• Tidak ada hasil yang ditemukan

Landform Landscape Characterization Based On Jabodetabekpunjur Region For Sustainable Landscape Planning

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Landform Landscape Characterization Based On Jabodetabekpunjur Region For Sustainable Landscape Planning"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISASI LANSKAP BERBASIS

LANDFORM

DI

KAWASAN JABODETABEKPUNJUR UNTUK

PERENCANAAN LANSKAP BERKELANJUTAN

RINDHA RENTINA DARAH PERTAMI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakterisasi Lanskap Berbasis Landform Di Kawasan Jabodetabekpunjur Untuk Perencanaan Lanskap Berkelanjutan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013

Rindha Rentina Darah Pertami

(4)
(5)

RINGKASAN

RINDHA RENTINA DARAH PERTAMI. Karakterisasi Lanskap Berbasis Landform

Di Kawasan Jabodetabekpunjur Untuk Perencanaan Lanskap Berkelanjutan. Dibimbing oleh SETIA HADI dan AFRA D.N MAKALEW.

Permasalahan utama dalam pemanfaatan ruang di Jabodetabekpunjur adalah belum optimalnya pemanfaatan berdasarakan karakter landform pada tiap kawasan. Pemanfaatan ruang yang tidak optimal dapat menimbulkan kerusakan kawasan, terutama kawasan yang secara ekologis sangat rentan keberadaannya seperti daerah resapan air, rawan erosi, ataupun kawasan hutan lindung. Salah satu identifikasi karakteristik lanskap berbasis landform merupakan suatu upaya untuk menjabarkan kriteria lanskap dari karakter yang berbeda. Landform

merupakan bentukan lahan berdasarkan perbedaan ketinggian kemudian faktor pembentuk lainnya. Hasil overlay karakter landform dengan RTRW didapatkan beberapa ketidaksesuaian karakter yang seharusnya tidak dapat dikembangkan pada tipe landform tertentu seperti pengembangan pertanian pada tipe alluvial yang pada dasarnya tidak sesuai untuk pengembangan wilayah pertanian dan juga pada tipe perbukitan yang seharusnya dikonservasi karena karakter kemiringan lahan yang beragam sehingga sangat rentan untuk dikembangkan.

Berdasarkan hasil olahan data maka diperoleh sebelas belas kriteria

landform seperti di bawah ini Alluvial. Sangat tidak sesuai untuk pertanian,

Meander Belt, Sesuai untuk sawah (padi irigasi dan tebu), Sangat sesuai untuk pekarangan. Alluvial fan, Sesuai untuk pekarangan, pada umumnya sesuai untuk kebun campuran, sawah tadah hujan, dan tanaman pohon, Sangat sesuai untuk sawah irigasi. River Cut Vallon and Erosion Surface, Bergelombang dan berperbukitan, Slope 15%, Sesuai untuk sawah dan tanaman lain. River Cut 30%, River cut vallons and erosion surfaces, Bergelombang dan berperbukitan slope < 30% , sesuai untuk sawah, sawah tadah hujan, kebun campuran. Perbukitan Tertoreh Sedang. Moderately dissected hill slopes, Perbedaan ketinggian 50% sangat sesuai untuk hutan, dapat juga untuk pekarangan, dan tanaman pangan .Perbukitan Tertoreh Kuat. Strongly dissected hill slopes, Sesuai untuk hutan alam dan hutan lindung, Hutan produksi sesuai tetapi tidak pada kondisi tanah yang buruk dan curam, Sesuai untuk tanaman dengan kerapatan tinggi dan permanen, Sesuai untuk pekarangan selama pohon lokal yang digunakan dan dapat juga untuk sawah. Pegunungan. Strongly dissedted mountain slopes, Sesuai untuk hutan alam, tanaman pangan, dan pekarangan, Sangat sesuai untuk tanaman tadah hujan dan sawah. Plateu. Dataran, bergelombang, Sesuai untuk sawah (irigasi) karena tergantung persediaan air dan drainase. Volkanik Aliran Lava. Ancient lava flow, Sesuai untuk tanaman pohon, pekarangan. Volkanik Slope rendah, Volcano lower slopes, Sesuai untuk sawah, pekarangan, sawah tadah hujan, dan tanaman pangan.

Hasil overlay karakter landform dengan RTRW didapatkan beberapa ketidaksesuaian karakter yang seharusnya tidak dapat dikembangkan pada tipe

landform tertentu seperti pengembangan pertanian pada tipe alluvial 1 yang pada

dasarnya tidak sesuai untuk pengembangan wilayah pertanian dan juga pada tipe perbukitan yang seharusnya dikonservasi karena karakter kemiringan lahan yang beragam sehingga sangat rentan untuk dikembangkan.

(6)

SUMMARY

RINDHA RENTINA DARAH PERTAMI. Landform Landscape Characterization

Based On Jabodetabekpunjur Region For Sustainable Landscape Planning. guided by SETIA HADI and AFRA D.N MAKALEW.

The main problem in the use of space in Jabodetabekpunjur was not optimal utilization of landform on the terms of the character of each area. Optimalization Landuse of space can cause damage to the area, especially areas that are ecologically very fragile such as water retention area, susceptible of erosion, or protected areas. One of the identifying characteristics of the landscape based Landform is an attempt to describe the landscape spatial criteria of a different character. Landform character overlay results obtained with a spatial mismatch characters that should not be developed in certain landform types such as agricultural development on landscape planning on alluvial type which is basically not suitable for the development of agricultural areas and also on the type of hills on various type of character that should be conserved because of the slope of vulnerable to development.

Based on the results of the processed data is then obtained Landform

elevencriteria as below Alluvial . Is not very suitable for agriculture. Meander Belt. Suitable for paddy (irrigated rice and sugarcane). Very suitable for the yard. Alluvial fan. According to the yard, in general appropriate for mixed farms, rainfed, and tree vegetation. Very suitable for irrigated rice. Cut River area Vallon and Erosion Surface. Type the undulating and hilly terrain. Slope 15%. According to rice and other vegetation. River cut Vallons and erosion surfaces. Bergelombnag and hilly slope <30%. suitable for rice, rainfed lowland, mixed farms. Moderately dissected hill slopes. Difference in height of 50% is very suitable for the forest, can also for the yard, food and vegetation. Strongly dissected hill slopes. According to natural forests and protected forests. Forest production in line but not on poor soils and steep. Appropriate for high-density vegetation and permanent. According to the local yard for trees and can also be used for rice. Mountains. Strongly dissedted mountain slopes. According to natural forests, vegetation food, and yard. Very suitable for rain-fed vegetation and rice fields. Plateau. Suitable for paddy (irrigated) as dependent drainage and water supply. Ancient Lava Flow. Suitable for pekarangan. Volcano lower slopes, Suitable for paddys field, pekarangan.

Landform character overlay results obtained with a spatial dismatch

characters that should not be developed in certain Landform types such as agricultural development on alluvial type which is basically not suitable for the development of agricultural areas and also on the type of hills that should be conserved because the characters are so diverse that the slope of the land very prone to develop. .

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)
(9)

KARAKTERISASI LANSKAP BERBASIS

LANDFORM

DI

KAWASAN JABODETABEKPUNJUR UNTUK

PERENCANAAN LANSKAP BERKELANJUTAN

RINDHA RENTINA DARAH PERTAMI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

(10)
(11)
(12)

Judul Tesis : Karakterisasi Lanskap Berbasis Landform Di Kawasan Jabodetabekpunjur Untuk Perencanaan Lanskap Berkelanjutan

Nama : Rindha Rentina Darah Pertami NIM : A451100081

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Setia Hadi, MS Ketua

Dr Ir Afra D.N. Makalew, M.Sc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Arsitektur Lanskap

Dr Ir Siti Nurisjah, M.SLA

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Ujian: 31 Juli 2013

(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Alloh SubhanaWaTa’Ala, karena atas Rahmat dan Hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian ini sebagai syarat kelulusan Program Magister pada Program Studi Arsitektur Lanskap Institut Pertanian Bogor, dengan judul Karakterisasi Lanskap Berbasis Landform di Kawasan Jabodetabekpunjur Untuk Perencanaan

Lanskap Berkelanjutan.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu dan Bapak yang senantiasa berdoa dan memberikan dukungan untuk kelancaran studi,

2. Dr. Ir. Setia Hadi, MS dan Dr. Ir. Afra D.N. Makalew, MSc selaku pembimbing tesis yang selalu sabar dalam membimbing dan memberikan arahannya baik selama perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini.

3. Yugi, Ninggar, Mas Deni dan seluruh keluarga atas segala perhatian, kasih sayang, doa, dan dukungan moril maupun materil kepada penulis.

4. Teman-teman ARL Pascasarjana 2010 Lya, Cindy, Zai, dan Kak Cici serta Jania Rizka yang sempat bersama

5. Pihak-pihak yang turut membantu baik langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan penelitian ini, maka kritik dan saran serta masukan sangat diharapkan untuk perbaikan di masa yang akan datang. Akhir kata, semoga dapat bermanfaat bagi penulis dan dapat bermanfaat juga bagi semua pihak yang membacanya terlebih bagi pihak-pihak yang menghargai keberlanjutan lingkungan terutama pada kawasan Jabodetabekpunjur.

Bogor, Agustus 2013

(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iv

DAFTAR LAMPIRAN iv

PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan 3

Manfaat 3

Kerangka Pemikiran 3

TINJAUAN PUSTAKA

Lanskap 5

Lanskap Berkelanjutan 5

Perencanaan Lanskap 6

Tata Ruang Wilayah Jabodetabekpunjur 7

Bentukan Lahan (Landform) 7

Tipologi Landform 8

Kegunaan dan Manfaat Landform 11

Sistem Informasi geografis 11

Daftar Istilah 12

METODOLOGI

Lokasi dan Waktu 13

Alat dan Bahan 13

Batasan Studi 14

Metode dan Pendekatan 14

Tahap I: Persiapan 14

Persiapan 15

Tahap II: Analisis 17

Karakteristik dan ciri-ciri dari masing-masing landform pembentuk

lanskap di kawasan Jabodetabekpunjur 17

Potensi dan kendala pada tiap landform untuk perencanaan lanskap 18 Rekomendasi perencanaan lanskap yang sesuai dengan karakteristik

landform 19

Tahap III: Perencanaan 19

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik dan ciri-ciri dari masing-masing landform pembentuk lanskap

di kawasan Jabodetabekpunjur 21

Karakter Biofisik 21

Topografi dan Kelerangan 21

Jenis Tanah 27

Suhu dan Iklim 29

Faktor Erosi 33

Penggunaan Lahan (Landuse) 35

(15)

Karakter Sosial 42 Potensi Dan Kendala Pada Tiap Landform Untuk Perencanaan Lanskap 44 Perencanaan Lanskap Dengan Karakteristik Landform 53 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 57

Saran 58

DAFTAR PUSTAKA 59

(16)

DAFTAR TABEL

1 Jenis Landform Dan Ekosistemnya Berdasarkan Desaunettes, 1977 11

2 Data Yang Digunakan Dalam Penelitian 15

3 Kriteria Landform untuk Indonesia 17

4 Luasan dan Persetase Wilayah Jabodetabekpunjur 24 5 Luasan dan Persetase Landform Jabodetabekpunjur 25

6 Luasan Landform berdasarkan tipe tanah 29

7 Sebaran Sebaran Suhu 30

8 Sebaran Curah Hujan 30

9 Kelas Lereng untuk Perhitungan Erosi 33

10 Kelas Jenis Tanah untuk Perhitungan Erosi 33 11 Kelas Curah Hujan untuk Perhitungan Erosi 33

12 Penentuan Kawasan Rentan Erosi 35

13 Persentase Penggunaan Lahan Eksisting Pada Tiap Landform 36 14 Persentase Penyimpangan Penggunaan Lahan Berdasarkan Fakta

Eksisting dan RTRW 36

15 Karakteristik Landform Jabodetabekpunjur 39

16 Luasan Landform Jabodetabekpunjur 42

17 Karakteristik Sosial di Tiap Landform Jabodetabekpunjur 43 18 Zonasi RTRW Jabodetabekpunjur Berdasarkan Sebaran Landform 45 19 Kesesuaian RTRW Berdasarkan Karakter Landform 48 20 Rekomendasi Perencanaan Lanskap Berdasarkan Karakter Landform 50

(17)

DAFTAR GAMBAR

1 Bagan Alir Kerangka Analisis 4

2 Proses Perencanaan Menurut Gold (1980) 6

3 Sistem Bentuk Lahan Alluvial Sampai Karst (Harjadi, 2004) 10 4 Contoh Analisis Dengan Sistem Informasi Geografis 12

5 Peta Lokasi Penelitian 13

6 Tahapan Penelitian 14

7 Tahapan Analisis 17

8 Tapak Penelitian di Wilayah Jabodetabekpunjur 22 9 Peta Kelerengan di Wilayah Jabodetabekpunjur 23 10 Peta Landform Kawasan Jabodetabekpunjur 26

11 Potongan Melintang Selatan – Utara 27

12 Peta Sebaran Tanah 28

13 Peta Sebaran Suhu Rata-rata 31

14 Peta Sebaran Curah Hujan 32

15 Peta Sebaran Erosi 34

16 Peta Penggunaan Lahan Eksisting 37

17 Peta Kriteria Landform Berdasarkan Faktor Biofisik 41 18 Peta Rencana Ruang Wilayah Jabodetabekpunjur Tahun 2010-2031 47 19 Peta Komposit (Block Plan) Karakteristik Landform Jabodetabekpunjur

dengan RTRW 49

20 Peta Komposit Perencanaan Karakteristik Landform Jabodetabekpunjur

dengan RTRW 55

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuesioner penelitian 61

2 Karakter landform Jabodetabekpunjur 63

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lanskap yang terbentuk saat ini merupakan bentuk interaksi antara manusia dengan alamnya dari masa ke masa. Berbagai lanskap mempunyai tatanan masing-masing sebagai perwujudan keragaman pembentuknya seperti topografi, landform, geografi dan iklim serta kemampuan manusia beradaptasi dengan lingkungan tersebut secara terus menerus. Bersamaan dengan itu lanskap merupakan sebuah proses perubahan secara alamiah yang berkesinambungan di kawasan tersebut. Pemanfaatan lanskap di muka bumi sangat buruk dan sebagian besar dalam kondisi yang kritis. Lanskap merupakan suatu bentang alam dimana di dalamnya terdapat jaringan dan interaksi antara aspek ekologis, ekonomi, dan sumberdaya manusia. Seiring meningkatnya jumlah manusia yang ada di dunia maka akan meningkat pula kebutuhan sumberdaya alam yang diperlukan manusia termasuk ruang kehidupan. Masalah degradasi lanskap yang diakibatkan oleh eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan dan masalah ketersediaan dan kebutuhan sumberdaya alam bagi manusia yang ada di dunia merupakan persoalan yang sangat mendasar. Dilihat dari karakter alam yang tidak akan bertambah, maka dapat disimpulkan bahwa ketidaksesuaian antara kebutuhan dengan ketersediaan sumberdaya akan terus terjadi.

Salah satu langkah untuk penataan lanskap adalah melalui identifikasi ciri dan karakteristik lanskap berbasis landform. Landform yang merupakan salah satu faktor pembentuk lanskap dapat menjadikan acuan dalam pengembangan kawasan yang berkelanjutan. Sebagai contoh kasus adalah pada daerah rawan bencana seperti banjir, kekeringan, erosi, dan longsor yang sering terjadi di kawasan Jabodetabek-Bopunjur merupakan suatu permasalahan yang timbul

akibat penataan kawasan yang tidak berbasis akan landform. Lanskap

merupakan kesatuan dari interaksi ekologis, ekonomi, dan sosial budaya yang terjadi terbentuk salah satunya karena perbedaan tipe landform pada tiap kawasan yang memiliki kriteria tertentu.

Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bogor, Puncak, dan Cianjur (Jabode-tabekpunjur) merupakan kawasan metropolitan terbesar dan paling dinamis di Indonesia. Kemajuan yang sangat pesat telah dicapai dalam pembangunan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat ternyata menimbulkan dampak negatif pada kemunduran kemampuan sumberdaya alam. Kasus-kasus degradasi lingkungan yang ada seperti eksploitasi sumberdaya hutan telah merusak hidrologi air tanah, struktur tanah, ekologi hutan, dan menyebabkan kerusakan lingkungan pada wilayah sekitarnya. Dengan mengidentifikasi landform dari Jakarta, Bogor, Puncak, hingga Cianjur maka diharapkan dapat menjabarkan potensi dan kendala pada masing-masing wilayah yang dapat dikembangkan dalam pembangunan.

(19)

1. Berkurangnya kaiwasan lindung yang berfungsi sebagai kawasan resapan air di Jabodetabekpunjur akibat pembangunan fisik yang cepat;

2. Banyaknya penyimpangan pemanfaatan ruang di Jabodetabekpunjur terhadap perencanaan tata ruang yang ada;

3. Lemahnya fungsi otoritas, perangkat yang kurang memadai dan sistem kelembagaan yang memiliki wewenang dalam pengawasan dan pengendalian pembangunan;

4. Belum efektifnya pemberdayaan masyarakat dalam pengawasan

pemanfaatan ruang. Hal ini disebabkan antara lain karena belum adanya petunjuk teknis, operasional, dan peran serta masyarakat dalam penataan ruang sebagai penjabaran PP No.69/1996; dan

5. Adanya ketidakseragaman standar peta (legenda, sumber, skala, notasi) yang dapat menyebabkan kesulitan dalam pemberian perijinan dan evaluasi pemanfaatan ruang.

Jabodetabekpunjur yang memiliki tingkat perubahan cukup banyak sesuai yang dijabarkan pada UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang bahwa setiap daerah semestinya memiliki RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) sebagai pedoman dalam pengembangan wilayahnya. kesemrawutan penataan ruang di Jabodetabekpunjur yang mengakibatkan timbulnya berbagai masalah degradasi lingkungan dapat dilihat dari penyimpangan arahan penataan ruang yang terjadi, sehingga untuk memperbaiki arahan penataan ruang adalah dengan melakukan perencanaan ulang dengan identifikasi dan penelitian terhadap bentukan alam (landform).

Kawasan Jabodetabekpunjur perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pemanfaatan lahan dan kesesuaiannya sehingga dapat memberikan masukan

untuk kebijakan lingkungan yang dapat diterapkan di kawasan

Jabodetabekpunjur berdasarkan landform. Penelitian ini dapat memberikan

informasi dan gambaran kondisi lingkungan di Jabodetabek-punjur berdasarkan

data karakteristik landform kesesuaian lahan menggunakan SIG. Kalogirou

(2001) dan Hossain (2008) menyatakan SIG dapat berfungsi untuk mengolah data spasial dan visualisasi hasil analisis kesesuaian lahan. Dalam perencanaan penggunaan lahan seringkali harus mengambil keputusan yang kompleks dalam waktu singkat, dan ketika harus memperhitungkan konsep pembangunan berkelanjutan dan pengembangan ekonomi maka satu set peta kesesuaian penggunaan lahan akan sangat berguna dalam pengambilan keputusan (Joerin dkk., 2001, Geneletti dan Iris, 2008).

Perumusan Masalah

Permasalahan utama dalam pemanfaatan ruang di Jabodetabekpunjur

adalah belum optimalnya pemanfaatan berdasarakan karakter landform pada tiap

kawasan. Pemanfaatan ruang yang tidak optimal dapat menimbulkan kerusakan kawasan, terutama kawasan yang secara ekologis sangat rentan keberadaannya seperti daerah resapan air, rawan erosi, ataupun kawasan hutan lindung. Salah satu identifikasi karakteristik lanskap berbasis landform merupakan suatu upaya

untuk menjabarkan kriteria lanskap dari karakter yang berbeda. Landform

(20)

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui karakter landform pada lanskap. Namun penelitian yang sebelumnya dilakukan hanya terbatas

terhadap satu karakter landform. Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan

beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana karakteristik landform pada lanskap Jabodetabekpunjur?

2. Bagaimana potensi dan kendala eksisting pada tiap bertukan landform dan kesesuaiannya dengan RTRW Jabodetabekpunjur?

3. Bagaimana rekomendasi yang sesuai dengan karakteristik landform?

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi karakteristik landform pembentuk lanskap di kawasan

Jabodetabekpunjur;

2. Menganalisis potensi dan kendala pada tiap landform untuk perencanaan lanskap dengan kesesuaiannya berdasarkan RTRW Jabodetabekpunjur; dan 3. Menyusun rekomendasi perencanaan lanskap yang sesuai dengan

karakteristik landform.

Manfaat

Setelah melakukan karakterisasi masing-masing landform diharapkan

penelitian dapat memberikan manfaat seperti,

1. Mendapatkan database karakter landform Jabodetabekpunjur,

2. Menjadi masukan untuk pembangunan kawasan dilihat dari potensi dan kendala sebagai faktor pembatas di Jabodetabekpunjur

3. Menjadi masukan bagi pemerintah setempat dalam membuat RTRW untuk perencanaan wilayah yang berkelanjutan.

Kerangka Pemikiran

Bentukan lahan (landform) yang berasal dari proses geologi terkait dengan bentukan bentang alam yang akan mempengaruhi sumberdaya air, sumberdaya mineral, sumberdaya energi, dan sumberdaya lahan. Terkait

dengan kesemua sumberdaya, maka landform akan mempengaruhi sumberdaya

manusia yang terkait dengan aktivitasnya. Landform dapat digunakan sebagai identifikasi awal dalam mendeteksi bahaya (hazard) yang terjadi. Penelitian ini

akan membahas mengenai karakteristik landform Jabodetabekpunjur

berdasarkan elevasi, kelerengan, jenis tanah, landcover, hidrologi, flora dan fauna, dan iklim, serta faktor yang dipengaruhi oleh landform seperti aktivitas manusia, budaya, dan sosial lainnya.

Lanskap Jabodetabekpunjur yang memiliki keunikan kawasan sebagai pusat pemerintahan dan kawasan pendukung (industri, perdagangan, pertanian, permukiman, dan kawasan lindung) merupakan salah satu kawasan yang berkembang cukup pesat, sehingga penataan lanskap harus terintegrasi. Wilayah Jabodetabek-Bopunjur adalah wilayah yang secara terintegrasi dalam perencanaan kawasan yang menyeluruh perlu dilakukan pengklasifikasian

karakter lanskap berdasarkan kriteria landform pada tiap segmen kawasan yang

membentang dari utara Jawa hingga selatan yang mengarah pada Kawasan Pegunungan di daerah Cianjur.

(21)

marine, plain, hilly, mountain, dan miscellaneous. Pada tahapan awal dilakukan identifikasi lanskap berdasarkan karakter landform diatas. Kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan peta topografi, peta geologi dan tanah, foto udara, peta vegetasi, peta penggunaan lahan, dan peta RBI sebagai dasar pembentuk landform. Pembentuk landform yang akan dibahas berdasarkan karakter topografi pembentuknya dan dilakukan di sepanjang jalan yang menjadi dasar penelitian. Dari hasil analisis peta kemudian dilakukan tahap tumpang tindih (overlay) peta. Pada tahap ini akan dilihat perbedaan landform dengan tipe yang sama sesuai kondisi eksisting saat ini. Maka dari itu akan disusun karakteristik lanskap dari hasil analisis peta menjadi sebuah data dasar yang akan menjadi salah satu hasil rekomendasi prencanaan lanskap berkelanjutan yang dapat dikembangkan untuk wisata, pemukiman, mitigasi bencana (Gambar 1).

Lanskap Jabodetabekpunjur

Ketidaksesuaian penggunaan lahan dengan karakteristik lanskap Jabodetabekpunjur

Tipe Landform pembentuk lanskap

Alluvial sistem

Marine

sistem Plain sistem

Hilly

• Pegunungan masif

• Blok pegunungan

Karakterisasi Lanskap Berbasis Landform

Rekomendasi Perencanaan Lanskap Berkelanjutan (Wisata, Pemukiman, Mitigasi Bencana)

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Lanskap

Lanskap adalah suatu bentangan alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dibentuk secara alami. Karakter lanskap alami terdiri dari banyak tipe, antara lain, gunung, perbukitan, lembah, hutan, padang rumput, aliran air, rawa, laut, danau, dan padang pasir. Karakteristik ini terbentuk oleh adanya kesan harmonis atau kesatuan antar elemen yang ada di alam seperti suatu bentuk lahan, formasi batuan, vegetasi, dan satwa. Derajat dari harmoni atau kesatuan dari bermacam elemen lanskap tidak hanya diukur dari kesan menyenangkan yang ditimbulkan, tetapi juga dari ukuran kualitas yang disebut keindahan. Keindahan itu dapat diartikan sebagai hubungan harmonis yang nyata dari seluruh komponen perasaan (Simonds, 1983).

Menurut Simonds (1983), bentukan-bentukan penampakan dan kekuatan lanskap alam yang dominan, sangat sedikit yang dapat diubah. Beberapa elemen lanskap alami yang tidak dapat diubah adalah bentukan topografi seperti pegunungan, lembah, danau, sungai, pantai, penampakan presipitasi, embun, dan kabut. Selanjutnya Simonds (1983) menyatakan bahwa lanskap alami memiliki hubungan dengan bentukan-bentukan lain secara tersendiri, karena lanskap alami mempunyai sesuatu yang harmonis, dengan setiap bentuk merupakan pernyataan dari topografi, iklim, pertumbuhan, dan energi alami. Kawasan obyek wisata merupakan ruang terbuka yang menyediakan sarana wisata atau rekreasi yang sangat penting bagi kesenangan, kesehatan, dan kebahagiaan manusia. Suatu obyek wisata harus mempunyai ciri khas keunikan tertentu, yakni mempunyai karakteristik yang khusus sesuai keinginan masyarakat di sekitar kawasan tersebut.

Lanskap Berkelanjutan

Definisi lanskap berkelanjutan menurut Kurokawa (2000) adalah penekanan (emphasis) bukan hanya pada keseluruhan dan unity, tetapi juga pada eksistensi dan otonomi bagian, sub-sistem dan sub-culture, secara aktif

menginkorporasikan elemen-elemen yang heterogen dan berlawanan,

menekankan pada ambiguous intermediary space yang selama ini telah

tereliminasi oleh dualisme rasional, memelihara atau mengakomodasi pluralisme budaya, menekankan tidak hanya pada penalaran tetapi juga pada simbiosis penalaran dan sensitivitas, memandang manusia bukan superior dalam proses berkreasi, tetapi memandang penting simbiosis manusia dan makhluk atau ciptaan lainnya dan alam, dan tidak hanya menekankan pada universalisme tetapi juga cultural identity, konteks ruang, dan keragaman bahasa dalam melakukan simbiosis antar budaya.

(23)

Perencanaan Lanskap

Lanskap menurut Simonds (2006) perencanaan adalah suatu alat yang sistematik yang digunakan untuk menentukan saat awal, keadaan yang diharapkan, dan cara terbaik untuk mencapai keadaan tersebut. Tujuan utama perencanaan untuk menentukan tempat yang sesuai dengan daya dukung lahan dan keadaan umum masyarakat sekitar. Tahapan perencanaan lanskap terdiri dari 10 langkah yang pada umumnya membutuhkan ketepatan, yaitu (1) latar belakang (cakupan, tujuan dan sasaran perencanaan), (2) melalukan survei topografi, (3) pengembangan program, (4) pengumpulan data dan analisis, (5) menginventarisasi tapak, (6) pengorganisasian rencana acuan dan data, (7) persiapan pengembangan kasus, (8) melakukan perbandingan analisis dan perbaikan menuju ke tahapan rencana konsep, (9) pengembangan dari rencana dasar dan estimasi biaya, dan (10) persiapan dan rencana pembangunan tapak. Menurut Forman (1986) perencanaan suatu lanskap adalah saling keterkaitan antara bagaimana struktur dan fungsi lingkungan terbentuk dan bagaimana perubahan menyebabkan pembentukan suatu lanskap.

Menurut Marsh (2005) perencanaan lanskap perkotaan merupakan cakupan besar yang fokus terhadap seluruh area metropolitan. Kebanyakan aktivitas dalam merencana perkotaan berhubungan dengan kebijakan pembangunan dan keberlanjutan pada sektor publik yang berhubungan dengan pembangunan di bidang ekonomi, sosial, tata guna lahan, dan transportasi. hal ini terkait dengan ketersediaan lahan diperkotaan yang sangat terbatas dan berbagai kegiatan berjalan di dalamnya, maka dari itu dalam merencana lanskap di perkotaan berhubungan pula dengan peraturan fisik yang ada. Gold (1980) menyatakan bahwa perencanaan terdiri dari proses inventarisasi, analisis, sintesis, perencanaan, dan gambar arsitektur.

Gambar 2. Proses perencanaan menurut Gold (1980)

Pada masing-masing tahapan pada proses perencanaan Gold dapat dijabarkan bahwa pada inventarisasi merupakan proses pengumpulan data primer dan sekunder dengan hasil berbentuk karakteristik tapak yang tertuang dalam peta inventarisasi. Tahapan analisis merupakan tahapan mengetahui

Potensi dan Kendala

• Geologi dan

Tanah

• Topografi

• Vegetasi

• Iklim

• hidrologi

• Sirkulasi

• Tata guna

lahan

Inventarisasi Analisis Sintesis Perencanaan

Alternatif pengembangan Potensi

Pengembangan Karakteristik

Tapak

Konsep

(24)

potensi dan kendala pada tapak yang merupakan acuan terhadap rencana pengembangan tapak. Tahapan analisis merupakan tahapan yang cukup riskan.

Tata Ruang Wilayah Jabodetabekpunjur

Menurut Undang-undang Tata Ruang No 26 Tahun 2007 Tentang

Penataan Ruang Kawasan bahwa Land Use merupakan suatu wujud struktur

ruang dan pola ruang disusun secara nasional, regional, dan lokal. Secara nasional disebut dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, yang dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah tersebut perlu dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota. Ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.

Menurut Nurhasanah (2004) tentang konsistensi rencana tata ruang di Kawasan Jabodetabek menyatakan adanya inkonsistensi utama yang terjadi di kawasan Jabodetabek meliputi kawasan lindung (kawasan lindung/kawasan resapan) dan kawasan budidaya (kawasan hutan produksi dan kawasan pertanian). Syartinilia (2004) menyatakan penerapan Multi Criteria Decision Making (MCDM) dan Geographical Information Sytem (GIS) pada evaluasi peruntukkan lahan (penelitian kasus : DAS Ciliwung Hulu, Kab. Bogor, Jawa Barat) menyatakan bahwa hanya 15.8% dari lokasi penelitian yang merupakan kawasan budidaya sementara 84.2% merupakan kawasan lindung yang sebanyak 65.5% telah digunakan untuk kawasan budidaya oleh masyarakat. Eksisting penggunaan lahan pada model optimal (p=1) mencakup 58% area.

Tata ruang menurut Samadikun (2007) adalah perencanaan kawasan konservasi sumber daya alam terutama yang berperan sebagai daerah resapan, penggunaan yang efisien, penyediaan layanan yang dapat diterima dan dinikmati oleh setiap lapisan masyarakat harus lebih diperhatikan daripada pelayanan yang diperuntukkan bagi kelompok masyarakat tertentu, terutama yang hanya berorientasi untuk alasan ekonomis. Jadi setiap perencanaan tata ruang seharusnya berkaitan dengan segi ekonomi manusia di dalamnya untuk mendukung kelangsungan tata ruang.

Bentukan Lahan (Landform)

Bentukan lahan (landform) adalah suatu bentukan geomorfologi yang terjadi akibat faktor batuan (geologi) yang menciptakan struktur lanskap yang berbeda (Small, 1972). Bentukan lahan adalah lanskap fisik yang terdiri dari beragam bentukan slope, elevasi, dan sudut dengan objek yang berbeda di dalamnya. Definisi yang sama juga dijabarkan Noor (2006) yang mengatakan bahwa geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari roman muka bumi beserta aspek-aspek yang mempengaruhinya. Lanskap adalah panorama yang tersusun dari elemen geomorfologi dalam dimensi yang lebih luas. Dan definisi dari

bentukan lahan (landform) adalah komplek fisik permukaan ataupun dekat

permukaan suatu daratan yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia.

Berikut fungsi landform berdasarkan Marsh (1991) dapat dipertimbangkan dalam organisasi dan orientasi berbagai macam penggunaan, ruang, dan

elemen-elemen lainnya. Landform dapat dipertimbangkan sebagai ‘baselane’,

(25)

digunakan sebagai dasar pengembangan diagram fungsi. Bailey (2004)

mengatakan bahwa landform bentukan tempat yang bervariasi dengan factor

ekologi di dalamnya seperti ketersediaan air, dan panas matahari dengan tinggi dan slope yang beraneka macam dari permukaan dan merupakan interaksi dari iklim dan mempengaruhi hidrologi dan pembentukan tanah.

Zuidam (1983) mengemukakan definisi geomorfologi adalah ilmu yang mendeskripsikan bentuk lahan, proses-proses yang berpegangan padanya dan menganalisis kaitan antara bentuk lahan dan proses-proses tersebut dalam tatanan keruangannya. Bertolak dari batasan tersebut dapatlah dikatakan bahwa obyek penelitian geomorfologi adalah bentuk lahan, proses yang bekerja padanya, material penyusun dan struktur geologi. Selanjutnya dikatakan bahwa terdapat lima tahapan pengenalan bentuk lahan yang meliputi antara lain deliniasi pola aliran, deliniasi relief atau morfologi, analisis vegetasi dan penggunaan lahan, analisis batuan dan struktur geologi, deliniasi unit serta detail geomorfologi didasarkan pada bentuk lahan, batuan dan proses. Berdasarkan pada tahapan-tahapan tersebut dalam pengenalan bentuk lahan adalah pertama-tama yang harus dipahami adalah bentuk pola aliran yang berkembang dalam suatu daerah. Dengan pemahaman bentuk pola aliran yang berkembang, selanjutnya dapat dipahami tentang relief, hal ini dikarenakan relief dapat mengidentifikasi dalam mengenali kemiringan lereng, baik yang bersifat lepas dan batuan yang bersifat tidak lepas atau kompak sehingga dapat mengetahui sifat batuan dan struktur geologi. Perkembangan pola aliran yang mengikuti relief dan kemiringan lereng, selanjutnya dapat mengidentifikasi vegetasi yang berkembangan dan pada akhirnya dapat diketahui satuan bentuk lahan yang menyusun suatu daerah serta detail geomorfologi yang ada di daerah tersebut.

Tipologi landform

Menurut Marsh (1991) ada tiga jenis landform yaitu makrolandform (pada skala regional) contohnya gunung, perbukitan, lembah, padang, mikrolandform (pada skala tapak) contohnya gundukan tanah, berm, kemiringan, daerah datar

perubahan kemiringan, ketinggian dengan step dan ramp. Ketiga adalah

minilandform contohnya riak gelombang kecil pada hamparan pasir pada batu perkerasan pasir, variasi tekstur perkerasan.

Menurut Poedjoprajitno dan Lumbanbatu (2004) dilihat karakteristik dari

geomorfologi pembentuk landform. Data yang digunakan adalah peta

administrasi dan peta topografi yang kemudian akan dilakukan analisis geologi bawah permukaan, di antaranya adalah uji bawah permukaan berupa sembilan pemboran dangkal. Penelitian yang dilakukan hanya menggunakan data sekunder dari geologi dan tanah sebagai faktor pembentuk landform. Terdapat enam satuan utama geomorfologi, kawasan penelitian hanya melibatkan empat satuan utama yaitu: bentukan asal struktur (structural origin), gunung api (volcanic origin), dan laut (marine origin). Kelompok paling kecil sebarannya adalah bentukan asal sungai (fluvial) yang tidak dibahas karena di samping terbatas penyebarannya juga dianggap tidak tampak peran tektoniknya.

Dalam Desaunettes (1977) dijabarkan ada tujuh karakter landform yakni flat dengan kelas slope 2% dan ketinggian < 1 mdpl, undulating dengan slope 2-8% dan ketinggian sampai 10 mdpl, rolling yang memiliki slope 8-16% dengan

ketinggian sama dengan undulating, hummocky yang memiliki kelas slope hingga

(26)

dan mountainous ketinggian melebihi 300mdpl dengan slope yang sama antara hummocky, hillocky, hilly, dan mountainous. Desaunettes (1977) dalam bukunya membagi menjadi enam tipe landform, yaitu :

1. Alluvial sistem

Terbagi dalam alluvio subsistem yang memiliki daerah swamp dengan salinitas tinggi yang pada umumnya ditutupi mangrove. Kemudian alluvial subsistem yang terdapat dataran banjir (daerah pasang-surut) pada

umumnya terletak pada aliran sungai. Alluvio colluvial subsistem yang agak

berteras diperuntukkan untuk sawah dengan tanaman padi dengan slope antara 3 hingga 8% dan ketinggian maksimum 50 meter. Lalu yang terakhir adalah closed alluvial subsistem yang pada umumnya agak berlumpur. 2. Marine sistem

Merupakan daerah pertemuan antara lautan dan daratan dengan tipe landform yang berubah sangat cepat. Pada umumnya dibagi atas backshore, foreshore, dan offshore.

3. Plain sistem

Pada umumnya terletak antara 0 hingga 100 mdpl pada elevasi terendah. Fisiografi yang terbentuk adalah coastal plain, pediment, peneplain, dan high plains yang merupakan bagian yang memiliki elevasi lebih tinggi.

4. Hilly sistem

Merupakan landform dengan tipe berperbukitan dengan elevasi lebih dari 100 mdpl dengan komposisi perbukitan dan hillocks yang terbentuk karena

orogenik dan proses erosi. Bagian perbukitan merupakan tipe landform yang

kurang dari 330 meter dengan altitude yang sama dengan pegunungan. hillock amplitudo ketinggian adalah 10 hingga 50 meter dengan ketinggian 50 hingga 300 meter.

5. Pegunungan dan plateau sistem

Memiliki amplitudo lebih dari 300 meter dengan tipe landform adalah pegunungan masif, block mountain, dome mountain, dan plateau mountain. Haryono (2004) mengidentifikasi landform di kawasan karst Gunung Sewu dengan melihat bentukan dan karakter dari lanskap dengan menggunakan foto udara. Penelitian yang dilakukan dengan melihat karakteristik dari bentukan dan struktur lanskap berdasarkan metode Schmidt Hammer hardness atau dengan melihat tekstur foto udara sebagai identifikasi

bentukan landform. Hasilnya menunjukkan terdapat tiga bentukan pada

wilayah Karst gunung Sewu Labyrinth-Cone Karst dengan slope beragam

antara 60-70˚ yang terdapat pada daerah perbukitan. Polygonal Karst

dengan rataan slope 31˚ dengan perbedaan relief antara 30m hingga 100m.

dan yang terakhir adalah Residual Cone Karst dengan slope antara 30-40˚ dengan rataan tinggi 90m.

6. Miscellaneous sistem

Landform dengan tipe terkecil seperti puncak gunung, danau, batuan, dan lainnya dengan tipe dan jenis sistem bergantung pada kondisi kawasannya.

Tabel 1. Jenis Landform dan ekosistemnya (Desaunettes, 1977)

Landform Land system (dominan

mineral)

Tipe ekosistem

1. Pantai Banjar Lawas(BLW)

Alluvium, recent marine

2. Swamp Klaru(KLR)

(27)

Lanjutan Tabel 1

Landform Land system (dominan

mineral)

Tipe ekosistem

2. Swamp Beliti (BLI)

Alluvium, recent riverine, Peat

Mendawai(MDW)

Peat

Gambut(GBT)

Peat

3. Alluvial Plains

Kahayan(KHY)

Alluvium, recent

marineriverine, Alluvium recent riverine, Peat

4. Terraces Benjah Bekasik(BBK)

Peat , Alluvium, old clays

Sikladipanjang(SLP)

Alluvium, old clays, Peat, Alluvium, old sands

(28)

Kegunaan dan Manfaat landform

Kegunaan landform adalah seperti di bawah ini berdasarkan Fchor (1993)

dapat menciptakan kesan dramatis pada lanskap seperti ketinggian pada gunung

maupun perbukitan, menciptakan iklim mikro pada daerah hillshade, dan

landform yang berbeda kan membentuk karakter lanskap yang berbeda terutama pada elemen fisik, flora, dan fauna yang akan mempengaruhi interaksi sosial yang berbeda. Menurut Haryono, E dan Day, M (2004) bahwa karakter bentukan lahan akan mempengaruhi lanskap sekitarnya ditambah faktor batuan dan strukturnya. Kawasan karst terutama sangat dipengaruhi oleh kemiringan lahan yang akan mempengaruhi run-off secara linear.

Menurut Schor, H.J and Gray, D.H (1997) apabila karakter bentukan lahan monoton dan menyatu maka grading diperlukan atau dapat ditimbulkan dengan penanaman efek vegetasi agar tampak menarik. Karakter bentukan lahan yang berbeda kan menimbulkan grading yang berbeda dengan karakter konvek dan konkaf yang akan menjadi nilai tambah.

Sistem Informasi Geografis

Menurut Suprajaka, Ponimana, A., dan Hartono (2009) menyatakan bahwa Sistem Informasi Geografis/SIG sudah cukup lama dikenal sejak awal tahun 1960 di Kanada dan Amerika Serikat, yang saat itu banyak digunakan

untuk keperluan Land Information System. Saat ini SIG sudah banyak digunakan

untuk keperluan lain seperti pengembangan wilayah, perpetaan, lingkungan dan sebagainya. SIG mulai dimanfaatkan di Indonesia pada awal tahun 1980 terutama dalam pembuatan peta, pengelolaan wilayah, analisis lingkungan dan agraria. Teknologi ini pada dasarnya memiliki ciri dapat memasukkan, menyimpan, mengolah dan menyajikan data dalam suatu sistem komputer, dengan data dapat berupa gambar maupun tulisan atau angka.

Menurut Shaw, P.A dan Thomas, D.S.G (1993) terdapat dua metode untuk menganalisis data lapangan yang dapat digunakan yakni cara analitik dengan menggunakan metode statistik dan cara grafik dengan menggunakan metode penginderaan jauh. Pemrosesan citra yang dilakukan sebagai berikut : 1. Perbaikan kontras.

Perbaikan dilakukan terhadap masing-masing band dengan metode linier dan

eksponensial. Perbaikan kontras (contrast stretching) tidak berpengaruh terhadap nilai asli dari citra.

2. Penyusunan komposit Red-Green-Blue.

Komposit yang disusun dari band-band dengan tampilan visual kekontrasan terbaik. Kekontrasan komposit RGB diperbaiki secara keseluruhan dengan

mengubah kekontrasan masing-masing band tunggal penyusunnya.

3. Klasifikasi

Klasifikasi dilakukan dengan menggunakan dua band dengan metode

histogram bidimensional. 4. Koreksi geometrik.

Koreksi geometrik dilakukan dengan menggunakan metode overlay (tumpang

(29)

Gambar 4. Contoh analisis dengan sistem informasi geografis

Daftar Istilah

Masing-masing bentukan lahan memiliki karakter dan keunikan tersendiri. Berikut daftar beberapa istilah menurut Desaunettes (1977).

1. Alluvial adalah dataran alluvial yang merupakan dataran pasang surut (Swamp Area), kawasan yang sangat sesuai untuk setiap jenis kegiatan. 2. Meander Belt adalah bentuk lahan yang terbentuk karena sedimentasi dari

padatan di sungai.

3. Alluvial Fan adalah bentuk lahan yang terbentuk karena kipas alluvial yang tergerus akibat sinousitas.

4. River Cut adalah bentuk lahan yang tertoreh akibat arus sungai pada umumnya, torehannya beragam sehingga rentan erosi.

5. River Cut 30% adalah bentuk lahan river cut 30% adalah dataran yang tertoren sebanyak 30% sehingga sangat rentan erosi karena mengalami gerusan sebanyak 30%.

6. Perbukitan Tertoreh Sedang adalah bentuk lahan bergelombang dan kemiringan lahan sedang.

7. Perbukitan Tertoreh Kuat adalah bentuk lahan bergelombang yang memiliki kemiringan lahan sangat besar sehingga sangat rentan terhadap erosi dan kawasan yang harus dikonservasi

8. Pegunungan adalah bentuk lahan Sebuah gunung adalah fitur topografi yang naik di atas daerah sekitarnya dan memiliki ketinggian lebih tinggi dari bukit. 9. Plateu adalah bentuk lahan dapat dibentuk oleh sejumlah proses, termasuk

magma vulkanik yang terangkat, ekstrusi lava, dan erosi oleh air dan gletser. 10. Volkanik Aliran Lava adalah bentuk lahan yang terbentuk akibat daya

patahan dari gunung berapi.

(30)

METODOLOGI

Lokasi dan waktu

Penelitian dilakukan di sepanjang jalur jalan negara yang terdiri dari dua segmen yaitu Jabodetabek dan Bopunjur yang terbentang dari Tangerang, Jakarta, Bogor, Puncak dan Cianjur yang merupakan wilayah yang mengalami konversi lahan yang cukup tinggi. Orientasi penelitian adalah jalan utama yang terhubung dari tiap penelitian yang dibatasi dengan administrasi dari masing-masing kawasan dengan topografi menjadi faktor pembagi landform. Penelitian dibagi atas dua segmen yaitu Jabodetabek dan Bopunjur untuk melihat karakteristik landform keduanya. Penelitian landform ini dilakukan selama enam bulan dari Januari 2013 sampai dengan Juli 2013

Gambar 5. Peta lokasi penelitian

Alat dan Bahan

(31)

melihat penggunaan lahan, penutupan lahan, dan identifikasi jenis landform skala 1 : 50.000, dan peta vegetasi.

Batasan Penelitian

Penelitian ini hingga tahap pembuatan rekomendasi perencanaan lanskap yang sesuai dengan karakteristik landform pada masing-masing tipe landform dengan batas penelitian adalah sepanjang jalur Jabodetabekpunjur yang dibatasi oleh batas administratif (Kecamatan) pada tiap segmen. Terdapat dua segmen pada akhir penelitian yaitu Jabodetabek dan Bopunjur. Hal ini memiliki tujuan untuk memperlihatkan perbedaan karakter bentukan lahan tiap kawasan.

Metode dan Pendekatan

Metode penelitian yang digunaklan studi literatur dan survei. Studi literatur tentang karakteristik dan ciri dari masing-masing landform yang berada di kawasan Jabodetabekpunjur dilakukan dengan cara analisis menggunakan mapping analysis dari tipologi landform pada masing-masing wilayah yang dibantu dengan Arcview 32. Pendekatan yang digunakan adalah topografi

karena pada umumnya yang mempengaruhi terbentuknya landform adalah

topografi yaitu kemiringan dan arah lereng. Karakter landform dianalisis dengan

toposekuen pada tiap landform dengan batasan unit penelitian adalah

Kecamatan. Survei dilakukan untuk mendapatkan data sosial dan kesesuaian penggunaan lahan eksisting dengan RTRW yang ada. Pendekatan metode survei dengan penyebaran kuesioner.

Tahapan Penelitian

Penelitian dilaksanakan dalam empat tahap yaitu pengklasifikasian data, analisis, sintesis, dan perencanaan (Gambar 6). Pada tahap persiapan dilakukan pengumpulan data, tahap analisis dilakukan klasifikasi landform pada kawasan penelitian, tahap sintesis dilakukan karakterisasi landform dengan kondisi eksisting seperti penutupan lahan, sosial, dan budaya. Tahap analisis dan sintesis merupakan tahapan riset pada rencana penelitian. Serta pada tahap perencanaan dilakukan analisis kebijakan berdasarkan hasil karakterisasi landform berdasarkan kebijakan yang telah ada sebelumnya.

Peta topografi

G

e

o

re

fe

re

n

si

• Mosaik

• Kontur

• Interpolasi

Tipe topografi

Peta geologi dan tanah Pengklasifikasian Tipe tanah

Peta Curah Hujan Interpretasi klasifikasi Land use

RTRW Pengklasifikasian Arahan

Pengklasifikasian spasial

Karakterisasi Landform

Kajian Landuse Eksisting

Perencanaan Lanskap Jabodetabekpunjur

(32)

1. Tahap I: Persiapan

Tahapan ini merupakan tahapan awal penelitian yang meliputi pemilihan lokasi, perumusan masalah, dan penentuan konsep dasar. Pemilihan lokasi adalah dari Kota Tangerang, Jakarta, Bogor, puncak, dan Cianjur dengan orientasi adalah jalan. Pertimbangan dalam pemilihan lokasi karena banyak data yang telah tersedia, aksesibilitas yang mudah, ketidaksesuaian penataan lanskap, dan yang paling utama adalah memiliki landform yang berbeda pada masing-masing kawasan.

Masalah yang timbul didasari dari perubahan penataan lanskap yang cukup besar pada wilayah tersebut yang kemudian menimbulkan degradasai fisik maupun sosial. Jika dilihat perubahan yang terjadi tidak semata-mata fisik

melainkan pola aktivitas masyarakat. Landform pada dasarnya akan membentuk

masyarakat sesuai dengan bentukannya yang unik terkait sumberdaya yang ada di dalamnya. Konsep dasar yang dikembangkan adalah dengan mengidentifikasi dari faktor fisik, sosial, dan budaya.

Data yang digunakan adalah tentang elevasi, topografi, jenis tanah, dan penutupan lahan. Data yang akan digunakan dalam penelitian ini. Data tersebut terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengamatan di lapang, kuesioner dan hasil wawancara terstruktur maupun bebas dengan masyarakat lokal. Data sekunder diperoleh dari penelitian pustaka, laporan-laporan kegiatan dan informasi dari dinas terkait. Data tersebut kemudian dikelompokkan kedalam data fisik dan data sosial-budaya masyarakat.

Tabel 2. Data yang digunakan dalam penelitian

No Jenis Data Unit Data Sumber Data Kegunaan Data untuk Analisis

1. Peta topografi Kemiringan lereng, ketinggian (meter)

Bakosurtanal Menganalisis karakter dari landform yang

membentuk lanskap dan akan menjadi dasar menganalisis kemiringan lahan 2. Peta Geologi

Menganalisis faktor pembentukan tanah,

bentuk lahan, danger signal (hazard),

sifat dan karakter tanah untuk landuse

dan perencanaan

Menganalisis penggunaan lahan dan kesesuaiannya sebagai dasar pembentuk kebijakan dan RTRW

4. Peta RTRW Jenis arahan Peta RTRW Menganalisis arahan RTRW dengan

kesesuaian landform

Bakosurtanal Menganalisis penggunaan dan penutupan lahan, karakter fisik dari kawasan, dan karakter DAS yang membentuk kawasan

Pada tahap ini dilakukan pengecekkan terhadap data yang dihasilkan mengenai penggunaan dan penutupan lahan. Pengumpulan data sekunder seperti topografi, tanah, geologi, dan aspek legal yang akan disusun ke dalam peta tematik yang meliputi peta kemiringan lahan, geologi, tanah, penggunaan, dan penutupan lahan. Berikut ini merupakan penjelasan beberapa peta yang akan dikumpulkan.

a. Peta Topografi

(33)

peta topografi berbentuk line (garis) yang merupakan hasil treking atau delineasi suatu kawasan. Peta topografi dapat digunakan untuk mendapatkan data kelas kemiringan lereng, arah lereng, dan luas lereng pada tapak penelitian. Pada penelitian yang akan dilakukan tentang karakterisasi landform, peta topografi digunakan sebagai dasar pembentuk kriteria landform dari alluvial hingga pegunungan. Data dari peta topografi yang ada akan diubah kedalam area/luas dan berbentuk poligon guna mendapatkan luasan pada tiap kriteria landform. Selain itu digunakan juga data arah lereng sebagai faktor pembatas dalam bencana alam (hazard).

b. Peta Geologi dan Tanah

Peta geologi dan tanah merupakan peta yang berisi informasi tentang klasifikasi batuan dan tipe tanah pembentuk. Manfaat peta ini dapat ditentukan karakter batuan dan tanah pada tiap kawasan penelitian berdasarkan kesesuaian karakter terhadap landform dan digunakan juga sebagai dasar dalam membuat perencanaan yang sesuai berdasarkan faktor pembatas dari peta geologi dan tanah. Seperti pada tipe tanah allivium merupakan tanah yang terbentuk dari hasil sedimentasi yang pada umumnya berada di sekitar sungai, maka dapat diasumsikan bahwa karakter tanah tersebut subur, tidah padat, mudah berubah karena elastis, dan dapat dikatakan tidak sesuai peruntukkannya sebagai kawasan pemukiman ataupun industri. Berdasarkan peta tanah disusun informasi mengenai jenis tanah dan geologi pembentuk landform pada tiap tipe. Peta geologi digunakan untuk menyusun peta yang berkenaan dengan informasi struktur geologi, bentuk lahan, dan formasi lapisan batuan.

c. Peta Penggunaan Lahan

Peta penggunaan lahan digunakan untuk mengetahui kondisi eksisting pada tapak saat ini guna mendapatkan gambaran kesesuaian penggunaaan berdasarkan karakteristik landform yang telah dianalisis. Klasifikasi penggunaan dan penutup lahan disusun berdasarkan interpretasi visual landsat skala semidetail (1:50.000). Kelas penggunaan lahan akan dibedakan ke dalam badan air, permukiman, sawah, semak, hutan, dan lahan terbuka. Untuk mengetahui landform berdasarkan kondisi eksisting pada tapak yang meliputi data fisik, sosial, dan budaya didapat data spasial yang bersumber dari BPS setempat dan pengamatan langsung yang di overlay dan didigitasi ulang kemudian dari hasil digitasi dicari luasan dari berbagai penggunaan lahan dan luasan dari tapak yang kemudian dibandingkan dengan data kuantitatif dan data kualitatif. Olahan data tersebut menghasilkan peta spasial kondsisi eksisisting tapak dan selanjutnya dijadikan dasar dalam melakukan tahapan analisis.

d. Peta RTRW

Peta RTRW digunakan untuk melihat arahan penataan wilayah berdasarkan kebijakan yang berlaku dan melihat kesesuaiannya melalui analisis

dengan karakter landform permentuknya.

e. Peta Rupa Bumi Indonesia

(34)

tapak penelitian di Jabodetabekpunjur, penutupan lahan yang kemudian akan digunakan sebagai faktor pembentuk landform eksisting, dan karakter tapak.

2. Tahap II: Analisis

Pada tahapan ini dilakukan analisis data dari peta yang akan digunakan

menggunakan metode overlay. Metode ini digunakan untuk melalui tumpang

tindih dari tiap masing faktor pembentuk landform kemudian didapatkan karakter

landform pada masing-masing tipe yang akan dioverlay dengan RTRW yang ada.

Gambar 7. Tahapan Analisis

a. Karakteristik dan ciri-ciri dari masing-masing landform pembentuk lanskap di kawasan Jabodetabekpunjur

Terdapat dua cara mengidentifikasi landform yaitu secara manual dan komputisasi. Untuk cara manual digunakan foto udara kemudian dengan metode streoskopis dilakukan analisis bentukan landform yang akan terlihat bentukannya melalui foto udara yang digunakan. Kedua dilakukan secara komputerisasi dengan melakukan identifikasi spasial dengan pengidenfikasian berdasarkan sistem landform oleh Desaunettes (1977) (Tabel 5).

Tabel 3. Kriteria Landform untuk Indonesia

Sistem landform Kriteria

Sistem alluvial Alluvio marine

subsistem

1. Swamp (area pasang-surut) merupakan tegakan vegetasi dan pasang

surut swamp

2. Dataran rendah basah (sedikit vegetsai terdiri dari hidrofita dan rumput pantai)- Marsh (low vegetation = hydrophytes and wet grass)

3. Dataran rendah hingga bergelombang 4. Delta deposit

Alluvial subsistem

1. Sedikit yang memiliki slope < 2% dan < 50 mdpl

2. Sebagian besar slope < 2% dengan ketinggian > 50 mdpl yang

merupakan dasar sungai dan merupakan dataran banjir untuk periode tertentu

3. Daerah meander

4. Bergelombang hingga gampang berubah dengan slope 2-15% pada

sungai

5. Rata-rata berteras dan bukan daerah banjir

Alluvio colluvial

subsistem

1. Daerah yang terisolasi antara perbukitan dengan dataran yang sedikit 2. Bergelombang hingga gampang berubah bentuk

3. Daerah kipas alluvio-colluvial dengan perbedaan morfologi slope 3-8%

Alluvial subsistem tertutup

1. Sedikit area yang terdepresi 2. Basin tertutup dan terdepresi

3. Area pasang-surut atau marsh tanpa pengaruh laut

4. Dataran lakustrin

Marine sistem Pantai 1. Pantai pasir, lumpur, karang 2. Terdapat gua

3. Dataran berlumpur

Dunes dan lido 1. Tedapat pasir yang bergerak 2. Deposit berpasir yang datar 3. Lido

4. Punggung pantai

(35)

Lanjutan Tabel 3

Sistem landform Kriteria

Marine sistem Batuan pantai dan pinggir pantai

1. Terdapat barier dan datar 2. Tebing, karang

3. Berteras karena pengaruh gelombang air 4. Puncak batuan dan karang yang relatif datar Laguna dan

lagun

Terdapat terumbu karang, laguna

Atol dan koral Atol dan terdapat terumbu karang

Dataran pasang surut

Mudah ditanami (bera), terdapat mangrove pada daerah pasang-surut

Delta Berpasir, silikat dan lempung

Sistem datar Datar, Dataran

pesisir, Pantai berteras, Sungai dan danau berteras

1. Dataran datar, berhelombang hingga mudah bergerak

2. Terdapat hummock dan hummocky ataupun perbukitan

Sedimen sungai 1. Undulating dengan slope < 8%

2. Undulating dan rollingslope < 15%

3. Hummocky berelief dengan slope <15% dan >15% pada tiap tingkatan 4. Undulatingslope >15%

5. Rolling dengan slope >15%

6. Hillocky dengan slope <15% dan >15%

7. Perbukitan Dataran khusus 1. Dataran berteras

2. Kipas alluvio-colluvial utama

3. Depresi antiklin karena suhu Sistem

Hillocks 1. Rentan terhadap erosi dan bergelombang terdapat pula pola yang berubah

2. Contoh kawasan adalah kaki perbukitan, lanier, dan spur (perbukitan yang berelief)

3. Terdapat interhill atau knob dan adanya pijakan perbukitan pada bagian bawah perbukitan

Paralel atau sub-vertikal

Kelas AB hingga 30%, kelas C 3-50%, kelas D 50-75%, kelas E >75%, kelas ABC hingga 50%, kelas DE 30-75% atau dibawah 50%, dan kelas CDE >30%

Plateau atau sistem pegunungan

Pegunungan Memiliki amplitudo ketinggian lebih dari 300m. Pada pegunungan masif

yang pada umumnya terkoneksi memiliki elevasi > 5000meter

Plateau Dataran landai yang umumnya terdapat ketinggian tertentu yang luasannya

sedikit

Sumber: Desaunettes (1977)

Pada metode komputerisasi digunakan metode analisis menggunakan georeferensi dari beberapa peta tematik. Pada peta topografi dilakukan georeferensi dan akan dilakukan analisis dari peta topografi menjadi mosaik, kontur, dan dilakukan interpolasi. Metode georeferensi mennggunakan program Arcview 32 dengan mengubah peta topografi yang berbentuk garis kedalam kriteria landform dan menjadi berbentuk data piksel lalu dilakukan analisis kketinngian area yang sama dengan dilakukan interpolasi dan akan didapat luasan area yang memiliki ketinggian dan arah lereng yang sama.

Peta geologi dan tanah akan dilakukan georeferensi dan akan dilakukan klasifikasi secara komputerisasi dan akan mendapatkan luasan lahan dengan kriteria geologi dan tanah yang sama. Begitupun peta yang lain dilakukan georeferensi kemudian diklasifikasikan. Dari analisis peta tematik dengan metode ovelay maka akan didapat karakteristik tiap landform di Jabodetabekpunjur

sebagai data dasar (database) dalam perencanaan.

b. Potensi dan kendala pada tiap landform untuk perencanaan lanskap

(36)

kendala yang dianalisis adalah faktor jarak dari sungai, jalan, penduduk (pemukiman), kemiringan lereng, arah lereng, kerentanan geologi dan tanah. Kesemua faktor didapat berdasarkan analisis tujuan pertama yang kemudian dikembangkan lagi kedalam kriteria berikutnya. Potensi dan kendala yang dianalisis berdasarkan faktor sosial dan budaya eksisting. Hasil dari analisis potensi dan kendala adalah kesesuaian landform terhadap wisata, pemukiman, dan mitigasi bencana dengan karakter ukuran desa/kawasan penelitian.

c. Rekomendasi perencanaan lanskap yang sesuai dengan karakteristik landform

Dari hasil analisis potensi dan kendala berdasarkan kondisi sosial dan budaya eksisting, maka akan dibuat rekomendasi perencanaan yang sesuai

pada tiap kriteria landform. Rekomendasi perencanaan lanskap berdasarkan

karakteristik landform dan kondisi eksisting kawasan yang dibuat kedalam bentuk

pengembangan kawasan dengan kriteria pembentuk adalah landform.

Rekomendasi perencanaan akan dibuat dalam beberapa tipe perencanaan berdasarkan faktor kerentanannya dan kesesuaiannya dari faktor analasis landform untuk wisata, pemukiman, dan mitigasi bencana.

Rekomedasi yang disusun akan berbeda pada tiap tipe landform karena terkait dengan kondisi sisial, ekonomi, dan budaya pada tiap kawasan perencanaan. Pada tipe landform pantai hingga flat dengan kondisi masyarakat yang hidup berbasis laut akan membuat rekomendasi yang berbeda dengan

masyarakat yang berada pada tipe landform perbukitan hingga gunung.

Rekomendasi juga ditujukan untuk menjabarkan kesesuaian penggunaan lahan oleh manusia berdasarkan faktor landform.

3. Tahap III: Perencanaan

Perencanaan Berkelanjutan dikembangkan dengan membuat

rekomendasi zonasi yang sesuai pada kawasan penelitian sebagai basis pengembangan. Rekomendasi yang dibuat berupa kriteria kawasan dan kesesuaiannya menurut kriteria sebelumnya yang telah ditetapkan seperti SK Mentan. Rekomendasi perencanaan juga tidak terlepas berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2008 Tentang Penataan Ruang

Kawasan jabodetabekpunjur sebagai acuan membuat perencanaan.

Perencanaan dikembangkan dengan berdasarkan faktor ekonomi, sosial, dan budaya pada kawasan perencanaan.

Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2008 Tentang Penataan Ruang Kawasan jabodetabekpunjur bahwa telah dijabarkan penggunaan lahan yang disarankan pada tiap kawasan di Jabodetabekpunjur. Dari hal ini akan dikembangkan perencanaan lanskap

(37)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian akan dilakukan pada tiap karakteristik landform yang berbeda sepanjang Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabek). Masing-masing wilayah memiliki kondisi wilayah yang berbeda dari fisik, biologi, dan sosial budaya sehingga karakter lanskap akan memiliki keunikan tersendiri. Wialyah Jabodetabekpunjur terletak pada posisi 121˚94’82” BT dan 6˚10’ hingga 6˚30’ LS (Gambar 8). Batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut :

• Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa

• Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Cianjur

(Propinsi Jawa Barat)

• Sebelah barat berbatasan dengan Kabjupaten Rangkasbitung, Kabupaten

Pandeglang dan Kabupaten Serang (Propinsi Banten)

• Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kawarang dan Kabupaten

Purwakarta (Propinsi Jawa Barat

Secara geopolitik, kawasan Jabodetabekpunjur merupakan potret dari sistem negara. Keberhasilan pengelolaan pembangunan di Jabodetabekpunjur merupakan cerminan keberhasilan pembangunan di Indonesia. Dengan demikian, kawasan Jabodetabekpunjur perlu dikelola dengan baik, karena kedua fungsi utama yang sering didikotomikan, yaitu fungsi ekonomi dan fungsi

lingkungan berada pada kawasan ini. Secara ekonomi, kawasan

Jabodetabekpunjur memberikan share yang tinggi terhadap perekonomian nasional. Sekitar 70 % (2006) investasi nasional berada di Jawa-Bali dan hampir sebagian besar didominasi oleh atau berada dalam lingkup Kawasan Jabodetabekpunjur, yaitu Provinsi DKI Jakarta 22 %, Banten 11 %, dan Jawa Barat 27 %, dengan pusat kegiatan ekonomi dan sosial berada di Jakarta. DKI Jakarta memberikan pembagian yang tinggi terhadap PDRB wilayah seluruh Jabodetabekpunjur. PDRB total di kawasan Jabodedtabekpunjur dibandingkan dengan kawasan metropolitan lainnya di Indonesia sangat tinggi. Perkembangan PDRB dan investasi ini didukung oleh infrastruktur ekonomi dan sosial yang sudah maju dan terpusat di Jakarta, Bogor, Tanggerang dan Bekasi. Keunggulan infrastruktur ini juga menjadi daya tarik urbanisasi. Tingginya tingkat urbanisasi mengakibatkan daya tampung lahan untuk permukiman dan aktivitas ekonomi wilayah menjadi terbatas.

(38)

negara dan pusat lembaga-lembaga tinggi negara menjadi prioritas utama untuk dijaga keberlanjutan lokasi ruangnya.

Secara ekologis, cakupan Jabodetabekpunjur adalah kawasan yang meliputi tiga daerah aliran sungai (DAS) utama, yaitu DAS Ciliwung, DAS Cisadane, dan DAS Bekasi, yang memiliki luas area keseluruhan sekitar 2.027 km² dengan curah hujan berkisar antara 1.500-4.000 mm per tahun. Hulu Sungai Ciliwung berada di kawasan Puncak dan mengalir sepanjang 119 km dengan debit rata-rata bulanan 882 m3 per detik (di Manggarai) ke arah muara Jakarta. Daerah permukiman di hulu DAS Ciliwung, dalam kurun waktu enam tahun (1990-1996) meningkat dari 6,25 km² menjadi 19,26 km² dan 10 tahun kemudian (2004) menjadi 26,61 km².

Dalam 35 tahun terakhir, secara regional Jabodetabekpunjur telah kehilangan 27% ruang terbuka hijau (termasuk hutan dan perkebunan vegetasi tahunan/keras) diantaranya akibat hilanganya 46% kawasan hutan. Kawasan terbangun (permukiman) tumbuh lebih dari 12 kali lipat, menyebabkan daya dukung lingkungan menjadi sangat terbatas, terutama kemampuan lahan di dalam meresapkan air ke dalam tanah terutama di Jakarta. Pertumbuhan Permukiman dan perkotaan yang tak terkendali di sepanjang dan di sekitar daerah aliran sungai, tidak berfungsinya kanal-kanal dan tidak adanya sistem drainase yang memadai mengakibatkan semakin terhambatnya aliran air ke laut, yang mengakibatkan Jakarta dan kawasan di sepanjang daerah aliran sungai menjadi sangat rentan terhadap banjir. Permasalahan DAS Ciliwung lainnya adalah penurunan kualitas dan kuantitas air sungai, pemanfatan ruang di sempadan sungai, yang menimbulkan permukiman kumuh, perubahan tata guna lahan, penurunan kualitas dan kuantitas lingkungan, kekeringan dan erosi/ longsor.

Karakteristik dan ciri-ciri dari masing-masing landform pembentuk lanskap di kawasan Jabodetabekpunjur

Karakteristik landform yang akan dipaparkan berdasarakan topografi pada

tiap tipe landform berdasarkan Desaunettes (1977) bahwa terdiri dari lima sistem dasar landform yaitu sistem alluvial, marine sistem (pantai), sistem dataran, sistem perbukitan, dan plateau atau sistem pegunungan.

1. Karakter Biofisik

Topografi dan Kelerengan

(39)

Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesia

Gambar 8. Tapak Penelitian di Wilayah Jabodetabekpunjur

107 º5 3'3 0"E

Dr. Ir. Setia Hadi, MS Dr. Ir. Afra D.N. Makalew, MS

(40)

Sumber : Olahan dari Peta Rupa Bumi Indonesia

Gambar 9. Peta Kelerengan di Wilayah Jabodetabekpunjur

107 º5 3'30"E

Dr. Ir. Setia Hadi, MS Dr. Ir. Afra D.N. Makalew, MS

Gambar

Gambar 1. Bagan alir kerangka analisis
Gambar 3. Sistem Bentuk Lahan Alluvial sampai Karst (Harjadi, 2004)
Gambar 5. Peta lokasi penelitian
Gambar 6. Tahapan Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait