• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penentuan suhu kritis atas pada sapi perah dara fries holland berdasarkan respon fisiologis dengan manajemen pakan melalui simulasi Artificial Neural Network

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penentuan suhu kritis atas pada sapi perah dara fries holland berdasarkan respon fisiologis dengan manajemen pakan melalui simulasi Artificial Neural Network"

Copied!
270
0
0

Teks penuh

(1)

FISIOLOGIS DENGAN MANAJEMEN PAKAN

MELALUI SIMULASI

ARTIFICIAL

NEURAL NETWORK

DADANG SUHERMAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Penentuan Suhu Kritis Atas pada Sapi Perah Dara Fries Holland Berdasarkan Respon Fisiologis dengan Manajemen Pakan melalui Simulasi Artificial Neural Network adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor

Bogor, Agustus 2013

Dadang Suherman

(4)

DADANG SUHERMAN. Penentuan Suhu Kritis Atas pada Sapi Perah Dara Berdasarkan Respon Fisiologis dengan Manajemen Pakan melalui Simulasi Artificial Neural Network. Dibimbing oleh BAGUS P PURWANTO, WASMEN MANALU dan IDAT G PERMANA.

Lingkungan iklim mikro merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi peternak dalam pengembangan ternak sapi perah di Indonesia adalah cekaman panas. Kondisi iklim di Indonesia bersifat panas sepanjang tahun, sekitar suhu udara 290C selama 6 jam yang disebabkan radiasi matahari dan kelembaban udara yang sangat intensif. Cekaman panas di alam bersifat kronis, cuaca panas hanya sedikit berkurang pada malam hari, dan terjadi peningkatan yang besar akibat kombinasi suhu dan kelembaban udara sebagai penentu suhu kritis yang dapat menurunkan performa produksi ternak. Beberapa penelitian telah dilakukan di Indonesia seperti modifikasi lingkungan fisik (naungan dan pendinginan), manajemen pemberian pakan dan peningkatan manajemen nutrisi untuk meminimalkan efek cekaman panas terhadap respon fisiologis berupa suhu kulit, suhu rektal, suhu tubuh, denyut jantung, dan frekuensi pernafasan. Akan tetapi, strategi manajemn pakan untuk menentukan dan menimimalkan cekaman panas pada suhu kritis belum dilakukan secara menyeluruh. Penentuan suhu kritis pada sapi dara FH berdasarkan respon fisiologis cukup intensif dilakukan di daerah subtropis. Namun demikian, penentuan suhu kritis pada sapi dara FH yang dipelihara di daerah tropis seperti Indonesia belum dilakukan secara intensif. Begitu juga, penentuan suhu kritis pada sapi dara FH berdasarkan respon fisiologis dengan manajemen pakan melalui simulasi Artificial Neural Network

belum dilakukan secara intensif.

Penelitian pertama dilakukan pada peternakan sapi perah rakyat di Kebon Pedes Bogor sebagai daerah dataran sedang (400-600 dpl) dan peternakan sapi perah rakyat di Pondok Rangon Jakarta sebagai dataran rendah (200-400 dpl) dari bulan Januari hingga Februari 2011. Tujuan penelitian ini untuk menentukan suhu kritis pada sapi dara FH dalam kandang berdasarkan respon fisiologis pada masing-masing waktu dan suhu lingkungan di dua daerah berbeda. Enam ekor sapi dara FH digunakan untuk masing-masing daerah pada penelitian ini. Ternak dipelihara selama 14 hari dengan diberikan pakan pada pagi hari pukul 06.00 dan sore hari pukul 15.00, rasio pemberian rumput dan konsentrat setiap hari antara 60:40 Pengambilan data dilakukan setiap jam dari pukul 05.00 hingga pukul 20.00 selama 14 hari selama kurun waktu dua bulan. Peubah yang diukur meliputi parameter rata-rata iklim dalam kandang (suhu udara, kelembaban udara, THI, dan kecepatan angin), parameter respon fisiologis (suhu kulit, suhu rektal, suhu tubuh, denyut jantung, dan frekuensi respirasi). Rancangan yang digunakan adalah pengamatan secara langsung pada ternak. Penentuan suhu kritis pada sapi dara FH berdasarkan respon fisiologis disimulasikan dengan menggunakan analisis Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural Network).

(5)

16.00), dan level TDN konsentrat (70 %, 75 %, 75 % mengandung minyak kelapa 3.5 %). Ternak diberikan pakan dua kali setiap hari dengan rumput gajah dan konsentrat. Penelitian dilakukan selama enam periode dan setiap periode selama 14 hari dari.pukul 05.00 hingga pukul 20.00. Parameter yang diukur meliputi parameter unsur cuaca (suhu udara, kelembaban udara, THI, kecepatan angin, dan radiasi matahari), parameter respon fisiologis (suhu kulit, suhu rektal, denyut jantung, dan frekuensi respirasi), konsumsi pakan, kecepatan konsumsi pakan, kecepatan mengunyah, dan pertambahan bobot badan. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Bujur Sangkar Latin 6x6. Analisis penentuan suhu kritis pada sapi dara FH dalam kandang berdasarkan respon fisiologis dengan manajemen waktu pemberian pakan dan kualitas pemberian konsentrat dengan kandungan TDN berbeda disimulasikan dengan menggunakan analisis Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural Network).

Hasil penelitian pertama menunjukkan bahwa model simulasi ANN dapat digunakan untuk menentukan suhu kritis pada sapi dara FH dengan indikator suhu permukaan kulit, suhu rektal, denyut jantung, dan frekuensi respirasi pada berbeda level suhu dan kelembaban udara di daerah Bogor dan Jakarta. Sapi dara FH mengalami suhu kritis di daerah Bogor pada suhu udara 26 0C dengan kelembaban udara 86% dan di daerah Jakarta pada suhu udara 26 0C dengan kelembaban udara 88%, yang dicirikan dengan meningkatnya suhu rektal, sedangkan sapi dara FH mengalami suhu kritis di daerah Bogor pada suhu udara 31 0C dengan kelembaban udara 86 % dan di daerah Jakarta pada suhu udara 32.5 0C dengan kelembaban udara 88 %, yang dicirikan meningkatnya suhu kulit. Suhu rektal sapi dara FH lebih sensitif terkena cekaman akibat perubahan suhu dan kelembaban udara dibanding suhu kulit baik di daerah Bogor maupun Jakarta.

Sapi dara FH mengalami suhu kritis di daerah Bogor pada suhu udara 22.5 0

C dengan kelembaban udara 78 % dan di daerah Jakarta pada suhu udara 23.5 0C dengan kelembaban udara 78%, yang dicirikan dengan meningkatnya frekuensi respirasi, sedangkan sapi dara FH mulai mengalami suhu kritis di daerah Bogor pada suhu udara 24.5 0C dengan kelembaban udara 78 % dan di daerah Jakarta pada suhu udara 23.5 0C dengan kelembaban udara 88 %, yang dicirikan meningkatnya denyut jantung. Frekuensi respirasi sapi dara FH lebih sensitif terkena cekaman akibat perubahan suhu dan kelembaban udara dibanding denyut jantung baik di daerah Bogor maupun Jakarta.

(6)

kelembaban udara dibanding suhu permukaan kulit dan denyut jantung, baik yang diberi pakan pukul 05.00 dan 18.00 maupun yang diberi pakan pukul 08.00 dan 16.00 dengan pemberian konsentrat TDN 70 %, 75 %, dan 75 % yang mengandung minyak kelapa 3.5 %. Kesimpulan dari penelitian ini dapat memprediksi penentuan suhu kritis pada sapi dara FH dengan manajemen waktu pemberian pakan dan pemberian pakan TDN yang berbeda. Penentuan suhu kritis dari sapi perah dara dapat dilakukan dengan pengaturan waktu pemberian pakan dan pemberian pakan dengan energi yang mudah dicerna. Begitu juga dalam penentuan suhu kritis dari sapi perah dara perlu memperhatikan daerah dataran rendah dan sedang.

(7)

based on physiological responseses for feeding management using Artificial Neural Network simulation. Supervised by BAGUS P PURWANTO, IDAT G PERMANA and WASMEN MANALU.

The management strategy was carried out by predicting the heifer critical temperature determination based on physiological response on feeding management trough ANN simulation. The purpose of this research was to determined the critical temperature for FH heifer based on physiological response with on different feeding time which was fed concentrate that contains different TDN. The objective of the present study is to evaluate physiological responses of dairy heifer to feeding time when fed concentrate differences in TDN content. Six dairy heifers were randomly allocated to 1 of 6 treatments: two feeding times (5 am/6 pm or 8 am/4 pm) of concentrate with 70 % or 75 % of concentrate unsupplemented or supplemented with 3.5 % coconut oil, in each of 6 periods of 14 d each in 6 x 6 Latin square design. The environmental conditions (air temperature, relatitive humidity, temperature humidity index, radiation, and wind velocity) and animals responses (rectal temperature, skin temperature, body temperature, heart rate, respiration rate, feed consumption, feed comsumption rate, chewing rate, and average daily gain) were then measured. The environmental condition were measured daily at 1 h intervals from 5 am to 8 pm. The animals responses were measured at the 4th, 8th, 12th, 14th, day of each periode

at 1 h intervals from 5 am to 8pm, Tukey’s test and LSD were used for

statististical analysis among treatments. The heifer critical temperature determination with physiological response indicator on feeding management was simulated by using Artificial Neural Networks (ANN) analysis.

Artificial Neural Network (ANN) simulation for industrial engineering is used to define critical temperature of Fries Holland (FH) heifer based on physiological responses on models to predict rectal temperature, skin temperature, heart rate and respiratory rate, using ambient temperature and humidity inputs. The research was conducted using six dairy cattle in Bogor and Jakarta. The heifers were fed 6 am and 3 pm daily. The environmental condition (Ta, Rh, THI, and Va) and physiological responses (rectal temperature, skin temperature, heart rate, and respiration rate) were then measured for 14 days in two months at 1 h intervals started from 5 am to 8 pm. By using this ANN simulation. The critical temperature for FH heifer were defined, from rectal temperature at Ta 26 0C and Rh 86 % at Bogor, and at Ta 26 0C and Rh 88 % at Jakarta, from skin temperature at Ta 31 0C and Rh 86 % at Bogor, and at Ta 32.5 0C and Rh 88 % at Jakarta, from heart rate at Ta 24.5 0C and Rh 78 % at Bogor, and at Ta 23.5 0C and Rh 88 % in Jakarta, from respiratory rate at Ta 22.5 0C and Rh 78 % at Bogor, and Ta 23.5 0C and Rh 78 % at Jakarta.

(8)

of TDN 75% concentrate. The rectal temperature and respiration frequency of FH heifers was more sensitive exposed to stress which was caused by temperature and humidity changes compared to skin temperature and heart rate, both on the heifers which was fed at 05.00 am and 06.00 pm and at 08.00 and 04.00 pm with the feeding of TDN concentrate 70 %, 75 %, and 75 % that contains 3.5 % coconut oil. The physiological responses were significantly lower on cattle which fed at 5 am and 6 pm than 8 am and 4 pm also for cattle which fed concentrate contained 3.5 % coconut oil than not containing that with the same TDN (75 %). Chewing velocity was higher on cattle fed concentrate containing 3.5 % coconut oil than without coconut oil. Average daily gain were higher on cattle fed 5 am and 6 pm than 8 am and 4 pm or fed with concentrate containing 3.5 % coconut oil than without coconut oil. The conclusion of this research can predict the critical temperature determination for FH heifers with different feeding time management and also different TDN feeding. The heat stress of dairy heifer could be reduced with managemen feeding time and feeding with easily digestible nutrient.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(10)
(11)

FISIOLOGI DENGAN MANAJEMEN PAKAN

MELALUI SIMULASI

ARTIFICIAL

NEURAL NETWORK

DADANG SUHERMAN

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: Prof Dr Toto Toharnat, MSc

Prof Dr Ir Win Nugroho, MSc

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: Dr Rudi Afnan, S.Pt, M.Sc.Agr

(13)

Nama : Dadang Suherman

NIM : D161080031

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Bagus Priyo Purwanto, MAgr Ketua

Prof Wasmen Manalu, Phd Dr Ir Idat Galih Permana, MScAgr

Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Produksi

dan Teknologi Peternakan

Prof Dr Ir Muladno, MSA Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(14)

--Fisioiogis dengan Manajemen Pakan Berdasarkan Respon

melalui Simulasi Artificial Neural Network

Nama : Dadang Suherman

NIM : D161080031

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

セMMMMMMMMMMMMMMM セ M Prof Wasmen Manalu, Phd "

Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Produksi

dan Teknologi Petemakan

Prof Dr Ir Muiadno, MSA

Tanggal Ujian : 26 Agustus 2013

s Priyo Purwanto, MAgr Ketua

Diketahui oleh

Dekan Sekolah Pascasarjana

(15)

--Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2011 sampai Juli 2011 ini ialah penentuan suhu kritis, dengan judul Penentuan Suhu Kritis Atas pada Sapi Perah Dara Fries Holland Berdasarkan Respon Fisiologis dengan Manajemen Pakan melalui Simulasi Artificial Neural Network.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Bagus P. Purwanto, MAgr, Prof Wasmen Manalu, Phd, dan Dr Ir Idat G. Permana, MScAgr selaku pembimbing, serta Bapak Prof Dr Ir Toto Toharnat, MSc dan Prof Dr Ir Win Nugroho, MSc selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup, serta Dr Rudi Afnan, SPt,MScAgr dan Dr Ahmad Fakih selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka, serta Sirojudin Spt yang telah membantu penelitian dan pengolah data, Di samping itu, penghargaan sampaikan kepada Adi Rahman Spt, MSi, yang telah membantu selama penelitian dan pengumpulan data, serta Ketua Program Studi S3 IPTP dan staf Laboratorium Lapang Kandang Produksi Ternak Perah. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, isteri, anak-anak, dan seluruh keluarga besar Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, atas doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan sebagai bahan pelajaran penulis untuk kegiatan dan atau penelitian selanjutnya.

Bogor, Agustus 2013

(16)

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xvi

DAFTAR LAMPIRAN xviii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Ruang Lingkup Penelitian 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

Lingkungan Sapi Perah 4

Produksi Panas 5

Suhu dan Kelembaban Udara 10

Modifikasi Lingkungan Suhu Mikro 12

Respon Fisiologis 13

Manajemen Pakan 17

Konsumsi Pakan 20

Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural Network) 22

3 PENENTUAN SUHU KRITIS BERDASARKAN RESPON FISIOLOGIS SAPI DARA PERANAKAN FRIES HOLLAND MELALUI SIMULASI ARTIFICIAL NEURAL NETWORK BERBEDA DAERAH 24

Pendahuluan 24

Bahan dan Metode 25

Hasil dan Pembahasan 30

Simpulan 43

4 PENENTUAN SUHU KRITIS BERDASARKAN RESPON FISIOLOGIS DENGAN MANAJEMEN WAKTU PEMBERIAN DAN KONSENTRAT DENGAN KANDUNGAN TDN BERBEDA 44

Pendahuluan 44

Materi dan Metode 46

Hasil dan Pembahasan 53

Simpulan 84

5 PEMBAHASAN UMUM 85

6 SIMPULAN DAN SARAN 88

DAFTAR PUSTAKA 89

(17)

1 Suhu lingkungan ideal dan suhu kritis untuk sapi perah FH 5 2 Perubahan relatif pada konsumsi bahan kering dan produksi susu serta konsumsi air dengan meningkatnya temperature lingkungan 11 3 Suhu rektal, denyut jantung dan frekuensi penapasan sapi FH 15 4 Konsumsi minum, volume urine, dan evaporasi sapi FH laktasi

dalam kondisi suhu lingkungan yang berbeda 16 5 Perbandingan konsumsi pakan, air minum, produsi susu, dan bobot

badan pada suhu 180C dan suhu 300C 22 6 Struktur Artificial Neural Network (ANN) metode propagasi balik (back propagation) yang digunakan dalam penelitian 28 7 Rataan konsumsi BK, TDN, dan PK pakan sapi dara selama

penelitian 32

8 Penurunan nilai error berdasarkan tahapan iterasi untuk suhu rektal (Yp1), suhu kulit (Yp2), frekuensi respirasi (Yp3) dan denyut jantung

(Yp4) pada daerah Bogor 38

9 Penurunan nilai error berdasarkan tahapan iterasi untuk suhu rektal (Yp1), suhu kulit (Yp2), frekuensi respirasi (Yp3) dan denyut jantung

(Yp4) pada daerah Jakarta 39

10Hasil simulasi ANN perkiraan suhu rektal (Tr) dan suhu kulit (Ts) pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda di Bogor dan

Jakarta 40

11Hasil simulasi ANN perkiraan frekuensi respirasi (Rr) dan denyut jantung (Hr) pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda di

Bogor dan Jakarta 41

12Suhu dan kelembaban udara pada saat sapi mulai mengalami suhu kritis (cekaman panas) dengan indikator suhu rektal (Tr) dan suhu

kulit (Ts) di Bogor dan Jakarta 42

13Suhu dan kelembaban udara pada saat sapi mulai mengalami suhu kritis (cekaman panas) dengan indikator frekuensi respirasi (Rr) dan

denyut jantung (Hr) di Bogor dan Jakarta 42 14Komposisi dan kandungan pakan penelitian (% asfeed) 47 15Skema perlakuan penelitian dengan Rancangan Bujur Sangkar Latin 49 16Struktur Artificial Neural Network (ANN) metode propagasi balik (back propagation) yang digunakan dalam penelitian 50 17Rataan suhu udara, kelembaban udara, THI, kecepatan angin, dan

(18)

dara selama perlakuan 57

19Rataan suhu rektal ternak pada siang hari (0C) 59

20Rataan suhu permukaan kulit ternak pada siang hari (0C) 62

21Rataan suhu tubuh ternak pada siang hari (0C) 64

22Rataan denyut jantung ternak pada siang hari (kali/menit) 67

23Rataan frekuensi respirasi ternak pada siang hari (kali/menit) 70

24Penurunan nilai error berdasarkan tahapan iterasi untuk suhu rektal (Yp1) dan suhu kulit (Yp2) pada waktu pemberian pagi pukul 05.00 dan sore pukul 18.00 dengan pemberian konsentrat TDN berbeda 71

25Penurunan nilai error berdasarkan tahapan iterasi untuk frekuensi respirasi (Yp1) dan denyut jantung (Yp2) pada waktu pemberian pagi pukul 05.00 dan sore pukul 18.00 dengan pemberian konsentrat TDN berbeda 72

26Penurunan nilai error berdasarkan tahapan iterasi untuk suhu rektal (Yp1) dan suhu kulit (Yp2) pada waktu pemberian pagi pukul 08.00 dan sore pukul 16.00 dengan pemberian konsentrat TDN berbeda 72

27Penurunan nilai error berdasarkan tahapan iterasi untuk frekuensi respirasi (Yp1) dan denyut jantung (Yp2) pada waktu pemberian pagi pukul 08.00 dan sore pukul 16.00 dengan pemberian konsentrat TDN berbeda 73

28Hasil simulasi ANN perkiraan suhu rektal (Tr) dan suhu kulit (Ts) pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda pada waktu pemberian pagi pukul 05.00 dan sore pukul 18.00 dengan pemberian konsentrat TDN yang berbeda 74

29Hasil simulasi ANN perkiraan frekuensi respirasi (Rr) dan denyut jantung (Hr) pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda pada waktu pemberian pagi pukul 05.00 dan sore pukul 18.00 dengan pemberian konsentrat TDN yang berbeda 75

30Hasil simulasi ANN perkiraan suhu rektal (Tr) dan suhu kulit (Ts) pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda pada waktu pemberian pagi pukul 08.00 dan sore pukul 16.00 dengan pemberian konsentrat TDN yang berbeda 76

31Hasil simulasi ANN perkiraan frekuensi respirasi (Rr) dan denyut jantung (Hr) pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda pada waktu pemberian pagi pukul 08.00 dan sore pukul 16.00 dengan pemberian konsentrat TDN yang berbeda 77 32Suhu dan kelembaban udara pada saat sapi dara PFH mulai

(19)

33Suhu dan kelembaban udara pada saat sapi dara PFH mulai mengalami suhu kritis dengan indikator frekuensi respirasi (Rr) dan denyut jantung (Hr) pada waktu pemberian pagi pukul 05.00 dan sore

pukul 18.00 dengan pemberian konsentrat TDN yang berbeda 79 34Suhu dan kelembaban udara pada saat sapi dara PFH mulai

mengalami suhu kritis dengan indikator suhu rektal (Tr) dan suhu kulit (Ts) pada waktu pemberian pagi pukul 08.00 dan sore pukul

16.00 dengan pemberian konsentrat TDN yang berbeda 80 35Suhu dan kelembaban udara pada saat sapi dara PFH mulai

mengalami suhu kritis dengan indikator frekuensi respirasi (Rr) dan denyut jantung (Hr) pada waktu pemberian pagi pukul 08.00 dan sore

pukul 16.00 dengan pemberian konsentrat TDN yang berbeda 81 36 Rataan kecepatan konsumsi pakan (gram/menit) 83

37 Rataan kecepatan mengunyah (kali/menit) 84

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram produksi panas sapi perah pada beberapa suhu

lingkungan 6

2 Suhu tubuh sebagai keseimbangan antara pelepasan panas dengan

produksi panas 14

3 Tiruan neuron dalam struktur JST sebagai elemen pemroses 23 4 Skema arsitektur ANN metode propagasi balik pemodelan suhu

kritis berdasarkan respon fisiologis suhu rektal (Tr), suhu kulit (Ts), frekuensi respirasi (Rr), dan denyut jantung (Hr) sapi dara PFH pada

suhu dan kelembaban udara berbeda 28

5 Rataan fluktuasi suhu udara (Ta), kelembaban udara (Rh), indeks suhu kelembaban (THI), dan kecepatan angin (Va) selama

Januari-Februari 2011 di Bogor dan Jakarta 31 6 Rataan fluktuasi suhu rektal (Tr) sapi dara PFH tiap jam dari pukul

05.00 hingga pukul 20.00 antara lokasi Bogor dengan Jakarta 33 7 Rataan fluktuasi suhu permukaan kulit (Ts) sapi dara PFH tiap jam

dari pukul 05.00 hingga pukul 20.00 antara lokasi Bogor dengan

Jakarta 34

8 Rataan fluktuasi suhu tubuh (Tb) sapi dara PFH tiap jam dari pukul

(20)

Jakarta 36 10Rataan fluktuasi frekuensi respirasi(Ts) sapi dara PFH tiap jam

dari pukul 05.00 hingga pukul 20.00 antara lokasi Bogor dengan

Jakarta 37

11Skema arsitektur ANN metode propagasi balik pemodelan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis suhu rektal (Tr), suhu kulit (Ts), frekuensi respirasi (Rr), dan denyut jantung (Hr) sapi dara PFH pada

suhu dan kelembaban udara berbeda 51

12Rataan fluktuasi lingkungan mikro; (a) Suhu udara, dan

(b) kelembaban udara, dan (c) indeks suhu kelembaban (THI) lokasi

penelitian 55

13Rataan fluktuasi lingkungan mikro; (d) kecepatan angin dan

(e) radiasi matahari lokasipenelitian 56

14Fluktuasi rataan suhu rektal pada berbagai perlakuan 58 15Fluktuasi rataan suhu rektal ternak yang diberi pakan pukul 05.00 &

18.0 IB dan 08.00 & 16.00 WIB 59 16Fluktuasi rataan suhu rektal ternak yang diberi perlakuan

pemberian konsentrat TDN 70%, perlakuan konsentrat TDN 75%, dan

penggunaan minyak kelapa 3,5% dalam konsentrat TDN 75% 60 17Fluktuasi rataan suhu permukaan kulit ternak pada berbagai perlakuan. 61 18Fluktuasi rataan suhu permukaan kulit ternak yang diberi pakan Pukul

05.00 &18.00 WIB dan 08.00 & 16.00 WIB 61 19Fluktuasi rataan suhu permukaan kulit ternak yang diberi perlakuan

pemberian konsentrat TDN 70%, perlakuan konsentrat TDN 75%,

dan penggunaan minyak kelapa 3,5% dalam konsentrat TDN 75% 62 20Fluktuasi rataan suhu tubuh ternak pada berbagai perlakuan 63 21Fluktuasi rataan suhu tubuh ternak yang diberi pakan Pukul

05.00 &18.00 WIB dan 08.00 & 16.00 WIB 64 22Fluktuasi rataan suhu tubuh ternak yang diberi perlakuan pemberian

konsentrat TDN 70%, perlakuan konsentrat TDN 75%, dan

penggunaan minyak kelapa 3,5% dalam konsentrat TDN 75% 65 23Fluktuasi rataan denyut jantung ternak pada berbagai perlakuan 65 24Fluktuasi rataan denyut jantung ternak yang diberi pakan Pukul

05.00 &18.00 WIB dan 08.00 & 16.00 WIB 66 25Fluktuasi rataan denyut jantung ternak yang diberi perlakuan

pemberian konsentrat TDN 70%, perlakuan konsentrat TDN 75%, dan

(21)

28Fluktuasi rataan frekuensi respirasi ternak yang diberi perlakuan pemberian konsentrat TDN 70%, perlakuan konsentrat TDN 75%, dan

penggunaan minyak kelapa 3,5% dalam konsentrat TDN 75% 70

DAFTAR LAMPIRAN

1 Pemberian hijauan (pagi/sore) setiap periode berdasarkan perlakuan (kg/pemberian (pagi/sore)/hari) 97

2 Pemberian konsentrat (pagi/sore) setiap periode berdasarkan perlakuan (kg/pemberian (pagi/sore)/hari) 97

3 Rataan unsur cuaca kandang selama enam periode 98

4 Rataan suhu rektal tiap jam selama enam periode (0 C) 98

5 Rataan suhu permukaan kulit tiap jam selama enam periode (0C) 99

6 Rataan suhu tubuh tiap jam selama enam periode (0C) 99

7 Rataan denyut jantung tiap jam selama enam periode (kali/menit) 100

8 Rataan frekuensi respirasi tiap jam selama enam periode (kali/menit) 100

9 Rataan hasil pengukuran suhu rektal, suhu kulit, denyut jantung, dan frekuensi respirasi sapi dara PFH di lokasi Bogor 101

10Rataan hasil pengukuran suhu rektal, suhu kulit, denyut jantung, dan Frekuensi respirasi sapi dara PFH di lokasi Jakarta 101

11Data output dan input untuk proses iterasi ANN di lokasi Bogor 102

12Data output dan input untuk proses iterasi ANN di lokasi Jakarta.. 104

13 Hasil simulasi ANN perkiraan suhu rektal (Tr), suhu permukaan kulit (Ts), frekuensi respirasi (Rr), dan denyut jantung (Hr) pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda di lokasi Bogor 106

(22)

Latar Belakang

Penampilan produksi sapi perah sangat dipengaruhi lingkungan (klimatologis, nutrisional, manajerial) dan hereditas, karena produksi ternak tersebut merupakan manifestasi dan interaksi antara hereditas dengan lingkungan. Rendahnya produksi erat kaitannya dengan rendahnya mutu pakan dan manajemen pakan serta kurang optimalnya penanganan klimatologis. Menurut Haenlein (2008), nilai heritability produksi adalah 0.25, maka diindikasikan bahwa produksi dipengaruhi oleh faktor genetik sebesar 25 %, dan 75 % lainnya ditentukan lingkungan, di antaranya suhu dan kelembaban udara dalam kandang serta manajemen pakan. Hal ini menunjukkan bahwa produksi pada sapi perah FH masih dapat dioptimalkan melalui penentuan suhu dan kelembaban udara dalam kandang dan manajemen pakan. Dengan kata lain, produksi sapi perah Fries Holland (FH) di Indonesia dapat ditingkatkan mendekati produksi berasal dari Belanda beriklim subtropis.

Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas sapi perah. Keunggulan genetik seekor sapi perah tidak akan ditampilkan optimal apabila faktor lingkungannya tidak sesuai. Salah satu faktor lingkungan yang menjadi kendala tidak terekspresinya sifat genetik ternak adalah lingkungan mikro (Esmay 1986). Faktor-faktor lingkungan mikro yang menjadi kendala terutama adalah suhu udara, kelembaban udara, radiasi matahari, dan kecepatan angin (Gebremedhin 1985; Purwanto et al. 2003), sehingga perlu upaya pengendalian lingkungan mikro agar produktivitas ternak sapi perah dapat ditingkatkan.

Laporan Intergovemmental Panel on Climate Change (IPCC) yang dikeluarkan tahun 2001, menyimpulkan bahwa peningkatan temperatur udara global sejak tahun 1860 sampai dengan tahun 2000 sebesar 0.2-0.6 0C, sehingga temperatur kritis rendah meningkat dari 20 0C menjadi 30 0C, begitu juga termonetral berubah dari 30 0C menjadi 45 0C. Pemanasan global tersebut terutama disebabkan oleh aktifitas manusia dan ternak berbasis pertanian yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfir (FAO 2006). IPCC memprediksi peningkatan rata-rata temperatur global antara tahun 1990 dan 2100 sebesar 1.1-6.40 C.

Saat ini pemanasan global merupakan salah satu ancaman dalam usaha peternakan, yang diakibatkan adanya gangguan iklim berupa perubahan cuaca yang tidak pasti, perubahan suhu dan kelembaban udara serta curah hujan meningkat. Hal tersebut mengakibatkan perencanaan budidaya dan produksi peternakan tidak pasti, sehingga produktivitas rendah, peningkatan penyakit, dan perubahan pola pemeliharan peternakan.

(23)

pakan, sehingga diharapkan dapat menjadi solusi dalam mengatasi cekaman pada pada tubuh ternak (Nardone et al. 2010).

Pada daerah pengembangan sapi perah Fries Holland (FH) di daerah tropis, suhu lingkungan siang hari mencapai 29 0C selama lebih dari 6 jam. Sapi perah tersebut mengalami cekaman panas berkelanjutan sehingga produksi maksimal tidak tercapai. Dalam keadaan cekaman panas pada suhu kritis diperlukan energi tambahan untuk meningkatkan pembuangan panas melalui penguapan kulit dan pernapasan, dan hal ini dapat menyebabkan produksi menurun. Oleh karena itu, perlu adanya suatu penelitian tentang penentuan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis dan manajemen pakan di daerah tropis pada dataran tinggi dan sedang, untuk meningkatkan produktivitasnya.

Kombinasi suhu dan kelembaban udara merupakan faktor-faktor penentu dalam menentukan suhu kritis pada sapi perah. Suhu lingkungan ideal bagi sapi perah FH di daerah subtropis berkisar antara 4.4-21.1 0C, dan suhu kritis 27 0C. Hasil penelitian Sudono et al. (2003) di daerah tropis memperlihatkan produksi tidak berbeda dengan di daerah subtropis, apabila suhu lingkungan sekitar 18.3 0C dan kelembaban udara sekitar 55 %, serta penampilan produksi masih cukup baik bila suhu lingkungan meningkat sampai 21.1 0C, dan suhu kritis sekitar 27 0C memperlihatkan penampilan produksi semakin menurun.

Beberapa upaya dilakukan peternak dan pakar lingkungan peternakan untuk mengurangi cekaman panas pada sapi perah dengan memberikan naungan dalam bentuk kandang, pemberian kipas angin, pemberian shelter di sekitar kandang, waktu dan kualitas pemberian pakan, dan pemberian minum dengan air dingin. Upaya ini belum dapat menjawab seberapa besar dapat mereduksi cekaman panas sapi perah akibat suhu dan kelembaban udara baik berasal dari lingkungan maupun dalam kandang tanpa adanya pengukuran perubahan suhu dan kelembaban udara terhadap respon fisiologis dan korelasinya, agar besaran cekaman panas yang diterima ternak dapat diketahuinya. Korelasi suhu dan kelembaban udara dengan respon fisiologis ternak akan membentuk suatu formula yang diharapkan dapat memprediksi kondisi respon fisiologis pada suatu keadaan suhu dan kelembaban udara tertentu.

Pemecahan analisis dan pola hubungan antara kondisi lingkungan mikro dalam kandang dengan respon fisiologis ternak dan manajemen pakan biasanya dilakukan dengan analisis metode regresi, namun metode regresi mempunyai kelemahan tidak adanya umpan balik. Untuk mengatasi kelemahan analisis tersebut, untuk pertama kalinya dalam bidang fisiologi lingkungan ternak dicoba penggunaan Artificial Neural Network (ANN) atau Jaringan Syaraf Tiruan (JST) yang dapat memberikan umpan balik. Metode ANN lebih akurat dibandingkan metode regresi, karena memperhatikan aspek umpan balik sehingga perhitungannya dilakukan secara berulang (iterasi).

(24)

berbasis data masa lalu yang akan dipelajari oleh jaringan syaraf tiruan, sehingga mempunyai kemampuan untuk memberikan keputusan terhadap data yang belum pernah dipelajari. Analisis ANN pertama kali dicoba dan dipelajari penerapannya di bidang fisiologi lingkungan ternak, yaitu untuk menentukan suhu kritis pada sapi dara FH berdasarkan respon fisiologis dan manajemen pakan.

Teori lahirnya sistem jaringan syaraf tiruan muncul terutama dari disiplin ilmu teknik, neuro science, computer, matematika, fisika, dan psikologi. Disiplin ilmu-ilmu tersebut bekerja bersama untuk satu tujuan yaitu pengembangan sistem kecerdasan (Kusumadewi 2003). Jaringan Syaraf Tiruan merupakan suatu metode komputasi yang meniru sistem jaringan syaraf biologis. Metode ini menggunakan elemen perhitungan tidak linier dasar yang disebut neuron dan diorganisasikan sebagai jaringan syaraf manusia. Jaringan Syaraf Tiruan dibentuk untuk memecahkan suatu masalah tertentu seperti pengenalan pola atau klasifikasi karena proses pembelajaran (Eliyani 2005).

Penentuan formula suhu kritis dari korelasi suhu dan kelembaban udara dengan respon fisiologis sapi perah FH dan manajemen pakan dicoba menggunakan ANN. ANN memiliki kemampuan dalam memprediksi data yang akan datang dengan pola data yang sudah ada sebelumnya, melalui proses training

data dengan iterasi tertentu, sampai menghasilkan tingkat error yang diinginkan. Data respon fisiologis ternak berupa suhu rektal, suhu kulit, denyut jantung, dan frekuensi respirasi pada suhu dan kelembaban udara tertentu akan dijadikan input

dalam ANN, dan output-nya berupa suhu rektal, suhu kulit, denyut jantung, dan frekuensi respirasi sapi perah FH pada berbagai suhu dan kelembaban udara yang diinginkan. Hasil prediksi dari simulasi menggunakan ANN diharapkan dapat digunakan untuk menentukan suhu kritis dan cekaman panas berdasarkan respon fisiologis pada sapi dara Fries Holland di dua daerah dengan lingkungan dataran berbeda dan manajemen pakan.

Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi dan menganalisis suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH di dua daerah dengan lingkungan dataran berbeda.

2. Mengkaji suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH dengan waktu pemberian pakan berbeda.

3. Mengkaji suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH dengan pemberian kualitas pakan berbeda.

4. Menyusun serta penentuan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi perah dengan manajemen pakan untuk diterapkan sesuai dengan suhu lingkungannya.

Manfaat Penelitian

1. Memperoleh Data dan informasi suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH di dua daerah dengan lingkungan dataran berbeda.

(25)

3. Memperoleh Data dan informasi suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH dengan pemberian kualitas pakan berbeda.

4. Penentuan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi perah dengan manajemen pakan sebagai salah satu bahan di dalam menterapkan kebijakan untuk pengembangan peningkatan produksinya.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

1. Menganalisis suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH di dua daerah dengan lingkungan lingkungan dataran berbeda.

2. Mengkaji suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH dengan waktu pemberian pakan berbeda.

3. Mengkaji suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH dengan pemberian kualitas pakan berbeda.

4. Menyusun dan penentuan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi perah dengan manajemen pakan untuk diterapkan sesuai dengan suhu lingkungannya.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Lingkungan Sapi Perah

Sapi-sapi perah Eropa mempunyai kisaran suhu nyaman yang rendah sehingga lebih toleran terhadap suhu lingkungan dingin dibandingkan dengan suhu lingkungan panas. Supaya sapi perah Fries Holland yang diternakkan di suatu daerah dapat memberikan produksi maksimal sesuai dengan kemampuan genetiknya, maka kondisi lingkungan di daerah tersebut harus sesuai dengan kondisi lingkungan asalnya. Sebagai perbandingan, menurut Pane (1986) bahwa produksi susu sapi perah FH di daerah asalnya rata-rata 6352 kg per laktasi, sedangkan di daerah tropis sekitar 2500-5000 kg per laktasi.

Iklim sangat berpengaruh terhadap produksi sapi perah, karena dapat menyebabkan perubahan dalam keseimbangan panas tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi, dan tingkah laku. Fungsi-fungsi tersebut saling berhubungan dan melibatkan sistem neuroendokrin. Selain itu, faktor iklim secara tidak langsung mempengaruhi ketersediaan bahan makanan ternak, air minum serta berbagai penyakit yang ditimbulkan oleh lingkungan.

(26)

produksi, namun kelembaban udara tinggi mempunyai pengaruh sama menekan produksi (Esmay 1986).

Wilayah yang sesuai untuk pengembangan sapi perah adalah daerah yang mempunyai suhu lingkungan antara 0-20 0C. Jika suhu lingkungan turun hingga 0 0

C atau kurang, produksi akan berkurang. Suhu kritis di daerah subtropis menyebabkan penurunan produksi susu pada bangsa sapi Holstein dan Jersey adalah 21-25 0C, Brown Swiss adalah 30-32 0C, dan Brahman adalah 38 0C (Sainsbury dan Sainsbury 1982). Suhu kritis untuk sapi Holstein adalah 21 0C, Brown Swiss dan Jerseys adalah 24-27 0C, dan untuk Brahman adalah 32 0C.

Beberapa peneliti berpendapat bahwa kisaran suhu lingkungan yang ideal bagi sapi perah Eropa berkisar antara 1.1-21.1 0C, sehingga sapi perah dapat berproduksi maksimal, sedangkan suhu kritis adalah 27 0C. Selengkapnya pendapat beberapa peneliti tentang suhu ideal bagi sapi perah tersaji dalam Tabel 1

Tabel 1 Suhu lingkungan ideal dan suhu kritis untuk sapi perah FH (0C)

Peneliti Suhu ideal Suhu kritis

Schmidt (1972) 4.4 - 21.1 -

McDowell (1972) 13 - 10 27

Sutardi (1981) 18.5 - 21.1 27

Yousef (1985) 4 - 25 27

Sudono (2003) 18.3 - 21 27

Di antara bangsa sapi perah, Fries Holland (FH) merupakan sapi tergolong ke dalam bangsa sapi paling rendah daya tahan panasnya. Namun demikian, hasil penelitian di kawasan tropis memperlihatkan produksinya tidak berbeda jauh dibandingkan dengan di negara asalnya, jika suhu lingkungannya sejuk, yaitu sekitar 18.3 0C, dengan kelembaban udara sekitar 55 %, dan penampilan produksi masih cukup baik jika suhu lingkungan meningkat sampai 21.1 0C (Sudono et al. 2003). Dengan demikian, daerah di Indonesia untuk perkembangan sapi perah yang sesuai adalah daerah sejuk, berketinggian tempat di atas 1000 meter dari permukaan laut.

Produksi Panas

Ternak menghasilkan sejumlah panas metabolisme tergantung dari tipe ternak yaitu bobot badan, jumlah makanan dikonsumsi dan kondisi lingkungan mikro. Panas dihasilkan dalam kandang harus diprediksi untuk mendisain sistem kontrol lingkungan. Panas yang dihasilkan dan kemudian dilepas oleh tubuh hewan terdiri atas panas sensibel (sensible heat) dan panas laten (latent heat). Panas sensibel dan panas laten dihasilkan oleh hewan dalam kandang merupakan komponen kritis keseimbangan panas untuk kondisi setimbang dalam struktur kandang.

(27)

nyaman. Perolehan dan penambahan panas tubuh ternak dapat terjadi secara

sensible melalui mekanisme radiasi, konduksi dan konveksi. Pada saat suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman ternak, jalur utama pelepasan panas hewan terjadi melalui mekanisme evaporative heat loss dengan jalan melakukan pertukaran panas melalui permukaan kulit (sweating) atau melalui pertukaran panas di sepanjang saluran pernapasan (panting) (Purwanto 1993) dan sebagian melalui

feses dan urin (McDowell 1972).

Gambar 1 Diagram produksi panas sapi perah pada beberapa suhu lingkungan.

Penampilan produksi terbaik sapi perah FH akan dicapai pada suhu lingkungan 18.3 oC dengan kelembaban 55 %, bila melebihi suhu tersebut, ternak akan melakukan penyesuaian secara fisiologis dan secara tingkah laku (behaviour). Secara fisiologis ternak sapi FH mengalami cekaman panas akan berakibat pada : 1) penurunan nafsu makan, 2) peningkatan konsumsi minum, 3) penurunan anabolisme dan peningkatan katabolisme, 4) peningkatan pelepasan panas melalui penguapan, 5) penurunan konsentrasi hormon dalam darah, 6) peningkatan temperatur tubuh, respirasi dan denyut jantung (McNeily 2001), dan 7) perubahan tingkah laku (Philips 2002), dan 8) meningkatnya intensitas berteduh sapi (Schutz et al. 2008).

Cekaman panas dapat direduksi dengan menurunkan suhu tubuh sapi FH melalui penyemprotan air dingin ke seluruh permukaan tubuh (Shibata 1996). Hasil simulasi menunjukkan bahwa penurunan suhu lingkungan mikro (sekitar kandang) sebesar 5 oC dapat meningkatkan produksi susu sapi FH sebesar 10 kg/hari yaitu dari 35 kg/hari menjadi 45 kg/hari (Berman 2005).

(28)

dan massa secara konveksi terjadi karena aliran udara masuk dan keluar melalui bukaan ventilasi. Perpindahan panas radiasi gelombang pendek dari radiasi matahari dan refleksinya serta difusivitasnya selalu memiliki nilai positif. Perpindahan panas radiasi gelombang panjang adalah radiasi dipancarkan oleh permukaan bangunan dan diterima dari lingkungan di sekitar bangunan. Panas lainnya ditimbulkan penghuni atau peralatan yang ada di dalam kandang juga harus dapat diperhitungkan (Soegijanto 1999).

Perpindahan panas radiasi gelombang panjang terjadi antara ternak (sapi perah FH) dengan lingkungan di sekitarnya melalui kulit sapi FH dominan berwarna putih atau hitam. Perpindahan panas radiasi gelombang panjang pada ternak dengan lingkungannya terjadi, karena ternak mengeluarkan panas tubuhnya melalui permukaan kulit dan saluran pernafasan (Esmay dan Dixon 1986). Perpindahan panas secara konveksi pada kandang sapi perah FH di lingkungan tropika basah terjadi pada atap bangunan kandang, lantai, bangunan penopangnya seperti dinding, kerangka dan peralatan lainnya.

Keseimbangan panas di permukaan lantai pada bangunan perkandangan ternak sapi perah FH meliputi radiasi gelombang panjang dari lantai ke atap, pindah panas konveksi dari permukaan lantai ke udara dalam kandang, dan pindah panas konduksi dari permukaan lantai ke lapisan di bawahnya atau sebaliknya. Keseimbangan panas di udara dalam kandang sapi perah lebih mudah dihitung karena proses pindah panas terjadi secara konveksi dari penutup (atap) kandang ke udara dalam kandang terjadi secara alami dan melalui bukaan ventilasi baik masuk maupun keluar (Esmay dan Dixon 1986). Perpindahan panas konveksi dipengaruhi koefisien konveksi udara, kecepatan angin dan suhu lingkungan. Semakin besar nilai koefisien konveksi dan kecepatan angin, maka akan semakin cepat keseimbangan panas dalam ruangan konveksi.

Perpindahan panas secara konduksi terjadi pada penutup (atap) kandang sapi FH, dinding bangunan, kerangka bangunan, ternak (sapi FH), air minum sapi FH, tubuh sapi FH. Perpindahan panas konduksi sangat dipengaruhi oleh konduktivitas bahan dan suhu lingkungan. Semakin besar nilai konduktivitasnya, bahan tersebut semakin cepat merambatkan panas (Esmay dan Dixon 1986).

Distribusi suhu dan kelembaban udara (Rh) pada kandang sapi perah FH dipengaruhi luas dan tinggi bangunan, jumlah ternak, suhu lingkungan, sistem ventilasi, radiasi matahari, peralatan peternakan, kecepatan angin, pergerakan udara di sekitar bangunan. Pada bangunan pertanian (greenhouse), faktor desain sangat menentukan distribusi suhu dan kelembaban udara adalah dimensi bangunan, posisi dinding atau atap ventilasi, sudut pembukaan ventilasi, jumlah span dan sebagainya (Boutet 1987). Pertukaran udara dalam kandang sapi perah dipengaruhi besarnya suhu lingkungan, produksi panas hewan, kelembaban, konsentrasi gas dalam kandang, jenis bahan atap bangunan, pindah panas dari lantai, sistem dan luasan ventilasi, luas dan tinggi bangunan kandang (Hellickson dan Walker 1983).

(29)

waktu. Secara konveksi sangat dipengaruhi suhu lingkungan, kecepatan angin, waktu dan luasan daerah konveksi.

Analisis distribusi suhu dalam bangunan peternakan dapat dilakukan dengan perhitungan besarnya pindah panas dan massa pada bangunan melalui sistem ventilasi, sehingga menghasilkan aliran udara yang baik di dalam kandang. Pemecahan analisis aliran udara pada kandang sapi perah dalam 2 atau 3 dimensi dapat dilakukan dengan metode finite element, metode finite difference (Cheney dan Kincaid 1990), metode spectral dan finite volume dengan computational fluid dynamics atau CFD(Versteeg dan Malalasekera 1995).

Ventilasi pada bangunan peternakan digunakan untuk mengendalikan suhu, kelembaban udara, kotoran ternak dan pergerakan udara, sehingga kondisi lingkungan mikro dibutuhkan ternak dapat terpenuhi. Ventilasi terjadi jika terdapat perbedaan tekanan udara. Ventilasi dengan tekanan udara tertentu dapat mempengaruhi kecepatan pergerakan udara, arah pergerakan, intensitas dan pola aliran serta rintangan setempat (Takakura 1979). Laju ventilasi diukur dengan satuan massa udara per unit waktu. Laju ventilasi minimum pada kandang biasanya didasarkan pada kebutuhan pergerakan udara untuk kontrol kelembaban (Esmay 1986).

Di daerah tropis seperti Indonesia, ventilasi bangunan kandang biasanya digunakan adalah ventilasi alami, karena dapat menekan biaya dan tenaga kerja dibanding dengan ventilasi lainnya. Ventilasi alami terjadi karena adanya perbedaan tekanan udara akibat faktor angin dan faktor termal. Faktor angin dan termal ini dimanfaatkan untuk menggerakkan udara dan menentukan laju ventilasi alami yang terjadi. Laju ventilasi alami memiliki hubungan linier dengan kecepatan udara dan tergantung pada perbedaan tekanan udara yang ditimbulkan oleh perbedaan temperatur lingkungan (Takakura 1979). Laju pertukaran udara dipengaruhi oleh total luas bukaan, arah bukaan, kecepatan angin, dan perbedaan temperatur di luar dan di dalam kandang.

Kontrol manual sistem ventilasi alami dapat dilakukan dengan pembukaan dan penutupan lubang ventilasi serta pengaturan bukaan pada dinding (Takakura 1979). Pengaturan ventilasi alami agar tetap kontinyu sulit dilakukan, karena dipengaruhi temperatur, kecepatan dan arah angin yang tidak mudah dikendalikan.

Efek angin digolongkan menjadi dua komponen, yaitu efek turbulen dan efek steady. Efek steady terjadi karena pada saat angin bertiup di atas dan di sekeliling bangunan. Pergerakan angin ini dapat membangkitkan perbedaan tekanan pada lokasi berbeda menghasilkan distribusi tekanan pada bangunan. Distribusi tekanan di sekitar bangunan dinyatakan sebagai distribusi dari koefisien tekanan. Apabila koefisien tekanan bernilai positif maka akan terjadi aliran udara masuk (inflow) melalui bukaan pada bangunan. Apabila koefisien tekanan bernilai negatif maka akan terjadi aliran udara keluar dari bangunan (outflow). Efek turbulen terjadi karena kecepatan angin tidak bersifat statis melainkan bervariasi secara kontinyu menghasilkan fluktuasi tekanan.

(30)

luar kandang yang pada akhirnya terjadi aliran udara keluar masuk kandang melalui bukaan.

Akibat faktor termal, terdapat suatu bidang pada bukaan kandang yang tidak terjadi aliran udara, karena tekanan udara di dalam dan di luar kandang besarnya sama. Bidang ini disebut bidang tekanan netral. Posisi bidang tekanan netral memberikan gambaran bukaan yang berfungsi sebagai saluran masuk dan saluran keluarnya udara. Pada bagian bawah bidang tekanan netral, tekanan udara luar lebih tinggi daripada tekanan udara di dalam kandang sehingga terjadi aliran udara masuk ke dalam kandang. Pada bagian di atas bidang tekanan netral, tekanan udara di dalam lebih tinggi dari tekanan udara di luar, sehingga terjadi aliran udara keluar (Brockett dan Albright 1987).

Daya tahan panas (heat tolerance) ternak sebagai manifestasi adaptasi, merupakan kemampuan tubuh ternak untuk mempertahankan diri dari serangan panas tanpa menderita akibat dari pengaruh tidak menguntungkan (Soeharsono 2008). Prinsip dasar pengukuran daya tahan panas seekor ternak ialah tingkat perubahan suhu tubuh ternak tersebut, sebab pada umumnya perubahan-perubahan fungsi fisiologis organ lainnya hanya usaha tubuh agar suhu tubuh tidak terus naik. Ternak yang mudah naik suhu tubuhnya akibat meningkatnya suhu lingkungan, dikatakan bahwa ternak tersebut rendah daya tahan panasnya. Salah satu cara digunakan untuk mengukur toleransi panas, dengan melihat tinggi rendahnya reaksi organ yang dianggap paling mudah berubah, akibat perubahan suhu lingkungan, yaitu organ pernapasan dan pengaturan suhu tubuh.

Faktor-faktor yang mempengaruhi daya tahan panas seekor ternak, yaitu bangsa, jenis kelamin, dan kondisi tubuh ternak. Sapi potong mempunyai daya tahan panas lebih tinggi daripada sapi perah. Ternak yang mempunyai volume tubuh lebih besar lebih rendah daya tahan panasnya dibanding dengan yang kurus (Soeharsono 2008). Hal ini erat kaitannya dengan luas permukaan tubuh ternak tersebut, yang menunjukkan bahwa semakin kecil ternak maka luas permukaan tubuhnya relatif lebih besar, sehingga lebih banyak panas yang diradiasikan dari dalam tubuh. Begitu juga ternak muda lebih rendah daya tahan panasnya daripada ternak tua (Soeharsono 2008). Hal tersebut disebabkan organ berkaitan dengan pembuangan panas pada ternak dewasa sudah lebih berkembang fungsinya daripada organ-organ tubuh ternak muda.

Pengukuran daya tahan panas seekor ternak dapat digunakan dua cara, yaitu (1) metode Iberia dengan menggunakan parameter suhu tubuh dan diukur dalam 0

F, (2) metode Benezra dengan parameter suhu tubuh (0C) dan frekuensi pernapasan. Rumus yang digunakan Benezra atau dikenal dengan Benezra Coefficient (BC) sebagai berikut:

BC = Benezra Coefficient RT = Rectal Temperature

NR = Number of Respiratory Rate

38,33 = Temperatur normal sapi (standard temperature)

23 = Frekuensi pernapasan normal (standar respiratory rate)

(31)

RT1 = suhu tubuh siang hari RT 0 = suhu tubuh pagi hari

NR1 = frekuensi pernapasan siang hari NR0 = frekuensi pernapasan pagi hari

Menurut perhitungan dengan cara tersebut, toleransi panas optimal, bila nilai IA = 2. Semakin tinggi nilai IA, semakin rendah toleransi panas ternak.

Suhu dan Kelembaban Udara

Faktor-faktor iklim, khususnya suhu lingkungan sangat berpengaruh terhadap produksi dan konsumsi (Rahardja 2007). Suhu lingkungan naik sampai 27 oC, bagi sapi FH sedang laktasi mengebabkan produksi susu menurun. Penurunan produksi tersebut disebabkan rendahnya napsu makan. Dengan adanya pemanasan global di masa sekarang sangat mempengaruhi naik dan turunnya produksi susu secara drastis, sehingga dapat merugikan peternak. Sapi perah berada pada suhu lingkungan tergolong tinggi dan diberikan pakan, maka berusaha meningkatkan pengeluaran panas serta efek kalorigenik pakan (EKP) merupakan tambahan beban panas, yang akhirnya dapat menurunkan produksi susu.

Iklim memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan sapi. Bagi sapi perah FH serta PFH pada suhu lingkungan naik di atas normal, yaitu lebih dari 30 0C, termasuk lingkungan suhu kritis. Suhu tinggi memaksa sapi tinggal di lingkungan tersebut harus beradaptasi berat. Sapi perah yang hidup di suatu lingkungan bersuhu tinggi tidak dapat hidup nyaman (not comfortable), napsu makan berkurang, sehinga produksi susu menurun (Rahardja 2007).

Stress panas terjadi apabila suhu lingkungan berubah menjadi lebih tinggi di atas zona termonetral. Pada kondisi tersebut, toleransi ternak terhadap lingkungan menjadi rendah atau menurun, sehingga ternak mengalami cekaman. Efek stress panas akan berpengaruh terhadap pertumbuhan, reproduksi, dan masa laktasi pada sapi perah, serta termasuk di dalamnya pengaruh terhadap hormonal, produksi susu, dan komposisi susu (Bond dan McDowell 2008).

Kelembaban merupakan jumlah air dalam udara. Fungsi kelembaban udara sangat penting, karena mempengaruhi kecepatan kehilangan panas dari ternak. Lebih lanjut bahwa kelembaban dapat menjadi kontrol dari evaporasi kehilangan panas melalui kulit dan saluran pernafasan. Kelembaban biasanya diekspresikan sebagai kelembaban relatif (Relative Humidity). Pada saat kelembaban tinggi, evaporasi terjadi secara lambat, kehilangan panas terbatas serta akhirnya dapat mempengaruhi keseimbangan termal ternak (Sientje 2003).

(32)

Suhu efektif adalah suhu dimanfaatkan ternak untuk kehidupannya yang dipengaruhi suhu dan kelembaban udara (Rh), radiasi matahari dan kecepatan angin (West 1994). Suhu efektif dapat memperlihatkan tingkat kenyamanan dan stress bagi sapi perah. Hubungan suhu efektif dengan paremeter iklim mikro ditunjukkan pada beberapa persamaan berikut (Yamamoto 1983): (1) hubungan suhu efektif dengan suhu bola basah dan bola kering, (2) hubungan suhu efektif dengan suhu bola kering (suhu tubuh sapi) dan kecepatan angin, (3) hubungan suhu efektif dengan suhu bola kering (suhu pernafasan) dan kecepatan angin, (4) hubungan suhu efektif dengan suhu bola kering dan radiasi matahari, (5) hubungan suhu efektif dengan suhu bola basah dan suhu udara lingkungan.

Tabel 2 Perubahan relatif pada konsumsi bahan kering dan produksi susu serta konsumsi air dengan meningkatnya temperatur lingkungan

Temperatur (oC) Perkiraan Konsumsi

dan produksi

Bahan kering (lb) Produksi Susu (lb) Air (Galon)

20 40.1 59.5 18.0

25 39.0 55.1 19.5

30 37.3 50.7 20.9

35 36.8 39.7 31.7

40 32.5 26.5 28.0

Sumber : Pennington dan VanDevender (2004)

Suhu dan kelembaban udara merupakan dua faktor iklim yang mempengaruhi produksi sapi perah, karena dapat menyebabkan perubahan keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi dan keseimbangan tingkah laku ternak (Esmay 1986). McDowell (1974) menyatakan bahwa untuk kehidupan dan produksinya, ternak memerlukan suhu lingkungan yang optimum. Zona termonetral suhu nyaman untuk sapi Eropa berkisar 13 – 18 oC (McDowell 1972); 4 – 25 oC (Yousef 1985), 5 – 25 oC (Jones dan Stallings 1999). Bligh dan Johnson (1985) membagi beberapa wilayah suhu lingkungan berdasarkan perubahan produksi panas hewan, sehingga didapatkan batasan suhu yang nyaman bagi ternak, yaitu antara batas suhu kritis minimum dengan maksimum (Gambar 1). Hubungan besaran suhu dan kelembaban udara atau biasa disebut Temperature Humidity Index (THI) yang dapat mempengaruhi tingkat stres sapi perah. Sapi perah FH akan nyaman pada nilai THI di bawah 72. Jika nilai THI melebihi 72, maka sapi perah FH akan mengalami stres ringan (72

 THI  79), stres sedang (80  THI  89) dan stres berat ( 90  THI  97) (Wierema 1990).

(33)

Modifikasi Lingkungan Suhu Mikro

Pemecahan masalah untuk mengatasi suhu lingkungan tinggi dengan cara menurunkan suhu udara di sekitar sapi perah, melalui modifikasi lingkungan mikro dalam kandang. Hal ini bisa ditempuh dengan cara pemberian naungan, pemilihan bahan atap, tinggi atap, alas bahan lantai, pendingin udara (air condioning), pendinginan melalui penguapan (evaporative cooling), dan kipas angin (electric fan). Upaya menggunakan pendinginan tersebut sudah pasti memerlukan tambahan biaya tidak sedikit, maka untuk peternakan sapi perah rakyat di Indonesia belum bisa dilaksanakan (Sudono et al. 2003).

Kendala utama untuk menampilkan produktivitas ternak yang dipelihara secara ekstensif pada kondisi suhu lingkungan panas adalah karena intensitas matahari yang tinggi (McDOwell 1972; Mount 1979). Hal tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan tingkah laku ternak, merumput dilakukan malam hari dan siang harinya lebih banyak digunakan untuk berteduh (Ingram dan Dauncey 1985). Pengaruh intensitas matahari yang tinggi juga terjadi pada pemeliharaan ternak secara intensif, karena pengaruh panas radiasi tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan faktor mikroklimat di dalam kandang (Esmay 1986; Hahn 1985).

Radiasi matahari menimbulkan cekaman panas pada sapi digembalakan (Gebremedhin 1985). Pengaruh negatif radiasi matahari dapat dikurangi dengan menggunakan naungan, untuk mengurangi intensitas dan lama penyinaran (Roman-Ponce et al. 1977; Esmay 1986) atau kombinasi naungan dengan sistem pendinginan lain (Armstrong 1997; Igono et al. 1987). Berdasarkan hal tersebutr Yamamoto et el. (1994) menekankan pentingnya pengetahuan tentang peranan naungan dalam termoregulasi sapi perah di daerah berudara panas dalam manajemen sapi perah.

Berdasarkan tujuan mengurangi radiasi langsung dari sinar matahari dalam pembuatan kandang sapi perah, perlu dipilih bahan-bahan yang mampu memantulkan dan menyerap radiasi langsung, sehingga dapat mengurangi penghantaran panas ke dalam kandang. Semua bahan akan memantulkan, meneruskan dan menyerap radiasi gelombang pendek dan gelombang panjang dengan proporsi berbeda-beda, tergantung pada jenis bahan. Perbedaan ini disebabkan berbedanya suhu absolut bahan, sifat fisik dan kimiawi bahan serta daya hantar energi panas (bahang) dan panjang gelombang radiasi matahari (Charles 1981). Hahn (1985) menyatakan bahwa bahan atap rumput kering atau jerami paling efektif menahan radiasi matahari yang terpancar langsung, sedangkan bahan padat kurang efektif kecuali kalau dicat putih. Demikian pula, bahan atap dari bilah-bilah kayu yang disusun tidak rapat kurang efektif untuk menahan radiasi matahari.

(34)

memperlihatkan bahwa lingkungan mikro di dalam kandang beratap rumbia dengan ketinggian 2 meter paling nyaman dibandingkan dengan lingkungan mikro di dalam kandang dengan atap ketinggian 2 meter, serta kandang dengan atap rumbia dan genteng ketinggian 3 meter pada siang hari.

Konduktivitas bahang bahan dipengaruhi jenis dan ketebalan bahan (Whates 1981). Semakin tinggi suhu di bagian bawah bahan atap, semakin tinggi pula suhu di dalam kandang. Hal ini disebabkan penyebaran bahang lebih cepat pada bahan tersebut, baik secara konduksi, konveksi maupun radiasi. Kandang beratap rumbia dan genteng ketinggian 2 meter menyebabkan respon termoregulasi sapi-sapi di dalamnya lebih rendah, pertambahan bobot badan serta efisiensi pakan lebih tinggi dibanding dengan sapi-sapi yang tidak di dalam kandang beratap rumbia dan genteng 3 meter (Santoso 1996).

Berkaitan dengan hantaran bahang dan konduksi, yang perlu diperhatikan adalah konduktivitas dan kapasitas bahang tersebut. Perbandingan antara konduktivitas dan kapasitas bahang merupakan daya difusivitas bahan yang mencerminkan kemampuan bahan untuk melakukan difusi bahang ke lingkungan sekitarnya (Mount 1979). Whates (1981) menyatakan kapasitas bahang dari bahan tergantung pada kadar air bahan. Makin tinggi kadar air bahan, kapasitas bahangnya makin tinggi. Santoso (1996) melaporkan bahwa tidak terjadi perbedaan respon termoregulasi, konsumsi pakan, dan air minum dalam kandang beratap rumbia dengan genteng pada ketinggian atap sama.

Selain memilih bahan atap berkonduktivitas rendah, usaha lain yang ditempuh untuk memanipulasi lingkungan mikro di dalam kandang adalah dengan memperbesar ukuran kandang. Salah satu caranya adalah dengan meninggikan atap kandang, sehingga volume udara dan aliran udara masuk ke dalam kandang lebih besar dan pergantian udara lebih cepat (Carpenter 1981). Pengaruh ditimbulkan dari keadaan tersebut adalah terjadinya penurunan suhu di dalam kandang. Hal tersebut merupakan indikasi bahwa cekaman panas di dalam kandang berkurang, di samping itu terjadi pelepasan panas dari tubuh ternak melalui kulit (sweating) berjalan lebih baik.

Daerah-daerah yang cerah dengan sinar matahari penuh, tinggi atap kandang sebaiknya antara 3.6 dan 4.2 m dan untuk daerah berawan, ketinggian atap kandang antara 2,1 dan 2,7 m lebih efektif membatasi difusi radiasi matahari yang diterima ternak di dalam kandang (Hahn 1985). Ketinggian atap antara 2 dan 3 m untuk daerah tropis basah dan antara 4 dan 5 m untuk daerah beriklim panas kering (McDowell 1972), antara 3 dan 4 m untuk daerah semi arid (Wiersma et al.

1984; Marai dan Forbes 1989). Sastry dan Thomas (1980) menyarankan pengaturan ketinggian atap kandang sapi perah untuk daerah panas dengan curah hujan sedang sampai curah hujan tinggi adalah 175 cm, yang diukur dari sisi atap terendah ke lantai.

Respon Fisiologis

(35)

pengaturan suhu di daerah posterior hipotalamus sangat mudah dirangsang, apabila suhu tubuh menurun. Kedua pusat yang masing-masing terletak di hipotalamus anterior dan posterior ini merupakan pusat suhu yang berlawanan, artinya bila satu aktif maka lainnya dengan sendirinya menjadi pasif.

Pengaturan suhu tubuh bergantung pada produksi panas melalui metabolisme dan pelepasan panas ke lingkungan. Hensel (1981) mengemukakan bahwa adanya kontinuitas produksi panas oleh tubuh, maka keseimbangan hanya terjadi bila ada kontinuitas aliran panas pada perbedaan temperatur antara tubuh dan lingkungan. Menurut Isnaeni (2006), kesulitan dalam pelepasan panas secara

sensible menyebabkan ternak untuk melepaskan panas secara insensible

(evaporasi). Alfarez-Rodriguez dan Sanz (2009), bahwa sapi meningkatkan panas secara evaporasi dengan panting dan sweting. Evaporasi pada dasarnya dikontrol oleh ternak dan stres panas yang secara tiba-tiba, dapat segera menyebabkan proses fisiologis pada sapi (Schutz et al. 2008). Pada saat istirahat, ternak lebih toleransi pada suhu tinggi.

Temperatur mengacu pada kemampuan tubuh untuk menyerap panas. Pada ternak lebih aktif, maka lebih banyak energi dikeluarkan untuk aktivitasnya dan faktor ekstrinsik berupa temperatur yang paling besar mempengaruhi metabolisme (Tyler dan Enseminger 2006). Homeotermi adalah hasil dari keseimbangan antara produksi panas dengan pelepasan panas (Gambar 2), serta faktor-faktor yang mempengaruhi produksi panas yaitu ukuran tubuh, spesies dan bangsa, lingkungan, pakan, dan air.

Hipotermia Hipertermia

Normal

Suhu tubuh, 0C

Gambar 2 Suhu tubuh sebagai keseimbangan antara pelepasan panas dengan produksi panas

Dipengaruhi oleh: Luas permukaan tubuh Penutup tubuh Pertukaran air Aliran darah Lingkungan :

Suhu

Kecepatan angin Kelembaban

Dipengaruhi oleh: Hormon kalorigenik Produksi :

susu daging wool

aktivitas otot kebutuhan pokok

Sumber : Makanan Cadangan tubuh Permentasi rumen/sekum Lingkungan

Sensible Radiasi Konveksi Konduksi

Non sensibel Evaporasi Evaporasi -respirasi -kulit -

Pelepasan panas

[image:35.595.84.485.327.745.2]
(36)

Suhu tubuh menunjukkan kemampuan tubuh untuk melepas dan menerima panas. Pengukuran suhu tubuh sapi pada dasarnya sulit dilakukan, karena pengukuran suhu tubuh merupakan resultan dari berbagai pengukuran di berbagai tempat (Schmidt-Nielsen 1997). Suhu tubuh dapat dihitung pada beberapa lokasi yaitu salah satunya pada rektal, karena cukup mewakili dan kondisinya stabil. Temperatur rektal dan kulit saat siang hari meningkat akibat dehidrasi, frekuensi respirasi dan suhu tubuh berfluktuasi lebih besar (Weeth et al. 2008).

Suhu tubuh diukur dengan termometer klinis bukan indikasi dari jumlah total panas yang diproduksi, tetapi hanya merefleksikan keseimbangan antara panas yang diproduksi dengan panas yang dilepaskan. Walaupun temperatur rektal tidak mengindikasikan suhu tubuh pada ternak, tetapi rektal adalah tempat yang tepat untuk menginformasikan suhu tubuh . Suhu rektal ternak berumur di atas satu tahun berkisar 37.8-39.2 0C (Kelly 1984).

Pelepasan panas dari tubuh akan tergantung pada sistem pengendalian panas tubuh sebagai reaksi terhadap perubahan-perubahan faktor iklim sekitarnya. Kisaran suhu lingkungan pada kondisi tropis, umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan kisaran suhu lingkungan yang serasi bagi ternak. Kenaikan suhu lingkungan akan diikuti oleh peningkatan suhu tubuh, yang akan menyebabkan terganggunya keseimbangan panas tubuh (Sudarmoyo 1988). Perubahan-perubahan fisiologis pada tubuh sapi FH yang menderita cekaman panas disajikan pada Tabel 3. Pengaruh cekaman panas terhadap respon fisiologis sapi perah sangat jelas pada peningkatan suhu rektal, frekuensi pernafasan, dan denyut jantung.

Tabel 3 Suhu rektal, denyut jantung, dan frekuensi pernapasan sapi FH

Parameter Sumber Suhu lingkungan

Netral Cekaman

Suhu rektal (oC) 1

2

38.7 38.8

40.0 39.8 Denyut jantung (kali per menit) 1

2

77.0 64.0

79.0 67.0 Pernapasan (kali per menit) 1

2

48.0 31.0

87.0 75.0 Sumber : 1) Kibler (1962). Sapi FH dengan suhu netral 21.6oC dan suhu cekaman

32.2oC. 2) Purwanto (1993a). Sapi FH dengan suhu netral 15oC dan suhu cekaman 30oC.

Sistem respirasi memiliki fungsi untuk memasok oksigen ke dalam tubuh serta membuang karbondioksida dari dalam darah. Fungsi-fungsi sekunder membantu dalam regulasi keasaman cairan ekstraseluler dalam tubuh, membantu pengendalian suhu , eliminasi air, dan pembentukan suara. Sistem respirasi dapat mengatur kelembaban dan suhu udara yang masuk (dingin atau panas) agar sesuai dengan suhu tubuh.

(37)

oleh medulla yang sensitif terhadap CO2 pada tekanan darah. Jika tekanan darah meningkat sedikit, pernafasan menjadi lebih dalam dan cepat. Peningkatan frekuensi respirasi terjadi ketika ada peningkatan permintaan oksigen, yaitu setelah olah raga, suhu lingkungan dan kelembaban relatif tinggi, dan kegemukan (Kelly 1984).

Respon pernafasan dan denyut jantung merupakan mekanisme dari tubuh sapi perah untuk mengurangi atau melepaskan panas yang diterima dari luar tubuh ternak. Frekuensi pernafasan dan denyut jantung akan meningkat sejalan dengan peningkatan suhu lingkungan. Peningkatan denyut jantung merupakan respons dari tubuh ternak untuk menyebarkan panas yang diterima ke dalam organ-organ yang lebih dingin, sedangkan pernafasan merupakan respon tubuh ternak untuk membuang panas atau mengganti panas dengan udara di sekitarnya. Apabila kedua respons tersebut tidak berhasil menghilangkan atau mengurangi tambahan panas dari luar tubuh, maka akan berakibat terhadap peningkatan suhu organ tubuh (Anderson 1983). Selain itu, mekanisme pengurangan beban panas terutama ditempuh melalui permukaan tubuh dengan cara pengeluaran keringat dan sebagian lagi melalui pengeluaran urin (Tabel 4).

Roman-Ponce et al. (1982) mengemukakan bahwa sapi perah yang ditempatkan pada kandang sebagai pelindung dari sengatan matahari pada suhu lingkungan 28.4 oC menghasilkan suhu tubuh 38.9 oC, dan sapi-sapi tanpa kandang pelindung pada suhu lingkungan 36.7 oC diperoleh suhu tubuh 39.4 oC. Wolfenson et al. (1988) mengemukakan bahwa pendinginan tubuh dengan pembasahan dan hembusan angin terhadap sapi perah Israel-Holstein pada musim panas pada suhu lingkungan 31 oC, suhu tubuhnya meningkat 0.2 oC, dari suhu tubuh 38.7 oC menjadi 38.9 oC. Sapi-sapi tanpa perlakuan pendinginan, suhu tubuhnya meningkat 0.5 oC, dari suhu tubuh 38.7 oC menjadi 39.2 oC.

[image:37.595.90.484.516.654.2]

Tabel 4 Konsumsi minum, volume urine, dan evaporasi sapi FH laktasi dalam kondisi suhu lingkungan yang berbeda

Parameter Suhu

18 oC 30 oC

Konsumsi minum (kg/hari) Volume urine (kg/hr)

Evaporasi melalui (g m-2 hari-1) a. permukaan tubuh

b. respirasi

57.9 11.2

94.6 60.6

74.7 12.8

150.6 90.9 Sumber : McDowell (1972).

(38)

27.4 – 29.2 oC adalah 64.7 kali per menit, sedangkan pada sapi tanpa pendinginan tubuh adalah 76.5 kali per menit.

Jantung merupakan struktur otot berongga yang bentuknya menyerupai kerucut, dan siklusnya adalah urutan peristiwa yang terjadi selama suatu denyut lengkap. Jantung memiliki suatu kapasitas yang kompleks untuk berkontraksi tanpa stimulus eksternal. Faktor-faktor yang mempengaruhi denyut jantung pada ternak normal, yaitu spesies, ukuran, umur, kondisi fisik, jenis kelamin, tahap kebuntingan, ransangan, tahap laktasi, posisi tubuh, aktivitas sistem pencernaan, ruminasi, dan temperatur lingkungan (Frandson 1992). Denyut jantung normal pada sapi dewasa 55-80 kali/menit dan pada pedet 100-120 kali/menit.

Perubahan dalam kardiovaskular terjadi hampir pada setiap perubahan kondisi lingkungan sekitar ternak (Soeharsono 2008). Bila thermostat yang terdapat pada hipothalamus posterior didinginkan, maka akan timbul vasokontriksi di seluruh tubuh. Terjadinya vasokontriksi ini ternyata mencegah sistem radiator dalam pengeluaran panas. Secara umum, kerja dari pusat panas ini, apabila keadaan cuaca dingin, mula-mula thermoreceptor yang terdapat dalam sistem di permukaan tubuh menderita terlebih dahulu. Dalam hal ini, darah yang terdapat di periferi menerima rangsangan tersebut dan membawanya ke seluruh tubuh. Suhu yang disebarkan tersebut sampai di pusat pengaturan suhu. Pusat ini sangat sensitif terhadap setiap perubahan suhu darah. Sewaktu suhu darah menurun, terjadi suatu reaksi tertahan, sehingga semua pembuluh darah di periferi mengecil karena kerja hormon.

Reaksi kardiovaskuler terhadap perubahan suhu lingkungan terjadi adanya penyempitan (kontriksi) dan pembesaran (dilatasi) pembuluh darah. Hal ini terjadi sebagai manifestasi kerja pusat pengatur suhu yang terletak di dalam hipotalamus (Soeharsono 2008). Denyut nadi merupakan manifestasi denyut jantung, yang secara normal keduanya mempunyai ritme yang bersamaan. Denyut nadi meningkat dengan meningkatnya suhu lingkungan, tetapi ada pula denyut nadi yang menurun dengan meningkatnya suhu lingkungan. Soeharsono (2008) mengemukakan dari hasil penelitiannya pada sapi perah Fries Holland, bahwa pada suhu lingkungan 28.3 oC, frekuensi d

Gambar

Gambar 2 Suhu tubuh sebagai keseimbangan antara pelepasan panas dengan
Tabel  4   Konsumsi minum, volume urine, dan evaporasi sapi FH laktasi dalam
Tabel 6 Struktur ANN (Artificial Neural Network) metode propagasi balik (back
Gambar 5 Rataan Fluktuasi suhu udara (Ta), kelembaban udara (Rh), indeks suhu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kita dapat juga mengirim parameter secara PASS BY REFERENCE dengan menambah Var pada saat deklarasi masing-masing parameter, dalam hal ini yang dikirim kedalam

Tujuan dari perancangan kampanye informasi ini adalah diharapkan adanya perubahan perilaku yang ditunjukan oleh target audience yang awalnya tidak mengetahui

X Muham mad Anugrah, Emsosfi Zaini, dan Rispiand a VSM dan WAM Membeerikan usulan berdasarkan identifikasi pemborosan yang terjadi menggunakan WAM Metode dalam

Berdaparkan hasil wawancara dengan Bpk. Barokah, S.Ag selaku guru agama pada hari Selasa tanggaI 18 Juli 2006 pada jam 08.30 dan observasi serta diperkuat dengan doktunentasi

Teori Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) dari Halliday & Matthiessen (2004) digunakan untuk menganalisis makna interpersonal pada teks bahasa (verbal) dan teori

Dalam pengembangan dan perbaikan terhadap permasalahan diatas, maka pada penelitian ini metode Kalman Filter akan diterapkan untuk memperbaiki noise dalam pelacakan

Maka Ketetapan Waktu Iddah dari Ulama Sumatera Utara Terhadap Haid yang Direkayasa, mengikuti oleh ketua MUI SUMUT dengan alasan memiliki kesinambungan dengan

Penerapan pendekatan kontekstual di SD IT Lukman Al Hakim Kudus telah dilaksanakan dengan baik, namun masih banyak permasalahan antara lain, dalam menyiapkan perencanaan proses