransformasikan pada kesalahan yang sesuai di sisi masukan elemen pemroses.
d. Propagasi balik di lakukan terhadap kesalahan-kesalahan ini pada keluaran setiap elemen pemroses ke kesalahan yang terdapat pada masukan. proses ini diulangi sampai masukan tercapai.
e. Seluruh bobot diubah dengan menggunakan kesalahan pada sisi masukan elemen dan luaran elemen pemroses yang terhubung.
Tiruan neuron dalam struktur JST sebagai elemen pemroses dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Tiruan Neuron dalam struktur JST sebagai elemen pemroses Keterangan : aj : Nilai aktivasi dari unit j.
wj,i : Bobot dari unit j ke unit i
ini: Penjumlahan bobot dan masukan ke unit i g : Fungsi aktivasi
ai : Nilai aktivasi dari unit i Sumber : Eliyani (2005)
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Bagian Ilmu Produksi Ternak Perah, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Nopember sampai Desember 2011.
Materi
Penelitian ini menggunakan sapi perah dara Fries Holland sebanyak empat ekor dengan kisaran bobot badan 180 kg sampai 220 kg. Kemudian ternak tersebut diberi pakan berupa hijauan segar (rumput gajah dan rumput lapang) secara normal sebanyak 20 kg/ekor/hari dan konsentrat sebanyak 2 kg per ekor per hari. Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari yaitu pagi pukul 08.00 dan sore pukul 15.00 WIB, sedangkan air minum ad libitum.
Alat Ukur
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah termometer bola basah (wet bulb temperature) dan temperatur bola kering (dry bulb temperature), termometer rektal (Safety, Japan), infra red temperature (digital surface temperature) (Anritsu HI-2000, Tokyo).
Prosedur Pemeliharaan Ternak
Sapi perah dara sebanyak empat ekor dipelihara di dalam kandang ikat bersama ternak yang lain dengan perlakuan normal, waktu dan jumlah pemberian pakan tidak dibedakan.
Parameter yang Diukur
Pengukuran lingkungan iklim mikro dalam kandang meliputi suhu lingkungan (Ta), kelembaban udara (Rh). Pengukuran respon fisiologis antara lain terhadap suhu permukaan kulit (Ts) dan suhu rektal (Tr).
Cara Pengambilan Data
mengacu pada perbedaan suhu udara. Apabila suhu udara belum berubah dari pengukuran sebelumnya maka pengukuran suhu udara dan kelembaban relatif serta respon fisiologis ditunda sampai terjadi perubahan suhu udaranya.
Metode Pengukuran
1. Pengukuran suhu dan kelembaban udara menggunakan termometer bola basah dan bola kering.
2. Indeks suhu kelembaban (THI) dihitung menggunakan rumus Hahn (1985) yaitu: THI = DBT + 0,36 WBT + 41,2; DBT= suhu bola kering (oC) dan WBT = suhu bola basah (oC).
3. Suhu permukaan kulit (Ts), diukur di empat titik tubuh sapi yaitu punggung (A), dada (B), tungkai atas (C), tungkai bawah (D). Rataan suhu permukaan kulit dihitung berdasarkan rumus Mc Lean et al. (1983); Ts = 0,25 (A+B) + 0,32 C + ) 0,18 D.
4. Suhu rektal diukur menggunakan termometer klinis yang dimasukkkan ke dalam rektal selama 3 – 5 menit.
Rancangan dan Analisis Data
Data yang diperoleh dimasukkan dalam program Microsoft Excel kemudian diolah menggunakan analisis Jaringan Syaraf Tiruan, sehingga dapat diketahui pola hubungan antara perubahan suhu udara dan kelembaban relatif terhadap respon fisiologis pada sapi perah FH.
Jaringan Syaraf Tiruan yang digunakan adalah metode algoritma propagasi balik. Algoritma pelatihan propagasi balik banyak dipakai pada aplikasi pengaturan karena proses pelatihannya didasarkan pada hubungan yang sederhana, yaitu: jika keluaran memberikan hasil yang salah, maka penimbang (weight) dikoreksi supaya galatnya dapat diperkecil dan respon jaringan selanjutnya diharapkan akan lebih mendekati nilai yang benar. Back propagation juga berkemampuan untuk memperbaiki penimbang pada lapisan tersembunyi (hidden layer).
Algoritma propagasi balik, dapat dideskripsikan sebagai berikut: ketika jaringan diberikan pola masukan sebagai pola pelatihan maka pola tersebut menuju ke unit-unit pada lapisan tersembunyi untuk diteruskan ke unit-unit lapisan keluaran. Kemudian unit-unit lapisan keluaran memberikan tanggapan yang disebut sebagai
keluaran jaringan. Saat keluaran jaringan tidak sama dengan keluaran yang diharapkan maka keluaran akan menyebar mundur (backward) pada lapisan tersembunyi diteruskan ke unit pada lapisan masukan. Oleh karenanya maka mekanisme pelatihan tersebut dinamakan back propagation atau propagasi balik.
Tahap pelatihan ini merupakan langkah bagaimana suatu jaringan syaraf itu berlatih, yaitu dengan cara melakukan perubahan penimbang (sambungan antar lapisan yang membentuk jaringan melalui masing-masing unitnya). Sedangkan pemecahan masalah baru akan dilakukan jika proses pelatihan tersebut selesai, fase tersebut adalah fase mapping atau proses pengujian atau testing.
Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural Network)
Pemodelan dimulai dengan membangun model Jaringan Syaraf Tiruan (JST) untuk dapat memperoleh nilai respon fisiologis pada ternak berdasarkan kondisi iklim mikronya, menggunakan metode propagasi balik. Arsitektur jaringan syaraf terdiri dari tiga lapisan, yaitu lapisan masukan (input layer) terdiri atas variabel masukan tiga unit sel syaraf, lapisan tersembunyi (hidden layer) terdiri atas enam unit sel syaraf, dan lapisan keluaran (output layer) terdiri atas dua sel syaraf. Struktur ANN metode propagasi balik yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Penghubung antar lapisan digunakan pembobot. Bobot sebagai jembatan yang menghubungkan input layer ke setiap neuron pada hidden layer adalah wij (wij:
bobot yang menghubungkan unit input layer ke-i ke neuron ke-j pada hidden layer), sedangkan penghubung setiap neuron pada hidden layer ke output layer adalah vjk
(vjk: bobot yang menghubungkan neuron ke-j pada hidden layer menuju ke-k pada
output layer).
Skema arsitektur ANN untuk respon fisiologis suhu rektal (Tr) dan Suhu permukaan kulit (Ts) sapi perah FH pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Skema Arsitektur ANN Metode Propagasi Balik (Back Propagation) Pemodelan Respon Fisiologis Suhu Rektal (Tr) Dan Suhu Kulit (Ts) Sapi Perah FH pada Suhu dan Kelembaban Udara Berbeda
Keterangan: x: masukan / input (x1dan x2), x0: bias pada masukan / input, Wij :
Bobot pada lapisan tersembunyi, Vjk : Bobot pada lapisan keluaran, h: jumlah unit
pengolah pada lapisan tersembunyi (h1....h5), h0: bias pada lapisan tersembunyi, y: keluaran hasil .
Aktivasi Jaringan ANN
Algoritma back propagation membagi proses belajar ANN menjadi empat tahapan utama yang dilakukan secara iterative sehingga jaringan menghasilkan perilaku yang diinginkan. Tahapan-tahapan aktivasi jaringan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Inisialisasi yaitu dilakukan pengkodean data input (xi ) dan target tk menjadi nilai
dengan kisaran [0..1], kemudian memberikan nilai pada wij dan vjk secara random
dengan kisaran (-1 sampai 1).
2. Perambatan maju (feed forwards step) yaitu melakukan training pada xi dan tk
kemudian menghitung besarnya hj dan yp 1
hj = --- 1 + e- wij xi
1
yp = ---
1 +e- vjk hj
13 y1
Selama perambatan maju, tiap unit masukan (x
i) menerima sebuah masukan
sinyal ini ke tiap-tiap lapisan tersembunyi h
1,…..,hj. Tiap unit tersembunyi ini
kemudian menghitung aktivasinya dan mengirimkan sinyalnya (h
j) ke tiap unit
keluaran. Tiap unit keluaran (y
k) menghitung aktivasinya untuk membentuk
respon pada jaringan untuk memberikan pola masukan.
3. Perambatan mundur (backward step) : Menentukan nilai wij dan vjk,
Selama pelatihan, tiap unit keluaran membandingkan perhitungan aktivasinya y
p dengan nilai targetnya yt untuk menentukan kesalahan pola tersebut
dengan unit itu. Berdasarkan kesalahan ini, faktor δk(p=p1dan p2) dihitung
δkdigunakan untuk menyebarkan kesalahan pada unit keluaran y
p kembali ke
semua unit pada lapisan sebelumnya (unit-unit tersembunyi yang dihubungkan ke y
p). Dengan cara yang sama, faktor (h = 1,2…,5) dihitung untuk tiap unit
tersembunyi h
j. Nilai δkdigunakan untuk mengupdate bobot-bobot antara lapisan
tersembunyi dan lapisan masukan.
Setelah seluruh faktor δ ditentukan, bobot untuk semua lapisan diatur secara serentak. Pengaturan bobot v
jk (dari unit tersembunyi hj ke unit keluaran yp)
didasarkan pada faktor δkdan aktivasi hj dari unit tersembunyi hj, didasarkan pada
faktor δ
j dan aktivasi xi unit masukan, karena perubahan bobot ini akan terjadi
secara terus menerus selama proses iterasi.
4. Menentukan error atau galat acuan dengan cara jumlah kuadrat dari selisih output yang diharapkan dengan output aktual dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan :
Yt = vektor nilai output yang diharapkan
Yp = vektor nilai output aktual
N = jumlah data dalam training
= besar galat yang diinginkan
Perhitungan kesalahan merupakan pengukuran bagaimana jaringan dapat belajar dengan baik. Kesalahan pada keluaran dari jaringan merupakan selisih antara keluaran prediksi (current output) dan keluaran target (desired output). Menghitung nilai SSE (Sum Square Error)yang merupakan hasil penjumlahan nilai kuadrat errorneuron ke-1 dan neuronke-2 pada lapisan output tiap data, dimana hasil penjumlahan keseluruhan nilai SSE akan digunakan untuk menghitung nilai RMSE (Root Mean Square Error)tiap iterasi (Kusumadewi, 2003).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Lingkungan Mikro Lokasi Penelitian
Berdasarkan pengambilan data selama penelitian yang berlangsung mulai pukul 06.00 sampai pukul 16.00 WIB, data yang diperoleh menunjukkan bahwa suhu lingkungan berkisar antara 23,7 – 33,7 oC, kelembaban udara antara 55 – 96%, THI (Temperature Humidity Index) antara 73,18 – 83,86. Nilai pengukuran yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan rataan nilai optimum untuk kenyamanan sapi perah. Menurut West (2003), ternak sapi perah membutuhkan temperatur nyaman 13-18 oC atau THI (Temperature Humidity Index) < 72, THI > 72 sapi mengalami stres dan THI > 84 memungkinkan kematian pada sapi perah. Sementara McNeilly (2001) menyatakan bahwa zona termoneutral (ZTN) berada pada suhu lingkungan 13 – 25 oC dan kelembaban relatif (Rh) 50 – 60%.
Gambar 3 dan 4 menunjukan pola perubahan kondisi iklim mikro yang berfluktuasi pada lokasi penelitian. Pada gambar tersebut, suhu lingkungan (Ta) dan THI mengilustrasikan pola perubahan yang baku yaitu pola parabolik. Berdasarkan nilai THI yang didapat yaitu berkisar antara THI 72- 84, menunjukkan bahwa sapi mengalami cekaman panas, hal ini seperti yang telah di laporkan oleh (Amir, 2010 dan Yani, 2007).
Waktu Pengamatan (WIB)
Gambar 3. Rataan Pola Perubahan Suhu Lingkungan pada Lokasi Penelitian
Waktu Pengamatan (WIB) (a) Kelembaban udara (Rh)
Waktu Pengamatan (WIB) (b)Temperature Humidity Index (THI)
Gambar 4. Rataan Pola Perubahan Lingkungan Mikro: (a) Kelembaban Udara dan (b) Temperature Humidity Index (THI)
Menurut Yani (2007), suhu udara dalam kandang berasal dari suhu udara lingkungan yang naik pada pagi sampai siang hari dan menurun kembali pada sore hari. Pada pukul 09.20 WIB, suhu udara dalam kandang memiliki kecenderungan meningkat dari posisi dekat lantai menuju posisi dekat atap karena panas matahari
17 06.00
06.00
12.00
12.00
16.00
yang diterima atap dihantarkan ke dalam kandang sehingga semakin dekat dengan atap suhu udara semakin tinggi.
Suhu udara dan kelembaban menyebabkan perubahan keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi dan keseimbangan tingkah laku ternak. Iklim mikro disuatu tempat yang tidak mendukung bagi kehidupan ternak membuat potensi genetik seekor ternak tidak dapat ditampilkan secara maksimal (McNeilly, 2001).
Pengaruh Suhu dan Kelembaban Udara terhadap Suhu Rektal (Tr)
Suhu rektal merupakan salah satu parameter dari pengaturan suhu tubuh yang lazim digunakan karena kisaran suhunya relatif lebih konstan dan lebih mudah dilakukan pengukurannya daripada parameter suhu tubuh lainnya. Dari hasil pengukuran di lapang, suhu rektal berkisar antara 38,13 – 39,7 oC. Rataan suhu rektal ini masih tergolong pada suhu normal bagi sapi perah, seperti yang dinyatakan Schutz et al. (2009) sebesar 38,2 – 39,1 oC, tetapi ternyata telah telah terjadi cekaman panas pada saat suhu rektal melebihi suhu 39,2 oC. Hasil penelitian Purwanto et al. (1993) serta Kendall et al. (2006) melaporkan bahwa pada suhu lingkungan 30 oC serta 32,2 oC, suhu rektal dapat mencapai lebih dari 39,8 oC serta 40 oC. Kondisi suhu rektal yang tinggi tersebut, mengindikasikan fungsi tubuh bekerja secara ekstra untuk mencapai keseimbangan panas yang baik dengan pelepasan panas. Untuk mengetahui suhu rektal sapi perah dapat digunakan hasil simulasi ANN berdasarkan suhu dan kelembaban udara di sekitar kandang sapi perah tersebut.
Pengaruh Suhu Dan Kelembaban Udara terhadap Suhu Kulit (Ts)
Rataan suhu permukaan kulit sapi perah selama pengamatan bervariasi antara 31,97 – 36,55 oC. Rataan suhu rektal ini masih tergolong pada suhu normal sapi perah yang dipelihara dalam lingkungan mikro yang nyaman yaitu berkisar antara 33,5 – 37,1 oC (Tucker et al., 2008). Disamping itu sapi perah yang diamati adalah sapi perah yang sudah lama beradaptasi terhadap lingkungan panas dan dipelihara selalu dikandangkan sehingga tidak terkena langsung radiasi panas matahari.
Menurut Martini (2006), bahwa kulit berkontribusi terhadap pengaturan suhu tubuh (termoregulasi) melalui dua cara yaitu pengeluaran keringat dan menyesuaikan aliran darah di pembuluh kapiler. Pada saat suhu tinggi, tubuh akan mengeluarkan keringat dalam jumlah banyak serta memperlebar pembuluh darah (vasodilatasi) sehingga panas akan terbawa keluar dari tubuh. Sebaliknya, pada saat suhu rendah, suhu tubuh akan mengeluarkan lebih sedikit keringat dan mempersempit pembuluh darah (vasokonstriksi) sehingga mengurangi pengeluaran panas oleh tubuh.
Suhu tubuh merupakan perwujudan suhu organ-organ di dalam tubuh serta organ-organ di luar tubuh. Suhu tubuh diwakili oleh suhu rektal dan suhu diluar tubuh diwakili oleh suhu permukaan kulit. Pola perubahan suhu tubuh sesuai dengan pola perubahan suhu rektal, karena suhu rektal mempunyai pengaruh sebesar 86% terhadap suhu tubuh, sedangkan suhu kulit pengaruhnya sebesar 14% (McLean et al., 1983). Besarnya cekaman panas yang dicerminkan oleh nilai suhu tubuh sebagian besar dipengaruhi oleh besarnya nilai suhu rektal dan sebagian lagi sisanya oleh suhu kulit. Namun demikian, kulit berperan penting dalam menerima rangsangan panas atau dingin untuk dihantarkan ke susunan syaraf pusat dan diteruskan ke hipotalamus. Rangsangan suhu tersebut diteruskan ke pusat pengatur panas yang juga di hipotalamus untuk melakukan usaha-usaha penurunan produksi atau pengeluaran panas (Isnaeni, 2006).
Penerapan Artificial Neural Network (ANN)
Penerapan Artificial Neural Network metode pelatihan propagasi balik dilakukan terhadap data-data pelatihan dengan harapan kesalahan (error) terkecil sekitar 0.001. Setelah dilakukan iterasi berulang-ulang dihasilkan nilai kesalahan (error) yang semakin menurun dari setiap iterasi. Nilai kesalahan (error) yang terkecil pada output prediksi terhadap output target, padaYp1 (suhu rektal) dan Yp2
(suhu kulit) yaitu setelah dilakukan iterasi sebanyak 800.000/25 (32.000 kali), diperoleh nilai error pada suhu rektal sebesar 0,011435 dan pada suhu kulit sebesar 0,035597. Penurunan nilai error pada suhu rektal dan suhu kulit selama proses iterasi dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 5.
Tabel 2. Penurunan Nilai Error Berdasarkan Tahapan Iterasi untuk Suhu Rektal
Gambar 5. Proses Iterasi yang Menghasilkan Nilai Error Terendah untuk suhu rektal (yp1) dan suhu kulit (yp2)
Validasi Hasil Artificial Neural Network (ANN)
Validasi hasil ANN pada suhu rektal (Tr) dan suhu kulit (Ts) berdasarkan suhu dan kelembaban udara, dengan cara membandingkan data suhu rektal dan suhu kulit hasil perhitungan ANN dibandingkan dengan hasil pengukuran di lapang.
Validasi dilakukan pada kondisi suhu dan kelembaban udara yang sama antara data hasil penghitungan ANN dan data hasil pengukuran di lapang.
Validasi dimulai setelah didapatkan nilai error terendah, kemudian dilakukan proses normalisasi kembali, yaitu normalisasi data input (x1, x2), data target (yt1, yt2)
dan hasil prediksi perhitungan ANN (yp1, yp2). Proses dan hasil normalisasi data
dapat dilihat pada Tabel 3.
Hasil validasi menunjukkan kecenderungan hasil penghitungan ANN mendekati hasil pengukuran lapang dengan nilai rataan persentase error yang rendah.yaitu yp1 = 0,50 % dan yp2= 1,12 %. Pada beberapa titik validasi terjadi
perbedaan persentase error yang cukup besar, tetapi masih dalam batasan yang rendah (% error < 5 %). Hal tersebut dapat diartikan bahwa nilai prediksi sudah mendekati nilai aktualnya. Nilai persentase error yang rendah ini menunjukkan bahwa hasil penghitungan ANN memiliki akurasi yang tinggi sehingga dapat dijadikan acuan untuk pendugaan suhu rektal (Tr) dan suhu kulit (Ts) berdasarkan suhu dan kelembaban udara.
Tabel 3. Hasil Normalisasi Data dari Proses Iterasi: Data Input, Data Output dan iPersentase Error antara Target dan Prediksi Data Output
Input Suhu Rektal (Tr) SuhuKulit (Ts)
Simulasi Pendugaan Suhu Rektal (Tr) dan Suhu Kulit (Ts)
Simulasi adalah teknik penyusunan dari kondisi yang nyata dan kemudian melakukan percobaan pada model yang dibuat dari sistem. Simulasi dilakukan dengan memperhatikan parameter suhu dan kelembaban udara pada setiap kondisi mulai dari nilai minimum sampai nilai maksimum yang terukur di lapang. Simulasi dengan mengkombinasikan nilai input suhu dan kelembaban udara, sehingga didapatkan variasi nilai output suhu rektal dan suhu kulit. Contoh hasil simulasi menggunakan ANN dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan hasil simulasi suhu dan kelembaban udara, apabila ingin mengetahui berapa respon fisiologis sapi perah pada suhu rektal (Tr) dan suhu kulit (Ts) sapi perah tersebut, tidak perlu mengukur langsung kepada ternaknya, tetapi cukup melihat suhu dan kelembaban udara yang terukur saat itu, kemudian disimulasikan dengan ANN.
Hasil simulasi dapat digunakan untuk mengetahui tingkat respon fisiologis sapi perah (suhu rektal dan suhu kulit) terhadap perubahan suhu dan kelembaban udara yang berbeda-beda.
Tabel 4. Contoh Hasil Simulasi ANN Perkiraan Suhu Rektal (Tr) dan Suhu Kulit (Ts) pada Suhu dan Kelembaban Udara yang Berbeda-beda
Suhu udara Kelembaban udara Suhu Rektal Suhu Kulit
Berdasarkan hasil prediksi dari simulasi ANN menunjukkan bahwa semakin meningkat suhu udara, maka semakin meningkat pula suhu rektal dan suhu kulit sapi perah. Semakin meningkat kelembaban udara baik pada suhu yang sama atau pada suhu yang meningkat pula, mengakibatkan peningkatan suhu rektal dan suhu kulit. Hasil simulasi ANN ini juga dapat diperoleh korelasi antara suhu dan kelembaban udara dengan tingkat stress sapi berdasarkan suhu rektal dan suhu kulit. Menurut Schutz et al. (2009), bahwa suhu rektal sapi perah pada kondisi normal adalah 38,2 – 39,1 oC. Sementara menurut Tucker et al. (2008), bahwa suhu permukaan kulit sapi yang dipelihara dalam lingkungan mikro yang nyaman yaitu berkisar 33,5 – 37,1 oC. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sapi perah mengalami cekaman panas apabila suhu rektal lebih dari 39,1 oC atau suhu kulit lebih dari 37,1 oC.
Berdasarkan hasil prediksi hasil simulasi ANN, perubahan kelembaban dan suhu udara sangat sensitif mempengaruhi suhu rektal dan suhu kulit pada sapi perah. Tingkat cekaman panas berdasarkan suhu rektal pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Suhu dan Kelembaban Udara pada Saat Sapi Perah Mulai Mengalami Cekaman Panas dengan Indikator Suhu Rektal dan Suhu Kulit
terjadi perubahan kelembaban udara, karena suhu rektal dan suhu kulit masih pada kisaran normal. Pada saat suhu udara 26 – 34 oC, sapi perah akan mengalami cekaman panas apabila terjadi peningkatan kelembaban udara pada suhu tersebut dengan indikator cekaman panas pada suhu rektal, tetapi selama kelembaban udara masih di bawah ambang batas maka sapi perah tersebut tidak mengalami cekaman panas, baik dari indikator suhu rektal atau suhu kulit. Peningkatan kelembaban udara pada suhu udara yang sama dan suhu udara yang berbeda sangat mempengaruhi terhadap perubahan suhu rektal dibandingkan perubahan suhu kulit. Cekaman panas dengan indikator suhu kulit mulai terjadi apabila suhu udara naik menjadi 31 oC dengan kelembaban udara di atas 92 %. Pada saat suhu udara yang tinggi yaitu 32 – 34 oC, akan terjadi cekaman panas dengan indikator suhu rektal dan suhu kulit, tetapi suhu rektal lebih sensitif dibandingkan suhu kulit.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Artificial Neural Network (ANN) dapat melakukan klasifikasi pola hubungan antara kondisi iklim mikro, berdasarkan peubah suhu dan kelembaban udara di dalam kandang sapi perah FH terhadap respon fisiologisnya pada peubah suhu rektal (Tr) dan suhu permukaan kulit (Ts). Pemodelan menggunakan metode pembelajaran propagasi balik (back propagation) sangat cocok pada penelitian ini. Hal ini dapat terlihat dari persentase tingkat akurasi yang tinggi yaitu setelah dilakukan training data sebanyak (800.000/25) 32.000 kali iterasi, data error terendah, yaitu 0,011435 untuk suhu rektal (Tr) dan 0,02094 untuk suhu kulit (Ts).
Hasil prediksi dengan persentase error yang rendah 0,05% pada suhu rektal (Tr) dan 1,12% pada suhu kulit (Ts), maka dapat menjadi acuan untuk pemodelan atau simulasi perkiraan suhu rektal (Tr) dan suhu kulit (Ts) sapi perah FH berdasarkan kondisi suhu dan kelembaban udara yang bervariasi.
Saran
Metode propagasi balik (back propagation) ternyata memiliki kelemahan yakni proses pelatihan memerlukan waktu yang lama karena membutuhkan banyak iterasi sampai mencapai error stabil, maka untuk memperbaikinya perlu dicoba pengubahan arsitektur jaringan dengan mengubah jumlah neuron pada hidden layer atau penerapan metode pembelajaran ANN yang lain.
PEMODELAN RESPON FISIOLOGIS SAPI PERAH FH DARA
BERDASARKAN PERUBAHAN SUHU UDARA DAN
KELEMBABAN RELATIF MENGGUNAKAN
ARTIFICIAL NEURAL NETWORK
SKRIPSI SURAJUDIN
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
PEMODELAN RESPON FISIOLOGIS SAPI PERAH FH DARA
BERDASARKAN PERUBAHAN SUHU UDARA DAN
KELEMBABAN RELATIF MENGGUNAKAN
ARTIFICIAL NEURAL NETWORK
SKRIPSI SURAJUDIN
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
RINGKASAN
Surajudin. D14086025. 2012. Pemodelan Respon Fisiologis Sapi Perah FH Dara Berdasarkan Perubahan Suhu Udara dan Kelembaban Relatif Menggunakan Artificial Neural Network. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Ir. Bagus P. Purwanto, M.Agr. Pembimbing Anggota : Ahmad Yani, STP., M.Si.
Sapi perah FH mempunyai sifat peka terhadap perubahan iklim mikro yang dapat mempengaruhi produksi dan pelepasan panas pada tubuh sapi. Unsur iklim mikro itu antara lain suhu dan kelembaban udara, radiasi matahari dan kecepatan angin. Sifat peka tersebut dapat di ukur dari respon fisiologis sapi antara lain frekuensi denyut jantung (Hr), frekuensi pernafasan (Rr), Suhu rektal (Tr), Suhu kulit (Ts) dan suhu tubuh (Tb). Pemecahan masalah hubungan antara unsur iklim mikro dengan respon fisiologis pada sapi perah telah banyak dilakukan dengan pendekatan regresi sederhana. Sejalan dengan perkembangan di bidang pemodelan, maka perlu dikaji pemanfaatannya dalam bidang fisiologi peternakan. Salah satu model yang cocok untuk pemodelan fisiologi yaitu Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural network).
Penelitian ini bertujuan untuk mencoba pemodelan dan simulasi hubungan antara perubahan suhu udara dan kelembaban relatif terhadap respon fisiologis sapi perah yaitu menggunakan metode Artificial Neural Network (ANN).
Pelaksanaan penelitian pada Bulan Nopember sampai Desember 2011 di Laboratorium Lapang, Bagian Ilmu Produksi Ternak Perah Departemen IPTP, Fakultas Peternakan, Institut pertanian Bogor. Sapi perah FH dara dipelihara dalam kandang ikat dengan perlakuan pakan normal yaitu pemberian hijauan sebanyak 20 kg/ekor/hari dan konsentrat 2 kg/ekor/hari. Pemberian pakan dilakukan pada pukul 08.00 dan pukul 15.00 WIB. Parameter iklim mikro yang diukur yaitu suhu udara (Ta) dan kelembaban udara (Rh), dengan respon fisiologis yang diukur yaitu suhu rektal (Tr) dan suhu kulit (Ts). Data dianalisis menggunakan jaringan syaraf tiruan/artificial neural network dengan metode algoritma propagasi balik/back propagation. Pemodelan dimulai dengan membangun model jaringan syaraf tiruan (JST), membentuk arsitektur jaringan (menentukan input layer, hidden layer, dan output layer) serta aktivasi jaringan dengan cara inisialisasi data, training data (perambatan maju dan perambatan mundur) hingga ke penentuan nilai error terendah.
Hasil pengamatan selama penelitian yang berlangsung mulai pukul 06.00 sampai pukul 16.00 WIB menunjukkan bahwa suhu udara berkisar antara 23,7 – 33,7
o
C, kelembaban udara (Rh) 55% – 96%, THI antara 73,18 – 83,86. Suhu udara meningkat pada siang hari dan mencapai puncaknya, kemudian turun lagi pada sore hari. Kelembaban udara menunjukkan hal yang sebaliknya. Suhu rektal berkisar antara 38,13 – 39,7 oC, melebihi nilai rataan suhu rektal normal yaitu 38,2 – 39,1 oC, dengan suhu kulit yang berkisar antara 31,97 – 36,55 oC, yang masih dalam kisaran normal yaitu 33,5 – 37,1 oC. Penerapan jaringan syaraf tiruan/ artificial neural network dilakukan dengan training data melalaui proses iterasi sebanyak 800.000/25 (32.000 kali), untuk mendapatkan nilai error terendah pada yp1 (suhu rektal) sebesar
didapatkan persentase nilai error hasil prediksi dengan hasil pengukuran di lapang pada suhu rektal dan suhu kulit berturut-turut 0,5% dan 1,12%. Simulasi pendugaan suhu rektal dan suhu kulit melalui suhu dan kelembaban udara didapatkan bahwa sapi perah akan mengalami cekaman panas apabila suhu udara yang meningkat dengan kelembaban udara yang meningkat pula. Indikator cekaman panas lebih sensitif terjadi pada suhu rektal daripada suhu kulit.
Kata kunci : Termoregulasi, artificial neural network, back propagation.
ABSTRACT
Modeling The Effect of Air Temperature and relative humidity on Termoregulatory Responses of Dairy Heifers Friesian Holstein
with Artificial Neural Network Surajudin, B.P. Purwanto and A. Yani
An experiment was conducted to create a model of air temperature and relative humidity effect on termoregulatory responses of FH dairy heifers. Four dairy heifers were kept with normal feeding in dairy barn, Faculty of Animal Science, Bogor Agriculture University. Observed variables were environment factors (air temperature, relative humidity and temperature –humidity index/THI) and the termoregulatory responses (rectal temperature and skin temperature). Data were analized by artificial neural network (ANN) with back propagation methods. Data procesing used 2 variables data input layer, 6 variables hidden layer and 2 variables data output layer. The results showed that with iterations, the error percentage predicted rectal and skin temperatures were 0,5 % and 1,1 % respectively. The ANN simulated showed clearly there was an effect of the air temperature and relative humidity on the termoregulatory responses (rectal temperature and skin temperature). Therefore, the model can be use to predict termoregulatory responses using measurements of air temperature and relative humidity. The rectal temperature was more sensitive to heat stress than that of skin temperature due to changes in air temperature and relative humidity.
PEMODELAN RESPON FISIOLOGIS SAPI PERAH FH DARA
BERDASARKAN PERUBAHAN SUHU UDARA DAN
KELEMBABAN RELATIF MENGGUNAKAN
ARTIFICIAL NEURAL NETWORK
SURAJUDIN D14086025
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
Judul : Pemodelan Respon Fisiologis Sapi Perah FH Dara Berdasarkan Perubahan Suhu Udara Dan Kelembaban Relatif Menggunakan Artificial Neural Network
Nama : Surajudin
NIM : D14086025
Menyetujui,
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Dr.Ir.Bagus P.Purwanto, M.Agr. Ahmad Yani, STP.,MSi NIP.19600503 198503 1 003 NIP.19720503 199903 1 004
Mengetahui : Ketua Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc) NIP. 19591212 198603 1 004
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 25 April 1970 di Magelang Jawa Tengah. Penulis adalah anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Muhadi Anwar dan Ibu Sumidah.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1983 di Sekolah Dasar Negeri 2 Blongkeng Kec. Ngluwar Kab. Magelang. Pendidikan lanjutan tingkat pertama diselesaikan pada tahun 1986, di SMP Negeri Gulon Kec. Salam Kab. Magelang dan pendidikan tingkat atas pada SMT Pertanian Negeri Salam Magelang diselesaikan pada tahun 1989.
Penulis pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor, Program D III Fakultas Politeknik Pertanian, dan lulus pada tahun 1992. Pada tahun 2008, penulis diterima sebagai mahasiswa Program Alih Jenis S1 Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, Sang Pencipta Alam Semesta dan Pemilik Ilmu Pengetahuan, yang memberikan banyak rahmat bagi makhluk-Nya. Syukur Penulis panjatkan atas segala nikmat dan karunia-Nya yang telah diberikan sehingga Penulis memperoleh kemudahan dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi yang berjudul “Pemodelan Respon Fisiologis Sapi Perah FH Dara Berdasarkan Perubahan Suhu Udara Dan Kelembaban Relatif Menggunakan Artificial Neural Network”.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Artificial Neural Network atau jaringan syaraf tiruan adalah program komputasi yang dapat digunakan untuk pemodelan data statistik non-linier untuk memodelkan hubungan yang kompleks antara input dan output untuk menemukan pola-pola pada data. Dalam bidang manajemen lingkungan peternakan dapat digunakan untuk memodelkan hubungan antara faktor-faktor iklim mikro (suhu dan kelembaban udara) terhadap respon fisiologis ternak (suhu rektal dan suhu kulit). Pemodelan ini dapat mengetahui tingkat stress sapi pada kondisi lingkungan yang berubah-ubah, tanpa harus mengukur langsung respon fisiologisnya, tetapi cukup melihat tingkat perubahan pada lingkungan mikro klimatnya. Pemodelan ANN dapat melakukan pendugaan respon fisiologis ternak dengan hanya melihat data mikro klimatnya. Pemodelan ANN dapat memberikan masukan untuk melakukan perbaikan manajemen berdasarkan tingkat stress ternak karena faktor mikro klimat.
Kesempurnaan hakiki hanya milik Sang Pencipta, sehingga Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Semoga skripsi ini bermanfaat untuk stakeholders peternakan khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Bogor, April 2012
DAFTAR ISI Pengaruh Lingkungan Mikro terhadap Ternak Perah ... 5 Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural Network) ... 7 Propagasi Balik (Back propagation) ... 8 MATERI DAN METODE ... 10 Parameter yang Diukur ... 10 Cara Pengambilan Data ... 10 Metode Pengukuran ... 11 Rancangan dan Analisis Data ... 11 Pemodelan Artificial Neural Network (ANN) ... 12 Aktivasi Jaringan Artificial Neural Network (ANN) ... 13 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16 Kondisi Lingkungan Mikro Lokasi Penelitian ... 16 Pengaruh Suhu Dan Kelembaban Udara terhadap
Pengaruh Suhu Dan Kelembaban Udara terhadap
Suhu Kulit (Ts) ... 18 Penerapan Artificial Neural Network (ANN) ... 19 Validasi Hasil Artificial Neural Network (ANN) ... 20 Simulasi Pendugaan Suhu Rektal (Tr) dan Suhu Kulit (Ts) ... 23 KESIMPULAN DAN SARAN ... 26 Kesimpulan ... 26 Saran ... 26 UCAPAN TERIMA KASIH ... 27 DAFTAR PUSTAKA ... 28 LAMPIRAN ... 31
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman 1. Struktur ANN Metode Propagasi Balik (Back propagation) yang
iDigunakan dalam Penelitian ... 12 2. Penuruan Nilai Error Berdasarkan Tahapan Iterasi untuk Suhu Rektal
dan Suhu Kulit ... 20 3.i i Hasil Normalisasi Data dari Proses Iterasi: Data Input, Data iiOutput
dan Persentase Error antara Target dan Prediksi Data iiOutput ... 22 4. Contoh Hasil Simulasi ANN Perkiraan Suhu Rektal (Tr) dan Suhu
Kulit (Ts) ipada Suhu dan Kelembaban Udara yang Berbeda-beda ... 23 5. i Suhu dan Kelembaban Udara pada Saat Sapi Perah Mulai Mengalami
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman 1. Tiruan Neuron dalam Struktur JST Sebagai Elemen Pemroses ... 9 2. Skema Arsitektur ANN Metode Propagasi Balik (backpropagation)
Pemodelan Respon Fisiologis Suhu Rektal (Tr) dan Suhu Kulit (Ts)
Sapi Perah FH pada Suhu dan Kelembaban Udara Berbeda ... 13 3. Rataan Pola Perubahan Suhu Lingkungan pada Lokasi Penelitian ... 16 4. Rataan Pola Perubahan Lingkungan Mikro: (a) Kelembaban Udara dan
(b) THI (Temperature Humidity Index) ... 17 5. Proses Iterasi yang Menghasilkan Error Terendah untuk Suhu Rektal
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman 1. Data Hasil Pengukuran di Lapang ... 32 2. Inisial Data Input, Output Target dan Output Prediksi Hasil Iterasi ... 33 3. Hasil Normalisasi Data dari Proses Iterasi: Data Input, Data Output dan
PENDAHULUAN Latar Belakang
Sapi perah merupakan ternak penghasil susu utama di Indonesia terutama sapi perah Fries Holland (FH). Sapi perah yang berasal dari Belanda ini mempunyai sifat yang peka terhadap kondisi lingkungan terutama terhadap perubahan iklim mikro yang terjadi di sekitar kandang. Unsur iklim mikro yang dapat mempengaruhi produksi panas dan pelepasan panas pada sapi FH adalah suhu, kelembaban, radiasi matahari dan kecepatan angin.
Daya tahan ternak terhadap panas merupakan salah satu faktor yang sangat penting agar dapat berproduksi optimal sesuai kemampuan genetiknya. Lingkungan mempunyai proporsi yang lebih besar daripada pengaruh genetik ternak, sehingga manajemen lingkungan yang baik harus dapat diterapkan untuk menghasilkan produktivitas sesuai yang diharapkan. Salah satu hal yang dapat dilakukan dalam peningkatan produktivitas ternak ialah dengan melakukan manajemen pengendalian lingkungan iklim mikro ternak.
Manajemen pengendalian lingkungan iklim mikro yang baik, dibutuhkan data lingkungan mikroklimat dan respon fisiologis sapi perah tersebut. Data lingkungan mikroklimat antara lain: suhu, kelembaban relatif, kecepatan angin dan radiasi matahari pada sekitar ternak yang dapat mempengaruhi respon fisiologis pada ternak. Adapun data respon fisiologis ternak antara lain : frekuensi denyut jantung (Hr), frekuensi pernafasan (Rr), suhu rektal (Tr), suhu permukaan kulit (Ts) dan suhu tubuh (Tb). Untuk memperoleh hubungan antara suhu udaradan kelembaban relatif terhadap respon fisiologis ternak, diperlukan analisis sifat dan pola hubungan antara kondisi lingkungan terhadap respon fisiologis ternak.
mengalir melalui jaringan tersebut. Salah satu cabang dari Artificial Intelligence(AI) adalah Artificial Neural Network (ANN). Jaringan syaraf tiruan merupakan salah satu sistem pemrosesan informasi yang didesain dengan menirukan cara kerja otak manusia dalam menyelesaikan suatu masalah dengan melakukan proses belajar melalui perubahan bobot sinapsisnya. Jaringan syaraf tiruan mampu melakukan pengenalan kegiatan berbasis data masa lalu. Data masa lalu akan dipelajari oleh jaringan syaraf tiruan sehingga mempunyai kemampuan untuk memberikan keputusan terhadap data yang belum pernah dipelajari. Dalam analisis ini dicoba untuk dipelajari dan dicoba penerapannya di bidang fisiologi lingkungan ternak yaitu mendeteksi respon fisiologis sapi perah terhadap perubahan suhu udaradan kelembaban udaranya.
JST yang berupa susunan sel-sel syaraf tiruan (neuron) dibangun berdasarkan prinsip-prinsip organisasi otak manusia. Usaha manusia dalam mengembangkan suatu sistem yang meniru kemampuan dan perilaku makhluk hidup telah berlangsung selama beberapa dekade belakangan ini. Jaringan syaraf tiruan (JST) merupakan hasil perkembangan ilmu dan teknologi yang kini sedang berkembang pesat. JST yang berupa susunan sel-sel syaraf tiruan (neuron) dibangun berdasarkan prinsip-prinsip organisasi otak manusia. Perhatian yang besar pada JST disebabkan adanya keunggulan yang dimilikinya seperti kemampuan untuk belajar, komputasi paralel, kemampuan untuk memodelkan fungsi nonlinier dan sifat fault tolerance.
Secara sederhana, JST adalah sebuah alat pemodelan data statistik tidak-linier. JST dapat digunakan untuk memodelkan hubungan yang kompleks antara input dan output untuk menemukan pola-pola pada data.
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara perubahan suhu udara dan kelembaban relatif terhadap respon fisiologis sapi perah, aplikasi pemodelan dan simulasi artificial neural network dalam menganalisis pola hubungan antara perubahan suhu udara dan kelembaban relatif terhadap respon fisiologis sapi perah, sehingga dapat memberikan masukan untuk perbaikan manajemen lingkungan ternak dalam pemeliharaan sapi perah.
TINJAUAN PUSTAKA Lingkungan Hidup Sapi FH
Lingkungan merupakan keseluruhan faktor eksternal tidak-genetik yang mempengaruhi pertumbuhan ternak. Lingkungan ternak dapat dibagi menjadi lingkungan fisik, sosial dan termal. Faktor fisik diantaranya ruang, cahaya, suara, tekanan dan peralatan. Faktor sosial meliputi jumlah ternak dalam satu kandang dan tingkah laku ternak. Faktor termal meliputi temperatur udara, kelembaban relatif, pergerakan udara dan radiasi (Esmay, 1978).
Keadaan lingkungan yang selamanya dapat memberikan kenyamanan pada ternak untuk berproduksi secara optimal, sehingga perlu pengendalian lingkungan ternak. Kondisi panas di atas normal mempengaruhi temperatur, kelembaban relatif, radiasi matahari, yang dapat mempengaruhi beban penerimaan panas yang mempengaruhi performa, pengurangan tingkat kenyamanan ternak dan dapat menyebabkan kematian (Mader et al, 2006).
Wilayah yang sesuai untuk pengembangan sapi perah adalah daerah yang mempunyai suhu lingkungan antara 0-20 oC. Jika suhu lingkungan turun hingga kurang dari 0 oC, produksi akan berkurang. Suhu kritis di daerah subtropis yang menyebabkan penurunan produksi susu pada sapi Holstein dan Jersey adalah 21-25
o
C, Brown Swiss adalah 30-32 oC dan Brahman adalah 38 oC (Sainsbury dan Sainsbury, 1982).
Sapi FH akan berproduksi tinggi jika ditempatkan pada suhu lingkungan 18,3
o
C dengan kelembaban 55%. Jika melebihi suhu tersebut ternak akan melakukan penyesuaian secara fisiologis dan tingkah laku. Secara fisiologis ternak akan mengalami cekaman panas dan akan berakibat pada: 1) penurunan nafsu makan; 2) peningkatan konsumsi minum; 3) penurunan metabolisme dan peningkatan katabolisme; 4) peningkatan pelepasan panas melalui penguapan; 5) penurunan konsentrasi hormon dalam darah; 6) peningkatan suhu tubuh, respirasi dan denyut jantung (Mc. Dowell, 1972); dan 7) meningkatnya intensitas berteduh sapi (Ingram dan Dauncey, 1985).
memiliki kecenderungan meningkat dari posisi dekat lantai menuju posisi dekat atap karena panas matahari yang diterima atap dihantarkan ke dalam kandang sehingga semakin dekat dengan atap suhu udara semakin tinggi.
Termoregulasi
Termoregulasi adalah pengaturan suhu tubuh yang tergantung kepada produksi panas melalui metabolisme dan pelepasan panas tersebut ke lingkungan atau suatu proses yang terjadi pada hewan untuk mengatur suhu tubuhnya supaya konstan, paling tidak suhu tubuhnya tidak mengalami perubahan terlalu besar (Isnaeni, 2006). Energi dibutuhkan untuk mendukung fungsi normal tubuh ternak seperti respirasi, pencernaan dan metabolisme untuk pertumbuhan dan produksi susu. Pada hewan yang lebih aktif, lebih banyak energi yang dikeluarkan untuk mendukung aktivitasnya dan faktor ekstrinsik yang paling besar mempengaruhi metabolisme adalah temperatur (Ensminger dan Tyler, 2006). Menurut Amir (2010) peningkatan kandungan energi ransum sapi perah dara PFH menyebabkan peningkatan respon termoregulasinya.
Menurut Brown-Brandl et al. (2006), adanya kontinuitas produksi panas oleh tubuh, maka keseimbangan hanya mungkin jika ada kontinuitas aliran panas pada perbedaan temperatur antara tubuh dan lingkungan. Menurut Isnaeni (2006), kesulitan dalam pelepasan panas secara sensible, menyebabkan ternak melepaskan panas secara insensible (evaporasi). Schutz et al. (2008) menyatakan evaporasi pada dasarnya dikontrol oleh ternak dan stres panas yang secara tiba-tiba dapat segera menyebabkan proses fisiologis pada sapi, dan pada saat istirahat hewan lebih toleran pada suhu tinggi.
Panas yang dibentuk di dalam tubuh diperoleh dari panas hasil kegiatan metabolisme di dalam tubuh dan panas dari luar tubuh. Produksi panas di dalam tubuh antara lain berasal dari metabolisme basal, panas hasil kegiatan pencernaan, kerja pada otot dan metabolisme proses-proses produksi. Panas yang diperoleh dari luar tubuh berupa penyerapan panas dari radiasi matahari di sekitar ternak (baik langsung maupun pantulannya), melalui konduksi dengan benda yang lebih panas dan melalui konveksi oleh aliran udara panas di sekitarnya (Rahardja, 2007).
Suhu Rektal
Suhu tubuh menunjukkan kemampuan tubuh untuk melepas dan menerima panas. Pengukuran suhu tubuh pada dasarnya sulit dilakukan, karena pengukuran suhu tubuh merupakan resultan dari berbagai pengukuran di berbagai tempat (Schmidt-Nielsen, 1997). Pada sapi perah, suhu tubuh (suhu rektal) normal berada pada kisaran 37,8 – 39,2 oC dengan rataan suhu rektal sebesar 38,5 oC (Kelly, 1984). Sedangkan menurut Ensminger dan Tyler (2006), suhu normal rektal sapi perah berkisar antara 38,0 – 39,3 o C dengan rataan sebesar 38,4 oC. Namun pada kondisi tertentu suhu rektal dapat bervariasi, diantaranya pada saat estrus atau birahi, pergantian musim dan pergantian waktu antara pagi hari dengan sore hari (Curtis, 1983).
Selain itu menurut Purwanto et al. (1991), suhu rektal sapi perah meningkat pada suhu lingkungan 30 oC dibandingkan dengan suhu 10 atau 20 oC. Suhu lingkungan yang panas akan menurunkan pelepasan panas tubuh melalui jalur sensible (tidak evaporatife). Sebaliknya pelepasan panas tubuh melalui jalur evaporasi akan meningkat sehingga mengakibatkan produksi panas metabolis akan berubah mengikuti respon termoregulasi.
Pengaruh Lingkungan Mikro terhadap Ternak Perah Fries Holland
Ternak merupakan hewan homeoterm yaitu hewan yang selalu berusaha untuk mempertahankan suhu tubuhnya tetap seiring dengan berubahnya suhu lingkungan. Suhu tubuh ternak selalu diupayakan untuk tetap konstan melalui mekanisme umpan balik negatif pada hipotalamus. Suhu yang konstan sangat dibutuhkan oleh ternak karena beberapa alasan. Perubahan suhu lingkungan dapat mempengaruhi konformasi protein dan aktifitas enzim yang dapat menyebabkan reaksi di dalam sel terganggu. Perubahan suhu berpengaruh terhadap energi kinetik yang dimiliki setiap molekul sehingga dapat meningkatkan laju reaksi di dalam sel (Isnaeni, 2006).
Kenaikan suhu udara mengakibatkan peningkatan frekuensi denyut jantung dan pernafasannya setiap menitnya. Peningkatan produksi panas selalu diikuti dengan peningkatan suhu rektal, frekuensi pernafasan dan denyut jantung (Purwanto et al., 1991). Peningkatan frekuensi pernafasan diharapkan dapat membantu hewan
meningkatkan pelepasan panas melalui pernafasan. Peningkatan denyut jantung dapat membantu transportasi oksigen dan zat makanan ke seluruh tubuh, selain itu peningkatan denyut jantung juga membantu transportasi panas metabolisme ke seluruh tubuh yang dapat meningkatkan suhu permukaan tubuh (Gatenby dan Martawidjaya, 1986). Fluktuasi perubahan suhu dapat mengakibatkan stres pada ternak. Stres secara fisiologis dicirikan dengan peningkatan aktivitas kelenjar Pituitari-adrenal dan usaha pengembalian respon homeostasis. Variasi lingkungan memberikan efek yang luas terhadap respon fisiologis yang berhubungan dengan aktivasi sistem syaraf simpati dan medula adrenal (Dantzer dan Movemede, 1987).
Menurut Sugeng (1998), suhu udara yang tinggi sangat kurang menguntungkan terhadap kehidupan ternak sapi. Pengaruh yang kurang menguntungkan ini dalam hal konsumsi pakan, air minum dan tingkah laku. Ternak sapi yang tertimpa suhu tinggi akan mengalami stres berat dan gagal dalam mengatur panas tubuh. Akibatnya ternak yang bersangkutan akan banyak minum tetapi nafsu makan berkurang dan makanan yang dikonsumsi rendah.
Kelembaban adalah jumlah uap air dalam udara. Kelembaban udara penting, karena mempengaruhi kecepatan kehilangan panas dari ternak. Kelembaban dapat menjadi kontrol dari evaporasi kehilangan panas melalui kulit dan saluran pernafasan. Kelembaban biasanya diekspresikan sebagai kelembaban relatif (Rh). Pada saat kelembaban tinggi, evaporasi terjadi secara lambat, kehilangan panas terbatas dan dengan demikian mempengaruhi keseimbangan termal ternak (Yani dan Purwanto, 2006). Kelembaban nisbi mempengaruhi pada pernafasan dan peluh hewan. Udara yang sangat kering menyebabkan ketidaknyamanan pada hewan. Kelembaban nisbi rendah, angin dan suhu tinggi menyebabkan meningkatnya kebutuhan air untuk hewan (Tjasyono, 2004). Kelembaban tinggi dapat berakibat langsung terhadap penurunan jumlah panas yang hilang akibat penguapan. Pada kelembaban tinggi, penguapan tertahan yang berarti akan meningkatkan panas pada sapi (Sugeng, 1998).
Menurut Yani dan Purwanto (2006) kecepatan angin meningkat seiring dengan meningkatnya suhu udara dan radiasi matahari. Sementara disisi lain tubuh sapi FH memerlukan kecepatan angin yang lebih untuk mereduksi cekaman panasnya, sehingga pengaruh kecepatan angin pada siang hari pada kondisi udara