• Tidak ada hasil yang ditemukan

Formulasi Susu Fermentasi Mengandung Lactobacillus rhamnosus R23 dan Pediococcus Pentosaceus A38 Asal ASI dan Viabilitasnya selama Penyimpanan Dingin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Formulasi Susu Fermentasi Mengandung Lactobacillus rhamnosus R23 dan Pediococcus Pentosaceus A38 Asal ASI dan Viabilitasnya selama Penyimpanan Dingin"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

FORMULASI SUSU FERMENTASI MENGANDUNG Lactobacillus

rhamnosus R23 DAN Pediococcus pentosaceus A38 ASAL ASI DAN

VIABILITASNYA SELAMA PENYIMPANAN DINGIN

SKRIPSI

QAMARIYAH NURDIN

F24080132

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

FORMULATION OF FERMENTED MILK CONTAINING

Lactobacillus

rhamnosus

R23 AND

Pediococcus pentosaceus

A38 ISOLATED FROM BREAST

MILK AND THEIR VIABILITIES DURING REFRIGERATED STORAGE

Qamariyah Nurdin1, Lilis Nuraida1,2 and Antung Sima Firlieyanti1 1

Department of Food Science and Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, Bogor 16002, Indonesia

2

Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST)

ABSTRACT

Lactic acid bacteria isolated from breast milk, i.e. Lactobacillus rhamnosus R23 and Pediococcus pentosaceus A38 and inulin were used in development of fermented milk product (yoghurt). This research divided into three step i.e. determination of fermentation methods, formulation, and evaluation of probiotic’s viability during 32 days of refrigerated strorage. The results showed that L. rhamnosus R23 grew well on skim milk while the growth of P. pentosaceus A38 in skim milk needs supplementation with 3% sucrose. Fermentation period was not less than 48 hours at 37oC. The yoghurt has to be developed as stirred yoghurt by fermenting L. rhamnosus R23 and P. pentosaceus A38 in separated media then mixed after yoghurt formed with a ratio 1:2 (yoghurt L. rhamnosus R23:yoghurt P. pentosaceus A38) to obtained the highest count of P. pentosaceus as the growth of P. pentosaceus was inhibited by L. rhamnosus. Addition of 0.3% agar did not improved texture of the yoghurt and less preferred by panellists meanwhile addition of 15% sucrose gave the most preferred yoghurt. During 32 days of refrigerated storage, all yoghurt still maintaining high number of viable cells of LAB (>8 log cfu/ml). Pediococci counts in yoghurt control and G (addition sucrose) were decline from >7 log cfu/ml to 6,48 dan 6,89 log cfu/ml, respectively after 32 days. Mold and yeast found only in yoghurt G after 32 days storage, but only in small number. During storage, pH value declined from 4,4-5,0 to 4,1-4,3 after 32 days. The shelf life of yoghurt I, IG, and kontrol were longer than 32 days and yoghurt G was 32 days.

(3)

QAMARIYAH NURDIN F24080132. Formulasi Susu Fermentasi Mengandung Lactobacillus

rhamnosus R23 dan Pediococcus pentosaceus A38 Asal ASI dan Viabilitasnya selama

Penyimpanan Dingin. Di bawah bimbingan Lilis Nuraida dan Antung Sima Firlieyanti. 2013

.

RINGKASAN

Produk susu fermentasi merupakan salah satu jenis pangan fungsional yang sangat berkembang saat ini. Salah satu produk susu fermentasi yang telah banyak dikenal adalah yoghurt. Yoghurt disukai tidak hanya karena rasanya yang khas, tetapi juga karena kandungan nutrisi serta efek positif pada kesehatan tubuh. Pembuatan yoghurt pada umumnya melibatkan bakteri asam laktat Lactobacillus delbrueckii subs bulgaricus dan Streptococcus salivarius subs thermophilus. Kedua bakteri ini diketahui tidak dapat bertahan pada saluran pencernaan manusia, sehingga pembuatan yoghurt dikembangkan dengan menggunakan bakteri probiotik, baik kultur tunggal maupun campuran yang tahan melewati saluran pencernaan manusia dan dapat memberikan efek kesehatan yang positif.

Penelitian ini bertujuan untuk mencari metode pembuatan susu fermentasi dengan menggunakan kombinasi isolat bakteri asam laktat asal ASI (Lactobacillus rhamnosus R23 dan

Pediococcus pentosaceus A38) dan inulin serta mengkaji viabilitasnya selama penyimpanan dingin. Penelitian dibagi atas tiga tahap yang meliputi penentuan metode fermentasi, formulasi yoghurt dengan penambahan penstabil dan pemanis, dan penyimpanan yoghurt pada suhu dingin. Penentuan metode fermentasi meliputi penentuan media dan waktu fermentasi, metode fermentasi yoghurt (set atau stirred), dan perbandingan campuran (kultur atau yoghurt) terbaik. Formulasi yoghurt meliputi penentuan kombinasi penambahan penstabil dan pemanis terbaik. Setelah itu, diikuti dengan tahap penyimpanan pada suhu dingin dan diamati viabilitas probiotik (total BAL dan Pediococcus), pH serta adanya cemaran mikrobiologi dari kapang-khamir.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa media susu skim yang ditambahkan sukrosa 3% (suk 3%) merupakan media terbaik untuk pertumbuhan P. pentosaceus A38. Adapun waktu fermentasi selama 48 jam merupakan waktu fermentasi terbaik terlihat dari tekstur curd yang cukup padat serta keasaman yang cukup yang diperoleh selama waktu tersebut. Pembuatan stirred yoghurt dengan mencampurkan yoghurt L. rhamnosus R23 dan yoghurt P. pentosaceus A38 (yog Lac+yog Ped) diketahui lebih baik jika dibandingkan dengan set yoghurt yang dibuat dengan campuran kultur L. rhamnosus R23 dan P. pentosaceus A38 (yog Lac+Ped). Selain karena lebih disukai dari segi sensori, pembuatan stirred yoghurt campuran juga dapat mencegah berkurangnya jumlah

Pediococcus yang kemungkinan disebabkan oleh tingkat keasaman tinggi yang tidak dapat ditolerir oleh P. pentosaceus pada set yoghurt kultur campuran. Untuk perbandingan yoghurt terbaik, campuran yoghurt L. rhamnosus R23 dan yoghurt P. pentosaceus A38 dengan perbandingan 1:2 dipilih dengan mempertimbangkan hasil dari pengujian organoleptik serta jumlah Pediococcus yang harus tetap dipertahankan tinggi untuk memberikan efek fungsional yang optimal.

(4)

stirred yoghurt (campuran yoghurt L. rhamnosus R23 dan yoghurt P. pentosaceus perbandingan 1:2) yang dilanjutkan pada tahap penyimpanan. Keempat stirred yoghurt campuran tersebut masing-masing di beri kode I (penambahan inulin 5%), G (penambahan gula 15%), IG (penambahan inulin 5% dan gula 15%), dan kontrol (tidak ditambahkan inulin maupun gula).

Penyimpanan stirred yoghurt campuran dilakukan pada suhu 5oC selama 32 hari. Analisis total BAL, jumlah Pediococcus, pH dan total kapang-khamir dilakukan setiap 4 hari. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa total BAL untuk keempat jenis stirred yoghurt campuran masih ditemukan berjumlah cukup tinggi masing-masing diatas 8 log cfu/ml hingga akhir masa penyimpanan (hari ke-32). Jumlah tersebut sudah memenuhi persyaratan FAO/WHO dan jumlah minimun kultur starter yang ditetapkan SNI. Perhitungan total Pediococcus juga memperlihatkan hasil yang cukup baik, berjumlah diatas 7 log cfu/ml kecuali pada yoghurt I dan kontrol yang memperlihatkan penurunan jumlah Pediococcus pada hari ke-32 masing-masing menjadi 6,48 dan 6,89 log cfu/ml.

Selain total BAL dan total Pediococcus, penurunan nilai pH juga terlihat untuk semua jenis

stirred yoghurt campuran yang disimpan. Hingga akhir masa penyimpanan, keempat jenis yoghurt (I, G, IG, dan kontrol) masih memiliki nilai pH sekitar 4,1-4,3 yang mana nilai tersebut masih memenuhi kriteria nilai pH untuk yoghurt yang baik. Kerusakan pada yoghurt yang diakibatkan oleh adanya kontaminasi kapang-khamir tidak terlihat pada yoghurt yang disimpan hingga hari ke-28. Pada hari ke-32 penyimpanan, pertumbuhan kapang-khamir terlihat hanya pada yoghurt G yang terhitung sebanyak 7,5 cfu/ml (masih berada dibawah maksimal pertumbuhan kapang dan khamir pada produk susu fermentasi).

Secara keseluruhan, hasil pengujian terhadap yoghurt I, G, IG, dan kontrol, memperlihatkan bahwa keempat jenis stirred yoghurt campuran tersebut masih memperlihatkan total BAL,

(5)

FORMULASI SUSU FERMENTASI MENGANDUNG

Lactobacillus rhamnosus

R23 DAN

Pediococcus pentosaceus

A38 ASAL ASI DAN VIABILITASNYA

SELAMA PENYIMPANAN DINGIN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

QAMARIYAH NURDIN

F24080132

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Skripsi : Formulasi Susu Fermentasi Mengandung Lactobacillus rhamnosus R23 dan

Pediococcus Pentosaceus A38 Asal ASI dan Viabilitasnya selama Penyimpanan Dingin

Nama : Qamariyah Nurdin

NIM : F24080132

Menyetujui,

Tanggal lulus : 28 Februari 2013 Pembimbing I,

(Prof. Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc.) NIP 19621009 198703 2 002

Pembimbing II,

(Antung Sima Firlieyanti, STP, M.Sc.) NIP 19791205 200501 2 002

Mengetahui : Ketua Departemen,

(7)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Formulasi Susu Fermentasi Mengandung Lactobacillus rhamnosus R23 dan Pediococcus pentosaceus A38 Asal ASI dan Viabilitasnya selama Penyimpanan Dingin adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2013 Yang membuat pernyataan

(8)

© Hak cipta milik Qamariyah Nurdin, tahun 2013 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

(9)

BIODATA PENULIS

Penulis terlahir sebagai anak pertama dari dari tiga bersaudara dari pasangan Nurdin Baco, S.Pd dan Suliyati, S.Pd. Penulis dilahirkan di rumbo (Sulawesi Selatan), pada tangal 23 Juni 1989. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikannya di SDN 20 Baraka, SLTPN 1 Baraka, dan SMAN 1 Baraka. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor setelah diterima sebagai salah satu mahasiswi di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan melalui jalur tes SNMPTN.

Selama masa perkuliahan, penulis mengikuti berbagai kegiatan kampus. Menjadi Bendahara EMULSI (2009-2010) serta sebagai anggota Divisi Syiar FBI Fateta (2009) merupakan kegiatan organisasi yang pernah penulis lakukan. Selain itu, penulis juga berpartisipasi dalam beberapa kegiatan kepanitiaan seperti PLASMA (Pelatihan Sistem Manajemen Halal), Sushi-Day EMULSI, dan EXOTIC.

Untuk memperluas wawasan, penulis beberapa kali mengikuti seminar dan pelatihan maupun program lainnya diluar aktivitas kuliah, diantaranya adalah KAMP (2008), Tralis-D (2008), Go Field (2011), PLASMA (2012), Wirausaha Muda Mandiri (2013) dan lain sebagainya. Penulis juga pernah mengikuti program PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) di bidang kewirausahaan.

Sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana Teknologi Pertanian, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Formulasi Susu Fermentasi Mengandung Lactobacillus rhamnosus R23 dan

(10)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat-Nya yang diberikan kepada penulis hingga dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta umatnya yang setia mengikuti ajarannya. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan sebagai sarjana Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian penulisan skripsi ini utamanya kepada:

1. Orang tua penulis, Bapak Nurdin Baco dan Ibu Suliyati serta adik-adik, Saifullah dan Rahmat Hidayat yang tak henti-henti memberikan dukungan doa dan kasih sayang yang tulus.

2. Prof. Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc selaku dosen pembimbing utama yang telah banyak memberikan masukan, nasihat, arahan, kritikan, serta saran yang bermanfaat bagi penulis bukan hanya dalam penelitian dan penulisan skripsi ini tapi juga bagi pengembangan kepribadian penulis untuk menjadi lebih baik lagi di masa yang akan datang.

3. Antung Sima Firlieyanti, STP, M.Sc selaku dosen pembimbing kedua atas kritikan, saran dan masukan dalam menyempurnakan karya ilmiah ini.

4. Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS selaku dosen penguji. Terima kasih telah bersedia meluangkan waktu dan pemikiran untuk menguji dan memberikan masukan yang berharga. 5. SEAFAST Center IPB atas bantuan dana penelitian untuk pembelian media pada penelitian ini. 6. Bapak dan ibu dosen di ITP, khususnya dan IPB pada umumnya.

7. Rekan-rekan seperjuangan di Lab. Mikrobiologi Seafast Center IPB (red:SNSG); Sarah, Elva, Hilda, dan Sam. Teman satu bimbingan, Yani dan Oktan. Penelitian tak kan seindah ini tanpa kalian. Semoga kita selalu saling mendukung dan menjadi sukses di jalan kita masing-masing 8. Srikandi-srikandi Pondsur Libra atas; Ami, Rista, Lupi, Nina, Tega, Susi, Yosi, Tia, Anis,

Wulan, mba Nurul,dan Mba Fina. Terima kasih atas segala dukungan, canda-tawa, suka-duka yang kita bagi bersama. Terima kasih juga untuk selalu ada dan menjadi tempat terbaik menghilangkan kepenatan selama ini.

9. Para laboran dan teknisi laboratorium ITP dan Seafast, mba Ari, mas Yerris, teteh Asih, Abah, dan lainnya.

10.Seluruh rekan ITP 45 “TACOZ” terkhusus buat Diah dan Nisa Nurulhuda. Terimakasih untuk empat tahun yang indah bersama kalian.

11.Alumni SD 20 Baraka, SMPN 1 Baraka, SMAN 2 Tinggimoncong “Gen-Q”, dan SMAN 1 Baraka; Fitri, Ibnu, Jum, Surah, Ronal, Eki, Kiki, Diah, Isma, Sari, dll.

12.Teman-teman les Korea 1A-2A UPB-IPB dan Ibu Permata (a.k.a. Jeong Eun Kyeong). Terima kasih untuk kenangan-kenangan les bersama, menjadikan malam rabu-malam jumat terseru. 13.Segala pihak yang membantu yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan.

Bogor, Maret 2013

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

A. YOGHURT ... 3

B. YOGHURT PROBIOTIK DAN SINBIOTIK ... 5

C. PROBIOTIK ... 6

1. Bakteri Asam Laktat sebagai Probiotik ... 6

2. Bakteri Asam Laktat Isolat ASI ... 7

2.1. Lactobacillus rhamnosus R23 ... 8

2.2. Pediococcus pentosaceus A38 ... 8

D. PREBIOTIK ... 9

E. PENGARUH PENYIMPANAN TERHADAP VIABILITAS PROBIOTIK ... 9

III. METODE PENELITIAN ... 11

A. BAHAN DAN ALAT ... 11

B. METODE PENELITIAN ... 11

1. Penyegaran dan Pengamatan Morfologi Kultur BAL Isolat ASI ... 12

2. Pemilihan Media Fermentasi ... 13

3. Pemilihan Waktu Fermentasi ... 13

4. Pemilihan Metode Fermentasi Yoghurt (Set atau Stirred) dan Perbandingan Pencampuran (Kultur/Yoghurt) L. rhamnosus R23 dan P. pentosaceus A38 Terbaik ... 14

a. Set yoghurt kultur campuran (Yog Lac+Ped) ... 14

b. Stirred yoghurt campuran (Yog Lac+Yog Ped) ... 14

5. Formulasi Stirred Yoghurt dengan Penambahan Penstabil dan Pemanis ... 14

6. Penyimpanan Dingin Yoghurt Kultur Campuran ... 16

C. METODE ANALISIS ... 16

1. Analisis Mikrobiologi ... 16

1.1. Total BAL (Bakteri Asam Laktat) ... 16

1.2. Jumlah P. pentosaceus ... 16

1.3. Total kapang-khamir ... 17

2. Analisis Kimia ... 17

2.1. Derajat keasaman (pH) ... 17

2.2. Total asam tertitrasi ... 18

3. Analisis Fisik ... 18

3.1. Pembentukan whey ... 18

(12)

4. Uji Organoleptik ... 18

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

A. PENENTUAN METODE FERMENTASI ... 19

1. Penentuan Media Fermentasi ... 19

2. Penentuan Waktu Fermentasi ... 21

3. Penentuan Metode Fermentasi Yoghurt (Set atau Stirred) dan Perbandingan (Kultur/Yoghurt) L. rhamnosus R23 dan P. pentosaceus A38 Terbaik ... 23

a. Set Yoghurt (Yog Lac+Ped) ... 23

b. Stirred Yoghurt (Yog Lac+Yog Ped) ... 29

B. FORMULASI STIRRED YOGHURT ... 31

C. VIABILITAS PROBIOTIK SELAMA PENYIMPANAN DINGIN ... 37

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 40

A. SIMPULAN ... 40

B. SARAN ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Kombinasi penambahan inulin, agar, dan gula pada pembuatan stirred yoghurt,

campuran yoghurt L. rhamnosus R23 dan yoghurt P. pentosaceus A38 ... 15 Tabel 2. Tekstur curd media susu skim (kontrol), susu skim dengan penambahan sukrosa 3%

(suk 3%), dan susu skim dengan penambahan glukosa 3% (glu 3%) yang difermentasi

oleh P. pentosaceus A38 setelah 24 dan 48 jam ... 20 Tabel 3. Tekstur curd media susu skim dengan penambahan sukrosa 3% (suk 3%) yang

difermentasi oleh P. pentosaceus A38 selama 0, 24, dan 48 jam ... 22 Tabel 4. Tekstur curd set yoghurt yang difermentasi menggunakan kultur campuran L.

rhamnosus R23 dan P. pentosaceus A38 dengan perbandingan 1:1, 1:2, 1:0, dan 0:1 ... 26 Tabel 5. Pengaruh penambahan inulin 5% terhadap pertumbuhan L. rhamnosus R23 dan P.

pentosaceus A38 di dalam yoghurt. ... 32 Tabel 6. Pengaruh penambahan agar dengan konsentrasi 0, 0.2, 0.3, 0.4, dan 0.5% terhadap

tekstur curd yoghurt. ... 32 Tabel 7. Kombinasi penambahan inulin, agar, dan gula pada pembuatan stirred yoghurt,

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Proses pembuatan yoghurt ... 4 Gambar 2. Kerangka penelitian ... 12 Gambar 3. Pembuatan kultur starter ... 13 Gambar 4. Hasil pengamatan a) pH dan b) tinggi whey pada tiga jenis media (susu skim

(kontrol), susu skim dengan penambahan sukrosa 3% (suk 3%), dan susu skim dengan penambahan glukosa 3% (glu 3%)) yang difermentasi oleh P. pentosaceus

A38 setelah 24 dan 48 jam ... 19 Gambar 5. Hasil pengamatan a) pH, b) total asam, c) tinggi whey, dan d) total BAL pada

media susu skim dengan penambahan sukrosa 3% (suk 3%) yang difermentasi

oleh P. pentosaceus A38 selama 0, 24 dan 48 jam ... 21 Gambar 6. Hasil pengamatan a) pH dan b) total asam pada set yoghurt yang difermentasi

menggunakan kultur campuran L. rhamnosus R23 dan P. pentosaceus A38 dengan perbandingan 1:1, 1:2, 1:0, dan 0:1 ... 24 Gambar7. Hasil pengamatan tinggi whey pada set yoghurt yang difermentasi menggunakan

kultur campuran L. rhamnosus R23 dan P. pentosaceus A38 dengan perbandingan 1:1, 1:2, 1:0, dan 0:1 ... 25 Gambar 8. Hasil pengamatan a) total BAL, dan b) total Pediococcus pada set yoghurt yang

difermentasi menggunakan kultur campuran L. rhamnosus R23 dan P. pentosaceus

A38 dengan perbandingan 1:1, 1:2, 1:0, dan 0:1 (Total Pediococcus dihitung

hanya pada yoghurt dengan kultur campuran) ... 26 Gambar 9. Hasil uji organoleptik set yoghurt yang difermentasi menggunakan kultur

campuran L. rhamnosus R23 dan P. pentosaceus A38 dengan perbandingan 1:0, 1:1, 1:2, dan 0:1 ... 28 Gambar 10. Hasil uji organoleptik stirred yoghurt, campuran yoghurt L. rhamnosus R23 dan

yoghurt P. pentosaceus A38 dengan perbandingan 2:1, 1:2, dan 1:1 ... 30 Gambar 11. Penilaian rasa stirred yoghurt, campuran yoghurt L. rhamnosus R23 dan yoghurt P.

pentosaceus A38 perbandingan 1:2 dengan penambahan inulin, agar, dan gula

dengan beberapa konsentrasi ... 34 Gambar 12. Penilaian tekstur stirred yoghurt, campuran yoghurt L. rhamnosus R23 dan

yoghurt P. pentosaceus A38 perbandingan 1:2 dengan penambahan inulin, agar, dan gula dengan beberapa konsentrasi ... 35 Gambar 13. Penilaian aroma stirred yoghurt, campuran yoghurt L. rhamnosus R23 dan yoghurt

P. pentosaceus A38 perbandingan 1:2 dengan penambahan inulin, agar, dan gula dengan beberapa konsentrasi ... 35 Gambar 14. Penilaian overall (keseluruhan) stirred yoghurt, campuran yoghurt L. rhamnosus

R23 dan yoghurt P. pentosaceus A38 perbandingan 1:2 dengan penambahan inulin, agar, dan gula dengan beberapa konsentrasi. ... 36 Gambar 15. Total BAL, total Pediococcus, dan pH yoghurt I (dengan penambahan inulin 5%

(15)

Gambar 16. Total BAL, total Pediococcus, dan pH yoghurt G (dengan penambahan gula 15% tanpa inulin) selama penyimpanan pada suhu dingin ... 37 Gambar 17. Total BAL, total Pediococcus, dan pH yoghurt IG (dengan penambahan inulin 5%

dan gula 15%) selama penyimpanan pada suhu dingin ... 38 Gambar 18. Total BAL, total Pediococcus, dan pH yoghurt Kontrol (tanpa penambahan inulin

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Data nilai pH (penentuan media fermentasi) ... 47

Lampiran 2. Data tinggi whey (penentuan media fermentasi) ... 47

Lampiran 3. Data nilai pH (penentuan waktu fermentasi) ... 48

Lampiran 4. Data total asam (penentuan waktu fermentasi) ... 48

Lampiran 5. Data tinggi whey (penentuan waktu fermentasi) ... 48

Lampiran 6. Data total BAL (penentuan waktu fermentasi) ... 49

Lampiran 7. Data nilai pH (penentuan perbandingan kultur L. rhamnosus R23 dan P. pentosaceus A38 terbaik set yoghurt) ... 49

Lampiran 8. Data total asam (penentuan perbandingan kultur L. rhamnosus R23 dan P. pentosaceus A38 terbaik set yoghurt) ... 49

Lampiran 9. Data tinggi whey (penentuan perbandingan kultur L. rhamnosus R23 dan P. pentosaceus A38 terbaik set yoghurt) ... 50

Lampiran 10. Data total BAL (penentuan perbandingan kultur L. rhamnosus R23 dan P. pentosaceus A38 terbaik set yoghurt) ... 50

Lampiran 11. Data jumlah Pediococcus (penentuan perbandingan kultur L. rhamnosus R23 dan P. pentosaceus A38 terbaik set yoghurt) ... 51

Lampiran 12. Hasil uji organoleptik set yoghurt (penentuan perbandingan kultur L. rhamnosus R23 dan P. pentosaceus A38 terbaik) ... 51

Lampiran12a. Analisis sidik ragam rasa set yoghurt kultur campuran (penentuan perbandingan kultur L. rhamnosus R23 dan P. pentosaceus A38 terbaik ) pada selang kepercayaan 95% ... 51

Lampiran12b. Analisis sidik ragam tekstur (konsistensi) set yoghurt kultur campuran (penentuan perbandingan kultur L. rhamnosus R23 dan P. pentosaceus A38 terbaik ) pada selang kepercayaan 95% ... 52

Lampiran12c. Analisis sidik ragam aroma set yoghurt kultur campuran (penentuan perbandingan kultur L. rhamnosus R23 dan P. pentosaceus A38 terbaik ) pada selang kepercayaan 95% ... 53

Lampiran12d. Analisis sidik ragam overall (keseluruhan) set yoghurt kultur campuran (penentuan perbandingan kultur L. rhamnosus R23 dan P. pentosaceus A38 terbaik ) pada selang kepercayaan 95% ... 53

Lampiran13. Hasil uji organoleptik stirred yoghurt (penentuan perbandingan yoghurt L. rhamnosus R23 dan yoghurt P. pentosaceus A38 terbaik) ... 54

Lampiran13a. Analisis sidik ragam rasa stirred yoghurt (penentuan perbandingan yoghurt L. rhamnosus R23 dan yoghurt P. pentosaceus A38 terbaik) pada selang kepercayaan 95% ... 54

Lampiran13b. Analisis sidik ragam tekstur stirred yoghurt (penentuan perbandingan yoghurt L. rhamnosus R23 dan yoghurt P. pentosaceus A38 terbaik) pada selang kepercayaan 95% ... 55

(17)

Lampiran13d. Analisis sidik ragam overall (keseluruhan) stirred yoghurt (penentuan perbandingan yoghurt L. rhamnosus R23 dan yoghurt P. pentosaceus A38

terbaik) pada selang kepercayaan 95% ... 56

Lampiran14. Data total BAL yoghurt kultur tunggal dengan penambahan inulin ... 57

Lampiran15. Hasil uji organoleptik stirred yoghurt, campuran yoghurt L. rhamnosus R23 dan yoghurt P. pentosaceus A38 (penambahan inulin, agar, dan gula) ... 57

Lampiran15a. Analisis sidik ragam rasa stirred yoghurt, campuran yoghurt L. rhamnosus R23 dan yoghurt P. pentosaceus A38 (penambahan inulin, agar, dan gula) pada selang kepercayaan 95% ... 58

Lampiran15b. Analisis sidik ragam tekstur (konsistensi) stirred yoghurt, campuran yoghurt L. rhamnosus R23 dan yoghurt P. pentosaceus A38 (penambahan inulin, agar, dan gula) pada selang kepercayaan 95%Data total BAL yoghurt kultur tunggal dengan penambahan inulin ... 58

Lampiran15c. Analisis sidik ragam aroma stirred yoghurt, campuran yoghurt L. rhamnosus R23 dan yoghurt P. pentosaceus A38 (penambahan inulin, agar, dan gula) pada selang kepercayaan 95%Data total BAL yoghurt kultur tunggal dengan penambahan inulin ... 59

Lampiran15d. Analisis sidik ragam overall (keseluruhan) stirred yoghurt, campuran yoghurt L. rhamnosus R23 dan yoghurt P. pentosaceus A38 (penambahan inulin, agar, dan gula) pada selang kepercayaan 95%Data total BAL yoghurt kultur tunggal dengan penambahan inulin ... 60

Lampiran 16. Data total BAL yoghurt selama penyimpanan dingin hari ke-0 ... 61

Lampiran 17. Data total BAL yoghurt selama penyimpanan dingin hari ke-4 ... 61

Lampiran 18. Data total BAL yoghurt selama penyimpanan dingin hari ke-8 ... 62

Lampiran 19. Data total BAL yoghurt selama penyimpanan dingin hari ke-12 ... 62

Lampiran 20. Data total BAL yoghurt selama penyimpanan dingin hari ke-16 ... 63

Lampiran 21. Data total BAL yoghurt selama penyimpanan dingin hari ke-20 ... 63

Lampiran 22. Data total BAL yoghurt selama penyimpanan dingin hari ke-24 ... 64

Lampiran 23. Data total BAL yoghurt selama penyimpanan dingin hari ke-28 ... 64

Lampiran 24. Data total BAL yoghurt selama penyimpanan dingin hari ke-32 ... 65

Lampiran 25. Data total Pediococcus yoghurt selama penyimpanan dingin hari ke-0 ... 65

Lampiran 26. Data total Pediococcus yoghurt selama penyimpanan dingin hari ke-4 ... 66

Lampiran 27. Data total Pediococcus yoghurt selama penyimpanan dingin hari ke-8 ... 66

Lampiran 28. Data total Pediococcus yoghurt selama penyimpanan dingin hari ke-12 ... 67

Lampiran 29. Data total Pediococcus yoghurt selama penyimpanan dingin hari ke-16 ... 67

Lampiran 30. Data total Pediococcus yoghurt selama penyimpanan dingin hari ke-20 ... 68

Lampiran 31. Data total Pediococcus yoghurt selama penyimpanan dingin hari ke-24 ... 68

Lampiran 32. Data total Pediococcus yoghurt selama penyimpanan dingin hari ke-28 ... 69

Lampiran 33. Data total Pediococcus yoghurt selama penyimpanan dingin hari ke-32 ... 69

Lampiran 34. Data total kapang-khamir yoghurt selama penyimpanan dingin hari ke-0 ... 70

Lampiran 35. Data total kapang-khamir yoghurt selama penyimpanan dingin hari ke-4 ... 70

Lampiran 36. Data total kapang-khamir yoghurt selama penyimpanan dingin hari ke-8 ... 71

Lampiran 37. Data total kapang-khamir yoghurt selama penyimpanan dingin hari ke-12 ... 71

Lampiran 38. Data total kapang-khamir yoghurt selama penyimpanan dingin hari ke-16 ... 72

Lampiran 39. Data total kapang-khamir yoghurt selama penyimpanan dingin hari ke-20 ... 72

(18)

Lampiran 41. Data total kapang-khamir yoghurt selama penyimpanan dingin hari ke-28 ... 73

Lampiran 42. Data total kapang-khamir yoghurt selama penyimpanan dingin hari ke-32 ... 74

Lampiran 43. Data nilai pH yoghurt selama penyimpanan dingin ... 75

(19)

I.

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Meningkatnya kesadaran dalam mengkonsumsi makanan sehat akhir-akhir ini mendorong terciptanya produk pangan baru yang selain bernilai gizi, juga memberi manfaat lainnya bagi kesehatan. Contohnya adalah pangan yang diperkaya dengan probiotik. Menurut definisi FAO/WHO (2002), probiotik adalah mikroorganisme hidup pada pangan yang jika dikonsumsi dalam jumlah yang cukup dapat memberikan manfaat bagi kesehatan inangnya. Secara umum, fungsi probiotik yaitu dapat mencegah infeksi saluran pencernaan, menghambat bakteri patogen, memetabolisme laktosa sehingga mengatasi lactose intolerance, menurunkan kolesterol darah (Lourens-Hattingh dan Viljoen 2001), memiliki aktivitas antikarsinogenik, anti hipertensi, meningkatkan kandungan vitamin, dan meningkatkan kekebalan tubuh (Sarkar 2008).

Bakteri asam laktat telah banyak digunakan sebagai probiotik. Spesies dan asal bakteri asam laktat tersebut juga beragam. Lactobacillus F1 dan Lactobacillus G3 yang diisolasi dari feses bayi (Evanikastari 2003), Lactococcus lactis subsp lactis R-22, Leuconostoc paramesenteroides R-51, Lactobacillus casei subps casei R-52 dan Leuconostoc paramesenteroides R-62 dari dadih (Nuraini 2002) serta Lactobacillus rhamnosus dan Pediococcus pentosaceus dari ASI (Air Susu Ibu) (Hartanti 2007) merupakan beberapa diantaranya. Dalam penerapannya, probiotik biasanya dikonsumsi dengan cara ditambahkan pada produk pangan contohnya produk berbasis susu yang difermentasi. Produk susu fermentasi yang umum ditambahkan probiotik adalah yoghurt.

Yoghurt merupakan produk fermentasi susu menggunakan bakteri asam laktat, biasanya menggunakan Lactobacillus delbrueckii subs bulgaricus dan Streptococcus salivarius subs

thermophilus. Namun, kemudian diketahui bahwa kedua bakteri tersebut tidak dapat bertahan melewati saluran pencernaan manusia sehingga tidak dapat digolongkan ke dalam probiotik (Lourens-Hattingh dan Viljoen 2001). Hal ini menyebabkan produk yoghurt saat ini lebih banyak dikembangkan dengan menggunakan kultur-kultur bakteri asam laktat yang dapat tahan dan hidup pada saluran pencernaan manusia.

Penelitian kali ini bertujuan untuk mengembangkan produk susu fermentasi menggunakan bakteri asam laktat kandidat probiotik, L. rhamnosus R23 dan P. pentosaceus A38 yang diisolasi dari ASI dan inulin. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Lactobacillus rhamnosus R23 memiliki kemampuan dalam mencegah terjadinya diare secara in vivo (Hartanti 2010) serta berpotensi digunakan dalam pengembangan produk sinbiotik (Nuraida et al. 2011a). Sedangkan P. pentosaceus A38 memiliki kemampuan untuk menurunkan kolesterol dengan mekanisme asimilasi dan dekonyugasi garam empedu (Nuraida et al. 2011b).

(20)

B.

TUJUAN

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memperoleh metode pembuatan yoghurt yang mengandung bakteri asam laktat Lactobacillus rhamnosus R23 dan Pediococcus pentosaceus A38 asal ASI serta mengkaji viabilitasnya selama masa penyimpanan dingin. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendapatkan media dan waktu fermentasi terbaik untuk Pediococcus pentosaceus A38. 2. Mendapatkan metode fermentasi yoghurt (set atau stirred) serta perbandingan (kultur/yoghurt)

Lactobacillus rhamnosus R23 dan Pediococcus pentosaceus A38 yang terbaik. 3. Mendapatkan formulasi terbaik untuk penambahan penstabil dan pemanis.

(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.

YOGHURT

Badan Standar Nasional (2009) mendefinisikan yoghurt sebagai produk yang diperoleh dari fermentasi susu dan atau susu rekonstitusi dengan menggunakan bakteri Lactobacillus delbrueckii

subs bulgaricus dan Streptococccus salivarius subs thermophilus dan atau bakteri asam laktat lain yang sesuai, dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan. Yoghurt telah dikenal oleh manusia selama kurang lebih 4000 tahun yang lalu. Yoghurt merupakan minuman tradisional Balkan dan Timur Tengah, tetapi saat ini sudah berkembang ke suluruh dunia. Yoghurt merupakan sumber protein, kalsium, fosfor, riboflavin (vitamin B2) tiamin (vitamin B1) dan vitamin B12. Selain itu, yoghurt juga merupakan sumber folat, niasin, magnesium, dan zink. Yoghurt disukai selain karena nilai gizinya yang baik untuk kesehatan, juga karena kesegarannya, aromanya yang khas, dan teksturnya (Widodo 2002).

Yoghurt pada umumnya menggunakan Lactobacillus delbrueckii subs bulgaricus dan

Streptococccus salivarius subs thermophilus sebagai starter. Kedua macam bakteri tersebut akan menguraikan laktosa (gula susu) menjadi asam laktat dan berbagai komponen aroma dan citarasa. Citarasa khas pada yoghurt disebabkan oleh terbentuknya asam laktat, asam asetat, karbonil, asetaldehida, aseton, asetoin, diasetil, dan komponen lainnya yang terbentuk selama proses fermentasi. Pada pembuatan yoghurt, Lactobacillus delbrueckii subs bulgaricus lebih berperan pada pembentukan aroma, sedangkan Streptococccus salivarius subs thermophilus berperan pada pembentukan citarasa yoghurt. Menurut Widodo (2002), yoghurt yang baik mempunyai total asam laktat sekitar 0,85-0,95% dan derajat keasaman (pH) yang sebaiknya dicapai oleh yoghurt adalah sekitar 4,6.

Terdapat beberapa tipe yoghurt yang banyak dijumpai di pasaran, antara lain: a) yoghurt pasteurisasi, yaitu yoghurt yang setelah masa inkubasi selesai, dipasteurisasi untuk mematikan bakteri dan memperpanjang umur simpannya, b) yoghurt beku, yaitu yoghurt yang disimpan pada suhu beku, c) dietic yoghurt, yaitu yoghurt rendah kalori, rendah laktosa, atau yang ditambahkan vitamin dan protein, d) yoghurt konsentrat, yaitu yoghurt dengan total padatan sekitar 24%. Berdasarkan cara pembuatan dan struktur fisiknya, yoghurt dibedakan menjadi dua tipe yoghurt yaitu set dan stirred yoghurt. Set yoghurt adalah yoghurt yang dihasilkan dari susu yang diinkubasi pada wadah yang berukuran kecil dan menghasilkan gel dengan massa setengah padat. Stirred

yoghurt adalah yoghurt yang dihasilkan dari susu yang diinkubasi pada wadah yang berukuran besar dan menghasilkan struktur gel yang pecah pada akhir inkubasi (Widodo 2002).

Badan Standarisasi Nasional (2009) pada SNI 2981:2009 juga mengelompokkan yoghurt berdasarkan kandungan lemaknya, diantaranya yoghurt, yoghurt rendah lemak dan yoghurt tanpa lemak. Yoghurt didefinisikan sebagai produk yoghurt umum yang biasa dijumpai, tanpa ada pengurangan kadar lemak pada bahan baku susu yang digunakan. Yoghurt rendah lemak merupakan yoghurt dengan bahan baku susu rendah lemak atau susu rendah lemak rekonstitusi sedangkan yogurt tanpa lemak merupakan produk yang diperoleh dari fermentasi susu skim atau susu skim rekonstitusi.

(22)

Gambar 1. Proses pembuatan yoghurt (Lee dan Lucey 2010)

Standardisasi susu dilakukan selain untuk memperoleh kualitas susu yang seragam, juga untuk menyesuaikan kandungan lemak pada susu hingga mencapai level yang diinginkan. Kandungan lemak diketahui berpengaruh signifikan pada karakteristik produk akhir yoghurt. Standardisasi susu kerap dilakukan dengan mencampurkan susu dengan susu skim dan krim. Total solid susu (termasuk lemak) untuk pembuatan yoghurt berkisar antara 9% (yoghurt susu skim) sampai 20% atau lebih untuk tipe konsentrat yoghurt tertentu. Kebanyakan produk yoghurt komersial memiliki total solid antara 14-15% (Tamime dan Robinson 1999).

Penstabil seperti pektin dan gelatin sering ditambahkan pada susu untuk memperbaiki karakter yoghurt seperti tekstur, rasa, penampakan, viskositas/konsistensi, dan pencegahan pemisahan whey. Penggunaan penstabil memberikan hasil produk yoghurt yang seragam pada setiap batch produksi. Walaupun demikian, beberapa kegagalan dalam penggunaan penstabil dapat dikategorikan sebagai over-stabilization dan under-stabilization. Over-stabilization menghasilkan yoghurt dengan penampakan seperti agar-jelly yang kurang baik sementara under-stabilization

menghasilkan yoghurt yang terlalu encer dan dapat meningkatkan terjadinya pemisahan whey (Vedamuthu 1991).

Proses pemanasan susu merupakan tahap yang penting dalam pembuatan yoghurt. Pemanasan susu berkontribusi besar dalam karakteristik fisik dan mikrostruktur yoghurt (Lucey et al. 1998). Pemanasan dilakukan sebelum inokulasi kultur dengan tujuan untuk mengurangi kompetisi kultur starter dengan mikroorganisme yang tidak diinginkan sehingga kultur starter yang ditambahkan dapat tumbuh dengan optimal. Selain itu, pemanasan bertujuan untuk mengurangi

Standardisasi susu

Homogenisasi (55-65oC dan 20/5 Mpa)

Pasteurisasi (80-85oC selama 30 menit atau 90-95oC selama 5 menit)

Pendinginan hingga 40-45oC (suhu inkubasi)

Penambahan kultur starter (2-3%)

Pengemasan

Pendinginan

Pengadukan

Pendinginan dan pemompaan Pendinginan dan penyimpanan

Penyimpanan dingin Inkubasi

Inkubasi

Stirred yoghurt

(23)

kadar oksigen pada susu. Kultur starter yoghurt sensitif terhadap oksigen sehingga berkurangnya kadar oksigen dapat mengoptimalkan pertumbuhannya.

Suhu dan waktu pemanasan yang umum digunakan pada industri yoghurt adalah 85oC selama 30 menit atau 95oC selama 5 menit (Tamime dan Robinson 1999) walaupun penggunaan suhu tinggi HTST (100oC-130oC selama 4–16 detik) dan UHT (140oC selama 4–16 detik) juga kerap digunakan. Setelah dilakukan pemanasan, susu kemudian didinginkan hingga mencapai suhu pertumbuhan kultur starter. Suhu optimum untuk kultur yoghurt yang umum digunakan (Streptococcus salivarius subsp. thermophilus dan Lactobacillus delbrueckii subsp. bulgaricus) adalah sekitar 40-45oC. Setelah suhu tercapai, kultur starter sebanyak 2-3% kemudian diinokulasikan ke dalam susu dan difermentasi. Fermentasi dilakukan pada suhu optimum pertumbuhan kultur starter selama waktu tertentu (pada umumnya 24-48 jam).

Berakhirnya proses fermentasi ditandai dengan telah terbentuknya gel yoghurt dan pH yoghurt turun hingga 4-4,6 dari pH awal susu sekitar 6,6. Proses fermentasi bakteri mengubah laktosa menjadi asam laktat menyebabkan terakumulasinya asam laktat pada susu dan pH pada susu pun turun. Ketika pH turun dibawah 5, misel dari kasein, protein hidrofobik, kehilangan struktur tersier karena terjadi protonasi asam amino. Protein ini kemudian berinteraksi dengan molekul hidrofobik lainnya, dan interaksi antarmolekul kasein menciptakan struktur yang memungkinkan untuk tekstur semipadat yoghurt (Zourari et al. 1992). Proses pendinginan dilakukan setelah fermentasi selesai. Pendinginan dilakukan untuk mengurangi proses asidifikasi lebih lanjut. Yoghurt dapat didinginkan pada suhu <10oC di lemari pendingin.

B.

YOGHURT PROBIOTIK DAN SINBIOTIK

Yoghurt konvensional biasanya dibuat dengan memanfaatkan bakteri asam laktat

Lactobacillus delbrueckii subs bulgaricus dan Streptococcus salivarius subs thermophilus. Namun, berdasarkan hasil penelitian yang berkembang, diketahui bahwa kedua kultur ini tidak dapat bertahan hidup melewati lambung dan usus manusia karena keasaman yang sangat tinggi. Hal ini kemudian menyebabkan perkembangan produk yoghurt sekarang ini lebih banyak dikembangkan dengan menggunakan kultur-kultur bakteri asam laktat lain yang dapat tahan dan hidup pada saluran pencernaan manusia mengingat bakteri baik yang masuk ke dalam tubuh harus dalam kondisi hidup untuk dapat memberi efek positif bagi kesehatan, utamanya kesehatan pada saluran pencernaan.

Bakteri yang termasuk dalam golongan ini biasa disebut sebagai bakteri probiotik, sehingga yoghurt yang ditambahkan bakteri probiotik disebut sebagai yoghurt probiotik atau dalam beberapa literatur disebut sebagai bio-yoghurt. Tomasik dan Tomasik (2003) mengungkapkan beberapa kriteria mikroorganisme yang dapat digolongkan ke dalam probiotik, diantaranya: 1) dapat bertahan hidup melewati saluran pencernaan dengan pH rendah serta tahan kontak dengan garam empedu 2) adhesi terhadap sel epitel pada usus 3) stabil terhadap mikroflora usus 4) bukan patogen 5) bertahan hidup dalam bahan makanan, 6) pertumbuhannya cepat, dan 7) mempunyai spesifikasi umum probiotik.

(24)

campuran memberi keuntungan diantaranya memberikan kualitas produk yang lebih baik, pertumbuhan bakteri lebih tinggi, mencegah kontaminasi, mikroorganisme lebih stabil, dan penggunaan substrat dapat lebih maksimal.

Penelitian Hartoto (2003) memanfaatkan kultur campuran Bifidobacterium bifidum dan

Lactobacillus casei, Dave dan Shah (1996) menggunakan L. acidophilus, dan Donkor et al. (2007) menggunakan L. acidophilus dan L. casei, merupakan beberapa contoh dari penelitian yang memanfaatkan bakteri probiotik dalam pembuatan yoghurt. Selain itu, terdapat penelitian Prisilia (2009) dan Bastomi (2009) menggunakan bakteri kandidat probiotik asal ASI untuk membuat yoghurt. Penelitian Prisilia (2009) menemukan bahwa L. rhamnosus R21 dapat digunakan sebagai starter dalam pembuatan yoghurt, namun penggunaan kultur campuran kombinasi L. rhamnosus

R21 dengan S. thermophilus mendapatkan hasil yang lebih baik secara sensori. Adapun penelitian Bastomi (2009) menggunakan P. pentosaceus A16 menyebutkan bahwa kultur ini tidak dapat membentuk asam dengan cepat sehingga dalam pembuatan yoghurt, harus dikombinasikan dengan

S. thermophilus untuk memperoleh tingkat keasaman dan penerimaan sensori yang lebih baik. Selain yoghurt probiotik, terdapat pula yoghurt sinbiotik. Konsep yoghurt sinbiotik didasarkan pada penggunaan kombinasi probiotik dan prebiotik dalam pembuatan yoghurt. Keuntungan dari kombinasi ini adalah meningkatkan daya tahan hidup bakteri probiotik karena adanya prebiotik yang berfungsi dalam stimulasi pertumbuhan dan keaktifan bakteri probiotik. Oleh karena itu, yoghurt sinbiotik cenderung dianggap lebih baik jika dibandingkan dengan yoghurt yang hanya berisi probiotik saja (yoghurt probiotik). Adapun FOS (fruktooligosakarida) dan GOS (galaktooligosacarida), dan inulin merupakan contoh dari beberapa bahan makanan yang dapat dijadikan sebagai prebiotik. Beberapa penelitian yang mengembangkan yoghurt sinbiotik diantaranya adalah penelitian Roni (2011) yang memanfaatkan bakteri Lactobacillus plantarum

2C12 dan Lactobacillusfermentum 2B4, serta FOS sebagai probiotik dan prebiotik, Lestari (2011) menggunakan Lactobacillus casei dan inulin dari puree pisang, Nuraida et al. (2011a) menggunakan bakteri kandidat probiotik asal ASI L. rhamnosus R23 dan perpaduan inulin-GOS sebagai prebiotik, serta masih banyak penelitian serupa lainnya.

C.

PROBIOTIK

1.

Bakteri Asam Laktat sebagai Probiotik

Bakteri asam laktat (BAL) merupakan kelompok bakteri yang memfermentasi karbohidrat (glukosa) menjadi asam laktat. Bakteri ini termasuk ke dalam kelompok bakteri Gram positif, tidak membentuk spora dan memiliki sifat yang anaerob aerotoleran. Bakteri ini memiliki sel dengan bentuk batang atau bulat. Berdasarkan tipe fermentasinya, BAL dapat dibagi menjadi dua kelompok meliputi homofermentatif dan heterofermentatif. Produk hasil fermentasi homofermentatif sebagian besar berupa asam laktat sedangkan pada heterofermentatif, selain asam laktat hasil fermentasinya dapat juga berupa asam organik asetat, gas CO2, dan etanol (Salminen et al. 2004).

(25)

menghasilkan asam-asam organik seperti asam laktat, asam asetat dan asam format. Asam-asam organik ini dapat membantu aktivitas usus dengan merangsang peristaltis, meningkatkan kecernaan dan penyerapan berbagai zat gizi, menambah cita rasa dan aroma pada produk serta menghambat pertumbuhan bakteri patogen seperti Salmonella Typhimurium dan Escherichia coli (Widyastuty dan Eva 1999).

Bakteri asam laktat banyak digunakan sebagai probiotik. Probiotik menurut FAO/WHO (2002) adalah mikroorganisme hidup yang masuk dalam jumlah yang cukup sehingga dapat memberikan manfaat bagi kesehatan inangnya. Efek positif dari aktivitas probiotik terbagi dalam tiga aspek, yaitu nutrisi, fisiologi, dan antimikroba (Winarno et al. 2003). Aspek nutrisi berasal dari penyediaan enzim yang membantu metabolisme penyerapan laktosa (laktase), sintesis beberapa jenis vitamin (vitamin K, asam folat, prridoksin, asam pantotenat, biotin, dan riboflavin), serta dapat menghilangkan racun hasil metabolit komponen makanan di usus.

Aspek fisiologis meliputi kemampuan untuk menjaga keseimbangan komposisi mikrobiota usus sehingga menekan resiko infeksi penyakit dan menstimulasi sistem kekebalan tubuh. Aspek kemampuan antimikroba dinyatakan melalui kemampuan memperbaiki ketahanan terhadap patogen. Aktivitas terhadap patogen ini juga dapat berasal dari kemampuan adhesi yang dimiliki probiotik (Winarno et al. 2003). Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa beberapa jenis BAL dapat memenuhi kriteria sebagai probiotik. Lactobacillus F1 dan

Lactobacillus G3 yang diisolasi dari feses bayi (Evanikastari 2003), Lactococcus lactis subsp lactis R-22, Leuconostoc paramesenteroides R-51, Lactobacillus casei subps casei R-52 dan

Leuconostoc paramesenteroides R-62 yang diisolasi dari dadih (Nuraini 2002).

2.

Bakteri Asam Laktat Isolat ASI

Air susu ibu (ASI) merupakan suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa, dan garam-garam anorganik yang disekresikan oleh kelenjar mamae ibu dan berguna sebagai makanan bagi bayinya (Siregar 2004). Menurut Hahn-Zoric et al. (1990), bayi yang diberi ASI mempunyai respon antibodi yang lebih baik dibandingkan dengan bayi yang tidak diberi ASI. Selain itu, bayi yang diberi ASI diketahui mempunyai kandungan mikroba baik pada ususnya lebih banyak jika dibandingkan dengan bayi yang tidak diberi ASI (Harmsen et al. 2000). Hal ini disinyalir karena adanya bakteri asam laktat pada air susu ibu yang memberi efek yang menguntungkan bagi kesehatan (Martin et al. 2005).

Air susu ibu mengandung bifidogenic factor berupa N-acetylglucosamine yang dapat menunjang pertumbuhan BAL. Selain itu, di dalam ASI juga terdapat glikoprotein dan laktoferin yang juga dapat meningkatkan pertumbuhan BAL. Laktoferin juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri tertentu, seperti Staphylococcus aureus dan Escherichia coli

(Salminen et al. 2004) sementara BAL itu sendiri secara umum diketahui memiliki kemampuan dalam menghambat pertumbuhan bakteri patogen pada usus seperti

Staphylococcus aureus, Salmonella Typhimurium, Yersinia enterocolitica dan Clostridium perfringens (Lara-Villoslada et al. 2007).

Martin et al.(2005) berhasil mengisolasi tiga genus Lactobacillus yang berpotensi sebagai probiotik; Olivares et al. (2006) mengisolasi empat genus Lactobacillus yang berpotensi sebagai antimikroba; dan Djide et al. (2008) mengisolasi empat genus

Lactobacillus yang memiliki kemampuan menurunkan kolesterol. Penelitian lain yang dilakukan oleh Nuraida et al. (2007) telah berhasil mengisolasi BAL yang terdapat pada ASI. Isolat-isolat yang diperoleh terdiri dari 60% isolat Lactobacillus homofermentatif, 23% isolat

(26)

Leuconostoc dan 1% isolat Pediococcus. Hartanti (2007) lebih lanjut meneliti 37 isolat ASI yang dapat berpotensi sebagai probiotik. Dari 37 isolat, diperoleh 12 isolat berpotensi sebagai probiotik (R12, R14, R21, R22, R23, R24, R25, R26, R27, R28, R32, dan R34) yang dipilih berdasakan hasil uji ketahanan terhadap asam (pH rendah) dan garam empedu serta daya penghambatannya terhadap bakteri patogen (Bacillus cereus, Salmonella Thyphimurium, dan

Staphylococcus aureus).

Aplikasi bakteri asam laktat isolat ASI pada pengembangan produk, khususnya produk susu fermentasi telah diteliti. Penelitian oleh Prisilia (2009) menunjukkan bahwa isolat BAL asal ASI L. rhamnosus R21 dapat dijadikan starter untuk membuat yoghurt. L. rhamnosus R21 dapat tumbuh optimum pada media susu skim dengan suhu fermentasi 37oC selama 48 jam. Yoghurt yang dihasilkan dari starter L. rhamnosus R21 diketahui memiliki nilai pH 3,84, TAT sebesar 1,17%, total BAL 9,08 log CFU/ml, tinggi whey 0,14 cm, tekstur yang padat, serta penerimaan sensori secara keseluruhan yang agak disukai. Secara umum, hasil ini menunjukkan bahwa yoghurt yang dihasilkan dapat diterima jika dibandingkan dengan spesifikasi yoghurt menurut SNI. Walaupun demikian, kombinasi dengan S. thermophilus (1:1) diketahui menghasilkan yoghurt dengan mutu sensori yang sama dengan yoghurt konvensional namun lebih disukai dibandingkan dengan hanya menggunakan L. rhamnosus R21.

Penelitian lain yang dilakukan Bastomi (2009) menunjukkan bahwa P. pentosaceus

A16 dapat tumbuh optimum pada media susu skim yang ditambahkan sukrosa atau glukosa 3%. Suhu dan waktu inkubasi optimum dicapai pada 37oC selama 48 jam. Yoghurt yang dihasilkan dari starter P. pentosaceus A16 diketahui memiliki nilai pH 4, TAT sebesar 0,9-1,0%, total BAL 9 log CFU/ml, tinggi whey 0,2 cm, tekstur yang agak padat, namun penerimaan sensori yang kurang disukai. Penerimaan lebih baik diperoleh pada yoghurt yang menggunakan starter kombinasi P. pentosaceus A16 dengan S. thermophilus (1:1) dimana dihasilkan yoghurt dengan mutu sensori yang lebih disukai dibandingkan dengan produk yoghurt konvensional.

2.1. Lactobacillus rhamnosus R23

Lactobacillus rhamnosus merupakan bakteri asam laktat Gram positif, anaerobik fakultatif, tidak motil, tidak berspora dan berbentuk batang. L. rhamnosus pada awalnya diklasifikasikan sebagai Lactobacillus acidophilus, kemudian Lactobacillus casei yang pada akhirnya diklasifikasikan sendiri sebagai Lactobacillus rhamnosus. Penelitian ini menggunakan L. rhamnosus R23 sebagai kultur starter yoghurt. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa L. rhamnosus R23 merupakan kandidat probiotik dengan sifatnya yang tahan terhadap pH lambung dan garam empedu serta memiliki sifat antimikroba (Hartanti 2007). L. rhamnosus R23 juga memiliki kemampuan dalam menurunkan jumlah

Escherichia coli pada feses dan sebagai antidiare berdasarkan uji in vivo (Hartanti 2010).

2.2. Pediococcus pentosaceus A38

Pediococcus merupakan bakteri asam laktat homofermentatif yang banyak digunakan dalam produk fermentasi utamanya produk daging misalnya sosis fermentasi. Penggunaannya dalam produk susu fermentasi masih kurang karena P. pentosaceus

(27)

stabilizer, emulsifier ataupun sebagai gelling agent untuk memodifikasi sifat rheologi dan tektur dari produk pangan. Kultur yang digunakan pada penelitian ini adalah P. pentosaceus A38. P. pentosaceus A38 merupakan isolat BAL asal ASI yang diketahui berpotensi menurunkan kolesterol secara in vitro melalui mekanisme asimilasi dan dekonyugasi garam empedu (Nuraida et al. 2011a).

D.

PREBIOTIK

Prebiotik menurut ISAPP (International Scientific Association for Probiotics and Prebiotics) didefinisikan sebagai bahan pangan yang dapat difermentasi dan menghasilkan beberapa perubahan pada komposisi atau aktivitas mikrobiota usus yang memberikan keuntungan bagi kesehatan inang (manusia). Terdapat beberapa kriteria prebiotik yang baik diantaranya: a) resisten terhadap degradasi oleh asam lambung, enzim mamalia atau hidrolisis, b) dapat difermentasi secara selektif oleh mikroba baik usus dan c) memberikan efek selektif simultatif terhadap pertumbuhan atau aktivitas dari mikroba yang menguntungkan di dalam usus. Kriteria lain yang harus ada adalah aman, memberikan efek sensori yang baik dan disukai, stabil panas dan tahan kering serta dapat disimpan pada suhu ruang selama berbulan-bulan (Kolida et al. 2002).

FOS (fruktooligosakarida) dan GOS (galaktooligosacarida) merupakan prebiotik yang banyak dikenal luas oleh masyarakat. Selain FOS dan GOS, terdapat pula jenis prebiotik lainnya seperti inulin, TOS (transGOS), polydextrose, oligosakarida kedelai, isomalto-oligosakarida, gluko-oligosakarida, xylo-oligosakarida dan jenis prebiotik lainnya. Pada penelitian ini, prebiotik yang akan digunakan adalah inulin.

Inulin merupakan prebiotik yang secara alami dapat diperoleh dari berbagai sumber, seperti pisang, umbi dahlia, bawang, oat dan kedelai. Beberapa hasil studi menyatakan bahwa inulin dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri baik di dalam usus, utamanya bifidobakteria. Penelitian yang dilakukan oleh Gibson et al. (1995) menyatakan bahwa konsumsi inulin 15 g/hr dapat meningkatkan jumlah bifidobakteria pada 8 orang sehat secara signifikan. Penelitian lain oleh Klessen et al. (1997) menyatakan bahwa jumlah bifidobakteria meningkat seiring dengan penurunan jumlah Enterococcus dan Enterobacter pada konsumsi inulin pada dosis 20-40 g/hr pada 35 pasien kontipasi yang telah berusia lanjut. Walupun demikian, Kolida et al. (2007) menyatakan bahwa konsumsi 5-8 g/hr inulin sudah cukup memberi efek positif terhadap bakteri usus. Oleh karena itu, pada penelitian ini jumlah inulin yang ditambahkan adalah 5%. Jika diasumsikan konsumsi yoghurt 100 gr/hr, maka inulin sebanyak 5% sudah cukup untuk berperan sebagai prebiotik. Konsumsi prebiotik yang terlalu banyak melebihi 20 g/hr dapat memberi efek samping seperti produksi gas, diare dan dapat menyebabkan transit makanan melalui usus kecil terlalu cepat sehingga penyerapan komponen makanan lain menjadi berkurang. Sedangkan prebiotik yang terlalu sedikit, tidak memberikan fungsi optimal untuk mendukung pertumbuhan bakteri probiotik.

E.

PENGARUH PENYIMPANAN TERHADAP VIABILITAS PROBIOTIK

(28)

jumlah tertentulah yang dapat memberi efek kesehatan yang optimum sehingga sangat penting untuk menjaga viabilitas probiotik sampai produk dikonsumsi. Beberapa studi menunjukkan bahwa viabilitas probiotik menurun selama penyimpanan yoghurt. Probiotik seperti Lactobacillus acidophilus dan Bifidobacterium bifidum diketahui tidak stabil pada yoghurt dan mengalami penurunan jumlah selama disimpan pada suhu dingin (Shah et al. 1994). Lactobacillus acidophilus

dan B. bifidum yang ditambahkan ke dalam yoghurt Argentina pada awalnya terdapat sekitar 106 -107 cfu/ml namun setelah disimpan pada suhu dingin dan diuji viabilitasnya setiap minggu selama 4 minggu, jumlahnya terus menurun dan hanya terdapat kurang dari 104 cfu/ml pada akhir minggu keempat (Venderola et al. 1999).

Penelitian dalam mengkaji viabilitas probiotik selama penyimpanan dingin juga telah dilakukan pada empat merek yoghurt komersial dari supermarket di Australia. Yoghurt yang berumur satu hari setelah diproduksi dianalisis selama penyimpanan dingin. Hasil analisis menunjukkan probiotik L. acidophilus ditemukan hidup dalam jumlah yang bervariasi. Pada salah satu merek yoghurt masih ditemukan >107 cfu/g namun pada tiga merek lainnya hanya berkisar 106-105 cfu/g, bahkan salah satu merek hanya berjumlah <103 cfu/g pada yoghurt selama penyimpanan. Viabilitas Bifidobacteria juga diketahui menurun selama penyimpanaan dingin dimana tiga dari empat merek yoghurt yang diuji menunjukkan jumlah Bifidobacteria tersisa 1,5x105 sampai <103 cfu/g selama dua minggu penyimpanan dingin (Micanel et al. 1997). Mortazavian et al. (2006) meneliti tentang pengaruh kombinasi suhu terhadap viabilitas probiotik

L. acidophilus dan B. bifidum pada yoghurt dan diperoleh hasil bahwa L. acidophilus mempunyai viabilitas lebih baik pada 2oC sedangkan B. bifidum lebih baik pada suhu 8oC walaupun secara umum jumlah keduanya diketahui mengalami penurunan viabilitas >80% setelah disimpan lebih dari 15 hari.

Jumlah bakteri probiotik yang terdapat pada produk berkurang disebabkan oleh beberapa faktor seperti tingkat keasaman produk, asam yang diproduksi selama penyimpanan suhu dingin, level oksigen dalam produk (masuknya oksigen melalui bahan pengemas), sensitivitas terhadap zat antimikroba yang dihasilkan oleh bakteri starter, karakteristik lisogenik bakteri, dan kemungkinan mikroorganisme kekurangan nutrisi di dalam produk (Tamime et al. 2005). Viabilitas probiotik pada produk susu seperti yoghurt juga sangat dipengaruhi oleh strain kultur probiotik yang digunakan dan tipe yoghurt yang dibuat (Birollo et al. 2000). Strain kultur yang digunakan menentukan ketahanan bakteri pada kondisi di dalam produk yoghurt sehingga berhubungan erat dengan viabilitasnya. Adapun tipe atau karakteristik yoghurt mempengaruhi kondisi hidup bakteri probiotik. Contohnya adalah kandungan lemak dan gula yang tinggi pada yoghurt diketahui dapat menjadi faktor yang menghambat pertumbuhan bakteri probiotik (Shah et al. 1994).

(29)

III.

METODE PENELITIAN

A.

BAHAN DAN ALAT

Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini meliputi susu skim (SunlacTM), gula pasir (GulakuTM), AMDK (Air Minum Dalam Kemasan) (AquaTM), inulin, agar (Swallow GlobeTM), dan glukosa (Brataco ChemicaTM). Bakteri asam laktat (BAL) yang digunakan adalah BAL isolat asal Air Susu Ibu (ASI) yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi SEAFAST Center IPB, meliputi Lactobacillus rhamnosus R23 dan Pediococcus pentosaceus A38. Adapun bahan yang digunakan untuk analisis terdiri dari media MRS (deMan Rogosa and Sharp) broth, MRS agar, antibiotik (nystatin dan ampicillin), NaCl, PDA (Potato Dextrose Agar), NaOH, KHP, indikator phenolftalein, dan bahan untuk pewarnaan Gram.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi autoklaf, oven, pH meter, tabung reaksi, cawan petri, Erlenmeyer, gelas ukur, labu ukur, buret, mikropipet 100-1000 µl, plastik HDPE tahan panas, botol kaca bertutup, vorteks, dan alat gelas lainnya.

B.

METODE PENELITIAN

(30)
[image:30.595.103.549.79.518.2]

Gambar 2. Kerangka penelitian

1. Penyegaran dan Pengamatan Morfologi Kultur BAL Isolat ASI

Penyegaran kultur BAL dilakukan dengan menginokulasikan sejumlah manik-manik yang mengandung BAL (± 3-4 buah) ke dalam tabung reaksi yang berisi MRSB steril. Masing-masing tabung diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Selanjutnya, dari tabung reaksi tersebut diambil 1 ml dan diinokulasikan ke dalam tabung reaksi lain yang telah berisi 10 ml MRSB steril kemudian diinkubasikan pada suhu 37oC selama 24 jam. Kultur yang telah diinkubasi tersebut siap digunakan.

Pengamatan morfologi kultur BAL dilakukan dengan pewarnaan Gram yang dilanjutkan dengan pengamatan di bawah mikroskop. Hal ini untuk mengkonfirmasi BAL yang digunakan. Kultur BAL yang diamati adalah L. rhamnosus R23 dan P. pentosaceus A38. Baik L. rhamnosus R23 maupun P. pentosaceus A38 keduanya diketahui tergolong bakteri Gram positif namun L. rhamnosus R23 berbentuk batang sedangkan P. pentosaceus A38 berbentuk bulat (Hartanti 2007).

PENENTUAN METODE FERMENTASI

PENYIMPANAN FORMULASI

Penyimpanan dingin yoghurt kultur campuran

Total BAL, jumlah

Pediococcus, nilai pH dan total kapang khamir Penambahan prebiotik, penstabil dan

pemanis

Formula yoghurt terpilih yang

disimpan

pH, tinggi whey, tekstur curd, TAT, total BAL, jumlah

Pediococcus, dan uji organoleptik. Tahap persiapan: penyegaran kultur pada

media MRSB serta pengamatan morfologinya dengan pewarnaan Gram.

Pemilihan media fermentasi terbaik

Pemilihan metode fermentasi yoghurt (set

atau stirred) dan perbandingan (kultur/yoghurt) L. rhamnosus R23 dan P.

pentosaceus A38 terbaik

pH, tinggi whey, dan tekstur curd

Pemilihan waktu fermentasi terbaik pH, tinggi whey, tekstur curd, TAT, dan total BAL

Total BAL (pengaruh penambahan inulin), tekstur curd (penambahan agar), dan

(31)

2. Pemilihan Media Fermentasi

[image:31.595.276.418.153.289.2]

Pemilihan media fermentasi yoghurt dilakukan dengan terlebih dahulu membuat kultur starter. Prosedur pembuatan kultur starter yoghurt disajikan pada Gambar 3. berikut ini:

Gambar 3. Pembuatan kultur starter

Pemilihan media fermentasi dilakukan dengan menginokulasikan 2% kultur ke dalam masing-masing media sebagai berikut:

a. 25 ml susu skim 12% (kontrol)

b. 25 ml susu skim 12% + sukrosa 3% (suk 3%) c. 25 ml susu skim 12% + glukosa 3% (glu 3%)

Sebelum diinokulasikan, media diatas masing-masing dihomogenkan terlebih dahulu di dalam botol kaca betutup. Setelah homogen, media tersebut dipasteurisasi menggunakan autoklaf pada suhu 100oC selama 30 menit dan didinginkan. Setelah cukup dingin, kultur starter BAL diinokulasikan ke dalam media dan diinkubasikan selama 24 dan 48 jam pada suhu 37oC. Analisis yang dilakukan adalah pH, tinggi whey dan tekstur curd secara duplo dan dua kali ulangan. Pada penelitian ini, penentuan media fermentasi dilakukan untuk kultur P. pentosaceus A38. Media fermentasi yang digunakan untuk kultur L. rhamnosus R23 mengacu pada hasil penelitian Prisilia (2009) dimana media terbaik adalah menggunakan susu skim 12%.

3. Pemilihan Waktu Fermentasi

Pemilihan waktu fermentasi yoghurt dilakukan dengan terlebih dahulu membuat kultur starter. Prosedur pembuatan kultur starter dapat dilihat pada Gambar 3. Media susu skim 12% dengan penambahan sukrosa 3% terlebih dahulu dihomogenkan dan dipasteurisasi dengan autoklaf selama 30 menit pada suhu 100oC. Setelah itu, media didinginkan dan diinokulasikan starter yoghurt sebanyak 2% (dari volume media) ke dalamnya. Inkubasi pada suhu 37oC selama 0, 24, dan 48 jam. Analisis yang dilakukan adalah pH, tinggi whey, tekstur curd, total BAL, dan total asam secara duplo dan dua kali ulangan. Pada penelitian ini, penentuan waktu fermentasi dilakukan untuk kultur P. pentosaceus A38. Waktu fermentasi yang digunakan untuk kultur L. rhamnosus R23 mengacu pada hasil penelitian Prisilia (2009) dimana waktu fermentasi terbaik yang diperoleh adalah 48 jam.

Inokulasikan ke dalam susu skim 10% yang telah dipasteurisasi

Inkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam

(32)

4. Pemilihan Metode Fermentasi Yoghurt (Set atau Stirred) dan Perbandingan Pencampuran (Kultur/Yoghurt) Terbaik.

Yoghurt dibuat dalam dua jenis, set dan stirred yoghurt. Setelah itu dilakukan analisis terhadap kedua yoghurt. Analisis yang dilakukan adalah pH, total asam, total BAL, jumlah

Pediococcus, tekstur curd, tinggi whey, dan uji organoleptik untuk set yoghurt. Sedangkan untuk stirred yoghurt hanya dilakukan pengujian organoleptik. Pembuatan yoghurt kultur campuran (set dan stirred) dijelaskan sebagai berikut.

a. Set yoghurt kultur campuran (Yog Lac+Ped)

Yoghurt ini dibuat dengan menggunakan campuran dua kultur (L. rhamnosus R23 dan P. pentosaceus A38). Media yang digunakan adalah susu skim 12% yang ditambahkan sukrosa 3%. Media dipasteurisasi dengan menggunakan autoklaf pada suhu 100oC selama 30 menit. Setelah itu, didinginkan dan diinokulasikan dengan 2% dari masing-masing kultur starter (L. rhamnosus R23 dan P. pentosaceus A38). Karena perbandingan pencampuran yang belum diketahui, maka pencampuran dilakukan pada tiga variasi perbandingan L. rhamnosus R23 dan P. pentosaceus A38 yaitu 1:0, 1:1, 1:2 dan 0:1 (contoh: perbandingan 1:1 berarti penambahan kultur L. rhamnosus R23 dan P. pentosaceus masing-masing 2%). Perbandingan 1:0 dan 0:1 digunakan sebagai kontrol dimana yoghurt dibuat dengan hanya menggunakan kultur tunggal masing-masing L. rhamnosus R23 (1:0) atau P. pentosaceus A38 (0:1). Setelah diinokulasi, kemudian diinkubasi pada suhu optimum 37oC selama 48 jam.

b. Stirred yoghurt campuran (Yog Lac+Yog Ped)

Yoghurt dibuat dengan mencampurkan dua jenis yoghurt, yoghurt L. rhamnosus

R23 dan yoghurt P. pentosaceus A38. Yoghurt L. rhamnosus R23 dibuat dengan menginokulasikan 2% kultur L. rhamnosus R23 ke dalam media susu skim 12% yang telah dipasteurisasi dan didinginkan sebelumnya. Setelah itu, dilanjutkan dengan inkubasi pada suhu 37oC selama 48 jam. Yoghurt P. pentosaceus A38 dibuat dengan metode yang sama, namun perbedaannya terletak pada media yang digunakan adalah susu skim yang ditambahkan sukrosa 3%. Setelah masing-masing yoghurt dibuat, kedua yoghurt kemudian dicampurkan dengan perbandingan (1:1, 1:2, dan 2:1) dan dihomogenisasi menggunakan homogenizer.

5. Formulasi Stirred Yoghurt dengan Penambahan Penstabil dan Pemanis

(33)

Selanjutnya, didinginkan dan diinokulasikan kultur (L. rhamnosus R23 atau P. pentosaceus

A38) sebanyak 2%. Inkubasikan pada suhu 37oC selama 48 jam. Setelah itu, dihitung total BAL-nya secara duplo masing-masing dua kali ulangan.

Penambahan agar ditentukan dengan membuat yoghurt kultur campuran yang ditambahkan agar dengan beberapa konsentrasi (0, 0.2, 0.3, 0.4, dan 0.5%). Pertama-tama agar ditimbang sesuai dengan konsentrasi yang diinginkan (contoh: untuk konsentrasi 0.2%, 0.2 gram agar dilarutkan ke dalam 100 ml air minum). Setelah itu, larutan agar dipanaskan sampai mendidih sambil diaduk. Larutan agar kemudian diukur sebanyak 25 ml dan dicampurkan dengan campuran kering susu skim 12% yang ditambahkan sukrosa 3% dan dihomogenisasi. Campuran tersebut kemudian dipasteurisasi menggunakan autoklaf pada suhu 100oC selama 30 menit, didinginkan dan diinokulasikan dengan kultur L. rhamnosus R23 dan P. pentosaceus

A38 perbandingan 1:2 (2% dan 4%). Yoghurt kemudian dianalisis tekstur curdnya.

Untuk penambahan gula pasir, konsentrasi yang digunakan terdiri atas 10 dan 15%. Penambahan gula pasir dilakukan setelah proses fermentasi. Gula pasir pertama-tama ditimbang. Setelah gula pasir ditimbang, kemudian ditambahkan 100 ml air minum dan dipanaskan hingga gula larut. Gula yang ditambahkan dihitung dalam persen berdasarkan volume akhir yoghurt, termasuk 100 ml air yang ditambahkan untuk melarutkan gula. Contoh: untuk penambahan gula pasir konsentrasi 10% dan jika yoghurt yang akan dibuat sebanyak 500 ml, maka gula pasir yang ditimbang sebanyak (10% x (500 ml+100 ml)).

Setelah konsentrasi penambahan inulin, agar, dan gula diperoleh, maka dikombinasikan seperti yang diperlihatkan pada Tabel 1, di bawah ini. Setiap kombinasi ini kemudian dicampurkan pada pembuatan stirred yoghurt campuran. Contoh: untuk kombinasi kode IG15 (penambahan inulin 5% dan gula pasir 15%), pertama-tama dibuat yoghurt L. rhamnosus R23 dan yoghurt P. pentosaceus A38. Yoghurt L. rhamnosus R23 dibuat dengan mencampur kering susu skim 12% dan inulin 5%, dipasteurisasi, didinginkan, dan diinokulasikan 2% kultur L. rhamnosus R23 kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 48 jam. Yoghurt P. pentosaceus

[image:33.595.194.440.580.754.2]

A38 dibuat dengan metode yang sama, namun perbedaannya terletak pada media yang digunakan adalah susu skim yang ditambahkan sukrosa 3%. Setelah kedua yoghurt terbentuk, kemudian dicampurkan dengan perbandingan 1:2 (Yog Lac:Yog Ped) dan ditambahkan larutan gula 15%. Setelah itu kemudian dihomogenisasi menggunakan homogenizer dan diuji organoleptik terhadap atribut rasa, aroma, tekstur, dan overall (keseluruhan).

Tabel 1. Kombinasi penambahan inulin, agar, dan gula pada pembuatan stirred yoghurt, campuran yoghurt L. rhamnosus R23 dan yoghurt P. pentosaceus A38

Kode Inulin 5% Agar 0,3% Gula 10% 15%

IG15 √ - - √

IAG15 √ √ - √

G15 - - - √

AG15 - √ - √

IG10 √ - √ -

IAG10 √ √ √ -

G10 - - √ -

(34)

6. Penyimpanan Dingin Stirred Yoghurt Campuran

Stirred yoghurt dibuat berdasarkan formulasi terbaik yang diperoleh pada tahap sebelumnya. Yoghurt ini kemudian disimpan di lemari pendingin dengan suhu <10 oC (5 oC) selama sebulan (32 hari). Analisis total BAL, jumlah Pediococcus, total kapang-khamir, dan pH dilakukan setiap 4 hari sekali.

C.

METODE ANALISIS

1. Analisis Mikrobiologi

1.1. Total BAL (Bakteri Asam Laktat) (Harrigan 1998)

Sebanyak 1 ml sampel dipipet ke dalam 9 ml larutan pengencer sehingga diperoleh tingkat pengenceran 10-1. Selanjutnya dibuat pengenceran 10-2-10-7 atau sesuai kebutuhan. Kocok setiap pengenceran dengan vorteks. Diambil 1 ml dari tingkat pengenceran yang diinginkan ke dalam cawan petri steril (duplo). Pemupukan dilakukan pada pengenceran 10-5-10-8 atau sesuai kebutuhan. Masing-masing cawan yang telah diberi contoh dituangi dengan media MRSA (12-15 ml). Campurkan contoh dan agar dengan menggerakkan cawan sedemikian rupa sehingga campuran tersebar merata dan biarkan hingga memadat. Cawan diinkubasi pada suhu 37oC selama 48 jam. Koloni yang tumbuh dihitung sebagai total BAL. Perhitungan koloni yang tumbuh setelah 48 jam mengacu pada perhitungan Angka Lempeng Total (ALT) BAM-FDA (2001):

N =

� +� ��

Keterangan:

N : jumlah mikroba (cfu/ml)

∑C : jumlah koloni dari semua cawan (25-250 koloni) n1 : jumlah cawan pada pengenceran pertama n2 : jumlah cawan pada pengenceran kedua d : tingkat pengenceran pertama yang dihitung

1.2. Jumlah P. pentosaceus (modifikasi Dabour et al. 2009)

(35)

pentosaceus. Perhitungan koloni yang tumbuh setelah 48 jam mengacu pada perhitungan Angka Lempeng Total (ALT) BAM-FDA (2001):

Gambar

Tabel 1. Kombinasi penambahan inulin, agar, dan gula pada pembuatan stirred yoghurt,
Gambar 16. Total BAL, total Pediococcus, dan pH yoghurt G (dengan penambahan gula 15%
Gambar 1. Proses pembuatan yoghurt (Lee dan Lucey 2010)
Gambar 2. Kerangka penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait