• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 11 Desember 1959, sebagai anak pertama dari pasangan Hj Siti Kamsilah dan H Omon. Pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 1979 di SMAN 4 Kota Bandung. Pada tahun 1979, penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran melalui jalur Seleksi Peneriman Mahasiswa Baru, lulus pada tahun 1984. Pada tahun 1993, penulis dapat menyelesaikan S2 pada bidang Ilmu Ternak di Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (IPTP) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) diperoleh pada tahun 2008. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPS.

Setelah menjadi sarjana pada tahun 1984, penulis sempat bekerja sebagai tenaga pendidik di Sekolah Lanjutan Atas dan di Peternakan Sapi Perah, Penulis bekerja sebagai staf pengajar di jurusan peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu dari tahun 1986 sampai sekarang, dengan jabatan fungsional Lektor Kepala. Mata kuliah yang diampuh Manajemen Ternak Perah dan Ilmu produksi ternak perah, serta matakuliah kewirausahaan baik pada fakultas pertanian maupun di luar fakultas pertanian di lingkungan Universitas Bengkulu.

Latar Belakang

Penampilan produksi sapi perah sangat dipengaruhi lingkungan (klimatologis, nutrisional, manajerial) dan hereditas, karena produksi ternak tersebut merupakan manifestasi dan interaksi antara hereditas dengan lingkungan. Rendahnya produksi erat kaitannya dengan rendahnya mutu pakan dan manajemen pakan serta kurang optimalnya penanganan klimatologis. Menurut Haenlein (2008), nilai heritability produksi adalah 0.25, maka diindikasikan bahwa produksi dipengaruhi oleh faktor genetik sebesar 25 %, dan 75 % lainnya ditentukan lingkungan, di antaranya suhu dan kelembaban udara dalam kandang serta manajemen pakan. Hal ini menunjukkan bahwa produksi pada sapi perah FH masih dapat dioptimalkan melalui penentuan suhu dan kelembaban udara dalam kandang dan manajemen pakan. Dengan kata lain, produksi sapi perah Fries Holland (FH) di Indonesia dapat ditingkatkan mendekati produksi berasal dari Belanda beriklim subtropis.

Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas sapi perah. Keunggulan genetik seekor sapi perah tidak akan ditampilkan optimal apabila faktor lingkungannya tidak sesuai. Salah satu faktor lingkungan yang menjadi kendala tidak terekspresinya sifat genetik ternak adalah lingkungan mikro (Esmay 1986). Faktor-faktor lingkungan mikro yang menjadi kendala terutama adalah suhu udara, kelembaban udara, radiasi matahari, dan kecepatan angin (Gebremedhin 1985; Purwanto et al. 2003), sehingga perlu upaya pengendalian lingkungan mikro agar produktivitas ternak sapi perah dapat ditingkatkan.

Laporan Intergovemmental Panel on Climate Change (IPCC) yang dikeluarkan tahun 2001, menyimpulkan bahwa peningkatan temperatur udara global sejak tahun 1860 sampai dengan tahun 2000 sebesar 0.2-0.6 0C, sehingga temperatur kritis rendah meningkat dari 20 0C menjadi 30 0C, begitu juga termonetral berubah dari 30 0C menjadi 45 0C. Pemanasan global tersebut terutama disebabkan oleh aktifitas manusia dan ternak berbasis pertanian yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfir (FAO 2006). IPCC memprediksi peningkatan rata-rata temperatur global antara tahun 1990 dan 2100 sebesar 1.1- 6.40 C.

Saat ini pemanasan global merupakan salah satu ancaman dalam usaha peternakan, yang diakibatkan adanya gangguan iklim berupa perubahan cuaca yang tidak pasti, perubahan suhu dan kelembaban udara serta curah hujan meningkat. Hal tersebut mengakibatkan perencanaan budidaya dan produksi peternakan tidak pasti, sehingga produktivitas rendah, peningkatan penyakit, dan perubahan pola pemeliharan peternakan.

Sapi perah dapat hidup dengan nyaman dan berproduksi secara optimum bila faktor-faktor internal dan eksternal berada dalam batasan-batasan normal sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Suhu lingkungan merupakan salah satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi kenyamanan dan produktivitas sapi perah. Peningkatan performa sapi perah agar sesuai dengan kondisi lingkungan yang mencekam dapat dilakukan dengan manajemen suhu lingkungan dan manajemen

pakan, sehingga diharapkan dapat menjadi solusi dalam mengatasi cekaman pada pada tubuh ternak (Nardone et al. 2010).

Pada daerah pengembangan sapi perah Fries Holland (FH) di daerah tropis, suhu lingkungan siang hari mencapai 29 0C selama lebih dari 6 jam. Sapi perah tersebut mengalami cekaman panas berkelanjutan sehingga produksi maksimal tidak tercapai. Dalam keadaan cekaman panas pada suhu kritis diperlukan energi tambahan untuk meningkatkan pembuangan panas melalui penguapan kulit dan pernapasan, dan hal ini dapat menyebabkan produksi menurun. Oleh karena itu, perlu adanya suatu penelitian tentang penentuan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis dan manajemen pakan di daerah tropis pada dataran tinggi dan sedang, untuk meningkatkan produktivitasnya.

Kombinasi suhu dan kelembaban udara merupakan faktor-faktor penentu dalam menentukan suhu kritis pada sapi perah. Suhu lingkungan ideal bagi sapi perah FH di daerah subtropis berkisar antara 4.4-21.1 0C, dan suhu kritis 27 0C. Hasil penelitian Sudono et al. (2003) di daerah tropis memperlihatkan produksi tidak berbeda dengan di daerah subtropis, apabila suhu lingkungan sekitar 18.3 0C dan kelembaban udara sekitar 55 %, serta penampilan produksi masih cukup baik bila suhu lingkungan meningkat sampai 21.1 0C, dan suhu kritis sekitar 27 0C memperlihatkan penampilan produksi semakin menurun.

Beberapa upaya dilakukan peternak dan pakar lingkungan peternakan untuk mengurangi cekaman panas pada sapi perah dengan memberikan naungan dalam bentuk kandang, pemberian kipas angin, pemberian shelter di sekitar kandang, waktu dan kualitas pemberian pakan, dan pemberian minum dengan air dingin. Upaya ini belum dapat menjawab seberapa besar dapat mereduksi cekaman panas sapi perah akibat suhu dan kelembaban udara baik berasal dari lingkungan maupun dalam kandang tanpa adanya pengukuran perubahan suhu dan kelembaban udara terhadap respon fisiologis dan korelasinya, agar besaran cekaman panas yang diterima ternak dapat diketahuinya. Korelasi suhu dan kelembaban udara dengan respon fisiologis ternak akan membentuk suatu formula yang diharapkan dapat memprediksi kondisi respon fisiologis pada suatu keadaan suhu dan kelembaban udara tertentu.

Pemecahan analisis dan pola hubungan antara kondisi lingkungan mikro dalam kandang dengan respon fisiologis ternak dan manajemen pakan biasanya dilakukan dengan analisis metode regresi, namun metode regresi mempunyai kelemahan tidak adanya umpan balik. Untuk mengatasi kelemahan analisis tersebut, untuk pertama kalinya dalam bidang fisiologi lingkungan ternak dicoba penggunaan Artificial Neural Network (ANN) atau Jaringan Syaraf Tiruan (JST) yang dapat memberikan umpan balik. Metode ANN lebih akurat dibandingkan metode regresi, karena memperhatikan aspek umpan balik sehingga perhitungannya dilakukan secara berulang (iterasi).

ANN merupakan jaringan dari sekelompok unit pemprosesan kecil yang dimodelkan berdasarkan jaringan syaraf manusia, sistem adaptif yang dapat mengubah strukturnya untuk memecahkan masalah berdasarkan informasi baik eksternal maupun internal yang mengalir melalui jaringan. Salah satu sistem pemprosesan informasi yang didesain dengan menirukan cara kerja otak manusia dalam menyelesaikan suatu masalah dengan melakukan proses belajar melalui perubahan bobot sinopsisnya. ANN mampu melakukan pengenalan kegiatan

berbasis data masa lalu yang akan dipelajari oleh jaringan syaraf tiruan, sehingga mempunyai kemampuan untuk memberikan keputusan terhadap data yang belum pernah dipelajari. Analisis ANN pertama kali dicoba dan dipelajari penerapannya di bidang fisiologi lingkungan ternak, yaitu untuk menentukan suhu kritis pada sapi dara FH berdasarkan respon fisiologis dan manajemen pakan.

Teori lahirnya sistem jaringan syaraf tiruan muncul terutama dari disiplin ilmu teknik, neuro science, computer, matematika, fisika, dan psikologi. Disiplin ilmu-ilmu tersebut bekerja bersama untuk satu tujuan yaitu pengembangan sistem kecerdasan (Kusumadewi 2003). Jaringan Syaraf Tiruan merupakan suatu metode komputasi yang meniru sistem jaringan syaraf biologis. Metode ini menggunakan elemen perhitungan tidak linier dasar yang disebut neuron dan diorganisasikan sebagai jaringan syaraf manusia. Jaringan Syaraf Tiruan dibentuk untuk memecahkan suatu masalah tertentu seperti pengenalan pola atau klasifikasi karena proses pembelajaran (Eliyani 2005).

Penentuan formula suhu kritis dari korelasi suhu dan kelembaban udara dengan respon fisiologis sapi perah FH dan manajemen pakan dicoba menggunakan ANN. ANN memiliki kemampuan dalam memprediksi data yang akan datang dengan pola data yang sudah ada sebelumnya, melalui proses training

data dengan iterasi tertentu, sampai menghasilkan tingkat error yang diinginkan. Data respon fisiologis ternak berupa suhu rektal, suhu kulit, denyut jantung, dan frekuensi respirasi pada suhu dan kelembaban udara tertentu akan dijadikan input

dalam ANN, dan output-nya berupa suhu rektal, suhu kulit, denyut jantung, dan frekuensi respirasi sapi perah FH pada berbagai suhu dan kelembaban udara yang diinginkan. Hasil prediksi dari simulasi menggunakan ANN diharapkan dapat digunakan untuk menentukan suhu kritis dan cekaman panas berdasarkan respon fisiologis pada sapi dara Fries Holland di dua daerah dengan lingkungan dataran berbeda dan manajemen pakan.

Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi dan menganalisis suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH di dua daerah dengan lingkungan dataran berbeda.

2. Mengkaji suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH dengan waktu pemberian pakan berbeda.

3. Mengkaji suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH dengan pemberian kualitas pakan berbeda.

4. Menyusun serta penentuan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi perah dengan manajemen pakan untuk diterapkan sesuai dengan suhu lingkungannya.

Manfaat Penelitian

1. Memperoleh Data dan informasi suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH di dua daerah dengan lingkungan dataran berbeda.

2. Memperoleh Data dan informasi suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH dengan waktu pemberian pakan berbeda.

3. Memperoleh Data dan informasi suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH dengan pemberian kualitas pakan berbeda.

4. Penentuan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi perah dengan manajemen pakan sebagai salah satu bahan di dalam menterapkan kebijakan untuk pengembangan peningkatan produksinya.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

1. Menganalisis suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH di dua daerah dengan lingkungan lingkungan dataran berbeda.

2. Mengkaji suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH dengan waktu pemberian pakan berbeda.

3. Mengkaji suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH dengan pemberian kualitas pakan berbeda.

4. Menyusun dan penentuan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi perah dengan manajemen pakan untuk diterapkan sesuai dengan suhu lingkungannya.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Lingkungan Sapi Perah

Sapi-sapi perah Eropa mempunyai kisaran suhu nyaman yang rendah sehingga lebih toleran terhadap suhu lingkungan dingin dibandingkan dengan suhu lingkungan panas. Supaya sapi perah Fries Holland yang diternakkan di suatu daerah dapat memberikan produksi maksimal sesuai dengan kemampuan genetiknya, maka kondisi lingkungan di daerah tersebut harus sesuai dengan kondisi lingkungan asalnya. Sebagai perbandingan, menurut Pane (1986) bahwa produksi susu sapi perah FH di daerah asalnya rata-rata 6352 kg per laktasi, sedangkan di daerah tropis sekitar 2500-5000 kg per laktasi.

Iklim sangat berpengaruh terhadap produksi sapi perah, karena dapat menyebabkan perubahan dalam keseimbangan panas tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi, dan tingkah laku. Fungsi-fungsi tersebut saling berhubungan dan melibatkan sistem neuroendokrin. Selain itu, faktor iklim secara tidak langsung mempengaruhi ketersediaan bahan makanan ternak, air minum serta berbagai penyakit yang ditimbulkan oleh lingkungan.

Di daerah tropis pengaruh iklim yang langsung maupun tidak langsung secara bersama-sama menjadi faktor pembatas terhadap penampilan produksi ternak (Purwanto et al. 2003). Suhu lingkungan tinggi berpengaruh langsung terhadap sifat-sifat fisiologis sapi perah, sehingga pada akhirnya akan berpengaruh terhadap produksi. Meskipun demikian, suhu lingkungan merupakan faktor iklim yang sering dijadikan pertimbangan sebagai faktor membatasi

produksi, namun kelembaban udara tinggi mempunyai pengaruh sama menekan produksi (Esmay 1986).

Wilayah yang sesuai untuk pengembangan sapi perah adalah daerah yang mempunyai suhu lingkungan antara 0-20 0C. Jika suhu lingkungan turun hingga 0 0

C atau kurang, produksi akan berkurang. Suhu kritis di daerah subtropis menyebabkan penurunan produksi susu pada bangsa sapi Holstein dan Jersey adalah 21-25 0C, Brown Swiss adalah 30-32 0C, dan Brahman adalah 38 0C (Sainsbury dan Sainsbury 1982). Suhu kritis untuk sapi Holstein adalah 21 0C, Brown Swiss dan Jerseys adalah 24-27 0C, dan untuk Brahman adalah 32 0C.

Beberapa peneliti berpendapat bahwa kisaran suhu lingkungan yang ideal bagi sapi perah Eropa berkisar antara 1.1-21.1 0C, sehingga sapi perah dapat berproduksi maksimal, sedangkan suhu kritis adalah 27 0C. Selengkapnya pendapat beberapa peneliti tentang suhu ideal bagi sapi perah tersaji dalam Tabel 1

Tabel 1 Suhu lingkungan ideal dan suhu kritis untuk sapi perah FH (0C)

Peneliti Suhu ideal Suhu kritis

Schmidt (1972) 4.4 - 21.1 -

McDowell (1972) 13 - 10 27

Sutardi (1981) 18.5 - 21.1 27

Yousef (1985) 4 - 25 27

Sudono (2003) 18.3 - 21 27

Di antara bangsa sapi perah, Fries Holland (FH) merupakan sapi tergolong ke dalam bangsa sapi paling rendah daya tahan panasnya. Namun demikian, hasil penelitian di kawasan tropis memperlihatkan produksinya tidak berbeda jauh dibandingkan dengan di negara asalnya, jika suhu lingkungannya sejuk, yaitu sekitar 18.3 0C, dengan kelembaban udara sekitar 55 %, dan penampilan produksi masih cukup baik jika suhu lingkungan meningkat sampai 21.1 0C (Sudono et al. 2003). Dengan demikian, daerah di Indonesia untuk perkembangan sapi perah yang sesuai adalah daerah sejuk, berketinggian tempat di atas 1000 meter dari permukaan laut.

Produksi Panas

Ternak menghasilkan sejumlah panas metabolisme tergantung dari tipe ternak yaitu bobot badan, jumlah makanan dikonsumsi dan kondisi lingkungan mikro. Panas dihasilkan dalam kandang harus diprediksi untuk mendisain sistem kontrol lingkungan. Panas yang dihasilkan dan kemudian dilepas oleh tubuh hewan terdiri atas panas sensibel (sensible heat) dan panas laten (latent heat). Panas sensibel dan panas laten dihasilkan oleh hewan dalam kandang merupakan komponen kritis keseimbangan panas untuk kondisi setimbang dalam struktur kandang.

Perolehan panas dari luar tubuh (heat gain) menambah beban panas bagi ternak, bila suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman. Sebaliknya, akan terjadi kehilangan panas tubuh (heat loss) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu

nyaman. Perolehan dan penambahan panas tubuh ternak dapat terjadi secara

sensible melalui mekanisme radiasi, konduksi dan konveksi. Pada saat suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman ternak, jalur utama pelepasan panas hewan terjadi melalui mekanisme evaporative heat loss dengan jalan melakukan pertukaran panas melalui permukaan kulit (sweating) atau melalui pertukaran panas di sepanjang saluran pernapasan (panting) (Purwanto 1993) dan sebagian melalui

feses dan urin (McDowell 1972).

Gambar 1 Diagram produksi panas sapi perah pada beberapa suhu lingkungan. Penampilan produksi terbaik sapi perah FH akan dicapai pada suhu lingkungan 18.3 oC dengan kelembaban 55 %, bila melebihi suhu tersebut, ternak akan melakukan penyesuaian secara fisiologis dan secara tingkah laku (behaviour). Secara fisiologis ternak sapi FH mengalami cekaman panas akan berakibat pada : 1) penurunan nafsu makan, 2) peningkatan konsumsi minum, 3) penurunan anabolisme dan peningkatan katabolisme, 4) peningkatan pelepasan panas melalui penguapan, 5) penurunan konsentrasi hormon dalam darah, 6) peningkatan temperatur tubuh, respirasi dan denyut jantung (McNeily 2001), dan 7) perubahan tingkah laku (Philips 2002), dan 8) meningkatnya intensitas berteduh sapi (Schutz et al. 2008).

Cekaman panas dapat direduksi dengan menurunkan suhu tubuh sapi FH melalui penyemprotan air dingin ke seluruh permukaan tubuh (Shibata 1996). Hasil simulasi menunjukkan bahwa penurunan suhu lingkungan mikro (sekitar kandang) sebesar 5 oC dapat meningkatkan produksi susu sapi FH sebesar 10 kg/hari yaitu dari 35 kg/hari menjadi 45 kg/hari (Berman 2005).

Bangunan perkandangan akan mendapatkan perolehan dan kehilangan panas dan massa dari dan ke lingkungan sekitarnya melalui proses perpindahan panas dan massa secara konduksi, konveksi dan radiasi. Perpindahan panas konduksi terjadi melalui dinding dan atap bangunan dengan arah masuk dan keluar bangunan termasuk konduksi panas dari dan ke dalam tanah. Perpindahan panas

dan massa secara konveksi terjadi karena aliran udara masuk dan keluar melalui bukaan ventilasi. Perpindahan panas radiasi gelombang pendek dari radiasi matahari dan refleksinya serta difusivitasnya selalu memiliki nilai positif. Perpindahan panas radiasi gelombang panjang adalah radiasi dipancarkan oleh permukaan bangunan dan diterima dari lingkungan di sekitar bangunan. Panas lainnya ditimbulkan penghuni atau peralatan yang ada di dalam kandang juga harus dapat diperhitungkan (Soegijanto 1999).

Perpindahan panas radiasi gelombang panjang terjadi antara ternak (sapi perah FH) dengan lingkungan di sekitarnya melalui kulit sapi FH dominan berwarna putih atau hitam. Perpindahan panas radiasi gelombang panjang pada ternak dengan lingkungannya terjadi, karena ternak mengeluarkan panas tubuhnya melalui permukaan kulit dan saluran pernafasan (Esmay dan Dixon 1986). Perpindahan panas secara konveksi pada kandang sapi perah FH di lingkungan tropika basah terjadi pada atap bangunan kandang, lantai, bangunan penopangnya seperti dinding, kerangka dan peralatan lainnya.

Keseimbangan panas di permukaan lantai pada bangunan perkandangan ternak sapi perah FH meliputi radiasi gelombang panjang dari lantai ke atap, pindah panas konveksi dari permukaan lantai ke udara dalam kandang, dan pindah panas konduksi dari permukaan lantai ke lapisan di bawahnya atau sebaliknya. Keseimbangan panas di udara dalam kandang sapi perah lebih mudah dihitung karena proses pindah panas terjadi secara konveksi dari penutup (atap) kandang ke udara dalam kandang terjadi secara alami dan melalui bukaan ventilasi baik masuk maupun keluar (Esmay dan Dixon 1986). Perpindahan panas konveksi dipengaruhi koefisien konveksi udara, kecepatan angin dan suhu lingkungan. Semakin besar nilai koefisien konveksi dan kecepatan angin, maka akan semakin cepat keseimbangan panas dalam ruangan konveksi.

Perpindahan panas secara konduksi terjadi pada penutup (atap) kandang sapi FH, dinding bangunan, kerangka bangunan, ternak (sapi FH), air minum sapi FH, tubuh sapi FH. Perpindahan panas konduksi sangat dipengaruhi oleh konduktivitas bahan dan suhu lingkungan. Semakin besar nilai konduktivitasnya, bahan tersebut semakin cepat merambatkan panas (Esmay dan Dixon 1986).

Distribusi suhu dan kelembaban udara (Rh) pada kandang sapi perah FH dipengaruhi luas dan tinggi bangunan, jumlah ternak, suhu lingkungan, sistem ventilasi, radiasi matahari, peralatan peternakan, kecepatan angin, pergerakan udara di sekitar bangunan. Pada bangunan pertanian (greenhouse), faktor desain sangat menentukan distribusi suhu dan kelembaban udara adalah dimensi bangunan, posisi dinding atau atap ventilasi, sudut pembukaan ventilasi, jumlah span dan sebagainya (Boutet 1987). Pertukaran udara dalam kandang sapi perah dipengaruhi besarnya suhu lingkungan, produksi panas hewan, kelembaban, konsentrasi gas dalam kandang, jenis bahan atap bangunan, pindah panas dari lantai, sistem dan luasan ventilasi, luas dan tinggi bangunan kandang (Hellickson dan Walker 1983).

Pindah panas pada kandang sapi perah dapat terjadi secara radiasi, konveksi maupun konduksi (Wathes dan Charles 1994), mengakibatkan adanya distribusi suhu dalam kandang. Pindah panas secara radiasi dipengaruhi besarnya radiasi matahari atau bahan, kecepatan angin dan suhu lingkungan. Pindah panas pada bahan bangunan kandang dipengaruhi konduktivitas bahan, tebal bahan dan

waktu. Secara konveksi sangat dipengaruhi suhu lingkungan, kecepatan angin, waktu dan luasan daerah konveksi.

Analisis distribusi suhu dalam bangunan peternakan dapat dilakukan dengan perhitungan besarnya pindah panas dan massa pada bangunan melalui sistem ventilasi, sehingga menghasilkan aliran udara yang baik di dalam kandang. Pemecahan analisis aliran udara pada kandang sapi perah dalam 2 atau 3 dimensi dapat dilakukan dengan metode finite element, metode finite difference (Cheney dan Kincaid 1990), metode spectral dan finite volume dengan computational fluid dynamics atau CFD(Versteeg dan Malalasekera 1995).

Ventilasi pada bangunan peternakan digunakan untuk mengendalikan suhu, kelembaban udara, kotoran ternak dan pergerakan udara, sehingga kondisi lingkungan mikro dibutuhkan ternak dapat terpenuhi. Ventilasi terjadi jika terdapat perbedaan tekanan udara. Ventilasi dengan tekanan udara tertentu dapat mempengaruhi kecepatan pergerakan udara, arah pergerakan, intensitas dan pola aliran serta rintangan setempat (Takakura 1979). Laju ventilasi diukur dengan satuan massa udara per unit waktu. Laju ventilasi minimum pada kandang biasanya didasarkan pada kebutuhan pergerakan udara untuk kontrol kelembaban (Esmay 1986).

Di daerah tropis seperti Indonesia, ventilasi bangunan kandang biasanya digunakan adalah ventilasi alami, karena dapat menekan biaya dan tenaga kerja dibanding dengan ventilasi lainnya. Ventilasi alami terjadi karena adanya perbedaan tekanan udara akibat faktor angin dan faktor termal. Faktor angin dan termal ini dimanfaatkan untuk menggerakkan udara dan menentukan laju ventilasi alami yang terjadi. Laju ventilasi alami memiliki hubungan linier dengan kecepatan udara dan tergantung pada perbedaan tekanan udara yang ditimbulkan oleh perbedaan temperatur lingkungan (Takakura 1979). Laju pertukaran udara dipengaruhi oleh total luas bukaan, arah bukaan, kecepatan angin, dan perbedaan temperatur di luar dan di dalam kandang.

Kontrol manual sistem ventilasi alami dapat dilakukan dengan pembukaan dan penutupan lubang ventilasi serta pengaturan bukaan pada dinding (Takakura 1979). Pengaturan ventilasi alami agar tetap kontinyu sulit dilakukan, karena dipengaruhi temperatur, kecepatan dan arah angin yang tidak mudah dikendalikan.

Efek angin digolongkan menjadi dua komponen, yaitu efek turbulen dan efek steady. Efek steady terjadi karena pada saat angin bertiup di atas dan di sekeliling bangunan. Pergerakan angin ini dapat membangkitkan perbedaan tekanan pada lokasi berbeda menghasilkan distribusi tekanan pada bangunan. Distribusi tekanan di sekitar bangunan dinyatakan sebagai distribusi dari koefisien tekanan. Apabila koefisien tekanan bernilai positif maka akan terjadi aliran udara masuk (inflow) melalui bukaan pada bangunan. Apabila koefisien tekanan bernilai negatif maka akan terjadi aliran udara keluar dari bangunan (outflow). Efek turbulen terjadi karena kecepatan angin tidak bersifat statis melainkan bervariasi secara kontinyu menghasilkan fluktuasi tekanan.

Efek termal timbul dari perbedaan temperatur di dalam dan di luar kandang (Bockett dan Albright 1987). Konveksi panas dari atap dan material penyusun kandang dapat meningkatkan temperatur udara dan menurunkan kerapatan udara dalam kandang sehingga mengakibatkan perbedaan tekanan udara di dalam dan di

Dokumen terkait