• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. PENENTUAN METODE FERMENTASI

3. Penentuan Metode Fermentasi Yoghurt ( Set atau Stirred ) dan Perbandingan

R23 dan Pediococcus pentosaceus A38 Terbaik

Pada tahap sebelumnya, telah diperoleh media dan waktu fermentasi yang terbaik untuk

P. pentosaceus A38. Namun, karakter yoghurt yang dihasilkan masih memiliki tingkat keasaman yang rendah serta whey yang dihasilkan masih banyak. Oleh karena itu, pada tahap ini yoghurt dibuat dengan mengkombinasikan P. pentosaceus A38 dengan L. rhamnosus R23. Pemilihan L. rhamnosus R23 didasarkan oleh hasil penelitian sebelumnya dimana diketahui bahwa L. rhamnosus R23 isolat asal ASI merupakan kandidat probiotik dengan sifatnya yang tahan terhadap pH lambung, tahan garam empedu, memiliki sifat antimikroba (Hartanti 2007), mampu menurunkan jumlah Escherichia coli pada feses dan sebagai antidiare berdasarkan uji

in vivo (Hartanti 2010).

Sifat yang dimiliki L. rhamnosus R23 dalam hal ini diharapkan dapat bersinergi dengan kemampuan P. pentosaceus A38. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa P. pentosaceus

A38 berpotensi menurunkan kolesterol secara in vitro melalui mekanisme asimilasi dan dekonyugasi garam empedu (Nuraida et al. 2011b) sehingga penggunaan kedua bakteri ini dalam pembuatan yoghurt diharapkan menghasilkan yoghurt yang tetap mempertahankan keunggulan sifat fungsional tersebut. Selain itu, diharapkan yoghurt yang diperoleh nantinya mempunyai karakter yoghurt yang lebih baik, karena sifat kedua bakteri dapat saling melengkapi. Menurut Hesseltine (1991), selain beberapa hal yang telah disebutkan, keuntungan lain dari penggunaan kultur/yoghurt campuran seperti pertumbuhan bakteri lebih tinggi, mencegah kontaminasi, menghasilkan mikroorganisme yang lebih stabil, dan penggunaan substrat dapat lebih maksimal.

Pembuatan yoghurt pada tahap ini bertujuan untuk menentukan metode fermentasi yoghurt serta perbandingan kultur/yoghurt yang digunakan. Yoghurt dibuat dengan dua jenis,

set dan stirred. Set yoghurt dibuat dengan menggunakan kultur campuran L. rhamnosus R23 dan P. pentosaceus A38 dengan perbandingan 1:1, 1:2, 1:0, dan 0:1. Sedangkan stirred yoghurt dibuat dengan mencampurkan yoghurt L. rhamnosus R23 dan yoghurt P. pentosaceus A38 dengan perbandingan 2:1, 1:2, serta 1:1. Berikut diuraikan hasil yang diperoleh.

a.

Set Yoghurt (Yog Lac+Ped)

pH dan TAT

Pembentukan asam set yoghurt dapat dilihat dari nilai pH dan total asam yoghurt, pada Gambar 6 di bawah ini. Data secara lengkap disajikan pada Lampiran 7-8.

a) b)

Gambar 6. Hasil pengamatan a) pH dan b) total asam pada set yoghurt yang difermentasi menggunakan kultur campuran L. rhamnosus R23 dan P. pentosaceus A38 dengan perbandingan 1:1, 1:2, 1:0, dan 0:1

Berdasarkan hasil yang diperoleh, nilai pH set yoghurt kultur campuran dengan perbandingan 1:1 dan 1:2 masing-masing adalah 3,82 dan 3,81. Jika dibandingkan dengan pH yoghurt kultur tunggal, terlihat bahwa pH yoghurt L. rhamnosus R23 (1:0) mempunyai pH lebih rendah berkisar 3,6 sedangkan yoghurt P. pentosaceus A38 (0:1) mempunyai pH yang masih tinggi, yaitu 5,18. Standar untuk pH pada yoghurt tidak dicantumkan dalam SNI, namun Jay (2000) menyatakan bahwa pH yoghurt dapat berkisar antara 3,65-4,40. Dengan standar ini, semua yoghurt yang dibuat telah sesuai standar, kecuali yoghurt P. pentosaceus A38 (0:1). Hal ini sesuai dengan hasil dari tahap sebelumnya, dimana pembentukan asam oleh P. pentosaceus A38 terlihat cenderung lambat. Hasil penelitian Bastomi (2009) yang mengungkapkan bahwa P. pentosaceus A16 (isolat asal ASI) tidak dapat membentuk asam dengan baik pada yoghurt terlihat dari nilai pH media masih tinggi sampai hari ke-3 inkubasi, mendukung hasil ini. Hal ini dapat dikarenakan oleh aktivitas β– galaktosidase dan berbagai enzim dari P. pentosaceus yang lemah pada produk berbasis susu (Tzanetakis dan Litopoulou-Tzanetaki 1989).

Selain dengan pH, tingkat keasaman dapat dilihat dari total asam. Nilai pH pada umumnya berhubungan terbalik dengan total asam dimana semakin rendah nilai pH, semakin tinggi total asam pada sampel tersebut, walaupun tidak selalu berlaku demikian. Kedua nilai ini menunjukkan tingkat keasaman namun terdapat perbedaan dalam hal bentuk asam yang diukur. Nilai pH menunjukkan konsentrasi ion hidrogen (H+) yang terbentuk dari disasosiasi asam. Sedangkan total asam menunjukkan jumlah semua asam, baik yang terdisasosiasi maupun yang tidak. Total asam yang diperoleh dari hasil penelitian menunjukkan bahwa yoghurt kultur campuran dengan perbandingan 1:1 dan 1:2, serta yoghurt L. rhamnosus R23 (1:0) mempunyai total asam masing-masing adalah 1.26, 1.16, dan 1.12%. Nilai ini sudah memenuhi standar SNI mengenai total asam yoghurt yang berkisar antara 0,5-2% (b/b). Berbeda dengan itu, yoghurt P. pentosaceus A38 (0:1) menunjukkan nilai total asam yang lebih rendah dari standar SNI.

Secara keseluruhan, hasil ini menunjukkan bahwa baik set yoghurt kultur campuran perbandingan 1:1 dan 1:2 maupun yoghurt L. rhamnosus R23 (1:0) mempunyai tingkat keasaman yang sudah memenuhi standar yoghurt. Sedangkan yoghurt P. pentosaceus A38 mempunyai tingkat keasaman yang rendah, di bawah standar yoghurt. Penggunaan L. rhamnosus R23 dalam pembuatan set yoghurt kultur campuran ini memberi pengaruh nyata terhadap tingkat keasaman yoghurt. Yoghurt dengan hanya menggunakan P. pentosaceus

A38 sebagai starternya, memiliki keasaman yang masih rendah, namun dengan

3,82 3,81 3,68 5,18 0 2 4 6 (1:1) (1:2) (1:0) (0:1) pH 1,26 1,16 1,12 0,37 0 0,5 1 1,5 (1:1) (1:2) (1:0) (0:1) T o ta l a sa m ( % )

penambahan L. rhamnosus R23, tingkat keasaman menjadi lebih tinggi dan memenuhi standar.

Tekstur Curd dan Tinggi Whey (Wheyying off)

Gambar 7 memperlihatkan tinggi whey set yoghurt kultur campuran L. rhamnosus

R23 dan P. pentosaceus A38. Data tinggi whey secara lengkap disajikan pada Lampiran 9. Dari hasil yang diperoleh, diketahui bahwa di antara yoghurt yang diujikan, yoghurt

P.pentosaceus A38 (0:1) mempunyai whey yang paling tinggi, sedangkan yoghurt L. rhamnosus R23 (1:0) tidak menampakkan adanya pemisahan whey di permukaan curdnya. Seperti yang diketahui dari hasil pada tahap sebelumnya, P. pentosaceus A38 lambat membentuk asam jika dibandingkan dengan L. rhamnosus R23 sehingga hal ini menyebabkan kesatuan gel yoghurt yang terbentuk lemah dan terpisahnya whey menjadi lebih banyak. Dengan membandingkan yoghurt kultur tunggal 0:1 dan 1:0, diperoleh gambaran bahwa pemisahan whey dapat dipengaruhi juga oleh jenis kultur yang dipergunakan selain dari beberapa alasan yang berkaitan dengan teknik pembuatan yoghurt seperti kurangnya waktu pemanasan pada proses pasteurisasi susu, kurangnya total padatan tanpa lemak (non fat solid), tidak dipergunakannya penstabil (Helferich dan Westhoff 1980) dan tidak adanya proses homogenisasi susu (Tamime dan Robinson 1999).

Gambar 7. Hasil pengamatan tinggi whey pada set yoghurt yang difermentasi menggunakan kultur campuran L. rhamnosus R23 dan P. pentosaceus A38 dengan perbandingan 1:1, 1:2, 1:0, dan 0:1

Yoghurt dengan perbandingan kultur L. rhamnosus R23 dan P. pentosaceus A38 masing-masing 1:1 dan 1:2 memperlihatkan tinggi whey yang tidak terlalu tinggi, sebesar 0,1 cm. Jika pada penggunaan kultur P. pentosaceus A38 (0:1) tekstur curd masih banyak terjadi pemisahan whey, maka pada penggunaan kultur campuran, pemisahan whey dapat diminimalisir. Pada dasarnya, tidak terdapat standar untuk pembentukan whey pada yoghurt, namun karena pemisahan whey pada umumnya tidak disukai, maka semakin sedikit whey yang terbentuk akan semakin baik. Selain jumlah whey, hasil pengamatan tekstur curd pada yoghurt ini juga disajikan pada Tabel 4, berikut ini.

0,1 0,1 0 0,98 0 0,4 0,8 1,2 (1:1) (1:2) (1:0) (0:1) T in g g i w h e y ( c m )

Tabel 4. Tekstur curd set yoghurt yang difermentasi menggunakan kultur campuran L. rhamnosus R23 dan P. pentosaceus A38 dengan perbandingan 1:1, 1:2, 1:0, dan 0:1

Perbandingan kultur L. rhamnosus R23 : P. pentosaceus A38 Tekstur curd

1:1 ++++

1:2 ++++

1:0 ++++

0:1 +++

Keterangan: - (Cair, belum terbentuk gumpalan curd); + (Sedikit padat); ++ (Semi padat); +++ (Agak Padat); ++++ (Padat)

Hasil pengamatan tekstur curd pada tabel di atas memperlihatkan bahwa tekstur curd semua yoghurt sudah padat, kecuali yoghurt kultur tunggal P. pentosaceus A38 yang masih agak padat. Hal ini disebabkan oleh tingkat keasamannya yang rendah, menghasilkan tekstur yang kurang stabil. Berbeda dengan itu, yoghurt L. rhamnosus R23 (1:0) serta dua jenis yoghurt kultur campuran (perbandingan kultur 1:1 dan 1:2) telah memadat. Dengan hasil ini, dapat disimpulkan bahwa penggunaan L. rhamnosus R23 memberi pengaruh terhadap kepadatan tekstur yoghurt yang terbentuk. Jika dikaitkan dengan proses pembentukan gel yoghurt, maka pembentukan tekstur curd yang padat dapat disebabkan telah tercapainya titik isoelektrik kasein sehingga pembentukan gel yoghurt lebih stabil dan pemisahan whey tidak terlalu banyak.

Total BAL dan Pediococcus

Hasil perhitungan total BAL dan total Pediococcus set yoghurt yang diperoleh disajikan pada Gambar 8 di bawah ini. Data secara lengkap dicantumkan pada Lampiran 10-11.

a) b)

Gambar 8. Hasil pengamatan a) total BAL, dan b) total Pediococcus pada set yoghurt yang difermentasi menggunakan kultur campuran L. rhamnosus R23 dan P. pentosaceus A38 dengan perbandingan 1:1, 1:2, 1:0, dan 0:1 (Total

Pediococcus dihitung hanya pada yoghurt dengan kultur campuran)

Gambar 8 di atas memperlihatkan bahwa total BAL tertinggi dicapai pada yoghurt L. rhamnosus R23 (1:0) (9,38 log cfu/ml). Nilai ini tidak berselisih jauh dengan yoghurt kultur campuran perbandingan 1:2 dan 1:1 masing-masing adalah 9,28 dan 9,11. Sedangkan total BAL paling rendah diperoleh pada yoghurt P. pentosaceus A38 sebanyak 8,23 log cfu/ml. Gambar 8b memperlihatkan jumlah P. pentosaceus A38 yang terdapat pada yoghurt dengan

9,11 9,28 9,38 8,23 2 4 6 8 10 (1:1) (1:2) (1:0) (0:1) T o ta l B A L ( lo g c fu /ml ) 6,38 6,49 2 4 6 8 10 (1:1) (1:2) Ju ml ah Pe d io co cc u s (l o g cf u /ml )

kultur campuran. Jika dibandingkan dengan total BAL yoghurt pada Gambar 8a, terlihat adanya penurunan jumlah Pediococcus pada yoghurt yang menggunakan kultur campuran.

Yoghurt yang dibuat dengan hanya menggunakan kultur P. pentosaceus A38 (0:1) diketahui mempunyai total BAL 8,23 log cfu/ml. Karena dalam yoghurt kultur tunggal bakteri yang digunakan hanya P. pentosaceus A38, maka perhitungan total BAL mewakili jumlah Pediococcus yang ada pada yoghurt. Jika dibandingkan dengan yoghurt kultur campuran, jumlah Pediococcus hanya mencapai 6,38 log cfu/ml (1:1) dan 6,49 log cfu/ml (1:2). Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan kultur campuran L. rhamnosus R23 dan P. pentosaceus A38 sebagai kultur starter pada set yoghurt tidak efektif. Pertumbuhan kedua bakteri probiotik terlihat saling mempengaruhi jika fermentasi dilakukan secara bersama- sama. Maka dari itu, untuk tetap mendapatkan manfaat dari kedua kultur starter, dapat diusahakan dengan mencampurkan yoghurt yang dibuat dengan masing-masing kultur tersebut. Dengan demikian, proses fermentasi berjalan terpisah, sehingga tidak saling mempengaruhi pertumbuhannya.

Berkurangnya jumlah Pediococcus sebanyak 1,7-1,8 log cfu/ml diduga karena adanya reaksi penghambatan pertumbuhan P. pentosaceus oleh L. rhamnosus. Menurut Shah (2000), secara umum ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan probiotik diantaranya adalah strain bakteri yang digunakan, interaksi antar spesies probiotik (produksi senyawa antimikroba), kondisi kultur, keasaman dari produk akhir, dan konsentrasi asam laktat. Selain itu, viabilitas probiotik juga bergantung pada ketersediaan nutrisi, pertumbuhan promotor dan inhibitor, konsentrasi gula, kadar oksigen terlarut dan penyerapan oksigen melalui pengemas, suhu inkubasi, waktu fermentasi, dan suhu penyimpanan.

Penelitian Nuraida et al. (2011b) menginformasikan bahwa P. pentosaceus (A16) asal ASI mempunyai karakteristik yang tidak tahan asam sedangkan L. rhamnosus (R21) yang juga asal ASI diduga mempunyai ketahanan terhadap asam yang lebih baik serta kemampuan proteolitik dan peptidase yang tinggi (Prisilia 2009). Dalam penelitian ini digunakan BAL L. rhamnosus R23 dan P. pentosaceus A38 dengan spesies yang sama pada kedua penelitian tersebut dan juga diisolasi dari ASI, sehingga besar kemungkinan sifatnya tidak jauh berbeda. Dengan membandingkan kemampuan bertahan kedua kultur ini dalam suasana asam, dapat disimpulkan bahwa faktor keasaman produk akhir menjadi kemungkinan besar berkurangnya P. pentosaceus A38 di dalam set yoghurt. Menurut (Puspawati 2008), bila sel terpapar pada kondisi yang sangat asam, maka membran sel dapat mengalami kerusakan dan kehilangan komponen-komponen intraseluler seperti Mg, K, lemak, dan komponen lainnya. Dengan kondisi ini, sel dapat mengalami kematian. Sebaliknya, bakteri yang memliki ketahanan tinggi terhadap asam memiliki kemampuan untuk mempertahankan pH sitoplasma lebih basa daripada pH ekstraseluler.

Uji Organoleptik

Hasil pengujian organoleptik untuk set yoghurt yang dibuat dengan beberapa perbandingan kultur L. rhamnosus R23 dan P. pentosaceus A38 dapat dilihat pada Gambar 9 di bawah ini. Data secara lengkap disajikan pada Lampiran 12.

Gambar 9. Hasil uji organoleptik set yoghurt yang difermentasi menggunakan kultur campuran L. rhamnosus R23 dan P. pentosaceus A38 dengan perbandingan 1:0, 1:1, 1:2, dan 0:1

Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa dari segi rasa, set yoghurt kultur tunggal L. rhamnosus R23 (1:0) mempunyai nilai tertinggi (3,93) (agak tidak suka mendekati netral) sedangkan yoghurt P. pentosaceus A38 (0:1) mempunyai nilai terendah. Adapun yoghurt kultur campuran perbandingan 1:1 dan 1:2 berada di antara keduanya. Dengan hasil ini, diketahui bahwa dari segi rasa yoghurt kultur campuran yang difermentasi dengan kultur L. rhamnosus R23 dengan porsi lebih banyak, lebih disukai jika dibandingkan dengan P. pentosaceus A38. Hal ini dapat disebabkan oleh sifat dari kedua bakteri yang berbeda. Seperti diketahui pada tahap sebelumnya bahwa L. rhamnosus R23 lebih cepat dan efektif dalam proses fermentasi laktosa jika dibandingkan dengan P. pentosaceus A38. Sementara itu, citarasa yoghurt dihasilkan dari komponen seperti asam laktat, asam asetat, asetaldehida, aseton, diasetil yang diperoleh dari aktivitas kultur yoghurt yang memfermentasi laktosa. Hal ini menyebabkan fermentasi laktosa yang kurang efektif pada P. pentosaceus A38 dapat menyebabkan citarasa yang terbentuk juga kurang. Analisis sidik ragam dilanjutkan uji Duncan (Lampiran 12a) menunjukkan bahwa dari segi rasa, yoghurt kultur campuran dengan perbandingan 1:1 tidak berbeda nyata dengan yoghurt L. rhamnosus R23 (1:0), namun berbeda nyata jika dibandingkan dengan yoghurt kultur campuran perbandingan 1:2. Hal ini memperlihatkan bahwa penambahan kultur P. pentosaceus A38 yang lebih banyak, menurunkan tingkat kesukaan panelis terhadap rasa yoghurt.

Untuk tekstur (konsistensi), hasil yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan panilaian terhadap rasa dimana yoghurt kultur tunggal L. rhamnosus R23 (1:0) merupakan yoghurt yang paling disukai panelis. Hasil analisis sidik ragam dan dilanjutkan uji Duncan (Lampiran 12b) menunjukkan hasil ini tidak berbeda signifikan dengan yoghurt dengan perbandingan kultur 1:1. Urutan kesukaan panelis berikutnya adalah yoghurt kultur campuran perbandingan 1:2 dan terakhir adalah yoghurt P. pentosaceus A38 (0:1). Hal ini menunjukkan bahwa dari segi tekstur, penambahan kultur P. pentosaceus A38 dengan porsi yang lebih besar cenderung tidak terlalu disukai oleh panelis.

Selain rasa dan tekstur, aroma untuk set yoghurt juga tercakup pada Gambar 9. Berdasarkan hasil tersebut, terlihat bahwa set yoghurt dengan perbandingan kultur 1:0 mempunyai skor kesukaan yang paling tinggi oleh panelis (4,77) yang termasuk ke dalam

3,93c 4,33 b 4,77c 4,22c 3,59b,c 4,25b 4,7b,c 4,03c 3,3 a,b 3,78a 4,36b 3,62b 3,04 a 3,58a 3,81 a 3,25a 2 3 4 5 6

Rasa Tekstur (konsistensi) Aroma Overall

S k o r k esu k aa n Atribut sensori (1:0) (1:1) (1:2) (0:1)

netral/biasa mendekati agak suka. Hasil ini menunjukkan bahwa dari segi aroma, yoghurt dengan kultur tunggal L. rhamnosus R23 masih lebih disukai oleh panelis. Walaupun demikian, berdasarkan analisis sidik ragam dan dilanjutkan uji Duncan (Lampiran 12c) diketahui bahwa set yoghurt yang dibuat dengan kultur L. rhamnosus R23 (1:0) tidak berbeda signifikan dengan yoghurt kultur campuran dengan perbandingan kultur (1:1). Jika dibandingkan dengan yoghurt yang menggunakan P. pentosaceus, terlihat bahwa semakin banyak porsi P. pentosaceus yang digunakan, penilaian aroma menjadi lebih tidak disukai.

Aroma pada yoghurt pada umumnya dihasilkan dari senyawa hasil fermentasi selain asam laktat seperti asetaldehid, diasetil, dan asetat. Senyawa-senyawa ini bersifat volatil sehingga dapat memberi aroma yang khas pada yoghurt. P. pentosaceus A38 tidak terlalu efektif dalam memfermentasi laktosa, sehingga hal ini yang menyebabkan aroma yang dihasilkan kurang disukai. Adapun menurut (Hartoto 2003), pada umumnya yoghurt yang menggunakan kultur campuran mempunyai aroma yang lebih kuat dibandingkan dengan yoghurt kultur tunggal, karena pembentukan senyawa-senyawa volatil tersebut juga akan lebih tinggi. Hal ini menjelaskan yoghurt kultur campuran lebih disukai dari segi aroma jika dibandingkan dengan kultur tunggal P. pentosaceus A38. Untuk penilaian overall

(keseluruhan), hasil yang diperoleh tidak berbeda dengan atribut lainnya, dimana yoghurt yang dibuat dengan perbandingan kultur 1:0 merupakan yoghurt yang paling disukai, namun tidak berbeda nyata dengan yoghurt dengan perbandingan kultur 1:1 berdasarkan analisis sidik ragam dan dilanjutkan uji Duncan (Lampiran 12d).

Dengan melihat secara keseluruhan, penilaian organoleptik terhadap set yoghurt menunjukkan bahwa set yoghurt kultur tunggal L. rhamnosus R23 (1:0) paling disukai oleh panelis namun yoghurt kultur campuran dengan perbandingan 1:1 memiliki tingkat kesukaan yang sama sehingga formulasi untuk set yoghurt kultur campuran dapat menggunakan perbandingan 1:1. Adapun dari keempat atribut sensori yang diujikan, terlihat bahwa penggunaan P. pentosaceus A38 dengan porsi yang lebih banyak, menurunkan tingkat kesukaan panelis.

b.

Stirred Yoghurt

(Yog Lac+Yog Ped)

Uji Organoleptik

Hasil pengujian organoleptik untuk stirred yoghurt yang dibuat dengan beberapa perbandingan campuran yoghurt L. rhamnosus R23 dan yoghurt P. pentosaceus A38 dapat dilihat pada Gambar 10 di bawah ini. Data secara lengkap disajikan pada Lampiran 13.

Gambar10. Hasil uji organoleptik stirred yoghurt, campuran yoghurt L. rhamnosus R23 dan yoghurt P. pentosaceus A38 dengan perbandingan 2:1, 1:2, dan 1:1 Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa dari segi rasa, stirred yoghurt dari yang paling disukai adalah yoghurt campuran dengan perbandingan 2:1, kemudian 1:2, dan 1:1 dengan nilai rata-rata 4,2-4,6 (netral/biasa mendekati agak suka). Berdasarkan analisis sidik ragam dan dilanjutkan uji Duncan (Lampiran 13a), penilaian rasa stirred yoghurt campuran dengan perbandingan yoghurt 2:1 tidak berbeda dengan perbandingan 1:2 namun berbeda signifikan jika dibandingkan dengan perbandingan 1:1. Dari hasil ini, diperoleh bahwa yoghurt campuran yang dibuat dengan mencampurkan yoghurt L. rhamnosus R23 dengan porsi yang lebih banyak, lebih disukai rasanya oleh panelis.

Untuk tekstur stirred yoghurt, pada Gambar 10 diperlihatkan bahwa yoghurt campuran dengan perbandingan 1:2 paling disukai oleh panelis. Berbeda dengan atribut sensori yang diujikan lainnya, pada penilaian tekstur ini, penambahan yoghurt P. pentosaceus A38 dengan porsi lebih banyak ternyata menghasilkan tekstur yang lebih disukai oleh panelis. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh produksi EPS (eksopolisakarida) oleh P. pentosaceus. EPS (eksopolisakarida) merupakan polisakarida yang dihasilkan oleh bakteri untuk bertahan hidup menempel pada permukaan dan mencegah dari kekeringan. Pada penerapannya, polisakarida ini kerap diisolasi untuk dijadikan sebagai viskosifier, stabilizer, emulsifier ataupun sebagai gelling agent untuk memodifikasi sifat rheologi dan tektur dari produk pangan. Penelitian Semjonovs dan Zikmanis (2007) memaparkan kemampuan P. pentosaceus dalam memproduksi EPS yang cukup baik. Menurut Tamime dan Robinson (1999), bakteri starter yoghurt dengan kemampuan memproduksi EPS tinggi cenderung kurang dalam memberikan citarasa namun, memberi tekstur yoghurt yang lembut.

Berdasarkan analisis sidik ragam dan dilanjutkan uji Duncan (Lampiran 13b) tingkat kesukaan panelis terhadap stirred yoghurt campuran dengan perbandingan 1:2 tidak berbeda signifikan dengan yoghurt perbandingan 1:1. Hasil sebelumnya menunjukkan bahwa dalam pembuatan set yoghurt dengan menggunakan kultur tunggal P. pentosaceus

A38, diperoleh tekstur yang kurang padat dan menampakkan jumlah whey yang paling banyak sehingga kurang disukai. Namun, dari hasil ini dapat diketahui bahwa perbedaan cara pembuatan yoghurt memberi pengaruh terhadap penilaian panelis. Pada stirred

yoghurt, setelah proses fermentasi dilakukan, terdapat tahap homogenisasi yang dapat memberikan penampilan tekstur yang lebih baik, karena tidak terdapat whey yang terpisah.

4,65b 4,52a 4,87a 4,75a 4,42 a,b 4,78 b 4,74a 4,54a 4,23a 4,71a,b 4,74a 4,45a 2 3 4 5 6

Rasa Tekstur (konsistensi) Aroma Overall

S k o r k esu k aa n Atribut sensori (2:1) (1:2) (1:1)

Selain rasa dan tekstur, penilaian aroma stirred yoghurt menunjukkan bahwa yoghurt campuran dengan perbandingan yoghurt L. rhamnosus R23 dan yoghurt P. pentosaceus A38 sebanyak 2:1 paling disukai dari segi aroma oleh panelis dengan skor 4,87 (netral/biasa mendekati agak suka). Walaupun berdasarkan analisis sidik ragam dilanjutkan dengan uji Duncan (Lampiran 13c), hasil ini tidak berbeda nyata dengan yoghurt dengan perbandingan campuran yoghurt 2:1, 1:2, dan 1:1 Hasil ini juga tidak jauh berbeda dengan penilaian overall (keseluruhan) dimana yoghurt campuran yang dibuat dengan perbandingan yoghurt 2:1 merupakan yoghurt yang paling disukai. Analisis sidik ragam dan dilanjutkan uji Duncan (Lampiran 13d) memperlihatkan bahwa hasil ini tidak berbeda signifikan dengan penilaian overall terhadap yoghurt campuran dengan perbandingan yoghurt 1:2 dan 1:1.

Secara keseluruhan, dari hasil yang diperoleh baik set maupun stirred yoghurt, diketahui bahwa untuk pembuatan dengan metode fermentasi set yoghurt, perbandingan kultur 1:1 dan 1:2 terlihat memberikan karakteristik yoghurt yang cukup baik dengan tingkat keasaman dan tekstur curd yang telah memenuhi standar yoghurt. Namun, dari perhitungan total BAL dan total Pedioccus diketahui bahwa metode set yoghurt dengan pencampuran kultur dilakukan pada tahap awal sebelum fermentasi, dapat menurunkan jumlah P. pentosaceus A38.

Selain itu, penilaian organoleptik terhadap atribut sensori rasa, aroma, tekstur, maupun

overall (keseluruhan) terhadap yoghurt (set dan stirred yoghurt) memperlihatkan bahwa stirred

yoghurt memperoleh skor kesukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan set yoghurt sehingga pembuatan yoghurt dengan metode stirred yoghurt lebih baik untuk diterapkan.

Stirred yoghurt yang dibuat dengan mencampurkan yoghurt L. rhamnosus R23 dan yoghurt P. pentosaceus A38 perbandingan 2:1 diketahui mendapatkan skor kesukaan paling tinggi dari panelis. Walaupun demikian, stirred yoghurt campuran dengan perbandingan 2:1 tidak berbeda signifikan dengan yoghurt campuran perbandingan 1:2 sehingga perbandingan kultur yang terpilih adalah 1:2. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan jumlah P. pentosaceus A38 yang harus tetap dapat dipertahankan banyak untuk dapat optimal memenuhi sifat fungsionalitasnya sebagai probiotik.

Dokumen terkait